Anda di halaman 1dari 10

A.

Sejarah Perkembangan KB di Indonesia


Pada masa Orde Lama, kebijakan keluarga berencana kurang diperhatikan,
Soekarno mengganggap bahwa jumlah penduduk yang besar merupakan aset negara
yang sangat penting, sehingga ia tidak menganjurkan adanya program keluarga
berencana. Namun kontradiksi kebijakan itu terjadi ketika Soeharto naik, dan Orde
Baru dibawah kepemimpinannya mengajurkan bahkan mewajibkan (untuk kalangan
PNS) untuk setiap keluarga mengikuti program KB.
Dinamika transisi kebijakan Keluarga Berencana dari rezim ke rezim merupakan
fenomena yang menarik dalam kajian sejarah demografi, dan terlebih apabila
fenomena tersebut dihubungkan dengan kondisi lonjakan pertumbuhan penduduk
Indonesia saat ini yang sangat pesat.
Keluarga Berencana atau KB merupaka program yang ada hampir setiap negara
berkembang, termasuk Indonesia, program ini bertujuan untuk mengontrol jumlah
penduduk dengan mengurangi jumlah anak yang dilahirkan oleh perempuan usia 15
49 tahun, yang kemudian disebut dengan angka kelahiran total atau total fertility rate
(FTR). Dengan pengaturan jumlah anak tersebut diharapkan keluarga yang mengikuti
program ini dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka.
Penerepana Keluarga Berencana biasanya dilakukan pada saat pemerintah kurang
mampu mengimbangi tingkat laju pertumbuhan penduduk, dengan kebutuhan serta
fasilitas yang dapat menjamin kesejahteraan penduduknya. Sebenarnya jumlah
penduduk yang besar dapat menjadi potensi penggerak yang kuat jika penduduknya
berkualitas.
Namun, potensi dari jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar kurang
mampu dioptimalkan oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari daya saing Indonesia
masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data Program
Pembangunan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNDP), indeks pembangunan manusia
Indonesia pada tahun 2010 menempati posisi ke-108 dari 169 negara, posisi keenam
dari negara negara di ASEAN. Selain itu, banyaknya jumlah penduduk yang tidak
diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan serta fasilitas, menimbulkan berbagai
macam persoalan kriminalita, pemukiman kumuh, kemacetan, kerusakan lingkungan,
persaingan yang ketat dalam memperoleh lapangan pekerjaan, hingga pelayanan
kesehatan yang buruk.
Distribusi penduduk pun kurang merata, luas dari pulau Jawad an Madura yang
kurang dari 7 persen total luas daratan Indonesia, masih harus menampung 57,64%
atau sekitar 136 juta jiwa penduduk Indonesia.
Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat ini disebabkan program
Keluarga Berencana kurang mendapat prioritas dari pemerintah, baik pemerintah
daerah maupun pusat. Hal tersebut terlihat dari pemotongan jumlah anggaran bagi
program KB, serta setelah Orde Baru runtuh kementrian yang menangani
kependudukan ditiadakan, sehingga terjadi permasalahan penduduk. Selain itu,
system pergantian kepemimpinan lebih focus dalam program jangka pendek demi
menunjang keberlangsungan kekuasaan, hal tersebut tidak sejalan dengan hasil
program kependudukan yang dampaknya baru dirasakan 20 30 tahun kemudian.
Kebijakan mengenai kependudukan sebenernya sudah dimulai antara tahun 1920-
an dan 1930-an, pada masa itu mulai terjadi pembatasan jumlah kelahiran, perdebatan
tersebut tejadi di Benua Eropa dan Amerika. Tidak terkecuali Hindia Belanda. Upaya
untuk mengurangi angka kelahiran sebenarnya sudah disuarakan oleh Van Vakeburg,
namun sangat disayangkan pendapatnya kurang didengar, namun ia tetap gigih untuk
memperjuangkannya.
Berkembangnya jumlah penduduk yang sangat cepat merupakan implikasi dari
adanya industrialisasi yang mulai digalakkan pemerintah Hindia Belanda.
Pembangungan Industrialisasi dan usaha perkebunan tersentralkan di pulau Jawa,
ketimbang pulau pulau di luar Jawa. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa
distribusi penduduk terbesar dari zaman colonial hingga pasca proklamasi
kemerdekaan tetap berada di pulau Jawa. Distribusi penduduk yang tidak merata juga
menimbulkan beberapa persoalan social dan ekonomi.
Upaya untuk melakukan kontrasepsi pun sebenarnya sudah dilakukan, tetapi pada
masa kolonial upaya tersebut terhambat oleh regulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah colonial. Pada masa itu pemerintah colonial melarang adanya publikasi
atau periklanan alat alat kontrasepsi. Sehingga hanya sedikit alat alat kontrasepsi
yang diketahui oleh penduduk. Selain itu harga alat kontrasepsi yang mahal, serta
moralitas agama turut menghambat adanya program Keluarga Berencana, sehingga
angka kelahiran tetap tinggi.
Orde Lama dan Baby Boom
Setelah Hindia Belanda berhasil ditaklukan dengan mudah, seluruh
instansi colonial dirombak total oleh pemerintah kependudukan Jepang,
termasuk adanya kerja sama pemerintah penduduk Jepang dengan para
nasionalis Indonesia. Sehingga Belanda mengalami kesulitan untuk berkuasa
kembali ketika Perang Dunia Berakhir. Oleh karena itu Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya, pemerintahan Soekarno yang dimulai
pada 1945 memunculkan pemerintahan yang baru, atau disebut orde lama.
Adanya situasi yang tidak kondusif serta kestabilan politik pada masa
masa awal pemerintahan Soekarno membuat program pemerintahan mengenai
Keluarga Berencana menjadi tidak dapat diwujudkan, bahkan pada 1950
Soekarno tidak memiliki gambaran tentang konsep Keluarga Berencana.
Pada waktu yang sama, sejumlah negara yang berkembang mulai
mengakui masalah tentang tingginya tingkat pertumbuhan penduduk yang
mengacu pada perencanaan pembangunan, dan tingginya tingkat kesuburan
yang juga mengacu pada kesehatan ibu dan anak. India dan Cina misalnya,
mengeluarkan kebijakan Keluarga Berencana pada tahun 1953 dengan tujuan
untuk mengurangi tingkat kesuburan dan pertumbuhan.
Walaupun India dan Cina telah mengeluarkan kebijakan program Keluarga
Berencana, namun kondisi tersebut tidak berlaku di Indonesia. Karakteristik
Soekarno yang berani, membuat ia menolak beberapa saran dari pemerintahan
asing khususnya negara negara Barat untuk tetap tidak melakukan program
KB.
Seperti yang dialami oleh Louis Fischer, ia mengkritik kebijakan Soekarno
yang tidak melakukan pengendalian tingkat kelahiran. Hal tersebut ia
ungkapkan ketika mereka mengunjungi kompleks rumah militer, lingkungan
miskin, dan desa desa di Jawa, Bali dan Sulawesi. Setelah melihat realita
tersebut Fischer menemukan kemiskinan merupkan sesuatu ancaman serius,
karena tercermin dalam keletihan para ibu muda dengan 5 bahkan 13 anak.
Fischer menyarankan Soekarno melakukan usaha pengendalian penduduk, dan
melengkapi rakyatnya dengan rumah serta pendidikan yang lebih baik.
Namun saran itu malah ditolak oleh Soekarno. Fischer tidak mampu
meyakinkan Soekarno dengan menggunakan argument pada hubungan antara
pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi. Akan tetapi, justru
Soekarno dapat menerima argument untuk jarak kelahiran, sebagai upaya
untuk melindungi kesehatan ibu dan mengurangi beban keluarga. Namun
Soekarno malah memiliki pendapat bahwa adanya pengendalian penduduk
merupakan indikasi adanya penurunan moralitas yang ia temukan dalam
masyarakat Barat. Soekarno justru beranggapan kepada wanita yang memiliki
anak banyak tersebut sebagai model kekuatan, kecantikan, dan ketahanan.
Soekarno juga beranggapan bahwa Indonesia tidak perlu kebijakan mengenai
pembatasan kelahiran, hal tersebut diungkapkannya berulang kali dalam
pendapatnya mengenai pengendalian populasi. Soekarno merupakan seorang
yang pro natalis dan anti terhadap program KB. Serta satu hal yang harus
diketahui bahwa ternayata optimisme Soekarno terhadap jumlah penduduk
yang besar dengan peningkatan pembangunan ekonomi yang akhirnya mampu
menyejahterakan rakyatnya ternyata meleset.
Orde Baru dan Perubahan Kebijakan Kependudukan
Pada 1961 terjadi kudeta yang disebut G 30 S dan aksi penolakan terhadap
PKI. Peistiwa tersebut akhirnya berujung dengan turunnya Soekarno dari
tampuk kepemimpinan. Munculah Soeharto dan Orde Barunya yang akan
membawa angin perubahan dalam kebijakan kependudukan di Indonesia
Soeharto yang sangat pro Barat memiliki kebijakan yang berbeda dengan
Soekarno. Sehingga program kebijakan kependudukan Soeharto berasal dari
saran-saran negara Barat, bahkan mendapat bantuan dari USAID dan UNFPA.
Soeharto juga berhasil mengatasi hambatan berupa moralitas agama, yang
diketahui bahwa moralitas agama merupakan salah satu hal yang
mempengaruhi lancar atau tidaknya program pengendalian penduduk. Dalam
hal ini MUI (Majelis Ulama Indonesia) membuat suatu fatwa atau resolusi
yang intinya mengizinkan adanya kontrasepsi dan mendukung kebijakan
pemerintah tentang pengendalian penduduk.
Suatu hal yang sangat fenomenal, menginat gerakan moralitas agama
merupakan tantangan terbesar bagi kebijakan pengendalian penduduk. Seperti
yang diketahui bahwa di Pgilipina moralitas agama menentang keras konsep
pengendalian penduduk (Kontrasepsi) dengan kelembagaan gereja Katolik
sebagai garda terdepan, di mana gereja Katolik memiliki pengaruh yang
sangat besar di masyarakat. Akibatnya, kebijakan pengendalian penduduk di
Philipina kurang diperhatikan, hal ini terlihat dengan minimnya fasilitas
layanan untuk kesehatan reproduksi.
Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto berhasil mengatasi beberapa
hambatan terbesar, dan sukses untuk merangkul kaum moralitas agama
(MUI), selain itu Soeharto menandatangani Pimpinan Dunia Deklarasi
Kependudukan pada 1967 sebagai bukti komitmennya untuk mengurangi
jumlah laju pertumbuhan penduduk. Setahun kemudian Soeharto membentuk
Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN). Pada 1970 terjadi
peningkatan status dari LKBN menjadi dewan koordinasi (BKKBN) dengan
ketua yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sebagaimana telah
dijelaskan pada paragraf sebelumnya.
Peran sentral Soeharto dalam pembentukan program keluarga berencana
dan dukungannya yang teguh dalam pelaksanaannya, diakui secara
internasional dengan pemberian award 1989 dari PBB. Sementara tidak ada
keraguan bahwa Soeharto membuat kontribusi yang luar biasa untuk program
ini, hal itu dilakukan sebagai upaya penting dalam memberikan wawasan bagi
mereka yang berada dalam kesulitan nyata serta sebagai jawaban untuk
mengatasi penolakan serta permusuhan terhadap keluarga berencana.
Dapat ditarik benang merah, bahwa ternyata pergantian penguasa juga
diikuti dengan pergantian kebijakan. Khususnya kebijakan yang berkaitan
dengan masalah kependudukan. Dengan mempelajari kebijakan
kependudukan dari setiap rezim atau pihak yang berkuasa dapat dilihat
orientasi kebijakan kependudukan yang berbeda beda, tergantung visi dan
ideologis pembangunan pada masa itu. Kebijakan kebijakan yang berbeda
beda dari zaman colonial hinga pascaproklamasi kemerdekaan tersebut,
akhirnya sangat mempengaruhi struktur kependudukan Indonesia saat ini.
Seperti optimisme Soekarno yang bangga dengan jumlah penduduk yang
besar dan ia dapat menyederhanakan berbagai solusi permasalahan
kependudukan hanya dengan mengintensifkan eksploitasi tanah, namun
optimismenya malah menjadi suatu masalah baru. Ketika akhirnya jumlah
penduduk Indonesia yang hampir 240 juta jiwa ini malah menjadi beban bagi
pemerintah, dan merupakan hambatan terbesar bagi pembangunan nasional.
Dan ini semakin lengkap setelah kekayaan negara ini yang sebenarnya dapat
menghidupi seluruh rakyat dijarah oleh para kapitalis dan perampok berdasi.
Pertambahan penduduk tidak sebanding dengan pemerataan ekonomi. Sebab,
sejak masa Orde Baru sumber daya alam Indonesia mulai di eksplorasi dan
diberikan kepada asing dan swasta.

Era Reformasi Hingga Kini


Lembaga yang konon menjadi mesin politik soeharto ini terbukti berhasil
melakukan internalisasi tujuan KB, lajuledakan jumlah penduduk dapat
dikendalikan. Dalam perjalannya program KB sempat meredup, hingga pada
1992 pemerintah kembali mencanangkan KB melalui Undang Undang no 10
tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera, dengan visi gerakan KB melangkah lebih maju lagi.
Upaya untuk menghidupkan KB sebenarnya telah dilakukan masa
pemerintahan Presiden Megawati. Melalui Kepres RI No 103/2001 tanggal 13
September 2001, pemerintah ketika itu mempertahankan BKKBN sebagai
penunjang keberhasilan pembangunan daerah. Penegasan kelangsungan hidup
BKKBN tertuang pada pasal 114 sebagian tugas pemerintahan yang
dilaksanakan BKKBN di daerah tetap dilaksanakan oleh pemerintah dan
secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dialihkan kepada pemerintah
daerah.
Pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid ( Gus Dur ) tahun 1999,
program KB mengemban misi menjalankan prinsip prinsip International
Conference Population Development (ICPD) Kairo, yaitu mengajak kaum pria
ikut bertanggung jawab dalam KB.
Sejauh ini, program KB masih belum mampu mencapai sasaran yaitu
membentuk keluarga sejahtera dan bahagia. Pengendalian laju pertumbuhan
penduduk tidak menjamin pertumbuhan kualitas penduduk Indonesia.
Sehingga tag line KB yaitu membina keluarga bahagia dan sejahtera masih
sebatas semboyan. Tahun 2004 melalui pemilihan Presiden langsung, Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dipercaya oleh konstituennya untuk memimpin
bangsa. Melihat gelagat laju pertumbuhan jumlah penduduk yang terus
meningkat, dan kian terpuruknya kondisi perekonomian rakyat, secara politis
SBY berkomitmen untuk kembali menyukseskan program ini.
Dalam pidatonya pada peringatan Harganas tahun 2007 silam dengan
tegas
Presiden mengatakan bahwa KB bukan hanya program pengendalian
pertumbuhan penduduk semata, tetapi juga program pengaturan kelahiran dan
pengasuh (pendidikan) anak secara sehat dan manusiawi. Dengan parameter
menurunkan jumlah kematian ibu dan anak saat proses melahirkan dan setelah
dilahirkan atau pada usia balita. Sebenarnya rumusan KB era SBY ini tak jauh
beda dengan rumusan pemerintahan sebelumnya.
Namun, Presiden memberikan penekanan menyeluruh pada upaya
peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui batas usia
perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan (pendidikan) ketahanan
keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga.
Sehingga paradigma KB tidak melulu pada usaha membatasi jumlah anak
dan interval kelahiran. Lebih dari itu masyarakat harus mengubah pandangan
tentang KB, mencangkup internalisasi perencanaan pendidikan keluarga
(anak) dan perencanaan ekonomi keluarga menyambut persaingan di era
kompetisi global. Dalam pemerintahan SBY ini pula, logo lama KB pun
diubah dengan logo baru dengan maksud bisa menambah semangat kerja
dalam menghadapi persoalan KB di masa yang akan datang yang secara resmi
diluncurkan 12 Februari 2009 oleh Kepala BKKBN Sugiri Syarief.
Ringkasan peristiwa bersejarah dalam perkembangan KB di Indonesia :
a. Januari 1967 diadakan symposium kontrasepsi di Bandung diikuti oleh
masyarakat luas melalui media masa.
b. Februari 1967 diadakan kongres PKBI pertama yang mengharapkan agar
KB sebagai program pemerintah segera dilaksanakan
c. April 1967 Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menganggap bahwa sudah
waktunya kegiatan KB dilancarkan secara resmi di Jakarta dengan
menyelenggarakan proyek KB DKI Jakarta Raya
d. Tanggal 16 Agustus 1967 gerakan KB di Indonesia memasuk era peralihan
pidato pimpinan Negara selama orde lama. Organisasi pergerakan
dilakukan oleh tenaga suka rela dan beroperasi secara diam diam karena
kepala negara waktu itu anti terhadap KB, maka dalam Orde Baru gerakan
KB diakui dan dimasukan dalam program pemerintah
e. Oktober 1968 berdiri lembaga KB Nasional (LKBN) yang sifatnya semi
pemerintah yang dalam tugasnya diawasi dan dibimbing oleh menteri
negara kesejahteraan rakyat, merupakan kristalisasi dan kesungguhan
pemerintah dalam kebijakan KB
Ringkasan Tahap Tahap program KB Nasional
Adapun kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan program KB Nasional
di Indonesia :
a) Tahun 1970 1980 dikenal dengan Manajemen For The People. Pada
tahap ini pemerintahan lebih banyak berinisiatif, karena partisipasi
masyarakat rendah sekali. Program ini terkesan kurang demokratis
karena ada unsur pemaksaan dan berorientasi
b) Tahun 1980 1990 terjadi perubahan pada Manajement With People.
Pada tahap ini pemaksaan dikurangi dan dimulai program safari pada
awal tahun 1980an
c) Tahun 1985 1988 pemerintah menetapkan program KB Lingkaran
Biru, dengan kebijakan:
Masyarakat bebas memilih kontrasepsi yang akan dipakainya
meskipun masih tetap dipilihkan jenis kontrasepsinya.
Dari 5 jenis kontrasepsi dipilihkan salah satu dari jenisnya.
d) Tahun 1988 terjadi perkembangan kebijakan, pemerintah menerapkan
program KB Lingkar Emas yaitu:
Pilih alat kontrasepsi sepenuhnya diserahkan pada peserta, asal
jenis kontrasepsinya sudah terdapat di departemen kesehatan.
Masyarakat sudah mulai membayar sendiri untuk alat
kontrasepsinya.
e) Tahun 1998 terjadi peningkatan kesejahteraan keluarga melalui
peningkatan pendapatan keluarga (Income Generating) pada 29 Juni
1994 presiden Suharto di Sidoarjo melaksanakan plesterisasi/
lantainisasi rumah-rumah secara gotong- royong untuk keluarga
prasejahtera.
B. Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan KB di Indonesia
1. Sosial Ekonomi
Tinggi rendahnya status sosial dan ekonomi penduduk akan memengaruhi
perkembangan dan kemajuan program KB di Indonesia, karena berkaitan erat
dengan kemampuan untuk membeli alat kontrasepsi yang digunakan. Contoh:
keluarga dengan penghasilan cukup akan lebih mampu mengikuti program KB,
daripada keluarga yang tidak mampu, karena bagi keluarga yang kurang mampu
KB bukan merupakan kebutuhan pokok. Dengan suksesnya program KB maka
perekonomian suatu negara akan lebih baik karena dengan anggota keluarga yang
sedikit kebutuhan dapat lebih tercukupi dan kesejahteraan dapat terjamin.
2. Budaya
Sejumlah faktor budaya dapat memengaruhi klien dalam memilih metode
kontrasepsi. Faktor-faktor ini meliputi pemahaman budaya, tingkat pendidikan
persepsi mengenai risiko kehamilan dan status wanita. Penyedia layanan harus
menyadari bagaimana faktor-faktor tersebut memengaruhi pemiliham metode di
daerah mereka dan harus memantau perubahan-perubahan yang mungkin
memengaruhi pemilihan metode kontrasepsi.
3. Pendidikan
Tingkat pendidikan memengaruhi penggunaan jenis dan metode kontrasepsi.
Beberapa studi memperlihatkan bahwa metode kalender lebih banyak digunakan
oleh pasangan yang lebih berpendidikan. Dihipotesiskan bahwa pasangan suami
istri yang berpendidikan menginginkan KB yang efektif dengan efek samping
yang sedikit.
4. Agama
Di berbagai daerah kepercayaan religious dapat memengaruhi klien dalam
memilih metode KB. Sebagai contoh penganut Khatolik yang taat membatasi
pemilihan kontrasepsi mereka pada KB alamiah. Sebagai pemimpin Islam
mengklaim bahwa sterilisasi dilarang sedangkan sebagian lain mengizinkan.
Walaupun agama Islam tidak melarang kontrasepsi secara umum, para akseptor
KB mungkin berpendapat bahwa pola pendarahan yang tidak teratur disebabkan
sebagai metode hormonal akan sangat menyulitkan mereka selama haid mereka
dilarang untuk sembahyang.
5. Status Wanita
Status wanita dalam masyarakat memengaruhi kemampuan mereka
memperoleh dan menggunakan metode kontrasepsi. Ada peraturan yang
mengharuskan persetujuan suami sebelum layanan KB diperoleh. Di daerah yang
status wanitanya meningkat, sebagian wanita mempunyai pemasukan yang lebih
besar untuk membiayai metode-metode yang lebih mahal, serta memiliki lebih
banyak suara untuk membuat keputusan.

Anda mungkin juga menyukai