Anda di halaman 1dari 10

a.

Mikosis Endemis

Dalam golongan mikosis endemis terdapat 4 jenis mikosis sistemik primer (dimorfik) yakni
koksidioidomikosis, histoplasmosis, blastomikosis, dan parakoksidioidomikosis. Keempatnya
terbatas pada area endemis yang spesifik. Jamur penyebab koksidioidomikosis dan histoplasmosis
masing-masing terdapat di alam pada tanah kering atau tanah yang bercampur dengan guano. Agen
penyebab blastomikosis dan parakoksidioidomikosis diperkirakan berada di alam, tetapi habitatnya
belum dapat ditentukan dengan pasti. Setiap mikosis ini disebabkan oleh jamur yang dimorfik
sesuai suhu dan kebanyakan infeksi dimulai di paru setelah inhalasi masing-masing konidia.
Hanya beberapa infeksi yang akan menyebabkan penyakit yang dapat terjadi akibat penyebaran
dari paru ke organ lain. Mikosis-mikosis ini juga tidak dapat ditularkan di antara manusia atau
hewan lain (Jawetz, et al., 2014).

Terhadap semua infeksi mikosis sistemik ini, pertahanan pejamu awal berupa makrofag
alveolar yang biasanya mampu membuat konidia tidak aktif dan memicu respons imun yang lebih
hebat. Proses ini biasanya menyebabkan peradangan granulomatosa dan produksi, baik antibodi
maupun kekebalan yang diperantarai sel. Induksi berbagai sitokin Th1 (interleukin-12, interferon-
, tumor necrosis factor ) akan memperkuat pertahanan selular, mengaktivasi makrofag dan
meningkatkan kemampuan fungisidalnya. Pada pejamu yang imunokompeten, respon-respon ini
mampu meredakan lesi peradangan. Akan tetapi granuloma residual dapat mempertahankan
organisme dorman yang berpotensi reaktivasi di kemudian hari, menciptakan bentuk laten
penyakit. Di area endemis jamur-jamur ini, kebanyakan infeksi dijumpai pada individu yang
imunokompeten, tetapi pada orang dengan gangguan imunitas seluler, seperti penderita
HIV/AIDS, berisiko lebih tinggi mnderita infeksi berat (Jawetz, et al., 2014).

1) Koksidioidomikosis

Coccidioides posadasii dan C. immitis merupakan kapang tanah yang tidak dapat
dibedakan fenotipnya dan menyebabkan koksidioidomikosis. Infeksi ini endemis di berbagai
daerah sangat kering dengan batas jelas di Amerika Serikat bagian barat daya, Amerika Tengah,
dan Amerika Selatan. Infeksi ini biasanya sembuh sendiri; penyebaran jarang terjadi tetapi
selalu berat dan dapat mematikan (Jawetz, et al., 2014).

(a) Morfologi dan Identifikasi

Pada sebagian bear medium laboratorium C. immitis menghasilkan koloni seperti


kapas berwarna putih hingga krem. Hifanya membentuk rantai-rantai artrokonidia
(artrospora) yang sering kali terbentuk berselang-seling dalam sel-sel sebuah hifa. Rantai-
rantai ini terfragmentasi menjadi artrokonidia individual yang mudah terbawa udara dan
sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang tidak bersahabat. Artrokonidia yang kecil
ini (3 x 6 m) tetap viable selama bertahun-tahun dan sangat infeksius. Setelah inhalasi,
artrokonidia menjadi bulat dan membesar, membentuk sferul yang berisi endospora. Sferul
dapat juga dihasilkan di laboratorium melalui kultivasi pada medium kompleks (Jawetz, et
al., 2014).

Gambar 1.1 Coccidioides immitis. A: Dalam tanah. Pembentukan dan germinasi artrokonidia (artrospora). B:
Dalam jaringan. Pembentukan sferul dengan endospora.
Sumber: Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23, 2007

Pada potongan histologi suatu jaringan, sputum, atau spesimen lain, ditemukannya
sferula mampu menegakkan diagnosis Coccidioides immitis. Ketika matang, sferula
memiliki dinding refraktil ganda yang tebal dan dapat mencapai ukuran diameter 80 m.
Sferula menjadi terisi oleh endospora sehingga melepaskan endospora yang akan
berkembang menjadi sferula-sferula baru (Jawetz, et al., 2014).

(b) Patogenesis dan Gejala Klinis

Inhalasi artrokonidia menyebabkan infeksi primer yang asimtomatik pada 60%


orang. Satu-satunya tanda infeksi adalah terbentuknya presipitin serum dan konversi uji
kulit positif dalam 2-4 minggu. Presipitin ini akan berkurang, tetapi uji kulit sering kali
tetap bertahan seumur hidup. Sekitar 40% individu lain mengalami penvakit mirip-
influenza yang disertai dengan demam, malaise, batuk, artralgia, dan nyeri kepala. Kondisi
tersebut disebut demam lembah, demam Lernbah San Joaquin, atau rematik padang pasir.
Setelah 1-2 minggu sekitar 15% pasien mengalarni reaksi hipersensitivitas, berupa ruam,
eritema nodosum, atau eritema multiforme. Pada pemeriksaan radiografi, pasien secara
khas memperlihatkan adenopati pada hilum disertai infiltrat paru, pneumonia, efusi pleura,
atau nodul. Residu paru terjadi pada sekitar 5%, biasanya dalam bentuk nodul solitar atau
kavitas berdinding tipis (Jawetz, et al., 2014).

Kurang dari 1% orang yang terinfeksi C immitis mengalami koksidioidomikosis


diseminata atau sekunder, yang sering melemahkan dan mengancam nyawa. Faktor risiko
untuk koksidioidomikosis sistemik meliputi keturunan, jenis kelamin, usia, dan gangguan
kekebalan selular. Penyakit ini lebih sering terjadi pada kelompok rasial tertentu, antara
lain (dalam urutan risiko tertinggi hingga terendah) adalah ras Filipina, Afrika-Amerika,
Amerika Asli, Hispanik, dan Asia. Terdapat komponen genetik dalam respon imun
terhadap C. immitis. Pria lebih rentan daripada wanita, dengan pengecualian wanita hamil,
yang dapat berkaitan dengan perbedaan respons imun atau efek langsung hormon seks
terhadap fungi. Misal, C. immitis mempunyai protein pengikat estrogen, dan peningkatan
kadar estradiol serta progesteron merangsang pertumbuhannya. Orang yang berusia muda
dan tua juga berisiko tinggi. Pada penderita AIDS dan keadaan imunosupresi selular
lainnya berisiko untuk mengalami koksidioidomikosis diseminata dikarenakan perlu
adanya respons imun selular untuk resistansi yang cukup (Jawetz, et al., 2014).

Beberapa individu menderita penyakit paru kronis progresif disertai nodul atau
kavitas bertambah banyak atau membesar. Penyebaran biasanya akan terjadi dalam waktu
setahun pascainfeksi primer. Sferul dan endospora menyebar melalui perluasan langsung
atau hematogen. Sejumlah tempat di luar paru dapat terkena, tetapi organ yang paling
sering terkena adalah kulit, tulang dan sendi, serta meningers. Ada berbagai manifestasi
klinis yang khas terkait oleh infeksi C. immitis di setiap daerah tersebut dan daerah lainnya
pada tubuh (Jawetz, et al., 2014).

Penyebaran terjadi bila respons imun tidak cukup untuk menahan fokus paru. Pada
kebanyakan individu, uji kulit positif menandakan respons imun selular yang kuat dan
perlindungan terhadap reinfeksi. Namun, apabila individu tersebut menjadi
imunokompromais atau luluh imun akibat mendapat obat sitotoksik atau akibat penyakit
(misal, AIDS), penyebaran dapat timbul bertahun-tahun setelah infeksi primer (penyakit
reaktivasi). Koksidioidomikosis pada penderita AIDS sering muncul dalam bentuk
pneumonitis retikulonodular difus yang cepat mematikan. Gambaran radiologi antara
penyakit ini dengan pneumonia pneumosistis mirip, tetapi terapi keduanya berbeda, maka
penting untuk memperhatikan adanya kemungkinan pneumonia koksidioidal pada
penderita AIDS. Kulturdarah sering positif untuk C. immitis. Pada pemeriksaan histologi,
lesi koksidioidal mengandung granuloma tipikal dengan sel raksasa dan supurasi yang
menyebar. Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan sferul dan endospora.
Perjalanan klinis sering ditandai dengan remisi dan relaps (Jawetz, et al., 2014).

2) Histoplasmosis
Histoplasrna capsulatum adalah saprofit tanah dimorfik yang menyebabkan
histoplasmosis, infeksi mikotik di paru yang paling sering terjadi pada manusia dan hewan. Di
alam, H. capsulatum tumbuh sebagai kapang berhubungan dengan tanah dan habitat burung,
diperkaya oleh substrat alkali nitrogen pada kotoran hewan. H. capsulatum dan histoplasmosis,
yang dipicu dengan inhalasi konidia, terjadi di seluruh dunia. Namun, insidennya sangat
bervariasi dan kebanyakan kasus terjadi di Amerika Serikat. H. capsulatum mendapatkan nama
tersebut dari gambaran sel ragi pada potongan histopatologi (Jawetz, et al., 2014).

(a) Morfologi & ldentifikasi

Pada temperatur kurang dari 37C, isolat prirner H. capsulatum sering menghasilkan
koloni kapang coklat tetapi gambarannya bervariasi. Banyak isolat tumbuh lambat dan
spesimen memerlukan inkubasi selama 4-12 minggu sebelum terbentuk koloni. Hifa hialin
bersepta rnenghasilkan mikrokonidia (2-5 m) dan makrokonidia berdinding tebal
berbentuk sferis yang besar dengan penonjolan materi dinding sel pada daerah perifer (8-
16 m). Dalam jaringan atau in vitro pada medium kava pada suhu 37C, hifa dan konidia
berubah menjadi sel ragi kecil dan oval (2 x 4 m). Dalam jaringan, ragi secara khas
terlihat dalam makrofag karena H. capsulatum merupakan parasit intraselular fakultatif
(Jawetz, et al., 2014).

Gambar 1.2 H. capsulatum. A: Makrokonidia dan mikrokonidia dalam biakan pada suhu 30C. B: Makrofag
yang mengandung sel ragi.
Sumber: Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23, 2007

(b) Patogenesis & Gejala Klinis

Manusia biasanya terinfeksi dengan cara terhirup spora atau konidia H. capsulatum,
tidak ditularkan dari manusia ke manusia lainnya maupun dari hewan ke manusia atau
sebaliknya. Saat terinhalasi konidia H. capsulatum, beberapa konidia berhasil menghindari
pertahanan nonspesifik paru hingga mencapai alveolus. Konidia kemudian berkembang
menjadi sel ragi dan dikeliligi oleh makrofag alveolar; di tempat ini, organisme tersebut
mampu bereplikasi dengan pembelahan biner (Pamungkas, 2016).
Respon tubuh mengeluarkan neutrofil dan makrofag yang memfagosis ragi. Ragi
yang difagosit tidak berhasil dibunuh, justru bermultiplikasi dalam tubuh makrofag,
menyebar ke hilus lalu ke seluruh tubuh (Pamungkas, 2016). Di dalam makrofag, ragi
dapat menyebar ke jaringan retikuloendotelial seperti hati, limpa, sumsum tulang, dan
kelenjar getah bening. Reaksi radang awal menjadi granulomatosa. Pada lebih dari 95%
kasus respons imun selular yang timbul menyebabkan sekresi sitokin yang mengaktifkan
makrofag untuk menghambat pertumbuhan ragi di dalam sel (Jawetz, et al., 2014).

Histoplasmosis asimtomatik, dapat dijumpai sekitar 90% penduduk terinfeksi H.


capsulatum pada daerah endemik, tidak ada gejala, tes histoplasmin positif. Pada
histoplasmosis paru akut, seringkali terjadi pada orang yang berkunjung ke daerah
endemik. Gejala klinis tidak khas, bila spora yang terhirup cukup banyak, dapat
menimbulkan sesak napas, sianosis, sakit dada, ruam, eritema multiforme, dan sakit
pleura. Stadium akut ini berakhir dalam 3 minggu dengan penyembuhan sempurna
(Pamungkas, 2016).

Beberapa orang, misalnya orang imunokornpeten yang rnenghirup inokulum berat,


menderita histoplasmosis paru akut, yaitu sindrom seperti flu yang sembuh sendiri yang
ditandai dengan demam, menggigil, mialgia, nyeri kepala, dan batuk nonproduktif. Pada
pemeriksaan radiografi, sebagian besar pasien akan memperlihatkan limfadenopati hilum
dan infiltrat atau nodul paru. Gejala tersebut hilang secara spontan tanpa terapi dan nodul
granulomatosa dalam paru atau tempat lain sembuh dengan kalsifikasi (Jawetz, et al.,
2014).

Histoplasmosis paru kronik paling sering terjadi pada pria dan biasanya merupakan
proses reaktivasi, pecahnya lesi dorman yang diperoleh beberapa tahun lalu. Reaktivasi ini
biasanya dipercepat oleh kerusakan paru seperti emfisema (Jawetz, et al., 2014).
Histoplasmosis paru kronik, dijumpai pada orang dewasa dengan riwayat penyakit paru
kronik, misalnya TB paru, dapat juga pada penderita diabetes mellitus. Foto toraks
menunjukkan gambaran kaverna pada kedua lobus atas paru, sering disangka TB paru
(Pamungkas, 2016).

Histoplasmosis diseminata berat timbul pada sekelompok kecil individu yang


terinfeksi khususnya bayi, orang tua, dan orang yang mengalami imunosupresi, termasuk
penderita AIDS. Sistem retikuloendotelium terutama mudah terkena, berupa terjadinya
limfadenopati, pembesaran limpa dan hati, demam tinggi, anemia, dan angka mortalitas
tinggi jika tanpa terapi antijamur. Dapat timbul ulkus mukokutan pada hidung, mulut,
lidah, dan usus. Pada penderita tersebut, studi histologi memperlihatkan area fokus
nekrosis dalam granuloma pada banyak organ. Ragi dapat berada dalam rnakrofag di
darah, hati, limpa, dan sumsum tulang (Jawetz, et al., 2014).

Dua minggu setelah inhalasi, respon imun yang dimediasi limfosit mulai
berkembang. Terjadi peningkatan limfosit dan makrofag untuk mengendalikan infeksi
jamur histoplasmosis. Berbagai sitokin proinflamasi dikeluarkan, seperti interleukin-12
(IL-12), interferon- (IFN-), tumor necrosis factor- (TNF-), yang bersifat protektif
terhadap jamur. Pembentukan granuloma bergantung interaksi antara limfosit dan
makrofag, semakin meningkat intensitas inflamasi akan memunculkan nekrosis kaseosa
yang sulit dibedakan dengan TB (Pamungkas, 2016).

(c) Epidemiologi

Insiden histoplasmosis paling tinggi di Amerika Serikat, yang merupakan daerah


endemik meliputi negara bagian tengah dan timur dan terutama Lembah Sungai Ohio dan
sebagian Lembah Sungai Mississippi. Sejumlah wabah histoplasmosis akut disebabkan
oleh pajanan banyak orang dengan inokulum konidia yang besar. Keadaan tersebut terjadi
bila habitat alami H. capsulatum terganggu, yaitu, tanah yang bercampur kotoran burung
(misal, tempat bertengger burung jalak, kandang ayam) atau kotoran kelelawar (gua).
Burung tidak terinfeksi, tetapi kotorannya memberikan kondisi biakan yang baik bagi
pertumbuhan fungi. Konidia juga menyebar melalui angin dan debu. Wabah urban
histoplasmosis terbesar terjadi di Indianapolis (Jawetz, et al., 2014).

Pada beberapa daerah yang sangat endemik, 80-90% penduduk mempunyai hasil uji
kulit yang positif pada awal masa dewasa. Banyak penduduk akan mengalami kalsifikasi
miliar di paru. Histoplasmosis tidak menular dari orang ke orang. Penyemprotan
formaldehid pada tanah yang terinfeksi dapat membasmi H. capsulatum (Jawetz, et al.,
2014).

Di Afrika, selain patogen yang lazim, terdapat varian yang stabil, H. capsulatum var
duboisii, yang menyebabkan histoplasmosis Afrika. Bentuk tersebut berbeda dengan
penyakit biasa karena bentuk tersebut menyebabkan bagian paru yang terkena lebih sedikit
dan lebih banyak lesi pada kulit dan tulang disertai sel raksasa dalam jumlah besar yang
mengandung ragi yang berbentuk lebih bulat dan besar (Jawetz, et al., 2014).

3) Blastomikosis

Blastomyces dermatitis merupakan fungi yang bersifat dimorfik sesuai perubahan suhu
yang tumbuh sebagai kapang pada biakan, menghasilkan hialin, hifa bersepta yang bercabang
dan konidia. Pada suhu 37C atau dalam pejamu, spesies tersebut berubah menjadi sel ragi
runas tunggal yang besar. B. dermatitidis menyebabkan blastomikosis, suatu infeksi kronik
dengan lesi granulomatosa dan supuratif yang bermula di paru, dari tempat ini penyebaran
dapat terjadi ke setiap organ, tetapi terutama kulit dan tulang. Penyakit ini disebut
blastomikosis Amerika Selatan karena penyakit ini mewabah dan sebagian besar kasus terjadi
di Amerika Serikat dan Kanada. Meskipun prevalensi penyakit ini tinggi di Amerika Utara,
blastomikosis telah ditemukan di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia. Blastomikosis bersifat
endemik untuk manusia dan anjing di Amerika Serikat bagian timur (Jawetz, et al., 2014).

Gambar 1.3 Blastomyces dermatitidis. A: Dalam jaringan atau biakan pada suhu 37C. B: Dalam biakan pada suhu
30C pada agar Sabouraud.
Sumber: Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23, 2007

(a) Morfologi & ldentifikasi

Bila B. dermatitidis tumbuh pada agar Sabouraud pada suhu ruangan, timbul koloni
berwarna putih atau kecoklatan, dengan hifa bercabang yang mengandung konidia piriformis,
ovoid, atau sferis (diameter 3-5m) pada konidiofora lateral atau terminal yang ramping.
Dapat juga dihasilkan klamidospora yang lebih besar (7-18 m). Dalam jaringan atau biakan
pada suhu 37C, B. dermatitidis tumbuh sebagai ragi sferis, berinti banyak dengan dinding
tebal (8-15 m) yang biasanya menghasilkan satu tunas. Tunas dan induk ragi saling melekat
dengan dasar yang lebar dan tunas biasanya membesar sampai ukurannya sama dengan induk
ragi sebelum terlepas. Koloni ragi berkerut, seperti lilin, dan lunak (Jawetz, et al., 2014).

(b) Patogenesis & Gejala Klinis

Infeksi manusia dimulai di paru. Ada kasus yang ringan dan sembuh sendiri, tetapi
frekuensinya tidak diketahui karena tidak terdapat uji kultur atau serologi yang cukup untuk
menilai infeksi primer yang telah sembuh atau infeksi subklinis. Manifestasi klinis yang
paling sering adalah infiltrat paru yang berhubungan dengan berbagai gejala yang tidak dapat
dibedakan dari infeksi pernapasan bagian bawah akut lainnya (demam, malaise, keringat
malam, baruk, dan mialgia). Pasien juga sering menderita pneumonia kronik (Jawetz, et al.,
2014).

Kulit adalah area infeksi ekstrapulmonari yang paling umum dan keterlibatan kulit
terjadi pada sekitar 60% penderita infeksi diseminata. Pemeriksaan histologi memperlihatkan
reaksi piogranulomatosa dengan neutrophil dan granuloma nonkaseosa. Pasien biasanya dapat
mengalami lesi ulserasi pada seluruh permukaan kulit namun yang paling umum adalah pada
area kepala, leher, atau ektremitas yang terekspos. Lesi dapat berkembang menjadi granuloma
verukosa yang membentuk ulkus dengan tepi melebar dan pembentukan parut di tengah.
Bagian tepi lesi terisi mikroabses dan mempunyai tepi yang jelas dan melengkung.
Manifestasi kulit lainnya termasuk nodul violaceous, abses plak, lesi verukosa
besar, atau keloid (Smith & Gauthier, 2015). Lesi juga dapat terjadi pada tulang,
genitalia (prostat, epididimis, dan testis), serta sistem saraf pusat; tempat lain jarang terkena.
Pada pasien yang mengalami imunosupresi, termasuk penderita AIDS, dapat mengalami
blastomikosis namun tidak sesering mikosis sistemik lain (Jawetz, et al., 2014).

Gambar 1.3 Ulser pada kulit yang disebabkan blastomikosis.


Sumber: Jurnal Seminars in Respiratory and Critical Care Medicine, 2015

Respon imun innate dan adaptif sangat penting dalam melawan infeksi B.
dermatitidis. Sebaliknya, antibody-mediated immunity tidak
diperlukan. Dalam paru-paru, makrofag alveolar dan neutrofil dapat
mematikan konidia; bagaimanapun dalam kondisi ekperimental, tidak
semua kondia mati. Konidia yang selamat dari pertahanan imun
innate dapat bertunas sebagai ragi. Ragi lebih sulit dimatikan oleh sel
inang sebab mereka menghambat produksi sitokin sel inang,
mengganggu aktivasi T-limfosit CD4+, dan resistan terhadap reactive
oxygen species (ROS), dan secara aktif menekan produksi nitrit
oksida (NO). Respon imun adaptif melibatkan aktivasi T-limfosit Th1
dan Th17 dari aktivitas fungisidal makrofag. Dalam pemulihan dari
blastomikosis, pasien mengembangkan cell-mediated immunity yang
mampu bertahan minimal 2 tahun (Smith & Gauthier, 2015).

4) Parakoksidioidomikosis
Paracoccidioides brasiliensis adalah agen fungi parakoksidioidomikosis yang sesuai
perubahan suhu bersifat dimorfik (blastomikosis Amerika Selatan), yang berbatasan dengan
daerah endemik di Amerika Tengah dan Selatan (Jawetz, et al., 2014).

(a) Morfologi & ldentifikasi


Biakan bentuk kapang P. brasiliensis tumbuh sangat lambat dan menghasilkan
klamidospora serta konidia. Gambarannya tidak jelas. Pada suhu 36C, di medium yang
kaya, kapang tersebut membentuk banyak sel ragi besar bertunas (sampai 30 m). Raginya
berukuran lebih besar dan berdinding lebih tipis daripada B dermatitidis. Tunas menempel
melalui penghubung yang sempit (Jawetz, et al., 2014).

Gambar 1.4 Paracoccidioides brasiliensis dalam bentuk ragi besar dengan banyak tunas.
Sumber: An Bras Dermatol. 2011;86(3):516-25

(b) Patogenesis & Gejala Klinis


P. brasiliensis masuk melalui inhalasi dan lesi awalnya muncul di paru. Setelah periode
dormansi yang dapat beriangsung selama beberapa dekade, granuloma paru menjadi aktif,
sehingga terjadi penyakit paru kronik progresif atau diseminata. Sebagian besar pasien berusia
30-60 tahun, dan lebih dari 90% pasien adalah pria. Beberapa pasien (<10%), biasanya
berusia kurang dari 30 tahun, mengalami infeksi akut atau subakut yang progresif dengan
waktu inkubasi yang lebih singkat. Pada kasus parakoksidioidomikosis kronik yang umum,
ragi menyebar dari paru ke organ lain, terutama kulit dan jaringan mukokutan, kelenjar getah
bening, limpa, hati, adrenal, dan tempat lain. Banyak pasien datang dengan luka yang rasa
nyeri di mukosa oral. Pemeriksaan histologi biasanya menunjukkan baik granuloma
berkaseosa ditengahnya ataupun mikroabses. Ragi sering ditemukan dalam sel raksasa atau
secara langsung dalam eksudat dari lesi mukokutan. Survei uji kulit telah dilakukan
menggunakan ekstrak antigen, parakoksidioidin, yang dapat bereaksi silang dengan
koksidioidin atau histoplasmin (Jawetz, et al., 2014).

Gambar 1.5 Lesi kulit pada individu terinfeksi P. brasiliensis.


Sumber: NetHealthBook.com

(c) Epidemiologi
Parakoksidioidomikosis terutama terjadi di daerah pinggiran Amerika Latin, khususnya di
antara para petani. Manifestasi penyakit jauh lebih sering terjadi pada pria daripada wanita,
tetapi frekuensi infeksi dan reaktivitas uji kulit sama pada kedua jenis kelamin. Oleh karena P.
brasiliensis jarang diisolasi dari alam, habitat alaminya belum dapat ditentukan. Sama seperti
mikosisendemik lain, parakoksidioidomikosis tidak menular (Jawetz, et al., 2014).

Brooks, G.F., Janet, S.B., Stephen A.M. 2014. Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi
Kedokteran Edisi 25. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Smith, J.A. & Gauthier, G. (2015) New Developments in Blastomycosis. Seminars in Respiratory and
Critical Care Medicine. 36(5):715-728.

Pamungkas, A.S. 2016. Mikosis Paru. Referat. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit dalam RSUD
Karawang Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai