Anda di halaman 1dari 64

Volume 1 Nomor 1.

April 2014 ISSN : 2355-6404

JURNAL PENELITIAN BIOLOGI

Terbit dua kali dalam setahun yakni bulan April dan Oktober. Berisi tulisan yang diangkat dari
penelitian, gagasan konseptual, kajian, dan aplikasi teori dibidang biologi.

Ketua Dewan Redaksi :


Jamili

Sekretaris Redaksi :
Nur Arfa Yanti

Redaksi Pelaksana :
Analuddin
Muzuni
Suriana
Nurhayani
Sitti Wirdhana Ahmad Bakareng

Anggota Dewan Redaksi :


Yusuf Sabilu
Muhsin
Nasaruddin
Dwi Arinto Adi
Indrawati
Andi Septiana

Bendahara :
Rita Ningsih

Pembantu Umum :
Wa Ode Nanang Trisna Dewi
La Ode Adi Parman Rudia

Surat Keputusan DEKAN FMIPA Universitas Halu Oleo


No. 286/SK/J29.5/PP/2014

Dr. Jati Batoro, M.Si. (Universitas Brawijaya)


Dr. Tarsan Purnomo, M.Si. (Universitas Negeri Semarang)
Dr. Khaerul Amri, M.Si. (Universitas Hasanudin)
Dr. Alif T. Athoric, M.Si. (Universitas Sumatera Utara)
Dr. Jumari, M. Si. (Universitas Diponegoro)
Dr. Agung Sri Widodo, S.Si., M.Si. (Universitas Diponegoro)

Alamat Penerbit/Redaksi : Jurusan Biologi FMIPA, Lantai-1 FMIPA-Baru Jurusan Biologi


Universitas Halu Oleo, Jl. H.E.A Mokodompit Kampus Baru Universitas Haluoleo,
Anduonohu, 93232 Kendari. E-mail : bio_uhowallacea@gmail.com

BIO WALLACEA Diterbitkan Oleh Jurusan Biologi FMIPA Universitas Halu Oleo Kendari.
Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014 1

SCREENING BAKTERI AMILOLITIK DAN SELULOLITIK DARI LIMBAH SAGU

(Screening of Amylolytic and Cellulolytic Bacteria From Sago waste)

Nur Arfa Yanti1 dan Asmawati Munir2


1
Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Haluoleo Kendari, Sulawesi Tenggara
e-mail : arfayanti73@yahoo.com
2
Prodi Biologi, Jurusan PMIPA FKIP Universitas Haluoleo, Kendari Sulawesi Tenggara

ABSTRACT
Screening of indigenous bacteria from sago waste based on amylolytic and cellulolytic activity
was done to obtain bacterial isolate having double activity, i.e. could to hydrolize of starch
(amylolytic) and cellulose (cellulolytic). Screening amylolytic and cellulolytic bacteria was
done based on amylolytic and cellulolytic activity on agar media. Determination of amylolytic
activity on starch agar media was based on the presence of clear zone around the bacterial
colony upon flooding with lugols iodine solution. Cellulolytic activity was determine based on
the presence of clear zone around the bacterial colony on Carboxy methyl cellulose (CMC)
agar upon flooding with congo red solution. Presence of a clear zone around the colony
indicated starch and cellulose hydrolysis. The diameters of clear zone produced on CMC and
starch agar were measured and used as an indication of the amylolytic and cellulolytic
activities of the bacteria. The results of the screening based on amylolytic and cellulolytic
activity showed that a number of 21 bacterial isolates that having both activities. LCA2 was the
bacterial isolate with the highest amylolytic and cellulolytic activity as revealed by the size of
clearing zone on both types of agar plates. The diameters of clear zone on starch and CMC
agar were 4,98 and 3,65 cm2, respectively. Therefore, LCA2 isolate was bacterial isolate that
potent for biconvertion sago hampas into value-added products.

Keywords : Bacteria, Amylolytic, Cellulolytic, Sago waste.

PENDAHULUAN
Ampas sagu yang merupakan Pengolahan sagu di Sulawesi
limbah padat dari pengolahan pati sagu, Tenggara yang merupakan salah satu
pada dasarnya adalah serat empulur sisa daerah penghasil pati sagu di Indonesia
pemerasan pati sagu. Produksi pati dari berlangsung sepanjang tahun, sehingga
tiap pohon sagu berkisar antara 200-450 kg limbah yang dihasilkan semakin
sagu basah. Empulur sagu yang dihasilkan menumpuk dan menyebabkan keasaman
sebanyak 321.180 ton/tahun mengandung pada tanah serta dapat mencemari air dan
2030 % tepung sagu dan 7080 % ampas menimbulkan bau tidak sedap (Awg-Adeni
sagu. Dengan demikian, setiap tahun total dkk., 2010). Limbah sagu yang kaya
ampas sagu yang dihasilkan berkisar antara karbohidrat tersebut, hingga saat ini belum
224.826 256.944 ton/tahun (Anonim, dikelola/dimanfaatkan secara optimal
1987). (Nurdin, 1995; Yanti dkk., 2006). Oleh
karena itu, pemanfaatan ampas sagu perlu
Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 2

dimaksimalkan agar pencemaran adalah menemukan strain bakteri dari


lingkungan oleh ampas sagu dapat habitat lokal (indigenous) yang dapat
diminimalkan. memecah komponen amilum (bersifat
Ampas sagu berpotensi digunakan amilolitik) dan komponen selulosa
sebagai substrat untuk pertumbuhan (bersifat selulolitik) dari ampas sagu
bakteri sekaligus digunakan untuk tersebut. Pada penelitian ini dilakukan
memproduksi berbagai macam produk screening isolat bakteri indigenous
bermanfaat dan bernilai ekonomi seperti berasal dari limbah sagu yang memiliki
gula-gula fermentasi, enzim, asam-asam kemampuan amilolitik dan selulolitik
organik, dan etanol karena masih sehingga diperoleh isolat bakteri yang
mengandung bahan organik tinggi (Awg- berpotensi untuk dimanfaatkan dalam
Adeni, dkk. 2010). Komposisi ampas sagu biokonversi ampas sagu.
didominasi oleh pati dan selulosa. Kadar
pati dan selulosa ampas sagu berturut-turut METODE, PENELITIAN
adalah 41,7 65,0 % dan 14,8 % (Wina Bahan dan Alat
dkk., 1986). Namun demikian, sebelum Bahan baku yang digunakan dalam
ampas sagu dikonversi menjadi berbagai penelitian ini adalah pati terlarut untuk uji
macam produk, ampas sagu perlu aktivitas amilolitik dan
dihidrolisis terlebih dahulu menjadi gula Carboxymethylcellulosa (CMC) untuk uji
sederhana. Apun dkk. (2000) melaporkan aktivitas selulolitik. Bahan kimia lain yang
bahwa ampas sagu dapat dihidrolisis digunakan adalah lugol yodium, Congo
menjadi gula reduksi dengan baik oleh red dan medium Nutrient Agar. Alat-alat
bakteri yang memiliki aktivitas ganda yaitu yang digunakan dalam penelitian ini
amilolitik dan selulolitik untuk meliputi laminar air-flow, autoklaf dan
mendegradasi komponen pati dan selulosa. inkubator.
Oleh karena itu, penggunaan bakteri yang Dua puluh tiga isolat bakteri
memiliki aktivitas amilolitik dan selulolitik indigenous yang diisolasi dari ampas sagu
dibutuhkan agar biokonversi ampas sagu dan limbah cair sagu di sekitar lokasi
menjadi produk-produk bernilai ekonomi pengolahan sagu di Kabupaten Konawe,
dapat berlangsung dengan baik. Sulawesi Tenggara discreening
Langkah pertama yang penting berdasarkan kemampuannya
dilakukan untuk dapat mengkonversi menghidrolisis pati (amilolitik) dan
ampas sagu menjadi berbagai macam selulosa (selulolitik).
produk bermanfaat dan bernilai ekonomi

Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014
Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 3

a. Screening bakteri amilolitik pada


S= (dc2 dco2)
media padat 4
Keterangan :
Aktivitas amilolitik pada media S = Aktivitas amilolitik/selulotik (cm2)
dc = Diameter zone jernih (cm)
padat dilakukan dengan menumbuhkan dco = Diameter koloni (cm)
isolat bakteri pada media NA pati dan
diinkubasi pada suhu kamar selama 48 jam HASIL DAN DISKUSI
kemudian ditetesi dengan larutan lugol Screening bakteri amilolitik
yodium (JKJ) pada permukaan medium. Sebanyak 23 isolat bakteri yang
Isolat bakteri yang mampu membentuk diisolasi dari ampas sagu dan limbah cair
zona jernih di sekeliling koloninya setelah sagu menunjukkan kemampuan
diteteskan larutan JKJ merupakan bakteri amilolitiknya pada media pati agar. Bakteri
amilolitik (Apun dkk., 2000). Aktivitas tersebut menunjukkan zona jernih di
amilolitik dideterminasi dengan mengukur sekeliling koloninya setelah ditetesi larutan
diameter koloni dan diameter zone jernih. JKJ pada media pati agar yang
b. Screening bakteri selulolitik pada mengindikasikan adanya hidrolisis pati
media padat (Gambar 1).
Screening isolat bakteri
berdasarkan aktivitas selulolitik dilakukan
dengan menumbuhkan isolat bakteri pada
media minimal agar dengan
Carboxymethylcellulosa (CMC) sebagai
sumber Cnya (Apun dkk., 2000).
Hidrolisis selulosa dideteksi dengan
meneteskan larutan Congo red pada
permukaan media agar. Terbentuknya zone
jernih di sekeliling koloni bakteri Gambar 1. Determinasi aktivitas amilolitik
isolat bakteri. Keterangan : K :
menunjukkan adanya aktivitas selulolitik. Koloni bakteri, Zj : Zone jernih
c. Pengukuran aktivitas amilolitik dan
selulolitik pada media padat
Screening isolat bakteri berdasarkan
Aktivitas amilolitik dan selulolitik aktivitas selulolitik

bakteri dihitung dengan menggunakan Sebanyak 23 isolat bakteri


rumus (De Lima dkk., 2005; Yanti dkk., amilolitik yang diperoleh dari ampas sagu
2009) sebagai berikut : dan limbah cair sagu discreening juga
berdasarkan kemampuan selulolitiknya.

Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014
Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 4

Aktivitas selulolitik dari isolat bakteri uji kemampuan ganda yaitu bersifat amilolitik
dilihat berdasarkan kemampuan dan selulolitik. Isolat bakteri amilolitik dan
membentuk zone jernih di sekeliling selulolitik paling banyak diperoleh dari
koloni bakteri yang ditumbuhkan pada ampas sagu yaitu 17 dari 18 isolat bakteri
media selulosa agar (Gambar 2). Zone (94 %), sedangkan dari limbah cair sagu
jernih menunjukkan bahwa isolat bakteri hanya ditemukan 3 dari 7 isolat bakteri (43
menggunakan selulosa pada media untuk %). Hasil penelitian ini menunjukkan
pertumbuhannya dan menyebabkan bahwa ampas sagu merupakan sumber
selulosa di sekeliling koloni habis terpakai isolat yang paling potensial untuk
sehingga terbentuk zone jernih tersebut memperoleh bakteri amilolitik dan
(Apun dkk., 2000). selulolitik. Ampas sagu menjadi sumber
isolat bakteri amilolitik dan selulolitik
terbaik dibandingkan limbah cair sagu
karena ampas sagu masih mengandung
amilum dan selulosa yang cukup tinggi
yaitu berturut-turut 41,7 % dan 22,9 %
(Wina dkk., 1986).
Aktivitas amilolitik 25 isolat
bakteri yang diisolasi dari ampas sagu dan
limbah cair sagu berkisar antara 1,88-6,24
A B
Cm2 dan 21 isolat bakteri amilolitik
memiliki aktivitas selulolitik berkisar 0,13-
Gambar 2. Determinasi Aktivitas Selulolitik
Isolat Bakteri. Keterangan. A. Isolat 3,65 Cm2 (Tabel 1). Hasil penelitian pada
tanpa aktivitas selulolitik, B. Isolat
dengan aktivitas selulolitik, K : Tabel 1 menunjukkan bahwa aktivitas
koloni bakteri, Zj : Zone jernih amilolitik dari isolat-isolat bakteri
indigenous lebih tinggi dibandingkan
Screening bakteri amilolitik dan dengan aktivitas selulolitiknya. Hal ini
selulolitik
mungkin disebabkan karena pati lebih
Hasil screening bakteri amilolitik mudah dihidrolisis dibandingkan selulosa.
dan selulolitik pada Tabel 1 menunjukkan Sugiyono (2008), menyatakan bahwa
bahwa ditemukan 4 isolat bakteri dari 25 selulosa lebih sulit dihidrolisis oleh
isolat bakteri amilolitik yang tidak bersifat mikrobia dibandingkan pati sehingga
selulolitik, dengan demikian hanya 21 mikrobia dengan aktivitas amilolitik tinggi
isolat bakteri indigenous yang memiliki lebih mudah ditemukan di alam

Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014
Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 5

dibandingkan mikrobia beraktivitas aktivitas selulolitik 1,45 Cm2 dan isolat


selulolitik tinggi. bakteri tersebut mampu menghidrolisis
Tabel. Hasil Screening isolat bakteri ampas sagu menjadi gula reduksi yang
berdasarkan aktivitas amilolitik dan
selulolitik tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk
No. Sumber Kode Aktivitas Aktivitas biokonversi ampas sagu. Hal ini
Isolat Isolat Amilolitik Selulolitik
(Cm2) (Cm2) menunjukkan bahwa isolat bakteri LCA2
1. Ampas ALA1 4,57 1,57 sangat berpotensi untuk dimanfaatkan
2. Sagu ALA7 6,24 2,35
3. ALA 8 4,41 2,11 dalam biokonversi ampas sagu menjadi
4. ALA9 2,81 1,85 produk bernilai ekonomi. Pemanfaatan
5. ALA13 4,01 1,61
6. ALA17 4,24 1,34 isolat bakteri dengan aktivitas ganda
7. ALA18 1,38 1,67
8. ALD1 4,32 1,81 seperti LCA2 dalam proses biokonversi
9. ALD2 4,52 2,90 ampas sagu sangat menguntungkan karena
10. ALD3 4,09 2,38
11. ALD5 4,28 1,77 tidak perlu penambahan enzim amilase dan
12. ALD6 4,97 0.50
13. ALD12 4,66 1,81 selulase untuk menghidrolisis ampas sagu.
14. ALD17 4,61 0 Awg-Adeni dkk., (2010)
15. ALL3 4,67 1,25
16. ALL4 4,17 1,30 menyatakan bahwa penggunaan bakteri
17. ALL5 1,88 0,93
yang memiliki aktivitas amilolitik dan
18. ABA4 4,39 3,09
selulolitik pada biokonversi ampas sagu
19. LCA2 4,98 3,65
20. LCA8 6,14 0,87 menjadi produk bermanfaat sangat efisien
Limbah
21. LCA9 4,62 0 dari segi waktu dan biaya karena tidak
Cair
22. LCD1 5,12 0
Sagu
23. LCR5 4,31 0,13 memerlukan perlakuan pendahuluan untuk
24. LCR7 5,19 2,38
25. LCL4 4,98 0 menghidrolisis ampas sagu. Dengan
demikian, isolat LCA2 merupakan isolat
bakteri yang berpotensi digunakan untuk
Berdasarkan hasil screening isolat
mengkonversi ampas sagu menjadi produk
bakteri indigenous pada Tabel 1, diperoleh
yang bernilai ekonomi sehingga masalah
bahwa isolat bakteri LCA2 mempunyai
pencemaran lingkungan oleh ampas sagu
aktivitas amilolitik dan selulolitik yang
dapat teratasi dan nilai jual ampas sagu
tinggi. Aktivitas ganda dari isolat LCA2
juga dapat ditingkatkan.
ini lebih tinggi dibandingkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Apun dkk.
(2000) yang berhasil mengisolasi bakteri
Bacillus amylolyquefaciens UMAS 1002
dengan aktivitas amilolitik 1,7 Cm2 dan

Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014
Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 6

KESIMPULAN Apun, K., Jong, B.C. & Salleh, M.D.


2000. Screening and Isolation of a
1. Dua puluh satu isolat bakteri
Cellulolytic and Amylolitic
indigenous yang diisolasi dari Bacillus from Sago Pith Waste.
Journal of General and Applied
limbah sagu memiliki aktivitas
Microbiology, 46 : 263-267.
amilolitik dan selulolitik. Awg-Adeni, D. S., Abd-Aziz, S., Bujang,
K. & Hassan, M. A. 2010.
2. Isolat bakteri LCA2 merupakan
Bioconversion of sago residue into
isolat bakteri dengan aktivitas value added products. African
Journal of Biotechnology, 9 (14) :.
amilolitik dan selulolitik yang
2016-2021.
tinggi dan berpotensi digunakan De Lima, S.M., Lima, M.A.G.A.,
Sarmento, S.M., Vinhas, G.M. &
untuk biokonversi ampas sagu
De Almeida, Y.M.B. 2005. Starch
menjadi produk-produk Selection for Biodegradable Blend
Preparation. Mercosur Congress on
bermanfaat.
Chemical Engineering. Rio de
Janeiro, Brasil. 14-18 Agustus
SARAN 2005.
Nurdin, M. 1995. Pemanfaatan Ampas
Penelitian lanjutan mengenai
Sagu Sebagai Substrat Pembuatan
aktivitas Isolat bakteri LCA2 Protein Sel Tunggal. Laporan Hasil
Penelitian, Lembaga Penelitian
menghidrolisis ampas sagu menjadi gula
Unhalu, Kendari.
reduksi perlu dilakukan untuk mengetahui Sugiyono, 2008. Kadar Protein dan Serat
Kasar Ampas Sagu (Metroxylon
kemampuan isolat tersebut mengkonversi
sp.) Terfermentasi dengan Lama
ampas sagu menjadi produk fermentasi Pemeraman yang Berbeda. Jurnal
Ilmiah Inkoma, 19 (1) : 11-23.
yang bermanfaat dan bernilai ekonomi.
Wina, E., Anthony, J., Evansa & Lowry, J.
B. 1986. The Composition of Pith
UCAPAN TERIMA KASIH from the Sago Palms Metroxylon
sagu and Arenga pinnata. J. Sci.
Penulis mengucapkan terimakasih
FoodAgric., 37 : 352-358
kepada Lembaga Penelitian Universitas Yanti, N.A. & Muhiddin, N. 2006.
Aktivitas Amilolitik Isolat Bakteri
Haluoleo atas bantuan dana penelitian
pada Limbah Sagu. Bionature. 7 (2)
melalui Program Hibah Kompetisi BLU- : 35-39.
Yanti, N.A., Sembiring, L. & Margino, S.
Unhalu.
2009. Bakteri Amilolitik yang
diisolasi dari Lokasi Pengolahan
Pati Sagu. Proceeding pada
DAFTAR PUSTAKA
Seminar Nasional Biologi, Ilmu
Lingkungan & Pembelajaran.
Anonim, 1987. Tanaman Sagu dan Universitas Negeri Yogyakarta,
Pengolahannya. Departemen Yogyakarta, 4 Juli 2009.
Pertanian Balai Informasi
Pertanian, Sulawesi Tenggara.

Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014
Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014 7

IDENTIFIKASI MIKORIZA ANGGREK Spathoglottis plicata Blume. DAN


Phalaenopsis amabilis L.

(Identification Of Orchid Mycorrhiza Of Spathoglottis plicata Blume. And Phalaenopsis


amabilis L.)

Rita Ningsih1, Dinarni2, Dwi Febrianti2


1
Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Halu Oleo, Sulawesi Tenggara
2
Laboratorium Biologi, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara
e-mail : ningsihrita77@gmail.com

ABSTRACT
Isolation and identification of mycorrhiza fungal that associated with Spathoglottis plicata
Blume and Phalaenopsis amabilis L. orchid root have been done. The descriptive research consist
of three steps that were isolation, purification and identification. Slice of roots were
inoculated on Potato Dextro Agar (PDA) media for 2 5 days. The fungal colony were
purified then identified based on colony and morphology characters. The observed parameter
were fungal colony, hypha and spore type. The result showed that there were 3 isolates found
from root of terrestrial orchid Spathoglottis plicata Blume i.e SA1.1 was Chaetoium
belonging to Ascomycetes class; SA2.2 was Beltrania belonging to Ascomycetes class too
and SA2.3 was Rhizoctonia belonging to Deuteromycetes class. Meanwhile the identification
result of mycorrhiza fungal from root of epiphytic orchid Phalaenopsis amabilis L. showed that 2
isolate i.e PA1.2 and PA1.3 both of them Rhizoctonia belonging to Deuteromycetes class.

Keywords : orchid mycorrhiza, Spathoglottis plicata Blume, Phalaenopsis amabilis L., orchid
root

PENDAHULUAN adalah Orchid Mycorrhiza. Tipe mikoriza


Kehidupan makhluk hidup seperti ini terdapat pada tanaman anggrek,
manusia, hewan, dan tumbuhan tidak dapat terutama banyak dijumpai pada kecambah
dilepaskan dari peranan mikroorganisme. anggrek maupun tanaman anggrek dewasa
Salah satu contoh mikroorganisme adalah yang klorofilnya kurang baik. Jamur
jamur. Lebih dari 90% dari spesies dengan tipe ini membentuk struktur hifa
tanaman terrestrial berpembuluh memiliki yang berupa lilitan padat (peloton). Semua
sebuah simbiosis yang saling anggrek memerlukan infeksi jamur
menguntungkan antara akar dan jamur mikoriza untuk melengkapi siklus
(mikoriza). Umumnya mikoriza yang hidupnya.
berasosiasi tersebut termasuk dalam tipe Biji tanaman anggrek memiliki
endomikoriza. sedikit sekali bahkan hampir tidak
Mikoriza merupakan suatu bentuk memiliki endosperma, sehingga secara
simbiosis mutualistik antara jamur dan alami beberapa spesies anggrek dapat
akar tanaman (Brundrett et al., 1996). Ada mengalami suatu mekanisme yang
enam tipe asosiasi mikoriza, salah satunya menyebabkan tertundanya perkecambahan.
Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 8
Phalaenopsis amabilis L.

Keberadaan miselium mikoriza yang tanaman (plant growth promotion


kompatibel dapat membantu menginisiasi microorganism), bahan baku obat
dan meningkatkan perkecambahan anggrek (antibiotik), khususnya sebagai pupuk
secara signifikan (Andersen & Rasmussen, hayati (biofertilizer) maka, diperlukan
1996). penelitian tentang identifikasi jamur
Sulawesi Tenggara merupakan mikoriza yang bersimbiosis pada akar
wilayah tropis yang berada pada garis anggrek tanah (Spathoglottis plicata
Wallace dengan keanekaragaman Blume.) dan anggrek epifit (Phalaenopsis
tumbuhan yang melimpah salah satunya amabilis L.)
adalah Hutan Wolasi di Kabupaten METODE PENELITIAN
Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Bahan dan Alat
Tenggara. Banyak tanaman yang Bahan baku yang digunakan dalam
digunakan oleh masyarakat setempat penelitian ini adalah PDA (Potato Dextro
diantaranya tanaman anggrek. Anggrek Agar) sebagai media pertumbuhan jamur
merupakan salah satu tumbuhan yang pada saat isolasi dan purifikasi. Bahan
memiliki keanekaragaman sangat tinggi lainnya yaitu laktofenol, etanol 70%,
diantaranya anggrek Spathoglottis plicata sodium hipoklorit, alumunium foil dan
Blume. (anggrek tanah) dan Phalaenopsis kertas saring. Alat-alat yang digunakan
amabilis L. (anggrek epifit). Hal ini berarti dalam penelitian ini meliputi laminar air-
pula tingginya keanekaragaman jenis flow, autoklaf, inkubator, hotplate &
jamur mikoriza anggrek. Di Papua telah magnetic stirrer.
diteliti jamur mikoriza pada 10 jenis Sampel dalam penelitian ini yaitu
anggrek tanah (Agustini et al., 2009). akar anggrek yang berasal dari sekitar
Sedangkan identifikasi jamur mikoriza Hutan Wolasi Kabupaten Konawe Selatan
pada anggrek epifit Phalaenopsis manii Provinsi Sulawesi Tenggara. Akar diambil
pernah dilakukan oleh Saha dan Rao dengan cara mencungkil tanaman anggrek
(2006). Diketahui bahwa jamur yang beserta akarnya yang melekat pada substrat
berasosiasi pada akar anggrek tersebut yaitu tanah untuk anggrek Spathoglottis
berasal dari spesies Rhizoctonia dan plicata Blume. dan kulit pohon tua untuk
Tulasnella. anggrek Phalaenopsis amabilis L.
Berdasarkan uraian tersebut di atas a. Isolasi Jamur
dan mengingat pentingnya prospek Langkah awal yang dilakukan
pemanfaatan jamur mikoriza anggrek baik terhadap sampel adalah sterilisasi pada
sebagai sumber zat pemacu pertumbuhan permukaan akar. Permukaan akar dicuci

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014


Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 9
Phalaenopsis amabilis L.

dengan air mengalir selama 10 menit, dengan mengamati beberapa karakter


kemudian direndam didalam etanol 70% morfologi secara makroskopis dan
selama 3 menit, sodium hipoklorit mikroskopis berdasarkan panduan Barnet
(NaOCl) 5,3% selama 5 menit, dan dan Hunter (1972). Pengamatan
terakhir dicuci secara aseptik dengan makroskopis meliputi warna dan
akuades steril sebanyak 3X kemudian permukaan koloni, tekstur, zonasi, daerah
dipotong melintang setebal 1 mm. (Ritchie, tumbuh, garis-garis radial dan konsentris,
1995; Lumyong et al., 2001; Park, 2003). warna balik koloni (reverse color), dan
Potongan akar yang sudah kering tetes eksudat (exudate drops). Pengamatan
diletakkan dalam cawan petri yang berisi secara mikroskopis terhadap slide culture
media potato dextrose agar (PDA), lalu yang dibuat berdasarkan (Lay, 1994)
diinkubasi selama 2-5 hari pada suhu ruang meliputi ada tidaknya septa pada hifa,
kamar. Koloni yang tumbuh disekitar pigmentasi hifa, hubungan ketam (clamp
potongan akar, selanjutnya dipilih dan connection), bentuk dan ornamentasi spora
ditumbuhkan kembali pada media PDA (vegetatif dan generatif), serta bentuk dan
untuk dipurifikasi. ornamentasi tangkai spora (Gandjar et al.,
b. Purifikasi dan Karakterisasi Koloni 1999).
Jamur
d. Analisis Data
Mikoriza yang tumbuh setelah masa Data yang diperoleh dianalisis secara
inkubasi 2 - 5 hari, kemudian diisolasi dan deskriptif yaitu memberikan gambaran
diberi tanda sesuai dengan ciri koloni tentang karakteristik dari masing-masing
(warna, bentuk, permukaan, dan tepi) jenis isolat berdasarkan hasil karakterisasi
selanjutnya tiap jenis isolat direisolasi dan identifikasi dengan berpedoman pada
beberapa kali dengan menggunakan buku acuan Illustrated Genera of Imperfect
metode gores untuk mendapatkan biakan Fungi (Barnett and Hunter, 1972),
murni kemudian dikerjakan duplo masing- Terrestrial Orchids From Seed to
masing satu untuk working culture dan Mycotrophic Plant (Rasmussen, 1995),
satu lagi ke agar miring untuk stok culture. Moulds, Their Isolation, Coltivation, and
Selanjutnya dilakukan pengamatan Indentification (Malloch, D. 1981), jurnal-
karakteristik koloni yang meliputi warna, jurnal hasil penelitian dan situs internet
bentuk, permukaan, tepi. (www. mycobank. Com). Selanjutnya
c. Identifikasi Jamur disusun klasifikasi sampai diperoleh genus
Jamur yang telah diisolasi dan dari masing-masing jenis isolat sehingga
dimurnikan kemudian diidentifikasi diperoleh gambaran atau keterangan

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014


Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 10
Phalaenopsis amabilis L.

tentang jamur mikoriza yang terdapat pada morfologi koloni jamur dilihat dari adanya
akar kedua jenis anggrek. sekumpulan hifa yang berbentuk seperti
HASIL DAN PEMBAHASAN benang disebut miselium. Purifikasi jamur
Isolasi Jamur yang Berasosiasi dengan selanjutnya dilakukan berdasarkan hal
Akar Anggrek
tersebut dan hasilnya dapat dilihat pada
Hasil isolasi jamur yang berasal dari gambar 2.
akar anggrek tanah Spathoglottis plicata S
SA1.1 S
SA2.2 S
SA2.3
A A A
Blume.dan anggrek bulan Phalaenopsis 1. 2. 2.
1 2 3
amabilis L. selama 2 7 hari pada media
PDA sebanyak masing-masing 3 cawan
petri (ulangan) ditampilkan pada Gambar
1. PA1.1
P P
PA1.3
A A
1. 1.
2 3

S.A1
S S.A2
S S.A3
S
. . .
A A A
1 2 3
Gambar 2. Jamur hasil purifikasi dari
akar anggrek tanah
P
P.A1 P
P.A2 P
P.A3
. . . Spathoglottis plicata
A A A Blume. (atas) dan akar
1 2 3 anggrek bulan Phalaenopsis
amabilis L. (bawah).

Gambar 1. Jamur hasil isolasi dari akar Pada akar anggrek tanah ditemukan
anggrek tanah Spathoglottis plicata
sebanyak tiga isolat dari dua akar yang
Blume. (atas) dan akar anggrek bulan
Phalaenopsis amabilis L. (bawah). berbeda yaitu satu isolat dari akar 1
Ket: S.A1,2,3: Spathoglottis plicata
potongan ke-1 (SA1.1) dan dua isolat dari
akar 1,2,3; P.A1,2,3 : Phalaenopsis
amabilis akar 1,2,3. akar 2 potongan ke-2 dan ke-3 (SA2.2 dan
Hasil isolasi pada cawan petri
SA2.3). Adapun pada akar anggrek bulan
menunjukkan selain jamur juga terdapat
ditemukan sebanyak dua isolat dari cawan
khamir, hal ini disebabkan karena medium
yang sama yaitu akar 1 potongan ke-2 dan
tumbuh yaitu PDA tidak bersifat spesifik
ke-3 (PA1.2 dan PA1.3). Karakterisasi
untuk jamur. Pemilahan keduanya
morfologi koloni dan mikroskopik
dilakukan berdasarkan perbedaan antara
dilakukan pada setiap isolat untuk
struktur morfologi koloni jamur dengan
menentukkan identitasnya.
struktur morfologi koloni khamir. Struktur

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014


Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 11
Phalaenopsis amabilis L.

a. Karakteristik dan Identitas Isolat SA1.1 aktivitas lactase atau peroksidase (Thorm
Morfologi koloni isolat ini berwarna et al., 1996).
putih baik diatas maupun di bawah Von Arx et al . (1986) dan Issa et al.
permukaan, media berwarna merah (2013) menggolongkan Chaetomium
dibagian tepi koloni dan tumbuh dengan dalam family Chaetomiacea, dengan
sangat cepat (Gambar 2). Pada pengamatan klasifikasi sebagai berikut: Divisio
secara mikroskopik tampak adanya hifa Ascomycota; Class Sordariomycetes; Ordo
atau miselium yang mempunyai septa Sordariales; Family Chaetomiaceae; Genus
berwarna terang sampai coklat, dan Chaetomium.
bercabang pada satu arah. Memiliki b. Karakteristik dan Identitas Isolat
SA2.2
ascomata bulat berwarna hitam dikelilingi
filamentous appendages lurus, dan spora Morfologi koloni berwarna putih
berupa sel tunggal berbentuk bulat baik diatas maupun di bawah permukaan,
memanjang (oval) (Gambar 3.A). Hal ini bentuk serbuk, berwarna putih dibagian
sesuai dengan karakteristik Chaetomium tepi, dan tumbuh dengan sangat cepat.
yang dinyatakan oleh Von Arx et al. Pada pengamatan secara mikroskopik
(1986) dan Mungai et al. (2012) tampak adanya hifa atau miselium yang
Chaetomium adalah satu jamur mempunyai septa yaitu terdapat sekat
golongan Ascomycota dari keluarga diantara hifa, berwarna yang sangat terang,
Chaetomiacea (Von Arx et al .1986). konidia soliter, berbentuk V bikonikal
Chaetomium juga dikenal sebagai jamur (Gambar 3.B). Menurut literatur ciri
tanah yang dapat tumbuh pada berbagai lainnya dari jamur tersebut yang
substrat seperti sisa-sisa tanaman, serasah, merupakan Beltrania sp. yaitu: seta coklat
biji, tebu, terdiri atas beberapa spesies sederhana berujung runcing; konidiofor
yang menyukai substrat dengan kadar sederhana 138 x 3-6 m, berwarna gelap
selulosa tinggi (Von Arx et al. 1986; dengan dasar bentuk keeping radial dan
Abdullah & Saleh, 2010). Sekitar koloni jarang bercabang, berujung tajam; konidia
biasanya berwarna merah yang berwarna coklat berbentuk V, simetris
berhubungan dengan suatu pigmen merah bikonikal dibagian tengah berwarna agak
exudat. Koloni berwarna merah, pucat menggulung secara spiral, tunggal
menunjukkan aktivitas degradasi lignin denticle; saprofit (Watanabe, 2002;
yang membentuk zona berwarna merah Kendrick, 2013; Abbas et al., 2010).
disekitar koloni karena adanya quinon
yang merupakan oksidasi guaicol akibat

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014


Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 12
Phalaenopsis amabilis L.

Ordo Moniliales; Family Dematiceae;


c
d Genus Beltrania.
b
a
c. Karakteristik dan Identitas Isolat SA2.3,
a
A B
PA1.2, dan PA1.3

Memiliki karakteristik morfologi


a
koloni berwarna putih diatas permukaan
e dan dibawah permukaan, ditengah-tengah
koloni ada gumpalan putih basah,
C D
berwarna putih dibagian tepi, dengan
Gambar 3. Morfologi Mikroskopik Jamur
pertumbuhan lambat. Pada pengamatan
hasil purifikasi dari akar anggrek
tanah Spathoglottis plicata Blume. secara mikroskopik tampak adanya hifa
A: Chaetomium (isolat SA1.1), B:
atau miselium yang mempunyai septa yaitu
Beltrania (isolat SA2.2), C&D
Rhizoctonia (isolat SA2.3). a: hifa, terdapat sekat diantara hifa, yang
b: ascomata, c. rambut ascomata,
mempunyai warna yang sangat terang,
d. konidia, e. sel monilioid. A & C
perbesaran 200X, B & D sebagian hifa ujungnya menggulung,
perbesaran 400X
terdapat sel monilioid yang tumbuh pada
Beltrania sp. Adalah jamur bagian hifa (Gambar 3 C&D; Gambar 4
mitosporik yang tersebar luas dan umum A&B). Ciri-ciri tersebut menggambarkan
ditemukan pada sisa daun atau tanaman jamur Rhizoctonia.
yang sudah mati didaerah tropis maupun Beberapa karakteristik spesies
subtropis, termasuk dalam kelas Rhizoctonia yang disampaikan oleh Sneh
Ascomycetes. Informasi tentang jamur ini et al. (1991), adalah jamur ini mempunyai
masih sangat sedikit terutama tentang pigmen hifa berwarna cokelat; membentuk
toksisitas dan efeknya terhadap kesehatan. percabangan di dekat sekat pada hifa
Jamur ini ditemukan pula pada sisa-sisa vegetatif yang muda; membentuk hifa dan
tanaman di habitat perairan. (Upadhyaya et sekat yang pendek di dekat asal tempat
al., 2012), di bukit pasir (Panda et al., percabangan. Memiliki sel monilioid;
2010), hutan hujan (Crusius et al., 2006) membentuk sklerosium; diameter hifa
dan sebagainya. Menurut Barnet & Hunter lebih dari 5m bagian ujung hifanya
(1972) dan Jurema et al. (2004) klasifikasi menggulung rata-rata pertumbuhan cepat
Beltrania adalah sebagai berikut : Divisi dan patogenik tidak selalu dimiliki.
Amastigomycota; Subdivisi Adapun ciri-ciri morfologi utamanya
Deuteromycotina; Class Deuteromycet;

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014


Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 13
Phalaenopsis amabilis L.

adalah tidak pernah terdapat :clamp Pada penelitian ini ditemukan 3


connection; konidium; dan rhizomorf. genus jamur mikoriza pada akar anggrek
Rhizoctonia merupakan suatu tanah Spathoglottis plicata Blume. Lebih
kelompok besar jamur yang penting. sedikit jika dibandingkan hasil penelitian
Alexopoulus & Mims. (1996), Currah et al. (1987) ada 6 spesies yaitu
menyebutkan bahwa anggota jamur ini Rhizoctoniu anaticula, Rhizoctonia repens,
dapat berperan sebagai patogen, mikoriza, Ceratobasidium obscurum,Leptodontidium
dan saprofit. Genus Rhizoctonia juga orchidicola, Trichocladium opacum,
banyak ditemukan pada keluarga anggrek Trichosporiella multisporum sp. Demikian
(Andersen & Rasmussen, 1996). pula 17 jamur mikoriza dari 10 jenis
Rhizoctonia sp. termasuk dalam anggrek tanah telah ditemukan di hutan
famili Agonomycetaceae, dikenal juga Cycloops Jayapura, tiga diantaranya yaitu
sebagai mycelia sterilia, karena tidak Rhizoctonia sp., Tulasnella sp., dan
menghasilkan konidia juga tergolong Ceratorhiza sp (Agustini et al., 2009).
sebagai jamur imperfect ( kelas Adapun keragaman jamur pada
Deuteromycetes) karena tidak mempunyai anggrek epifit lebih rendah dibandingkan
fase reproduksi seksual. Menurut anggrek tanah seperti halnya pada
Alexopoulus & Mims (1996), klasifikasi penelitian ini hanya ditemukan satu genus
Rhizoctonia adalah sebagai berikut: Divisi jamur dari akar anggrek Phalaenopsis
Amastigomycota; Subdivisi amabilis L. yaitu Rhizoctonia. Selaras
Deuteromycotina; Class Deuteromycetes; dengan penelitian Saha & Rao (2006) yang
Subclass Hyphomycetidae; Ordo Mycelia hanya memperoleh 2 jenis jamur pada
Sterilia; Genus Rhizoctonia. anggrek Phalaenopsis mannii yaitu
Rhizoctonia repens dan IS-7 yang belum
a b
teridentifikasi.
Perbedaan keragaman jenis jamur

a pada kedua jenis anggrek tersebut


b kemungkinan disebabkan karena
A B
perbedaan habitat tumbuh, dimana anggrek
Gambar 4. Morfologi Mikroskopik Jamur Phalaenopsis amabilis L. merupakan
hasil purifikasi dari akar anggrek
anggrek epifit yang biasa tumbuh pada
bulan Phalaenopsis amabilis L.
A: Rhizoctonia (isolat PA1.2), B: permukaan kulit tanaman berkayu
Rhizoctonia (isolat PA1.3) a:
sedangkan Spathoglottis plicata Blume.
hifa, b: sel monilioid. A & B
perbesaran 400X.

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014


Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 14
Phalaenopsis amabilis L.

tumbuh di tanah yang mengandung Andersen, T.F .& H.N .Rasmussen.1996 .


The Mycorrhizal species of
berbagai jenis mikroorganisme.
Rhizoctonia .In :Sneh, B., S.Jabaji-
Hare, S .Neate, & G .Dijst .
Rhizoctonia Spesies :Taxonomy,
KESIMPULAN
Molecular Biology, Ecology,
Jamur mikoriza pada akar anggrek Pathology and Disease Control .
KAP.London .379-390 pp.
tanah berhasil diisolasi sebanyak 3 genus
Barnett, H.L. and Hunter, B.B. 1972.
yaitu Chaetomium, Beltrania, dan Illustrated Genera of imperfect fungi.
4th ed .Prentice-Hall, Inc. USA.
Rhizoctonia. Sedangkan pada akar anggrek
Beihefte zur Nova Hedwigia 84: 1-
bulan (epifit) hanya satu genus yaitu 162.
Brundrett, M., N .Bougher, B .Dell, T .
Rhizoctonia.
Grove, & N .Malajczuk.1996 .
Working with Mycorrhizas in
SARAN Forestry and Agriculture .ACIAR
Monograph 32.374 +x p.
Penelitian lanjutan mengenai
Crusius, I.H.S., Milanez, A.I., Trujem,
identifikasi secara molekuler sampai S.F.B., Zottarelli, C.L.A., Grandi,
R.A.P., Santos, M.L., Giustra, K.C.
tingkat spesies dan verifikasi tentang
2006. Microsporic Fungi in the
hubungan simbiosis mutualis antara jamur- Atlantic Rainforest in Cubatao Sao
Paulo Brazil. Brazilian Journal of
jamur tersebut dengan akar anggrek
Microbiology 37 : 267 275.
inangnya. Currah, R.S. Sigler, R., Hambleton, S.
1987. New Records and New Taxa
Of Fungi From The Mycorrhizae Of
DAFTAR PUSTAKA
Terrestrial Orchids Of Alberta,
University Of Alberta Microfurzgus
Abbas, S.Q., Iftikhar, T., Niaz, M., Sadaf,
Collectiorl and Herbariurrz,
N. 2010. New Fungal Records on
Devorziarz Botanic Garden
Eucalyptus Spp. From District
Ed,norztor, Alta.,Canada t6g 2ei,
Faisalabad Pakistan. Pak. J. Bot.
Can. J. Bot. 65: 2473-2482.
42(5) : 3317 3321.
Gandjar, I., Samson R.A, K. van den
Abdullah, S.K and Saleh, Y.A. 2010.
Tweel-Vermeulen, Oetari, A. and
Mycobiota Associated with
Santoso, I. 1999. Pengenalan kapang
Sugarcane (Saccharum officinarum
tropik umum. Yayasan Obor
L.) Cultivars in Iraq. Jordan Journal
Indonesia. Jakarta.
of Biological Sciences 3(4) : 193
Issa H., Alghamdi A., Aljishi A., Al-
202.
Salem.,Chaetomium peritonitis in
Agustini, V., Supeni, S., Suharno. 2009.
an immunocompetent patient
Mycorrhizal Association of
simulating tuberculous peritonitis:
Terrestrial Orchids of Cycloops
A case report and review of the
Nature Reserve Jayapura.
literature, April 2013,
Biodiversitas 10 (4) : 175-180.
Microbiology Research
International Vol. 1(1), pp. Hal. 1-
Alexopoulus dan Mims. 1996.
5.
Introduktory Micology. New York :
Jurema do Socorro Azevedo Dias Eng.
John Wiley and Sonc, Inc.
Agr. MSc., Embrapa Amap Lana

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014


Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 15
Phalaenopsis amabilis L.

Patrcia dos Santos, Gilberto Ken- Park, J.Y. 2003. Surface sterilization
Iti Yokomizo Eng. Agr. DSc. 2004. method. Workshop on Isolation
O Fungo Beltrania sp. em Methods of Microbes. 37-38.
Pupunheirano Estado do Amapa, Biotechnology Center NITE & Pusat
Empresa Brasileira de Pesquisa Penelitian Bioteknologi LIPI,
Agropecuria Centro de Pesquisa Cibinong: 24-26 Juni 2003.
Agroflorestal do Amap Ministrio Rasmussen, H .N. 1995. Terrestrial
da Agricultura, Pecuria e Orchids From Seed To Mycotrophic
Abastecimento.Ministerio da Plant. Cambridge University Press.
agricultura, pecuaria e Ritchie, B.J. 1995. International course on
Abastecimento. Hal. 69 identification of fungi of agricultural
Kendrick, B. 2013. Analyse of importance : Plant Pathology
morphogenesis in the Techniques. International
hyphomycetes : New characters Mycological Institute, Egham :7
derived from considering some Agustus-15 September 1995 .
conidiophores and conidia as Saha, D. and Rao, A.N. 2006. Studies on
condensed hyphal systems. Can. J. Endophytic Mycorrhiza of Some
Bot. 81 : 75 100. Selected Orchids of Arunachal
Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroba di Pradesh-1. Isolation and
Laboratorium. PT Raja Grafindo Identification. Bulletin of Arunachal
Persada. Jakarta Forest Research 22 (1&2) : 9-16.
Lumyong S, Norkaew N, Ponputhachart D, Sneh, B., Burpee, L., Ogoshi, A. 1991.
Lumyong P, dan Tomita F. 2001. Identification of Rhizoctonia
Isolation, Optimitation and Species. APS Press. St. Paul. MN.
Characterization of Xylanase from Thorn, R.G, Reddy, C.A., Harris, D., and
Endophytic fungi. Biotechnology for Paul, E.A. Issolation of Saprophytic
Sustainable Utilization of Biological Basidiomycetes from Soil. Appl.
Resources. The Tropic, 15. Environ. Microbiol. 62 : 4.288
Maloch, D., 1981. Mould; Their Isolation, 4.292
Cultivation and Identification. Upadhyaya, A., Singh, J., Tiwari, J., Gupta, S.
University of Toronto, Canada. 2010. 2012. Biodiversity of water borne
A Comparative account of the conidial fungi in Narmada River.
diversity and distribution of fungi in International Multidisciplinary
Research Journal. 2(9) : 20 22.
tropical forest soils and sand dunes
Von Arx, J.A. Guarro, J. and Figueras, M.J.
of Orissa, India. J. Biodiversity 1(1) : (1986). The ascomycete genus
27 41. Chaetomium. Beihefte zur Nova
Munngai P.G, Chukeatirote, E. Njogu, J.G. Hedwigia 84: 1-162.
Hyde, K.D. 2012. Coprophilous Watanabe, T. 2002. Soil and Seed Fungi :
Ascomycetes in Kenya: Chaetomium Morphologies of Cultured Fungi and
Species from Wildlifes Dung. Key to Species. 2nd Edition. CRC
Current Research in Enviromental Press. London, New York,
and Applied Mycology 2(20 : 113 Washington, D.C
128
Panda, T., Pani, P.K., Mishra, N.,
Mohanty, R.B.

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014


Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1624, April, 2014 ISSN : 2355-6404 16

KEANEKARAGAMAN KUMBANG CERAMBYCIDAE (COLEOPTERA) DI


KAWASAN GUNUNG MEKONGGA DESA TINUKARI
KECAMATAN WAWO KABUPATEN KOLAKA UTARA PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

(Diversity Of Cerambycidae Beetle (Coleoptera) In Mekongga Mount Area, In


Tinukari Village Wawo Sub District North Kolaka Regency In South East
Sulawesi Province)

Amirullah1, Citra Ariani2, dan Suriana1


1
Jurusan Biologi, Fakultas MlPA Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara
2
Laboratorium Biologi, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara
e-mail : Amir_entkes@yahoo.com

Jurusan Biologi, Fakultas MlPA Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara 93232.

ABSTRACT

The aim of this research is to determine the distribution, diversity, evenness and
similarity of Cerambycidae bettle based on the total of species and individual at different
altitude in mount of Mekongga area in Tinukari village Wawo sub district, north Kolaka
regency in South East Sulawesi province. This research was used a survey method,
catching Cerambycidae bettle by using sweep net, light trap, malaise trap, artocarpus trap
and yellow pan trap by TCBG-LIPI mekongga team. Mounting and identification in
laboratory entomology, sector zoology, biology research center Tndonesian of science,
Cibinong Bogor, west java. The result show that there are 3 subfamilies of Cerambycidae
bettle; Laminae (54 species), Cerambycidae (21 species) and Prioninae (1 species). The
highest diversity index, was found at 0-500 asl (H'=3,389) and the evennes high category
was found at 1000-1500 asl (H'=1). The highest similarity index of species was found at
0-500 and 500-1000 asl (47,225%).

Key words : Cerambycidae Bettle, Diversity, Mekongga Mount.


Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi 19
17
Sulawesi Tenggara

PENDAHULUAN

Serangga merupakan kelompok diperkirakan terdapat 6000 jenis


hewan dengan keragaman terbesar bila kumbang setelah Hammond berhasil
dibandingkan dengan golongan hewan mengoleksi 4500 jenis kumbang dari
lain yaitu hampir 75% dari total hewan hutan dataran rendah di Sulawesi Utara
yang hidup di dunia (Listiani, 2008). (Shahabuddin dkk, 2005).
Serangga berhasil dalam Kumbang sungut panjang
mempertahankan keberlangsungan (Coleoptera, Cerambycidae) merupakan
hidupnya pada habitat yang bervariasi, kelompok serangga perombak kayu
kapasitas reproduksi yang tinggi, yang mempunyai keanekaragaman yang
kemampuan memakan jenis makanan tinggi. Di Asia telah teridentifikasi
yang berbeda dan kemampuan sekitar 35.000 spesies dan sekitar 10%
menyelamatkan diri dari musuhnya. diduga terdapat di Tndonesia. Koleksi
Serangga juga memegang peranan kumbang sungut panjang yang
yang sangat penting dalam suatu tersimpan di Laboratorium Entomologi,
ekosistem yakni sebagai herbivora, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian
predator, parasit, dekomposer maupun Biologi-LTPT, diperkirakan sekitar 1.200
sebagai penyerbuk dalam pembungaan spesies yang telah teridentifikasi
dan pembuahan (Latumahina dan (Noerdjito dkk, 2011).
Anggraeni, 2010). Kumbang Cerambycid
Kumbang (Coleoptera) memainkan peran penting dalam
merupakan kelompok terbesar, sekitar ekologi hutan karena membantu dalam
40% dari seluruh jenis serangga. penguraian pohon yang mati. Kumbang
Anggotanya diperkirakan lebih dari sungut panjang (Cerambycidae)
350.000 jenis yang sudah diketahui diketahui berperan sebagai perombak
namanya, 30.000 jenis ada di Amerika bahan organik, terutama larvanya hidup
Serikat dan Kanada (Borror et al., di dalam kayu yang sedang melapuk.
1996), di Australia 30.000 jenis Susunan komunitas kumbang sungut
(Lawrence and Britton, 1994), dan panjang yang ada di suatu kawasan
diperkirakan sekitar 10% dari jumlah akan mencerminkan kondisinya
jenis kumbang dunia yang terdapat di (Noerdjito et al., 2005).
Indonesia. Khusus di Sulawesi,

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1624, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi 20
Sulawesi Tenggara 18

Pegunungan Mekongga adalah mempunyai nilai ekonomi di kawasan


suatu pegunungan yang terletak di hutan tersebut sangat diperlukan.
Provinsi Sulawesi Tenggara tepatnya Sejauh ini di pegunungan
di Kabupaten Kolaka Utara yang Mekongga telah ditemukan adanya variasi
memiliki hutan dengan ciri khas morfometri dan corak warna tubuh
tersendiri. Dari sisi biologis, hutan beberapa spesies tawon (Suriana dkk.,
tersebut mempunyai fungsi pokok 2011), sementara itu Wirawan (2012)
untuk mendukung kelangsungan menemukan 22 spesies capung pada
berbagai keanekaragaman hayati yang ketinggian 1000-2000 m dari permukaan
ada di dalamnya (Budiman, 2008). laut (dpl) yang terdiri atas 6 famili dari tiga
Hutan Mekongga telah diusulkan subordo Anisoptera dan tiga dari subordo
menjadi kawasan hutan lindung sejak Zygoptera. Tnformasi jenis kumbang
tahun 2008, sehingga untuk Cerambycidae di setiap ketinggian pada
pengelolaannya diperlukan data kawasan Gunung Mekongga belum
pendukung tentang berbagai aspek dilakukan, oleh karena itu, dilakukan
ekologi, termasuk status flora dan penelitian tentang Keanekaragaman
fauna yang ada di dalamnya. Data Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) di
dasar mengenai aspek biologi, Kawasan Gunung Mekongga Desa
keanekaragaman dan komposisi jenis Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten
biota terutama untuk jenis-jenis Kolaka Utara Provinsi Sulawesi
endemik, rawan punah dan Tenggara.

METODE PENELITIAN Maret sampai dengan 28 Juni 2013


bertempat di Laboratorium Entomologi,
Pengambilan sampel dilakukan
Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi,
pada bulan Agustus sampai Desember
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
2009, Juli sampai Desember 2010 dan
Cibinong Bogor, Jawa Barat. Alat dan
Juli 2011 oleh tim TCBG-LTPT.
bahan yang digunakan Mikroskop
Bertempat di Gunung Mekongga di
Binokuler, Loup, Jangka sorong, Kamera
ketinggian 0-1500 mdpl di kawasan
Sony 16.2 MP, Killing bottle, Sweap net,
Desa Tinukari Kecamatan Wawo
Malaise trap, Kertas label, Pinning block,
Kabupaten Kolaka Utara Provinsi
Pins insect, Plastozot, Oven, Kotak
Sulawesi Tenggara. Identifikasi
penyimpanan,
dilaksanakan selama tiga bulan yaitu 26

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1624, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi 19
21
Sulawesi Tenggara

Botol koleksi, Lem serangga, Kain trap. Prosedur penelitian terdiri dari 4
putih 2x3, Lampu mercury 150 watt, tahap yaitu pengambilan spesimen,
Generator 1000 watt, Drower, Jarum pengawetan spesimen, identifikasi
pentul, Pinset runcing, Desikator, kumbang dan analisis data. Pengawetan
Mangkok kuning, Serangga spesimen menggunakan alkohol.
(Coleoptera), Buku identifikasi, Identifikasi dilakukan dengan melihat
Alkohol 70%, Air panas, Kamper/ ciri-ciri morfologi pada kepala/caput,
kapur barus, Silica gel, Ethyl Acetat, dada/thorax dan perut/abdomen. Data
Daun nangka, Garam, Sabun cair. disajikan dalam bentuk gambar,
Pelaksanaan penelitian ini diagram dan tabel jumlah spesies
menggunakan metode survei dengan kemudian dianalisis dengan
penangkapan kumbang Cerambycidae menggunakan aplikasi Primer 5 yaitu
menggunakan jaring penangkap, dengan menghitung indeks
perangkap lampu, malaise trap, keanekaragaman, kemerataan dan
perangkap daun nangka dan yellow pan kesamaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian terhadap populasi


kumbang Cerambycidae ditiga
A. Spesies dan Jumlah Individu
Kumbang Cerambycidae dan ketinggian lokasi penelitian, di kawasan
Distribusinya pada Berbagai Gunung Mekongga, Kabupaten Kolaka
Ketinggian di Kawasan Gunung
Mekongga Utara, Sulawesi Tenggara dapat
disajikan pada Histogram 1 dan 2.

50 42
40 30
Jumlah spesies

30
20 14 8 3 4
0
10 1 0
0
0-500 500-1000 1000-1500

Ketinggian (mdpl)
Lamiinae Cerambycinae Prioninae

Gambar 1. Histogram Jumlah Spesies Kumbang Cerambycidae yang


ditemukan di kawasan Gunung Mekongga.

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1624, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi 20
22
Sulawesi Tenggara

250 220

Jumlah individu
200
150
100 72
50 36
2 10 0 3 4 0

0-500 500-1000 1000-1500


Ketinggian (mdpl)
subfamili Lamiinae subfamili Cerambycinae subfamili Prioninae

Gambar 2. Distribusi jumlah individu kumbang Cerambycidae yang


ditemukan di kawasan Gunung Mekongga
Histogram 1 dan 2 menunjukkan merupakan habitat yang memiliki
jumlah spesies kumbang Cerambycid jumlah spesies dan jumlah individu
yang ditemukan di Gunung Mekongga yang paling rendah, disini ditemukan 7
beragam dengan jumlah jenis yang spesies dengan 7 individu, tidak
bervariasi pada setiap ketinggian. ditemukan jenis yang mendominasi.
Pada hutan gunung Mekongga Dengan demikian dari ketiga habitat
ditemukan 347 individu dengan 76 tersebut, jumlah spesies dan jumlah
spesies kumbang Cerambycid. individu paling banyak ditemukan pada

Kumbang Cerambycidae di area ketinggian 0-500 mdpl.

hutan Gunung Mekongga pada B. Indeks Keanekaragaman


Kumbang Cerambycidae
ketinggian yang berbeda memiliki
(Coleoptera) yang ditemukan
jumlah individu dan spesies yang pada Berbagai Ketinggian di
berbeda. Pada ketinggian 0-500 mdpl Kawasan Gunung Mekongga
ditemukan 57 spesies dengan total
Nilai keanekaragaman spesies
individu 258, yang mendominasi adalah
menggunakan indeks keanekaragaman
Pterolophia sp.1 sebanyak 31
Shannon dan Wiener (H') (Lien and
individu. Ketinggian 500-1000 mdpl
Yuan, 2003) dapat dilihat pada Tabel 1.
ditemukan 38 spesies dengan 82
Tabel 1. Indeks keanekaragaman
individu, yang didominasi oleh Gnoma spesies kumbang Cerambycidae yang
ditemukan pada berbagai ketinggian di
sp.2 dengan 10 individu, dan
kawasan Gunung Mekongga
ketinggian 1000-1500 mdpl Ketinggian (H') Kategori
(mdpl)
0 - 500 3,389 Tinggi
500 - 1000 3,296 Tinggi
1000 - 1500 1,946 Sedang
Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1624, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi 21
23
Sulawesi Tenggara

Hasil perhitungan indeks spesies maka semakin tinggi


keanekaragaman pada Tabel 1 keanekaragamannya. Sebaliknya, bila
menunjukkan ketinggian 0-500 mdpl nilainya kecil maka komunitas tersebut
dan 500-1000 mdpl tergolong didominasi oleh satu atau sedikit jenis.
kategori tinggi bila dibandingkan C. Indeks Kemerataan Kumbang
dengan ketinggian 1000-1500 mdpl Cerambycidae (Coleoptera) yang
ditemukan pada Berbagai Ketinggian
menunjukkan kategori rendah.
di Kawasan Gunung Mekongga
Menurut Deshmukh (1992) dalam La
Hendri (2011), faktor yang menunjang Indeks kemerataan spesies

tinggi rendahnya indeks memakai indeks kemerataan Shannon

keanekaragaman adalah kerapatan (Mangguran, 2004). Berikut Tabel 2

jenis dalam komunitas, sehingga yang menunjukkan indeks kemerataan

dengan kondisi yang berubah pada spesies kumbang Cerambycidae.

suatu komunitas akan mempengaruhi Tabel 2. Indeks kemerataan spesies


kumbang Cerambycidae yang
jumlah jenis maupun jumlah individu ditemukan pada berbagai ketinggian di
jenis tertentu. kawasan Gunung Mekongga

Tingginya tingkat Ketinggian (E) Kategori


(mdpl)
keanekaragaman pada ketinggian 0-500
0 - 500 0,8382 Tinggi
mdpl dan 500-1000 mdpl disebabkan 500 - 1000 0,9062 Tinggi
1000 - 1500 1 Tinggi
karena pada habitat tersebut terdapat
berbagai jenis sumber daya untuk Hasil perhitungan indeks
dimanfaatkan dengan kondisi kemerataan jenis pada kawasan
lingkungan yang dapat ditoleransi oleh Gunung Mekongga menunjukkan
berbagai jenis kumbang Cerambycidae. bahwa kumbang Cerambycidae pada
Tingginya keanekaragaman jenis ini masing-masing habitat cukup merata.
ditunjukkan dengan ditemukannya 347 Ketinggian 0-500 mdpl menunjukkan
individu dari 76 spesies. Ketinggian 0- nilai kemerataan 0,8382, ketinggian
500 mdpl sebanyak 258 individu, 500-1000 mdpl dengan nilai
ketinggian 500-1000 mdpl sebanyak 82 kemerataan 0,9062 dan lokasi
individu dan ketinggian 1000-1500 penelitian dengan ketinggian 1000-
mdpl mempunyai keanekaragaman 1500 mdpl dengan nilai kemerataan 1,
yang sedang dengan jumlah 7 individu. hal ini dikarenakan jenis vegetasi yang
Menurut Odum (1996) dalam La terdapat di lokasi penelitian tersebar
Hendri (2011), semakin banyak jumlah

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1624, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi 22
24
Sulawesi Tenggara

merata di seluruh kawasan. Menurut Tingkat kesamaan jenis diukur


Dendang (2009) bahwa ukuran dengan menggunakan perhitungan
keseimbangan antara satu komunitas indeks kesamaan jenis (Tndeks
dengan komunitas lainnya sangat Similaritas). Berdasarkan hasil
ditentukan oleh nilai Tndeks perhitungan indeks similaritas pada
kemerataan dan nilai ini dipengaruhi Tabel 3 menunjukkan kumbang
oleh jumlah jenis yang terdapat dalam Cerambycidae pada tiga lokasi kategori,
satu komunitas. Perbedaan ketinggian memiliki nilai indeks tertinggi yaitu
akan menyebabkan perbedaan iklim pada ketinggian 0-500 mdpl dan 500-
(seperti suhu, kelembaban dan curah 1000 mdpl yaitu sebesar 47,2%. Hal
hujan), pola penyebaran vegetasi dan tersebut menunjukkan adanya
mempengaruhi kemerataan spesies kemiripan komunitas dalam hal jumlah
kumbang Cerambycidae. spesies pada kumbang Cerambycidae
D. Indeks Kesamaan Kumbang antara ketinggian 0-500 mdpl dengan
Cerambycidae (Coleoptera) yang 500-1000 mdpl. Hal ini disebabkan
ditemukan pada Berbagai
karena pada kedua ketinggian tersebut
Ketinggian di Kawasan Gunung
Mekongga terdapat kesamaan jenis habitat yang
berupa hutan alami yang didominasi
Kesamaan spesies kumbang
oleh pepohonan besar dan tanaman
Cerambycidae antar ketinggian tempat
perdu.
menggunakan indeks kesamaan Bray-
Nilai indeks kesamaan yang
Curtis. Data yang digunakan adalah
lebih rendah terdapat pada ketinggian
data spesies dan kelimpahan spesies
500-1000 mdpl dengan 1000-1500
masing-masing ketinggian tempat
mdpl dengan nilai 6,4%. Ketinggian
(Cheng, 2004). Indeks Kesamaan
tersebut memiliki kondisi lingkungan
Bray-Curtis dihitung menggunakan
yang cukup berbeda. Kondisi
program Primer (Plymouth Routines
lingkungan pada ketinggian 1000-1500
Tn Multivariate Ecological Research).
mdpl cukup ekstrim, karena kurangnya
Tabel 3. Indeks kesamaan spesies
kumbang Cerambycidae yang vegetasi dan sumber makanan sehingga
ditemukan pada berbagai kumbang Cerambycidae hanya sebagian
ketinggian di kawasan Gunung
Mekongga kecil yang mampu bertahan.
Ketinggian 500 - t000 -
(mdpl) 0- 500 t000 t500
0 - 500
500 - 1000 47,2%
1000 - 1500 14,1% 6,4%
Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1624, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi 23
25
Sulawesi Tenggara

PENUTUP B. Saran
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian
tersebut maka penulis menyarankan :
Berdasarkan hasil penelitian dan
5. Perlu adanya kajian diversitas
identifikasi yang telah dilakukan, dapat
secara mendalam tentang hubungan
disimpulkan bahwa:
ketinggian dan faktor
1. Jumlah spesies dan individu
lingkungannya terhadap spesies
kumbang Cerambycidae
kumbang Cerambycidae di
(Coleoptera) yang di temukan pada
kawasan Gunung Mekongga.
ketinggian 0-500 mdpl di Kawasan
6. Perlu dilakukan penelitian lebih
Gunung Mekongga lebih banyak
lanjut tentang hubungan vegetasi
dibandingkan pada ketinggian 500-
terhadap perkembangan populasi
1000 dan 1000-1500 mdpl.
kumbang Cerambycidae di
2. Indeks keanekaragaman jenis
kawasan Gunung Mekongga.
kumbang Cerambycidae kategori
tinggi di kawasan Gunung DAFTAR PUSTAKA

Mekongga terdapat pada ketinggian Borror, D.J., Triplehorn C.A., and


0-500 mdpl, sedangkan kategori Johnson. N.F., 1996, Pengenalan
Pelajaran Serangga Edisi Keenam,
rendah terdapat pada ketinggian Penerjemah: Partosoedjono, S. dan
1000-1500 mdpl. Brotowidjoyo, M,D., Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta
3. Indeks kemerataan spesies
kumbang Cerambycidae pada Budiman, U., 2008, Gambaran Umum
Pengetahuan Tentang
kawasan Gunung Mekongga dari llegalogging Kayu Serta Dampak
tiga ketinggian cukup merata. Pada Pemanasan Global di
Pegunungan Mekongga,
4. Indeks kesamaan spesies kumbang Cakrabuana, Makassar.
Cerambycidae yang terdapat di
Cheng, C., 2004, Statistical approaches
kawasan Gunung Mekongga on discriminating spatial
memiliki nilai kesamaan spesies variation of species diversity,
Bot. Bull Acad Sin, 45, 339-
yang tinggi terdapat pada 346.
ketinggian 0-500 mdpl dengan 500-
Dendang, B. 2009. Keragaman Kupu-
1000 mdpl dan terendah pada Kupu Di Resort Selabintana Taman
ketinggian 500-1000 mdpl dengan Nasional Gunung Gede
Pangrango, Jawa Barat. Penelitian
1000-1500 mdpl. Hutan dan Konservasi Alam, 6. 25-
36.

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1624, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi 24
Sulawesi Tenggara
La Hendri., 2011, Keanekaragaman dan Tropical Forests, 22-
Komposisi Jenis Semut di 23 February, 2005.,
Gunung Mekongga Desa FFPRT, Tsukuba, Japan,
Tinukari Kecamatan Wolo pp. 55-64.
Kabupaten Kolaka Utara
Provinsi Sulawesi Tenggara, Noerdjito, W.A., 2011, Evaluasi
Skripsi, Universitas Haluoleo, Kondisi Hutan Berdasarkan
Kendari. Keragaman Kumbang Sungut
Panjang (Coleoptera :
Latumahina, F,S., dan Anggraeni, T., 2010,
Cerambycidae) di Kawasan
Diversitas Coleoptera Dalam
Gunung Slamet. Berita Biologi
Kawasan Hutan Lindung Sirimau
(dalam proses penerbitan).
Kota Ambon, Seminar,
Yogyakarta, 24-25 Septembar
Noerdjito, W.A., Aswari, P., Peggie,
2010.
D., 2011, Fauna Serangga
Gunung Ciremai, Lipi Press,
Lawrence, J.F., and Britton, E.B., 1994,
Bogor
Australian Beetles, Melbourne
University Press.
Odum, E.P., 1993, Dasar-Dasar
Ekologi, Penerjemah:
Lien, V,V., and Yuan, D., 2003. The
Sarningan, T., dan Srigandono,
differences of butterfly
B., Gadjahmada University
(Lepidoptera, Papilionoidea)
Press, Yogyakarta.
communities in habitats with
various degrees of disturbance
Shahabuddin, Hidayat, P., Noerdjito,
and altitudes in tropical.
W. A., Manuwoto, S., 2005,
Biodiversity and Conservation,
Penelitian Biodiversitas
12, 1099-1111.
Serangga di lndonesia:
Kumbang Tinja (Coleoptera:
Listiani, L., 2008, Pengaruh Pola
Scarabaeidae) dan Peran
Perkawinan Poliandri
Ekosistemnya, Biodiversitas,
Kumbang Ulat Tepung
Vol. 6, No. 2, Hal. 141-146.
(Tenebrio molitor L.) Terhadap
Jumlah Larva Dan Jumlah
Suriana, M., Nurhayani., Ambardini,
Kumbang Anaknya, Skripsi,
S., Adi, D.A., 2011, Morfometri
Tnstitut Pertanian Bogor,
dan Corak Warna Tubuh
Bogor.
Beberapa Spesies Tawon di
Kawasan Gunung Mekongga,
Mangguran, A. E., 2004. Measuring
BLV, Universitas Haluoleo,
biological diversity. Malden:
Kendari.
Blackwell Publishing.
Wirawan, G.S., 2012, Jenis-jenis
Noerdjito, W.A., H. Makihara & K
Capung di Kawasan Gunung
Matsumoto. 2005. Longicorn
Mekongga Pada Ketinggian
beetle fauna (Coleoptera,
1000-2000 m dpl Desa Tinukari
Cerambycidae) collected from
Kecamatan Wawo Kabupaten
Friendship Forest at Sekaroh,
Kolaka Utara Sulawesi
Lombok. Proc. Tnt. Workshop
Tenggara, Skripsi, Universitas
on the Landscape Level
Haluoleo, Kendari.
Rehabilitation of degraded

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1624, April, 2014
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014 ISSN : 2355-6404 25

KARAKTERISASI FRAGMEN GEN 18S rRNA POKEA (Batissa violacea celebensis


Martens, 1897) DI SUNGAI POHARA KECAMATAN SAMPARA KABUPATEN
KONAWE

(Characterization of 18S rRNA Gene Fragmen from Pokea (Batissa violacea celebensis
Martens, 1897) in the Pohara River Sampara District Konawe Regency)

Muzuni1,2*, Dwi Arinto Adi1,2, dan Satriani Syarif2


1
Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Halu Oleo, Kendari
2
Laboratorium Biologi FMIPA, Universitas Halu Oleo, Kendari
e-mail :muzuni71@yahoo.co.id
ABSTRACT

This study aims to characterize sequences of 18S rRNA gene fragment from Pokea (Batissa
violacea celebensis Martens, 1897) and its role in differentiated Pokea with other Bivalvia.
The method used is a series of PCR (Polymerase Chain Reaction) reaction used to determine
the sequence of 18S rRNA gene fragments Pokea. Analysis of the data using program NCBI
(National Center for Biotechnology Information), Clustal X, Phydit (Phylogenetik editor), and
TreeViewX for characterization 18S rRNA gene sequence to construct a phylogenetik tree of
Pokea. The results showed that character of 18S rRNA gene fragments Pokea, namely: size
827 bp, including the family Corbicullidae because it has the closest kinship with Corbicula
fluminea, as well as having restriction enzyme sites XhoI, PstI, BamHI, and DraI.

Keywords: Morphology, characterization, 18S rRNA gene, Pokea (Batissa Violacea


celebensis Martens, 1897).

PENDAHULUAN dikonsumsi oleh masyarakat karena


Provinsi Sulawesi Tenggara mengandung gizi yang tinggi terutama
memiliki beberapa sungai besar maupun protein. Selain itu, kerang dapat pula
sungai kecil yang sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan perhiasan yang
kebutuhan air bersih, irigasi, pembangkit mempunyai nilai ekonomis penting.
listrik, dan untuk berbagai kebutuhan Cangkangnya, setelah melalui proses
lainnya. Sungai Pohara merupakan salah tertentu, dapat dijadikan pupuk, makanan
satu sungai yang terdapat di Sulawesi tambahan unggas, dan pembuatan cat, serta
Tenggara. Masyarakat yang bermukim di kapur (Nadia, 2011).
daerah Sungai Pohara menggunakan Bivalvia yang hidup di Sungai
sungai tersebut sebagai sumber mata Pohara berasal dari family Corbicullidae
pencaharian dan salah satunya adalah dengan jenis Batissa violacea celebensis
menangkap kerang di sungai lalu Martens, 1897. Masyarakat setempat
menjualnya (Nafsal, 2008). mengenalnya dengan sebutan Pokea.
Kerang (Bivalvia) adalah salah Berdasarkan informasi LIPI-Cibinong
satu jenis makanan yang banyak dalam Bahtiar (2005) bahwa pokea ini

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 26
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

merupakan hewan endemik di Sulawesi organisme secara morfologi. Penelitian ini


Tenggara sedangkan di sungai lain yang dapat menjelaskan karakteristik fragmen
ada di Sulawesi Tenggara belum ada gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea
informasi ditemukannya organisme ini. celebensis Martens, 1897) yang diperoleh
Penelitian mengenai karakter dari Sungai Pohara Kecamatan Sampara
morfologi dan fenotip pada Pokea (Batissa Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi
violacea celebensis Martens, 1897) telah Tenggara. Karakteristik ini dapat dijadikan
banyak dilakukan (Bahtiar, 2005; Nafsal, sebagai pembeda dengan organisme yang
2008; Renel, 2001), namun untuk lain.
mengidentifikasi suatu organisme
METODE PENELITIAN
menggunakan teknik molekuler belum
banyak dilakukan. Beberapa teknik Alat dan Bahan
molekuler telah dikembangkan untuk Alat yang digunakan dalam
melacak adanya urutan DNA spesifik dari penelitian ini adalah micropipet, tip,
organisme tertentu, contohnya penggunaan sentrifugator, vortex, set elektroforesis,
urutan gen 18S rRNA untuk menentukan mesin PCR, waterbath, tabung eppendorff,
hubungan kekerabatan suatu organisme inkubator, timbangan analitik,
dengan yang lain melalui pohon photoforesis, erlemeyer, hotplate,
filogenetik. spektrofotometer, spatula, alu dan mortar.
Gen 18S rRNA sering digunakan Bahan yang digunakan dalam
untuk studi filogenetik karena mempunyai penelitian adalah pokea (Batissa violacea
daerah yang conserve (tidak berubah dari celebensis Martens, 1897) yang diambil
satu organisme ke organisme yang lain). dari Sungai Pohara Kecamatan Sampara
Daerah conserve dan unik dapat digunakan Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi
untuk pencirian organisme bersangkutan Tenggara, buffer CTAB, primer, master
sehingga menjadi urutan tanda tangan mix, agarose, PCI (Phenol-Chlorofom-
(signature sequence). Data basa penyandi Isoamyl Alcohol), pasir kuarsa, ethidium
gen 18S rRNA memungkinkan untuk bromide, TAE (Tris-acetic EDTA) 1X,
digunakan dalam mengkontruksi pohon etanol 70 %, etanol absolut, aquadest,
filogenetik yang menunjukkan nenek RNAse, dan loading dye.
moyang dan kekerabatan suatu organisme
(Suwanto, 2011). Penelitian secara
molekuler dapat menjadi pelengkap atau
alternatif untuk mengidentifikasi

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 27
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

Prosedur Kerja 2 x volume etanol absolut lalu diinkubasi


Isolasi DNA selama 2 jam. Setelah 2 jam suspensi
Ektraksi DNA Pokea (Batissa kemudian disentrifugasi kembali selama 20
violacea celebensis Martens,1897) menit pada 10.000 rpm suhu 40C sehingga
menggunakan metode CTAB (Cetyl pellet DNA diperoleh. Selanjutnya pellet
Trimetyl Ammonium Bromide) (Sambrook DNA dicuci dengan 0,5 ml ethanol 70 %,
et al., 1989). Sebelum dilakukan ekstraksi, lalu dikeringkan kemudian dilarutkan
terlebih dahulu buffer lisis disiapkan dalam 20 l H2O. Untuk menghilangkan
dengan kebutuhan sesuai jumlah sampel RNA, larutan ditambahkan 100 g/l
yang akan diekstraksi. Sampel yang RNAse, lalu diinkubasi pada suhu 370C
diambil dari kaki Pokea terlebih dahulu selama 12 jam. Larutan DNA selanjutnya
ditimbang sebanyak 0,1-0,2 gr dan disimpan pada suhu -40C.
dipotong kecil-kecil, lalu digerus dengan
Uji Kualitas dan Kuantitas DNA
bantuan pasir kuarsa. Sampel dimasukkan
Kualitas DNA dapat diukur dengan
ke dalam eppendorff 1,5 ml dan
elektroforesis dan spektofotometer,
ditambahkan 600 l buffer lisis. Sampel
sedangkan kuantitas DNA diukur dengan
diinkubasi selama 30 menit dengan suhu
alat spektrofotometer. Elektroforesis DNA
65oC dan dibolak-balik setiap 5 menit.
hasil isolasi berfungsi untuk mengetahui
Sampel kemudian dimasukkan ke dalam es
apakah DNA utuh atau terdegradasi.
selama 5 menit lalu disentrifugasi pada
Spektrofotometer pada panjang gelombang
10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan
260 nm dan 280 nm berfungsi untuk
diambil lalu dimasukkan ke dalam
mengetahui apakah DNA murni atau
eppendorff baru ukuran 1,5 ml dan
terkontaminasi. Panjang gelombang yang
ditambahkan 1 x volume PCI (Phenol-
digunakan untuk mengetahui kandungan
Chlorofom-Isoamyl Alcohol) yang
DNA/RNA menggunakan spektrofotometri
berfungsi memisahkan kontaminan seperti
UV adalah 260 nm, sedangkan untuk
protein dan senyawa - senyawa organik
mengetahui kandungan protein
dengan DNA.
menggunakan spektrofotometri UV dengan
Selanjutnya suspensi disentrifugasi
panjang gelombang 280 nm.
pada 10.000 rpm, suhu 40C selama 10
Kualitas DNA ditetapkan
menit. Supernatan diambil dan
berdasarkan nilai rasio A260/A280 sekitar
dipindahkan dalam eppendorff 1,5 ml lalu
1,8 - 2,0. Kuantitas DNA ditetapkan
ditambahkan dengan 0,1 volume sodium
asetat 3 M pH 5,2 kemudian ditambahkan

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 28
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

berdasarkan asumsi bahwa 1 DO = 50 Reaksi Amplifikasi dan Elektroforesis


g/ml DNA utas ganda dengan rumus: Persiapan PCR untuk amplifikasi
dilakukan dalam bak berisi es. Sebanyak
[DNA] = A260 x 50 g/ml x FP
1,5 l DNA contoh (konsentrasi 100
ng/l), 1 l primer forward (konsentrasi 10
Keterangan :
= Konsentrasi DNA M), 1 l primer reverse (konsentrasi 10
A260 = Absorbansi pada panjang M), 1,5 l dH2O dan 5 l master mix 2x
gelombang 260 nm
50 g/ml = Konstanta untuk DNA yang terdiri dari H2O, 10 x Stoffel Buffer,
FP = Faktor pengenceran dNTP, MgCl2, dan enzim Taq DNA
Desain Primer Polymerase, dimasukkan dalam eppendorff
Primer spesifik yang digunakan ukuran 0,5 ml. Campuran kemudian
dalam penelitian ini adalah bagian dari divortex dan disentrifugasi, lalu
urutan 18S rRNA beberapa Bivalvia, dimasukkan ke dalam mesin PCR.
yakni: Anodonta cygnea (AM774476);
Psilunio littoralis (AF120536); Anodonta Reaksi PCR dilakukan sebanyak 35

sp. (AY579090); Lampsilis cardium siklus yang terdiri dari 2 stage. Stage 1

(AF120537); Elliptio complanata dilakukan sebanyak 5 siklus yang terdiri

(AF117738); Neotrigonia lamarckii dari 3 step, yaitu: denaturasi selama 1

(AM774478). Urutan-urutan DNA tersebut menit pada suhu 940C, annealing selama

diperoleh dari bank data gen (Genebank). 30 menit pada suhu 600C, dan extension

Selanjutnya seluruh urutan tersebut selama 90 menit pada suhu 720C. Stage 2

disejajarkan dengan menggunakan dilakukan sebanyak 30 siklus yang terdiri

Program BioEdit versi 7.0.9. Daerah yang dari 3 step, yaitu: denaturasi selama 1

terkonservasi merupakan daerah spesifik menit pada suhu 940C, annealing selama

yang dimiliki oleh gen tersebut sehingga 30 menit pada suhu 550C, dan extension

dapat digunakan sebagai primer spesifik. selama 90 menit pada suhu 720C.

Primer yang digunakan dalam penelitian Hasil amplifikasi selanjutnya

ini adalah primer Anodr-F (5-GAC ACG dielektroforesis dengan agarose 1 % (0,3 g

GGG AGG TAG TGA CG-3) dan primer agarose, 30 ml TAE 1x dan 7,5 l etidium

Anodr-R (5-CCA CCC ACC GAA TCA bromida) pada voltase konstan 100 volt

AGA AA-3). Perkiraan jumlah urutan dan 80 A selama 30 menit lalu

fragmen gen 18S rRNA yang akan divisualisasikan di atas UV transiluminator

terbentuk adalah 821 bp (base pair). kemudian dilakukan pemotretan dengan


photoforesis.

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 29
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

Pengurutan DNA HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengurutan DNA hasil amplifikasi Isolasi DNA Pokea (Batissa violacea


celebensis Martens, 1897)
menggunakan alat DNA sequencer ABI
Pada tahap ini sampel yang
Prism 377. Pengurutan dilakukan dengan
digunakan terdiri dari 4 ulangan. Setelah
metode Sanger, menggunakan terminator
diisolasi DNA kemudian dielektroforesis
dye berupa fluorescent dye rhodamin
untuk mengetahui apakah isolasi berhasil
(PRISM reaction dyedoaxy terminator
atau tidak. Keberhasilan proses isolasi
cycle sequencing kit). Setelah
dilihat berdasarkan ada atau tidaknya pita
mendapatkan hasil pengurutan, urutan
DNA hasil elektroforesis. Elektroforesis
kemudian disejajarkan dengan
juga berfungsi untuk mengetahui apakah
menggunakan program NCBI blast.
DNA hasil isolasi utuh atau terdegradasi.
Analisis Data
Hasil elektroforesis memperlihatkan

Identifikasi urutan nukleotida pita DNA utuh (Gambar 1) hanya pada

dilakukan dengan beberapa analisis. ulangan 2 dan 4, sedangkan pada ulangan 1

Analisis kesejajaran lokal (local dan 3 tidak terlihat. DNA utuh

alignment) hasil pengurutan DNA dengan terkonsentrasi pada ujung sedikit di bawah

data yang ada di GeneBank dilakukan sumur. Pemendekan yang ada di sepanjang

dengan program BLAST (Basic Local sumur bagian tengah menunjukkan DNA

Alignment Search Tools) yang disediakan yang mengalami degradasi. Degradasi

NCBI (National Center for Biotechnology DNA dapat terjadi karena adanya DNA

Information) melalui http://www. yang terpotong-potong akibat pemipetan

ncbi.nlm.nih.gov/blast (Muzuni et al., sampel berulang-ulang atau penempatan

2010 ; Mursyidin et al., 2012). Data urutan DNA dalam suhu kamar terlalu lama.

gen 18S rRNA disejajarkan dengan DNA mengalami degradasi juga bisa

program Clustal X (Hidayat et al., 2008). disebabkan oleh karena DNA mengalami

Konstruksi pohon filogenetik dengan pembekuan berulang-kali, pengenceran

metode neighbour-joining menggunakan atau kontaminasi nuklease selama proses

program Phydit (phylogenetik tree) ekstraksi DNA (Lester, 2011).

(Sembiring et al., 2008). Analisis situs


retriksi menggunakan program NEBcutter
2.0 (Muzuni et al., 2010).

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 30
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

DNA utuh

DNA terdegradasi

RNA terdegradasi

Gambar 1. Hasil elektroforesis DNA. 1, 2, 3 dan 4 menunjukkan 4 ulangan.

RNA yang telah terdegradasi selanjutnya. Pengenceran DNA yaitu hasil


tampak pada bagian bawah sumur di setiap ekstraksi DNA yang didapatkan dicampur
ulangan. Untuk menghilangkan RNA, aquabides. Perbandingan antara DNA dan
sebelum pengukuran kualitas dan kuantitas aquabides disesuaikan dengan besarnya
DNA sampel nomor 2 ditambahkan pengenceran. Pengenceran dilakukan agar
RNAse sehingga dapat memberikan hasil mendapatkan konsentrasi yang seragam
elektroforesis yang bersih dari RNA pada untuk digunakan dalam analisis PCR.
proses elektroforesis selanjutnya. Kuantitas DNA didasarkan pada
Penambahan RNAse hanya diberikan pada nilai konsentrasi DNA, dimana konsentrasi
sampel nomor 2 karena hanya pada sampel DNA didapatkan dengan rumus
nomor 2 pita DNA utuh terlihat tebal dan konsentrasi DNA (g/ml) = Absorbansi
jelas.
(260) x Faktor konversi DNA (50 g/ml) x
Faktor pengenceran (pembacaan 1 pada
Pengukuran Kualitas Dan Kuantitas 260 nm setara dengan 50 g/ml DNA untai
DNA
ganda). Tingkat kemurnian DNA yang
Pengukuran kualitas dan kuantitas baik untuk digunakan dalam proses
DNA diperlukan untuk mengetahui amplifikasi dengan PCR, jika nilai rasio
kualitas DNA, sehingga dapat ditentukan
yang didapatkan adalah 1,8-2,0
pengenceran yang diperlukan untuk proses (Suharsono, 2005 ; Sambrook et al., 1989)

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 31
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

Tabel 1. Hasil spektrofotometer pada sampel nomor 2


Absorbansi pada panjang
Perlakuan gelombang () Konsentrasi Kemurnian
No
Sampel (g /ml) (260/280)
260 280
Sampel
1 0,274 0,142 2740 1,9291
Pokea

Hasil spektrofotometer pada Tabel M 1 2 3 4


1 menunjukkan kualitas DNA adalah
1,9291, hal ini mengindikasikan DNA
tergolong murni dan bisa digunakan pada
2000 pb
tahap selanjutnya yaitu amplifikasi DNA. 1000 pb

Konsentrasi DNA adalah 2740 g/ml, 1650 pb


850 pb
setelah perhitungan maka DNA diencerkan
dengan konsentrasi akhir 100 g/ml
volume 20 l, menggunakan 0,7299 l dan
aquabides 19,270 l untuk proses
amplifikasi PCR. Nilai dari volume akhir Gambar 2. Hasil PCR. M = Marker 1 kb
leader; 1, 2, 3 dan 4
pengenceran 20 g/ml dipilih karena
menunjukkan 4 ulangan
dianggap jumlah yang sesuai agar DNA
Pada tahap ini digunakan banyak
stok yang digunakan tidak terlalu banyak
ulangan dengan komposisi DNA yang
dan tidak terlalu sedikit sehingga dapat
berbeda-beda untuk mencari komposisi
menghemat stok DNA yang ada.
DNA yang tepat agar proses PCR
selanjutnya lebih maksimal. DNA dalam
Amplifikasi DNA
proses PCR terdiri dari dua jenis yaitu: (1)
Hasil PCR kemudian dielektroforesis
DNA target yang akan diamplifikasi
untuk melihat pita DNA yang terbentuk.
kembali, (2) DNA non target (Kennedy,
Pada tahap ini ada 4 ulangan dari 1 sampel
2011). Hasil visualisasi PCR menunjukkan
yang sama (nomor 2) dengan komposisi
tidak terbentuk pita DNA pada ulangan 2,
DNA yang berbeda-beda. Ulangan 1
sedangkan pada ulangan 1, 3 dan 4
jumlah DNA yang digunakan sebanyak
terbentuk pita DNA yang mengindikasikan
0,5 l, ulangan 2 jumlah DNA yang
komposisi PCR berhasil melipatgandakan
digunakan sebanyak 1 l, ulangan 3
DNA. Ulangan 1 hanya menghasilkan
jumlah DNA yang digunakan sebanyak 1,5
DNA target atau DNA yang diinginkan,
l, dan ulangan 4 jumlah DNA yang
sedangkan pada ulangan 3 dan 4
digunakan sebanyak 2 l (Gambar 2).

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 32
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

membentuk pita DNA non target dan DNA forward dan ujung reverse menggunakan
target. Hal ini menunjukkan jumlah DNA primer Anodr-F dan Anodr-R. Primer
0,5 l komposisi yang tepat untuk yang digunakan dalam penelitian ini
mendapatkan hasil PCR yang maksimal. sengaja dirancang agar berukuran kecil
DNA target berukuran sekitar 850 yaitu berukuran 20 nukleotida, karena
bp, hal ini sesuai dengan perkiraan jumlah primer yang memiliki urutan yang pendek
yang akan dihasilkan oleh primer forward lebih mudah diamplifikasi. Kespesifikan
dan primer reverse. Sedangkan DNA non primer tidak akan meningkat jika panjang
target berukuran sekitar 12.000 bp yang primer lebih dari 30 nukleotida. Primer
merupakan DNA genom. Komposisi DNA yang tidak spesifik dapat menyebabkan
1,5 l dan 2 l merupakan komposisi yang teramplifikasinya daerah lain dalam genom
menghasilkan DNA non target berupa yang tidak dijadikan target atau sebaliknya
DNA genom, hal ini menunjukkan jumlah tidak ada daerah pada genom yang
tersebut bukan komposisi yang tepat untuk teramplifikasi.
mendapatkan hasil PCR yang maksimal Hasil pengurutan fragmen gen 18S
untuk Pokea (Batissa violacea celebensis rRNA menggunakan mesin sequencer
Martens, 1897). berupa dendogram yang memperlihatkan
Banyaknya DNA target yang grafik nukleotida. Nukleotida diwakili
digunakan akan menentukan hasil akhir warna yang berbeda-beda. Nukleotida G
dari proses amplifikasi. Jika DNA target diwakili oleh warna hitam, nukleotida C
yang digunakan terlalu sedikit maka DNA diwakili oleh warna biru, nukleotida T
yang dihasilkan sedikit bahkan diwakili oleh warna merah dan nukleotida
kemungkinan tidak teramplifikasi, A diwakili oleh warna hijau. Setelah diolah
sedangkan apabila terlalu banyak DNA menggunakan program Bioedit dapat
target maka akan diperoleh lebih banyak diketahui bahwa urutan gen 18S rRNA
DNA yang tidak diinginkan (Yuwono, yang diurutkan dari arah forward memiliki
2006; Kennedy, 2011). 688 nukleotida sedangkan dari arah
reverse memiliki 677 nukleotida (data
Pengurutan Fragmen DNA
tidak ditunjukkan).
Pengurutan fragmen gen 18S rRNA
dilakukan dari dua arah, arah ujung

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 33
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

Gambar 3. Urutan gen 18S rRNA parsial Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897).

secara online menggunakan program


Urutan fragmen gen 18S rRNA dari Pokea
BLAST pada situs genebank NCBI.
masih harus diolah kembali menggunakan
Analisis yang dilakukan yakni
analisis contig menggunakan program
penyejajaran (alignment) dengan database
Bioedit untuk mengetahui urutan DNA
urutan gen 18S rRNA yang terdapat pada
yang terbaca dari dua arah (forward dan
GeneBank. Secara otomatis program
reverse). Setelah diolah lebih lanjut,
BLAST akan memproses penyejajaran
diketahui bahwa fragmen gen 18S rRNA
urutan gen 18S rRNA yang dimasukkan.
Pokea berukuran 827 bp (Gambar 3).
Analisis dengan menggunakan program ini
Sebagai pembanding, gen 18S rRNA full
dilakukan untuk mengetahui kesesuaian
length berukuran sekitar 1.800 bp
antara urutan basa yang didapatkan dengan
(Itskovich et al., 2007 ; Soltis et al., 2001).
urutan yang terdapat dalam bank data gen.
Fragmen gen 18S rRNA Pokea dalam
Hasil blast menggunakan NCBI
penelitian ini berada pada bagian tengah
tidak ditemukan adanya urutan gen 18S
gen 18S rRNA, yaitu daerah yang diapit
rRNA yang memiliki presentase identitas
oleh primer Anodr-F dan Anodr-R yang
kemiripan hingga 100% dengan Pokea.
berukuran 827 bp.
Beberapa urutan gen 18S rRNA yang
Analisis Filogenetik Berdasarkan terdapat di NCBI mempunyai identitas
Urutan Fragmen Gen 18S rRNA
kemiripan hanya berkisar 93% sampai
Urutan fragmen gen 18S rRNA dengan 99% (data tidak ditunjukkan). Hal
Pokea (Batissa violacea celebensis ini menunjukkan bahwa belum tersedianya
Martens, 1897) selanjutnya dianalisis urutan fragmen gen 18S rRNA Pokea di

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 34
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

GeneBank. Persentase identitas kemiripan neighbour-joining dengan 1000x replikasi.


teratas ditempati oleh Corbicula fluminea. Berdasarkan Gambar 4, terlihat Pokea
Hal ini menandakan Urutan gen 18S rRNA berada pada clade X dengan 4 spesies
Pokea apabila dilihat dari hasil blast lainnya pada skala 0,1. Diantaranya
memiliki hubungan kekerabatan dengan Corbicula fluminea, Hemidonax pictus,
Corbicula fluminea. Artica, dan Ruditapes variegatus. Clade ini
Pengolahan data dilakukan mempunyai nilai kepercayaan 100 % yang
otomatis menggunakan software yang menunjukkan Clade X ini adalah
berkaitan dengan pembuatan pohon kelompok yang stabil. Menurut Felsenstein
filogenetik. Pada penelitian ini digunakan (1985) dalam Bahagiawati (2010) clade
3 program yaitu NCBI, Clustal X, Phydit yang memiliki nilai bootstrap atau nilai
(Phylogenetik editor), dan TreeViewX. kepercayaan 95% atau lebih dapat
Metode yang digunakan untuk dikatakan sebagai clade yang benar-benar
mengkontruksi pohon filogenetik adalah stabil.

Gambar 4. Pohon filogeni yang menunjukkan hubungan kekerabatan antara Pokea (Batissa violacea
celebensis martens,1897) dengan spesies Bivalvia atas dasar urutan gen 18S rRNA.
Angka pada percabangan mengindikasikan nilai bootstrap (%) berdasarkan alogaritma
neighbour-joining dengan 1000x replikasi. Skala mengindikasikan subtitusi 1 per 10
nukleotida pada urutan gen.
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 35
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

Pokea terlihat memiliki hubungan bootstrap ini bisa meningkat apabila


kekerabatan paling dekat dengan Batissa violacea celebensis Martens, 1897
Corbicula fluminea dengan tingkat dibandingkan dengan genus yang sama
kepercayaan 71 %. Hal ini menandakan yaitu genus Batissa dari spesies lain. Pokea
clade Batissa violacea celebensis belum dan Corbicula fluminea dari segi
stabil dan masih bisa mengalami morfologi dan taksonomi memiliki
perubahan dalam pengambilan sampel atau hubungan kekerabatan yang dekat;
replikasi menggunakan metode neighbour- keduanya berada dalam famili yang sama
joining. Tingkat kepercayaan atau nilai yaitu Corbicullidae namun berbeda genus.
Tabel 2. Hubungan similaritas dan menggunakan software clustal X dan
nukleotida difference dari
Phydit (Phylogenetik editor).
clade Batissa violacea
celebencis Urutan fragmen gen 18S rRNA

Spesies Bvc Cf A Rv Hp Pokea setelah diamplifikasi berdasarkan


Batissa primer Anodr-F dan Anodr-R serta
violacea
--- 6/827 7/827 8/827 24/827
celebencis dikonstruksi pohon filogenetiknya dapat
(Bvc)
Corbicula dijadikan pembeda dengan organisme yang
fluminea 99.27 --- 9/827 10/827 28/827
(Cf) lain atau Bivalvia lain. Urutan fragmen gen
Artica (A) 99.15 98.91 --- 3/827 23/827 18S rRNA dapat digunakan untuk
Ruditapes
variegates 99.03 98.79 99.64 --- 24/827 membandingkan Pokea dengan Bivalvia
(Rv)
lain sampai tingkat genus, untuk
Hemidonax
97.1 96.61 97.22 97.1 ---
pictus (Hp) mengetahui hubungan kekerabatan Pokea

Hubungan kekerabatan antara dengan organisme lain. Namun dalam

Batissa violacea celebensis dan Corbicula penelitian ini hanya dibandingkan sampai

fluminea juga didukung dari hasil analisis ke tingkat famili, hal ini disebabkan belum

similaritas. Diantara kelima spesies tersedianya urutan gen 18S rRNA Pokea

Bivalvia tersebut pada Tabel 3, genus Batissa di dalam GeneBank. Hasil

menunjukkan urutan nukleotida gen 18S analisis restriksi urutan fragmen gen 18S

rRNA Batissa violacea celebensis rRNA Pokea menggunakan NEBcutter

Martens,1897 dan Corbicula fluminea dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan

memiliki kemiripan tertinggi dengan hasil amplifikasi urutan fragmen gen 18S

indeks similaritas sebesar 99.27 % dengan rRNA Pokea setelah diamplifikasi

perbedaan 6 nukleotida dari 827 basa yang berdasarkan primer Anodr-F dan Anodr-R,

diperbandingkan. Analisis ini urutan gen ini dikenali oleh banyak enzim
restriksi, diantaranya yang biasa digunakan

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 36
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

di laboratorium adalah XhoI, PstI, BamHI, berhasil diisolasi sehingga dapat digunakan
dan DraI. Enzim-enzim ini merupakan sebagai pembeda dengan bivalvia lain pada
salah satu karakter yang dimiliki oleh daerah yang setara.
fragmen gen 18S rRNA pokea yang

Gambar 5. Enzim restriksi umum pada fragmen gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea
celebensis Martens, 1897) yaitu: XhoI, PstI, BamHI, dan DraI (kotak) dengan
menggunakan program NEBcutter.

Gen 18S rRNA berperanan dalam sedangkan fragmen bivalvia lain yang
membedakan Pokea (Batissa violacea digunakan sebagai pembanding adalah gen
celebensis Martens, 1897) dengan Bivalvia 18S rRNA bivalvia lain yang diperoleh
lain. Berdasarkan hasil penelitian dari GeneBank yang sejajar dengan
menunjukkan bahwa fragmen gen 18S fragmen gen 18S rRNA pokea. Oleh
rRNA dapat juga digunakan untuk karena fragmen gen 18S rRNA pokea
membedakan pokea dengan bivalvia lain diperoleh dengan menggunakan metode
(Gambar 4 dan 5). Fragmen yang PCR, maka dapat dijelaskan bahwa metode
digunakan sebagai acuan pembeda adalah PCR dapat digunakan untuk memperoleh
fragmen gen 18S rRNA pokea yang fragmen DNA yang dapat membedakan
dibatasi oleh primer Anodr-F dan Anodr-R, satu organisme dengan organisme lain.

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 37
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

SIMPULAN DAN SARAN Bahtiar. 2005. Keberadaan Populasi Pokea


(Batissa Violacea Celebensis
Simpulan
Martens, 1897) pada Berbagai
Simpulan dalam penelitian ini Daerah yang Berbeda pada Sungai
Pohara Kecamatan Sampara
adalah sebagai berikut :
Kabupaten Konawe. Tesis Sekolah
1. Karakteristik fragmen gen 18S rRNA Pasca Sarjana, IPB, Bogor.
Hidayat, T., Kusumawaty, D., Yati, D., D.,
Pokea adalah: memiliki ukuran 827 bp,
Muchtar, A., dan Mariana, D. 2008.
termasuk dalam family Corbicullidae Analisis Filogenetik Molekuler pada
Phyllanthus niruri L.
karena Pokea dan Corbicula fluminea
(Euphorbiaceae) menggunakan
mempunyai hubungan kekerabatan Urutan Basa DNA Internal
Transcribed Spacer (ITS). Jurusan
paling dekat dengan tingkat
Biologi Fakultas Matemateka dan
kepercayaan 71% dan perbedaan 6 Ilmu Pengetahuan Alam, Bandung.
Itskovich, V., Belikov, S., Efremova, S.,
nukleotida dari 827 basa yang
Masuda, Y., Perez, T., Alivon, E.,
diperbandingkan, serta mempunyai Borchiellini, C., and Boury, N.
2007. Phylogenetic Relationship
situs enzim restriksi XhoI, PstI,
Between Freshwater and marine
BamHI, dan DraI. Haplosclerida (Porifera,
Demospongiae) based on the Full
2. Gen 18S rRNA berperan dalam
Length 18S rRNA and Partial COXI
membedakan spesies Pokea dengan Gene Sequences, Porifera
Researches Biodeversity, Rusia.
Bivalvia spesies lain.
Kennedy, N. 2011. PCR Troubleshooting
and Optimization. Caister Academic
Saran Press, USA.
Lester, J. 2011. Troubleshooting Poor
Saran dalam penelitian ini adalah
Quality Template,
dilakukan penelitian lanjutan dengan http://www.bio.cam.ac.uk
/pflgroup/DNA_Facility/Quality.ht
mengkarakterisasi gen 18S rRNA Pokea
ml, Diakses pada tanggal 01 Juni
(Batissa violacea celebensis Martens, 2012.
Mursyidin, D., H. 2012. Kekerabatan
1897) hingga ke tingkat spesies
Filogenetik 15 Jenis Durian (Duri
menggunakan daerah ITS. spp.) Berdasarkan Analisis
Bioinformatik Gen 5.8S rRNA dan
ITS Region. BIOSCIENTIAE,
DAFTAR PUSTAKA 9(1):45-54.
Muzuni, Soepandi, D., Suharsono, U.
Bahagiawati, Utami, W., D., dan Buchori, W., Suharsono. 2010. Isolasi dan
D. 2010. Pengelompokkan dan Pengklonan Fragmen cDNA Gen
Struktur Populasi Parasitoid Telur Penyandi H+-ATPase Membran
Trichogrammatoidea armigera pada Plasma dari Melastoma
Telur Helicoverpa armigera pada malabathricum L. J. Agron.
Jagung Berdasarkan Karakter Indonesia, 38(1): 67-74.
Molekuler, J. Entomologi, 7(1):54- Nadia, L. A. R. 2011. Kumpulan Jurnal
65. Internasional : Bivalvia,

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di 38
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

Gastropoda, dan Echinodermata. Sembiring, L., Susilawati, L., dan


Program Pasca Sarjana, Suhartanti, D. 2008. Seleksi,
Universitas Gajah Mada, Karakterisasi, dan Identifikasi
Yogyakarta. Bakteri Pendegradasi 2-
Nafsal, A. 2008. Distribusi dan Kepadatan (thiocyanomethylthio) benzothiazole
Kerang Pokea (Batissa Violacea (TCMTB). Biota, 13(3): 126-131.
Celebensis Martens, 1897) Secara
Spasial dan Temporal di Perairan Soltis, E., D., Soltis, S., P., Doyle, J., J.
Sungai Pohara Sulawesi Tenggara. 2001 Molecular Systematics of
Skripsi, Universitas Halu Oleo, Plants II; DNA Sequencing. Kluwer
Kendari. Academic Publisher, New York.
Suharsono, S. 2005. Penuntun Praktikum
Renel, K. 2001. Studi Kepadatan dan Pelatihan Teknik Pengklonan Gen
Distribusi Kerang Pokea (Curbicula dan Pengurutan DNA. Pusat Antar
spp) pada Desa Andadowi Universitas Bioteknologi IPB,
Kecamatan Bondoala. Skripsi, Bogor.
Universitas Halu Oleo, Kendari. Suwanto, A. 2011. Keanekaragaman
Hayati Mikroorganisme. Jurusan
Sambrook, J., Fritsch, E.F., and Maniatis, T. Biologi FMIPA IPB, Bogor.
1989. Molecular Cloning: a Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi
laboratory manual. 2nd ed. Cold Polymerase Chain Reaction, ANDI
Spring Harbor, NY. OFFSET, Yogyakarta.

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014 ISSN : 2355-6404 39

PENGETAHUAN DAN PEMANFAATAN TUMBUHAN OBAT TRADISIONAL


MASYARAKAT SUKU MORONENE DI DESA RAU-RAU SULAWESI TENGGARA

(Study and Utilization Of Traditional Medicine Plants By Morenene Ethnic In Rau-Rau


Village, Southeast Sulawesi)

Indrawati1,2*, Yusuf Sabilu1,2 dan Alda Ompo2


1
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Halu Oleo, Kendari Sulawesi Tenggara
2
Laboratorium Biologi, Universitas Halu Oleo, Kendari Sulawesi Tenggara
e-mail : indrawatiansar@yahoo.com
ABSTRACT

Research on the Study and utilization of Traditional medicine plants by Moronene ethnic in
the Rau-Rau village Southeast Sulawesi were aims to: 1) inventory these kinds of medicinal
plants are utilized including the identification of scientific and local names, 2) study the
knowledge society in the utilization of plants as medicine, metods processing and the
efficacy, 3) study the knowledge kinds of disease and how to use of medicinal plants. With
methods survey exploration conducted interviews to expert treatment (sandro) and the
community. There are 51 spesies plant in 27 family growing in the backyard, in the gardens
and in the forests around the settlement. The organ medicinal plant species (leaves, stems,
bark, rhizome, tuber, fruit and SAP) are uses for tradisional medicines to cure about 36 kids
of diseases. Method of use will discussed in this paper.

Keywords: Medicine Plants, Rau-rau Village Sociaty Moronene

PENDAHULUAN suku di Sulawesi Tenggara misalnya


Tumbuhan yang sama bisa berbeda
Keberadaan 370 suku asli di
pemanfaatannya di suku lain. Contohnya
Indonesia dengan keanekaragaman adat
hasil penelitian Windadri, dkk. (2006)
dan budayanya turut memberikan
pada suku Muna misalnya pepaya, kapaya
keuntungan bagi khasanah etnomedisin
(Carica papaya L.), padakawa (Ceiba
dan budaya bangsa. Perbedaan adat dan
petandra, Gaert) sebagai obat pasca
kebiasaan antar suku di Indonesia
persalinan,dan komba-komba (Ageratum
merupakan kekayaan budaya bangsa yang
conyzoides L.) dimanfaatkan sebagai obat
tak ternilai harganya. Kondisi yang
luka. Hasil penelitian Rahayu, dkk. (2006)
demikian juga dapat dicirikan dari
pada Suku Wawonii, kepaya (carica
keragaman jenis tumbuhan yang
capaya L) dimanfaatkan sebgai obat
digunakan, ramuan obat tradisional dan
penurun panas dan ewo bonto (Ageratum
cara pengobatannya (Rosita, dkk., 2007).
conyzoides L) sebagai obat penutup luka
Kekayaan pengetahuan masyarakat
oleh masyarakat setempat sebagai obat
terhadap tumbuhan obat berbeda antara
tradisional seperti kawu-kawu (Ceiba
suku satu dengan suku lainnya. Untuk
Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 40
Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

pentandra Gaertn.) dimanfaatkan sebagai dari pertanian, masih memperaktekkan


obat penurun panas. Sehingga penelitian pengobatan tradisional, kondisi demografi
etnobotani suatu suku masyarakat di dan geografis serta sosial ekonomi dan
Indonesia perlu digali. budaya mewakili Suku Moronene di
Bombana merupakan salah satu Sulawesi Tenggara.
kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara Penelitian mengenai pengetahuan
yang memiliki potensi untuk dilakukan dan pemanfaatan tumbuhan obat pada
penelitian mengenai tumbuhan obat karena suatu suku terkhusus masyarakat pedesaan
terdapat berbagai macam tumbuhan dan perlu dilakukan karena dapat memberikan
masyarakat yang masih mempercayai sumbangan dalam pengungkapan potensi
tradisi yang berasal dari nenek moyang. sumberdaya tumbuhan sebagai bahan obat,
Masyarakat pribumi yang mendiami serta dapat menjadi dasar upaya
daerah ini adalah suku Moronene pelestarian jenis-jenis tumbuhan obat
sedangkan masyarakat pendatang meliputi, potensial.
suku Bugis, Muna, Jawa, dan Bali.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan arti kata moronene yaitu
pohon resam yang biasa tumbuh di daerah Penelitian ini dilaksanakan pada
subur, maka Etnis Moronene juga menetap bulan April 2012 dengan menggunakan
atau menyebar di daerah subur yang kaya metode survey eksploratif. Pengumpulan
akan sumberdaya alam diantaranya data dilakukan dengan cara wawancara
tumbuh-tumbuhan. langsung kepada ahli pengobatan
Desa Rau-Rau yang berada di tradisional (sandro) dan masyarakat yang
Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana masih memanfaatkan tumbuhan untuk
merupakan salah satu pusat penyebaran pengobatan. Eksplorasi dilakukan bersama
dan kebudayaan dari Suku Moronene. ahli pengobatan tradisional (sandro)
Secara sosial ekonomi maupun sosial dengan menjelajahi tempat tumbuh jenis-
budaya masyarakat suku Moronene masih jenis tumbuhan obat, untuk selanjutnya
mempraktekkan pengetahuan lokal secara koleksi, dokumentasi dan membuat
turun temurun demikianpula dalam bidang herbarium. Penggalian informasi identitas
pengobatan (Arafah, 2002). nama lokal, bagian organ yang
Pemilihan Desa Rau-Rau sebagai dimanfaatkan, pengetahuan cara
lokasi penelitian didasarkan pada pengobatan/pengolahan dan khasiat setiap
pertimbangan bahwa sebagian besar suku jenis tumbuhan berdasarkan daftar
Moronene yang tinggal di desa ini hidup

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014


Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 41
Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

questioner. Data selanjutnya ditabulasi dan membantu proses kelahiran dan


dinarasikan. perawatan ibu dan bayinya. Mata
pencaharian utama dukun umum dan
HASIL DAN PEMBAHASAN
patah tulang adalah bertani, sedangkan
A. Pengetahuan Dalam Memanfaatkan
Tumbuhan Obat Tradisional oleh dukun bersalin adalah ibu rumah
Suku Moronene di Desa Rau-Rau tangga. Berdasarkan hasil wawancara
Sulawesi Tenggara
dengan masyarakat Suku Moronene,
Aspek etnobotani telah menjadi proses kelahiran dilakukan dengan
bagian dari kehidupan masyarakat suku pengobatan tradisional oleh dukun
Moronene di desa Rau-rau. Masyarakat bersalin bekerja sama dengan bidan
Suku Moronene masih memiliki desa, begitu pula dalam perawatan
kekayaan informasi tentang tumbuhan pasca persalinan. Sebelum berobat pada
obat tradisional. Dalam pengobatan sanro, masyarakat suku Moronene
suatu penyakit dipercayakan pada ahli terlebih dahulu bertanya kepada Kilala.
pengobatan tumbuhan. Ada dua ahli Kilala menentukan sanro yang baik
pengobatan di masyarakat ini yang untuk melakukan pengobatan,
disebut : sanro dan tompuro. Sanro berdasarkan ilmu gaib (onitu) yang
adalah ahli pengobatan tumbuhan dimilikinya. Setelah Kilala menentukan
tradisional khusus untuk manusia, tempat pengobatan yang baik, pasien
sedangkan tompuro khusus untuk akan berobat pada sanro yang telah
mengobati tanaman yang terkena ditunjukkan.
penyakit atau hama. Pengetahuan sanro Dari hasil wawancara dengan
dan tompuro dalam mengobati suatu sanro ahli pengobatan penyakit untuk
penyakit diperoleh dari nenek moyang menyembuhkan suatu penyakit
mereka secara turun temurun dengan mempunyai syarat tertentu. Pengobatan
pola pemakaian ramuan yang sederhana akan dilakukan apabila ada kepercayaan
dan terbatas di kalangan keluarga dekat dari kedua belah pihak yaitu antara
atau tetangga kampung terdekat. sanro dan pasien. Pasien yang akan
Terdapat 3 macam Sanro sesuai diobati harus mempercayai kemampuan
dengan keahliannya mengobati, yaitu: dari sanro yang akan mengobati. Jika
1) dukun umum yang mengobati pasien tidak mempercayai kemampuan
berbagai macam penyakit, 2) dukun sanro maka pengobatan yang dilakukan
patah tulang yang mengobati patah tidak akan berhasil.
tulang dan 3) dukun bersalin yang

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014


Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 42
Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

Kepercayaan tentang kegunaan wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sebagai


atau khasiat suatu jenis tumbuhan obat penurun tekanan darah tinggi
tidak hanya didasarkan dari dimanfaatkan oleh Masyarakat di
pengalaman, tetapi seringkali dikaitkan sekitar Kawasan Gunung Pangrango
dengan nilai-nilai religius. Persepsi (Rosita, 2007). Tumbuhan obat yang
masyarakat suku Moronene tentang khas digunakan oleh masyarakat suku
sakit tergantung dari sudut pandang Moronene di Desa Rau-Rau yang tidak
masing-masing orang. Sakit adalah digunakan oleh suku lain adalah ramuan
keadaan yang tidak seimbang, sehingga 5 macam untuk mengobati muntah
dapat mempengaruhi kegiatan sehari- darah yang terdiri dari tumbuhan kaki
harinya. Penyebab penyakit bermacam- kuda (Lannea coromandelica (Houtt.)
macam, ada yang datang dari Sang Merr.), Wilalo (Archidendron
Pencipta dan ada yang berasal dari fagifolium), Merica (Piper nigrum),
makhluk halus/jahat serta dari Asam (Tamarindus indica), dan garam.
lingkungan masyarakat itu sendiri. Oleh Masyarakat Suku Moronene
karena itu, para ahli pengobatan (sanro) masih memiliki kearifan lokal dalam
selalu mengandalkan pengobatannya memanfaatkan tumbuhan seperti adanya
dengan memohon pertolongan kepada persyaratan dalam pengambilan
Sang Pencipta. tumbuhan yang berkhasiat obat dan
Beberapa jenis tumbuhan obat banyaknya jumlah tumbuhan yang
yang digunakan masyarakat suku digunakan. Persyaratan dalam
Moronene mempunyai kesamaan dalam pengambilan tumbuhan obat adalah
pemanfaatannya dengan suku lain, dengan cara membaca sholawat hidup
seperti pemanfaatan air rebusan kulit yaitu bismillah dan jumlah bilangan
batang kaki kuda (Lannea yang biasa digunakan adalah tujuh,
coromandelica (Houtt.) Merr.) sebagai namun dapat pula digunakan bilangan
obat perawatan pasca persalinan lain yang berjumlah ganjil.
dimanfaatkan juga oleh masyarakat di
B. Jenis Penyakit yang Umum Diderita
Wawonii di pulau Wawonii (Rahayu, dan Tumbuhan yang Digunakan oleh
Suku Moronene di Desa Rau-Rau
2006), air rebusan daun jambu biji
Sulawesi Tenggara
(Psidium guajava L.) sebagai obat diare
Dari hasil penelitian, sanro dan
dimanfaatkan oleh masyarakat suku
masyarakat di desa Rau-rau mengenal
Muna di Kabupaten Muna (Windadri,
36 jenis penyakit yang umum diderita
2006) dan air rebusan daun belimbing

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014


Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 43
Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

dan 51 jenis tumbuhan obat dari 27 suku Moronene di Desa Rau-Rau


famili. Data selengkapnya mengenai Kecamatan Rarowatu Kabupaten
jenis penyakit yang umum diderita dan Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara
tumbuhan yang digunakan masyarakat tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis Penyakit yang Umum diderita dan Tumbuhan Obat yang digunakan oleh Suku
Moronene di Desa Rau-Rau Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana
Tumbuh-Tumbuhan
No. Jenis Penyakit
Nama Jenis Famili
1. Amandel Curcuma domestica Val. Zingiberaceae
Andrographis paniculata Ness. Acanthaceae
2. Batuk Citrus aurantifolia Swingle Rutaceae
Tamarindus indica L. Fabaceae
Euphorbia hirta L. Euphorbiaceae
3. Bisul Capsicum annum L. Solanaceae
4. Darah tinggi Allium sativum L. Liliaceae
Apium graveolens L. Apiaceae
Averrhoa bilimbi L. Oxalidaceae
Coffea robusta L. Rubiaceae
Cucumis sativus L. Cucurbitaceae
Ocimun sanctum Lamiaceae
Phyllanthus niruri L. Euphorbiaceae
5. Demam Momordica charantia Cucurbitaceae
Carica papaya L. Caricaceae
Jatropha curcas L. Euphorbiaceae
6. Diare Psidium guajava L. Myrtaceae
Strobilanthes crispus Bl. Acanthaceae
7. Diabetes Oryza glutinosa Auct Poaceae
Syzygium cumini (L.) Skeels. Myrtaceae
Terminalia catappa Combretaceae
8. Gatal-gatal Graptophyllum pictum L. Griff Acanthaceae
9. Keputihan Piper betle L. Piperaceae
10. Kencing batu Averrhoa bilimbi L. Oxalidaceae
11. Keseleo Cymbopogon nardus (L) Redle. Poaceae
Spesies A Cucurbitaceae
12. Luka baru Eupatorium odoratum L. Asteraceae
Musa sp. Musaceae
Curcuma domestica Val. Zingiberaceae
Eclipta alba Hassk. Asteraceae
Cassia fistula L. Fabaceae
13. Maag Curcuma domestica Val. Zingiberaceae
Morinda citrifolia Rubiaceae
Musa sp. Musaceae
14. Mabuk perjalanan Moringa oleifera Lamk. Moringaceae
15. Memperlancar ASI Carica papaya L. Caricaceae
Ipomoea aquatica Convolvulaceae
16. Memperlancar haid Curcuma cease Zingiberaceae
17 Muntah darah Allium cepa L. Liliaceae
Tabel 1. Archidendron fagifolium Fabaceae
Lanjutan Lannea coromandelica (Houtt.) Merr. Anacardiaceae
Piper nigrum L. Piperaceae

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014


Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 44
Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

Tamarindus indica L. Fabaceae


18. Patah tulang Allium cepa L. Liliaceae
Areca catechu L. Arecaceae
Cocos nucifera L. Arecaceae
Cymbopogon nardus (L) Redle. Poaceae
19. Penawar keracunan Cocos nucifera L. Arecaceae
Makanan
20. Penghilang rasa capek Cocos nucifera L. Arecaceae
Curcuma cease Zingiberaceae
21. Penurun lemak Euphorbia prunifolia Jacq. Euphorbiaceae
22. Penyakit dalam Leucaena leucocephala Fabaceae
Loranthus atropurpureus Blume. Loranthaceae
Morinda citrifolia L. Rubiaceae
Orthosiphon stamineus Benth. Lamiaceae
Persea americana Mill Lauraceae
Zingeber purpureum Roxb. Zingiberaceae
23. Perawatan bayi Curcuma domestica Val. Zingiberaceae
24. Perawatan paska Lannea coromandelica (Houtt.) Merr. Anacardiaceae
Melahirkan
25. Rematik Orthosiphon stamineus Benth. Lamiaceae
26. Sakit gigi Jatropha curcas L. Euphorbiaceae
27. Sakit kepala Annona muricata L. Anonaceae
28. Sakit kulit Cassia alata L. Caesalpiniaceae
29. Sakit kuning Eupatorium odoratum L.F Asteraceae

30. Sakit mata Zingiber officinale Rosc. Zingiberaceae


Piper betle L. Piperaceae
Euphorbia hirta L. Euphorbiaceae
Eclipta alba Hassk. Asteraceae
31. Sakit telinga Gmelina elliptica Sm. Verbenaceae
32. Sakit ulu hati Curcuma cease Zingiberaceae
33. Sarampa Cocos nucifera L. Arecaceae
34. Sembelit Cassia fistula L. Fabaceae
35. Stroke Pluchea indica Less. Asteraceae
36. Typus Legenaria leucantha Cucurbitaceae

C. Jenis Tumbuhan Obat dan Cara buah, biji dan getahnya. Data
Penggunaan
selengkapnya mengenai jenis tumbuhan
Dari 51 jenis tumbuhan obat
obat dan cara penggunaannya oleh
yang digunakan dalam ramuan
masyarakat suku Moronene di Desa Rau
pengobatan, beberapa diantaranya diramu
Rau Sulawesi Tenggara tersaji pada
dengan tumbuhan lain dan mempunyai
Tabel 2.
manfaat ganda. Bagian tumbuhan yang

digunakan untuk obat berupa: daun,

batang, kulit batang, umbi, rimpang,

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014


45
Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 45
Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
Tabel 2. Jenis Tumbuhan Obat dan Cara Penggunaanya oleh masyarakat suku Moronene di Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
Nama Tumbuhan Kegunaan
No.
Indonesia Lokal Latin Bagian Dosis Cara Pengolahan Frekuensi Penyakit

1. Alpukat Apokat Persea americana Mill. Daun 7 lembar Direbus 2 x sehari Penyakit dalam
Buah 1 genggam Dilumerkan 2 x sehari Batuk
2. Asam Sumbulawa Tamarindus indica L.
Buah 1 genggam Direbus 2 x sehari Muntah darah
3. Bawang merah Bawang motaha Allium cepa L. Umbi 3 siung Digoreng 2 x sehari Patah tulang
4. Bawang putih Bawang mopila Allium sativum L. Umbi 3 siung Dibakar 2 x sehari Darah tinggi
Belimbing Tangkule Averrhoa bilimbi L. Buah 27 buah Diperas 1 x sehari Kencing batu
5.
wuluh Daun 1 genggam Direbus 2 x sehari Darah tinggi
6. Beluntas - Pluchea indica Less. Daun 3 genggam Direbus 2 x sehari Stroke
Loranthus atropurpureus
7. Benalu - Daun 1 genggam Direbus 1 x sehari Penyakit dalam
Blume.
8. Bengle Panini Zingeber purpureum Roxb. Rimpang 3 rimpang Direbus 1 x sehari Penyakit dalam
9. Cabe Saha Capsicum annum L. Daun 7 lembar Diremas 2 x sehari Bisul
10. Daun ungu Olondoro Graptophyllum pictum L. Griff Daun 7 lembar Diremas 2 x sehari Gatal-gatal
Daun 1 genggam Direbus 1 x sehari Penyakit kuning
11. Glempangan Komba-komba Eupatorium odoratum L.
Daun 7 lembar Diremas 1 x sehari Luka baru
12. Jahe Loiya Zingiber officinale Roxb. Rimpang 3 jari/cm Diparut 1 x sehari Sakit mata
13. Jamblang Coppeng Syzygium cumini (L.) Skeels. Kulit batang 1 jengkal/7cm Direbus 2 x sehari Diabetes
14. Jambu biji Dambu watu Psidium guajava L. Daun 1 genggam Direbus 3 x sehari Diare
Daun 7 lembar Ditempel 1 x sehari Demam
15. Jarak pagar - Jatropha curcas L.
Getah 3 tetes Diteteskan 2 x sehari Sakit gigi
16. Jeruk nipis Lemo Citrus aurantifolia Swingle. Buah 3 buah Diperas 2 x sehari Batuk
Daun dan Memperlancar
17. Kangkung Tarenda Ipomoea aquatica Secukupnya Dimasak 3 x sehari
batang ASI

Lannea coromandelica 1 jengkal/7 cm Direbus 2 x sehari Muntah darah


18. Kayu kuda Olodawa Kulit batang
(Houtt.) Merr. 1 jengkal/7 cm Direbus 2 x sehari Perawatan pasca
melahirkan
Air 1 buah Tanpa pengolahan 1 x sehari Keracunan
19. Kelapa kuning Nii mokuni Cocos nucifera L. makanan
Air 1 buah Dibakar 2 x sehari Sarampa
Mabuk
20. Kelor Koloro Moringa oleifera Lamk. Daun Secukupnya Dimasak 3 x sehari perjalanan

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014


Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 46 46
Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

Tabel 2. Lanjutan.
21. Kemangi Camangi Ocimun sanctum Daun 1 genggam Direbus 2 x sehari Darah tinggi
22. Ketan hitam Kinadai moito Oryza glutinosa Auct. Biji 3 sendok Direndam 2 x sehari Diabetes

23. Ketapang - Terminalia catappa Kulit batang 1 jengkal/7 cm Direbus 2 x sehari Diabetes

24. Ketepeng Gampu Cassia alata L. Daun 7 lembar Diremas 2 x sehari Sakit kulit
25. Kopi - Coffea robusta L. Daun 7 lembar Direbus 2 x sehari Darah tinggi
1 genggam Direbus 2 x sehari Rematik,
26. Kumis kucing - Orthosiphon stamineus Benth. Daun
1 genggam Direbus 2 x sehari Penyakit dalam
Daun

Rimpang 3 rimpang Direbus 2 x sehari Maag


27. Kunyit Kuni Curcuma domestica Val. Rimpang 3 rimpang Direbus 2 x sehari Amandel
Rimpang 1 rimpang Diperas 1 x sehari Luka baru,
Rimpang 1 rimpang Diperas 1 x sehari perawatan bayi
Sakit ulu hati
Rimpang 3 rimpang Direbus 2 x sehari
Pelancar haid
28. Kunyit hitam Kuni morori Curcuma cease Rimpang 3 rimpang Direbus 2 x sehari
Penghilang rasa
Rimpang 3 rimpang Diparut 1 x sehari
capek
29. Labu putih Konduru Legenaria leucantha Buah 1 buah Diparut 2 x sehari Typus
30. Lada Marica Piper nigrum L. Buah 7 buah Direbus 2 x sehari Muntah darah
Morinda citrifolia L. Batang 7 cm batang Direbus 2 x sehari Maag
31. Mengkudu Kudu
Buah 1 buah Tanpa pengolahan 2 x sehari Penyakit dalam

32. Meniran - Phyllanthus niruri L. Daun dan 1 genggam Direbus 1 x sehari Darah tinggi
batang
33. Mentimun Bonte Cucumis sativus L. Buah 1 buah Tanpa pengolahan 3 x sehari Darah tinggi
34. Pare Paria Momordica charantia L. Daun 7 lembar Direbus 3 x sehari Demam
35. Patikan emas - Euphorbia prunifolia Jacq. Daun 1 genggam Direbus 1 x sehari Penurun lemak

36. Patikan kebo Pati-pati Euphorbia hirta L. Daun 1 genggam Direbus 1 x sehari Batuk
Getah 1 tetes Diteteskan 1 x sehari Sakit mata
37. Pecah beling - Strobilanthes crispus Bl. Daun 7 lembar Direbus 2 x sehari Diare
Carica papaya L. Daun 7 lembar Direbus 2 x sehari Demam
38. Pepaya Kapaya
Buah 1 buah Dimasak 3 x sehari Pelancar ASI
39. Petai cina Lamtoro Leucaena leucocephala Daun 1 genggam Direbus 1 x sehari Penyakit dalam

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014


Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 47 47
Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
Tabel 2. Lanjutan
40. Pinang Fua Areca catechu L. Pelepah 1 pelepah Dibalut 1 x sehari Patah tulang
41. Pisang bugis Punti bugisi Musa sp. Buah 1 buah Tanpa pengolahan 1 x sehari Maag
Getah 3 tetes Tanpa pengolahan 1 x sehari Luka baru
42 Sambiloto - Andrographis paniculata Ness. Daun 1 genggam Direbus 2 x sehari Amandel
Daun dan
43. Seledri Daun sop Apium graveolens L. 1 genggam Direbus 2 x sehari Darah tinggi
batang

Cymbopogon nardus (L) Batang 1 batang Digoreng 2 x sehari Patah tulang


44. Serei Padamalala
Redle. Batang 1 batang Dimemarkan 2 x sehari Keseleo
Daun 7 lembar Ditumbuk 2 x sehari Sakit mata,
45. Sirih Riri Piper betle L.
Daun 7 lembar Direbus 2 x sehari Keputihan
Daun 7 lembar Tanpa pengolahan - Sakit kepala
46. Sirsak Sirikaya Annona muricata L.
Daun 7 lembar Tanpa pengolahan - Sakit ulu hati
47. Spesies A Eungkowulu - Daun 7 lembar Diremas 2 x sehari Keseleo
48. Tangkalasi Tangkalasi Gmelina elliptica Sm. Buah 3 tetes Tanpa pengolahan 1 x sehari Sakit telinga
Daun 7 lembar Direbus 1 x sehari Sembelit
49. Trengguli Onangki Cassia fistula L.
Kulit batang 1jengkal/7cm Ditumbuk 1 x sehari Luka baru
Daun 7 lembar Diremas - Luka baru
50. Urang-aring Ewolembo Eclipta alba Hassk. Getah 3 tetes Tanpa pengolahan 1 x sehari Sakit mata
51. - Wilalo Archidendron fagifolium Kulit batang 1jengkal/7cm Direbus 2 x sehari Muntah darah

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014


Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 48
Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

SIMPULAN pelancar haid, penurun lemak, typus,


1. Terdapat 51 jenis dalam 27 familia mabuk perjalanan, gatal-gatal, bisul,
tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai stroke, perawatan bayi, penawar
obat tradisional oleh masyarakat suku keracunan makanan, memperlancar
Moronene di Desa Rau-Rau ASI, sarampa, amandel, keputihan, dan
2. Bagian (organ) tumbuhan yang rematik.
digunakan sebagai obat tradisional
DAFTAR PUSTAKA
meliputi daun, batang, kulit batang,
buah, rimpang, umbi, dan getah. Arafah, N., 2002, Pengetahuan Lokal Suku
Moronene dalam Sistem Pertanian
3. Pemanfaatan tumbuhan obat dilakukan di Sulawesi Tenggara.
dengan beragam cara diantaranya http://repository.ipb.ac.id/bitstream
/handle/123456789/7515/bab%204
dengan cara direbus, ditumbuk, diperas, _%202002nar.pdf. Di akses tanggal
direndam, dibakar, digoreng, digosok, 7 Maret 2013.
Rahayu, M., Sunarti, S., dan
dilumerkan, diremas dan tanpa Prawiroatmodjo, S., 2004,
pengolahan yang kemudian digunakan Tumbuhan Obat Tradisional Pulau
Wawonii Sulawesi Tenggara, Pusat
baik secara tunggal maupun campuran. Penelitian Biologi - LIPI, Bogor.
4. Khasiat tumbuhan obat tradisional Rosita, S.M.D., Rostiana, O., Pribadi, E.
R., dan Hernani. 2007. Penggalian
untuk mengobati penyakit panas Iptek Etnomedisin di Gunung Gede
(demam), sakit mata, sakit telinga, sakit Pangrango. Buletin Littro, XVIII
(1): 13-28.
gigi, sakit uluhati, sakit kuning, luka Steenis, V. G. J. J. C., 1997, Flora Untuk
baru, sakit kulit, keseleo, patah tulang, Sekolah, Pradya Paramita, Jakarta.
Windadri, F. I. , Rahayu, M., Uji, T. dan
sakit kepala, diare, darah tinggi, batuk, Rustiami, H., 2006, Pemanfaatan
diabetes, muntah darah, perawatan Tumbuhan Sebagai Bahan Obat
oleh Masyarakat Lokal Suku Muna
pasca melahirkan, kencing batu, di Kecamatan Wakorumba
sembelit (susah buang air besar), maag, Kabupaten Muna Sulawesi
Tengggara. Biodiversitas, VII (4):
penyakit dalam, penghilang rasa capek, 333-339.

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014


Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014 ISSN : 2355-6404 49

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, Desa Sumber
Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

(Dragonfly (Odonata) Stocktaking Around River and Moramo Swamp, Sumber Sari
Village, Moramo District, South Konawe Regency, Southeast Sulawesi )

Suriana1 , Dwi Arinto Adi1 , dan Wa Ode Dian Hardiyanti2


1
Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara
2
Laboratorium Biologi, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara
e-mail : suriana0568@gmail.com

ABSTRACT

The aim of this research was to know the dragonfly (Odonata) spesies around River
and Moramo Swamp, Sumber Sari Village, Moramo District, South Konawe Regency, South-
East Sulawesi. Dragonfly captured on three site namely river, swamp I and swamp II/
Moramo swamp. This research used descriptive method. There are 28 species of dragonfly
which are include of 8 family namely Lindeniidae, Libellulidae, Megapodagrionidae,
Lestidae, Coenagrionidae, Calopterygidae, Chlorocyphidae and Plactynemididae. Suborder
Epiprocta found 13,33% family and 50% suborder Zygoptera of all families. There are 12
species in river, 15 species in swamp I and 13 species in swamp II/Moramo swamp. The
Calopterygidae, Megapodagrionidae and Platycnemididae only found in river, whereas
Lestidae (Lestes concinus Hagen) found in swamp only. The dragonfly spesies found in river
were diffirent from swamp I and swamp II/Moramo swamp.

Key word: Dragonfly, Odonata, Moramo Swamp, River,Stocktaking

PENDAHULUAN Kalimantan (tingkat kekayaan spesies


tinggi, endemisme sedang), dan Sulawesi
Kepulauan Indonesia memiliki tujuh
(tingkat kekayaan spesies sedang,
kawasan biogeografi utama dan
endemisme tinggi) (Sumargo et al., 2011).
keanekaragaman tipe-tipe habitat yang luar
Provinsi Sulawesi Tenggara
biasa. Banyak pulau yang terisolasi selama
memiliki kawasan hutan yang luas dengan
ribuan tahun, sehingga tingkat
keanekaragaman yang tinggi (BKSDA
endemisitasnya tinggi. Tiga lokasi utama
Sultra, 2006). Salah satu kawasan hutan
yang merupakan pusat kekayaan spesies di
lindung di Sulawesi Tenggara adalah
Indonesia adalah Irian Jaya (tingkat
Suaka Margasatwa Tanjung Peropa yang
kekayaan spesies dan endemisme tinggi),
terletak di Moramo. Suaka margasatwa

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 51-64, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 50
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Tanjung Peropa selain sebagai habitat flora umumnya data yang telah tersedia
dan fauna juga memiliki fungsi pokok mencakup vegetasi dan satwa/fauna yang
dalam menjaga mutu kehidupan manusia berukuran besar seperti mamalia dan
yaitu sebagai wilayah perlindungan sistem burung, sedangkan data dari kelompok
penyangga kehidupan serta menjadi avertebrata seperti serangga belum ada.
wilayah pengawetan keanekaragaman Serangga yang terdapat di sekitar sungai
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan rawa Moramo, salah satu diantaranya
(Djawie, 2009). adalah capung (Odonata). Menurut
Sungai dan Rawa Moramo Hidayah (2008) capung termasuk salah
merupakan salah satu sungai dan rawa satu serangga yang memiliki
yang terletak dalam Kawasan Suaka keanekaragaman yang tinggi. Jumlah
Margawatwa Tanjung Peropa. Menurut capung yang melimpah terutama terdapat
Djawie (2009) sungai-sungai yang di kawasan tropis seperti Indonesia karena
mengalir dari kawasan ini dimanfaatkan di kawasan ini terdapat berbagai macam
oleh sekitar 13 desa di wilayah tersebut. habitat.
Rawa Moramo berdasarkan kondisinya Capung (Odonata) merupakan
termasuk rawa air tawar. Menurut Whitten bagian penting dari rantai makanan
et al. (1992) rawa air tawar terdapat pada terutama pada habitat perairan. Capung
daerah yang kadang-kadang terjadi dapat juga disebut sebagai bioindikator air
penggenangan oleh air tawar yang kaya bersih karena nimfa capung tidak akan
akan mineral dengan pH 6 atau lebih dan dapat hidup di air yang sudah tercemar
permukaan airnya naik turun sedemikian atau sungai yang tidak terdapat tumbuhan
rupa, sehingga terjadi pengeringan tanah di dalamnya. Perubahan populasi capung
secara periodik. Rawa air tawar ditemukan merupakan tanda tahap awal pencemaran
pada tanah alluvial di tepi sungai yang air disamping tanda lain yang berupa
mempunyai potensi untuk budidaya kekeruhan air dan melimpahnya ganggang
pertanian yang tinggi. hijau. Oleh karena itu, pelestarian capung
Pengelolahan dan pemanfaatan harus disertai dengan melihara tempat
Suaka Margasatwa Tanjung Peropa dapat hidupnya (Susanti, 2007).
dioptimalkan dengan adanya data Penelitian ini bertujuan untuk
pendukung tentang flora dan fauna serta mengetahui jenis-jenis capung (Odonata)
ekosistem yang ada didalamnya. Pada yang terdapat di sekitar sungai dan rawa

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 51
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Moramo Desa Sumber Sari Kecamatan pukul 08.0012.00 WITA dan siang pada
Moramo Kabupaten Konawe Selatan pukul 14.0017.00 WITA. Pengawetan
Sulawesi Tenggara. spesimen menggunakan aseton agar warna
dan tubuh spesimen tidak rusak.
METODE PENELITIAN Identifikasi dilakukan dengan melihat ciri-
Penelitian ini telah dilaksanakan ciri morfologi pada kepala/caput,
pada bulan Januari sampai Juli 2013. dada/thorax, dan perut/abdomen serta
Bertempat di sekitar Sungai dan Rawa venasi pada sayap capung. Data
Moramo Desa Sumber Sari Kecamatan dikumpulkan dan dianalisis secara
Moramo Kabupaten Konawe Selatan deskriptif dan disajikan dalam bentuk table
Provinsi Sulawesi Tenggara. Identifikasi dan gambar, serta tampilan data dalam
sampel dilakukan di Laboratorium Zoologi grafik akumulasi.
FMIPA Universitas Haluoleo Kendari.
Alat dan bahan yang digunakan Jaring HASIL DAN PEMBAHASAN
serangga (sweep net), Kotak Serangga,
Pinset, GPS, Altimeter, Kamera Digital, A. Jenis capung (Odonata) yang
ditemukan disekitar sungai dan rawa
pH indikator, Lup, Aseton, Kapur Barus,
Moramo Desa Sumber Sari
Plastik Ziplok, Kertas Label dan Buku Kecamatan Moramo Kabupaten
Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Identifikasi Capung Identification Guide to
the Australian Odonata oleh Theischinger Capung yang telah diidentifikasi
(2009). Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari 28 jenis. Hasil inventarisasi
dilakukan dengan menggunakan metode capung (Odonata) di sekitar sungai dan
deskriptif dengan teknik observasi rawa Moramo Desa Sumber Sari
lapangan menjelajahi daerah sekitar sungai Kecamatan Moramo Kabupaten
dan rawa dalam Kawasan Suaka Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Margasatwa. Prosedur penelitian terdiri disajikan pada Tabel 1.
dari 4 tahap yaitu pengambilan sampel,
pengawetan spesimen, identifikasi dan
analisis data. Pengambilan sampel
dilakukan dalam dua tahap yaitu pagi pada

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 52
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Tabel 1. Jenis capung yang ditemukan di sekitar sungai dan rawa Moramo pada tiap lokasi
pengambilan sampel
No Famili Genus Spesies Lokasi
I* II* III* indvidu
1 2 3 4 5 6 7 8
1. Lindeniidae Ichtinogomphus UI. Spesies 1 1 2 - 3
2. Libellulidae Neurothemis UI. Spesies 2 - 2 - 2
3. UI. Spesies 3 - 11 4 15
4. Zyxoma UI. Spesies 4 - 4 3 7
5. - UI. Spesies 5 - - 1 1
6. - UI. Spesies 6 - 4 - 4
7. - UI. Spesies 7 - - 7 7
8. - UI. Spesies 8 - - 2 2
9. - UI. Spesies 9 4 - - 4
10. Diplacodes UI. Spesies 10 - - 1 1
11. Nannophya Nannophya - 3 3 6
12. australis Brauer
UI. Spesies 11 - - 3 3
13. Lestidae Lestes Lestes concinnus - 1 2 3
Hagen
14. Megapodagrioni - UI. Spesies 12 2 - - 2
dae
15. Calopterygidae - UI. Spesies 13 1 - - 1
- UI. Spesies 14 2 - - 2
16. Chlorocyphidae - UI. Spesies 15 1 - - 1
17. - UI. Spesies 16 4 1 2 7
18. - UI. Spesies 17 22 7 - 29
19. - UI. Spesies 18 8 1 - 9
20. Coenagrionidae Agriocnemis UI. Spesies 19 - - 18 18
21. - UI. Spesies 20 - 15 15 30
- UI. Spesies 21 - 6 3 9
22. Archibasis Archibasis 11 - - 11
23. mimetes Tillyard
Teinobasis Teinobasis - 45 - 45
24. rufithorax Selys
25.
Pseudagrion UI. Spesies 22 - 7 1 8
26.
Platycnemididae Nosostica Nosostica solida 6 - - 6
27.
Hagen
28.
UI. Spesies 23 2 - - 2

Ket : UI (Unidenfite/tidak teridentifikasi)


I : Sungai,
II : Rawa I,
III : Rawa II/Rawa Moramo (Sumber : Diolah dari data hasil penelitian,
2013)

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 53
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Pada penelitian ini, 5 jenis Megapodagrionidae, Calopterygidae,


telah dapat diidentifikasi sampai pada Clorocyphidae, Coenagrionidae dan
tingkat spesies, 9 jenis hanya dapat Platycnemididae. Pada subordo
diidentifikasi sampai pada tingkat genus Epiprocta di temukan 2 famili dari 15
dan 14 jenis hanya dapat diidentifikasi famili yang telah diketahui (13,33%)
sampai pada tingkat famili. Hal tersebut dan subordo Zygoptera ditemukan 6
disebabkan literatur tentang jenis-jenis famili dari 12 famili yang telah
capung di Indonesia masih sangat diketahui (50%). Pada Famili
terbatas. Sehingga digunakan kunci Lindeniidae ditemukan 1 jenis, Famili
identifikasi capung dari Australia Libellulidae 11 jenis, Famili Lestidae 1
dengan pertimbangan kedekatan lokasi jenis, Famili Megapodagrionidae 1
dan sejarah geologi. jenis, Famili Calopterygidae 2 jenis,
Berdasarkan tabel di atas, capung Famili Clorocyphidae 4 jenis, Famili
yang ditemukan terdiri dari 2 subordo Coenagrionidae 6 jenis dan Famili
(subordo Epiprocta dan subordo Platycnemididae sebanyak 2 jenis.
Zygoptera), 8 famili dan 28 jenis. Grafik akumulasi jumlah individu pada
Famili capung yang ditemukan secara setiap jenis capung yang dikoleksi
keseluruhan yaitu Famili Lindeniidae, disajikan pada Gambar 1.
Libellulidae, Lestidae,

Gambar 1. Grafik akumulasi jumlah individu setiap jenis capung yang dikoleksi

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 54
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Gambar 1 menunjukkan bahwa disusun oleh jenis capung yang berbeda


jenis Teinobasis Rufithorax Selys sesuai dengan kondisi lokasi.
memiliki jumlah individu paling banyak Jenis capung pada kelompok 1
yaitu 45 individu, kemudian UI.Spesies yaitu UI.Spesies 9, UI.Spesies 12,
20 dengan 30 individu, UI.Spesies 17 UI.Spesies 13, UI.Spesies 14,
dengan 29 individu, UI.Spesies 19 UI.Spesies 15, UI.Spesies 23,
dengan 18 individu, UI.Spesies 3 Archibasis mimetes Tillyard dan
dengan 15 individu, Archibasis mimetes Nosostica solida Hagen. Jenis capung
Tillyard dengan 11 individu dan spesies tersebut terdiri dari satu jenis yang
lain dengan jumlah antara 1-10 termasuk subordo Epiprocta dan 7 jenis
individu. lainnya termasuk dalam subordo
Zygoptera. Capung yang banyak
B. Jenis Capung di Tiap Lokasi ditemukan pada kelompok ini
Pengambilan Sampel
merupakan capung jarum (subordo
Tempat pengambilan sampel Zygoptera) yang menyukai tempat-
terdiri atas tiga lokasi yaitu sungai, tempat tertutup. Pada tingkat famili,
rawa I, rawa II/rawa Moramo. ditemukan tiga famili yang hanya ada di
Beradasarkan hasil pengukuran faktor sungai yaitu Famili Calopterygidae,
abiotik lingkungan pada masing-masing Megapodagrionidae dan
lokasi, di sungai memiliki pH rata-rata Platycnemididae.
7,5 dan suhu 32C, di rawa I memiliki Jenis capung pada kelompok 2
pH rata-rata 7,5 dan suhu 30,5C serta yaitu UI.Spesies 2, UI.Spesies 3,
di rawa II/rawa Moramo memiliki pH UI.Spesies 4, UI.Spesies 6, UI.Spesies
rata-rata 8 dan suhu 30C. 7, UI.Spesies 8, UI.Spesies 10,
Jenis capung berdasarkan lokasi UI.Spesies 11, Nannophya australis
ditemukannya terbagi atas tiga Brauer, Lestes concinus Hagen,
kelompok yaitu kelompok 1 merupakan UI.Spesies 19, UI.Spesies 20,
capung yang hanya ditemukan di UI.Spesies 21, UI.Spesies 22 dan
sungai, kelompok 2 merupakan capung Teinobasis rufithorax Selys. Jenis
yang hanya ditemukan di rawa (rawa I capung tersebut terdiri dari 10 jenis
dan rawa II/rawa Moramo), kelompok 3 yang termasuk subordo Epiprocta dan 6
merupakan capung yang ditemukan di jenis termasuk dalam subordo
sungai dan rawa (rawa I dan rawa Zygoptera. Capung yang banyak
II/rawa Moramo). Setiap kelompok ditemukan pada kelompok ini

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 55
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

merupakan capung dari subordo UI.Spesies 17, UI.Spesies 18,


Epiprocta yang menyukai tempat- Nosostica solida Hagen, Archibasis
tempat terbuka. Meskipun demikian, mimetes Tillyard dan UI.Spesies 23.
pada kelompok ini juga ditemukan jenis Pada lokasi ini, capung besar
capung dari famili Lestidae (Lestes (subordo Epiprocta) jarang
concinus Hagen). Menurut Wirawan ditemukan. Jenis capung yang
(2012) capung dari famili Lestidae ditemukan terdiri dari 2 jenis yaitu
dapat ditemukan di dekat sumber air satu jenis dari famili Lindeniidae dan
dengan perairan yang tenang untuk satu jenis dari famili Libellulidae.
berkembang biak. Capung besar ini terbang dengan
Jenis capung pada kelompok 3 gesit dan hinggap pada tangkai
yaitu UI.Spesies 1, UI.Spesies 16, pohon mati di bagian tengah sungai
UI.Spesies 17, dan UI.Spesies 18. Jenis untuk mendapat sinar matahari.
capung tersebut terdiri dari 1 jenis yang Pada lokasi ini, ditemukan 10
termasuk subordo Epiprocta dan 3 jenis jenis capung jarum (subordo
termasuk dalam subordo Zygoptera Zygoptera) yang terdiri atas 1 jenis
yaitu famili Clorocyphidae. Hal ini dari famili Megapodagrionidae, 2
menunjukkan bahwa jenis-jenis capung jenis dari famili Calopterygidae, 4
tersebut dapat hidup pada kondisi jenis dari famili Clorocyphidae, 1
habitat yang berbeda dengan perairan jenis dari famili Coenagrionidae dan
yang tenang maupun mengalir deras 2 jenis dari famili Platycnemididae.
yaitu di sungai maupun di rawa. Noerdjito et al., (2010) menyatakan
bahwa capung jarum dari famili
1. Jenis capung yang terdapat di
Calopterygidae merupakan capung
sekitar Sungai ( 87 m dpl)
Daerah sekitar aliran sungai yang dapat ditemukan di sekirat
memiliki komposisi vegetasi yang aliran sungai, hinggap di semak-
umumnya terdiri atas semak-semak semak yang terlindungi pohon dan
dan pohon-pohon besar dengan tajuk capung Famili Clorocyphidae
agak terbuka. Capung yang banyak ditemukan pada permukaan
ditemukan pada lokasi ini terdiri atas sungai yang mengalir deras. Hasil
12 jenis yaitu UI.Spesies 1, penelitian ini sejalan dengan
UI.Spesies 9, UI.Spesies 12, pernyataan Susanti (1998) bahwa
UI.Spesies 13, UI.Spesies 14, capung jarum biasanya memilih
UI.Spesies 15, UI.Spesies 16, wilayah hidup yang sempit dan

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 56
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

biasanya jarang menjelajah sampai dari subordo Zygoptera yang


jauh. mendiami daerah pinggir rawa dan
berlindung di sekitar semak-
2. Jenis capung yang terdapat di semak/rerumputan.
sekitar Rawa I ( 325 m dpl)

Daerah sekitar rawa I 3. Jenis capung yang terdapat di


sekitar Rawa II/Rawa Moramo (
dikelilingi oleh vegetasi yang rapat
360 m dpl)
dan daerah tengah rawa yang
Rawa II/rawa Moramo
terbuka. Keberadaan tumbuhan air
merupakan lokasi yang sangat baik
pada habitat ini sangat kurang hanya
sebagai habitat capung. Habitat
ada semak-semak atau rerumputan
dengan vegetasi rapat di daerah
dan bebatuan di daerah pinggir rawa.
pinggir rawa cocok untuk capung
Meskipun demikian, jenis capung
jarum yang menyukai tempat sempit.
pada lokasi ini lebih banyak daripada
Daerah tengah rawa yang luas dan
lokasi lainnya.
terbuka memungkinkan capung
Capung yang ditemukan pada
besar untuk terbang, bahkan capung
lokasi ini terdiri atas 15 jenis yaitu
jarum juga banyak ditemukan di
Teinobasis rufithorax Selys,
daerah tengah. Hal ini dikarenakan
UI.Spesies 22, UI.Spesies 20,
banyaknya teratai yang tumbuh di
UI.Spesies 21, Nannophya australis
permukaan rawa dan tumbuhan
Brauer, UI.Spesies 2, UI.Spesies 3,
semak yang tumbuh pada pohon-
UI.Spesies 4, UI.Spesies 6,
pohon mati pada pinggir rawa.
UI.Spesies 7, UI.Spesies 16,
Hidayah (2008) menyatakan bahwa
UI.Spesies 17, UI.Spesies 18, Lestes
faktor yang mempengaruhi aktivitas
concinus Hagen, dan UI.Spesies 1.
capung adalah keberadaan air, cuaca
Jenis capung tersebut 7 jenis
dan keberadaan tumbuhan air
diantaranya dari subordo Epiprocta
sebagai tempat hinggap. Jenis
yang sangat menyukai tempat
capung jarum yang banyak
terbuka sebagai habitatnya agar
ditemukan disekitar tumbuhan air
dapat terbang dengan bebas. Hal ini
adalah UI.Spesies 22 (Pseudagrion
sesuai dengan pernyataan Susanti
sp.) dan UI.Spesies 19 (Agriocnemis
(1998) bahwa capung besar lebih
sp.).
suka berdiam pada tempat-tempat
yang terbuka. Jenis capung lainnya

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 57
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Capung yang ditemukan pada 1. Subordo Epiprocta, infraordo


Anisoptera (Theischinger, 2009)
lokasi ini terdiri atas 13 jenis yaitu
UI.Spesies 3, UI.Spesies 4, Subordo Epiprocta memiliki
UI.Spesies 5, UI.Spesies 8, discoidial cell yang membagi
UI.Spesies 10, Nannophya australis menjadi triangle dan hypertriangel
Brauer, UI.Spesies 11, UI.Spesies berbeda kolom pada sayap depan dan
16, Lestes concinus Hagen, sayap belakang serta sering
UI.Spesies 19, UI.Spesies 20, menyilang oleh crossvein. Berikut
UI.Spesies 21, dan UI.Spesies 22. deskripsi dari famili Lindeniidae dan
Capung yang mendominasi lokasi ini Libellulidae yang diinventarisasi.
adalah jenis capung besar subordo
Epiprocta yang aktif terbang pada 1.1. Famili Lindeniidae
(Theischinger, 2009)
daerah tengah rawa yang luas dan
terbuka. Namun beberapa jenis Famili Lindeniidae genus
capung besar ditemukan pada daerah Ichtinogomphus yang ditemukan
pinggir rawa yaitu Nannophya pada capung hasil koleksi
australis Brauer, UI.Spesies 11 memiliki mata dengan lebar
(Nannophya sp.) dan UI.Spesies 10 memisah diatas kepala. Pada
(Diplacodes sp.). jantan, appendages superior
C. Deskripsi famili capung yang langsing dan runcing. Termasuk
ditemukan di sekitar Rawa
dragonflies yang berukuran
Moramo Desa Sumber Sari
Kecamatan Moramo Kabupaten besar, dengan panjang sayap
Konawe Selatan Provinsi Sulawesi
belakang lebih dari 33 mm.
Tenggara
Triangle sayap depan dan sayap
Berdasarkan venasi sayap,
belakang disilang oleh
pembeda dari subordo Epiprocta
crossvein.
(dragonflies) dan subordo Zygoptera
1.2. Famili Libellulidae
(damselflies) adalah bentuk dari (Theischinger, 2009)
discoidial cell sayap pada kedua
Famili Libellulidae yang
subordo capung tersebut
ditemukan pada capung hasil
(Theischinger, 2009).
koleksi memiliki mata menyatu
digaris tengah diatas kepala.
Triangle sayap belakang tidak
memanjang sepanjang poros

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 58
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

sayap. Tidak ada crossvein Platycnemididae yang


dikolom median. Sisi dasar diinventarisasi.
triangle sayap belakang jauh 2.1. Famili Lestidae
diluar arculus, terpisah dari sisi Famili lestidae yang ditemukan
dasar triangle sayap pada jarak pada capung hasil koleksi
yang sama atau lebih memiliki discoidial cell yang
dibandingkan dengan panjang merupakan sel yang bersisi
arculus. Sayap belakang empat sederhana, kadang
memiliki panjang kurang dari 35 disilang oleh crossvein dan
mm. Sector arculus memisah, kadang pula menbuka didasar.
menutup crossvein pertama Secara normal dua antenodal
diluar arculus, pada jantan tidak crossvein, keduanya menyilang
memiliki auricle, sayap pada kolom costal dan
belakang membulat didasar atau subcostal. Anal vein panjang,
sector arculus menyatu lurus atau zig-zag meluas diluar
diasalnya dan membentuk satu subnodus. Arculus sayap depan
tangkai pendek (terkecuali pada lengkap, sel discoidial menutup
sayap depan beberapa didasar. Paling tidak ada satu
Rhyothemis) warna sayap tambahan, beberapa vena
bervariasi pada umumnya intercalate memanjang antara
dengan warna gelap, nodal atau cabang Rs pada bagian distal
berwarna pada bagian distal. sayap. Bagian depan sector
2. Subordo Zygoptera (Theischinger, arculur (Rs) bercabang kurang
2009)
dari pertengahan jalan dari
Subordo Zygoptera memiliki arculus ke subnodus.
discoidial cell yang merupakan sel
bersisi empat sederhana yang kadang 2.2. Famili Megapodagrionidae
menyilang oleh crossvein atau Famili megapodagrionidae yang
membuka didasar, bentuknya yang ditemukan pada capung hasil
sama pada sayap depan dan sayap koleksi memiliki discoidial cell
belakang. Berikut deskripsi Famili yang merupakan sel yang bersisi
Lestidae, Megapodagrionidae, empat sederhana, kadang
Calopterygidae, Clorocyphidae disilang oleh crossvein dan
Coenagrionidae, dan kadang pula menbuka didasar.

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 59
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Secara normal dua antenodal daripada sayap, tidak memiliki


crossvein, keduanya menyilang pterostigma.
pada kolom costal dan
subcostal. Anal vein panjang, 2.4. Famili Clorocyphidae
lurus atau zig-zag meluas diluar Famili Clorocyphidae yang
subnodus. Arculus sayap depan ditemukan pada capung hasil
lengkap, sel discoidial menutup koleksi yaitu discoidial cell
didasar. Paling tidak ada satu yang merupakan sel yang bersisi
tambahan, beberapa vena empat sederhana, kadang
intercalate memanjang antara disilang oleh crossvein dan
cabang Rs pada bagian distal kadang pula menbuka didasar.
sayap. Bagian depan sector Beberapa antenodal crossvein,
arculus Rs bercabang melewati extra vena tidak menyilang pada
pertengahan jalan dari arculus kedua kolom costal dan
ke subnodus. CuP hampir lurus subcostal. Memiliki banyak
di sel pertama di luar sel antenodal crossvein pada kedua
discoidial. kolom costal dan subcstal.
Abdomen lebih pendek daripada
2.3. Famili Calopterygidae sayap dan memiliki pterostigma.
Famili Calopterygidae yang
ditemukan pada capung hasil 2.5. Famili Coenagrionidae
koleksi yaitu discoidial cell Famili Coenagrionidae yang
yang merupakan sel yang bersisi ditemukan pada capung hasil
empat sederhana, kadang koleksi memiliki discoidial cell
disilang oleh crossvein dan yang merupakan sel yang bersisi
kadang pula membuka didasar. empat sederhana, kadang
Beberapa antenodal crossvein, disilang oleh crossvein dan
extra vena tidak menyilang pada kadang pula membuka didasar.
kedua kolom costal dan Secara normal dua antenodal
subcostal. Memiliki banyak crossvein, keduanya menyilang
antenodal crossvein pada kedua pada kolom costal dan
kolom costal dan subcostal. subcostal. Anal vein panjang,
Abdomen lebih panjang lurus atau zig-zag meluas diluar
subnodus. Arculus sayap depan

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 60
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

lengkap, sel discoidial menutup A. Simpulan


didasar. Tidak ada vena Berdasarkan hasil penelitian dan
tambahan yang menbujur identifikasi yang telah dilakukan, dapat
diantara cabang Rs (R2, IR2, disimpukan bahwa :
R3, IR3, R4) dibagian distal 1. Capung (Odonata) yang
sayap. diinventarisasi di sekitar Sungai dan
2.6. Famili Platycnemididae Rawa Moramo desa Sumber Sari
Famili Platycnemididae genus Kecamatan Moramo Kabupaten
Nosostica yang ditemukan pada Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
capung hasil koleksi memiliki sebanyak 28 terkelompok dalam 8
discoidial cell yang merupakan famili yaitu Lindeniidae,
sel yang bersisi empat Libellulidae, Lestidae,
sederhana, kadang disilang oleh Megapodagrionidae, Calopterygidae,
crossvein dan kadang pula Clorocyphidae, Coenagrionidae dan
membuka didasar. Secara Platycnemididae.
normal dua antenodal crossvein, 2. Jumlah jenis capung yang ditemukan
keduanya menyilang pada pada masing-masing lokasi yaitu 12
kolom costal dan subcostal. jenis di sungai, 15 jenis di rawa I dan
Anal vein vestigial atau tidak 13 jenis di rawa II/rawa Moramo.
ada, sehingga tidak ada vena 3. Famili Calopterygidae,
membujur diluar sel discoidial. Megapodagrionidae dan
Anterior sector arculus Platycnemididae merupakan Famili
bercabang melewati pertengahan capung yang hanya ditemukan di
jalan dari arculus ke subnodus, sungai sedangkan Lestidae (Lestes
kadang-kadang melewari concinus Hagen) hanya ditemukan di
subnodus. Damselflies hitam rawa.
dengan bertanda krem, hijau,
biru atau orange, cuP sepanjang B. Saran
dua sel atau kurang, umumnya Berdasarkan hasil penelitian
satu sel. tersebut maka penulis menyarankan
perlu ada penelitian lanjutan pengaruh
faktor-faktor abiotik lingkungan
terhadap populasi dan aktivitas capung
di sekitar sungai dan rawa Moramo.

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 61
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

DAFTAR PUSTAKA Alami, Hama dan Penyakit


Tanaman Jambu Mete, Depatremen
Adearisandi, 2011, Siklus Hidup Capung, Pertanian, Jakarta.
Error! Hyperlink reference not Mahajoeno, E., Efendi, M., Ardiansyah,
valid./, 8 Oktober 2012. 2001, Keanekaragaman Larva
Adhitya, S., 2011, Mengenal Capung, Insekta Pada Sungai-sungai Kecil
http//sukmana-adhitya.blogspot. di Hutan Jobolarangan,
com/2011/05/mengenal- Biodiversitas, Vol. 2, No. 2, Hal.
capung.html, 16 Desember 2012. 133.
Amir, M., Kahono, S., 2003, Serangga Noerdjito, W.A., Ubaidillah, R., Sutrisno,
taman nasional Gunung Halimun H., Peggie, D., Aswari, P., 2010,
Jawa bagian Barat, Biodiversity Dampak Kegiatan Manusia
Conservation project. Terhadap Keanekaragaman dan
Amri, K., Sihombing, T., 2007, Mengenal Pola Distribusi Serangga Di
dan Mengendalikan Predator Gunung Salak, Pusat Penelitian
Benih Ikan, PT Gramedia Pustaka Biologi LIPI, Bogor.
Utama, Jakarta. Noerdjito, W.A., 2012, Keragaman
Ansori, I., 2006, Keanekaragaman Nimfa Kumbang Sungut Panjang
Odonata (Dragonflies) di Beberapa (Coleoptera: Cerambycidae) di
Persawahan Sekitar Bandung Jawa Kebun Raya Bogor, Prosiding
Bara, Universitas Bengkulu, seminar nasional, Perhimpunan
Bengkulu. Entomologi Indonesia, Bogor.
Aswari, P., 2010, Sekelumit Paulson, D., 2004, Families and Genera
Perikehidupan Capung, Warta Odonata, http://www.ups.edu.com
Lahan Basah, Vol. 18, No. 1, Hal. pdf, 19 September 2012.
24-25. Pramudhaningrat, K.Y., 2008, Capung,
BKSDA Sultra, 2006, Informasi Kawasan Error! Hyperlink reference not
Koservasi Provinsi Sulawesi valid., 6 September 2011.
Tenggara, BKSDA Sultra, Rohman, A., 2012, Keanekaraman jenis
Kendari. dan distribusi capung (Odanata) di
_______, 2010, Informasi Kawasan Kawasan Kars Gunung Sewu
Koservasi Sulawesi Tenggara, Kecamatan Pracimantoro
BKSDA Sultra, Kendari. Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah,
Borror, D.J., Triplehorn, C.A., Johnson, Skiripsi, Universitas Negeri
N.F., 1996, Pengenalan Pelajaran Yogyakarta, Yogyakarta.
Serangga Edisi Keenam, Gadjah Simanjuntak, A. R., 2009, Inventarisasi
Mada University Press, spesies capung (Odonata) di
Yogyakarta. Kawasan Cagar Alam Pegunungan
Djawie, S., 2009, Suaka Margasatwa Wondiboi Distritik Rasiei
Tanjung Peropa: Melindungi Kabupaten Teluk Wondama,
Kantung-Kantung Air Hingga Skripsi, Universitas Negeri Papua,
Masa Mendatang, Error! Manokwari.
Hyperlink reference not valid., Sumargo, W., Nanggara, S. G.,
22 November 2012. Nianggolan, F. A., Apriani, I.,
Hidayah, N., 2008, Keanekaragaman Dan 2011, Potret Keadaan Hutan
Aktifitas Capung (Ordo:Odonata) Indonesia Periode Tahun 2000-
Di Kebun Raya Bogor, Skripsi, 2009, Forest Watch Indonesia,
Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bogor.
Judawi, D., Priharyanto, D., Luther, G.C., Susanti, S., 1998, Seri Panduan
Purnayasa, G.N.R., 2001, Musuh Lapangan Mengenal capung,

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 62
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Pusat Penelitian Biologi LIPI,


Bogor.
_______, 2007, Mengenal Capung, Warta
Lahan Basah, Vol. 5, No. 2, Hal.
28-29.
Theischinger, G., 2009, Identification
Guide to the Australian Odonata,
National Library of Australia
Cataloguing, Australia.
Tol, J. V., 2000, The Odonata of Sulawesi
and Adjacant Island. Part 5. The
Genus Protosticta Selys
(Platystictidae), Tijdscrift vorr
Entomologie, Vol. 143, Hal. 221-
266.
_______, 2007, The Odonata of Sulawesi
and Adjacant Island. Part 5.
Libellago and Sclerocypa,
International Journal of
Odonatology, Vol. 10, No. 2, Hal.
221-266.
Whitten, A. J., Mustafa, M., Henderson.,
1992, Ekologi Sulawesi, Gadjah
Mada University Press,
Yogyakarta.
Wirawan, G. S., 2012, Jenis-jenis Capung
(Odonata) di Kawasan Gunung
Mekongga pada ketinggian 1000
Sampai 2000 m dpl desa Tunikari
kecamatan Wawo kabupaten
Kolaka Utara Sulawesi Tenggara,
Skripsi, Universitas Haluoleo,
Kendari.

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014


Jurnal Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-62, April 2014 ISSN : 2355-6404

PEDOMAN PENULISAN
Bentuk Naskah
BioWallacea menerima naskah dalam bentuk hasil penelitian, komunikasi pendek dan kajian
buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Naskah hasil penelitian
maksimum 15 halaman termasuk Gambar dan Tabel. Short comunication dan kajian buku
maksimum 4 halaman. Naskah Belum pernah dan tidak akan diterbitkan dalam majalah atau
jurnal lain dan asli hasil karyanya.

Pengiriman Naskah
Penulis harus mengirimkan naskah dalam bentuk naskah tercetak (hard copy) tiga eksemplar
dan naskah lunak (soft copy) dalam bentuk CD atau melalui email (attachment). Setiap
naskah harus disertai alamat korespondensi lengkap. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi
BioWallacea : Jurusan Biologi FMIPA Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Bumi
Tridharma, Anduonohu Kendari 93232. E-mail : bio_uhowallacea@gmail.com

Format Naskah
1. Judul : Menggambarkan isi pokok tulisan secara ringkas dan jelas, maksimum 15 kata.
Ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Di bawah judul harus tertulis nama
lengkap para penulis (tidak disingkat), tanpa gelar, alamat penulis (instansi asal, alamat
dan alamat e-mail untuk korespondensi penulis). Jika para penulis memiliki alamat
berbeda, maka harus diberi tanda (mis. Angka 1 atau 2 dan masing-masing tanda diberi
nama instansi atau universitasnya. Abstrak : Maksimum 300 kata. Berisi inti naskah yang
memuat tujuan, hasil dan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang telah
dikerjakan. Nama organisme disertai nama ilmiahnya. Ditulis dalam dua bahasa yaitu
Inggris dan Indonesia. Pada bagian akhir abstrak disertai beberapa kata kunci (key words),
4-6 kata.
2. Pendahuluan : Berisi tentang teori, hasil penelitian dan atau berita-berita terkini yang
menjadi latar belakang mengapa penelitian dilakukan, rumusan permasalahan dan tujuan
penelitian. Metode Penelitian : Mendeskripsikan dan menjelaskan secara singkat, jelas,
rinci dan padat tentang bahan dan alat, sampel (kualifikasi), disain penelitian dan analisa
data, tahapan cara kerja, parameter dan cara pengukuran serta cara analisis data.
3. Hasil dan Pembahasan : Menyajikan hasil yang diperoleh secara singkat, ilustrasi
berupa tabel, gambar atau deskripsi kualitatif, kemudian dibahas sebab-akibatnya,
keterkaitan dengan teori dan hasil penelitian terdahulu yang mirip dan sejenis. Di sini
penulis diharapkan berani untuk menilai kelebihan dan kekurangan yang diperoleh
dengan cara memperbandingkan dengan hipotesis, standar mutu dan/atau hasil penelitian
terdahulu yang sejenis dan mirip. Dampak penelitian yang dilakukan perlu juga diuraikan
diakhir pembahasan. Simpulan dan Saran : Simpulan dibuat singkat, jelas dan bersifat
kualitatif dan umum bukan sebagai rangkuman hasil. Simpulan yang ditarik
menggambarkan atau memberi jawaban atas permasalahan atau tujuan penelitian. Saran-
saran ditulis sebagai harapan peneliti untuk memperbaiki, mengembangkan, menerapkan,
dan menyempurnakan penelitian yang dilakukan. Ucapan Terima Kasih (Jika ada) :
Ditujukan kepada instansi dan/atau orang yang berjasa besar terhadap penelitian yang
dilakukan. Dibuat dalam 1 alinea maksimum 50 kata.
4. Daftar pustaka : Daftar pustaka sesuai acuan pustaka yang digunakan. Acuan pustaka
yang digunakan minimal 10 tahun terakhir. Daftar Pustaka disusun menurut abjad, diketik
1 spasi, dengan tata cara penulisan sebagai berikut :
Barret, D.M., Lasalo, S. and Hosahalli, R. 2005. Processing Fruits. CRC Press, London.
Yanti, N. A., Margino, S. dan Sembiring, L. 2010. Optimasi Produksi Poli--
hidroksibutirat (PHB) oleh Bacillus sp. PSA10. Biota, 15 (3) : 331-339.

Anda mungkin juga menyukai