Anda di halaman 1dari 21

PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

( Character Education In School )


Sebuah Usulan Gagasan :

PENGEMBANGAN MODEL KONTRAK BELAJAR DENGAN PELIBATAN


MASYARAKAT UNTUK PENGUATAN KARAKTER SISWA DALAM
PEMBELAJARAN SAINS

Oleh
Triman Juniarso

Email : trimanunipa@yahoo.com

A. Latar Belakang

Maraknya konflik horizontal yang dipicu oleh unsur-unsur Suku,


Agama, Ras, dan Adat (SARA), perkelahian warga antar kampung,
perkelahian antar siswa dalam satu sekolah atau antar sekolah,
perkelahaian antar mahasiswa dalam satu kampus dan antar kampus,
perilaku tak terpuji berupa keinginan mencapai tujuan dengan menghalalkan
segala cara, tingginya tingkat korupsi, rendahnya produktivitas pekerja
(termasuk pegawai negeri), dan masih banyak lainnya menunjukkan bahwa
karakter masyarakat Indonesia belum kuat. Doni Koesoema A (2007:286)
menyebut dengan tegas dunia pendidikan Indonesia selama bertahun-tahun
mengalami penyakit kronis yang bahkan mengancam jiwa orang lain dan
siswa sendiri. Penyakit itu adalah tawuran antar pelajar, kekerasan, dan
tindak kejahatan. Avip Saefullah (2003) malah menyebut lembaga
pendidikan Indonesia telah gagal membangun karakter bangsa. Apabila hal-
hal tersebut tidak diperhatikan dan diselesaikan dengan sungguh-sungguh
maka masa depan bangsa Indonesia sulit untuk diramalkan menjadi bangsa
yang maju dan sejahtera.

Negara maju seperti Amerika Serikat juga menganggap pendidikan


karakter ini penting dilakukan. Salah satu Komisi di Departemen Tenaga

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 1


Kerja Amerika Serikat pada 1991 merekomendasikan pendidikan karakter di
sekolah agar lulusan dapat menyiapkan diri lebih baik dalam pekerjaan
(SCANS Report, 1991).

Pendidikan dapat berperan kuat dalam pembentukan karakter suatu


masyarakat. Inilah sebabnya mengapa negara memiliki kepentingan besar
dalam bidang pendidikan yaitu untuk mempersiapkan warga negaranya
memiliki karakter yang kuat dalam rangka mencapai tujuan hidup berbangsa
dan bernegara. Harbison dan Hanushek (1992) menyatakan bahwa a
country which is unable to develop the skills and knowledge of its people
and to utilize them effectively in the national economy will be unable to
develop anything else.

Perkembangan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan


respon terhadap tuntutan kemajuan bangsa dan globalisasi telah banyak
dibicarakan oleh berbagai kalangan. Namun hampir tidak ada hasil
pembahasan yang berakhir dengan rekomendasi yang jelas tentang
perlunya penguatan pendidikan nasional dengan pendidikan yang mampu
mendorong kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thingking) dan
pendidikan karakter untuk para peserta didik.

Dalam pendidikan Indonesia, peran serta masyarakat secara aktif


dalam penyelenggaraan pendidikan sangat terbatas. Peran masyarakat
diakomodasi dalam bentuk Komite Sekolah yang sebenarnya memiliki tugas
pokok yang penting namun tidak dapat terlaksana karena berbagai alasan.
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah seolah-olah sebagai komunitas
yang berdiri sendiri dan tidak berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.
Sekolah, termasuk guru, menyusun program pembelajaran hampir tanpa
melibatkan masyarakat (komite sekolah). Kalaupun ada pelibatan lebih
banyak berhubungan dengan kebutuhan sarana prasarana dan keuangan
sekolah. Rendahnya pelibatan Ini adalah salah satu sisi lemah yang
memberi dampak terhadap mutu pendidikan selama ini.

Pelibatan masyarakat dalam proses-proses penyelenggaraan


pendidikan di negara-negara maju, seperti Jepang, Korea, Amerika, dan

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 2


negara-negara Eropa merupakan hal yang sudah lama dilakukan. Namun di
Indonesia baru tahun 1999 melalui SK Mendiknas No.4 tentang Komite
Sekolah diatur secara lebih luas bentuk, tugas, fungsi, dan sistem
organisasi. Sebelumnya di sekolah Indonesia telah ada organisasi orang tua
atau masyarakat yang dikenal Badan Pembantu Penyelenggaraan
Pendidikan (BP3). Komite sekolah secara organisatoris dikatakan lebih baik
karena sifat-sifat keterbukaan dan pelibatan secara lebih luas dari unsur-
unsur masyarakat, tidak hanya orang tua murid. Namun sampai sekarang
peran nyata komite sekolah pun belum maksimal sehingga masih berkesan
sama dengan BP3. Bila peran masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah dapat ditingkatkan sangat mungkin sekali berdampak
pada peningkatan mutu pendidikan.

Dalam kenyataan kehidupan banyak perilaku masyarakat yang


terkait dengan penggunaan prinsip-prinsip sains atau setidaknya sebagai
ekspresi sikap yang sebenarnya terkait dengan perolehan dan pembiasaan
sikap ilmiah sebagai hasil pembelajaran sains.

Pendidikan IPA sebagai subsistem pendidikan nasional memberi


kontribusi penting dalam pembentukan karakter siswa. Sedangkan karakter
sebagai hasil dari pendidikan membawa arti penting dalam kehidupan yang
sesungguhnya di masyarakat. Karena itu penting sekali memahami nilai
karakter yang dilaksanakan dalam pembelajaran sains.

Dengan demikian antara sekolah dan masyarakat mempunyai


tanggung jawab bersama dalam mendidik dan mempersiapkan generasi
yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai dan moral atau
karakter yang kuat sehingga mampu menghadapi perubahan dan
persaingan dalam kehidupan. Salah satu perwujudan tanggung jawab itu
adalah secara bersama terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi pendidikan.

Kontrak belajar (learning contracts) merupakan salah satu


instrumen alternatif yang dinilai cukup efektif dalam upaya meningkatkan

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 3


mutu pendidikan melalui pelibatan secara aktif peran serta masyarakat
bersama sekolah dalam proses-proses penyelenggaraan pendidikan.

B. Rumusan Masalah :

1. Bagaimanakah kontrak pembelajaran yang melibatan peran serta


masyarakat dapat dilaksanakan dalam bentuk sebuah model
pembelajaran Sains?

2. Bagaimanakah hasil pembelajaran pendidikan karakter yang


menggunakan model kontrak belajar dengan melibatkan peran serta
masyarakat.?

C. Tujuan :

1. Memperoleh model kontrak belajar bermuatan pendidikan karakter yang


melibatkan peran serta masyarakat

2. Memperoleh gambaran hasil pembelajaran menggunakan model kontrak


belajar bermuatan pendidikan karakter yang melibatkan peran serta
masyarakat.

D. Kerangka Konseptual

1. Perkembangan Pendidikan Karakter.

Sejarah perkembangan karakter dan semua penggunaan istilah


tersebut dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan, diawali dari konsep
yang dimunculkan oleh Aristoteles yang sangat terkenal yaitu
Nicomacheans Ethics dan Socrates. Larry Nucci (1989) menegaskan
Scholarly debate on moral development and character formation extends at
least as far back as Aristotle's Nichomacean Ethics and Socrates' Meno and
continues through to modern times. Berdasar pandangan Aristoteles dan
Socrates, pendidikan karakter dikembangkan oleh ahli-ahli psikologi, seperti
John Locke pada abad 17, kemudian dilanjutkan oleh John Stuart Mill pada
abad 19 dengan pendapatnya yang terkenal yaitu, "development of
character is a solution to social problems and a worthy educational ideal,"
dan Herbert Spencer yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan
pembentuk karakter. Perkembangan terakhir di awal abad 20, John Dewey

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 4


menyatakan pendidikan karakter merupakan pusat perhatian dalam misi
sekolah.

Dalam sejarah Indonesia, semangat dan nilai karakter telah


dicetuskan oleh tokoh-tokoh pemuda dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928, Ki Hajar Dewantara dengan ajarannya ing ngarsa sung tulada, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani , RA Kartini dengan esai dalam
bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang, Soekarno dengan ajaran
nasionalismenya, dan tokoh lainnya. Selanjutnya dalam era orde baru,
istilah national character building muncul dalam ranah politik khususnya
melalui penataran P4. Dengan kegiatan sosialisasi paham Pancasila melalui
penataran diharapkan oleh pemerintahan saat itu karakter bangsa kita
menjadi kuat.

Dalam kurikulum sekolah Indonesia pendidikan karakter pernah


dilakukan melalui pelajaran Budi Pekerti, antara tahun 1966 1975,
kemudian dalam kurikulum berikutnya yaitu Prosedur Pengembangan
Sistem Instruksional atau PPSI ( LJ. Moleong, 1976) pelajaran Budi Pekerti
tersebut hilang dan digantikan dengan tujuan pembelajaran berdasar
taksonomi Bloom ranah affektif. Sejak saat itu semua harapan untuk
membekali siswa dengan pendidikan karakter, dilakukan melalui mata
pelajaran yang relevan dengan itu yaitu pelajaran Agama dan Pancasila
(yang sekarang berubah menjadi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan),
dan pelajaran lain melalui pembelajaran dengan ranah affektif.

Dalam pendidikan Indonesia masa kini, implementasi


pendidikan karakter diterjemahkan oleh berbagai institusi pendidikan secara
beragaman. Pada dasarnya implementasi tersebut berkisar pada dua hal
yaitu eksklusif dan inklusif. Implementasi eksklusif menyatakan pendidikan
karakter dilakukan dengan cara khusus, misalnya mata pelajaran khusus
tentang pendidikan karakter, yang harus diikuti oleh setiap siswa. Cara
insklusif adalah pendidikan karakter yang secara tidak langsung membentuk
disiplin dan sejenisnya pada siswa, misalnya aturan atau tata tertib masuk
sekolah, mengikuti pelajaran dan sejenisnya yang ditetapkan oleh sekolah.

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 5


2. Definisi Karakter dan Indikator Karakter.

Banyak ahli yang berpendapat secara berbeda-beda mengenai


karakter. Beberapa definisi tentang karakter adalah sebagai berikut :

"engaging in morally relevant conduct or words, or refraining from


certain conduct or words" (Wynne & Walberg, 1984); "a complex set
of relatively persistent qualities of the individual person, and generally
has a positive connotation when used in discussions of moral
education" (Pritchard, 1988).
Karakter memiliki perbedaan dengan nilai (value). Nilai
dianggap sebagai dasar terbentuknya karakter.

In general, character, good or bad, is considered to be observable in


one's conduct (Walberg & Wynne, 1989). Thus, character is different
from values in that values are orientations or dispositions whereas
character involves action or activation of knowledge and values. From
this perspective, values are seen as one of the foundations for
character. In the context of the model of human behavior presented at
this site (Huitt, 1996), values includes both cognitive and affective
components, but not necessarily conative or behavioral components.
Character includes all four components.
Character Counts Coalition menyebut enam pilar dari karakter
yaitu : (1) Trustworthiness, (2) Fairness, (3) Caring, (4) Respect, (5)
Citizenship, dan (6) Responsibility.

Penjelasan enam jenis karakter berdasar The Six Pillars of


Character yang dikeluarkan oleh Character Counts Coalition ( a project of
The Joseph Institute of Ethics) adalah sebagai berikut:

a. Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi:


berintegritas, jujur, dan loyal

b. Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran


terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain.

c. Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli


dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan
sekitar.

d. Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai


dan menghormati orang lain.

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 6


e. Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan
peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam.

f. Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung


jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.

Six pillars of characters ini dicetuskan oleh sekelompok guru,


ahli etika, dan orang terdidik lain yang mengadakan pertemuan di Aspen
Colorado. Gagasan six pillars ini diinspirasi dari buku Thomas Lickona,
Education for Character. 1991.

Komponen atau indikator karakter memang cukup banyak.


Character First (http://characterbuilding.com) bahkan menyebut ada 49
komponen mutu karakter, yaitu : kewaspadaan (alertness), perhatian
(attentiveness), kesediaan (availability), kebajikan (benevolence),
keberanian (boldness), keberhati-hatian (cautiousness), rasa kasihan
(compassion),kepuasan (contentment), kreativitas (creativity), ketegasan
(decisiveness), rasa hormat (deference), keterkaitan (dependability),
penentuan (determination), kerajinan (diligence), pembedaan
(discernment), pertimbangan (discretion), daya tahan (endurance),
kegairahan (enthusiasm), keimanan (faith), fleksibilitas (flexibility),
pengampunan (forgiveness), kedermawanan (generosity),
kehalusan/lemahlembut (gentleness), rasa syukur (gratefulness),
penghormatan (honor), keramahtamahan (hospitality), kerendahan hati
(humility), prakarsa (initiative), kegembiraan (joyfulness), keadilan (justice),
kesetiaan (loyalty), kelembutan (meekness), ketaatan (obedience),
ketertiban (orderliness), kesabaran (patience), sifat persuasive
(persuasiveness), ketetapan waktu (punctuality), kepanjangan daya akal
(resourcefulness), tanggung jawab (responsibility), keamanan (security),
pengendalian-diri (self-control), kepekaan (sensitivity), ketulusan (sincerity),
kecermatan (thoroughness), sifat berhemat (thriftiness), toleransi
(tolerance), kebenaran (truthfulness), kebaikan (virtue), dan bijaksana
(wisdom).

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 7


Ratna Megawangi (2008) menyebut sembilan pilar karakter
nilai-nilai luhur universal yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini usia
prasekolah. Pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaaan-Nya;
Kedua, kemandirian dan tanggungjawab; Ketiga, kejujuran/amanah,
diplomatis; Keempat, hormat dan santun; Kelima, dermawan, suka tolong-
menolong dan gotong royong/kerjasama; Keenam, percaya diri dan pekerja
keras; Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; Kedelapan, baik dan rendah
hati, dan; Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan (Ratna
Megawangi dalam http://www.langitperempuan.com/ 2008/02/ratna-
megawangi-pelopor-pendidikan-holistik-berbasis-karakter/ ).

Secara definitif karakter adalah kualitas psikologis yang dimiliki


oleh seseorang atau secara kolektif oleh sekelompok masyarakat (untuk
karakter nasional). Istilah ini sering digunakan secara bergantian dengan
nilai-nilai inti (core values), yaitu dapat dipercaya/amanah (trustworthiness),
hormat (respect), tanggungjawab (responsibility), kejujuran (fairness), kasih
sayang (caring), dan kewarganegaraan (citizenship). Human character is
explained as an intersubjective aspect of consciousness with the ability to
influence the consciousness of another person directly (Ventegodt S,
Kromann M, Andersen NJ, Merrick J., 2004).

Pendidikan karakter mencakup sistem tata nilai yang meliputi


semua komponen pelaku pendidikan, termasuk guru dan masyarakat (orang
tua), dan tata nilai yang berkembang (disepakati) pada suatu masyarakat.
Juga melibatkan kebijakan dan aturan pemerintah sebagai pengatur
pendidikan di suatu Negara Hubungan antar komponen dalam sistem
pendidikan nasional yang terlibat dalam pendidikan karakter digambar
seperti Gambar 1. Komponen input dan proses dalam skema tersebut
sangat dipengaruhi oleh factor eksternal yang berupa kondisi-kondisi
internasional dan factor internal yang berupa kondisi sosial sebagai akibat
penyelenggaraan atas kebijakan-kebijakan negara. Dengan demikian,
komponen output yang berupa kompetensi lulusan sesungguhnya juga tidak
lebih dari kondisi-kondisi dan kapasitas yang tersedia dalam komponen
input terutama proses.

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 8


Pendidikan karakter dalam pelajaran sains (IPA), sama dengan
pelajaran lainnya, jarang atau bahkan tidak memuat pendidikan karakter
dalam pembelajarannya. Pelajaran sains dianggap sebagai pelajaran
tentang penggunaan otak semata. Gumilar R. Somantri (2008) malah
menegaskan pelajaran sains di sekolah masih berfokus pada hafalan
akibatnya minat belajar dan pengembangan (sains,penulis) masih terbatas.
Hal ini sebenarnya bertentangan dengan tujuan pendidikan sains. Science
is critical to sustaining, maintaining and improving the quality of life on earth
for the future and for enhancing democratic societies and the global
economy. The goal of science education is not only to produce scientists,
but also to prepare well rounded, clear thinking, scientifically literate citizens.

Character First (http://charaterbuilding.com) dalam Science and


Character Education menyebut beberapa nilai dari pembelajaran sains yang
terkait dengan karakter, yaitu : objectivity, accuracy, precision, pursuit of
truth, problem solving, regard for human significance, protect human life
(safety and risks), intellectual honesty, academic honesty, courage, humility,
decision-making, willingness to suspend judgment, scientific inquiry (being
fair and just), questioning of all things, demand for verification, respect for
logic, integrity, diligence, persistence, curiosity, open-mindedness, critical
evaluation of alternatives, dan imagination. Dengan demikian jelas sekali
bahwa pembelajaran sains memiliki nilai-nilai yang sangat dekat
pembentukan karakter siswa. Apabila pembelajaran sains dengan nilai-nilai
seperti disebut di atas dapat dilaksanakan maka mutu pendidikan sains
akan makin baik dan secara utuh dapat membentuk lulusan yang baik pula.

Penelitian Pendidikan Karakter. Penelitian Linda J. Reetz dan


Geralyn M. Jacobs (1999) tentang pendapat para staf pengajar di
Universitas Dakota Selatan berkaitan dengan pendidikan karakter
menyatakan bahwa mereka sangat memandang penting isu global
pendidikan ini dan mereka akan mengaplikasikannya dalam pembelajaran
sekalipun kurikulum universitas tidak menyebutnya sebagai tema yang
penting. Program pendidikan karakter terbukti membawa pengaruh positip
terhadap persepsi perilaku siswa, staf sekolah, dan masyarakat (orang tua)

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 9


yang hidup dalam masyarakat dengan budaya tertentu, dan bahkan
cenderung memperkuat peningkatan prestasi belajar siswa (Garry Skaggs
and Nancy Bodenhorn, 2006 ; Andrew Milson, 2000)

Bentuk pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan


pendidikan di sekolah banyak ragamnya, salah satunya adalah dalam
bentuk pengawasan terhadap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Dalam hal ini guru membuat
kontrak pembelajaran tidak hanya kepada muridnya, seperti yang selama ini
telah (pernah) berjalan, tetapi juga kepada orang tua atau masyarakat
sebagai bentuk langsung pertanggungjawaban sekolah dalam
penyelenggaraan pendidikan. Malcolm S. Knowles (1986:39) menyatakan
"Contract learning is, in essence, an alternative way of structuring a learning
experience: It replaces a content plan with a process plan."

Faktor guru sebagai komponen yang penting dalam pendidikan


karakter memberikan sumbangan yang berharga bagi pembentukan
karakter dan nilai-nilai kebaikan (moral) pada siswa. Richard D.Osguthorpe
(2008) melaporkan ada banyak alasan mengapa guru harus memiliki watak
(dispositions) dan karakter moral yang baik agar dapat menjalankan
tugasnya dengan baik pula. Selanjutnya dia menyarankan ruang lingkup
watak guru harus diperluas dalam kaitan dengan seluruh aktivitas kelas dan
efektivitasnya sebagai guru.

Karakter yang terbentuk dari pembelajaran sains sebenarnya


bersumber dari esensi pembelajaran sains itu sendiri. Secara subtansi
pembelajaran sains memiliki dua aspek pokok yaitu sains sebagai proses
dan produk. Sebagai proses pembelajaran sains dilaksanakan melalui
pendekatan yang mengarahkan siswa berperan seolah seorang ilmuwan
yang berupaya memecahkan masalah. Pendekatan untuk membelajarkan
siswa dalam proses sains dikenal sebagai pendekatan ketrampilan proses
dengan berbagai jenis metode aplikasinya. Ada substanstif ketrampilan
proses tingkat dasar mencakup : (1) Observation, (2) Communication, (3)
Classification, (4) Measurement, (5) Inference, dan (6) Prediction.

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 10


Sedangkan ketrampilan proses tingkat lanjut antara lain : (1) Merencanakan
eksperimen, (2) Menyusun hipotesis, dan (3) Membuat kesimpulan.

Ketrampilan-ketrampilan tersebut tentu harus ditampakan dalam


pembelajaran sains. Untuk dapat melaksanakan ketrampilan-ketrampilan
tersebut dengan benar, terutama dalam kerja kelompok, diperlukan
beberapa syarat antara lain : kedisiplinan, kecermatan, ketelitian, tanggung
jawab dan kerja sama. Hal-hal yang terakhir disebut merupakan komponen-
komponen yang dapat membentuk karakter siswa. Dengan demikian
pembelajaran sains memang dianggap berpoetnsi kuat dalam pembentukan
karakter siswa.

3. Kontrak Belajar

Semua kegiatan-kegiatan tersebut harus masuk dalam rencana


pembelajaran yang disusun guru. Dalam model kontrak belajar rencana
pembelajar harus dikomunikasikan dengan siswa. Model ini memiliki
kelemahan, terutama terkait dengan budaya Indonesia, yaitu siswa tidak
berani menyampaikan apa yang seharusnya dilakukan dalam pembelajaran
agar ia dapat mencapai hasil yang diharapkan. Oleh karenanya diperlukan
pihak lain yang dapat menjembatani apa yang diinginkan sekolah (guru)
dapat diketahui dan ikut dikontrol oleh masyarakat. Salah satu model untuk
maksud tersebut adalah dengan kontrak belajar. .

Penelitian kontrak belajar. Model kontrak belajar dalam


beberapa penelitian terbukti memberi penguatan prestasi belajar siswa
(Brenda Litchfield, Juan Mata, dan Laura Gray dalam Journal of College
Science Teaching 2007). Ini dapat terjadi karena arah (target) belajar
diketahui dengan jelas dan cara mencapainyapun sepenuhnya dapat
diketahui sesuai kontrak yang disepakati.

Beberapa perguruan tinggi (setidaknya oleh beberapa dosen


pada beberapa mata kuliah) di Indonesia pernah melakukan kontrak belajar
dalam pembelajarannya. Namun tidak ada laporan yang menunjukkan
kemajuan atau manfaat pelaksanaan kegiatan tersebut.

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 11


Model kontrak belajar dengan melibatkan masyarakat (orang
tua) secara definitif sebenarnya telah diketahui. Joseph R. Codde (2006)
menyatakan contract learning as an agreement between a student and
institution or faculty member to acquire knowledge systematically either in
the classroom or independently. Definisi melibatkan dua pihak semata
dimana siswa dianggap mampu memahami dan melakukan kontrak belajar.
Siswa demikian pastilah siswa yang tergolong telah dewasa, misal siswa
tingkat pendidikan menengah atau pendidikan tinggi (SMA atau perguruan
tinggi). Untuk siswa pada tingkat pendidikan dasar tampaknya ada kesulitan
melakukan kontrak belajar dengan guru (sekolah) karena berbagai alasan,
antara lain budaya siswa yang biasa hanya menerima apa yang diberikan
guru. Untuk itu peran orang tua (masyarakat) diperlukan untuk ikut berperan
dalam kontrak belajar siswa tersebut. Dengan demikian kontrak belajar
tersebut menjadi kesepakatan antara siswa, orang tua (masyarakat) dan
guru (sekolah).

A "contract" is a valuable tool that teachers can use in


negotiating terms with students and/or parents which details the
specific expectations that the teacher, student, and sometimes,
the parent formally agree upon. (http://www.teach-
nology.com/web_tools/contract/ )

Namun di Indonesia hampir tidak ada pelibatan orang tua dalam


pembelajaran di sekolah. Oleh karena itulah diusulkan gagasan model
kontrak belajar dengan pelibatan masyarakat. Model ini diilhami oleh system
pendidikan yang sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh sekolah saja
tetapi juga masyarakat.

Agar pelaksanaan kontrak pembelajaran berjalan baik ada


beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan. Knowles (1986 : 38)
menyebutkan lima prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. The knowledge, skills, attitudes, and values to be acquired by the learner
(learning objectives);
2. How these objectives are to be accomplished (learning resources and
strategies);
3. The target date for their accomplishment;

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 12


4. What evidence will be presented to demonstrate that the objectives have
been accomplished; and
5. How this evidence will be judged or validated. In academic settings the
contract also specifies how much credit is to be awarded and what grade
is to be given

Lima hal tersebut sebenarnya adalah hal umum yang harus ada
dalam sebuah kontrak. Dalam gagasan ini penulis secara singkat
mensyaratkan enam hal agar sebuah kontrak belajar yang melibatkan peran
serta masyarakat dapat memberi hasil yang maksimal, yaitu : (1) tujuan,
berupa produk pengetahuan, ketrampilan, dan sikap apa yang akan
diperoleh, (2) bagaimana cara mencapai tujuan, (3) syarat-syarat apa yang
diperlukan untuk mencapai tujuan, termasuk kebutuhan sarana/prasarana,
dan aktivitas guru, siswa dan orangtua/masyarakat yang diperlukan, (4)
kapan hasil tujuan dapat dicapai, (5) Apa bukti pencapaian tujuan dan
bagaimana membuktikannya, (6) Apa bentuk aktivitas yang dapat dilakukan
masyarakat untuk mengontrol dan mendorong pencapaian tujuan belajar

Dalam pelaksanaan kontrak pembelajaran ini diharapkan dapat


tercapai dalam tiga tahapan. Tahap pertama guru bersama dengan
koleganya menyusun Program Semester dan draft rencana pembelajaran,
berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk satu semester.
Tahap kedua adalah mengkomunikasikan dan menegosiasikan bersama
orang tua (komite sekolah), dan kemudian orang tua melakukan
pembahasan RPP yang dibuat guru dengan mediasi ahli pendidikan.
Pembahasan RPP difokuskan pada indikator dan tujuan pembelajaran yang
akan dicapai oleh siswa.

Tahap ketiga dilakukan kontrak mencakup enam hal seperti


disebut di atas dengan menggunakan format instrument yang telah
disiapkan. Tahap keempat yaitu monitoring dan evaluasi pelaksanaan
pembelajaran sesuai dengan kontrak yang dibuat guru. Untuk
melaksanakan tahap terakhir ini dibuat satu program monitoring dan
evaluasi secara terjadwal selama satu semester. Aspek yang dimonitoring
adalah apakah unsur-unsur yang direncanakan dalam kontrak berjalan

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 13


sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dan mencapai tujuan yang
diinginkan. Bila terdapat kendala karena suatu alasan kontrak tidak berjalan
sesuai rencana, maka dilakukan negosiasi lagi sehingga ditemukan jalan
tengah yang disepakati kedua pihak. Selama tahap monitoring dan evaluasi
peran orang tua/masyarakat tidak boleh mengintervensi hak-hak guru dalam
mengelola pembelajaran asal tetap sesuai dengan kontrak. Tahapan
pelaksanaan kontrak pembelajaran dan instrument monitoring dapat dilihat
pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Pihak yang terlibat dalam model ini ada 3 yaitu guru, siswa, dan
orang tua. Unsur guru akan bertanggung jawab dalam pelaksanaan
pembelajaran dengan kontrak tersebut guru telah memberikan semacam
jaminan tentang materi apa yang akan diberikan, dengan cara apa materi itu
diberikan, bagaimana menilai keberhasilan siswa, dan bagaimana guru
akan mendorong dan memperlakukan siswa dalam proses
pembelajarannya. Unsur siswa dalam kontrak belajar bertanggung jawab
terhadap perilaku tertentu yang harus dilakukan terkait dengan
pembelajaran yang dilakukan guru. Siswa membuat kontrak belajar terkait
dengan sikap dan kesungguhan dalam pelajaran yang akan dilaksanakan
dalam kontrak tersebut, termasuk misal membaca, mengerjakan tugas,
berperilaku tertentu dan sejenisnya. Orang tua dalam model kontrak belajar
ini juga dituntut ikut mengawasi proses pembelajaran yang terjadi di
lingkungan mereka. Salah satu bentuk misalnya adalah setiap hari
membantu (mengawasi) anak belajar selama 30 menit dengan dibuktikan
dari tanda tangan atau paraf orang tua pada buku laporan kontrak belajar
untuk anak. Bentuk kontrak belajar secara umum ditunjukkan pada contoh
halaman terakhir.

Salah satu isi kontrak yang dimuat adalah menyangkut


pernyataan tujuan pembelajaran yang berisi karakter yang diharapkan
dimiliki siswa dalam masa pembelajaran tertentu, misalnya satu atau dua
semester. Jenis atau komponen karakter yang dikontrakan disesuaikan
dengan kesepakatan bersama atau disesuaikan dengan nilai atau norma
yang dianut masyarakat. Dalam hal penetapan komponen karakter sebagai

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 14


nilai yang akan dididikan pada siswa sebaiknya dibahas dengan pihak lain,
yaitu ahli pendidikan, psikolog, dan pejabat bidang pendidikan setempat.

Dalam model kontrak belajar ini diharapkan secara periodik


orang tua dan guru mendiskusikan proses pembelajaran yang sedang
berjalan. Dalam kegiatan ini diharapkan ada umpan balik untuk kedua pihak
sehingga pencapaian muatan karakter dapat maksimal.

Peran dan pelibatan orang tua dalam kontrak belajar tidak


dimaksudkan untuk campur tangan dalam teknis pembelajaran di kelas
tetapi lebih banyak sebagai penguatan terhadap tanggung jawab pendidikan
anak-anak mereka sendiri sehingga hasil belajar dapat memuaskan. Juga
sekaligus memberi kondisi yang seimbang antara nilai-nilai yang
dikembangkan di sekolah dan di lingkungan masyarakat.

E. Penutup

Sebagai sebuah gagasan baru tentu model kontrak pembelajaran


ini masih harus banyak ditelaah baik dari aspek teoritik maupun aspek
teknis aplikasinya. Namun diyakini bahwa dengan pelibatan peran
masyarakat secara maksimal maka pencapaian tujuan-tujuan pendidikan
akan dapat diperoleh secara maksimal pula. Guru (sekolah) dan
masyarakat (orang tua) akan merasa memiliki kepentingan yang besar
dalam mempersiapkan generasi penerus yang lebih siap secara
pengetahuan, ketrampilan dan mental untuk menghadapi era persaingan.

F. Referensi :

Codde ,Joseph R. 2006. Using Learning Contracts In The College Classroom


Michigan State University. Retrived from
https://www.msu.edu/user/coddejos/contract.htm 24 Februari 2010

Joseph P. G. Chimombo (2005). Issues in Basic Education in Developing


Countries: An Exploration of Policy Options for Improved Delivery. ,
Journal of International Cooperation in Education, CICE Hiroshima
University ,Vol.8, No.1, (2005) pp.129

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 15


Knowles, M. S. (1986). Using Learning Contracts. San Francisco, CA: Jossey-
Bass Inc., Publishers.

Koesoema A Doni.(2007). Pendidikan Karakter. Jakarta : PT Grasindo.

Litchfield, Brenda, Juan Mata, and Laura Gray. "Engaging general biology
students with learning contracts." Journal of College Science Teaching
37.2 (2007): 34. InfoTrac Humanities & Education Collection. Web

Milson J. Andrew. 2000. Creating Curriculum For Character Education : A Case


Studi. Journal The Clearing House 74.2 (2000) hal. 89. Retrieved from
http://www.galegroup.com

Nucci, Larry (Ed.). (1989). Moral development and character education: A


dialogue. Berkley, California : McCutchan Publishing

Osguthorpe Richard D.. On the reasons we want teachers of good disposition


and moral character.(Report).Journal of Teacher Education 59.4 (Sept-
Oct 2008): p.288(12). (9646 words)
Ratna Megawangi dalam http://www.langitperempuan.com/2008/02/ratna-
megawangi-pelopor-pendidikan-holistik-berbasis-karakter/
Reetz, Linda J., dan Geralyn M. Jacobs. "Fakulty Focus On Moral And
Character Education." Education 120.2 (1999): 208. InfoTrac Humanities
& Education Collection. Web. 28 Nov. 2009.
http://find.galegroup.com/gps/start.do?
prodId=IPS&userGroupName=kpt07047 .
Saefullah Avip. (2003) Lembaga Pendidikan Indonesia Gagal Membangun
Karakter Bangsa. Harian Kompas : Selasa, 18 Maret 2003, Hal. 9 Kolom 1
Secretarys Commission On Achieving Necessary Skills U.S. Departement of
Labor. June 1991. What Work Requires Of Schools : A SCANS Report For
America 2000.
Skaggs,Garry and Nancy Bodenhorn. 2006. Relationship between
implementing character education, student behavior, and student
achievement. Journal of Advanced Academics 18.1 (2006). Retrieved from
http://www.galegroup.com

Somantri, R. Gumilar. 2008. Pelajaran Sains Masih Bersifat Hafalan. Harian


Kompas. Selasa 4 Nopember 2008 Halaman 12 Kolom 1.

----------, Learning Contracts,(http://www.teach-nology.com/web_tools/contract/)


10Nop 2009

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 16


Gambar 1 : Sistem Pendidikan Nasional dan Kemungkinan Problematiknya
PEMERINTAH
RPP
KEBIJAKAN DAN KURIKULUM*)
ATURAN

SAR-PRAS*) EVALUASI*)

KOMPETENSI KOMPETENSI
PST DIDIK GURU LULUSAN
KESEJAHTERAA KARAKTER
N

MEDIA*)
METODE*)

MASYARAKAT

PANDANGAN, PERAN SERTA


DAN LATAR BELAKANG

INPUT PROSES OUTPUT


REKRUTMENT
*) berasal dari Input
yang digunakan dalam LPTK
proses

PENGARUH GLOBALISASI (IPTEKNI-BUD)

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 17


Gambar 2 : Alur Kontrak Belajar
ORANGTUA MASYARAKAT

Sosialisasi
Kurikulum dan
sistem pembel. Di
SKL KOM- sekolah
SKL

GURU RPP-n

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
RPP-g RPP-k

Tujuan
Cara
Syarat Keterangan :
SKL = Sekolah
Waktu
Kom-Skl = Komite Sekolah
Bukti RPP-g = RPP draft Guru
Monev RPP-n = RPP negosiasi
RPP-k = RPP kontrak (final)

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 18


Gambar 3 a

IDENTITAS KONTRAK

Sekolah Dasar
.

1. Nama Guru2. Mata PelajaranIPA3. Kelas4. Semester / Th5. Jumlah SK6. Jumlah KD7.
Aspek Pembelajarana.PengetahuanNilai Minimum : 75 Level pengetahuan C1:
,C2:...,C3...,C4 :.., C5: , C6: b.Sikap/Karakter*)c. Ketrampilan**)Aspek
Sikap/Karakter1.2.3.4.5.6.Aspek Ketrampilan1.2.3.

Surabaya, . 2010
Ketua Subkomite
Pembelajaran, Guru,

.. ..

Kepala Sekolah

..

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 19


Gambar 3 B

Monitoring & Evaluasi

Sekolah Dasar
.

1. Mata PelajaranIPA2. Kelas3. Semester / Th4. Standard Kompetensi1.2.5. Kompetensi


Dasar1.11.21.32.12.22.36. Pelaksanaan proses pencapaian
Target/Tujuan1.1.1Terlaksana
Tidak terlaksana

1.1.2Terlaksana
Tidak terlaksana

1.2.1Terlaksana
Tidak terlaksana

1.2.2Terlaksana
Tidak terlaksana

1.3.1Terlaksana
Tidak terlaksana

1.3.2Terlaksana
Tidak terlaksana

2.1.1Terlaksana
Tidak terlaksana

2.1.2Terlaksana
Tidak terlaksana

2.2.1Terlaksana
Tidak terlaksana

2.2.2Terlaksana
Tidak terlaksana
Ketua Subkomite Surabaya, . 2010
7. Sumber/Media Belajar
Pembelajaran, Guru,
Terlaksana
.. ..
Tidak terlaksana

8. EvaluasiTerlaksana Kepala Sekolah


Tidak terlaksana
..

Triman Jr.: Inovasi dan Problematik Pendidikan Sains 20


CONTOH FORMAT KONTRAK BELAJAR
Diadaptasi dari http://www.teach-nology.com/cgi-bin/contract.cgi 24 Februari 2010

KONTRAK BELAJAR

KONTRAK UMUM

Semua pihak sepakat bahwa sukses akademis adalah produk sebuah usaha dari hasil
kerjasama. Untuk memastikan pelajaran ini akan bermanfaat bagi kebersamaan semua
pihak tersebut maka masing-masing pihak mempunyai suatu tanggung-jawab :

Sebagai seorang siswa, saya : 1. Menghormati teman sekelasku.


____________, akan : 2. Berupaya terbaik dalam kegiatan sekolahku.
3. Mematuhi aturan semua baik di rumah dan di
sekolah.
4. Datang di sekolah siap dengan pekerjaan rumah
dan bahan-bahan pelajaran.
5. Menyediakan waktu sedikitnya 15 menit setiap
hari untuk belajar masing-masing pelajaran.
Sebagai orang tua, saya 1. Menyediakan waktu 15 menit tiap hari
____________, akan : mendampingi anakku belajar.
2. Memonitor pekerjaan sekolah anakku dan
aktivitas ekstrakurikulernya.
3. Memelihara disiplin anakku.
4. Menghadiri semua pertemuan guru dan wali
murid.
5. Menyediakan waktu untuk sedikitnya 2 aktivitas
sekolah.
Sebagai seorang guru, saya 1. Menyediakan lingkungan nyaman dan aman
____________, akan : untuk para siswaku.
2. Menyediakan waktu yang cukup untuk
membantu siswa ku di luar jam sekolah.
3. Menegakkan aturan sekolah secara konsisten.
4. Memberikan harapan-harapan secara jelas dan
ringkas.
5. Bekerja untuk membuat pembelajaran adalah
pengalaman yang menyenangkan.
_____________
Tanggal
Ditandatangani oleh:

_____________________ ____________________ __________________


Tanda tangan siswa Tanda tangan Orang tua Tanda tangan guru

Anda mungkin juga menyukai