Anda di halaman 1dari 54

Skenario 4

Tn. A, 37 tahun dibawa ke UGD Rs. Raden Mataher setelah mengalami kecelakaan
lalulintas saat mengendarai motornya. Lokasi kejadian berjarak 2 jam dari IGD. Tn. A
tidak memakai helm saat dibawa dan Tn. A sempat pingsan > 15 menit ketika sadar ia
kembali mengeluh kekepalanya terasa sakit dan muntah sebanyak 3 kali.
Saat dilakukan periksaan fisik ditemukan Tn.A membuka mata saat dirangsang nyeri dan
menunjukkan fleksi abnormal pada sisi kanan dan tidak dapat digerakkan pada sisi kiri.
TD: 80/50 mmHg, pernafasan: cheynes stokes, Nadi: 52x/menit, T : 37,8 C tampak jejas
dengan ukuran 5x10cm pada parietal kanan. Pupil mengalami dilatasi ipsilateral dan
refleks cahaya pada kedua pupil menurun. Respon verbal hanya berupa erangan. Apa yang
terjadi pada pasien ini?

Klarifikasi Istilah
1. Pingsan : suatu kondisi kehilangan kesadaran yang mendadak, dan biasanya
sementara, yang disebabkan oleh kurangnya aliran darah dan
oksigen
2. Muntah : suatu gejala/simptom, bukan penyakit. Gejala ini berupa keluarnya
isi lambung (dan usus) melalui mulut dengan paksa atau dengan
kekuatan
3. Cheynes stoke : Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irregular, pola
pernapasan tak normal yang ditandai dengan osilasi dari ventilasi
antara apnea dan hiperapnea, untuk mengompensasi perubahan
tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida di dalam serum
4. Jejas : istilah untuk menunjukkan trauma mekanik yang dapat dihindari
atau tidak dapat dihindari,
5. Pupil : lubang pada bagian tengah iris mata, tempat masuknya cahaya
kedalam mata
6. Dilatasi : Keadaan seperti pada saluran atau struktur tabung yang lebar atau
teregang dalam batas dimensi normal
7. Ipsilateral : terletak pada atau mengenai pada sisi yang sama
8. Refleks : aksi atau gerakan yang dipantulkan, atau jumlah total setiap respon
otomatis yang diperantai oleh sistem saraf
Identifikasi Masalah
1. Tn. A, 37 tahun, dibawa ke UGD setelah mengalami kecelakaan lalulintas saat
mengendarai motornya dan lokasi kejadian berjarak 2 jam dari IGD
2. Tn. A tidak memakai helm saat dibawa dan Tn. A sempat pingsan > 15 menit ketika
sadar ia kembali mengeluh kekepalanya terasa sakit dan muntah sebanyak 3 kali
3. Saat dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan Tn.A membuka mata saat dirangsang nyeri
dan menunjukkan fleksi abnormal pada sisi kanan dan tidak dapat digerakkan pada sisi
kiri, respon verbal hanya berupa erangan
4. TD: 80/50 mmHg, pernafasan: cheynes stokes, Nadi: 52x/menit, T : 37,8 C dan Tampak
jejas dengan ukuran 5x10cm pada parietal kanan, Pupil mengalami dilatasi ipsilateral dan
refleks cahaya pada kedua pupil menurun

Analisis Masalah
1. Tn. A, 37 tahun, dibawa ke UGD setelah mengalami kecelakaan lalu lintas saat
mengendarai motornya dan lokasi kejadian berjarak 2 jam dari IGD
a. Bagaimana mekanisme traumanya?

Jawab:
Trauma kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi
dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya;
- bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan
lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan
bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater.
- Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak
cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti.
- Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini
menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan, peregangan
maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain.

Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan jaringan otak
dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre
coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup)
dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup
ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi
dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap
trauma merupakan penyebab utama terjadinya countrecoup, akibat 3
benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran
antar jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah
daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis

b. Apa saja penanganan prehospital (ditempat kejadian)?

Jawab:
Penanganan Pre-Hospital:
Fokus penanganan korban dengan cedera kepala pada area pra rumah sakit adalah
menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan. Pada fase pra rumah sakit titik berat
diberikan pada menjaga kelancaran jalan nafas, kontrol adanya perdarahan dan syock,
stabilisasi pasien dan transportasi ke rumah sakit terdekat.
Airway (jalan nafas)
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada
kasus trauma. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi
prioritas diatas segala masalah yang lainya. Beberapa kematian karena masalah airway
disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh
karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup
lidah penderita sendiri.
Pengenalan segera terhadap adanya gangguan jalan nafas harus segera di ketahui.
Terganggunya jalan nafas dapat secara tiba-tiba dan komplit, perlahan maupun progresif.
Pada pasien sadar yang dapat berbicara biasa bisa dijamin memiliki airway yang baik
(walaupun sementara), karena itu tindakan pertama adalah berusaha mengajak bicara
dengan penderita. Jawaban yang baik menjamin airway dan sirkulasi oksigen ke otak
masih baik.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
gangguan jalan nafas., selain mengecek adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat
terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara
kedalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam
airway.
4. Breathing (membantu bernafas)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu
pernafasan. Pastikan pernafasan pasien masih ada. Karena henti nafas seringkali terjadi
pada kasus trauma kepala bagian belakang yang mengenai pusat pernafasan atau bisa juga
penanganan yang salah pada pasien pada pasien cedera kepala justru membuat pusat
pernafasan terganggu dan menimbulkan henti nafas. Keterlambatan dalam mengenali
gangguan pernafasan dan membantu ventilasi/pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian. Sehingga kemampuan dalm memberikan bantuan pernafasan menjadi prioritas
kedua.
Circulations (Mengontrol perdarahan)
Upaya untuk mempertahnakan cirkulasi yang bisa dilakukan pra rumah sakit adalah
mencegah hilangnya darah pada kasus-kasus trauma dengan perdarahan. Jika ditemukan
adanya perdarahan, segera lakukan upaya mengontrol perdarahan itu dengan memberikan
bebat tekan pada daerah luka. Pemberian cairan melalui oral mungkin dapat dilakukan
untuk mengganti hilangnya cairan dari tubuh jika pasien dalam keadaan sadar. Perlu
dipahami dalam tahap ini adalah mengenal tanda-tanda kehilangan cairan sehingga
antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya syock.
Stabilisasi (mempertahankan posisi)
Seringkali perubahan posisi pasien yang tidak benar justru akan menambah cedera yang
dialami. Tidak jarang pada kasus cedera tulang belakang yang penanganan stabilisasi tidak
baik justru menyebabkan cedera sekunder yang mengakibatkan gangguan menjadi lebih
parah dan penyembuhan yang tidak sempurna. Pemasangan bidai pada trauma ekstremitas,
long spine board pada kasus cedera tulang belakang dan neck colar pada cedera leher dapat
serta alat-alat stabilisasi sederhana yang lain bisa mengurangi resiko kerusakan akibat
sekunder karena posisi yang tidak stabil.
Transportasi (pengankutan menuji Rumah Sakit)
Sebisa mungkin segeralah penderita di bawa ke rumah sakit terdekat agar penanganan
dapat dilakukan secara menyeluruh dengan peralatan yang memadai. Namun perlu di 5
ingat kesalahan dalam transportasi juga menyebabkan cedera yang diderita bisa bertambah
berat. Pilihkah alat transportasi yang memungkinkan sehingga stabilisasi dapat di
pertahankan, airway, breathing dan cirkulasi dapat selalu di pantau .
c. Apa dampak lamanya jarak perjalanan dengan lokasi ke IGD?

Jawab:
Mempengaruhi prognosis, semakin lama pasien lama ke rumah sakit semakin buruk
prognosis dan kerusakkan yang terjadi
2. Tn. A tidak memakai helm saat dibawa dan Tn. A sempat pingsan > 15 menit ketika
sadar ia kembali mengeluh kekepalanya terasa sakit dan muntah sebanyak 3 kali
a. Apa akibat tidak memakai helm?

Jawab:
- Resiko cedera kepala lebih besar
- dapat terjadi benturan langsung ke kepala saat terjadi kecelakaan yang dapat
mengakibatkan cedera kepala yang lebih berat.
- dapat ditilang polisi lalulintas

b. Anatomi dan fisiologi dari kepala dan otak?

Jawab:
ANATOMI
A. Kulit Kepala (Scalp)

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu : 1. Skin atau kulit 2.
Connective Tissue atau jaringan penyambung 3. Aponeurosis atau galea aponeurotika 4.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgai 5. Perikranium Jaringan penunjang
longgai memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat
tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah
sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak. 6
Gambar 1. Lapisan kranium
B. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di
regio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi.tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu anterior, fosa media dan
fosa posterior, a anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa adalah tempat lobus temporalis
dan fosa posterior adalah ruang bagi bagian bawah 5 otak dan serebelum.
C. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan dan terdiri dari 3 lapisan yaitu: dura
mater,arakhnoid dan pia mater. Dura mater adalah , selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat yang melekat erat pada pemukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat ruang potensial (ruang subdura) yang antara
dura mater dan araknoid, dimana dijumpai perdarahan 7
subdural. Pada otak, pembuluh-pembuluh vena yang pada permukaan otak menuju sinus
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan ikan
perdarahan subdural. Pada beberapa tempat tertentu duramater membelah 2 lapis
membentuk sinus venosus besar mengalirkan darah vena dari otak. Sinus superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Sinus moideus
umumnya lebih dominan di sebelah nan. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat Higakibatkan
perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater in permukaan dalam dari kranium (ruang
dural). Adanya fraktur dari tulang kepala at menyebabkan laserasi pada arteri-arteri dapat
menyebabkan perdarahan epidural. ing paling sering mengalami cedera adalah ten
meningea media yang terletak pada fosa nporalis (fosa media).
Di bawah dura mater terdapat lapisan kedua ii meningen, yang tipis dan tembus pandang
tebut selaput arakhnoid. Lapisan ketiga ilah pia mater yang melekat erat pada mukaan
korteks serebri. Cairan serebro inal bersirkulasi dalam ruang subarakhnoid. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
D. Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu lipatan dura mater dari
sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara
manusia yang bekerja dengan tangan kanan, dan juga pada lebih dari 85% orang kidal.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan kanan dan sebagian besar orang
kidal, lobus temporal kiri bertanggungjawab dalam kemampuan penerimaan rangsang dan
integrasi bicara. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. 8
Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrairi), pons dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik,
yang terus memanjang sampai medula spinalis di bawahnya. Lesi yang kecil saja pada
batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat Serebelum
bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa
posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak dan juga kedua hemisfer
serebri.
E. Cairan Serebrospinalis

Cairan serebro spinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus (terletak di atap ventrikel)
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral
melalui foramen Monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari Sylvius menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistim ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid yang
berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang tardapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam. CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial (hidrosefalus
komunikans pasa trauma).
F. Tentorium

Tentorium serebeli mernbagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial(berisi fosa kranii
posterior). Mesensefalon (midbrairi) menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak
(pons dan medula oblongata) dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang
disebut insisura tentorial. Nervus okuiomotgrius (Nervus IE) berjalan di sepanjang tepi
tentorium, dan saraf ini dapat tertekan bila terjadi herniasi lobus temporal, yang umumnya
diakibatkan oleh adanya massa supratentorial atau edema otak. Serabut-serabut
parasimpatik yang berfungsi melakukan konstriksi pupil mata berjalan pada sepanjang
permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut-9
serabut ini yang disebabkan oleh penekanan Nervus in akan mengakibatkan dilatasi pupil
oleh karena tidak adanya hambatan aktivitas serabut simpatik.
Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi medial
lobus temporal yang disebut Unkus. Herniasi Unkus juga menyebabkan penekanan traktus
kortikospinal (piramidalis) yang berjalan pada otak tengah. Traktus piramidalis atau traktus
motorik menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan pada level foramen magnum,
sehingga penekanan pada traktus ini menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh
kontralateral. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai
sindrom klasik herniasi unkus. Kadang-kadang, lesi massa yang terjadi akan menekan dan
mendorong otak tengah ke sisi berlawanan pada tepi tentorium serebeli dan mengakibatkan
hemiplegia dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan hematoma intrakraniahya
(sindroma lekukan Kernohan).
FISIOLOGI
A. Tekanan Intrakranial

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan tekanan
intrakranial (TIK). Kenaikan TEC dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. UK normal pada keadaan istirahat sebesar 10 mmHg. TIK lebih
tinggi dari 20 mm Hg, terutama bila menetap, berhubungan langsung dengan hasil akhir
yang buruk.
B. Doktrin Monro-Kellie

Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian dinamika TIK.
Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan. Hal ini jelas
karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang rigid, tidak mungkin mekar.
Segera setelah trauma, massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK
masih dalam batas normal Saat pehgaliranCSS dan darah intravaskuler mencapai titik
dekompensasi, TK secara cepat akan meningkat. 10
C. Aliran Darah ke Otak (ADO)

ADO normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50 - 55 mL per 100 gr jaringan otak
per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar bergantung pada usianya. Pada usia 1 tahun
ADO hampir sebesar dewasa, tapi pada usia 5 tahun ADO bisa mencapai 90
ml/100gr/menit, dan secara gradual akan menurun sebesar ADO dewasa saat mencapai
pertengahan sampai akhir masa remaja. Cedera otak berat sampai koma dapat
menurunkan50% dari ADO dalam 6 - 12 jam pertama sejak trauma. ADO biasanya akan
meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di
bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah trauma. Terdapat bukti bahwa
ADO yang rendah tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme otak segera ietelah
trauma, sehingga akan mengakibatkan iskemi otak fokal ataupun menyeluruh.
Sebagai tambahan, untuk mempertahankan ADO tetap konstan, pembuluh darah prekapiler
olak memiliki kemampuan untuk berkonstriksi itaupvm dilatasi (autoregulasi berdasar
langsang tekanan). Pembuluh darah ini juga nampu berkonstriksi ataupun dilatasi sebagai
respon terhadap perubahan kadar PO2 atau PCO2 darah (autoregulasi kimiawi). Cedera
otak ini dapat menggangu kedua mekanisme autoregulasi tersebut.
Konsekuensinya, penurunan ADO karena trauma akan mengakibatkan iskemi dan infark
otak. Iskemi yang terjadi dapat dengan mudah diperberat dengan adanya hipotensi,
hipoksia atau hipokapnia karena hiperventilasi yang agresif. Oleh karena itu, semua
tindakan ditujukan untuk meningkatkan aliran darah dan perfusi otak dengan cara
menurunkai TIK, mempertahankan volume intravaskulet mempertahankan tekanan arteri
rata-rata; (MAP) dan mengembalikan oksigenasi dai normakapnia. Mempertahankan
tekanan perfus otak/TPO (MAP - UK) pada level 60-71 mmHg sangat direkomendasikan
untul meningkatkan ADO.
c. Apa makna klinis dari yang ditemukan pada pasien ini?

Jawab:
Adanya tanda-tanda lucid interval dan terjadi peningkatan TIK 11
d. Bagaimana patofisiologinya?

Jawab:
Pada saat trauma, terjadi robekan dan perdarahan dari a. meningea media. Perdarahan
kemudian berhenti oleh karena spasme pembuluh darah dan pembentukan gumpalan darah.
Beberapa jam kemudian terjadi perdarahan ulang; penumpukan darah di ruang epidural ini
akan melepaskan duramater dari tulang tengkorak.
Pada waktu nyeri kepala menghebat dan kesadaran menurun, telah terjadi kenaikan
tekanan intrakranial yang kedua. Pada saat ini timbul gejala-gejala distorsi otak.
Mekanismenya:
Nyeri Kepala dan muntah

Arteri Meningeal medial r uptur perdarahan hematoma epidural menekan


durameter melepasnya durameter dari basis cranii dan hematoma bertambah dasar
terjadi peningkatan TIK Nyeri Kepala dan muntah
Pingsan

Peningkatan TIK kompresi pada siklus ateria formation retikularis di medulla oblongata
penurunan kesadaran pingsan
e. Apa saja ciri-ciri dari peningkatan TIK?

Jawab:
a. tingkat kesadaran: gelisah, iritabilitas, perubahan personality, bingung, agitasi,
penurunan GCS.
b. Pupil: ptosis, lambatnya reaktifity, perubahan unilateral ukuran pupil karena tekanan
nervus okulomotor.
c. mata : blurred vision, diplopia, penurunan ketajaman penglihatan karena penekanan pada
nervus yang mengontrol pergerakan mata ( N II, IV, VI)
d. Motor : pronatot drift, penurunan kekuatan menggenggam, kontralateral hemiparese.
e. Sensori: penurunan respon pada sentuhan.
f. Sakit kepala : sakit kepala dengan mual atau muntah,sakit kepala jika tegang.
g. Bicara : lambat
h. Memori : gangguan memori sedikit
12
i. Vital sign tidak ada perubahan
j. nervus cranial: bisa atau juga tidak menunjukkan perubahan insial.
k. aktifitas kejang : mungkin atau tidak mungkin terjadi tergantung penyebab

f. Keadaan apa saja yang dapat menyebabkan peningkatan TIK?

Jawab:
Dapat ditemukan pada: keganasan/tumor, infeksi cranium, trauma kapitis, Hypercapnia
( PCo2 lebih besar dari 42mmHg), Hypoxia ( PO2 kurang dari 50 mmHg), dll
3. Saat dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan Tn.A membuka mata saat dirangsang nyeri
dan menunjukkan fleksi abnormal pada sisi kanan dan tidak dapat digerakkan pada sisi
kiri, respon verbal hanya berupa erangan
a. Bagaimana menilai GCS dan interprestasinya?

Jawab: 13
Interprestasi:
Cedera kepala berat nilai GCS sama atau kurang dari 8 (3-8)
Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,
Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15

b. Berapa GCS pada pasien ini?

Jawab:
GCS pada pasien ini yaitu 7 (Cedera Kepala Berat), ditandai dengan:
mata saat dirangsang nyeri Nilai 2
menunjukkan fleksi abnormal pada sisi kanan dan tidak dapat digerakkan pada sisi kiri
Nilai 3
respon verbal hanya berupa erangan Nilai 2

c. Mengapa fleksi abnormal pada sisi kanan dan tidak dapat digerakkan pada sisi kiri?

Jawab:
(patofisiologi)
4. TD: 80/50 mmHg, pernafasan: cheynes stokes, Nadi: 52x/menit, T : 37,8 C dan Tampak
jejas dengan ukuran 5x10cm pada parietal kanan, Pupil mengalami dilatasi ipsilateral dan
refleks cahaya pada kedua pupil menurun
a. Makna klinis dari tanda vital?

Jawab:
TD: hipotensi, Nadi: bradikardi, T: febris, Pernafasan: Cheynes stokes
b. Makna klinis dari jejas, pupil, dan refleks cahaya?

Jawab:
Jejas yang terjadi berhubungan dengan terjadinya perdarahan pada epidural menekan
(kompresi) pada n. okulomotorius dilatasi pupil ipsi lateral dan refleks cahaya menurun
Hal ini menunjukkan adanya tanda herniasi tentorium 14
c. Patofisiologi dari semua keadaan diatas?

Jawab:
Trauma
daerah parietal dan temporal
arteri meningea media robek
terjadi perdarahan (sedikit-sedikit) diantara tulang tengkorak dan duramates
hematoma epidural
mendesak dan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala
hematome bertambah besar
menekan lobus orak kearah bawah dan dalam
bagian medial lobus mengalami herniasi dibawah pinggiran tentorium
yang juga akan menekan bagian-bagian orak
MO
- mengandung banyak nucleus syaraf cranial yang berhubungan dg f/vital (regulasi denyut
nadi dan nafas).
- terletak didalam fossa kranii pust dibawah tentorium cerebri dan diatas foramen magnum

terdesak dan cenderung terdorong kearah daerah yang resistensinya paling rendah.
TIK
herniasi medulla kebawah melalui foramen magnum.
- sakit kepala,
- gangguan pernafasan
- gang tanda vital

mesensephalon
- ujung atas tangkai otak/ batang otak yang sempit
- memiliki 2 nukleus syaraf cranial (nucleus.n. aculomotoril dan n. trochlearis)

- jika terjadi trauma atau desakan kerusakan nervus akulomotorius

lobus parietal
tertekan

letak di post sulcus laternal, meluas ke post sampai sejauh sulcus parieto oksipitalis f/
paralis M. levator
pelpebra ipsilateral
MM rectus superior,inferior medialis serta M obuqus inf
malfungsi nucleus
parasimpatikus nervi
akulomotori
dilatasi pupil yang tidak sensitive terhadap cahaya dan tidak berkontraksi saat akomodasi
15
5. Apa yang terjadi pada Tn. A?

Jawab:
Tn. A mengalami cedera kepala berat suspect epidural hematoma
6. Apa saja klasifikasi dari cedera kepala?

Jawab:
Klasifisikasi:
A. Berdasarkan mekanisme
1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,
atau pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda tumpul.

B. Berdasarkan beratnya
1. Ringan (GCS 14-15)
2. Sedang (GCS 9-13)
3. Berat (GCS 3-8)

C. Berdasarkan morfologi
1. Fraktura tengkorak

a. Kalvaria
1. Linear atau stelata
2. Depressed atau nondepressed
3. Terbuka atau tertutup
b. Dasar tengkorak
1. Dengan atau tanpa kebocoran CNS
2. Dengan atau tanpa paresis N VII
2. Lesi intrakranial

a. Fokal
1. Epidural
2. Subdural
3. Intraserebral 16
b. Difusa
1. Komosio ringan
2. Komosio klasik
3. Cedera aksonal difusa
7. Pemeriksaan apa saja yang diperlukan pada Tn. A ini?
8. Bagaimana penanganan cedera kepala ringan sedang dan berat dan bagaimana
penatalaksanaan pada kasus ini?
9. Terapi medikamentosa untuk cedera otak?
10. Komplikasi dari cedera kepala?
11. Prognosis dari kasus ini?

Kerangka Konsep
- Komplikasi
- Prognosis

Tatalaksana
- Ringan
- Sedang
- Berat

Pemeriksaan Penunjang
Macam/klasifikasi:
- Mekanisme
- Morfologi
- Beratnya

CEDERA KEPALA
- Primary survey
- Secondary survey
- Algoritme penatalaksaan

Kemungkinan mekanisme trauma


Anatomi dan fisiologi
EPIDURAL HEMATOMA
Hipotesis
Tn. A (37 tahun) mengalami cedera kepala berat et causa suspect epidural hematoma 17
SINTESIS
CEDERA KEPALA
1. Definisi

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik
2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai


500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-
28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan
olahraga dan rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan
CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar
35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal
3. Etiologi

Penyebab trauma kepala, yaitu:


1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan. 18
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak. dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/ kekuatan
diteruskan kepada otak
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak,
misalnya tertembak peluru atau benda tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan
cedera setempat.
Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada :
Lokasi
Kekuatan
Fraktur infeksi/ kompresi
Rotasi
Delarasi dan deselarasi
4. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan
terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak
dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih
cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(contrecoup). 19
Gambar 2. Coup dan countercoup
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.
Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (70% dari fraktur tengkorak), fraktur
impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala
menunjukkanbahwa hanya 18% penderita yang mengalami frakturtengkorak. Fraktur
tanpa kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak berarti.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada
arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau
menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebrospinal lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga
menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung
menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan.

Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup
dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada
laserasio 20
serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya
perdarahan subdural danintra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan
menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum,
gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi
gerakan ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-
kerusakan di batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf,
kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan
intrakranial.
Adapun kerusakan-kerusakan saraf yang sering terjadi, yaitu:
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di
dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan
yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa 5% penderita trauma
kapitis menderita gangguan ini.
Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma didaerah frontal. Mungkin
traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang mengalami
fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang
sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan
diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari
edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis,midriasis dan refleks cahaya
negatif sering kali diakibatkan hernia tentori.
Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi sering kali
gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan.
Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian.
Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah
edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan lewat
lubang telinga.
Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan
pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab
gangguan.
21
Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan
penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf
tersebut.

Akibat lain dari trauma kapitis adalah kenaikan tekanan intrakranial. Pada saat trauma,
terdapat peningkatan tekanan pada sisi benturan dan penurunan tekanan pada sisi yang ber-
lawanan. Kenaikan tekanan intrakranial yang terjadi beberapa waktu kemudian dapat oleh
karena edema otak atau kenaikan volume darah otak. Bila timbulnya lebih lambat lagi
(lebih dari 10 hari), ini mungkin disebabkan oleh adanya hematoma kronik atau gangguan
sirkulasi cairan serebro spinal.
Kenaikan tekanan intra kranial ini menyebabkan:
aliran darah ke otak menurun,
Brain shift maupun herniasi, p
erubahan metabolisme, yaitu terjadi asidosis metabolic yang selanjutnya memperberat
edema,
gangguan faal paru-paru. Ini terjadi karena kerusakan pada batang otak sesudah trauma
mengakibatkan terjadinya apnea atau takipnea. Hal ini menimbulkan edema paru-paru
yang selanjutnya mengganggu pertukaran gas. Gangguan ini menyebabkan hipoksia yang
akanmemperberat edema di otak maupun di paru-paru.

5. Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan: (1) Mekanisme, (2) Beratnya, (3) Morfologi
A. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
B. Beratnya Cedera
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi
perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada 22
penderita yang keseluruhan otot ekstremitasnya flaksid dan tidak dapat membuka mata
sama sekali nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3 (Lihat , label 2, Glasgow Coma
Scale). Nilai GCS sama kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma icedera otak berat.
Berdasarkan nilai GCS penderita cedera otak dengan nilai GCS 9 - 1 dikategorikan sebagai
cedera otak sedang, penderita dengan nilai GCS 14-15 lategorikan sebagai cedera otak
ringan. Dalam GCS, jika terdapat asimetri ekstremitas /kiri maka yang dipergunakan
adalah motorik pada yang terbaik. Dalam hal , respon motorik pada kedua sisinya harus
dicatat.
C. Morfologi
1. Fraktur Kranium
Fraktur Kranium dapat terjadi pada atap atau lisar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear
itau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka lita tertytup. Fraktur dasar tengkprak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT scan dengan tknik "bone window" untuk memperjelas garis
aktumya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur lasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebin rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain
ekimosis erjorbital (Raccopn eyes sign), ekimosis stfoaurikuler (Battle Sign), kebocoran
CSS (Mijorrhea, otorrhea), paresis nervus fasialis ankphilangan pendengaran, yang dapat
timbul atau beberapa hari setelah trauma. Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus
sialis lebih baik pada keadaan paresis yang HJadi beberapa waktu kemudian, sementara
(rognosis pemulihan N VIII buruk. Fraktur iasar tengkorak yang menyilang kanalis
taiotikus dapat merusak arteri karotis (diseksi, pseudoaneurisma atau trombosis) dan
dianjurkan untuk dilakukan arteriografi.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan idanya hubungan antara laserasi kulit kepala
lengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.
Adanya fraktur tengkorak tidak dapat kemehkan, karena menunjukkan bahwa enturan yang
terjadi cukup berat. Pada eiderita sadar, bila ditemukan fraktur linier pada kalvaria
kemungkinan adanya perdarahan intrakranial meningkat sampai 400 kali. Pada penderita
koma kemungkinan ditemukannya perdarahan intra-kranial pada 23
fraktur linier adalah 20 kali karena resiko adanya perdarahan intrakranial memang sudah
lebih tinggi.
2. Lesi intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua jenis lesi ini
sering terjadi bersamaan. Termasuk dalam lesi fokal yaitu perdarahan epidural, perdarahan
subdural, kontusio, dan perdarahan intra cerebral.
a. Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat
buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami
amnesia retro/anterograd.
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok
yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa
kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas
area putih dan abu-abu yang kabur. Kasus yang lebih jarang, biasanya pada kecelakaan
motor dengan kecepatan tinggi, pada CT scan menunjukkan gambaran titik-titik
perdarahan multipel di seluruh hemisfer otak yang terkonsentrasi di batas area putih
dengan abu-abu. Selama ini dikenal isilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk
mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara
mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi
klinisnya
b. Perdarahan epidural

Relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua cedera otak dan 9% dari penderita yang
mengalami koma Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporoparietal yang dan biasanya disebabkan oleh robeknya
a. meningea media akibat fraktur tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi biasanya
berasal dari pembuluh arteri, namun dapat juga terjadi akibat robekan dari vena besar. 24
c. Perdarahan subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30 % dari
cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan
korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi selnruh permukaan hemisfer otak.
Biasanya kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnyapun jauh lebih buruk
dibanding pada perdarahan epidural.
d. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat), dan sebagian
besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap
bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah
menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi. Hal ini timbul pada
lebih kurang 20% dari penderita dan cara mendeteksi terbaik adalah dengan mengulang CT
scan dalam 12 - 24 jam setelah CT scan pertama.
6. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada
anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada
pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey.
Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem organ. Penilaian GCS awal saat penderita
datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala.
Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup
pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks
refleks.
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala
yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. Idealnya penderita
cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan
kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat. 25
Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah:
1. bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan berat.
2. cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
3. adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
4. adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran
5. sakit kepala yang hebat
6. adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak
7. kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral

Pemeriksaan-Pemeriksaan diagnostic lain, yang mungkin diperlukan seperti:


1. CT Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel
pergeseran cairan otak. mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler,
dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan
dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri
2. MRI : sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontraks.
3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan
garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
6. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
7. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.
8. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid, serta untuk
menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari saat
terjadinya trauma
9. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam
peningkatan TIK.
10. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang
akan dapat meningkatkan TIK.
11. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
26
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang

7. Tatalaksana

Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat.3 Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah
sakit. Indikasi rawat antara lain :
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal

Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis
otak.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis
pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut :
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
tanda fokal neurologis semakin berat
3. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
27
5. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
6. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

I. Penatalaksanaan Cedera Otak Ringan (GCS = 14-15)

Kira-kira 80% enderita yang dibawa ke UGD dengan otak dikategorikan sebagai cedera
otak ringan. Penderita-penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan
dengan cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat
namun sulit untuk dibuktikan terutama bila di lawah pengaruh alkohol atau obat-obatan.
Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih sempurna, walaupun mungkin ada gejala
sisa yang sangat ringan. Bagaimanapun, lebih urang 3% mengalami perburukan yang tidak
terduga, mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila perubahan kesadaran
dapat dideteksi lebih awal.
Pemeriksaan CT scan idealnya hams dilakukan pada semua cedera otak disertai kehilangan
kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15. atau adanya defisit
neurologis fokal. Foto servikal dilakukan bila terdapat nyeri pada palpasi leher. CT scan
merupakan pilihan utama untuk pemeriksaan penunjang. Bila tidak memungkinkan,
pemeriksaan foto polos/rontgen kepala dapat digunakan untuk membedakan trauma tumpul
ataupun tembus.
Pada foto polos kepala harus dicari:
(1) fraktur linear atau depresi,
(2) posisi glandula pineal di garis tengah (bila ada kalsifikasi),
(3) bates air-udara pada daerah sinus,
(4) pneumosefal,
(5) fraktur tulang wajah,
(6) benda asing.
Harus diingat, pemeriksaan foto polos tidak boleh sampai menunda transfer penderita. 28
Bila terdapat abnormalitas pada gambaran CT scan, atau terdapat gejala neurologis yang
abnormal, penderita harus dibawa ke rumah sakit dan dikonsulkan ke ahli Bedah Saraf.
Bila penderitanya asimtomatis, sadar, neurologis normal, observasi diteruskan selama
beberapa jam dan diperiksa uleng. Bila kondisi tetep normal, dikatakan penderita aman.
Idealnya, keluarga diberi lembar observasi, penderita didampingi dan diobservasi selama
24 jam berikutnya. Bila dalam perjalanannya dijumpai nyeri kepala, penurunan kesadaran,
atau terdapat defisit neurologis fokal, maka penderita dikembalikan ke unit gawat darurat
Pada semua kasus yang dirawat di luar rumah sakit, instruksi harus jelas dan dilakukan
berulang oleh pendamping penderita. (lihat tabel 3, instruksi pada penderita cedera otak di
luar rumah sakit).
Bila penderita tidak sadar penuh atau berorientasi kurang terhadap rangsang verbal
maupun tulisan, keputusan untuk memulangkan penderita harus ditinjau ulang 29
Dipulangkan dari RS
Tidak memenuhi kriteria rawat.
Diskusikan kemungkinan kembali Ke rumah sakit bila memburuk dan berikan lembar
observas
Jadwalkan untuk kontrol ulang

Observasi atau dirawat di RS


CT scan tidak ada
Fscan abnormal
Semua cedera tembus
Riwayat hilang kesadaran
Kesadaran menurun
Sakit kepala sedang-berat
Intoksikasi alkohol/ obat-obatan
Kebocoran likuor: Rhinorea-otorea
Cedera penyerta yang bermakna
Tak ada keluarga di rumah
GCS < 15
Defisit neurologis fokal

ALGORITME 1
Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan
Definisi: Penderita sadar dan berorientasi (GCS14-15)
Riwayat:

Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan Tingkat kewaspadaan


Mekanisme cedera Amnesia: Retrograde, Antegrade
Waktu cedera Sakit kepala: ringan, sedang, berat
Tidak sadar segera setelah cedera
Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
Pemeriksaan neurologis terbatas.
Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine Pemeriksaan CT scan
kepala sangat ideal pada setiap penderita, kecuali bila memang sama sekali asimtomatik
dan pemeriksaan neurologis normal
30
Tabel 3- Instruksi Bagi Penderita Cedera Kepala Di Luar RS
Kami telah memeriksa dan ternyata tidak ditemukan indikasi bahwa cedera kepala anda
serius. Namun gejala-gejala baru dan komplikasi yang tidak terduga dapat muncul dalam
beberapa jam atau beberapa had setelah cedera. 24 jam pertama adalah waktu yang kritis
dan anda hams tinggal bersama keluarga atau kerabat dekat anda sedikitnya dalam waktu
itu. Bila kelak timbul gejala-gejala berikut seperti tertera di bawah Ini maka anda harus
segera menghubungi dokter anda atau kembali ke RS.
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan (penderita harus dibangunkan setiap 2 jam
selama periode tidur).
2. Mual dan muntah.
3. Kejang.
4. Perdarahan atau keluar cairan dari hidung atau telinga.
5. Sakit kepala hebat
6. Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai.
7. Bingung atau perubahan tingkah laku.
8. Salah satu pupil mata (bagian mata yang gelap) lebih besar dari yang lain, gerakan-
gerakan aneh bola mata, melihat dobel atau gangguan penglihatan lain.
9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak teratur

Bila timbul pembengkakan pada tempat cedera, letakkan kantung es di atas selembar
kain/handuk pada kulit tempat cedera. Bila pembengkakan semakin hebat walau telah
dibantu dengan kantung es, segera hubungi RS.
Anda boleh makan dan minum seperti biasa nainun tidak diperbolehkan minum minuman
yang mengandung alkohol sedikitnya 3 hari setelah cedera.
Jangan minum obat tidur atau obat penghilang nyeri yang lebih kuat dari Acetaminophen
sedikitnya 24 jam setelah cedera. Jangan minum obat mengandung aspirin.
Bila ada hal yang ingin anda tanyakan, atau dalam keadaan gawat darurat, kami dapat
dihubungidi nomor telepon:........................
Nama dokter:.................................... 31
II. Penatalaksanaan Cedera Otak Sedang (GCS= 9-13)

Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera otak sedang.
Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak
bingung atau mengantuk dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemiparesis.
Sebanyak 10-20% dari penderita cedera otak sedang mengalami perburukan dan jatuh
dalam koma. Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan
stabilisasi kardiopuhnoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT scan kepala
harus selalu dilakukan dan segera menghubungai ahli Bedah Saraf. Penderita harus dirawat
di ruang perawatan intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan pemeriksaan
neurologis serial dilakukan selama 12 - 24 jam pertama. pemeriksaan CT scan lanjutan
dalam 12 - 24 jam direkomendasikan bila hasilnya abnormal atau terdapat penurunan status
neurologis penderita 32
Bila kondisi memburuk (10%)
Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT
scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

Bila kondisi membaik (90%)


Pulang bila rnemungkinkan
Kontrol di poliklinik

ALGORITME 2
Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang
Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masihmampu
menuruti perintah
(GCS:9-13).
Pemeriksaan awal:
Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana
Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus
Dirawat untuk observasi
Setelah dirawat:
Pemeriksaan neurologis periodik
Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita akan
dipulangkan.
33
III. Penatalaksanaan Cedera Otak Berat (GCS:3-8)

Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah sederhana
walaupun status kardiopulmonernya telah stabil. Walaupun definisi ini mencakup berbagai
jenis cedera otak, tetapi dapat mengidentifikasi penderita yang memiliki resiko morbiditas
dan mortalitas yang paling besar. Pendekatan
"Tunggu dan lihat" pada penderita cedera otak berat adalah sangat berbahaya,
karena diagnosis serta terapi yang cepat sangatlah penting. Jangan menunda transfer
penderita karena menunggu CT scan.
Tabel 4 - Penatalaksanaan Awal Cedera Otak Berat
Definisi: Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang
menurun (GC5 3-8)
Pemeriksaan dan penatalaksaan
ABCDE
Primary Survey dan resusitasi
Secondary Survey dan riwayat AMPLE
Rawat pada fasilitas yang mampu melakukan tindakan perawatan defmitif Bedah saraf
Reevaluasi neurologis: GCS
Respon buka mate
Respon motorik
Respon verbal
Refleks cahaya pupil
Obat-obatan
Manitol
Hiperventilasi sedang (PCO2O5 mmHg)
Antikonvulsan
Tes Diagnostik (sesuai urutan)
CT Scan
Ventrikulografi udara
Angiogram
34
Tabel 5- Prioritas Evaluasi Awal Dan Triase
Penderita Dengan Cedera Otak Berat
1. Semua penderita cedera otak dengan koma harus segera diresusitasi (ABCDE) setibanya
di unit gawat darurat
2. Segera setelah tekanan darah normal, pemeriksaan neurologis dilakukan (GCS dan
refleks pupil). Bila tekanan darah tidak bisa mencapai normal, pemeriksaan neurologis
tetap dilakukan dan dicatat adanya hipotensi
3. Bila tekanan darah sistolik tidak bisa > 100 mmHg setelah dilakukan resusitasi agresif,
prioritas tindakan adalah untuk stabilisasi penyebab hipotensinya, dengan pemeriksaan
neurologis menjadi prioritas kedua.
4. Pada kasus ini penderita dilakukan DPL dan ultrasound di UGD atau langsung ke kamar
operasi untuk seliotomi. CT scan kepala dilakukan setelah seliotomi. Bila timbul tanda-
tanda klinis suatu massa intrakranial maka dilakukan ventrikulografi, burr hole eksplorasi
atau kraniotomi di kamar operasi sementara seliotomy sedang berlangsung.
5. Bila TDS > 100 mmHg setelah resusitasi dan terdapat tanda klinis suatu lesi intrakranial
(pupil anisokor, hemiparesis), maka prioritas pertama adalah CT Scan kepala. DPL dapat
dilakukan di UGD, ruang CT Scan atau di kamar operasi, namun evaluasi neurologis dan
tindakannya tidak boleh tertunda.
6. pada kasus yang meragukan, misalnya tekanan darah dapat terkoreksi tapi cenderung
untuk turun, upayakan utuk membawa ke ruang CT scan sebelum ke kamar operasi untuk
seliotomi atau thorakotomi. Beberapa kasus membutuhkan koordinasi yang kuat antara ahli
bedah trauma dengan ahli bedah saraf.

A. Primary survey dan Resusitasi


Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera otak berat dengan
hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding penderita tanpa hipotensi
(60% vs 27%). Adanya hipoksia pada penderita yang disertai dengan hipotensi akan
menyebabkan mortalitas mencapai 75%. Oleh karena itu, tindakan stabilisasi
kardiopulmoner pada penderita cedera otak berat haras dilaksanakan secepatnya. 35
1. Airway dan Breathing

Terhentinya pemafasan sementara sering terjadi pada cedera otak, dan dapat
mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada
penderita koma. Penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh
hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap
FiO2. Femakaian pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi Oz
(target>98%). Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita
cedera otak berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut.
2. Sirkulasi

Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium
terminal dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan. Perdarahan intrakranial
tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Pada penderita dengan hipotensi harus segera
dilakukan stabilisasi untuk mencapai euvolemia.
Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak
selalu tampak jelas. Harus juga diperhitungkan kemungkman penyebab lain seperti trauma
medula spinalis (syok neurogenik), kontusio jantung atau tamponade jantung, dan tension
pneumothorax.
Sementara penyebab hipotensi dicari, segera lakukan (pemberian cairan untuk mengganti
rolume yang hilang. DPL (Diagnostik peitoneal Lavage) atau pemeriksaan trasonografi
(bila tersedia) merupakan lemeriksaan rutin pada penderita hipotensi mengalami koma,
dimana pemeriksaan dinis tidak mungkin menentukan tanda-tanda idanya akut abdomen.
(Lihat Bab 3, Syok, dan tabel 5, Prioritas Evaluasi Awal dan Triase ita dengan Cedera Otak
Berat) bentukan prioritas antara pemeriksaan DPL an CT scan kepala kadang-kadang
nenimbulkan konflik antara ahli bedah trauma an ahli bedah saraf. Perlu diketahui bahwa
emeriksaan neurologis pada penderita potensi tidak dapat dipercaya kebenarannya, in
bahkan bila terdapat cedera otak berat, ipotensi terbukti menyebabkan cedera otak ider.
Penderita hipotensi yang tidak terhadap stimulasi apapun dapat i respon normal segera
setelah tekanan a normal.
B. Pemeriksaan Neurologis 36
Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status kardiopulmuner penderita
stabil. Pemeriksaan ini tefdiri dari GCS dan refleks cahaya pupil. Pada penderita koma,
respon motorik dapat dibangkitkan dengan merangsang/mencubit otot trapezius atau
menekan dasar kuku penderita. Bila penderita menunjukkan reaksi yang bervariasi, yang
digunakan adalah respon motorik terbaik karena merupakan indikator prognostik yang
paling akurat dibandingkan respon yang paling buruk. Gerakan bola mata (Doll's eye
Phenomena, refleks okulosefalik), Test Kalori dengan suhu dingin (refleks okulo
vestibuler) dan refleks kornea ditunda sampai kedatangan ahli bedah saraf.
Pemeriksaan Doll's eye (oculocephalis) refleks aires (oculovestibular)dan refleks kornea
hanya boleh dilakukan bila sudah jelas tidak terdapat cedera servikal.
Yang sangat penting adalah melakukan pemeriksaan GCS dan refleks pupil sebelum
penderita dilakukan sedasi atau paralisis, karena akan menjadi dasar untuk tindakan
selanjutnya. Selama primary survey, pemakaian obat-obat paralisis jangka panjang tidak
ianjurkan. Succinylcholine, vecuronium, atau dosis kecil pancuronium dapat dipakai untuk
intubasi endotrakea atau untuk tindakan diagnostik lainnya. Bila diperlukan analgesia,
sebaiknya digunakan morfin dosis kecil dan diberikan secara intravena.
C. Secondary Survey
Pemeriksan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) haras selalu silakukan
untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus)
adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung
pada mata sering merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat membuat
pemeriksaan pupil menjadi sulit Bagaimanapun, dalam hal ini pemikiran terhadap adanya
trauma otak harus dipikrkan terlebih dahulu.
D. TERAPI MEDIKA MENTOSA UNTUK CEDERA OTAK

Tujuan utama protokol perawatan intensif ini adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan
sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf
diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan dapat 37
berfungsi normal kembali. Namun bila sel saraf dibiarkan dalam keadaan tidak optimal
maka sel dapat mengalami kematian.
1. Cairan intravena

Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu
diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang
berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi
adalah larutan garam fisiologis atau Ringer's Lactate. Kadar natrium serum perlu
diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan
dengan timbulnya edema otak yang harus dicegah.
2. Hiperventilasi

Pada kebanyakan pasien, keadaan normokarbia lebih disukai. Hiperventilasi dilakukan


dengan menurunkan PCOa dan akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.
Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak
aidbat terjadinya vasokonstriksi serebri berat sehingga menimbulkan gangguan perhisi
otak. Hal ini terjadi terutama bila PCOz dibiarkan turun sampai di bawah 30 mm Hg (4,0
kPa).
Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara sdeksif dan hanya dalam waktu tertentu.
Jmumnya, PCOz dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih. Hiperventilasi dalam waktu
singkat PCCb antara 25-30 mm Hg) dapat diterima jika diperlukan pada keadaan
deteriorasi neurologis akut.
3. Manitol

Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan yang tersedia
biasanya caiian dengan konsentrasi 20%. Dosis yang biasa dipakai adalah 1 g/kgBB
diberikan secara bolus intravena. Dosis tinggi manitol jangan diberikan pada pasien yang
hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik yang poten. Indikasi Knggunaan manitol
adalah deteriorasi neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi 38
pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi. Pada keadaan
ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus diberikan secara cepat (dalam waktu 5 menit)
dan penderita segera dibawa ke CT scan atau langsung ke kamar operasi bila lesi
penyebabnya sudah diketahui dengarvCT scan.
4. Furosemid (Lasix @)

Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang biasa diberikan
adalah 03-0,5 mg/kgBB, diberikan secara intravena. Seperti pada penggunaan manitol,
furosemid sebaiknya jangan diberikan kepada lasien hipovolemik.
5. Steroid

Berbagai penelitian tidak menunjukkan manfaal steroid untuk mengendalikan kenaikan


TIK maupun memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera otak berat Karenanya
penggunaan steroid pada penderita cedera otal tidak dianjurkan.
6. Barbiturat

Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain.
Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaar hipotensi atau hipovolemi. Nantinya
hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat Karena itu barbiturat tidak
diindikasikan pada fase akut resusitasi.
7. Antikonvulsan

Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan cedera kepala
tertutup dan 15% pada cedera kepala berat Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengar
insidensi epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) perdarahart
intrakranial, atau (3) fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda menunjukkan bahwa
fenitoin bermanfaat dalam mengurangi terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera
nanlun tidak setelah itu. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obal yang biasa diberikan dalam
fase akut Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang diberikan secara intravena dengan
kecepatan pemberian tidak lebih cepat 39
dari 50 mg/menit Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk
mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau
lorazepam digunakan sebagai tambahan fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi
kejang yang terus menerus mungkin memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa
kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30 sampai
60 menit) dapat meyebabkan cedera otak sekunder.
E. TATA LAKSANA PEMBEDAHAN
1. Luka Kulit Kepala

Hal yang penting adalah membersihkan luka sebelum melakukan penjahitan. Penyebab
tersering infeksi luka kepala adalah pembersihan dan debridement yang tidak adekuat.
Kehilangan darah dari luka kulit kepala cukup ekstensif terutama pada anak-anak. Pada
pasien dewasa, perdarahan akibat luka di kulit kepala bukan penyebab syok hemoragik.
Perdarahan dari luka kulit kepala dapat diatasi dengan penekanan, kauterisasi atau ligasi
pembuluh besar. Penjahitan, pemasangan klips atau staples kemudian dapat dilakukan.
Inspeksi secara cermat dilakukan untuk menemukan adanya fraktur tengkorak atau benda
asing. Adanya LCS pada luka menunjukkan adanya robekan dura. Ahli bedah saraf hams
dikonsulkan pada semua kasus dengan fraktur tengkorak terbuka atau depresi. Tidak
jarang, perdarahan subgaleal teraba seperti fraktur depresi. Dalam keadaan ini diperlukan
pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT scan.
2. Fraktur Depresi Tengkorak

Umumnya fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara bperatif adalah bila tebal
depresi lebih dari ketebalan tulang di dekatnya. Frktur depresi yang tidak signifikan dapat
ditolong dengan menutup kulit kepala yang laserasi. CT scan berguna untuk menentukan
dalamnya depresi tulang, tetapi yang lebih penting adalah untuk menentukan ada tidaknya
perdarahan intrakranial atau kontusio. 40
3. Lesi Masa Intrakranial

Lesi ini harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Bila tidak terdapat
ahli bedah saraf di fasilitas yang menerima pasien dengan lesi massa intrakranial, maka
penderita harus segera dirujuk ke RS yang mempunyai ahli bedah saraf. Terdapat
perkecualian pada keadaan di mana perdarahan intrakranial membesar dengan cepat
sehingga mengancam jiwa dan tidak cukup waktu untuk merujuk penderita. Walaupun
keadaan ini umumnya jarang terjadi di kota, hal seperti ini dapat saja terjadi di daerah
perifer. Dalam keadaan itu tindakan kraniotomi darurat dapat dilakukan oleh seorang ahli
bedah terlatih untuk melakukan prosedur tersebut Prosedur ini penting pada pasien dengan
status neurologis yang memburuk dengan cepat dan tidak membaik dengan terapi
nonbedah yang diberikan. Kraniotomi darurat yang dilakukan oleh bukan ahli bedah saraf
hanya dibenarkan pada keadaan yang benar-benar ekstrim, dan prosedurnya sebaiknya atas
saran ahli bedah saraf.
Indikasi untuk melakukan kraniotomi oleh bukan ahli bedah saraf hanya sedikit, dan
penggunaan tindakan ini secara luas sebagai upaya terakhir tidak direkomendasi oleh
Komisi Trauma. Tindakan ini dibenarkan hanya bila tindakan bedah saraf definitif sama
sekali tidak memungkinkan. Komisi Trauma sangat menganjurkan bahwa barang siapa
yang mungldn akan melakukan tindakan ini harus menerima pelatihan dari seorang ahli
bedah saraf.
8. Komplikasi

Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi akibat cedera kepala, diantaranya:


o Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau
dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
o Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
o Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis
meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiuretik
o Fistula carotis
o Herniasi
41
o Gangguan neurologis

Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII, disartria,
disfagia, kadang ada hemiparese
o Sindrom pasca trauma

Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah
tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku, misalnya:
menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.
o Kematian

9. Prognosis

Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis :


Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin berkurang pengaruh
lamanya koma terhadap restitusi mental
Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis.
Pupil lebar dengan fefleks cahaya negatif, prognosis jelek.
Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan
tidak sempurna.
Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus ke arah hidup
vegetatif.
Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan
apapun merupakan tanda-tanda brain death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang
isoelektrik
42
EPIDURAL HEMATOMA
1. Pengertian Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak
yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai
pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus
vena, dan membentuk periosteum tabula interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang
hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin
akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak
dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam
ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan
epidural hematom.

Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan biasanya
berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga
menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan
pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada middle
meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam
ruang epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi
2. Lokasi

Sebagian besar hematoma epidural (EDH) (70-80%) berlokasi di daerah temporoparietal,


di mana bila biasanya terjadi fraktur calvaria yang berakibat robeknya arteri meningea
media atau cabang-cabangnya, sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal maupun oksipital.
Volume EDH biasanya stabil, mencapai volume maksimum hanya beberapa menit setelah
trauma, tetapi pada 9% penderita ditemukan progresifitas perdarahan sampai 24 jam
pertama.
3. Epidemiologi Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan
hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi
kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di Amerika
Serikat.Orang yang beresiko
43
mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering jatuh. 60 %
penderita hematoma epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada
umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien
yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-
laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.

Tipe- tipe Epidural Hematoma :


a. Epidural hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri
b. Subacute hematoma ( 31 % )
c. Cronic hematoma ( 11%) perdarahan dari vena

4. Etiologi
Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan
fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.
5. Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria
meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah
bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter
lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus
mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya
tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di
medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf
cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan
ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah
44
ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat
cepat, dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang
berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut
peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-
tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga
makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita
pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan
merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur
menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer
yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya
hamper selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid
interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :
Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )
Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena diploica

6. Penatalaksanaan

Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 3 mm 45
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergenci.
Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
> 25 cc = desak ruang supra tentorial
> 10 cc = desak ruang infratentorial
> 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis
yang progresif.
7. Prognosis

Prognosis tergantung pada :


Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
Besarnya
Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan
otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan
kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma
sebelum operasi. 46
PATOFISIOLOGI UNTUK KASUS INI:
Trauma
daerah parietal dan temporal
arteri meningea media robek
terjadi perdarahan (sedikit-sedikit) diantara tulang tengkorak dan duramates
hematoma epidural
mendesak dan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala
hematome bertambah besar
menekan lobus orak kearah bawah dan dalam
bagian medial lobus mengalami herniasi dibawah pinggiran tentorium
yang juga akan menekan bagian-bagian orak
MO
- mengandung banyak nucleus syaraf cranial yang berhubungan dg f/vital (regulasi denyut
nadi dan nafas).
- terletak didalam fossa kranii pust dibawah tentorium cerebri dan diatas foramen magnum

terdesak dan cenderung terdorong kearah daerah yang resistensinya paling rendah.
TIK
herniasi medulla kebawah melalui foramen magnum.
- sakit kepala,
- gangguan pernafasan
- gang tanda vital

mesensephalon
- ujung atas tangkai otak/ batang otak yang sempit
- memiliki 2 nukleus syaraf cranial (nucleus.n. aculomotoril dan n. trochlearis)

- jika terjadi trauma atau desakan kerusakan nervus akulomotorius

lobus parietal
tertekan

letak di post sulcus laternal, meluas ke post sampai sejauh sulcus parieto oksipitalis f/
paralis M. levator
pelpebra ipsilateral
MM rectus superior,inferior medialis serta M obuqus inf
malfungsi nucleus
parasimpatikus nervi
akulomotori
dilatasi pupil yang tidak sensitive terhadap cahaya dan tidak berkontraksi saat akomodasi
47
PENEGAKKAN DIAGNOSA KASUS INI:
Tn. A (37 tahun)
Kecelakaan Lalu lintas tanpa menggunakan helm
Tanda Vital:
TD: 80/50

Pernafasan: cheynes stokes


RR: 52 x/mnt

T: 37,8

GCS 7
Terdapat jejas di parietal kanan

Hemiparese pada eks. kiri


Pupil dilatasi ipsilateral

Refleks cahaya menurun


Klinis:
Pingsan selama 15 menit
Nyeri Kepala Hebat,
Muntah 3x

Cedera Kepala Berat e.c


suspect epidural hematoma 48
TATALAKSANA KASUS INI:
Prinsip: sesuai algoritme tatalaksana cedera kepala berat
1. PRIMARY SURVEY

Lakukan ABCDE;
a. Airway bebaskan jalan nafas, dan pasang collar neck
b. Breathing berikan oksigen ventilasi 100%, bila perlu lakukan endotrakeal dini
c. Sirkulasi berikan RL 2 kolf
d. Disability penilaian ulang GCS dan refleks pupil
e. Eksposure pemeriksaan secara umum, dan cegah hipotermi

2. SECONDARY SURVEY
Riwayat AMPLE

a. berikan manitol 20% 5 kolf


b. berikan Fenitoin 1 ampul (1gram)
c. Nilai Ventilasi
d. Pasang Kateter Folley
e. Reevaluasi neurologis: GCS
Respon buka mata
Respon motorik
Respon verbal
Refleks cahaya pupil

3. Tes Diagnostik (sesuai urutan)

CT Scan
Ventrikulografi udara
Angiogram
4. RUJUK Spesialis Bedah Syaraf cito.
49
PENULISAN RESEP:
KELOMPOK TUTORIAL 7
ANGKATAN 2007 PSPD UNJA
Jambi, 4 Maret 2011
R/ RL Kolf No. II
Manitol 20% Kolf No. V
Fenitoin amp. No. I
S1MM
R/ Folley Kateter no. 16 No. I
Urin Bag No. I
Silokain Gel No. I
Pro: Tn. A
Umur: 37 Tahun
Dokter yang memeriksa,
-ttd-
PROGNOSIS KASUS INI:
Quo ad vitam : Malam
Quo ad Fungsionam : Malam 50
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam : Advanced
Trauma Life Support for Doctors. Edisi Ke-Tujuh. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi
trauma IKABI, 2004. Hal: 167-186
2. Snell S., Richard. Neuroanatomi Klinik. Edisi Ke-Lima. Jakarta: EGC. 2006. Hal: 235-
239
3. Widjoseno-Gardjito. Trauma Kepala. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ke-Dua.
Editor: R. Syamsurijat dan Wim De Jong. Jakarta: EGC. 2004. Hal: 337-342
4. Hafid A. Epidural Hematoma. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ke-Dua. Editor: R.
Syamsurijat dan Wim De Jong. Jakarta: EGC. 2004. Hal: 818-819
5. Anderson S. McCarty L. Cedera Susunan Saraf Pusat. Dalam: Patofisiologi. Edisi Ke-
empat. Anugrah P. Jakarta: EGC. 1995. Hal: 1014-1016
6. Irwana, Olva. Cedera Kepala. Dalam: Files DrsMed Fakultas Kedokteran Universitas
Riau. 2009.
7. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Cedera Kepala dan Fraktur Kruris. Dalam: Files
DrsMed Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009.
8. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra
Grafindo, 2005
9. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Http://www.biausa.org
10. Leksmono PR , A Hafid, dan M Sajid D. Cedera Otak dan Dasar-dasar Penanganannya.
Dalam: Cermin Dunia Kedokteran No. 34. 1984
11. Purwirantono, Toni. Akurasi Beberapa Tanda dan Gejala klinik dalam Menegakkan
Diagnosis Hematoma Epidural pada Kasus Cedera Kepala. Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Dipenogoro Semarang. 2002
12. Price D. Epidural Hematoma. Http://www.emedicine.com

Anda mungkin juga menyukai