SKENARIO
STEP 1
1. Resting tremor: terjadi ketika tangan dalam keadaan istirahat atau diam, biasa
terjadi pada ibu jari dan jari-jari lainnya.
STEP 2
1. Apa saja etiologi dan faktor risiko yang terjadi pada kasus di atas?
2. Bagaimana patomekanisme timbulnya gejala pada pasien?
3. Bagaimana penegakkan diagnosis pada kasus di atas?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus di atas?
STEP 3
1. Faktor risiko:
a. Genetik
b. Penuaan
c. Stress oksidatif
d. Terpapar anti jamur
e. Infeksi
f. Kafein
2
g. Trauma kepala
h. Depresi
i. Radikal bebas
Etiologi:
a. Usia
b. Ras
c. Cedera craniocerebral
d. Stress emosional
e. Lesi di substansia nigra
2. Patomekanisme terjadinya atau timbulnya gejala:
Merusak nigrostriata
Terjadi peningkatan
hidrogen paroksid dan
radikal oksi
4
Timbul gejala
3. Penegakkan diagnosis:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
4. Penatalaksanaan:
a. Medikamentosa:
1) Lamantadin >> peningkatan sintesis dopamine
2) Levodopa >> menggantikan dopamine din euro dopaminergik
3) Carbidopa >> agonis metabolisme dan levodopa di perifer
4) Agonis dopamine (D1, D2, D3)
5) Antikolinergik (Benztropin,trihexypenidil, selegiline)
b. Pembedahan
c. Rehabilittasi
d. Nonfarmakologi:
1) Edukasi
2) Suportif
3) Latihan fisik
4) Nutrisi
STEP 4
2. Patomekanime:
Karena adanya
miosis
a. D1 (Bromocriptine)
b. D2
c. D3
- Terapi pembedahan
a. Ablasi otak
b. Stimulasi otak
8
MIND MAP
9
Etologi
Penatalaksanaan
Farmakologi Faktor risiko
Non-
farmakologi
Penyakit Parkinson
Penegakkan
diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Patomekanisme
fisik
Pemeriksaan
penunjang
10
STEP 5
STEP 6
Belajar mandiri
STEP 7
a. Klasifikasi
a) Menurut Umur:
1) Demensia senilis (>65th)
2) Demensia prasenilis (<65th)
b) Menurut perjalanan penyakit:
1) Reversibel
11
b. Etiologi Demensia
c. Gejala Klinis
Ada dua tipe demensia yang paling banyak ditemukan, yaitu tipe
Alzheimer dan Vaskuler.
a) Demensia Alzheimer
Gejala klinis demensia Alzheimer merupakan kumpulan gejala
demensia akibat gangguan neuro degenaratif (penuaan saraf) yang
berlangsung progresif lambat, dimana akibat proses degenaratif
menyebabkan kematian sel-sel otak yang massif. Kematian sel-sel otak
ini baru menimbulkan gejala klinis dalam kurun waktu 30 tahun. Awalnya
ditemukan gejala mudah lupa (forgetfulness) yang menyebabkan
penderita tidak mampu menyebut kata yang benar, berlanjut dengan
kesulitan mengenal benda dan akhirnya tidak mampu menggunakan
barang-barang sekalipun yang termudah. Hal ini disebabkan adanya
gangguan kognitif sehingga timbul gejala neuropsikiatrik seperti, Wahan
(curiga, sampai menuduh ada yang mencuri barangnya), halusinasi
pendengaran atau penglihatan, agitasi (gelisah, mengacau), depresi,
gangguan tidur, nafsu makan dan gangguan aktifitas psikomotor,
berkelana. Stadium demensia Alzheimer terbagi atas 3 stadium, yaitu :
a. Stadium I
Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala
gangguan memori, berhitung dan aktifitas spontan menurun. Fungsi
memori yang terganggu adalah memori baru atau lupa hal baru yang
dialami
b. Stadium II
Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebutr stadium demensia.
Gejalanya antaralain :
a) Disorientasi
b) gangguan bahasa (afasia)
c) penderita mudah bingung
14
b) Demensia Vaskuler
Untuk gejala klinis demensia tipe Vaskuler, disebabkan oleh
gangguan sirkulasi darah di otak. Dan setiap penyebab atau faktor resiko
stroke dapat berakibat terjadinya demensia. Depresi bisa disebabkan
karena lesi tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi darah otak, sehingga
depresi itu dapat didiuga sebagai demensia vaskuler. Gejala depresi lebih
sering dijumpai pada demensia vaskuler daripada Alzheimer. Hal ini
disebabkan karena kemampuan penilaian terhadap diri sendiri dan respos
emosi tetap stabil pada demensia vaskuler. Dibawah ini merupakan
klasifikasi penyebab demensia vaskuker, diantaranya:
1) Kelainan sebagai penyebab Demensia :
a. penyakit degenaratif
b. penyakit serebrovaskuler
c. keadaan anoksi/ cardiac arrest, gagal jantung, intioksi CO
d. trauma otak
e. infeksi (Aids, ensefalitis, sifilis)
f. Hidrosefaulus normotensive
g. Tumor primer atau metastasis
h. Autoimun, vaskulitif
i. Multiple sclerosis
j. Toksik
k. kelainan lain : Epilepsi, stress mental, heat stroke, whipple disease
15
b. Anxietas
c. Psikosis
4) Obat-obatan :
a. Psikofarmaka
b. Antiaritmia
c. Antihipertensi
5) Antikonvulsan
b. Digitalis
6) Gangguan nutrisi :
a. Defisiensi B6 (Pelagra)
b. Defisiensi B12
c. Defisiensi asam folat
d. Marchiava-bignami disease
7) Gangguan metabolisme :
a. Hiper/ hipotiroidi
b. Hiperkalsemia
c. Hiper/ hyponatremia
d. Hiopoglikemia
e. Hiperlipidemia
f. Hipercapnia
g. Gagal ginjal
h. Sindromk Cushing
i. Addisons disesse
j. Hippotituitaria
k. Efek remote penyakit kanker
8) Tanda dan Gejala Demensia
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya
perubahan kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi
aktivitas sehari-hari. Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini
adalah lansia dengan usia enam puluh lima tahun keatas. Lansia
penderita demensia tidak memperlihatkan gejala yang menonjol pada
tahap awal, mereka sebagaimana lansia pada umumnya mengalami
proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh
16
penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka atau
lupa meletakkan suatu barang.
Mereka sering kali menutup - nutupi hal tersebut dan
meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia
mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang
terdekat yang tinggal bersama, mereka merasa khawatir terhadap
penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun sekali lagi
keluarga merasa bahwa mungkin lansia kelelahan dan perlu lebih
banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah
besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua
mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa
depresi pada Lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan
lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya
penyakit lain dan biasanya akan memperparah kondisi lansia. Pada
saat ini mungkin saja lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai
berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa lansia penderita demensia
ke rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus
pemeriksaan.
Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji
oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki
kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia.
Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan
cepat, perlu waktu yang panjang sebelum memastikan seseorang
positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan
penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang
individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status
mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah
laku yang semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi
keluarga memahami dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami
17
9) Pemeriksaan Diagnostik
a. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya
konfirmasi neuropatologi. Secara umum di dapatkan :
i. Atropi yang bilateral, simetris lebih menonjol pada lobus
temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital,
korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh berat
otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
B. Delirium
22
a) Perubahan perilaku
d) Mimpi buruk
a) Gangguan kesadaran
g) Gangguan psykomotorik
d. Diagnosis
Dalam men-diagnosa apakah pasien itu mengalami delirium, kriteria
yang sering digunakan adalah kriteria Diagnostic and Statictical Manual
Version IV (DSM-IV) oleh American Psychiatric Association.
2) Kriteria 2. Inatensi
Kriteria ini dapat didapatkan dengan pertanyaan: Apakah
pasien terdapat kesulitan berkosentrasi?
3) Kriteria 3. Gangguan piker
Kriteria ini dapat didapatkan dengan pertanyaan: Apakah
pasien terdapat inkoherensi dalam percakapan? Apakah terdapat
pemikiran/ ide yang tidak masuk akal?
4) Kriteria 4. Gangguan tingkat kesadaran
Kriteria ini dapat didapatkan bila pasien tersebut sering tertidur
tiba-tiba saat percakapan.
Diagnosis delirium ditegakkan dengan adanya kriteria 1 dan 2
ditambah kriteria 3 atau 4.
(Dewanto, George. 2009)
C. Depresi
Depresi adalah suatu kelainan alam perasaan berupa hilangnya minat atau
kesenangan dalam aktivitas-aktivitas yang biasa dan pada waktu yang lampau.
Rentang respon emosi individu dapat berfluktuasi dalam rentang respon emosi
dari adaptif sampai maladaptif. Respon depresi merupakan emosi yang mal
adaptif.
a. Etiologi Depresi
Etiologi dari depresi pada lansia terdiri dari: faktor psikologik,
biologik, dan sosio-budaya. Pada sebagian besar kasus, ketiga faktor ini
saling berinteraksi.
a) Faktor Psikososial
Menurut teori psikoanalitik dan psikodinamik Freud (1917) cit
Kaplan dan Sadock (1997) mengungkapkan bahwa depresi disebabkan
karena kehilangan obyek cinta kemudian individu mengadakan introyeksi
yang ambivalen dari aspek cinta tersebut. Menurut model Cognitif
Behavioural Beck (1974) cit Kaplan dan Sadock (1997), depresi terjadi
karena pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, interprestasi yang
negatif terhadap pengalaman hidup dan harapan pengalaman hidup dan
harapan yang negatif untuk masa depan.
b) Faktor Biologik
a. Disregulasi biogenik amin
Beberapa peneliti melaporkan bahwa pada penderita depresi
terdapat abnormalitas metabolitas biogenik amin (5- hydroxy
indolacetic acid, homouanilic acid, 3-methoxy-4 hydroxy
phenylglycol). Hal ini menunjukkan adanya disregulasi biogenic amin,
serotonin, dan norepineprin yang merupakan nurotransmiter paling
terkait dengan patofisiologi depresi.
b. Disreguloasi Neuroendokrin
Hipotalamus merupakan pusat pengatur aksis neuroendokrin.
Organ ini menerima input neuron yang mengandung neurotransmister
31
c) Faktor Genetik
Faktor genetik memiliki kontribusi dalam terjadinya depresi.
Berdasarkan studi lapangan, studi anak kembar, dan anak angkat, serta
studi linkage terbukti adanya faktor genetik dan depresi.
d) Biokimia.
Ketidak seimbangan elektrolit tampak memainkan peranan dalam
penyakit depresif. Suatu kesalahan hasil metabolisme dalam perubahan
natrium dan kalium di dalam neuron.
Teori biokimia yang lainnya menyangkut biogenik amin
norepinefrin, dopamin, dan serotinin. Tingkatan zat - zat kimia ini
mengalami defisiensi dalam individu dengan penyakit depresif.
e) Kognitif.
Ahli teori-teori ini yakin bahwa penyakit depresif terjadi sebagai
suatu hasil dari kelainan kognitif. Kelainan proses pikir membantu
perkembangan evaluasi diri individu. Persepsi merupakan ketidak
adekuatan dan ketidak berhargaan. Pandangan untuk masa depan
merupakan suatu kepesimisan keputusasaan.
f) Teori Pembelajaran.
Teori ini mengemukakan bahwa penyakit depresif dipengaruhi oleh
keyakinan individu bahwa ada kurang kontrol atau situasi-situasi
kehidupannya. Ini dianggap bahwa keyakinan ini muncul dari
pengalaman - pengalaman yang mengakibatkan kegagalan (baik yang
dirasakan atau yang nyata). Setelah sejumlah kegagalan, individu merasa
tidak berdaya untuk berhasil dalam usaha-usaha yang keras, dan oleh
karena itu berhenti mencoba. Pembelajaran ketidak berdayaan ini
digambarkan sebagai suatu predisposisi untuk penyakit depresif.
32
b) Golongan lanjut usia sering kali menutupi rasa sedihnya dengan justru
menunjukan bahwa dia lebih aktif.
c) Kecemasan, obsesionalitas, histeria dan hipokondria yang sering
merupakan gejala depresi justru sering menutupi depresinya. Penderita
dengan hipokondria, misalnya justru sering dimasukkan ke bangsal
Penyakit Dalam atau Bedah (misalnya karena diperlukan penelitian untuk
konstipasi dan lain sebagainya).
d) Masalah sosial yang juga di derita seringkali membuat gambaran depresi
menjadi lebih rumit.
d. Patofisiologi
34
e. Diagnosa
35
(Supartondo 2014).
Distribusi obat berhubungan dengan komposisi tubuh, ikatan protein -
plasma, dan aliran darah organ. Semua itu akan mengalami perubahan dengan
bertambahnya usia, sehingga dosis antara pasien geriatri dan pasien yang lebih
muda akan berbeda. Pada geriatri, komposisi air dalam tubuh akan berkurang
sehingga menyebabkan penurunan volum distribusi obat yang larut air, sehingga
konsentrasi dalam plasma meningkat, contoh: digoksin. Namun pada usia lansia,
terjadi peningkatan total lemak dalam tubuh, sehingga meningkatkan Vd obat yang
larut dalam lemak namun konsntrasi obat dalam plasma menurun. Pada geriatri,
jumlah albumin plasma berkurang sehingga mengakibatkan jumlah obat yang
diikat oleh albumin menurun dan mengakibatkan obat tersebut berada dalam tubuh
dalam keadaan bebas.
(Supartondo.2014).
Ginjal berpengaruh besar pada eliminasi beberapa obat. Umumnya obat
diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya
berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga
dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan
aminoglikosida.
(Supartondo.2014).
Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke
ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan
pada orang muda.
a. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti pada geriatri ialah berkurangnya fungsi ginjal
dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit
ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat
sering berkurang, dengan akibat perpanjangan atau intensitas kerjanya. Obat
yang mempunyai waktu paruh panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil
bila efek sampingnya berbahaya. Dalam setiap keadaan kita perlu memakai
dosis lebih kecil bila dijumpai penurunan fungsi ginjal, khususnya bila
memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan
petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia memproduksi metabolit
37
aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada
lansia
(Supartondo.2014).
b. Fungsi Hati
Penurunan fungsi hati tidak sepenting penurunan fungsi ginjal. Hal ini
disebabkan karena hati memiliki kapasitas yang lebih besar, sehingga
penurunan fungsi hati tidak begitu berpengaruh. Kejenuhan metabolisme oleh
hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-
obat tertentu. First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-
binding) berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral
diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan langsung
masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan
metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat
mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian
ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang
dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberi secara
intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi
umum. Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat
yang diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang
berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif
obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping.
Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99 persen dan
hanya 1 persen merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses redistribusi
menyebabkan 1 persen ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian
diberi aspirin yang 80-90 persen diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan
warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang
akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai
antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Inipun bisa terjadi
dengan aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15 menit. Banyak
obat geser-menggeser dalam proses protein-binding bila beberapa obat diberi
38
1. Absorbsi
Penundaan pengosongan lambung, reduksi sekresi asam lambung dan
aliran darah organ absorbsi secara teoritis berpengaruh pada absorbsi itu
sendiri. Namun pada kenyataannya perubahan yang terkait pada usia ini tidak
berpengaruh secara bermakna terhadap bioavailabilitas total obat yang
diabsorbsi. Beberapa pengecualian termasuk pada digoksin dan obat dan
substansi lain (misal thiamin, kalsium, besi dan beberapa jenis gula).
(Supartondo.2014).
2. Distribusi
39
(Boedi, 2015).
Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya,
karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia
lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan
dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan (Boedi, 2015).
Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga
pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak
obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-
rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian
banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat
serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih
sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih
dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal
jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan
fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering mengganggu
lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan
pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh pengobatan
yang banyak jenisnya. (Boedi, 2015).
A. Konsep Dasar Pemakaian Obat
Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan
obat, yaitu :
a. Diagnosis dan patofisiologi penyakit
b. Kondisi organ tubuh
c. Farmakologi klinik obat
(Boedi, 2015).
Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan
obat yang diberikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta
farmakologi dari obat yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-hal
yang lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat, karena pada
golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistema tubuh
akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum
penggunaan obat pada usia lanjut :
42
1) Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada
indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang
sesungguhnya.
2) Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling
menguntungkandan tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit
lainnya.
3) Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa
diberikan pada orang dewasa yang masih muda.
4) Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan
memonitor kadar plasma pasien. Dosis penuNjang yang tepat umumnya
lebih rendah.
5) Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan
untuk memelihara kepatuhan pasien.
6) Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat
yang tidak diperlukan lagi.
(Boedi, 2015).
B. Farmakokinetik
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga
mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya
aliran darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu
pengosongan lambung dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan
tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat
seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin.
(Boedi, 2015).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam
cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin,
tetapi pada beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein),
dengan sel darah merah dan jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia
lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak dan
cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma.
Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat
lebih menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau
sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat
43
bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat
lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan
cara penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak
dipengaruhi oleh kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang
biasanya membuat obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit
yang kurang aktif atau dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat
sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan (uptake) oleh
reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya tergantung pada
kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut, penurunan aliran
darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang tinggi
terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol.
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat.
Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan
kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh
karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan
antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang,
begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus
berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi,
kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap
normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat
semacam penicilin dan litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal,
mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus.
(Boedi, 2015).
C. Interaksi Farmakokinetik
1. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya
fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat
penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan
ekskresi obat sering berkurang, sehingga memperpanjang intensitas
kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang perlu diberi dalam dosis
lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dua obat yang sering diberikan
44
Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati
untuk metabolisme dengan obat-obat tertentu.
First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding)
berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral
diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan
langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan
melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme
ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang
kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk
yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang
diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung
masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu yang
mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada dosis
oral.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat
yang diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang
berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar
aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek
samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99
persen dan hanya 1 persen merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses
redistribusi menyebabkan 1 persen ini dipertahankan selama obat bekerja.
Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90 persen diikat oleh protein, aspirin
menggeser ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas
naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan
spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas
perdarahan. Hal ini juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-
paruh plasma hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh
secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat
membahayakan penderita.
(Boedi, 2015).
D. Farmakodinamik
46
Penyakit hati dan penurunan fungsi ginjal terkait usia, jika ada, ikut berperan
mengurangi eliminasi senyawa-senyawa golongan ini. Selain itu,
meningkatnya volume distribusi dilaporkan nterjadi pada sebagian obat.
Lorazepam dan oksazepam mungkin kurang terpengaruh oleh perubahan-
perubahan dibandingkan dengan bezodiazepin lainnya. Selain faktor-faktor
farmakokinetika ini, secara umum dipercayai orang bahwa berusia lanjut
juga memperlihatkan variasi sensitivitas terhadap obat hipnotik-sedatif yang
didasarkan pada faktor-faktor farmakodinamika. Di antara berbagai
toksisitas obatobat ini, ataksia dan tanda-tanda gangguan motorik lain perlu
sangat diperhatikan untuk menghindari kecelakaan.
b. Analgesik
Analgesik opoid menunjukkan perubahan bervariasi dalam
farmakokinetiknya seiring dengan usia. Namun, orang lanjut usia sering
sangat sensitif terhadap efek respiratorik obat golongan ini karena perubahan
fungsi pernapasan yang terkait usia. Karena itu, golongan obat in i perlu
digunakan secara hati-hati sampai sensitivitas pasien yang bersangkutan
dapat dievaluasi, dan pasien kemudian perlu diberikan dosis yang sesuai agar
efeknya optimal. Studi-studi menunjukkan bahwa opoid secara konsisten
kurang digunakan pada pasien yang memerlukan analgesik kuat untuk
penyakit yang menimbulkan nyeri kronik seperti kanker. Kekurangan
pemakaian obat golongan ini tidak dibenarkan khususnya dalam perawatan
pasien lanjut usia dan program penatalaksanaan nyeri yang baik mudah
ditemukan.
c. Obat Antipsikotik & Antidepresan
Obat anti psikotik tradisional (fenotiazin dan haloperidol) telah
digunakan secara luas (dan mungkin disalah gunakan) dalam
penatalaksanaan berbagai penyakit kejiwaan pada pasien lanjut usia. Tidak
diragukan lagi bahwa mereka berguna dalam penanganan skizofrenia di usia
lanjut dan juga dalam pengobatan beberapa gejala yang berkaitan dengan
delirium, demensia, agitasi, mengamuk dan sindrom paranoid yang terjadi
pada sebagian geriatrik. Namun, obat-obat ini belum sepenuhnya
48
C. Obat Anti-Inflamasi
Osteoartritis merupakan penyakit yang sangat umum pada usia lanjut.
Artritis rematoid bukan merupakan penyakit eksklusif geriatrik, tetapi obat
yang digunakan biasanya sama.
Obat ati-inflamasi non-steroid (OAINS) harus digunakan dengan sangat
hati-hati pada pasien lanjut usia karena populasi pasien ini sangat rentan
terhadap toksisitas obat golongan ini. Pada kasus aspirin, toksisitas yang
terpenting adalah iritasi dan perdarahan saluran cerna. Pada kasus ginjal, yang
mungkin ireversibel. Karena terutama dibersihkan oleh ginjal, obat golongan ini
terakumulasi lebih cepat pada pasien geriatrik dan khususnya pada pasien
fungsi ginjalnya sudah berkurang melebihi kisaran rerata untuk usia mereka.
Mudah terjadi lingkaran setan ketika penimbunan OAINS menyebabkan
kerusakan ginjal yang lebih besar yang kemudian akan memperparah
akumulasinya.
51
5. Perubahan apa saja yang terjadi pada sel otak dan neurokimia otak secara
fisiologis dan dihubungkan dengan perubahan fungsi kognitif yang terjadi?
Monoamin
Asam amino
53
organ-organ vital seperti otak, sistem kardiovaskular, otot, hati dan terlihat sedikit
pada organ kulit, gastrointestinal dan jaringan limfoid.
Sistem norepinefrn dan sistem serotonin normalnya menimbulkan dorongan
bagi sistem limbik untuk meningkatkan perasaan seseorang terhadap rasa nyaman,
menciptakan rasa bahagia, rasa puas, nafsu makan yang baik, dorongan seksual yang
sesuai, dan keseimbangan psikomotor, tapi bila terlalu banyak akan menyebabkan
serangan mania. Yang mendukung konsep ini adalah kenyataan bahwa pusat-pusat
reward dan punishment di otak pada hipotalamus dan daerah sekitarnya menerima
sejumlah besar ujung-ujung saraf dari sistem norepinefrin dan serotonin.
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang
dijumpai pada penyakit Demensia, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa
kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein
beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein prukesor amiloid (APP).
Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan
mengakibatkan rusaknya ukuran otak.
Secara maskroskopik, perubahan otak pada demensia melibatkan kerusakan
berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam
pembuluh darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologik
(structural) dan biokimia pada neuron neuron. Perubahan morfologis terdiri dari
2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi soma dan atau
akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan neurofibrilaris
yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari
protein tau. Dalam SSP, protein tau sebagian besar sebagai penghambat
pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan
komponen penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD terjadi fosforilasi
abnormal dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan pada tau
sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama sama. Tau yang
abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing
masing terluka. Dengan kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler
adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti kematian sel.
56
Otak manusia mempunyai berat 2 persen dari berat badan orang dewasa (3 pon),
menerima 20 persen curah jantung dan memerlukan 20 persen pemakaian oksigen
tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang
paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari
proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan terhadap perubahan
oksigen dan glukosa darah, aliran darah berhenti 10 detik saja sudah dapat
menghilangkan kesadaran manusia. Berhenti dalam beberapa menit, merusak
permanen otak. Hipoglikemia yang berlangsung berkepanjangan juga merusak
jaringan otak.
(Prince,Wilson, 2014).
Ketika lahir seorang bayi telah mempunyai 100 miliar sel otak yang aktif dan
900 miliar sel otak pendukung, setiap neuron mempunyai cabang hingg 10.000
cabang dendrit yang dapat membangun sejumlah satu kuadrilion koneksi.
komunikasi.perkembangan otak pada minggu-minggu pertama lahir diproduksi
250.000 neuroblast (sel saraf yang Belum matang), kecerdasan mulai berkembang
dengan terjadinya koneksi antar sel otak, tempat sel saraf bertemu disebut synapse,
makin banyak percabangan yang muncul, makin berkembanglah kecerdasan anak
tersebut, dan kecerdasan ini harus dilatih dan di stimulasi, tampa stimulasi yang baik,
potensi ini akan tersia-siakan.
(Prince,Wilson, 2014).
Otak manusia, adalah organ yang unik dan dasyat, tempat diaturnya proses
berfikir, berbahasa, kesadaran, emosi dan kepribadian, secara garis besar, otak terbagi
dalam 3 bagian besar, yaitu neokortek atau kortex serebri, system limbik dan batang
otak, yang berkerja secara simbiosis. Bila neokortex berfungsi untuk berfikir,
berhitung, memori, bahasa, maka sistek limbik berfugsi dalam mengatur emosi dan
memori emosional, dan batang otak mengarur fungsi vegetasi tubuh antara lain denyut
jantung, aliran darah, kemampuan gerak atau motorik, Ketiganya bekerja bersama
57
saling mendukung dalam waktu yang bersamaan, tapi juga dapat bekerja secara
terpisah.
(Prince, Wilson, 2014).
Otak manusia mengatur dan mengkordinir, gerakan, perilaku dan fungsi tubuh,
homeostasis seperti tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, keseimbangan cairan,
keseimbangan hormonal, mengatur emosi, ingatan, aktivitas motorik dan lain-lain.
Otak terbentuk dari dua jenis sel: yaitu glia dan neuron. Glia berfungsi untuk
menunjang dan melindungi neuron, sedangkan neuron membawa informasi dalam
bentuk pulsa listrik yang di kenal sebagai potensial aksi. Mereka berkomunikasi
dengan neuron yang lain dan keseluruh tubuh dengan mengirimkan berbagai macam
bahan kimia yang disebut neurotransmitter. Neurotransmitter ini dikirimkan pada
celah yang di kenal sebagai sinapsis. Neurotransmiter paling mempengaruhi sikap,
emosi, dan perilaku seseorang yang ada antara lain Asetil kolin, dopamin, serotonin,
epinefrin, norepinefrin.
(Prince, Wilson, 2014).
Fungsi Dopamin sebagai neururotransmiter kerja cepat disekresikan oleh
neuron-neuron yang berasal dari substansia nigra, neuron-neuron ini terutama berakhir
pada regio striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya sebagai inhibisi
(Guyton, 2014).
Dopamin bersifat inhibisi pada beberapa area tapi juga eksitasi pada beberapa
area. Sistem norepinefrin yang bersifat eksitasi menyebar ke setiap area otak,
sementara serotonin dan dopamin terutama ke regio ganglia basalis dan sistem
serotonin ke struktur garis tengah (midline).
(Guyton, 2014).
Serotonin disekresikan oleh nukleus yang berasal dari rafe medial batang otak
dan berproyeksi disebahagian besar daerah otak, khususnya yang menuju radiks
dorsalis medula spinalis dan menuju hipotalamus. Serotonin bekerja sebagai bahan
penghambat jaras rasa sakit dalam medula spinalis, dan kerjanya di daerah sistem
syaraf yang lebih tinggi diduga untuk membantu pengaturan kehendak seseorang,
bahkan mungkin juga menyebabkan tidur. (Guyton, 2014).
Serotonin berasal dari dekarboksilasi triptofan, merupakan vasokontriksi kuat
dan perangsang kontraksi otak polos. Produksi serotonin sangat meningkat pada
58
karsinoid ganas penyakit yang ditandai sel-sel tumor penghasil serotonin yang tersebar
luas didalam jaringan argentafin rongga abdomen.
(Guyton, 2014).
Sistem respons fisiologik pada stress akut dan kronik, terdapat respon fight and
flight dimana berperan hormon epinefrin, norepinefrin dan dopamin, respon terhadap
ancaman meliputi penyesuaian perpaduan banyak proses kompleks dalam organ-organ
vital seperti otak, sistem kardiovaskular, otot, hati dan terlihat sedikit pada organ kulit,
gastrointestinal dan jaringan limfoid.
(Guyton, 2014).
Sistem norepinefrn dan sistem serotonin normalnya menimbulkan dorongan
bagi sistem limbik untuk meningkatkan perasaan seseorang terhadap rasa nyaman,
menciptakan rasa bahagia, rasa puas, nafsu makan yang baik, dorongan seksual yang
sesuai, dan keseimbangan psikomotor, tapi bila terlalu banyak akan menyebabkan
serangan mania. Yang mendukung konsep ini adalah kenyataan bahwa pusat-pusat
reward dan punishment di otak pada hipotalamus dan daerah sekitarnya menerima
sejumlah besar ujung-ujung saraf dari sistem norepinefrin dan serotonin.
(Guyton, 2014).
59
Daftar Pustaka