Anda di halaman 1dari 5

Tentang Kristalinitas

Material polimer dapat dijumpai dalam keadaan kristalin. Namun, karena polimer
tergolong molekul, bukan atom atau ion seperti halnya pada logam dan keramik, maka
susunann atomnya lebih kompleks. Kita berasumsi kristalinitas polimer sebagai susunan
rantai molekul yang membentuk geometri atom yang teratur. Strukur kristal dapat
digambarkan sebagai unit sel yang seringkali terlihat rumit. Gambar 1 menujukkan satu unit
sel untuk polietilen dan hubungannya dengan struktur rantai moleku. Unit sel ini berbentuk
geometri ortorhombik.

Gambar 1

Subtansi molekul yang memiliki molekul kecil hanya memiliki dua kemungkinan
struktur yaitu seluruhnya kristalin atau seluruhnya amorfus. Sedangkan material polimer
biasanya semi-kristalin, memiliki daerah kristalin yang terdispersi dalam struktur amorfus.
Adanya rantai yang tidak teratur akan membentuk daerah amorfus karena adanya twisting,
kinking, dan coiling (melintir, berkelok-kelok, memilin) dari rantai untuk menjaga susunan
setiap segmen tetap teratur pada rantai molekul.

Tingkat kristalinitas merupakan perbandingan antara struktur kristalin dan struktur


amorf. Densitas polimer kristalin lebih besar daripada densitas polimer amorf meskipun
material dan berat molekulnya sama. Hal ini dikarenakan rantai molekul pada struktur
kristalin lebih padat tersusun bersama. Derajat kristalinitas ditentukan melalui perhitungan
densitasnya dengan akurat sesuai dengan persamaan berikut.

1
Perhitungan derajat kristainitas polimer

Dimana ps adalah densitas spesimen saat persentasi kristalinitasnya diketahui, pa


adalah densitas ketika polimer seluruhnya amorf, dan pc adalah densitas ketika polimer
seluruhnya kristalin. Nilai pa dan pc harus diketahui secara eksperimental.

Derajat kristalinitas dari polimer bergantung pada laju pendinginan selama solidifikasi
(proses dimana konfigurasi rantai terbentuk). Selama kristalisasi ketika pendinginan melewati
temperatur melting, rantai yang sangat acak dalam keadaan liquid harus diasumsikan sebagai
susunan yang teratur. Dalam proses ini, waktu yang cukup harus diberikan agar rantai dapat
bergerak dan menyusun dirinya hingga teratur.

Secara kimia, konfigurasi rantai dapat mempengaruhi kemampuan polimer


terkristalisasi. Kristalisasi tidak mudah terbentuk pada polimer yang memiliki repeat unit
yang kompleks seperti polyisoprene. Kristalisasi juga tidak mudah dilakukan pada polimer
yang sederhana meskipun dengan pendinginan cepat.

Untuk polimer linier, kristalisasi mudah diselsaikan karena hanya terdapat sedikit
halangan untuk mencegah proses penyusunan rantai. Adanya cabang akan menggangu
kristalisasi, sehingga polimer cabang biasanya tidak pernah memiliki derajat kristalinitas
tinggi. Pada kenyataannya terlalu banyak cabang akan mencegah terjadinya kristalisasi.
Sedangkan kebanyakan polimer ikat silang dan jaringan seluruhnya amorf karena adanya ikat
silang mencegah rantai polimer untuk menyusun kembali struktur kristalnya. Sedikit diantara
polimer ikat silang memiliki struktur kristalin sebagaian. Streoisomers, atactic sulit
dikristalisasi. Sedangkan polimer isotactic dan syndiotactic polimer merupakan polimer yang
lebih mudah dikristalisasi karena keteraturan geometrinya menfasilitasi proses fitting
(penyesuaian) bersama membentuk rantai yang berdekatan. Gugus atom yang besar
cenderung sulit dikristalisasi.

Sedangkan untuk kopolimer, susunan atom yang acak akan memiliki kecenderungan
membentuk nonkristalin. Sehingga random dan graft kopolimer berstruktur amorf.
Sedangkan alternating dan block kopolimer cenderung mudah terkristalisasi.

2
Sifat fisik material polimer juga seringkali dipengaruhi oleh derajat kristalinitas ini.
Polimer kristalin biasanya lebih kuat dan lebih tahann terhadap dissolution dan pelunakan
akibat panas.

Hubungan perilaku molekul polimer thd kristalinitas, morphologi, sifat termal,


mekanik dan reologi

Rantai utama polimer disebut backbone. Berdasarkan backbone, polimer dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu

1. Polimer anorganik, backbone berdasarkan bukan senyawa organik (bukan C),


misalnya silika (membentuk kaca)

2. Polimer organik, backbone berdasarkan senyawa organik (H, C, O)

Variabel kristalinitas

Kimia molekul: molekul kimia yang simpel, akan semakin mudah ditata dan
kristalinitasnya pun meningkat

Konfigurasi molekul, dapat berupa isotaktik dan sindiotaktik (kristalin) dan ataktik
yang berupa amorf.

Struktur molekul, jika rantai molekulnya lurus/linier, maka cenderung kristalin,


karena kemudahannya untuk ditata dan tidak ada rintangan. Sedangkan jika
bercabang, maka sulit diatur dan cenderung berupa amorf.

Atom/gugus substituen, jika atomnya lebih besar atau melimpah (bulkier) maka
cenderung kurang mengkristal, contohnya, PVC itu memiliki ikatan antar molekul
yang tidak permanen, berbeda dibandingkan dengan PP yang memiliki ikatan
permanen, sehingga PVC lebih amorf dibandingkan PP.

Kristalinitas dipengaruhi oleh

1. Atoms/gugus substituen: Lebih besar atau melimpah (bulkier), cenderung kurang


mengkristal

3
Morfologi polimer

Merupakan bentuk polimer dalam keadaan padat. Terdapat dua jenis, yaitu berbentuk
kristalin, non kristalin (amorf), dan semi kristalin.

Kristalin berbentuk seperti jarum panjang dan teratur, sedangkan amorf random.

Terdapat 3 jenis model dalam membedakan morfologi, yaitu :

fringed micella, folded chains dan switchboard.

Polimer agar menjadi kristalin harus memiliki struktur teratur dengan jarak yang teratur antar
masing-masing rantai. Untuk meningkatkan kristalinitas suatu polimer maka harus dilakukan
penghambatan mobilitas dan mengurangi percabangan, crosslinked, dan ketidakteraturan
struktur).

Kristalinitas sangat berguna bagi polimer, semakin meningkat, maka ketahanan terhadap
pelarut dan pengaruh kimiawi akan meningkat pula. Selain itu akan membuat polimer
menjadi kaku dan lebih kuat, mampu berelongasi dan dengan kekuatan impact yang tinggi.
Namun, kristalinitas pun berpengaruh terhadap sifat optik, yaitu menurunnya
ketransparananan polimer.

Kristalinisasi sebuah struktur yang amorf dapat terjadi secara kinetis. Pertama-tama terjadi
nukleasi akibat pendinginan pada suhu dibawah suhu leleh. Hal ini bersifat reversibel, artinya
4
nuklei dapat terbentuk dan hancur. Pada kondisi kritis, nuklei berkembang menjadi inti
kristalin. Selanjutnya diikuti oleh polarisasi optik mikroskopis. Dibawah kondisi yg ideal,
makroskopis membentuk spherulit. Dalam keadaan suhu rendah sphrulit yang terbentuk
kecil-kecil. Sedangkan pada suhu yang tinggi spherulite hanya ada beberapa namun
berukuran besar.

Anda mungkin juga menyukai