Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Konflik sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi,karena telah terjadi beberapa
insiden sebelumnya antar warga dayak dan madura. Konflik besar terakhir terjadi antara
desember 1996 dan januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk madura
pertama tiba dikalimantan tahun 1930 dibawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh
pemerintah kolonial belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah indonesia. Tahun 2000,
transmigrasi membentuk 21% populasi kalimantan tengah. Suku dayak merasa tidak puas dengan
persaingan yang terus datang dari warga madura yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah
memungkinkan warga madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial
diprovinsi ini seperti perkayuan,penambangan dan perkebunan. Ada sejumlah cerita yang
menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh
serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini
disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar
rumah-rumah dipemukiman madura. Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim
bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah beberapa
anggota mereka diserang.Selain itu, juga dikatakan bahwa seorang warga Dayak disiksa dan
dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di desa Kerengpangi pada 17
Desember 2000.

1.2 Rumusan masalah

1). Bagaimana sejarah masyarakat Sampit sampai menjelang timbulnya konflik tahun 2001?
2). Bagaimana konflik masyarakat Sampit tahun 2001?
3). Bagaimana dampak setelah konflik Sampit tahun 2001 terhadap kehidupan masyarakat
Sampit?
4).Bagaimana pandangan konflik sampit di lihat dari perspektif sosiologi hukum?
5).Bagaimanakah perjalanan konflik sampit sebelum tahun 2001?

1.3 Tujuan

Adapun beberapa Tujuannya adalah menjelaskan bagaimana situasi, kondisi masyarakat


sampit sebelum timbulnya konflik pada tahun 2001, menjelaskan bagaimana konflik masyarakat
sampit pada tahun 2001 silam, menjelaskan dampak setelah konflik tersebut pada kehidupan
masyarakat sampit, dan menjelaskan bagaimana perjalanan konflik masyarakat sampit sebelum
tahun 2001 di lihat dari perspektif sosiologi hukum?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah masyarakat sampit menjelang timbulnya konflik 2001

Sampit adalah ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur di Kalimantan Tengah, Indonesia.
Sampit merupakan salah satu permukiman tertua di Kabupaten Kotawaringin Timur, nama kota
ini sudah ada disebut di dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 maupun di
dalam Hikayat Banjar yang bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663. Pada tahun 2001, di kota
ini terjadi kerusuhan etnis antara suku Madura dengan Dayak. Dalam kerusuhan tersebut, lebih
dari 400 orang tewas dan 40.000 orang harus mengungsi.
Konflik Sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia, berawal pada
Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini dimulai di kota Sampit,
Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik
ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut
pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak.
Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga
Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal
kepalanya oleh suku Dayak. Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku
Dayak selama konflik ini. Suku Dayak memiliki sejarah praktik ritual pemburuan kepala
(Ngayau), meski praktik ini dianggap musnah pada awal abad ke-20.

2.2 Konflik masyarakat sampit tahun 2001


Meletusnya konflik komunal (communal conflict) etnik di Sampit yang berkecamuk sejak
hari Minggu, 18 Februari dinihari hingga awal Maret 2001 ini meledak begitu saja tanpa dapat
diantisipasi oleh siapapun. Padahal dalam empat tahun terakhir ini kita sebetulnya secara
beruntun telah berulang kali diterpa badai bencana yang sama di berbagai daerah Nusantara. Di
daerah Kalimantan saja, sesungguhnya konflik komunal ini telah berkecamuk sejak tahun 1950-
an. Kasus Sampit ini adalah yang ke 16 kali. Pada bulan Juli dan Desember tahun lalu juga
kembali terjadi gejolak konflik yang sama di Kalimantan Tengah. Mengapa kita begitu terlambat
untuk tidak mempersiapkan diri mengantisipasi kemungkinan datangnya bencana yang sama
sampai keadaan telah terlanjur luluh-lantak demikian rupa, baru kita terkesiap, hilang
keseimbangan dan tergagap-gagap tidak tahu harus berbuat apa ?

Ketidaksiapan kita sebagai pemerintah yang wajib memberikan jaminan keamanan kepada
semua warganya ini lebih disebabkan oleh kelengahan/kelemahan institusional dalam memantau,
menganalisis dinamika konflik lokal dan menyiapkan kerangka antisipasi dan penyelesaian yang
komprehensif, serta kekurangpedulian serta kekurangpekaan para pemimpin atas permasalahan
dan penderitaan rakyat di wilayah-wilayah yang rawan konflik. Proses pemisahan Polri dari TNI
yang belum tuntas serta dimulainya proses desentralisasi dengan persiapan serba tanggung telah
menyebabkan para pejabat (sipil dan militer) saling menunggu dan melempar tanggung-jawab
satu kepada yang lain. TNI menunggu Polisi meminta bantuan, Pemerintah Pusat menunggu
Pemda memohon pertolongan. Tidak muncul kesiapan pihak manapun yang bergerak atas dasar
ketulusan kecintaan kepada anak Bangsa yang terkapar mengenaskan

Dikatakan kelengahan institusional karena kita ternyata sampai kini belum memiliki suatu
Sistem Peringatan Dini yang mumpuni walaupun telah berulangkali diterpa badai konflik
komunal yang sejenis. Sesungguhnya, Peta Konflik Komunal di Nusantara tercinta ini dapat
dengan mudah dikenali dan dibuat. Lagipula, Anatomi Konflik Komunal itu juga memperagakan
pola-dasar yang nyaris seragam di berbagai titik-panas yang telah sempat meletus. Disamping
itu, secara institusional kita juga belum mampu menyuguhkan suatu Kerangka Penyelesaian yang
cermat, komprehensif dan realistik untuk dilaksanakan. Cara penyelesaian yang diajukan selama
ini selalu bersifat ad-hoc dan parsial. Lebih parah lagi cara-cara ad-hoc dan parsial inipun tidak
dilaksanakan dengan komitmen dan kesungguhan yang berkesinambungan.
Peta konflik di Nusantara dalam sepuluh tahun terakhir ini kurang-lebih menyebar mengikuti
garis pemisah Wallace (Wallace line). Jenis konflik Indonesia Barat yang terutama mencakup
Sumatera, Jawa dan Bali lebih merupakan konflik vertikal, antara negara/aparat negara yang
berhadapan dengan warga negara, seperti Aceh misalnya. Kalaupun, kelompok etnis tertentu
terseret dalam konflik itu maka biasanya karena kelompok itu diyakini dekat dengan aparat
negara yang korup, seperti kasus Bengkalis, Riau, baru-baru ini. Konflik yang bersifat vertikal
ini cepat atau lambat pada akhirnya akan menjalar menjadi konflik horizontal antara kelompok
etnis yang bersaing seperti dalam kasus Aceh, pendatang Jawa kemudian dimusuhi dan diusir
oleh penduduk asli Aceh.
Langkanya konflik horizontal di Indonesia bagian Barat ini sangat erat hubungannya
dengan mozaik konfigurasi komunal di sana. Hampir semua bagian wilayah ini, kecuali
Sumatera Selatan, didiami oleh satu suku utama yang dominan, Aceh oleh orang Aceh, Sumut
oleh Batak, Sumba oleh orang Minang, Jawa Barat oleh Sunda, Jawa Tengah dan Timur oleh
orang Jawa serta pulau Dewata oleh orang Bali. Tingkat homogenitas yang tinggi dan dominasi
yang digenggam oleh satu suku utama ini mampu menjadi instrumen pencegah dan peredam
yang ampuh. Lagipula secara relatif Indonesia Barat adalah wilayah yang lebih dulu terpapar
terhadap pengaruh luar. Sejak berabad-abad mereka terbiasa bergaul, dalam bidang perdagangan,
dengan pendatang minoritas yang sama sekali tidak membangkitkan rasa keterancaman di pihak
penduduk asli yang dominan. Toleransi akan keanekaragaman sudah melekat secara alamiah baik
dalam sistem budaya maupun dalam sikap dan tingkah laku warga Indonesia Barat.

Bentuk-bentuk Konflik Sampit

Keseluruhan permasalahan yang meletupkan konflik Sampit yang demikian bengis itu dapat
dipilah-uraikan anatominya dalam empat (4) kelompok faktor utama, yaitu : (1) pola pemukiman
yang berperan sebagai facilitating factor; (2) menyempitnya ruang-hidup (Lebensraum)
penduduk asli yang merupakan inti permasalahan (core of the problem) dari struktur konflik
komunal ini; (3) tergerusnya identitas-diri (self-identity) suku Dayak yang berperan sebagai
faktor sumbu pencetus (fuse factor); dan (4) lembaga penegak hukum yang lumpuh akibat aparat
yang korup yang berperan sebagai mekanisme penumpuk kekesalan (grudges) yang terus
membukit terutama selama 32 tahun terakhir ini.

1. Pola Pemukiman yang tersegregasi (segregated pattern of settlement).Seperti diketahui,


pola pemukiman suku asli di daerah pedesaan adalah pola pemukiman sub-suku (tribal
pattern of settlement). Tiap sub suku Dayak mengklaim teritori tertentu dengan batas-
batas yang jelas dengan teritori sub-suku lain. Penarikan batas yang jelas ini, di satu
pihak, kedalam sesama warga berfungsi sebagai penegasan rasa ke-kita-an (sense of
community) sekaligus untuk menjamin rasa aman (physical safety) dan lahan untuk
mewadahi kegiatan bersama dalam mengusahakan kesejahteraan (material well-being), di
lain pihak, merupakan pengakuan akan eksistensi sub-suku lain yang juga dihormati
haknya untuk hidup berdampingan secara damai. Pola pemukiman di pedesaan
Kalimantan ini kemudian dibawa dan diterapkan oleh warga Dayak yang berpindah ke
wilayah perkotaan. Mereka cenderung untuk mengelompok perumahannya dalam suatu
wilayah/sudut kota tertentu. Pola pemukiman yang segregatif secara horizontal akan
menjadi lahan konflik yang subur bila ia tumpang-tindih dengan segregasi kelas secara
ekonomi. Di banyak kota di Kalimantan, khususnya Sampit, Keterbelahan horizontal
memang benar-benar berhimpit dengan keterbelahan vertikal.

Keterbelahan vertikal ini mengambil bentuk dalam jenis-pekerjaan dan posisi-posisi strategis
yang dikapling oleh suku-suku tertentu. Mayoritas warga suku Dayak adalah petani, sedangkan
mayoritas suku-suku pendatang adalah di bidang non-pertanian. Sebagian besar dari posisi-posisi
strategis di bidang pemerintahan digenggam oleh suku-suku pendatang. Kalaupun ada satu dua
warga Dayak yang menjadi Camat atau Bupati, keseluruhan sisa jabatan birokrasi yang ada
dikuasai oleh suku-suku pendatang.

Pola bertempat tinggal yang segregatif ini yang kemudian berresonansi dengan pengkaplingan
pekerjaan dan posisi-posisi strategis jelas menyekat suku asli dari suku-suku pendatang yang
semakin mempertebal rasa ke-kita-an dan rasa ke-mereka-an di kedua belah pihak. Pada titik ini,
yang terjadi tidak ketertutupan sosial (social closure) tapi juga ketertutupan ekonomi (economic
closure). Bila hal yang terakhir ini terjadi, kekerasan struktural (structural violence) yaitu
penutupan akses ke dan kontrol atas sumber daya strategis mulai terjadi.

Bila hal ini tidak segera dikoreksi maka lambat atau cepat structural violence akan melahirkan
physical violence.

2. Menyempitnya Ruang Kehidupan Suku Dayak. Ruang kehidupan dan mata pencaharian
suku Dayak yang sangat terjalin erat hutan dan tanah terancam punah oleh kebijakan
pemerintah Pusat Orba yang banyak memberi HPH kepada para konglomerat kroni. Tiga
puluh tahun lalu, Kabupaten Kotawaringin Timur di mana Sampit berada, mempunyai 5
juta Ha hutan. Sekarang menyusut tinggal 2,7 juta Ha yang masih berbentuk hutan. Dari
jumlah ini hanya 0,5 Ha yang ditetapkan sebagai hutan-lindung yang tidak boleh diolah
oleh siapapun termasuk warga Dayak. Ada rencana untuk mengambil 2,7 juta Ha yang
tersisa tersebut di atas untuk dijadikan perkebunan Negara. Bila pembabatan hutan, baik
legal maupun yang illegal, terus berlangsung dengan kecepatan seperti sekarang ini maka
diperkirakan seluruh hutan di Kabupaten Kotawaringin Timur akan habis tak berbekas
dalam 10 tahun yang akan datang. Bagian hutan yang diambil alih telah disulap menjadi
tanah pertanian, perkebunan, semak-belukar serta pemukiman.

Ruang kehidupan yang semakin sempit terutama dirasakan oleh generasi muda Dayak yang
masih harus membangun hidup mereka. Bila hutan dan lahan sistem perladangan mereka
menjadi sempit, tentu saja mereka pindah ke daerah perkotaan. Kota Sampit dan Palangka Raya
adalah kota-kota tujuan prioritas. Tapi dapatkah mereka bersaing dengan suku-suku pendatang di
kedua kota itu ? Ternyata jawabnya adalah: tidak. Karena mereka tidak dilengkapi secara baik
(ill-equipped) untuk kehidupan di daerah perkotaan dibandingkan dengan anak muda warga
suku-suku pendatang. Mayoritas anak muda Dayak hanya berpendidikan tamat Sekolah Dasar.
Mereka hanya bisa masuk ke sektor informal dengan mengandalkan kekuatan otot mereka. Pada
saat yang sama, banyak layar televisi memamerkan iming-iming gaya hidup yang mewah dan
berlimpah. Frustrasi secara perlahan-lahan tapi pasti mulai menggumpal di dada anak-anak muda
Dayak. Merekalah yang terlihat bersorak-sorak di atas truk-truk merayakan dan memamerkan
hasil pembantaian mereka atas suku Madura.

2.3 Dampak setelah konflik sampit 2001 terhadap kehidupan masyarakat sampit
Ruang kehidupan dalam kota Sampit juga semakin tidak nyaman. Walaupun Sampit
tumbuh pesat sebagai pusat perdagangan kayu (resmi maupun tidak resmi), fasilitas umum kota
sangat miskin. Listrik sering mati hidup, dan air bersih merupakan barang mewah. Selokan dan
parit-parit kotor tidak terurus. Berbagai penyakit menular marak di mana-mana. Fasilitas
kesehatan kalau tidak terjangkau jaraknya, ia juga tidak terjangkau harganya. Gedung sekolah
dan sarana sekolah lain, apalagi buku pelajaran menjadi ajang lahan korupsi yang subur. Korupsi
dipraktekkan di mana-mana termasuk Polisi yang sering menarik pungutan 10 % dari para turis.

3. Tergerusnya Identitas Diri Suku Dayak. Bersamaan dengan hilangnya hutan Kalimantan,
terikut juga proses tergerusnya identitas diri suku Dayak yang cara hidup (way of life)
dan budayanya terjalin erat dengan eksistensi hutan. Dalam pertemuan dan interaksi
dengan budaya luar, mereka selalu diposisikan dalam sikap defensif. Upaya untuk
mengadopsi budaya luar yang berbasis non hutan dan non pertanian terlihat terlalu berat
bagi mereka.
Identitas diri suku Dayak memang terus-menerus mengalami reformulasi dan redefinisi sejak
persentuhannya dengan agama-agama dunia (Islam, Protestan dan Katholik). Demikian juga
pada saat arus migrasi suku Melayu, Bugis dan Jawa datang ke wilayah Kalimantan sejak Abad
15. Pada saat awal, ketika persentuhan hanya terjadi di daerah pesisir pantai, dan karena itu tidak
merambah wilayah hutan pedalaman, tradisi Dayak masih dapat bertahan karena hutan mereka
tetap utuh. Tetapi setelah kedatangan transmigran yang menusuk langsung ke pedalaman dan
setelah Orde Baru memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), maka eksistensi tradisi dan
budaya mulai perlahan-lahan tapi pasti tergerus seiring dengan bertumbangannya pohon-pohon
Kalimantan. Hutan yang selama masa nenek-moyang mereka dipelihara dengan kearifan
tradisional (traditional wisdom) dalam hubungan bersahabat yang saling menguntungkan di ubah
oleh pasar dunia menjadi sekedar komoditi diatas landasan falsafah instrumentalisme. Pohon-
pohon Kalimantan tidak lebih dari sekedar instrumen pembangunan untuk menghasilkan devisa.

2.4 Pandangan konflik sampit dilihat dari perspektif sosiologi hukum

Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau merasa
memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik timbul sebagai akibat ketidakseimbangan
hubungan (kesenjangan sosial, perbedaan status sosial, akses sumber daya, dan kekuasaan).

Robbin, Myers, dan Stoner memberikan pandangannya mengenai konflik dalam tiga perspektif.

1. Pandangan Tradisional

Konflik merupakan sesuatu yang negative merugikan dan harus dihindari

Konflik terjadi karena adanya disfungsi komunikasi

2. Pandangan hubungan manusia (pandangan modern)

Konflik dianggap sebagai peristiwa yang wajar terjadi

Sesuatu yang tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan pandangan

3. Pandangan Interaksionis (pandangan modern)


Konflik harus didorong untuk selalu muncul

Konflik perlu dipertahankan sehingga akan ada dinamika

Menurut Dr Thamrin Amal Tomagola, sosiolog dari Universitas Indonesia, ada empat faktor
utama akar konflik di Kalimantan, yaitu;

Terjadinya proses marginalisasi suku Dayak. Pendidikan yang minim dan sedikitnya
warga Dayak yang bisa menikmati pendidikan mengakibatkan sedikitnya warga Dayak
yang duduk di pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah lebih banyak di pegang oleh
warga pendatang.

Penempatan transmigran di pedalaman Kalimantan yang mengakibatkan singgungan


hutan. Hutan bagi masyarakat Dayak adalah tempat tinggal dan hidup mereka. Ketika
transmigran ditempatkan di pedalaman Kalimantan, dan mereka melakukan penebangan
hutan, kehidupan masyarakat Dayak terganggu. Sejak tahun 1995 para transmigran di
tempatkan di pedalaman Kalimantan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu
menempatkan transmigran di pesisir. Para pendatang baru inilah, yang dikenal keras dan
pembuat masalah, tidak seperti pendatang-pendatang sebelumnya. Selain soal
transmigrasi, pemerintah juga telah memberikan keleluasaan bagi para pengusaha untuk
membuka hutan melalui HPH.

Masyarakat Dayak kehilangan pijakan, terganggunya harmoni kehidupan masyarakat


Dayak mengakibatkan masyarakat Dayak kehilangan pijakan. Kekuatan adat menjadi
berkurang. Kebijakan-kebijakan pemerintah telah menghilangkan atau mengurangi
identitas mereka sebagai masyarakat adat.

Hukum yang tidak dijalankan dengan baik mengakibatkan banyaknya terjadi tindak
kekerasan dan kriminal yang dibiarkan. Proses pembiaran ini berakibat pada lemahnya
hukum dimata masyarakat, sehingga masyarakat menggunakan caranya sendiri untuk
menyelesaikan berbagai persoalan, diantaranya dengan menggunakan kekerasan.

Konflik antar suku bangsa Madura dan Dayak ini dapat dikatakan juga sebagai Masalah Sosial.
Menurut Djaldjuni (1985), bahwa masalah sosial adalah suatu kesulitan atau ketimpangan yang
bersumber dari dalam masyarakat sendiri, dan membutuhkan pemecahan dengan segera, dan
sementara itu orang masih percaya akan masih dapatnya masalah itu dipecahkan. Arti bersumber
dari dalam masyarakat itu sendiri adalah bahwa masalah tersebut munculnya sebagai bagian dari
system kemana masyarakat biasanya berorientasi.

Perbedaan pola pandang orientasi suku bangsa Madura yang bertransmigrasi ke Sampit (Dayak)
Kalimantan Tengah ini ialah salah satu hal yang memicu adanya Konflik sosial diantara Suku
Bangsa ini. permasalahan kasus konflik Sampit ini dapat dikaji dari beberapa perspektif teori
sosiologi.

A. Perspektif berdasar teori Konflik

Tokoh utama dalam teori konflik ini ialah Ralf Dahrendorf. Beliau mengatakan bahwa
masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang
terus menerus diantara unsur-unsurnya, kemudian setiap elemen atau institusi memberikan
sumbangan terhadap disentegrasi sosial, dan yang terakhir teori konflik menilai keteraturan yang
terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan
kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan
posisi, yang keduanya merupakan fakta sosial.

Sedangkan menurut Lewis A Coser (Poloma, 1987:115 dan Turner, 1986:165). Menurut Coser,
konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negative. Fungsional secara positif
apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok, sebaliknya bersifat negative apabila
bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan system nilai yang ada dalam masyarakat,
konflik bersifat fungsional negative apabila menyerang suatu nilai inti. Dalam hal konflik antara
suatu kelompok dengan kelompok lain, konflik dapat bersifat fungsional positif karena akan
membantu pemantapan batas-batas structural dan mempertinggi interaksi dalam kelompok.

Masalah konflik atau terhambatnya proses integrasi sosial antara transmigran (madura) dengan
penduduk asli (dayak) seringkali juga didasari oleh perbedaan atau pertentangan nilai. Selain itu,
perbedaan nilai yang menyangkut unsur budaya fisik juga dapat menyulut terjadinya konflik
yang bersifat destruktif atau fungsional negative terhadap integrasi sosial. Apalagi apabila
kemudian disadari bahwa diantara kedua belah pihak terdapat juga pertentangan kepentingan
sehingga masing-masing pihak berposisi sebagai kelompok kepentingan terhadap yang lain.

Yekni Maunati, dalam Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, mengemukakan
bahwa Orang Dayak adalah masyarakat yang defensif dan tidak reaktif. Banyak orang bilang
bahwa etnis ini adalah etnis yang penyabar dan jarang marah. Etnis Dayak punya sistem
hubungan yang cukup baik dengan etnis lain seperti saling menghormati dan sangat percaya atas
apa yang dilakukan orang pada dirinya. Namun kepercayaan mereka bukannya tanpa balasan
artinya mereka bisa sangat kecewa jika dibohongi atau dikecewakan. Mereka bisa sangat baik
dan menghamba jika di perlakukan baik namun akan sangat marah jika dikecewakan atau
dibohongi. Perbedaan budaya pada dua komunitas ini melahirkan perbedaan pemaknaan tentang
kehidupan masing masiang . Etnis Dayak menyatakan bahwa Orang Madura telah melanggar
batas-batas nilai mereka dan Etnis Madura menganggap hal tersebut biasa bagi mereka.
(Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politi Kebudayaan, 2004). Sehingga, akibat dari perbedaan
cara pandang nilai atau kaidah-kaidah yang sedari awalnya ada di lingkungan masyarakat
Sampit, dan setelah datangnya suku Madura ke daerah mereka, maka terjadilah disentegrasi
sosial hingga mengakibatkan rentetan konflik-konflik sosial yang berpuncak pada Februari 2001
silam.

Pembantaian yang terjadi tidak bisa disederhanakan sebagai konflik antara orang Dayak
dengan Madura, apalagi sebagai konflik agama. Tapi akar dari masalah ini sudah lama tercipta
ketika pemerintahan Orde Baru, yang didukung oleh lembaga-lembaga hutang internasional,
secara bersama-bersama menanam modal di proyek-proyek besar, yang juga menanam akar
dari konflik yang terjadi sekarang ini dan juga menggambarkan situasi kemanusiaan di
Indonesia secara umum (Pernyataan NGO, Jakarta 1 Maret 2001).

Dalam perspektif institusional dalam teori konflik Dahrendorf dinyatakan bahwa masyarakat
tersusun dalam suatu struktur dimana sebagian anggota masyarakat mempunyai kekuatan
(power) termasuk penguasaan resources, kesempatan, dan peluang yang lebih besar
dibandingkan dengan anggota masyarakat lain. Dengan demikian, lapisan ini mampu
mengendalikan dan mengontrol kehidupan sosial ekonomi dalam system sosialnya. Sebagai
akibat lebih lanjut adalah adanya ketimpangan dan distribusi yang tidak merata antara lapisan
yang lebih menguasai power, resources, dan kesempatan, dibanding lapisan lain.
Ketidakseimbangan pengiriman jumlah pendatang atau transmigran dari suku Madura ke wilayah
Sampit sehingga menekan posisi para penduduk aslinya yaitu suku dayak. Membuat rentetan
konflik diwilayah tersebut tejadi. Orang Suku Dayak dapat dikatakan menjadi suatu kelompok
minoritas di wilayahnya sendiri, sehingga kelompok Suku Madura terlihat lebih menguasai tanah
Ibu masyarakat Dayak tersebut. Potensi kearah konflik akan menjadi semakin bertambah besar
apabila kelompok minoritas cenderung bersifat ekslusif sebagaimana disebutkan sebagai lima
karakteristik kelompok minoritas berikut ini (Wagley and Harris, dalam Julian : 1986:234).

1) Minoritas merupakan sub ordinasi dari masyarakat yang kompleks

2) Minoritas cenderung mempunyai ciri fisik atau penampilan budaya khusus yang tidak disukai
oleh kelompok yang dominan dalam masyarakat.

3) Minoritas cenderung mengembangkan kesadaran berkelompok dan rasa kebersamaan diantara


mereka

4) Anggota kelompok minoritas diwarisi aturan dan nilai turun temurun dari kelompok mereka,
untuk mempertahankan karakteristik kelompok pada generasi berikutnya.

5) Anggota kelompok minoritas cenderung melakukan endogamy atau perkawinan diantara


sesama anggotanya sendiri.

Dalam hal ini kelompok etnis dayak merupakan kelompok minoritas yang semakin lama semakin
tertekan akibat rentetan masalah sosial yang terjadi pada etnis mereka, hanya saja kelompok
dayak terlalu lama memendam rasa amarah mereka dari tahun ke tahun sehingga mengakibatkan
perang yang memuncak pada Februari 2001. Ketidakadilan yang mereka rasakan menjadi factor
utama mereka melaksanakan perang ini. ketidakadilan yang mereka rasakan tentu saja takkan
mereka rasakan apabila sedari awal pemerintah dapat mempertimbangkan lebih matang ketika
ingin mengirim para transmigran ke wilayah Sampit, Kalimantan Tengah.

B. Perspektif berdasar teori Interaksionisme Simbolik

Teori ini bersumber dari paradigma definisi sosial. Buah pikiran yang cukup penting dalam
paradigma ini adalah karya Weber dalam analisisnya tentang tindakan sosial (social action)
(Ritzer, 1980:84). Weber tidak memisahkan dengan tegas antara struktur sosial dan pranata
sosial. Keduanya membantu membetuk tindakan manusia yang penuh arti atau penuh makna.
Pokok persoalan dalam paradigma ini adalah tindakan sosial antar hubungan sosial. Tindakan
sosial dimaksudkan sebagai tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau
arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan bagi tindakan orang lain. Teori Interaksionisme
Simbolik yang dibangun dari paradigma definisi sosial memandang manusia sebagai aktor yang
sadar dan reflektif, yang menyatukan objek-objek yang diketahuinya melalui apa yang disebut
Blumer sebagai self indication (Poloma, 1987:264). Self indication adalah proses komunikasi
yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan
memikirkan untuk bertindak berdasarkan makna itu. bagi Blumer Interaksionisme Simbolis
bertumpu pada tiga premis.

1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi
mereka

2) Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain

3) Makna-makna tersebut disempurnakan disaaat proses interaksi sosial berlangsung

Dari ketiga premis tersebut dapat dimaklumi apabila bagi teori ini, konsep individual, interaksi
dan interpretasi merupakan tiga terminology kunci dalam memahami kehidupan sosial.
Semenjak Kelompok etnis Madura bertransmigrasi ke wilayah Sampit. Hubungan antara etnis
Madura dan Dayak tidak dapat berinteraksi secara harmonis antara sesamanya sehingga lama
kelamaan interpretasi mereka antar etnis masing-masing memiliki anggapan yang sangat
bertentangan. Akibat pertentangan ini akhirnya menimbulkan konflik antar pihak Madura dan
Dayak.

Salah satu teori terpenting dalam Interaksionisme Simbolik juga dikemukakan oleh George
Herbert Mead. Secara substansif, teori Mead menitikberatkan dan memprioritaskan dunia sosial.
Jadi, dari dunia sosial inilah kesadaran, pikiran, diri, dan lain sebagainya muncul. Unit paling
dasar teori sosial adalah perbuatan, yang meliputi empat tahap yang terkait secara dialektis-
impuls, persepsi, manipulasi, dan komunikasi. Tindakan sosial melibatkan dua orang atau lebih,
dan mekanisme dasar tindakan sosial adalag gesture. Manusia mampu menciptakan gesture
vocal, dan ini membawa pada kemampuan khas manusia untuk mengembangkan dan
menggunakan symbol-simbol signifikan menyebabkan perkembangan bahasa dan kapasitas
manusia untuk berkomunikasi, dengan pengertian sebenarnya, satu sama lain. Symbol-simbol
signifikan juga memungkinkan untuk berpikir maupun melakukan interaksi menggunakan
symbol.

Penyebab lain dari konflik antara masyarakat adat dengan pemukim Madura dan konflik-
konflik lain di Indonesia adalah pembangunan yang dipromosikan rejim Suharto selama tiga
puluh tahun lebih. Sumber-sumber daya alam, termasuk hutan dan tambang Kalimantan
diberikan kepada elite bisnis yang berkuasa sebagai konsesi. Pemilik adat masyarakat adat
Dayak secara sistematis ditolak hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam. Mereka tidak
punya jalan untuk menempuh langkah hukum dalam mempertahankan hak-hak mereka karena,
berdasarkan undang-undang Indonesia, hutan merupakan milik negara.

Akibatnya masyarakat Madura dan dayak tidak bisa malakukan interaksi secara harmonis karena
pemaknaan symbol yang berbeda dari diri mereka masing-masing. Masyarakat Madura
menganggap apa yang mereka lakukan dengan tanah adat atau hutan yang ada di wilayah sampit
sebagai bagian dari kewajiban mereka sebagai transmigran yang diperuntukkan mengolah lebih
lanjut hutan disana. sedangkan para suku Dayak yang bertumpu hidup pada hutan dan tersimpan
banyak aturan adat yang ada didalamnya merasa diacuhkan serta dilupakan. Sehingga, konflik
demi konflik pun tak bisa dihindari terjadi.

Pemaknaan yang berbeda ini semata-mata tidaklah salah. Sosialisasi yang dilakukan oleh
pemerintah sewaktu memindahkan masyarakat Madura ke wilayah sampit tidaklah matang.
Karena banyak aspek yang dilupakan. Mereka lupa, bahwa ada penduduk asli sana yang telah
hidup dari zaman nenek moyang hingga akhirnya suku Madura datang. Mereka sangat menjaga
hutan kala itu, sehingga hutan dikalimantan tengah khususnya masih sangat luas dan terjaga
keasliannya. Namun, semenjak masyarakat Madura datang ke wilayah Sampit ditambah para
pemodal asing dalam bidang perdagangan kayu-kayu hutan. Hutan dikalimantan pun meranggas
satu persatu. seharusnya pemerintah dapat berpikir lebih luas lagi sewaktu ingin melakukan
transmigrasi pada warganya. Sehingga, konflik seperti ini bisa tidak terjadi atau paling tidak
bukan konflik yang sebesar ini. karena, sangat banyak pihak yang dirugikan, baik pihak dari
Suku Dayak, maupun dari suku Madura.
Ada beberapa hal untuk menangani kasus konflik sampit ini bila didasarkan pada teori konflik,
diantaranya adalah:

1. Katup penyelamat (savety value): ialah suatu mekanisme khusus yang dapat dipakai
untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat
membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Banyak
orang melihat cara ini dapat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan.
Tanpa sarana tersebut hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan
semakin tajam.

2. Simbiosme mutualistik, dalam arti mengusahakan suasana atau iklim sedemikian rupa,
sehingga diantara kelompok-kelompok yang potensial terlibat konflik merasa dapat
saling mengambil keuntungan dari kehadiran masing-masing. Bila dikatakan bahwa suku
Madura jauh lebih pandai, ulet, pekerja keras. Dengan melakukan interaksi sosial yang
baik dengan masyarakat suku dayak bisalah sedikit berbagi ilmu. Saling merangkul
karena mereka sudah berada dalam satu tanah. Penanaman nilai, juga sosialisasi yang
sempurna perlu digiatkan kembali.

3. Nilai koordinatif, dalam pengertian ada suatu nilai inti yang mampu mengkoordinasikan
setiap nilai yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian nilai-nilai yang ada
berkedudukan subordinasi terhadap nilai koordinatif ini. sebelum pemerintah menentukan
peraturan apa yang ditetapkan untuk wilayah sampit, janganlah lupa turut sertakan
pendapat penduduk aslinya. Sehingga hukum adat, dengan hukum pemerintah dapat
sejalan sehingga kecemburuan sosial dapat terhindarkan.

4. Transformasi structural, dalam pengertian ditransformasikan suatu struktur sosial baru


yang diperhitungkan dapat menghilangkan perbedaan posisi yang mengakibatkan konflik
nilai dan konflik kepentingan.

Selain itu dalam sudut pandang kewarganegaraan, seharusnya pemerintah menaati undang-
undang Dasar yang telah ditetapkan mengenai persamaan kedudukan warga negara dalam
berbagai bidang kehidupan. Dalam kasus konflik ini terlihat sekali, bahwa suku dayak sangat
terdeskriditkan diwilayah mereka sendiri, justru masyarakat suku Madura yang berkuasa.
Pemerintahpun kurang melakukan pemerataan dalam berbagai aspek untuk masyarakat suku
dayak. Pendidikan, kesejateraan, tanah adat, dan lain sebagainya banyak terlupakan untuk
masyarakat suku dayak. Sehingga, tak heran apabila ketika masayrakat suku Madura masuk
kewilayah sampit. Mereka dapat mendominasi wilayah itu secara pesat. Karena landasan mereka
adalah hukum Indonesia, bukan Hukum Adat Dayak yang tidak diakui keberadaannya oleh
pemerintah.

Secara sosiologis, secara umum ada dua metode dalam penanggulangan masalah sosial, yaitu
metode yang bersifat preventif dan metode yang bersifat represif. Metode preventif dilakukan
dengan mengadakan penelitian yang mendalam terhadap kemungkinan gejala-gejala sosial yang
dapat menimbulkan masalah sosial. Sedangkan metode represif adalah proses penanggulangan
secara langsung terhadap masalah sosial yang sedang tumbuh dan dirasakan oleh masyarakat.
Artinya, tindakan penanggulangan baru akan dilakukan setelah gejala-gejala sosial itu dapat
dipastikan sebagai masalah sosial.

Selain itu, dengan metode analisis dan perencanaan sosial pun dapat dilakukan untuk menangani
konflik sampit ini. yaitu dengan cara melakukan penelitian-penelitian secara ilmiah. Para
penelitinya mengumpulkan data sebagai dasar untuk mencari penyebab-penyebab timbulnya
masalah sosial yang sedang terjadi atau secara langsung menerapkan hasil keputusan pemikiran-
pemikiran tertentu untuk meniadakan masalah sosial tersebut. Metode ini tidak semata-mata
mendasarkan pada kenyataan yang ada, tetapi juga mempertimbangkan cara-cara yang bersifat
tradisional. Metode ini berusaha menyesuaikan diri terhadap kebiasaan-kebiasaan masyarakat,
sebab jika tidak akan sulit dapat bekerja sama dengan msayarakat desa, lantara mereka biasanya
bersifat konservatif. Penerapan metode ini selalu disertai oleh pertimbangan-pertimbangan
tertentu terhadap nilai-nilai sosial berserta adat istiadat masyarakat setempat agar terdapat
keseimbangan dan kerjasama yang harmonis dalam usaha penanggulangan masalah-masalah
sosial tersebut. Dan perencanaan sosial ialah metode yang didasarkan pada fakta-fakta menurut
hasil penelitian ilmiah dan bukan berdasarkan pengalaman-pengalaman praktis atau penelitian-
penelitian tanpa perhitungan. Pemikirannya adalah usaha yang berorientasi pada masa depan
dengan ukuran waktu dan biaya yang telah ditetapkan. Perencanaan sosial berarti usaha
memperhitungkan dan menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih serasi sesuai dengan
lajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara sosiologis, perencanaan sosial
pada dasarnya merupakan alat untuk mempermudah usaha manusia menuju kepada suatu
kemajuan sosial (social progress).

2.5 Perjalanan konflik sampit sebelum tahun 2001

Konflik Sampit yang terjadi pada Februari 2001 merupakan salah satu rangkaian konflik yang
telah terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Segelintir rangkaian kejadian konflik-konflik yang
terjadi antara suku dayak dan Madura telah dituliskan dalam Buku Merah: Konflik Etnik Sampit,
Kronologi Kesepakatan Aspirasi Masyarakat, Analisis, Saran; Lembaga Musyawarah Masyarakat
Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (LMMDDKT); Tahun 2001). Adapun detail perjalanan
Konflik antar Etnis Dayak dan Madura selengkapnya berdasarkan deskripsi Laporan
LMMJDDKT, pada tabel berikut:

Tabel Perjalanan Konflik Etnis Madura dan Etnis Dayak

No Tahun Lokasi Kronologi Peristiwa

1 1972 Palangkaraya Seorang gadis dayak digodai dan diperkosa. Diselesaikan


dengan perdamaian menutut hukum adat.
2 1982 Pembunuhan terhadap seorang Dayak oleh Orang Madura.
Pelakunya tidak ditangkap, pengusutan hukum tidak ada.
3 1983 Kec. Bukit Batu, Seorang Etnis Dayak dibunuh, perkelahian 30 Orang
Kasongan Madura melawan satu Orang Dayak. Dilakukan
perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak,
isinya: Jika Orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya,
mereka siap untuk keluar dari Kalimantan Tengah.
4 1996 Palangkaraya Seorang gadis dayak diperkosa di gedung Bioskop Panala
oleh Seorang Madura, lalu dibunuh secara kejam.
Penyelesainannya dihukum ringan.
5 1997 Desa Karang Orang Dayak dikeroyok oleh Orang Madura, dengan
Langit, Barito perbandingan 2:40, dan Orang Madura meninggal semua.
Selatan Orang Dayak ditindak dengan hukuman berat, padahal
dalam konteks membela diri
6 1997 Desa Tumbang Seorang anak laki-laki dibunuh oleh seorang Suku Madura
Samba, Kec. penjual sate. Pada mulanya pertikaian antara Tukang Sate
Katingan dengan pemuda Dayak, namun ketika dikejar tidak
didapat. Maka, Seoarang anak yang kebetulan lewat pada
akhirnya menjadi korban.
7 1998 Palangkaraya Orang Dayak dikeroyok oleh empat Orang Madura, pelaku
tidak dapat ditangkap dan korban meninggal. Tidak ada
penyelesaian secara hukum.
8 1999 Palangkaraya Seorang petugas Ketertiban Umum (Tibum) dibacok oleh
Seorang Madura. Pelakunya ditahan, namun esoknya
dibebaskan tanpa tuntutan hukum.
9 1999 Palangkaraya Seorang Dayak dikeroyok beberapa Orang Madura, terkait
masalah sengketa tanah. Dua orang dayak meninggal.
Pembunuh lolos karena pergi ke Pulau Jawa. Saksi yang
berasal dari Suku Jawa di hukum 1,5 tahun.
10 1999 Desa Pangkut, Kec. Perkelahian massal antara Suku Dayak dan Madura karena
Arut Utara, Kab. Orang Madura memaksa mengambil emas pada saat Suku
Kota Waringin Dayak menambang emas. Tidak ada penyelesaian hukum.
Barat
11 1999 Desa Tumbang Terjadi penikaman terhadap suami isteri Orang Dayak oleh
Samba tiga Orang Madura. Biaya perawatan ditanggung Pemda.
Pelaku tidak ditangkap, karena sudah pergi ke Pulau Jawa.
12 2000 Desa Pungkut, Kota Satu keluarga Suku Dayak meninggal dibunuh oleh Orang
Waringin Barat. Madura, pelaku pembunuhan lari. Tidak ada penyelesaian
hukum.
13 2000 Palangkaraya Satu Orang Dayak meninggal dikeroyok oleh Suku
Madura di depan Gereja Imanuel. Pelaku lari dan tidak ada
proses hukum.
14 2000 Desa Kereng Pangi, Terjadi pembunuhan terhadap seorang Suku Dayak,
Kasongan. dikeroyok oleh Orang Madura. Pelaku kabur, pergi ke
Pulau Jawa. Tidak ada penyelasaian hukum.
15 2001 Sampit Konflik Sampit
Ketegangan terus terasa di Kalimantan Tengah menyusul kerusuhan antar etnis yang
diperkirakan menewaskan 500 orang dan menyebabkan 80.000 orang terpaksa meninggalkan
rumah. Berdasarkan catatan LMMDDKT, kronologis konflik Sampit yang terjadi dimulai pada
tanggal 18 Februari 2001 diawali oleh terjadinya perkelahian antara Suku Madura dengan
kelompok Suku Dayak di Jalan Padat Karya, yang mengakibatkan lima orang meninggal dunia
dan satu orang luka berat, kesemuanya berasal dari Suku Madura. Setelah itu terjadi pembakaran
rumah Suku Dayak sebanyak dua buah, yang dilakukan oleh Suku Madura dan satu rumah lagi
dijarah. Kejadian ini mengakibatkan tiga orang meninggal yang kesemuanya berasal dari Suku
Dayak. Kerusuhan semakin berkembang dan terjadi pembalasan antar suku yang pada akhirnya
kerusuhan tersebut merambat hingga ke Kota Palangkaraya, berdasarkan laporan LMMDDKT,
tercatat bahwa korban meninggal sebanyak 383 orang, korban luka-luka 38 orang, korban
materiil 793 rumah terbakar, 48 buah rumah rusak, dan sebanyak 57.492 orang dievakuasi
melalui laut untuk kembali ke Pulau Madura. (Laporan LMMDKT, 2001).

Suku dayak dan suku Madura merupakan beberapa contoh Gemmeinschaft atau paguyuban yang
ada di Indonesia. arti dari Gemmeinschaft sendiri ialah suatu perikatan manusia dengan perasaan
setia kawan dan kesadaran kolektif yang besar. Dalam bentuk pergaulan hidup yang merupakan
paguyuban (gemmeinschaft), kerelaan berkorban, kesetiaan, dan ketaatanlah sifat-sifat yang
paling terpuji. Dalam setiap paguyuban pasti memiliki kaidah-kaidah sosialnya masing-masing.
Kaidah adalah aturan umum mengenai tingkah laku atau perbuatan, yang berdasarkan
pertimbangan kesusilaan, kebiasaan, atau wawasan local. Karl Mannheim mengibaratkan kaidah-
kaidah sosial itu dengan lampu-lampu lalu lintas. Bila tidak ada kaidah-kaidah itu, maka seluruh
kehidupan bergolongan dengan segera akan menjadi kacau balau. Bilamana, masyarakat baru
melepaskan kaidah atau aturan-aturan lama yang ada, sebelum terbentuknya kaidah yang baru
bagi persekutuan itu, maka peristiwa seperti konflik Sampit ini sangat mungkin terjadi.
KESIMPULAN

Proses marginalisasi yang dialami suku Dayak, terutama generasi mudanya, akibat
kebijakan ekonomi lingkungan yang merusak hutan Kalimantan, sumber jati diri suku Dayak,
menggiring suku Dayak pada posisi terpojok yang tak berdaya. Mereka tidak tahu harus
bagaimana berhadapan dengan kekerasan struktural yang demikian sistematik dan dahsyat.
Kemarahan terhadap kekerasan struktural itu kemudian diarahkan pada suku Madura yang
karena tingkah-laku yang keras dan kasar dalam kehidupan keseharian menjadi personifikasi dari
kekuatan abstrak struktural tersebut. Aparat penegak hukum, khususnya polisi, membuat
pengarahan amarah pada suku Madura itu semakin mendapat pijakan empirik yang dihayati
dengan penuh kebencian. Dalam situasi seperti ini, provokasi sekecil apapun akan langsung
menyulut konflik komunal yang sangat bengis.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 2002. SOSIOLOGI Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara

Sunarso, dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press

Soetomo. 1995. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta: Pustaka Jaya

Ritzer, George and Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana

P. J. Bouman. 1951. Ilmu Masyarakat Umum. Jakarta: Pustaka Sarjana

Penelusuran lengkap sejarah Pertikaian Sampit, Asal Mula kerusuhan Sampit[KALTENG]


Kaskus The Largest Indonesian Community http://www.kaskus.us/showthread.php?
t=1258061 diakses pada tanggal 3 april 2015

Mengenang Kerusuhan Sampit, 2001 http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/21/mengenang-


kerusuhan-sampit-2001/ diakses pada tanggal 3 april 2015

Ruang Kontemplasi: Konflik Madura Sampit


http://iqfirdaus.blogspot.com/2008/09/wahidiyah.html diakses pada tanggal 3 april 2015

http://rahmatullah.banten-institute.org/2010/10/interaksionisme-simbolik-pada-kasus.html

SUMARNO , ASTRID SUSANTO,. Masyarakat Indonesia Memasuki Abad ke-21. Jakarta ;


Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen pendidikan dan Kebudayaan..1998

FORTUNA, DEWI, Konflik Kekerasan Internal. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2005
KONFLIK SAMPIT ANTARA ETNIK MADURA DAN DAYAK
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

OLEH

KARMILA

1316051263

FAKULTAS HUKUM PROGRAM EKSTENSI

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Anda mungkin juga menyukai