Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF)


PROFIL C DI RUANG INTENSIVE CARDIOLOGI CARE UNIT
(ICCU) RSUP SANGLAH DENPASAR BALI

disusun guna memenuhi tugas Program Profesi Ners (PPN)


Stase Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis

oleh
Riana Vera Andantika, S. Kep
NIM 122311101006

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF) PROFIL C
(Oleh: Riana Vera Andantika, S.Kep.)

1. Konsep Dasar Penyakit


1.1 Pengertian ADHF
Acute Decompensanted Heart Failure (ADHF) merupakan gagal jantung
akut yang didefinisikan sebagai serangan yang cepat (rapid onset) dari gejala-
gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Disfunngsi ini dapat
berupa disfungsi sistolik maupun diastolik, abnormalitas irama jantung, atau
ketidakseimmbangan preload dan afterload. ADHF dapat merupakan serangan
baru tanpa kelainan jantung sebelumnya atau dapat merupakan dekompensasi dari
gagal jantung kronik (chronic heart failure) yang telah dialami sebelumnya.
ADHF muncul bila cardiac output tidak memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
(Hanafiah, 2006). ADHF merupakan kependekan dari Acute Decompensated
Heart Failure yang berarti gagal jantung akut. Istilah ini sama dengan gagal
jantung atau Dekompensasi Cordis. Decompensasi cordis secara sederhana
berarti kegagalan jantung untuk memompa cukup darah untuk mencukupi
kebutuhan tubuh. Dekompensasi kordis merupakan suatu keadaan dimana terjadi
penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan
fungsi pompa jantung. Dari definisi di atas, diketahui bahwa kondisi cardiac
output (CO) yang tidak cukup terjadi karena kehilangan darah atau beberapa
proses yang terkait dengan kembalinya darah ke jantung (Price & Wilson,
2012). ADHF merupakan suatu kondisi bila cadangan jantung normal
(peningkatan frekuensi jantung, dilatasi, hipertrophi, peningkatan isi sekuncup)
untuk berespon terhadap stress tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh, jantung gagal untuk melakukan tugasnya sebagai pompa, dan
akibatnya gagal jantung.
1.2 Klasifikasi
Gagal jantung diklasifikasikan menurut American College of Cardiology
(ACC) dan American Heart Association (AHA) terbagi atas atas 4 stadium
berdasarkan kondisi predisposisi pasien dan derajat keluhannya yaitu :
a. Stage A : Risiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa penyakit jantung struktural
atau tanda dan gejala gagal jantung. Pasien dalam stadium ini termasuk
mereka yang mengidap hipertensi, DM, sindroma metabolik, penyakit
aterosklerosis atau obesitas.
b. Stage B : penyakit jantung struktural dengan disfungsi ventrikel kiri yang
asimptomatis. Pasien dalam stadium ini dapat mengalami LV remodeling,
fraksi ejeksi LV rendah, riwayat IMA sebelumnya, atau penyakit katup
jantung asimptomatik.
c. Stage C : Gagal jantung simptomatis dengan tanda dan gejala gagal jantung
saat ini atau sebelumnya. Ditandai dengan penyakit jantung struktural,
dyspnea, fatigue, dan penurunan toleransi aktivitas.
d. Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter. Gejala dapat
muncul saat istirahat meski dengan terapi maksimal dan pasien memerlukan
rawat inap.
Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan,
dekompensasi kordis dibagi menjadi gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan
gagal jantung kongestif.
a. Pada gagal jantung kiri terjadi dyspnea d`effort, fatigue, orthopnea, dispnea
nocturnal paroksismal, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventricular
heaving, bunyi derap S3 dan S4, pernafasan cheyne stokes, takikardia, pulsasi
internans, ronkhi, dan kongesti vena pulmonalis.
b. Pada gagal jantung kanan timbul edema, liver engargement, anoreksia dan
kembung. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertrofi jantung kanan,
heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan, murmur, tanda-tanda
penyakit paru kronik, tekanan vena jungularis meningkat, asites,
hidrothoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali, dan pitting edema.
c. Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri
dan gagal jantung kanan.
Berdasarkan hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan dekompensasi
dapat dibagi berdasarkan klisifikasi sebagai berikut:
a. Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak memiliki keluhan pada kegiatan
sehari-hari
b. Pasien dengan penyakit jantung yang menimbulkan hambatan aktivitas hanya
sedikit, akan tetapi jika ada kegiatan berlebih akan menimbulkan capek,
berdebar, sesak serta angina
c. Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas jasmani sangat terbatas dan
hanya merasa sehat jika beristirahat.
d. Pasien dengan penyakit jantung yang sedikit saja bergerak langsung
menimbulkan sesak nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak nafas
Sedangkan menurut New York Heart Association (NYHA) dibagi menjadi 4
kelas berdasarkan tanda dan gejala pasien, respon terapi dan status fungsional.
a. Functional Class I ( FC I ) : asimptomatik tanpa hambatan aktivitas fisik
b. Functional Class II ( FC II ) : hambatan aktivitas fisik ringan, pasien merasa
nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue, palpitasi atau
angina dengan aktivitas biasa.
c. Functional Class III ( FC III ) : hambatan aktivitas fisik nyata, pasien merasa
nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue, palpitasi atau
angina dengan aktivitas biasa ringan
d. Functional Class IV ( FC IV ) : ketidaknnyamanan saat melakukan aktivitas
fisik apapun, dan timbul gejala sesak pada aktivitas saat istirahat.

1.2 Etiologi ADHF


Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung penyebab paling
umum yaitu kerusakan fungsional jantung dimana terjadi kerusakan atau
hilangnya otot jantung iskemik akut dan kronik, peningkatan pertahanan vaskuler
dengan hipertensi, atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF),
penyakit jantung kkoroner yang merupakan penyebab panyakit miokard menjadi
penyebab gagal jantung. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya
dekompensasi kordis adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal,
beban akhir atau yang menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang
meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel.
Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi
sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau
kardiomiopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa
adalah gangguan pengisian ventrikel (stenosis katup atrioventrikuler), gangguan
pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade
jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi
adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan gangguan penghantaran
kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil
(Price & Wilson, 2012).
Faktor penyebab terjadinya ADHF, antara lain:
a. Dekompensasi pada gagal jantung kronik yang sudah ada (kardiomiopati)
b. Sindroma koroner akut
1) Infark miokardial/unstable angina pektoris dengan iskemia yang
bertambah luas dan disfungsi sistemik
2) Komplikasi kronik IMA
3) Infark ventrikel kanan
c. Krisis Hipertensi
d. Aritmia akut (takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikular, fibrilasi atrial,
takikardia supraventrikuler, dll)
e. Regurgitasi valvular/ endokarditis/ ruptur korda tendinae, atau kondisi
perburukan regurgitasi katup yang sudah ada
f. Stenosis katup aorta berat
g. Tamponade jantung
h. Diseksi aorta
i. Kardiomiopati pasca melahirkan
j. Faktor presipitasi non kardiovaskuler
1) Volume overload
2) Infeksi terutama pneumonia atau septikemia
3) Severe brain insult
4) Pasca operasi besar
5) Penurunan fungsi ginjal
6) Asma
7) Penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol
8) Feokromositoma
1.3 Tanda dan Gejala ADHF
Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan kelelahanyang
sering tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. #ejala gejala ini juga
dapat disebabkan pleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal
jantung,komplikasi yang diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini. ariasi
bentuk penyakit pulmonal termasuk pneumonia, penyakit paru reaktif dan
embolipulmonal mungkin sangat sulit untuk dibedakan secara klinis dengan gagal
jantung.
Gambaran Klinis yang Gejala Tanda
Dominan
Edema perifer/kongestif Sesak napas, kelelahan, Edema perifer,
anoreksia peningkatan vena
jugularis, edema
pulmonal, hepatomegaly,
asites, overload cairan
(kongestif), kaheksia
Edema pulmonal Sesak napas yang berat Crackles atau rales pada
saat istirahat paru-paru bagian atas,
efusi, takikardia, takipnea
Syok kardiogenik (low Konfusi, kelemahan, Perfusi perifer yang
output syndrome) dingin pada perifer buruk, Systolic Blood
Pressure (SBP) <
90mmHg, anuria atau
oliguria
Tekanan darah tinggi Sesak napas Biasanya terjadi
(gagal jantng hipertensif) peningkatan tekanan
darah,hipertrofe ventrikel
kiri
Gagal jantung kanan Sesak napas, kelelahan Bukti disfungsi ventrikel
kanan, peningkatan JVP,
edema perifer,
hepatomegaly
Sumber: Dickstein K, Cohen SA, ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure. 2008. European of Heart Failure
a. Sesak nafas (dyspnea)
Muncul saat klien istirahat atau saat beraktivitas (dyspnea on effort)
b. Orthopnea
c. Sesak muncul saat berbaring, sehingga memerlukan posisi tidur setengah
duduk dengan menggunakan bantal lebih dari satu.
d. Paroxysmal Nocturnal Dyspneu ( PND ) yaitu sesak tiba-tiba pada malam
hari disertai batuk-batuk.
e. Takikardi dan berdebar-debar yaitu peningkatan denyut jantung akibat
peningkatan tonus simpatik
f. Batuk- batuk
Terjadi akibat oedema pada bronchus dan penekanan bronchus oleh atrium
kiri yang dilatasi. Batuk sering berupa batuk yang basah dan berbusa,
kadang disertai bercak darah.
g. Mudah lelah (fatigue)
Terjadi akibat curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa
katabolisme. Juga terjadi akibat meningkatnya energi yang digunakan
untuk bernafas dan insomnia yang terjadi akibat distres pernafasan dan
batuk.
h. Adanya suara jantung P2, S3, S4 menunjukkan insufisiensi mitral akibat
dilatasi bilik kiri atau disfungsi otot papilaris.
i. Oedema (biasanya pitting edema) yang dimulai pada kaki dan tumit dan
secara bertahap bertambah ke atas disertai penambahan berat badan.
j. Hepatomegali (pembesaran hepar)
Terjadi akibat pembesaran vena di hepar.
k. Ascites.
Bila hepatomegali ini berkembang, maka tekanan pada pembuluh portal
meningkat sehingga cairan terdorong keluar rongga abdomen.
Nokturia (rasa ingin kencing di malam hari)
Terjadi karena perfusi ginjal dan curah jantung akan membaik saat
istirahat.
m. Peningkatan tekanan vena jugularis (JVP)

1.4 Patofisiologi ADHF


ADHF dapat muncul pada orang yang sebelumnya menderita gagal jantung
kronik asimptomatik yang mengalami dekompensasi akut atau dapat juga terjadi
pada mereka yang tidak pernah mengalami gagal jantung sebelumnya. Etiologi
ADHF dapat bersumber dari kardiovaskuler maupun non kardiovaskuler. Etiologi
ini beserta dengan faktor presipitasi lainnya akan menimbulkan kelainan atau
kerusakan pada jantung yang diakibatkan oleh proses iskemia miokard atau
hipertropi remodeling otot jantung atau kerusakan katup jantung yang dapat
menyebabkan disfungsi ventrikel sehingga terjadi gangguan preload maupun
afterload sehingga menurunkan curah jantung. Bila curah jantung menurun, maka
tubuh akan mengeluarkan mekanisme neurohormonal untuk mengkompensasi
penurunan curah jantung. Mekanisme ini melibatkan sistem adrenergik, renin
angiotensin dan aldosteron sehingga terjadi peningkatan tekanan darah akibat
vasokonstriksi arteriol dan retensi natrium dan air.
Pada individu dengan remodeling pada jantungnya, mekanisme kompensasi
akan menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimptomatik dimana
jantungnya telah mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi masih bisa
dikompensasi agar tetap dapat mempertahankan metabolisme dalam tubuh. Tetapi
bila telah mencapai ambang batas kompensasi, maka mekanisme ini akan
terdekompensasi sehingga muncul gejala klinis tergantung dari ventrikel yang
terkena sehingga muncul ADHF.
Proses remodeling maupun iskemia miokard akan menyebabkan kontraksi
miokard menurun dan tidak efektif untuk memompa darah. Hal ini akan
menimbulkan penurunan stroke volume dan akhirnya terjadi penurunan curah
jantung. Penurunan kontraktilitas miokard pada ventrikel kiri (apabila terjadi
infark di daerah ventrikel kiri) akan menyebabkan peningkatan beban ventrikel
kiri. Hal ini disebabkan karena penurnan kontraktilitas miokard disertai dengan
peningkatan venous return (aliran balik vena). Hal ini tentunya akan
meningkatkan bendungan darah di paru-paru. Bendungan ini akan menimbulkan
transudasi cairan ke jaringan dan alveolus paru sehingga terjadilah oedema paru.
Oedema ini tentunya akan menimbulkan gangguan pertukaran gas di paru-paru.
Sedangkan apabila curah jantung menurun, maka secara fisiologis tubuh akan
melakukan kompensasi melalui perangsangan sistem adrenergik dan RAA untuk
mempertahankan curah jantung ke arah normal. Sedangkan apabila tubuh tidak
mampu lagi melakukan kompensasi, maka penurunan curah jantung akan memicu
penurunan aliran darah ke jaringan berlanjut. Apabila terjadi penurunan aliran
darah ke ginjal, akan memicu retensi garam dan air oleh sistem renin angiotensin
aldosteron. Retensi ini akan menjadi lebih progresif karena tidak diimbangi
dengan peningkatan tekanan atrium kanan akibat proses dekompensasi, sehingga
terjadi kelebihan volume cairan yang berujung pada oedema perifer.
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertofi
miokardium atau bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi meningkatan jumlah
sarkomer dalam sel miokardium yang tergantung dari jenis beban hemodinamik
yang mengakibatkan gagal jantung. Sarkomer dapat bertambah secara parallel
atau serial. Respon miokardium terhadap beban volume seperti pada regurgitasi
aorta yang ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya tebal dinding jantung
1.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk pasien dengan ADHF
adalah dengan pemeriksaan darah lengkap (Hb, Ht, dan Leukosit), Elektrolit
(Kalium, Natrium, Clorida, Magnesium), pemeriksaan enzim jantung (CK-MB,
troponin, LDH), gangguan fungsi ginjal dan hati: BUN, Creatinin, Urine Lengkap,
SGOT, dan SGPT), pemeriksaan gula darah, kolesterol, trigliserida, dan Analisa
Gas Darah (AGD)
2. Pemeriksaan EKG
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali. Pemeriksaan EKG dilakukan untuk
mengetahui adanya penyakit jantung koroner (iskemik atau infark), pembesaran
jantung (LVH: Left Ventricular Hypertrophy), aritmia, dan perikarditis
3. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi ditujukan untuk menggambarkan ruang-ruang
dan katup-katup jantung yang memiliki masalah (mengalami gangguan).
Pemeriksaan ekokardiografi dapat memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri
secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau
akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan
menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding seperti
stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui
pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi
harus tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera
mungkin bagi pasien yang diduga ADHF (PERKI, 2015).
4. Kateterisasi Arteri Pulmonal Multilumen
Kateterisasi Arteri Pulmonal Multimen dilakukan untuk mengetahui tekanan
dalam sirkulasi jantung dan paru, mengetahui saturasi O2 di maisng-masing ruang
jantung, biopsi endomiokarditis pada kelainan otot jantung, meneliti
elektrofisiologis pada aritmia ventrikel berat recurrent, mengetahui beratnya lesi
katup jantung, mengidentifikasi penyempitan arteri koroner, angiografi ventrikel
kiri (identifikasi hipokinetik, aneurisma ventrikel, fungsi ventrikel kiri), dan
arteriografi koroner (identifikasi lokasi stenosis arteri koroner)

1.6 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Farmakologis
Penatalaksanaan sesuai klasifikasi gagal jantung adalah sebagai berikut :
a. FC I : Non farmakologi
b. FC II & III : Diuretik, digitalis, ACE inhibitor, vasodilator, kombinasi
diuretik, digitalis.
c. FC IV : Kombinasi diuretik, digitalis, ACE inhibitor seumur hidup.
Secara farmakologis, jenis obat yang dapat diberikan, antaralain sebagai
berikut:
a. Obat Antiiskemi
1) Penyekat Beta (Beta blocker)
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap
reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen
miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan
gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan
disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup
memadai dibandingkan injeksi. Penyekat beta direkomendasikan bagi
pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau
takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat
beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas I-B).
Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B). Pemberian
penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta
kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk
klasifikasi Kilip III (Kelas I-B).
2) Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel
kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari
nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun
yang mengalami aterosklerosis.
a) Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam
fase akut dari episode angina (Kelas I-C).
b) Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada
berlanjut. Sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit
sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus
dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada
indikasi kontra (Kelas I-C).
c) Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal
jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI.
Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi
pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat
beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas
I-B).
d) Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat
(<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau
infark ventrikel kanan (Kelas III-C).
e) Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi
inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam
48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian
vardenafil belum dapat ditentukan (Kelas III-C).
3) Calcium Channel Blockerrs (CCBs)
Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan
sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil
dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang
menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas
mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB,
terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi
angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI
umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta
dalam mengatasi keluhan angina.
a) CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala
bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta
(Kelas I-B).
b) CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI
dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B).
c) CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan
sebagai pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B).
d) CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik
(Kelas I-C).
e) Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release)
tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat
beta. (Kelas III-B).
b. Obat Antiplatelet
1) Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanpa indikasi kontra
dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg
setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi
pengobatan yang diberikan (Kelas I-A).
2) Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi
kontra seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A).
3) Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy-aspirin dan penghambat
reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat
perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan
pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia
65 tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid
(Kelas I-A).
4) Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12
bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis
(Kelas I-C).
5) Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko
kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan
troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali
sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan
awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah
mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian
dihentikan) (Kelas I-B).
6) Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg,
dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A).
7) Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300
mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk
pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa
mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B).
8) Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)
perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang
dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).
9) Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor
ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi
(termasuk CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan
selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau
clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat
risiko kejadian iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C).
10) Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan
(atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman
(Kelas IIa-B).
11) Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat
COX-2 selektif dan NSAID non-selektif ) (Kelas III-C).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa
memperdulikan jenis stent.
2. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Tujuan dasar penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung adalah :
a. Mendukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
b. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan-bahan
farmakologis
c. Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretik,
diet dan istirahat.
d. Menghilangkan faktor pencetus (anemia, aritmia, atau masalah medis
lainnya)
e. Menghilangkan penyakit yang mendasarinya baik secara medis maupun
bedah.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi ADHF secara
nonfarmakologis antara lain:
a. Diet rendah garam (pembatasan natrium)
b. Pembatasan cairan
c. Mengurangi berat badan
d. Menghindari alkohol
e. Manajemen stress
f. Pengaturan aktivitas fisik

1.9 Pencegahan
1. Pencegahan Primordial
Yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap penyakit
jantung dalam suatu wilayah dimana belum tampak adanya faktor yang menjadi
risiko penyakit jantung. Sasaran dari pencegahan ini adalah masyarakat yang
sehat secara umum. Upaya ini terutama ditujukan kepada masalah penyakit tidak
menular. Upaya primordial dapat berupa anjuran kesehatan, peraturan-peraturan
atau kebijakan nasional nutrisi dalam sektor agrokultur, industri makanan, impor
ekspor makanan, pencegahan hipertensi, promosi aktivitas fisik atau olahraga dan
peringatan pemerintah pada iklan rokok.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya awal pencegahan penyakit jantung sebelum
seseorang menderita penyakit jantung. Pencegahan ini ditujukan kepada
kelompok yang mempunyai faktor risiko tinggi. Dengan adanya pencegahan ini
diharapkan kelompok yang berisiko ini dapat mencegah berkembangnya proses
atherosklerosis secara dini.
Upaya-upaya pencegahan disarankan meliputi:
a. Mengontrol kolesterol darah, yaitu dengan cara mengidentifikasi jenis
makanan yang kaya akan kolesterol kemudian mengurangi konsumsinya
serta mengkonsumsi serat yang larut.
b. Mengontrol tekanan darah
Banyak kasus tekanan darah tinggi tidak dapat disembuhkan. Keadaan ini
berasal dari suatu kecenderungan genetik yang bercampur dengan faktor
risiko seperti stress, kegemukan, terlalu banyak konsumsi garam dan
kurang gerak badan. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan adalah
mengatur diet, menjaga berat badan, menurunkan stress dan melakukan
olahraga.
c. Berhenti merokok
Program-program pendidikan umum dan kampanye anti merokok perlu
dilaksanakan secara intensif di rumah sakit dan tempat umum lainnya
d. Aktivitas fisik
Manfaat melakukan akvifitas fisik dan olahraga bagi penyakit jantung
antara lain adalah perbaikan fungsi dan efisiensi kardiovaskular,
pengurangan faktor risiko lain yang mengganggu pembuluh darah koroner.
Ada dua jenis olahraga, yaitu olahraga aerobik dan olahraga anaerobik.
Olahraga aerobik adalah olahraga yang dilakukan secara terus-menerus
dimana kebutuhan oksigen masih dapat dipenuhi tubuh. Sebagai contoh
olahraga aerobik adalah gerak jalan cepat, jogging, lari, senam, renang,
dan bersepeda. Olahraga anaerobik adalah olahraga dimana kebutuhan
oksigen tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh tubuh. Sebagai contoh
angkat besi, lari sprint 100 M, tenis lapangan, dan bulu tangkis.
3. Pencegahan Sekunder
Yaitu upaya untuk mencegah atau menghambat timbulnya komplikasi melalui
tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan yang tepat pada penderita
penyakit jantung. Disini diperlukan perubahan pola hidup terhadap faktor-faktor
yang dapat dikendalikan dan kepatuhan berobat bagi mereka yang sudah
menderita penyakit jantung. Pencegahan ini ditujukan untuk menurunkan angka
mortalitas.
2. Asuhan Keperawatan
D.1. Pengkajian
a. Keluhan Utama
Biasanya klien merasakan nyeri dada sebelah kiri tembus punggung atau
menjalar hingga ke lengan kiri
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien dengan IMA biasanya klien mengeluh nyeri di bagian dada
sebelah kiri. Nyeri yang dirasakan klien seperti terbakar di bagian dada.
Nyeri di bagian dada kiri tembus ke punggung atau menjalar hingga ke
lengan kiri. Nyeri tidak hilang saat istirahat. Nyeri yang dirasakanklien
sering datang tiba-tiba. Selain itu klien juga akan mengeluhkan sesak nafas,
mual, kelemahan, dan berkeringat dingin.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah memiliki riwayat penyakit jantung
sebelumnya, apakah klien memiliki riwayat hipertensi yang menahun,
apakah klien memiliki riwayat penyakit DM, kaji juga apakah klien
mengalami obesitas atau tidak
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji apakah anggota keluarga yang tinggal serumah ada yang mengalami
gejala yang sama dengan klien atau tidak, kaji apakah ada anggota keluarga
yang memiliki riwayat hipertensi menahun. Kejadian IMA juga
kemungkinan berhubungan dengan kebiasaan merokok di dalam anggota
keluarga.
e. Pemeriksaan Fisik Body System
1) B1 (Breath)
Inspeksi : pengembangan dada simetris, penggunaan otot bantu
pernafasan (+), pernafasan cuping hidung (-), irama nafas
cepat (takipnea), RR di atas batas normal (>16-
20x/menit). Klien dengan ADHF akan mengalami
peningkatan RR akibat suplai O2 ke jaringan untuk
memenuhi kebutuhan tubuh tidak adekuat, sehingga klien
akan melakukan upaya kompensasi dengan meningkatkan
frekuensi pernafasan untuk memenuhi kebutuhan oksigen
tubuh.
Palpasi : tidak teraba massa atau benjolah di daerah dada, vocal
fremitus teraba jelas di lapang paru kanan-kiri, terkadang
tidak teraba jika klien disertai dengan edema paru akibat
infark secara luas
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru: ICS ke-1 hingga ICS ke-6
di seluruh lobus paru
Auskultasi : Ada bunyi nafas tambahan ronchi di akhir pernapasan
sebagai komplikasi infark secara luas
2) B2 (Blood)
Inspeksi : kaji apakah ada jejas di daerah dada
Palpasi : pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis
normal atau sedikit meningkat, pulsasi arteri karotis
melemah karena penurunan stroke volume yang dipompa
jantung, volume dan denyut nadi cepat, namun pada
kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat.
Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai., CRT
>2detik karena kurangnya suplai O2 ke jaringan.
Perkusi : redup pada batas jantung di daerah dada
Auskultasi : dari auskultasi terdengar suara jantung melemah, pada
infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal
yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung.
Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4),
penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting
suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel
jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar
suara friction rub perikard, umumnya pada pasien infark
miokard transmural tipe STEMI
3) B3 (Brain)
Adanya gangguan tidur akibat nyeri yang dirasakan oleh klien, demam,
nyeri dada sebelah kiri tembus ke punggung, nyeri seperti terbakar,
nyeri tidak hilang dengan istirahat, klien mengeluh pusing, konjungtiva
umumnya anemis karena perfusi jaringan tidak efektif
4) B4 (Bladder)
Frekuensi pengeluaran urin, warna, an bau urin dalam batas normal
pada infark miokard. Penurunan frekuensi urine akan ditemukan pada
klien dengan infark miokard bila terjadi perluasan hingga berakibat
pada retensi natrium.
5) B5 (Bowel)
Bising usus (+), frekuensi bising usus dalam batas normal, tidak ada
benjolan, nyeri tekan pada kuadran kanan bawah tidak ada, pembesaran
hepar tidak ada, mual, danmuntah, rasa tidak nyaman pada abdomen
yang berakibat pada penurunan nafsu makan
6) B6 (Bone)
Kelelahan, kelemahan, malaise, kelemahan otot, kehilangan tonus, tidak
ada pembatasan gerak sendi, perubahan turgor kulit atau kelembaban
kulit (kulit kering).
f. Pengkajian Pola Kesehatan
1) Aktivitas-Istirahat
Pada pnegkajian pola aktivitas-istirahat, klien mengeluh letih terus
menerus sepanjang hari. Klien akan mengalami kesulitan untuk tidur,
sakit pada dada saat beraktivitas, sesak nafas saat aktivitas atau saat
tidur, gelisah, perubahan status mental misalnya letargi, dan
ditunjukkan dengan tanda vital yang berubah saat klien beraktivitas
2) Sirkulasi
Kebanyakan klien dengan ADHF memiliki riwayat hipertensi yang
menahun dan juga penyakit jantung lain (AMI) yang menyertai. Klien
akan mengeluhkan bengkak pada telapak kaki, kaki,perut, perubahan
tekanan darah (rendah atau tinggi), takikardi, disritmia, bunyi jantung
(S3/gallop, S4 ), murmur sistolik dan diastolic, perubahan denyutan
nadi perifer dan nadi sentral mungkin kuat, warna kulit dan punggung
kuku sianotik atau pucat, pengisian kapiler yang lambat, dan teraba
pembesaran pada hepar. Selain itu juga terdapat refleks hepatojugularis,
bunyi nafas krekels atau ronchi, edema khususnya pada ekstremitas,
serta distensi pada vena jugularis
3) Integritas ego
Pada pengkajian integritas ego, klien umumya akan menunjukkan
gejala cemas, takut dan khawatir akan kondisi kesehatannya. Bahkan
ada beberapa kasus yang mengakibatkan klien marah dan mudah
tersinggung karena perubahan kondisi kesehatannya
4) Eliminasi
Kencing sedikit, kencing berwarna gelap, berkemih malam hari
(nokturia)
5) Makanan/cairan
Kehilangan nafsu makan (anoreksia), mual/muntah, perubahan berat
badan yang signifikan akibat adanya edema, pembengkakan pada
ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa sesak, penambahan berat
badan cepat, distensi abdomen (asites), edema (umum, dependent,
pitting, tekanan)
6) Hygiene
Kelelahan selama aktivitas perawatan diri
7) Neurosensori
Keletihan, pening, letargi, disorientasi, perubahan perilaku, mudah
tersinggung
8) Nyeri/keamanan
Nyeri dada, nyeri perut kanan atas, nyeri otot, tidak tenang, gelisah,
tampak meringis, takikardi
9) Pernafasan
Sesak saat beraktivitas, tidur sambil duduk, tidur dengan beberapa
bantal, batuk dengan atau tanpa dahak, nafas dangkal, penggunaan otot
bantu pernafasan, batuk kering atau nonproduktif atau batuk terus
menerus tanpa atau dengan sputum
g. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada klien dengan IMA:
1) Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG menunjukkan adanya elevasi segmen-ST sesuai
dengan lokasi dinding ventrikel yang mengalami infark. Pada fase
hiperakut, perubahan EKG didahului oleh gelombang T yang meninggi,
kemudian elevasi segmen-T selanjutnya terbentuk gelombang Q yang
patologis disertai elevasi segmen-ST.
2) Ekokardiografi
Ekokardiografi sangat berguna di dalam ruangan Coronary Care Unit
(CCU) karena dapat mendiagnosa dengan cepat dan tepat adanya iskemia
miokard terutama bila elektrokardiogram penderita tidak jelas dan kadar
enzim jantung belum meningkat. Ciri khas adanya nekrosis miokard
ekokardiografi adalah adanya abnormalitas pergerakan dinding ventikel.
3) Arteriografi Koroner
Dengan kateter khusus melalui cara kateterisasi perkutan, disuntikkan
zat kontras ke dalam arteri koroner yang hendak diperiksa. Dengan cara ini
tampaklah arteri koroner yang menyempit dan beratnya stenosis dapat pula
dinilai.

D.2. Masalah Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder.
2. Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan faktor-faktor
listrik, penurunan karakteristik miokard.
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan iskemik,
kerusakan otot jantung
5. Risiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan
penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium atau retensi air, peningkatan
tekanan hidrostatik, penurunan protein plasma.
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri dada
7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen miocard dan kebutuhan, adanya iskemik/nekrotik jaringan miocard
8. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan saat ini
9. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan dan nyeri
10. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang paparan informasi
D.3. Perencanaan Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Nyeri akut berhubungan NOC: NIC:
dengan iskemia jaringan Pain Level Pain Management Pain Management
sekunder. Pain Control 1. Observasi karakteristik, 1. Pasien dengan ADHF
lokasi, waktu, dan mengalami penumpukan
Setelah dilakukan tindakan perjalanan rasa nyeri asam laktat di jantung dan
keperawatan selama 2 x 24 dada tersebut. nyeri yang menjalar
jam pasien dapat: 2. Anjurkan pada klien 2. Nyeri timbul akibat oksigen
a. Nyeri dada berkurang menghentikan aktifitas yang tidak cukup sehingga
misalnya dari skala 3 ke 2, selama ada serangan harus istirahat
atau dari 2 ke 1 dan istirahat.
b. ekpresi wajah rileks, 3. Bantu klien melakukan 3. Napas dalam menurunkan
tenang, tak tegang, tidak tehnik relaksasi, mis hormon kortisol dan
gelisah nafas dalam, perilaku, mencukupi kebutuhan
c. Frekuensi nadi 60-100 distraksi, visualisasi, oksigen
x/menit atau bimbingan
d. TD 120/ 80 mmHg imajinasi. 4. Pasien dengan ADHF
e. Mengenal faktor-faktor 4. Monitor tanda-tanda mengalami hemodinamik
penyebab vital (frekuensi nadi & yang berubah-ubah
f. Mengenal onset/waktu tekanan darah) tiap dua 5. Pasien dengan ADHF
kejadian nyeri jam. mengalami nyeri berat
g. Melakukan manajemen 5. Kolaborasi dengan tim sehingga harus mendapat
nyeri non-farmakologis kesehatan dalam analgetik
h. Menggunakan analgetik pemberian analgetik
i. Melaporkan gejala-gejala
kepada tim kesehatan
j. Nyeri terkontrol
Risiko penurunan curah NOC: 1. Pertahankan tirah 1. Pasien dengan ADHF rasa
jantung berhubungan dengan Status Sirkulasi baring selama fase akut. nyeri akan berkurang jika
perubahan faktor-faktor Kaji dan laporkan istirahat
listrik, penurunan Setelah dilakukan tindakan adanya tanda-tanda 2. Pasien dengan ADHF
karakteristik miokard. keperawatan penurunan COP, TD mengalami ketidak
selama 3x24 jam pasien 2. Monitor haluaran urin seimbangan volume cairan
menunjukkan curah jantung 3. Kaji dan pantau TTV 3. Pasien dengan ADHF
membaik kreiteria 4. Kaji dan pantau EKG mengalami hemodinamik
hasil: tiap hari yang berubah-ubah
1) Tidak ada edema 5. Berikan oksigen sesuai 4. Pasien dengan ADHF
2) Tidak ada disritmia kebutuhan memiliki gelombang ST
3) Haluaran urin normal 6. Auskultasi pernafasan yang tidak normal
4) TTV dalam batas normal dan jantung tiap jam 5. Pasien dengan ADHF
sesuai indikasi terjadi iskemik atau
7. Pertahankan cairan hipoksia
parenteral dan obat- 6. Mengetahui komlikasi
obatan sesuai advis yang terjadi
8. Berikan makanan 7. Pasien dengan ADHF
sesuai diitnya mengalami ketidak
9. Hindari valsava seimbangan volume cairan
manuver, mengejan 8. Pasien dengan ADHF
(gunakan laxan) harus diit dengan hati-hati
sesuai indikasi
9. Mengejan dapat
meningkatkan TIK dan
terjadi kontraksi pada dada
dan abdomen.
Ketidakefektifan pola nafas NOC: NIC:
berhubungan dengan Status pernafasan (0415) Airway Management Airway Management
hiperventilasi Status Pernafasan: a. Kaji kepatenan jalan a. Mengidentifikasi apakah
ventilasi (0403) nafas pasien terdapat obstruksi akibat
adanya sekret pada jalan
Setelah dilakukan tidakan nafas pasien, menjadi
keperawatan selama 1x24 pedoman dalam menentukan
jam, pola nafas kembali intervensi
efektif b. Auskultasi suara nafas, b. Edema paru biasanya
Kriteria hasil: catat adanya suara menyebabkan obstruksi
a. RR dalam batas normal tambahan secret pada bronkus akibat
(15-20x/menit peningkatan produksi mucus
b. Irama nafas normal sehingga menimbulkan
c. Tidak ada tanda sianosis suara ronkhi
d. Pengembangan dada c. Posisikan pasien untuk c. Posisi pasien yang tepat
simetris memaksimalkan akan membantu udara yang
ventilasi keluar masuk paru-paru
berjalan optimal
d. Obstruksi pada bronkus
d. Monitor respirasi dan dapat menyebabkan
status O2 penurunan intake O2 saat
inspirasi sehingga tubuh
mengalami kekurangan O2
e. Air hangat mampu
e. Anjurkan klien untuk membantu pengenceran
minum air hangat secret
f. Obat bronkodilator
f. Kolaborasi dalam membantu melebarkan jalan
pemberian obat nafas pasien, dan mukolitik
bronkodilator dan dapat membantu
mukolitik pengenceran sekret

Terapi Oksigen (3320)


Terapi oksigen (3320) a. Terapi oksigen tidak akan
a. Pertahankan kepatenan efektif jika terdapat
jalan nafas hambatan di jalan nafas
b. Aliran oksigen yang terlalu
b. Monitor aliran oksigen cepat justru akan
mengakibatkan keracunan
oksigen
c. Air dalam humidifier harus
c. Periksa perangkat terisi untuk
pemberian oksigen mempertahankan
d. Monitor efektifitas kelembapan mukosa hidung
terapi oksigen d. Jika tidak memberikan
e. Berikan terapi oksigen dampak yang signifikan ,
melalui O2 nasal jika jumlah harus ditingkatkan
sianosis klien sudah e. Pemberian oksigen dapat
berkurang dan membantu mengembalikan
maintanance pola nafas menjadi normal
Ketidakefektifan perfusi NOC: 1. Monitor frekuensi dan 1. pasien dengan ADHF
jaringan perifer Perfusi Jaringan Perifer irama jantung mempunyai suara jantung
berhubungan dengan tambahan apabila ada
iskemik, kerusakan otot Setelah dilakukan tindakan komplikasi
jantung, penyempitan atau keperawatan selama 3x24 2. Observasi perubahan 2. pasien dengan ADHF dapat
penyumbatan pembuluh jam pasien menunjukkan status mental hipoksia dengan penurunan
darah arteri koronaria perfusi jaringan membaik kesadaran
kreiteria hasil: 3. Observasi warna dan 3. pasien dengan ADHF rentan
a. Daerah perifer hangat suhu kulit atau mengalami penurunan
b. Tidak ada tanda-tanda membran mukosa perfusi jaringan
sianosis 4. Ukur haluaran urin 4. pasien dengan ADHF yang
c. gambaran EKG tak dan catat berat berakibat pada gagal
menunjukan perluasan jenisnya jantung berisiko mengalami
infark kelebihan volume cairan
d. RR 16-24 x/ menit dalam tubuhnya
e. tak terdapat clubbing 5. pasien dengan ADHF terjadi
finger 5. Kolaborasi : Berikan ketidak keseimbangan
f. kapiler refill 3-5 detik cairan IV l sesuai cairan
g. nadi 60-100x / menit indikasi 6. pasien dengan ADHF
h. TD 100-140 mmHg 6. Pantau Pemeriksaan mengalami perubahan
diagnostik atau dan hemodinamik dan hasil
laboratorium mis EKG yang abnormal
EKG, elektrolit
,GDA( Pa O2, Pa
CO2 dan saturasi O2). 7. ROM dapat memperlancar
Dan Pemberian peredaran darah perifer
oksigen
7. Ajarkan ROM
Risiko kelebihan volume NOC: 1. Kaji tanda-tanda vital 1. pasien dengan ADHF
cairan ekstravaskuler Keseimbangan Cairan pasien. terjadi iskemik dan asupan
berhubungan dengan 2. Ukur masukan dan oksigen yang kurang
penurunan perfusi ginjal, Setelah dilakukan tindakan haluaran, catat 2. kebutuhan cairan perlu
peningkatan natrium atau keperawatan selama 3x24 keseimbangan positif diatur apabila odem
retensi air, peningkatan jam pasien menunjukkan (pemasukan melebihi 3. kelebihan cairan harus
tekanan hidrostatik, kelebihan volume cairan pengeluaran). diuku untuk menentukan
penurunan protein plasma. membaik kreiteria hasil: 3. Timbang berat badan intake
a. tekanan darah dalam batas tiap hari, dan catat 4. pasien dengan ADHF
normal 100-140 mmHg peningkatan lebih dari mempunyai suara napas
b. Tak ada distensi vena 0,5 kg/hari. tambahan apabila ada
perifer atau vena dan 4. Auskultasi paru, catat infeksi tambahan
edema dependen penurunan/tak adanya 5. pasien dengan ADHF
c. Suara paru veshikuler bunyi nafas dan mempunyai suara jantung
d. berat badan ideal (BB terjadinya bunyi tambahan apabila ada
ideal TB 100 10 %) tambahan (contoh komplikasi
krekels). 6. pasien dengan ADHF
5. Auskultasi bunyi terjadi odem dan harus
jantung, catat diperiksa untuk mengatur
terjadinya irama gallop keseimbangan cairan
S3/S4. 7. pasien dengan ADHF
6. Kaji derajat perifer terjadi ketidak
atau edema dependen. keseimbangan cairan
7. Kolaborasikan dengan 8. keluarga pasien dengan
tim medis pemberian ADHF kurang mengetahui
diuretic (spironolakton konsep penyakit
(Aldakton); furosemid
(lasix).
8. Berikan pendidikan
kesehatan tentang
penyakit IMA
Gangguan pola tidur NOC: NIC:
berhubungan dengan proses Tidur (0004) Fasilitasi Meditasi (5960) Fasilitasi Meditasi (5960)
penyakit (nyeri dada) Penampilan Peran (1501) a. Siapkan lingkungan a.Lingkungan yang tenang dan
yang tenang nyaman akan meningkatkan
Setelah dilakukan tindakan konsentrasi klien selama
keperawatan selama 2x24 dilakukan kegiatan meditasi
jam, klien dapat mengalami b. Anjurkan pasien untuk b. Duduk dalam posisi
peningkatan kuantitas dan duduk dalam posisi yang nyaman bagi klien
kualitas tidur dengan kriteria yang nyaman mampu meningkatkan
hasil: kerileksan otot-otot klien
a. Melaporkan perasaan sselama dilakukan meditasi
yang segar setelah tidur c. Anjurkan pasien untuk c.Otot-otot yang rileks dapat
b. Melaporkan merilekskan semua otot memperlancar aliran darah ke
kekonsistenan tidur dari dan tetap santai seluruh organ tubuh
awal sampai habis di d. Anjurkan pasien untuk d. Berdiam diri saat
malam hari berdiam diri saat bernafas mampu menciptakan
c. Perbaikan pola tidur bernafas melalui hidung ketenangan sehingga pasien
d. Peningkatan kualitas tidur benar-benar merasakan aliran
e. TTV dalam batas normal energi di dalam tubuhnya
e. Lanjutkan dengan e.Melakukan latihan nafas
latihan nafas berkali-kali mampu
meningkatkan suplai oksigen
di otak dan mampu
merilekskan otot-otot yang
ada di seluruh tubuh
f. Beri tahu pasien untuk f. Meminimalkan faktor yang
mengabaikan pikiran mampu meningkatkan
yang mengganggu dan pengalihan fokus
kembali fokus dengan
meditasi g. Melatih keteraturan
g. Beritahu pasien untuk jadwal latihan untuk
melakukan prosedur mengidentifikasi dampak
sekali atau dua kali yang signifikan terhadap
sehari, tetapi tidak perubahan fungsi
dalam 2 jam setelah
makan

Relaksasi Otot Progresif a.Meminimalkan


(1460) ketidaknyamanan klien atas
a. Pilih setting lingkungan lingkungan yang kurang
yang nyaman mendukung perbaikan
kebutuhan kenyamanannya.
b. Hiperekstensi tulang
punggung bagian atas akan
b. Skrining adanya cidera meningkatkan rasa tidak
ortopedik leher atau nyaman dan menambah
punggung komplikasi
c.Tegangan otot yang dilakukan
selama tindakan
c. Skrining terhadap dikhawatirkan mampu
peningkatan tekanan menciptakan cidera fisiologis
intracranial, kesulitan yang lainnya
kardiak akibat
hipertensi, dan d. Merilekskan sendi dan
kecenderungan otot yang ada di wajah untuk
perdarahan memperlancar aliran darah
d. Instruksikan pasien e. Mengkontraksikan otot-otot
untuk melakukan latihan yang ada di dalam tubuh
relaksasi rahang selama 5-10 detik untuk
e. Biarkan pasien tegang meningkatkan aliran darah ke
selama 5 sampai 10 berbagai fungsi organ
detik dengan melibatkan f. Membantu pasien untuk
setiap 8-16 kelompok merasakan perubahan sensasi
otot utama otot pada waktu tegang dan
pada waktu rileks sehingga
f. Instruksikan pasien aliran darah dapat mengalir
untuk fokus pada dengan lancar
sensasi otot pada saat g. Membantu pasien untuk
tegang merasakan perubahan sensasi
otot pada waktu tegang dan
pada waktu rileks sehingga
aliran darah dapat mengalir
g. Instruksikan pasien dengan lancar
untuk fokus pada h. Merilekskan otot-otot
sensasi otot pada saat dengan menghirup oksigen
rileks sekuat-kuatnya

h. Instruksikan pasien
untuk bernafas secara
perlahan dan
mengeluarkannya secara
perlahan
Intoleransi aktivitas NOC: NIC:
berhubungan dengan 1. Self Care: ADLs Energy Management Energy Management
ketidakseimbangan antara 2. Toleransi Aktifitas a. Observasi adanya a. Mengidentifikasi sejauh
suplai oksigen miocard dan 3. Konservasi Energi pembatasan pasien mana psien dapat melakukan
kebutuhan, adanya dalam melakukan aktifitas yang ditolerir oleh
iskemik/nekrotik jaringan Setelah dilakukan tindakan aktifitas tubuhnya
miocard (00092) keperawatan selama 3 x 24
jam pasien dapat bertoleransi b. Meminimalkan faktor
terhadap aktivitas dengan b. Kaji adanya faktor yang pencetus agar tidak terjadi
Kriteria Hasil: menyebabkan kelelahan kelelahan berlebih
k. Berpartisipasi dalam c. Mengidentifikasi kecukupan
aktivitas fisik tanpa c. Monitor nutrisi dan energi yang dimiliki tubuh
disertai peningkatan sumber energi yang untuk melakukan aktifitas
tekanan darah, nadi, dan adekuat d. Penurunan/ketidakmampuan
RR miokardium untuk
l. Mampu melakukan d. Monitor respon meningkatkan volume
aktifitas sehari-hari kardiovaskular terhadap sekuncup selama aktivitas
(ADLs) secara mandiri aktivitas (takikardia, dapat menyebabkan
m.Keseimbangan aktifitas disritmia, sesak nafas, peningkatan segera frekuensi
dan istirahat diaphoresis, pucat, jantung dan kebutuhan
perubahan oksigen juga peningkatan
hemodinamik) kelelahan dan kelemahan.
e. Mengidentifikasi kecukupan
energi yang dihasilkan
dengan beristirahat untuk
melakukan aktifitas
e. Monitor pola tidur dan
lamanya tidur atau Activity Therapy
istirahat pasien a. Peningkatan bertahap pada
aktivitas dengan
Activity Therapy menghindari kerja
a. Kolaborasikan dengan jantung/konsumsi oksigen
tenaga rehabilitasi dalam berlebihan. Penguatan dan
merencanakan program perbaikan fungsi jantung
terapi yang tepat dibawah stress, bila fungsi
jantung tidak dapat membaik
kembali.

b. Mengidentifikasi
kemampuan pasien dalam
melakukan aktifitas yang
b. Bantu pasien untuk ditolerir oleh tubuhnya
mengidentifikasi c. Mengidentifikasi minat
aktivitas yang mampu pasien dalam melakukan
dilakukan aktifitas yang akan
digunakan sebagai terapi
c. Bantu untuk d. Membantu pasien untuk
mengidentifikasi melkaukan kegiatan latihan
aktivitas yang disukai perbaikan aktifitas secara
kontinyu
d. Bantu pasien untuk
membuat jadwal latihan
diwaktu luang
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Butcher H.K., Dochterman J.M., Wagner C. 2013. Nursing


Interventions Classifications (NIC). 6th edition. Mosby: Elsevier Inc.

Gleadle, J. 2007. At a Glance: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:


Penerbit Erlangga.

Herdman, T. H. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017.


Jakarta: EGC.

Capernito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Arif, Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta. Medica
Aesculpalus, FKUI.

Moorhead S., Johnson M., Maas M.L., Swanson E. 2013. Nursing Outcomes
Classifications (NOC): Measurement of Health Outcomes. 5th edition.
Mosby: Elsevier Inc.

Price & Wilson. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: EGC

Smeltzer, S. Bare, B. Hinkle, J. & Cheever, K. 2010. Brunner & Suddarths


Textbook of Medical Surgical Nursing. 11th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.

Waugh, A., Grant A. 2014. Ross and Wilson Anatomy & Physiology in Health and
Illness. 12th edition. Churchill Livingstone: Elseiver (China) Ltd.

Anda mungkin juga menyukai