Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan pemerintah untuk keuntungan


pribadi yang dapat merugikan pihak-pihak lain terutama uang negara. Korupsi
tidak hanya terkait dengan penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan,
tetapi juga oleh pihak swasta dan pejabat-pejabat ranah publik baik polisi,
pergawai negeri maupun orang-orang dekat mereka.
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah
mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak
jarang yang menganggap korupsi sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar.
Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan,
maka akan membuat stress para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses
ketidaksengajaan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang
sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Tak urung
kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya
penegakan hukum untuk menumpas koruptor di negara kita.
Sungguh ironi permasalahan di negeri tercinta ini, korupsi kini sudah menjadi
permasalahan serius di negeri ini, budaya korupsi sudah sangat mengakar dari
generasi pendahulu sampai sekarang kasus korupsi sudah tidak terhitung lagi
jumlahnya. Meskipun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
beberapa Instansi anti korupsi lainnya. Namun faktanya negeri ini masih
menduduki rangking atas sebagai negara terkorup di dunia. Oleh karena itu,
korupsi patut menjadi perhatian serius bagi kita semua.
Pendidikan anti korupsi sesungguhnya sangat penting guna mencegah tindak
pidana korupsi. Jika KPK dan beberapa instansi anti korupsi lainnya
menangkapai para koruptor, maka Pendidikan Anti Korupsi juga penting guna
mencegah adanya koruptor. Sama pentingnya seperti pelajaran akhlak, moral dan

1
sebagainya. Pelajaran akhlak dan moral penting guna mencegah terjadinya
kriminalitas. Begitu halnya pendidikan anti korupsi itu penting guna mencegah
aksi korupsi.

1.2 Rumusan Masalah

Seperti yang kita ketahui, korupsi adalah tindak pidana yang dapat
merugikan orang banyak, oleh karena itu pada makalah ini kami akan
memaparkan atau menguraikan tentang :
a. Apakah pengertian korupsi?
b. Bagaimanakah ciri, pola dan modus korupsi?
c. Bagaimanakah korupsi dalam berbagai perspektif?

1.3 Tujuan Penulisan


a. Mahasiswa mampu memahami pengertian korupsi.
b. Mahasiswa mampu memahami tentang cirri, pola dan modus korupsi.
c. Mahasisiwa mampu memahami tentang korupsi dalam berbagai
perspektif.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi

2
Secara etimologi Korupsi berasal daribahasa Latin, yaitu corruptio dari kata
kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok/ menyuap. Secara harfiah, korupsi adalah tindakan pejabat publik,
baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam
tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan
keuntungan sepihak. Dari sudut pandang umum, tindak pidana korupsi secara
garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

Tidak takut pada Tuhan dan tidak menganggap adanya Tuhan.

Perbuatan melawan hukum.

Kenikmatan hanya di dunia dengan sering menganiaya rakyat dan


memperbudaknya.

Menganggap rakyat adalah babu yang harus menyetor uang dan memenuhi
kebutuhanya.

Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,

Memperkaya diri sendiri, keluarga, atau orang lain dan merugikan


keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, yaitu :

Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan.

Penggelapan dalam jabatan.

Pemerasan dalam jabatan.

3
Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara),
dan

Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah atau pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi
dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk
sepele atau berat, serta terorganisasi atau tidak. Walaupun korupsi sering
memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan
prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk
mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk
membedakan antara korupsi dan kriminalitas atau kejahatan. Tergantung dari
negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi
atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat
namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
The Encyclopedia Americana mendefinisikan korupsi sebagai a general
term for the misuse of public position of trust for private gain. Its specific
definition and application vary according to time, place and culturepolitical
corruption concerns the illegal pursuit or misuse of public office.
Sedangkan The Harper Collin Dictionary of Sociology mendefinisikan
korupsi sebagai the abandonment of expected standards of behavior by those in
authority for the sake of unsanctional personal advantage.
Menurut Bank Dunia, korupsi adalah the abuse of public power for private
benefit.

4
Dari aspek hukum, korupsi merupakan all illegal or unethical use of
governmental authority as result of considerations of personal or political gain.
Jika melihat dari pengertian korupsi diatas, bisa disimpulkan jika korupsi
adalah sejenis penghianatan, dalam hal ini adalah penghianatan terhadap rakyat
yang telah memberikan amanah dalam mengemban tugas tertentu.

2.2 Ciri, Pola dan Modus Korupsi

2.2.1 Ciri-Ciri Korupsi

Suatu tindakan dapat diidentifikasikan sebagai korupsi apabila memenuhi


unsur-unsur:

a. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan


b. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat
umumnya
c. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus
d. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dengan keadaan di mana orang-orang
berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu
e. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak
f. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama dalam bentuk uang atau yang
lain
g. Terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan
yang pasti dan mereka dapat mempengaruhinya
h. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk
pengesahan hukum
i. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang
melakukan korupsi.

Menurut Alatas (1983), ciri-ciri korupsi adalah :

a. Dilakukan lebih dari satu orang.


b. Merahasiakan motif, ada keuntungan yang ingin diraih.
c. Berhubungan dengan kekuasaan/kewenangan tertentu.
d. Berlindung di balik pembenaran hukum
e. Melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum.
f. Mengkhianati kepercayaan.

5
Kita memahami korupsi adalah dengan memahami pencurian dan
penggelapan. Pencurian (berdasarkan pemahaman pasal 362 KUHP) adalah
perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau
seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/hak yang
berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.

Rumus:

Pencurian = secara melawan hukum + mengambil sebagian atau seluruhnya


barang atau hak orang lain + tujuannya memiliki atau
memperoleh keuntungan.

Penggelapan (berdasarkan pemahaman pasal 372 KUHP) adalah pencurian


barang/hak yang dipercayakan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada
penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku.

Rumus:

Penggelapan = pencurian barang/hak yang dipercayakan atau berada dalam


kekuasaan si pelaku + penyalahgunaan kewenangan/kepercayaan.

Korupsi sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pencurian dan penggelapan,


hanya saja unsur-unsur pembentuknya lebih lengkap.

Rumus:

Korupsi = (secara melawan hukum + mengambil hak orang lain + tujuan


memiliki atau mendapat keuntungan) + ada penyalahgunaan
kewenangan/kepercayaan + menimbulkan kerugian negara

= (pencurian + penyalahgunaan kewenangan/ kepercayaan) +


kerugian negara

6
=penggelapan + kerugian negara

Jadi korupsi dapat dipahami juga sebagai penggelapan yang mengakibatkan


kerugian negara.

2.2.2 Pola Korupsi

Pola Umum Korupsi

a. Penyuapan (Bribery)
Penyuapan adalah usaha menggunakan suap untuk memperoleh atau
mempertahankan bisnis, menerima perlindungan, atau memperoleh
keuntungan yang tidak sah dari pihak lain (pemerintah, perusahaan lain).
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang termasuk
penyuapan :
1) Kasus Penyuapan Akil Mochtar
KPK menangkap Akil Mochtar terkait dugaan menerima
suap dalam penanganan gugatan pemilukada Kabupaten Gunung Mas,
Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten. Ia dan 5 orang
lainnya resmi ditetapkan sebgai tersangka oleh KPK. Di ruang kerja
Akil di gedung Mahkamah Konstitusi, penyidik KPK menemukan
narkoba dan obat kuat pada saat dilakukannya penggeledahan. Barang
bukti tersebut langsung diserahkan ke pihak kepolisian dan ditangani
pihak BNN serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi
memberhentikan Akil Mochtar dari posisi Ketua Mahkamah Konstitusi
setelah menggelar pertemuan dengan beberapa pimpinan lembaga
tinggi negara.
2) Kasus Penyuapan Rudi Rubiandini
Rubi Rubiandini, kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), resmi
ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka
kasusu penyuapan. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto
menjelaskan Rudi dan seseorang berinisial A dijerat Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi karena menerima uang suap. Penyuapan ini

7
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang menjaadi lingkup
kewenangan dari SKK Migas.
b. Penggelapan (Embezzlement)
Penggelapan (berdasarkan pemahaman pasal 372 KUHP) adalah
pencurian barang/hak yang dipercayakan atau berada dalam kekuasaan si
pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku.
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang termasuk
penggelapan :
Kasus Penggelapan Uang Pajak oleh Gayus Halomoan Tambunan
Gayus Halomoan Tambunan bekerja di kantor pusat pajak dengan
menjabat bagian Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Posisi
yang sangat strategis, sehingga ia dituduh bermain sebagai makelar kasus
(Markus). Kasus pun berlanjut karena diduga banyak pejabat tinggi Polri
yang terlibat dalam kasus Gayus. Gayus dijadikan tersangka oleh Polri
pada November 2009 terkait kepemilikan uang yang mencurigakan di
rekeningnya mencapai Rp 25 miliar. Gayus terindikasi melakukan tindak
pidana korupsi, pencucian uang, dan penggelapan senilai Rp 395 juta.
Namun di persidangan, jaksa hanya menjerat pasal penggelapan saja,
dengan alasan uang yang diduga hasil korupsi telah dikembalikan. Sisa
uang Rp 24,6 miliar, atas perintah jaksa, blokirnya dibuka. Hakim pun
memutuskan Gayus divonis 6 bulan penjara daan masa percobaan setahun.
c. Komisi (Commission)
Komisi adalah sekelompok orang yang ditunjuk (diberi wewenang)
oleh pemerintah atau rapat untuk menjalankan fungsi (tugas) tertentu.
Imbalan (uang) atau presentase tertentu yang dibayarkan karena jasa yang
diberikan dalam jual beli.
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang termasuk
komisi :
Kasus Pemberian Komisi
Pemberian jasa Kolportir TVRI ini terjadi pada bulan Juli 2007
sampai November 2008.Menurut dokumen yang diperoleh Tempo,
penerimaan dana kas pegawai lewat jasa petugas pemasaran sebesar Rp 61
miliar. Dari jumlah tersebut, dilakukan pengeluaran dana dari kas TVRI
sebagai komisi jasa kolportir sebesar Rp 6 miliar. Penerimaan ini berasal

8
dari penjualan program, iklan, kerjasama dengan lembaga pemerintah,
penyewaan aset TVRI. Dari Rp 6 miliar itu, Rp 4 miliar diantaranya
diberikan kepada pegawai TVRI (berstatus pegawai negeri sipil) yang
ditunjuk oleh direksi sebagai petugas pemasaran. Adapun Rp 2,1 miliar-
nya dimasukkan kas pegawai yang dikelola tersendiri. Kebijakan
pemberian uang jasa kolportir ini didasarkan pada surat keputusan yang
diterbitkan Direktur Utama TVRI kala itu.
d. Pemerasan (Extortion)
Pemerasan (Belanda: afpersing; Inggris: blackmail), adalah satu
jenis tindak pidana umum yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia.
Spesifik tindak pidana ini diatur dalam pasal 368 KUHP. Dalam struktur
KUHP, tindak pidana pemerasan diatur dalam satu bab (Bab XXIII)
bersama tindak pidana pengancaman. Karena itu kata afpersing sering
digabung dengan kata afdreiging yang diatur pasal 369 KUHP. Kata
pemerasan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar peras yang
bisa bermakna leksikal meminta uang dan jenis lain dengan ancaman
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 855). Afpersing berasal dari kata
kerja afpersen yang berarti memeras (Marjanne Termorshuizen, 1999: 16).
Dalam Blacks Law Dictionary (2004: 180), lema blackmail
diartikan sebagai a threatening demand made without justification.
Sinonim dengan extortion, yaitu suatu perbuatan untuk memperoleh
sesuatu dengan cara melawan hukum seperti tekanan atau paksaan.
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang termasuk
pemerasan :
Kasus Pemerasan Ratu Atut Chosiyah
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ditetapkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus dugaan
pemerasan terkait pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten.
e. Pilih Kasih (Favoritism)
Pilih kasih merupakan sikap/tindakan memilih-milih orang yang
menjadi kesayangan, sikap pilih-kasih, sikap pilih bulu.
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang termasuk pilih
kasih :
Pilih Kasih Dalam Menangani Kasus Kecelakaan

9
Ninik Setyowati, seorang ibu berusia 45 tahun ditetapkan
sebagai tersangka oleh Polres Banyumas terkait kasus kecelakaan lalu
lintas yang mengakibatkan kematian pada anaknya berusia 11 tahun,
Sumaratih Sekar Hanifah. Kecelakaan ini berawal dari truk gandeng
bermuatan tepung terigu yang menyerempet sepeda motor yang digunakan
Ninik dan Kumaratih hingga mengakibatkan kaki kiri Ninik luka parah,
sedangkan anaknya meninggal dunia karena terlindas truk. Namun sangat
disayangkan, meskipun Ninik adalah korban, pihak kepolisian menyatakan
bahwa kecelakaan tersebut diakibatkan oleh kelalaian Ninik dan menjerat
Ninik dengan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sedangkan kasus yang hampir
serupa, yaitu kasus kecelakaan yang melibatkan anak bungsu Menteri
Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Muhammad Rasyid Amrullah
Rajasa. Meskipun, ia telah ditetapkn sebagai tersangka. Polri hingga kini
tak menahan Rasyid. Polri terkesan lamban dan pilih kasih dalam
menangani kasus tersebut.
f. Penyalahgunaan Wewenang (Abuse of Discretion)
Menurut Hukum Administrasi penyalahgunaan wewenang adalah
segala tindakan pemerintah yang meliputi :
1) Bertentangan dengan kepentingan umum
2) Menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh UU atau
peraturan lainnya
3) Menyalahgunakan suatu prosedur
Lanjut Sjachran Basah menyatakan bahwa Perbuatan administrasi
negara yang menyalahgunakan wewenang (Abuse of Discretion) adalah
perbuatan yang menggunakan wewenang yang mencapai kepentingan
umum yang lain dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh
peraturan, yang menjadi dasar kewenangannya itu dan merugikan pihak
yang terkena atau perbuatan untuk kepentingan diri sendiri atau untuk
kepentingan orang lain atau golongan lain.
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang termasuk
penyalahgunaan wewenang :
Korupsi Pembangunan Sport Center Hambalang

10
Direktur Utama PT Dutasari Citralaras, Mahfud Suroso ditetapkan
sebagi tersangka berikutnya oleh KPK dalam kasus pengadaan sarana
dan prasarana olahraga di Hambalang, Bogor. Mahfud diduga
melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana
diubah dengannn UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Paasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Selain diduga
menyalahgunakan wewenang yang merugikan negara hingga Rp 463
miliar, Mahfud, selaku bos dari perusahaan yang subkontraktor dari PT
Adhi Karya dalam penyediaan jasa instalansi kelistrikan, diduga
sebagai pihak yang diuntungkan dalam proyek tersebut. Mahfud
mengakui bahwa PT Dutasari menerima uang Rp 63 miliar dari proyek
Hambalang yang menurut dia merupakan uang muka dari pengerjaan
elektrikal mekanikal proyek Hambalang yang disubkontrakan ke PT
Dutasari Citralaras.
g. Bisnis Orang Dalam (Insider Trading)
Perdagangan orang dalam adalah sebutan bagi perdagangan
saham atau sekuritas (contohnya obligasi) perusahaan oleh orang-orang
dalamperusahaan tersebut. Dalam beberapa yurisdiksi, perdagangan orang
dalam bisa dilakukan dan sah menurut hukum, namun istilah ini umumnya
merujuk kepada kegiatan ilegal di lingkungan pasar finansial untuk
mencari keuntungan yang biasanya dilakukan dengan cara memanfaatkan
informasi internal, misalnya rencana-rencana atau keputusan-keputusan
perusahaan yang belum dipublikasikan.
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang termasuk
bisnis orang dalam :
Korupsi Yang Melibatkan Orang Dalam
Kasus dugaan korupsi proyek videotron yang melibatkan anak
mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Sjarifuddin Hasan,
Riefan Avrian, ternyata melibatkan pegawai di lingkungan kementerian.
Informasi ini terungkap saat pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
h. Nepotisme (Nepotion)

11
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab
berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini
biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Nepotisme adalah
pemanfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau
penghasilan, bagi keluarga atau kerabat dekat pejabat, sehingga menutup
kesempatan bagi orang lain.
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang termasuk
nepotisme :
Korupsi yang Melibatkan Keluarga Ratu Atut
LSM ICW telah menyerahkan data dugaan korupsi yang diduga
melibatkan keluarga Ratu Atut, antara lain terkait kampanye
pemenangannya dalam pemilihan gubernur Banten, 2011 lalu. Terdapat
tiga temuan besar, antara lain uang hibah dari APBD Banten yang
diberikan kepada lembaga milik keluarga (Atut). Mulai dari anak, menantu
suami, kakak, hingga adik Atut. Namun dalam berbagai kesempatan, Ratu
Atut selalu membantah semua tuduhan dugaan korupsi yang diarahkan
kepadanya.

i. Sumbangan Ilegal (Illegal Contribution)


Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang termasuk
sumbangan ilegal :
Praktik Nakal Sumbangan Fiktif
Ada kelompok peminta sumbangan untuk pembangunan
rumah ibadah dan yayasan anak yatim di pinggiran Bekasi, Jawa Barat
yang dicurigai fiktif. Penelusuran dimulai dengan mangejar keberadaan
seorang peminta-minta sumbangan dengan memakai proposal yang
disinyalir tinggal disebuah permukiman. Namun, saat ditelusuri tidak ada
orang ditempat. Setelah kami berpindah kampung, target akhirnya
terlacak. Sang peminta sumbangan yang selalu berkeliaran dengan modal
menenteng surat sekaligus proposalnya berhasil ditemui.
j. Pemalsuan (Fraud)
Pemalsuan adalah proses pembuatan, beradaptasi, meniru atau
benda, statistik, atau dokumen-dokumen (lihat dokumen palsu), dengan
maksud untuk menipu. Kejahatan yang serupa dengan penipuan adalah

12
kejahatan memperdaya yang lain, termasuk melalui penggunaan benda
yang diperoleh melalui pemalsuan.
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang termasuk
pemalsuan :
Kasus Pemalsuan Ijizah dan Nilai
Dwi Hartono alias Ferry, mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK)
Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) aangkatan 2004 adalah salah
seorang tersangka yang terjerat kasus pemalsuan ijazah dan nilai. Diaakui
Ferry aksinya sudah ia lakukan sejak 2006 melalui sebuaah lembaga
bimbingan belajaar yang dikenai biaya sebesar Rp 50 juta hingga Rp 1
Milyar. Ia juga mengaku telah melakukan pemalsuan ini bersama ejumlah
rekannya.

POLA UMUM KORUPSI

Penyuapa
Pemalsuan Penggelap
Bagaimana dan
Sumbangan darimanaa Uang- Komisi
Barang- Fasilitas hasil
korupsi diperoleh Pemerasa
Nepotisme

Bisnis Orang Pilih Kasih

Penyalahgunaan

2.2.3 Modus Korupsi

13
Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia, menurut Richard Robison
(1986) pada dasarnya berakar pada bertahannya jenis birokrasi patrimonial
di negeri ini. Dalam birokrasi jenis itu, dilakukannya korupsi oleh para
birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan
dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat
kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini,
sehingga cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Ada banyak hal yang
menjadi penyebab terbukanya peluang korupsi di pemerintahan daerah.
Namun, dalam banyak kasus secara umum penyalahgunaan kekuasaan untuk
meraih keuntungan pribadi dapat dihubungkan dengan tiga elemen, yaitu:

merembesnya insentif, minimnya informasi kepada publik dan transparansi,


kurangnya akuntabilitas.

a. Modus Korupsi saat ini bahkan telah melibatkan keluarga:

1) Melakukan korupsi bersama-sama

Suami dengan istri

Ayah/Ibu dengan anak

Kolaborasi dengan kerabat dekat lain (Adik/Kakak,


Ipar,Mertua/menantu, dst)

2) Melibatkan anggota keluarga sebagai sarana tindak pencucian uang

Rekening bank

Polis asuransi

Investasi/Aset

b. Modus Korupsi Sektor Kesehatan

14
Dari data pengaduan masyarakat sejak 2005-2012, KPK melakukan
inventarisasi mosdus-modus korupsi seektor kesehatan terbanyak
berupa:

1) Penyelenggaraan APBN/APBD sektor kesehatan, Jamkesmas,


Jampersal dan Jamkesda

2) Intervensi politik dalam anggaaran kesehatan, jaminan kesehatan dan


ASKESKIN

3) Pungli oleh PNS (Dinas Kesehatan) dan pemotongan dana bantuan

4) Kecurangan dalam pengadaan barang/jasa, terutama alat kesehatan

5) Penyalahgunaan keuangan RSUD

6) Klaim palsu dan penggelapan dana asuransi kesehatan oleh oknum


Puskesmas dan RSUD

7) Penyalahgunaan fasilitas kesehtan (Puskesmas dan RSUD)

Modus korupsi adalah cara-cara bagaimana korupsi itu dilakukan.


Banyak modus-modus dalam korupsi. Di bawah ini hanyalah sekedar
contoh bagaimana modus korupsi itu dilakukan :

Pemerasan Pajak

Pemeriksa pajak yang memeriksa wajib pajak menemukan


kesalahan perhitungan pajak yang mengakibatkan kekurangan
pembayaran pajak. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa karena
kesengajaan wajib pajak dan bisa juga bukan karena kesengajaan.
Kekurangan tersebut dianggap tidak ada dan imbalannya wajib
pajak harus membayarkan sebagian kekurangan tersebut masuk
ke kantong pemeriksa pajak.

15
Manipulasi Tanah

Berbagai cara dilakukan untuk memanipulasi status kepemilikan


tanah termasuk, memanipulasi tanah negara menjadi milik
perorangan/badan, merendahkan pembebasan tanah dan
meninggikan pertanggungjawaban, membebaskan terlebih dahulu
tanah yang akan kena proyek dengan harga murah.

Jalur Cepat Pembuatan KTP

Dalam Pembuatan KTP dikenal jalur biasa dan jalur cepat.


Jalur biasa adalah jalur prosedural biasa, yang mungkin
waktunya lebih lama tapi biayanya lebih murah. Sedangkan jalur
cepat adalah proses pembuatannya lebih capat dan harganya
lebih mahal.

SIM Jalur Cepat

Dalam proses pembuatan SIM secara resmi, diberlakukan


ujian/tes tertulis dan praktek yang dianggap oleh sebagian warga,
terutama sopir akan mempersulit pembuatan SIM. Untuk
mempercepat proses itu mereka membayar lebih besar, asalkan
tidak harus mengikuti ujian. Biaya tidak resmi pengurusan SIM
biasanya langsung ditetapkan oleh petugas. Biasanya yang
terlibat dalam praktek ini adalah warga yang mengurus SIM dan
oknum petugas yang menangani kepengurusan SIM.

Markup Budget/Anggaran

Biasanya terjadi dalam proyek dengan cara menggelembungkan


besarnya dana proyek dengan cara memasukkan pos-pos
pembelian yang sifatnya fiktif. Misalnya dalam anggaran
dimasukkan pembelian komputer tetapi pada prakteknya tidak

16
ada komputer yang dibeli atau kalau komputer dibeli harganya
lebih murah.

Proses Tender

Dalam proses tender pengerjaan tender seperti perbaikan jalan


atau pembangunan jembatan seringkali terjadi penyelewengan.
Pihak yang sebenarnya memenuhi persyaratan tender, terkadang
tidak memenangkan tender karena telah dimenangkan oleh pihak
yang mampu main belakang dengan membayar lebih mahal,
walaupun tidak memenuhi syarat. Dalam hal ini telah terjadi
penyogokan kepada pemberi tender oleh peserta tender yang
sebenarnya tidak qualified

Penyelewengan dalam Penyelesaian Perkara

Korupsi terjadi tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi mengubah


(menafsirkan secara sepihak) pasal-pasal yang ada untuk
meringankan hukuman kepada pihak yang memberi uang kepada
penegak hukum. Praktek ini melibatkan terdakwa/tersangka,
penegak hukum (hakim/jaksa) dan pengacara.

Konvensional Political Corruption State Capture


Corruption
SPPD Tiket dan PenjarahanAPBD/APBN Desain kebijakan
Modus Program fiktif yang produktif
PNS Penegak Birokrat Makelar Pengurus Birokrat Makelar
hukum parpol Anggota DPR/DPRD Pengurus parpol
Aktor dll Anggota
DPR/DPRD

17
2.3 Korupsi dalam Berbagai Perspekif

Sudah sejak lama masalah korupsi dianggap sebagai persoalan berat


dan mendesak yang harus diatasi dan menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa
Indonesia kedepannya. Melihat realita banyaknya kasus korupsi yang terjadi
di Indonesia akhir-akhir ini, seolah-olah menjadikan masalah korupsi sebagai
sesuatu hal yang sepertinya sudah biasa terjadi, hampir bisa dipastikan
setiap hari media massa baik cetak maupun elektronik menyajikan berbagai
ragam berita tentang kasus korupsi di negeri ini. Tak dapat dipastikan, apakah
korupsi memang sudah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia
sehingga dengan mudah dapat ditemukan di berbagai lini kehidupan di
masyarakat ataukah memang kinerja lembaga yang menangani masalah
korupsi di negeri ini mulai menunjukkan taji-nya dalam menguak serta
memberantas berbagai masalah korupsi yang terjadi. Korupsi memiliki
berbagai persperktif dari berbagai bidang yaitu dalam bidang sosial-
budaya,.agama, ekonomi, politik, pancasila, dan hukum.

2.3.1 Korupsi dalam perspektif Sosial-Budaya

Praktik korupsi di Indonesia sudah di luar nalar sehat. Korupsi itu


bukan hanya dilihat dari miliaran rupiah yang dicuri, melainkan
pelakunya juga orang-orang terhormat di lembaga kenegaraan dan
pemerintahan. Bahkan, di antara pelaku korupsi itu ada yang berasal
dari akademisi dan aktivis gerakan antikorupsi, komunitas yang
dianggap sebagai pengawal moralitas publik dan penjaga etika sosial.

Dalam ilmu antropologi memandang masalah korupsi melalui tiga


perspektif , yaitu pertama prespektif negara patrimonial, dalam situasi
suatu negara korupsi muncul karena para pemimpin dan
elit penguasa mengendalikan sumber daya ekonomi politik. Dalam
perspektif ini terdapat hubungan patron-klien yang tidak setara antara
birokrat, lembaga legislatif, dan pengusaha. Relasi kuasa patron-kien

18
inilah yang terjadi di Indonesia, DPR berperan sebagai patron bagi
pengusaha dan birokrat yang menjadi klien mereka. Relasi yang
terbangun diantara mereka adalah relasi kepentingan masing-masing
yang saling menguntungkan.

Kedua, perspektif teori Gift Exchange, pandangan ini merujuk


pada masyarakat primitive di mana relasi social antara individu sangat
dekat, interaksi dalam masyarakat terjadi secara langsung (face to face)
yang tercermin melalui kebiasaan bertukar hadiah. Teori ini
dikemukakan oleh ahli antropologi Prancis Marces Mauss dalam The
Gift (1954). Sebenarnya kebiasaan bertukar hadiah merupakan bentuk
relasi social yang harmonis di masyarakat. Pemberian hadian
merupakan bentuk penghormatan antara warga satu dengan yang lain.
Namun, pada praktik korupsi di Indonesia, praktik saling bertukar
hadiah menjadi alat untuk memperlancar kepentingan, misalnya untuk
memperlancar proyek tertentu. Sehingga dalam kaitannya dengan yang
telah disebutkan di atas, jelas masyarakat modern telah
menyelewengkan makna sosial bertukar hadiah yang merupakan
kearifan masyarakat primitive.

Ketiga, persepktif relativisme kultural. Teori ini yang


menyebutkan bahwa praktik korupsi kembali pada nilai-nilai budaya
yang berlaku di masyarakat. Mengacu pada perspektif ini, korupsi
ini merupakan konsep modern dan muncul dalam wacana
modernitas.Sehingga, pengertian korupsi akan berbeda menurut
konteks budaya setiap masyarakat. Wacana modernitas memberikan
pengertian pada korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan dan
wewenang untuk kepentingan pribadi atau keuntungan ekonomis.

2.3.2 Korupsi dalam perspektif Agama

19
Agama merupakan salah satu hal yang sangat berhubungan erat
dengan kasus korupsi, karena agama merupakan dasar dari segala
kepercayaan dan keyakinan tiap individu. Dalam semua ajaran agama,
tidak ada yang mengajarkan umatnya untuk berlaku atau melakukan
tindakan korupsi. Namun pada kenyataannya, praktek korupsi sudah
menjadi kegiatan yang tidak asing, dan secara sadar atau tidak, terjadi
dalam berbagai aspek kehidupan, terutama kehidupan sehari-hari.
Sebuah negara agama tidak menjanjikan kebersihan negara itu
sendiri dari praktek korupsi. Indonesia sebagai negara yang memiliki
penduduk mayoritas Muslim, maupun negara-negara di Amerika Latin
yang mayoraitas penduduknya bukan non-Muslim memiliki citra
yang serupa di mata dunia terkait dengan praktek korupsi yang terjadi
di masing-masing negara.
Hukum korupsi dalam berbagai ajaran agama dan tradisi lain ada
beragam, diantaranya yaitu:
1) Kristen: suap dapat butakan mata (hati), agar terus jaga
tatanan hidup, hidup adalah perjuangan, takut kepada Tuhan,
jauhkan koruptor.
2) Hindu: pemimpin korup tak akan hidup kembali, suap sebagai
pintu masuk dosa, pendosa tak diakui oleh Tuhan dan kena
karma, etika kau rasakan apa yang kurasakan, agar terus
hidup sederhana.
3) Konfusianis: pendidikan beretika, pengendalian diri,
pemerintahan akan hancur bila rakyat sudah tak menaruh
kepercayaan terhadapnya.
4) Buddha: tujuan hidup yaitu nirwana (puncak), manusia korup
akan tak bahagia.
5) Islam: Islam sebagai agama yang (syamil) sangat
mengharamkan praktik suap-menyuap bahkan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam mengutuk (melaknat) para pelaku

20
hingga penghubung suap-menyuap sebagaimana hadits
tersebut.

2.3.3 Korupsi dalam perspektif Ekonomi

Perspektif ekonomi melihat bahwa pendapatan berkorelasi


signifikan terhadap perilaku koruptif. Disamping itu, upaya yang terus
menerus untuk meningkatkan pendapatan masyarakat harus terus
dilakukan, karena kemiskinan juga menjadi masalah utama yang
mendorong perilaku korup. Mbaku (2000), seorang peneliti korupsi
Afrika, menyatakan bahwa peran dari suatu negara adalah untuk
menyokong kemampuan para pengusaha untuk menaikkan tingkat
kemakmuran masyarakat yang bisa digunakan untuk mengatasi
masalah kemiskinan yang ada. Hal ini berkaitan dengan penyebab
munculnya korupsi di Afrika yang ternyata adalah miskinnya
pengembangan institusi dan distorsi dari struktur insentif pemerintah.
Pemikiran para penganut perspektif ekonomi ini sempat menjadi
perdebatan di Indonesia dikala praktek korupsi sering bermunculan.
Penyesuaian gaji dalam bentuk remunerasi menjadi salah satu tuntutan
pada pejabat publik di sekitar tahun 2007an. Bahkan di beberapa
lembaga pemerintah kebijakan tersebut diimplementasikan seperti
misalnya Badan Pemeriksa Keuangan dan Jajaran Departemen
Keuangan yang mengalami kenaikan gaji signifikan. Pada waktu itu
masalah struktur gaji menjadi salah satu problem serius dalam
birokrasi pemerintah di Indonesia. Masalah gaji tersebut telah
menyentuh rasa ketidakadilan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Kerja tidak kerja gaji sama, asal golongan dan masa kerja sama. Tidak
ada pembedaan antara mereka yang bekerja giat dan berprestasi
dengan mereka yang malas.
Fenomena diatas bukannya tanpa kritikan atau tentangan dari
berbagai pihak. Salah satunya Soerdano, seorang kritikus yang

21
menentang kebijakan remunerasi, mempertanyakan efektivitas
kebijakan tersebut dalam upaya pemberantasan korupsi. Soedarno
(2008) menyatakan bahwa jumlah gaji yang tinggi tidak menjamin
seseorang untuk tidak melakukan perbuatan korup. Dia menunjukkan
kasus-kasus korupsi yang terjadi di Bulog, pertamina, Bank Mandiri,
dan Bank Indonesia, bukan disebabkan karena rendahnya gaji dan
dengan demikian menurutnya, tidak terdapat korelasi antara gaji yang
tinggi dengan perbuatan korupsi. Hal serupa juga muncul dari sebuah
tulisan dari Taufiq (2008), bahwa kebijakan remunerasi tidak
menjamin suatu institusi bebas dari korupsi. Apa yang diutarakan oleh
dua kritikus diatas memang membuktikan keadaan sebenarnya,
kenaikan gaji yang semula dianggap sebagai metode dalam upaya
pemberantasan korupsi agaknya berjalan nihil. Ternyata gaji memang
tidak selamanya berkorelasi signifikan terhadap perilaku korup para
pejabat publik di negeri ini. Perilaku korup tersebut, ternyata menyeret
para pejabat publik dengan gaji yang mentereng, kita sebut saja
mantan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini.
Dia menerima gaji Rp 220 juta dan ditambah gaji sebagai
Komisaris Bank Mandiri Rp 75 juta per bulan. Dengan pendapatan
yang hampir mendekati 300 juta itu tidak akan habis dimakan sebulan.
Sehingga Abraham Samad pada saat memberikan pidato ilmiah kuliah
perdana pascasarjana UGM, Kamis (5-9-2013) mengatakan Kalau dia
korupsi luar biasa dia serakah. Kasus Kepala SKK Migas ini hanya
salah satu contoh dari berbagai perilaku korup yang menyeret pejabat
publik di negeri ini yang sebenarnya telah memiliki pendapatan super
wah.
Dalam kajian ekonomi, pada awalnya peluang itu terbuka karena
adanya pemberian uang dan atau barang secara sukarela dari pengguna
jasa layanan kepada pejabat publik yang melayani, sebagai bentuk
ucapan terima kasih atas layanan yang telah diberikan. Penerimaan
seperti ini karena terjadi sewaktu-waktu, dan bahkan mungkin setiap

22
hari, tidaklah dianggap sebagai korupsi, tetapi dimaknai sebagai suatu
bentuk hubungan yang saling membutuhkan atau bahkan hubungan
persahabatan antara pengguna jasa layanan dengan pemberi layanan
(pejabat publik atau pegawai pemerintah). Pengguna jasa layanan
membutuhkan urusan cepat selesai dan merasa sudah sepantasnya
memberi imbalan jasa, sedangkan pemberi layanan juga merasa sudah
seharusnya menerima imbalan karena jasa yang telah diberikan.
Dalam perkembangan berikutnya, hubungan yang tadinya
bersahabat berubah menjadi bentuk hubungan dagang antara
pembeli dan penjual. Masyarakat pengguna jasa yang
membutuhkan pelayanan harus membeli kepada pejabat pemberi
layanan yang berfungsi menjadi penjual jasa layanan. Dalam
hubungan seperti ini, mereka yang memiliki uang dan penawaran lebih
tinggi akan memperoleh privileges dari pejabat publik.
Sebaliknya yang tidak punya uang harus rela antri agar
memperoleh pelayanan, atau, menurut Kwik Kian Gie, kalau ngotot
tidak mau membayar akan menghadapi kesulitan yang dicari-cari dan
dibuat-buat. Korupsi dalam bentuk transaksi ekonomi seperti ini sudah
mendarah daging (internal ized) di dalam tubuh dan jiwa pejabat
publik, dan ironisnya masyarakat akan merasa aneh dan heran jika
transaksi yang demikian itu tidak ada. Korupsi telah meningkat
menjadi suatu bentuk Kleptokrasi (cleptocracy), dimana masyarakat
sudah tidak berdaya lagi menanggulangi korupsi, bahkan mendukung
korupsi melalui perilaku sehari-hari yang penuh dengan kegiatan suap-
menyuap, ketidakjujuran, penyembunyian fakta, pemalsuan, dan
penyelewengan dalam berbagai bentuknya.
Menurut Rose Ackerman (1999), korupsi terjadi di perbatasan
antara sektor pemerintah dan sektor swasta. Apabila seorang pejabat
pemerintah memiliki kekuasaan penuh terhadap pendistribusian
keuntungan atau biaya kepada sektor swasta, maka terciptalah suatu
insentif untuk penyuapan. Jadi korupsi itu tergantung pada besarnya

23
keuntungan dan biaya yang berada di bawah pengendalian pejabat
pemerintah. Pemerintah membeli dan menjual barang dan jasa,
membagi-bagikan bantuan, mengatur swastanisasi badan usaha milik
negara, dan memberikan konsesi. Para pejabat seringkali memonopoli
informasi yang penting. Pribadi atau perusahaan ingin membayar
sejumlah uang untuk mendapatkan keuntungan dari pemerintah dan
menghindari biaya. Seluruh kegiatan ini menciptakan peluang
terjadinya korupsi. Banyak proyek dalam berbagai sektor dikuasai oleh
pemerintah, dan swasta yang menginginkan proyek-proyek tersebut
harus membayar sejumlah uang suap untuk mendapatkannya, dan
sekaligus menghindari biaya tinggi yang harus dikeluarkan jika pribadi
atau perusahaan tersebut harus mengikuti prosedur administratif yang
melelahkan sementara kepastian untuk mendapatkan proyek tersebut
belum tentu ada.
Kenaikan gaji, tampaknya memang telah membuat korupsi
birokratis dapat sedikit dikendalikan, tetapi untuk jenjang birokrasi
tertentu pemberian kenaikan gaji tidak selalu efektif untuk meredam
nafsu birokrasi untuk melakukan korupsi. Secara teoritis, hubungan
antara gaji dan tingkat korupsi birokrasi masih bersifat mendua
(Ambiguous). Namun terjadinya korupsi itu juga sangat tergantung
pada besarnya keuntungan dan biaya yang berada di bawah
pengendalian pejabat pemerintah.

2.3.4 Korupsi dalam perspektif Politik

Dalam banyak kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini, yang


para pelakunya hampir rata-rata adalah kader Partai Politik. Ada
beberapa hal yang menyebabkan kader partai terjebak menjadi
Koruptor, bisa dikarenakan ingin segera mengembalikan biaya-biaya
politik yang sudah dikeluarkan selama proses pencalonan baik menjadi
Calon Anggota Legislatif, atau juga saat pencalonan menjadi Kepala
Daerah. Sebab lainnya, bisa juga dikarenakan kader tersebut memang

24
bermental korup, sehingga dia dijadikan tumbal dan alat bagi
kekuasaan sebagai mesin pencetak uang, dan memang sudah
mempersiapkan segala resiko dan siap pasang badan.

Biaya politik yang tinggi, sementara Partai Politik tidak


mempunyai sumber pemasukan lain selain sumbangan dari kader
partai, sumbangan-sumbangan ini pun nilainya variatif, besar kecilnya
sumbangan sangat tergantung pada tinggi rendahnya jabatan politik
yang diemban oleh kader partai, apa lagi kader tersebut sangat
berambisi terhadap posisi jabatan dalam struktur Pemerintahan dan
bukanlah karena ditunjuk atas keinginan partai karena kredibilitas dan
integritas yang bersangkutan memang baik, untuk hal seperti ini, tentu
dia harus bayar mahal pada partai, kondisi seperti ini pada akhirnya
akan menjebak dia dalam pusaran korupsi.

Korupsi dalam politik ini bukanlah semata-mata korupsi untuk


kepentingan pemilu dan pilkada, ada kepentingan yang lebih besar
didalamnya, Korupsi dalam politik sangat struktural dan terencana,
sehingga target yang ingin dicapai adalah pelanggengan kekuasaan
dengan menciptakan Dinasty Politik, untuk kepentingan itulah maka
kader pokitik dijadikan mesin pencari uang. Seperti yang dikatakan
Pakar hukum dan Penggiat Hak Azazi Manusia, Todung Mulya Lubis
di Timeline Twitternya:

@TodungLubis: Korupsi politik bkn semata-mata korupsi dl


pemilu dan pilkada. Korupsi politik berhasrat melanggengkan
keberadaan predator politik.

Jadi tidak aneh kalau sekarang ini ada kader politik partai
tertentu tersangkut kasus korupsi, dan kader tersebut merupakan mesin
pencetak uang bagi partai, maka proses hukumnya pun terkesan
berbelit-belit, tapi sebaliknya jika kader partai yang tersangkut tersebut

25
tidaklah memiliki peran begitu penting, maka akan dengan cepat dan
mudah diproses secara hukum.

Korupsi dalam politik sekarang ini sudah lebih berbahaya, karena


semakin memiskinkan rakyat. Pertumbuhan Ekonomi bisa saja kita
respon secara positif sebagai peningkatan kinerja pemerintahan, tapi
kenaikan Inflasi dan pembiaran terhadap tindak kejahatan korupsi pun
bukanlah sesuatu yang patut ditolerir, dan bukan berarti kita tidak
menganggap apa yang sudah dilakukan KPK sebagai tindakan
pemberantasan Korupsi, tapi jika KPK masih tebang pilih dalam
pemberantasan korupsi, itu sama saja dengan KPK sebagai Boneka
bagi penguasa.

2.3.5 Korupsi dalam perspektif Pancasila

Budaya korupsi dalam perspektif Pancasila yang terkandung


dalam masing-masing sila adalah sebagai berikut.
Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Sila ini mengajarkan
agar semua rakyat Indonesia taat dalam beragama sesuai dengan
agama yang dianut. Dalam ajaran beragama tidak ada agama yang
mebenarkan umatnya untuk mencuri, serakah. Korupsi sama halnya
dengan mencuri, mencuri uang rakyat. Dan pastinya merupakan hal
yang bertentangan dengan ajaran beragama.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Korupsi
dikatakan melanggar sila kedua karena menyebabkan kemiskinan di
Indonesia. Bagaimana tidak, uang yang seharusnya digunakan untuk
kepentingan masyarakat umum digunakan untuk kepentingan pribadi
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya
mengakibatkan stratifikasi sosial yang begitu tampak kehidupan
bangsa ini. Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.

26
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sebagai manusia Indonesia kita
harus mampu menem-patkan persatuan, kesatuan serta kepentingan
bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi atau golongan. Korupsi melanggar nilai-nilai persatuan yang
sudah dimiliki bangsa ini sejak jaman peradaban kerajaan. Sebagai
manusia Indonesia yang memiliki amanah sudah menjadi kewajiban
untuk menjalankan tugas yang diberikan negara bukan
mempermainkan tanggung jawab demi memperkaya ataupun
memperoleh kenikmatan tanpa memikirkan yang lain. Sekecil apapun
tindakan korupsi itu jika bukan mengedepankan kepentingan negara,
akan ada potensi perpecahan baik ditingkat lembaga, wilayah daerah
maupun nasional. Pemberantasan korupsi seharusnya adalah upaya
tegas berbentuk persatuan lembaga-lembaga penegak hukum, anggota
masyarakat dan pemerintah.
Sila keempat berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawa-ratan Perwakilan. Dalam upaya
pemberantasan korupsi ataupun penegakkan hukum atas tindakannya
keputusan yang diambil harus mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Dalam hal ini
Pancasila mengajarkan seluruh bangsa Indonesia untuk memberikan
kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melakukan
permusyawaratan artinya tidak perlu dibutuhkan semua elemen bangsa
ini dapat mengatasi masalah apapun dalam menghadapi masalah
nasional termasuk korupsi.
Sila kelima berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Kita tahu Indonesia adalah Negara hukum. Semua perkara
yang terjadi di Indonesia harus diputuskan secara adil dan tidak
memihak sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun realitanya
penegakan hukum di Indonesia belum seadil yang diharapkan. sebagai
perbandingan Kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan bocah 15
tahun berinisial AAL yang mencuri sandal milik Brigadir (Pol) Satu,
Ahmad Rusdi Harahap rasanya tak sebanding dengan ancaman

27
hukuman lima tahun penjara sementara banyak koruptor yang dihukum
hanya 1,5 tahun. Itu pun sewaktu di dalam jeruji besi pelaku korupsi
dalam menikmati penjara versi hotel bintang 5 yang dilengkapi dengan
fasilitas hotel bintang 5 seperti yang dirasakan oleh Artalyta Suryani
yang tersandung kasus penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 2008 silam.
Fenomena diatas menggambarkan bagaimana perspektif
Pancasila tarhadap budaya korupsi sangat memprihatikan dengan
realita yang terjadi di kehidupan bermasyarakat. Untuk itu kita sebagai
bangsa yang baik harus mengimplementasikan secara baik dan benar
Pancasila sebagai pedoman berperilaku. Terutama dalam permasalahan
korupsi, kita harus menanamkan prinsip bahwa korupsi sama hal yang
pelanggaran terhadap Pancasila yang pandangan hidup bangsa ini.

2.3.6 Korupsi dalam perspektif Hukum

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang


telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999
yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana
korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai
perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Kerugian keuangan negara
2) Suap-menyuap
3) Penggelapan dalam jabatan
4) Pemerasan
5) Perbuatan curang
6) Benturan kepentingan dalam pengadaan
7) Gratifikasi

28
Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan
diatas, masih ada tindak pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang tertuang pada UU No.31 Tahun 1999. UU No. 20
Tahun 2001. Jenis tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi itu adalah:
1) Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
2) Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang
tidak benar
3) Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
4) Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan palsu
5) Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan
keterangan atau memberikan keterangan palsu
6) Saksi yang membuka identitas pelapor

29
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Secara etimologi Korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio dari kata
kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok/ menyuap. Secara harfiah, korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu
yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Suatu
tindakan dapat diidentifikasikan sebagai korupsi apabila memenuhi unsur-unsur:

Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan


Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat
umumnya
Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan
khusus
Dilakukan dengan rahasia, kecuali dengan keadaan di mana orang-
orang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu
Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak
Adanya kewajiban dan keuntungan bersama dalam bentuk uang atau
yang lain
Terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki
keputusan yang pasti dan mereka dapat mempengaruhinya
Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk
pengesahan hukum
Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang
melakukan korupsi.

Menurut Alatas (1983), ciri-ciri korupsi adalah :

30
o Dilakukan lebih dari satu orang.
o Merahasiakan motif, ada keuntungan yang ingin diraih.
o Berhubungan dengan kekuasaan/kewenangan tertentu.
o Berlindung di balik pembenaran hokum
o Melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum.
o Mengkhianati kepercayaan.

Adapun pola umum dalam tindakan korupsi yaitu penyuapan (Bribery),


penggelapan (Embezzlement), komisi (Commission), pemerasan (Extortion), pilih
kasih (Favoritism), penyalahgunaan wewenang (Abuse of Discretion), bisnis
orang dalam (Insider Trading), nepotisme (Nepotion), sumbangan ilegal (Illegal
Contribution), pemalsuan (Fraud). Selain pola umum korupsi, terdapat juga
modus korupsi, modus korupsi adalah cara-cara bagaimana korupsi itu dilakukan.
Di bawah ini hanyalah sekedar contoh bagaimana modus korupsi itu dilakukan :

1) Pemerasan Pajak

2) Manipulasi Tanah

3) Jalur Cepat Pembuatan KTP

4) SIM Jalur Cepat

5) Markup Budget/Anggaran

6) Proses Tender

7) Penyelewengan dalam Penyelesaian Perkara

Melihat realita banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia akhir-akhir


ini, seolah-olah menjadikan masalah korupsi sebagai sesuatu hal yang sepertinya
sudah biasa terjadi, hampir bisa dipastikan setiap hari media massa baik cetak
maupun elektronik menyajikan berbagai ragam berita tentang kasus korupsi di
negeri ini. Korupsi memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam berbagai bidang

31
seperti dalam bidang sosial-budaya,.agama, ekonomi, politik, pancasila, dan
hukum.

3.2 Saran

Diharapkan setelah membaca dan memahami mengenai materi korupsi


khususnya mengenai pengertian, ciri-ciri, pola umum, modus, dan perspektif
korupsi dalam berbagai bidang, kita sebagai penerus bangsa dapat
menanamkan dalam diri kita masing-masing agar menjauhkan diri dari hal-hal
yang berhubungan dengan korupsi dan kita harus menjadi calon penerus
bangsa yang jujur.

32

Anda mungkin juga menyukai