Anda di halaman 1dari 60

1

SKENARIO

Badan Lemah dan Kaku

Seorang laki-laki 80 tahun dibawa oleh anaknya ke puskesmas karena badannya


lemah dan sedikit kaku. Wajah pasien kurang ekspresif dan pandagan tampak kosong.
Saat diajak berbicara, pasien menjawab dengan sangat pelan, tanpa aksen (monoton)
dan gagap. Kedua tangan mengalami resting tremor. Gejala dirasakan sejak dua tahun
yang lalu dan semakin hari semakin berat. Dalam 2 bulan terakhir ini, tremor yang
mulanya hanya di tangan kanan kini meluas hingga ke are lengan baik kanan maupun
kiri. Otot semakin kaku dan pergerakan menjadi lambat. Anaknya juga menceritakan
bahwa pasien sering tidak bisa membedakan antara pagi dan malam. Dokter
memberikan terapi obat untuk mengatasi kelainan tersebut. Tetapi sebelum memulai
terapi, dokter memerlukan pemeriksaan fungsi ginjal dan hepar untuk penyesuaian
dosis pada pasien tersebut.

STEP 1

1. Resting tremor: terjadi ketika tangan dalam keadaan istirahat atau diam, biasa
terjadi pada ibu jari dan jari-jari lainnya.

STEP 2

1. Apa saja etiologi dan faktor risiko yang terjadi pada kasus di atas?
2. Bagaimana patomekanisme timbulnya gejala pada pasien?
3. Bagaimana penegakkan diagnosis pada kasus di atas?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus di atas?

STEP 3

1. Faktor risiko:
a. Genetik
b. Penuaan
c. Stress oksidatif
d. Terpapar anti jamur
e. Infeksi
f. Kafein
2

g. Trauma kepala
h. Depresi
i. Radikal bebas
Etiologi:
a. Usia
b. Ras
c. Cedera craniocerebral
d. Stress emosional
e. Lesi di substansia nigra
2. Patomekanisme terjadinya atau timbulnya gejala:

Faktor predisposisi lesi di substansia nigra: faktor


usia, faktur aterosklreotik, post ensafalitis, induksi
obat, dan keracunan logam berat

Dopamin menipis dalam substansia nigra dan


korpus striatum

Kehilangan kelola dari sustansia nigra

Globus pallidus mengeluarkan impuls yang


abnormal

Impuls globus palidus ini tidak melakukan inhibisi


terhadap korteks piramidalis dan ekstrapiramidalis

Kerusakan kontrol gerakan foluntar yang memiliki


ketangkasan sesuai dan gerakan otomatois

Aliran darah serebral Manifestasi Gangguan Tremor ritmi


regional menurun otonom N. VIII bradikaresia
3

Manifestasi psikiatrik Berkeringat, rasa lelah Ragiditas Perubahan otot


Perubahan kepribadian, berlebihan dan otot deserebrasi wajah dan
psikosis, demensia, dan terasa nyeri. Hipotensi Perubahan gaya sikap tubuh
konfusi akut. postural. berjalan, kekakuan
dalam beraktifitas. Kesulitan
Defisit dopamin
Kognitif menurun, menelan
persepsi menurun.
Hambatan mobilitas Gangguan
Kerusakan Harga fisik. pemenuhan
diri
komunikasi Kurang nutrisi
rendah
verbal perawatan diri

a. Penyakit Parkinson terjadi karena adanya penurunan dopamine akibat


kematian neuron di SNC sebesar 40-50%. Kehilangan volunteer dan
regional menyebabkan terjadinya tremor dan penurunan tonus otot
sehingga timbul kaku.
b. Kerusakan di SNC pada bagian frontal akan terjadi penurunan kognitif
c. Sintesis dopamine menyerang 4 jalur:
1) Jalur nigrostriatal >> motorik (resting tremor-kaku)
2) Jalur mesolimbik >> emosional (halusinasi-delusi)
3) Mesokortikal >> kognitif (demensia)
4) Tuberoinfundibular

Faktor risiko yang timbul

Merusak nigrostriata

Terjadi peningkatan
hidrogen paroksid dan
radikal oksi
4

Timbul gejala

3. Penegakkan diagnosis:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
4. Penatalaksanaan:
a. Medikamentosa:
1) Lamantadin >> peningkatan sintesis dopamine
2) Levodopa >> menggantikan dopamine din euro dopaminergik
3) Carbidopa >> agonis metabolisme dan levodopa di perifer
4) Agonis dopamine (D1, D2, D3)
5) Antikolinergik (Benztropin,trihexypenidil, selegiline)
b. Pembedahan
c. Rehabilittasi
d. Nonfarmakologi:
1) Edukasi
2) Suportif
3) Latihan fisik
4) Nutrisi

STEP 4

1. Faktor risiko dan etiologi:


a. Faktor lingkungan >> paparan zat kimia.
b. Ras >> orang kulit putih presentasinya lebih banyak.
c. Cedera craniacerebral >> trauma, tumor, infeksi
d. Stress oksidatif >> bisa menyebabkan kematian SNC
e. Usia >> berkurangnya volume otak dan atropi otak.
f. Faktor lain >> karena adanya oklusi vertebra.
g. Genetik:
1) Adanya mutasi ge alfa sinudein pada lengan panjang kromosom 4
2) Delesi dan mutasi posisi
3) Gangguan gen tersebut dapat menyebabkan SNC terkena racun
h. Penuaan pada otak >> usia lebih dari 60 tahun mulai ada kematian sel
i. Radikal bebas:
5

1) Gangguan didapat dari luar dan dalam (berupa sisa metabolisme


tubuh)
6

2. Patomekanime:

Tidak bisa membedakan pagi dan


malam

Karena adanya gangguan


sensorik penglihatan

Karena adanya
miosis

Memerlukan banyak cahaya


sehingga fungsi penglihatan
bekerja secara maksimal
3. Penegakkan diagnosis:
a. Anamnesis:
1) Gejala mulai pada satu sisi
2) Tremor saat istirahat
3) Perkembangan lambat
b. Pemeriksaan penunjang:
1) MRI (ditemukan infark lakuner, atrofi cerebral, atrofi otak bagian
tengah)
2) CT scan
4. Penatalaksanaan
- Lini 1 ( levodopa dan carbidopa)
Metabolisme dan cara kerja:
a. Levodopa masuk ke neuron dopaminergik untuk mengganti fungsi
dopamine yang hilang
b. Carbidopa agonis dari levodopa atau agonis dekarboksilase
- Jika kurang dapat ditambahkan amantadin untuk membantu meningkatkan
proses sintesis
- Agonis dopamine:
7

a. D1 (Bromocriptine)
b. D2
c. D3
- Terapi pembedahan
a. Ablasi otak
b. Stimulasi otak
8

MIND MAP
9

Etologi

Penatalaksanaan
Farmakologi Faktor risiko
Non-
farmakologi

Penyakit Parkinson

Penegakkan
diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Patomekanisme
fisik
Pemeriksaan
penunjang
10

STEP 5

1. Apa saja perbedaan dari:


a. Depresi
b. Demensia
c. Delirium
2. Bagaimana metabolism obat pada pasien geriatri?
3. Apa saja prinsip pemiliha obat pada pasien geriatri?
4. Mengapa obat (antikolinergik, psikoaktif, antikoagulan, analgetik, obat
jantung, dll) harus diperhatikan atau dihindari pemakaiannya?
5. Perubahan apa saja yang terjadi pada sel otak dan neurokimia otak secara
fisiologis dan dihubungkan dengan perubahan fungsi kognitif yang terjadi?
6. Bagaimana perubahan fungsi kognitif secara patologis dan dihibungkan
dengan manifestasi klinis juga sistem tubuh lainnya?

STEP 6

Belajar mandiri

STEP 7

1. Apa saja perbedaan dari Demensia, Delirium, Depresi


A. Demensia
Demensia adalah satu penyakit yang melibatkan sel-sel otak yang mati
secara abnormal. Hanya satu terminologi yang digunakan untuk menerangkan
penyakit otak degeneratif yang progresif. Daya ingatan, pemikiran, tingkah laku
dan emosi terjejas bila mengalami demensia. Penyakit ini boleh dialami oleh
semua orang dari berbagai latar belakang pendidikan maupun kebudayaan.
Walaupun tidak terdapat sebarang rawatan untuk demensia, namun rawatan
untuk menangani gejala-gejala boleh diperolehi.

a. Klasifikasi
a) Menurut Umur:
1) Demensia senilis (>65th)
2) Demensia prasenilis (<65th)
b) Menurut perjalanan penyakit:
1) Reversibel
11

2) Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, vit


B Defisiensi, Hipotiroidisma, intoxikasi Pb.
c) Menurut kerusakan struktur otak Tipe Alzheimer Tipe non-Alzheimer
1) Demensia vascular
2) Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)
3) Demensia Lobus frontal-temporal
4) Demensia terkait dengan SIDA(HIV-AIDS)
5) Morbus Parkinson
6) Morbus Huntington
7) Morbus Pick
8) Morbus Jakob-Creutzfeldt
9) Sindrom Gerstmann-Strussler-Scheinker
10) Prion disease
11) Palsi Supranuklear progresif
12) Multiple sclerosis
13) Neurosifilis
14) Tipe campuran
d) Menurut sifat klinis:
1) Demensia proprius
2) Pseudo-demensia

b. Etiologi Demensia

Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa penyakit yang dapat


menyebabkan timbulnya gejala demensia ada sejumlah tujuh puluh lima.
Beberapa penyakit dapat disembuhkan sementara sebagian besar tidak dapat
disembuhkan. Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa
penyebab utama dari gejala demensia adalah penyakit Alzheimer, penyakit
vascular (pembuluh darah), demensia Lewy body, demensia frontotemporal
dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh penyakit lain.

Lima puluh sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah


penyakit Alzheimer. Alzhaimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak
mati sehingga membuat signal dari otak tidak dapat di transmisikan
12

sebagaimana mestinya. Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori,


kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses berpikir.

Gambar 1.1 Patomekanisme demensia alzaimer


13

c. Gejala Klinis

Ada dua tipe demensia yang paling banyak ditemukan, yaitu tipe
Alzheimer dan Vaskuler.

a) Demensia Alzheimer
Gejala klinis demensia Alzheimer merupakan kumpulan gejala
demensia akibat gangguan neuro degenaratif (penuaan saraf) yang
berlangsung progresif lambat, dimana akibat proses degenaratif
menyebabkan kematian sel-sel otak yang massif. Kematian sel-sel otak
ini baru menimbulkan gejala klinis dalam kurun waktu 30 tahun. Awalnya
ditemukan gejala mudah lupa (forgetfulness) yang menyebabkan
penderita tidak mampu menyebut kata yang benar, berlanjut dengan
kesulitan mengenal benda dan akhirnya tidak mampu menggunakan
barang-barang sekalipun yang termudah. Hal ini disebabkan adanya
gangguan kognitif sehingga timbul gejala neuropsikiatrik seperti, Wahan
(curiga, sampai menuduh ada yang mencuri barangnya), halusinasi
pendengaran atau penglihatan, agitasi (gelisah, mengacau), depresi,
gangguan tidur, nafsu makan dan gangguan aktifitas psikomotor,
berkelana. Stadium demensia Alzheimer terbagi atas 3 stadium, yaitu :
a. Stadium I
Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala
gangguan memori, berhitung dan aktifitas spontan menurun. Fungsi
memori yang terganggu adalah memori baru atau lupa hal baru yang
dialami
b. Stadium II
Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebutr stadium demensia.
Gejalanya antaralain :
a) Disorientasi
b) gangguan bahasa (afasia)
c) penderita mudah bingung
14

d) penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat


melakukan kegiatan sampai selesai, tidak mengenal anggota
keluarganya tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan sehingga
mengulanginya lagi.
e) Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan penderita mudah

tersesat di lingkungannya, depresi berat prevalensinya 15-20%.


f) Stadium III Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12
tahun.Gejala klinisnya antara lain:
1) Penderita menjadi vegetative
2) tidak bergerak dan membisu
3) daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak
mengenal keluarganya sendiri
4) tidak bisa mengendalikan buang air besar/ kecil
5) kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan ornag lain
6) kematian terjadi akibat infeksi atau trauma

b) Demensia Vaskuler
Untuk gejala klinis demensia tipe Vaskuler, disebabkan oleh
gangguan sirkulasi darah di otak. Dan setiap penyebab atau faktor resiko
stroke dapat berakibat terjadinya demensia. Depresi bisa disebabkan
karena lesi tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi darah otak, sehingga
depresi itu dapat didiuga sebagai demensia vaskuler. Gejala depresi lebih
sering dijumpai pada demensia vaskuler daripada Alzheimer. Hal ini
disebabkan karena kemampuan penilaian terhadap diri sendiri dan respos
emosi tetap stabil pada demensia vaskuler. Dibawah ini merupakan
klasifikasi penyebab demensia vaskuker, diantaranya:
1) Kelainan sebagai penyebab Demensia :
a. penyakit degenaratif
b. penyakit serebrovaskuler
c. keadaan anoksi/ cardiac arrest, gagal jantung, intioksi CO
d. trauma otak
e. infeksi (Aids, ensefalitis, sifilis)
f. Hidrosefaulus normotensive
g. Tumor primer atau metastasis
h. Autoimun, vaskulitif
i. Multiple sclerosis
j. Toksik
k. kelainan lain : Epilepsi, stress mental, heat stroke, whipple disease
15

2) Kelainan/ keadaan yang dapat menampilkan demensi


3) Gangguan psiatrik :
a. Depresi

b. Anxietas

c. Psikosis

4) Obat-obatan :
a. Psikofarmaka
b. Antiaritmia
c. Antihipertensi
5) Antikonvulsan
b. Digitalis
6) Gangguan nutrisi :
a. Defisiensi B6 (Pelagra)
b. Defisiensi B12
c. Defisiensi asam folat
d. Marchiava-bignami disease
7) Gangguan metabolisme :
a. Hiper/ hipotiroidi
b. Hiperkalsemia
c. Hiper/ hyponatremia
d. Hiopoglikemia
e. Hiperlipidemia
f. Hipercapnia
g. Gagal ginjal
h. Sindromk Cushing
i. Addisons disesse
j. Hippotituitaria
k. Efek remote penyakit kanker
8) Tanda dan Gejala Demensia
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya
perubahan kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi
aktivitas sehari-hari. Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini
adalah lansia dengan usia enam puluh lima tahun keatas. Lansia
penderita demensia tidak memperlihatkan gejala yang menonjol pada
tahap awal, mereka sebagaimana lansia pada umumnya mengalami
proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh
16

penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka atau
lupa meletakkan suatu barang.
Mereka sering kali menutup - nutupi hal tersebut dan
meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia
mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang
terdekat yang tinggal bersama, mereka merasa khawatir terhadap
penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun sekali lagi
keluarga merasa bahwa mungkin lansia kelelahan dan perlu lebih
banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah
besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua
mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa
depresi pada Lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan
lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya
penyakit lain dan biasanya akan memperparah kondisi lansia. Pada
saat ini mungkin saja lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai
berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa lansia penderita demensia
ke rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus
pemeriksaan.
Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji
oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki
kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia.
Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan
cepat, perlu waktu yang panjang sebelum memastikan seseorang
positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan
penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang
individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status
mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah
laku yang semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi
keluarga memahami dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami
17

oleh Lansia penderita demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku


pada demensia dapat memunculkan sikap empati yang sangat
dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan sabar
merawat mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang
dapat terjadi pada lansia penderita demensia di antaranya adalah
delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi
spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat
melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah,
agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal.
(Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).

Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sbb:


1. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita
demensia, lupa menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu,
bulan, tahun, tempat penderita demensia berada.
3. Penurunan dan ketidak mampuan menyusun kata menjadi kalimat
yang benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah
kondisi, mengulang kata atau cerita yang sama berkali kali.
4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat
melihat sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil
yang dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan.
Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-
perasaan tersebut muncul.
5. Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri
dan gelisah

9) Pemeriksaan Diagnostik

Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik


sebagai berikut:
18

a. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya
konfirmasi neuropatologi. Secara umum di dapatkan :
i. Atropi yang bilateral, simetris lebih menonjol pada lobus
temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital,
korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh berat
otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).

Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri


dari :
1) Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari
filament - filamen abnormal yang berisi protein neurofilamen,
ubiquine, epitoque. Densitas NFT berkolerasi dengan
beratnya demensia.
2) Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat
degenerasi nerve ending yang berisi filament - filamen
abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia.
Amiloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat
berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque ini
terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus,
korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks
motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan
auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan
perifer. densitas Senile plaque berhubungan dengan
penurunan kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT
dan senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk
penderita penyakit alzheimer.
3) Degenerasi neuron
19

Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian


neuron pada penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian
neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada neuron
piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada
hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus
serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra. Kematian sel
neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert,
dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel
serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum
dorsalis. Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada
neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi merupakan
harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.
4) Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk
oval dan dapat menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini
berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP ,
perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial,
amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks
frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan
batang otak.
5) Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang
banyak terdapat pada enterhinal, gyrus cingulate, korteks
insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis,
temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama
dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body
batang otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson.
Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari
penyakit alzheimer.
b. Pemeriksaan Neuropsikologik
20

Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan


ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif umum dan
mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi.
Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang
ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti
gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan
pengertian berbahasa.
Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi
diagnostik yang penting karena :
1) Adanya defisit kognisi: berhubungan degan demensia awal
yang dapat diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi
akibat penuaan yang normal.
2) Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif : untuk
membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan
deficit selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor
metabolik, dan gangguan psikiatri.
3) Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang
diakibatkan oleh demensia karena berbagai penyebab.
c. CT Scan dan MRI
Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk
melihat kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada
penderita Alzheimer antemortem.
i. CT Scan : Menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab
demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark dan tumor
serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel
keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat
spesifik pada penyakit ini. Penipisan substansia alba serebri dan
pembesaran ventrikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik
dan hasil pemeriksaan status mini mental.
ii. MRI : Peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan
periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel lateral).
21

Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain


didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat
pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus,
amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.
iii. MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit
alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran
(atropi) dari hipokampus.
iv. EEG. Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang
suklinis. Sedang pada penyakit alzheimer didapatka perubahan
gelombang lambat pada lobus frontalis yang non spesifik.
d. PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan :
a. Penurunan aliran darah
b. Metabolisme O2
c. Glukosa didaerah serebral
e. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Kelainan ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional
dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak
digunakan secara rutin.
f. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada
penderita alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk
menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti
pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, fungsi renal dan
hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skrining antibody yang
dilakukan secara selektif.
(Stanley, Mickey. 2002)

B. Delirium
22

Delirium adalah gangguan mental sementara, yang disebabkan oleh satu


atau lebih gangguan somatik, atau sebagai akibat dari putus obat atau
penggunaan obat-obat tertentu, yang bersifat akut dan fluktuatif.
Jadi Delirium adalah gangguan serebral akut dan bersifat sementara
dengan perjalanan yang fluktuatif, seperti ada semacam kortsluiting di otak'
yang disebabkan oleh satu atau lebih penyakit fisik atau gangguan somatik,
atau penggunaan obat-obatan atau alcohol dan putus obat.
Atau dalam definisi lainnya bahwa delirium adalah keadaan yg bersifat
sementara dan biasanya terjadi secara mendadak, dimana penderita mengalami
penurunan kemampuan dalam memusatkan perhatiannya dan menjadi linglung,
mengalami disorientasi dan tidak mampu berfikir secara jernih.
(Dewanto, George. 2009)
a. Patofisiologi
Gambaran klinis delirium bervariasi karena keterlibatan yang luas
antara kortikal dan subkortikal. Patofisiologinya secara pasti belum/ tidak
diketahui sampai sekarang, tetapi diperkirakan karena terdapat penurunan
metabolisme oksidatif otak yang menyebabkan perubahan neurotransmiter di
daerah prefrontal dan subkortikal. Dan pada sisi lain adanya kejadian
penurunan kolinergik dan peningkatan aktifitas dopaminergik. Pada
umumnya delirium tidak timbul karena satu sebab saja, tetapi karena
kombinasi antara:
1) Faktor etiologi (gangguan somatik),
2) Faktor predisposisi (risk factor), dan
3) Faktor presipitasi (faktor pencetus)
(Dewanto, George. 2009)
23

Gambar 1.2 patomekanisme delirium (Sher, 2015)


24

b. Manifestasi klinis dan perjalanan delirium


Gejala delirium datang dan pergi dan bahkan mungkin tidak ada
selama beberapa jam atau sebaliknya, Delirium dapat berkembang/ muncul
dengan cepat, dalam hitungan jam atau hari. Biasanya delirium terjadi dalam
beberapa hari dan kita bisa melihat perubahan-perubahan klinis yang
muncul seiring perjalanan hari. Gejala datang dan pergi, dan kadang-kadang
pasien dalam beberapa jam tidak menunjukkan gejala-gejala klinis. Hal ini
membuat identifikasi delirium terkadang sulit.
Tingkat kejadian dikaitkan dengan penyebabnya, pada gangguan fisik
yang tiba-tiba dan serius, seperti operasi besar akan memicu lebih cepat
munculnya delirium daripada penyebab yang muncul secara diam-diam,
seperti dehidrasi. Oleh karena itu, penting buat kita untuk mengetahui gejala-
gejala awal yang muncul atau yang pasien perlihatkan sebelum gejala pasti
delirium terjadi.
Gejala awal (prodromal symptoms) adalah gejala-gejala yang muncul
diawal sebelum delirium yang sebenarnya terjadi, seperti:

a) Perubahan perilaku

b) Sulit tidur/ insomnia

c) Kecemasan, gelisah/ restlessness

d) Mimpi buruk

e) Disorientasi ringan dan gangguan konsentrasi

f) Kesulitan dalam memahami apa yg terjadi dan dikatakan

g) Kehilangan struktur keseharian

Gangguan-gangguan penting yang sering muncul pada delirium adalah :


25

a) Gangguan kesadaran

b) Gangguan atensi/ fokus

c) Gangguan berpikir dan persepsi; paranoid/ delusi, halusinasi

d) Gangguan memori/ ingatan

e) Gangguan orientasi/ disorientasi

f) Gangguan pola tidur

g) Gangguan psykomotorik

h) Gangguan lainnya: inkontinensi, tremor, takikardi, hypertensi dan


berkeringat

(Dewanto, George. 2009)


c. Tipe/ Jenis delirium
Ada 3 tipe, yakni:
a) Bentuk aktif atau hiperaktif
b) Bentuk pasif atau hipoaktif
c) Campuran

Kita membedakan tiga jenis delirium, yang pertama adalah delirium


hiperaktif - hyperalerte dengan agitasi dan kewaspadaan yg tinggi. Yang
kedua adalah bentuk delirium hypoalerte - hipoactif, juga dikenal sebagai
"delirium diam/ apatis". Hal ini ditandai dengan apatis dan perilaku menarik
diri dan penurunan tingkat kewaspadaan. Bentuk ketiga adalah bentuk
campuran, dimana manifestasi klinisnya bergantian antara bentuk hiperaktif
dan hipoaktif satu sama lain dengan cara yang tak terduga. Bentuk ketiga ini
yang paling umum dan sering terjadi.
(Dewanto, George. 2009)
26

d. Diagnosis
Dalam men-diagnosa apakah pasien itu mengalami delirium, kriteria
yang sering digunakan adalah kriteria Diagnostic and Statictical Manual
Version IV (DSM-IV) oleh American Psychiatric Association.

a) Dalam DSM-IV, disebutkan ada 4 kriteria untuk melakukan diagnosis


delirium, yakni:
1) Gangguan kesadaran disertai dengan menurunnya kemampuan untuk
memusatkan, mempertahankan, dan merubah perhatian
2) Perubahan kognitif seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak
berkaitan dengan demensia sebelumnya, yang sedang berjalan atau
memberat
3) Perkembangan dari gangguan selama periode waktu yang singkat
(umumnya jam sampai hari) dan kecenderungan untuk berfluktuasi
dalam perjalanan hariannya
4) Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium,

bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh: kondisi medis umum,


intoksikasi, efek samping, putus obat dari suatu substansi.
(Dewanto, George. 2009)
b) CAM (Confusion Assessment Method)
Selain kriteria diagnosis berdasarkan DSM-IV, dapat juga
menggunakan algoritma The Confusion Assessment Method (CAM) dan
Delirium Observation Screening (DOS). CAM merupakan metode
standarisasi sehingga memungkinkan identifikasi delirium dengan lebih
cepat dan akurat. Berikut kriteria diagnostik delirium berdasarkan CAM,
yakni:
1) Kriteria 1. Onset akut dan adanya fluktuasi
Kriteria ini dapat didapatkan dengan anamnesis dari pihak
keluarga dengan pertanyaan: adakah perubahan status
mental/perilaku yang akut? Apakah ada perubahan (fluktuasi)
27

perilaku yang terjadi sepanjang hari? Bila terdapat fluktuasi, apakah


hilang timbul atau gradasi perbaikan dan perburukan?

2) Kriteria 2. Inatensi
Kriteria ini dapat didapatkan dengan pertanyaan: Apakah
pasien terdapat kesulitan berkosentrasi?
3) Kriteria 3. Gangguan piker
Kriteria ini dapat didapatkan dengan pertanyaan: Apakah
pasien terdapat inkoherensi dalam percakapan? Apakah terdapat
pemikiran/ ide yang tidak masuk akal?
4) Kriteria 4. Gangguan tingkat kesadaran
Kriteria ini dapat didapatkan bila pasien tersebut sering tertidur
tiba-tiba saat percakapan.
Diagnosis delirium ditegakkan dengan adanya kriteria 1 dan 2
ditambah kriteria 3 atau 4.
(Dewanto, George. 2009)

c) DOS (Delirium Observation Screening)


DOS adalah skrining instrumen yang dipakai untuk melakukan
observasi kepada pasien selama 3 hari berturut-turut, guna mendeteksi
apakah pasien tersebut menunjukkan gejala - gejala atau kriteria -
kriteria klinis delirium. DOS ini biasanya dipakai oleh para perawat
untuk mengobservasi pasien selama 24 jam untuk 3 hari berturut-turut.
DOS ini terdiri dari 13 pertanyaan yang harus diisi oleh perawat yang
melakukan observasi kepada pasien selama jadwal tugasnya (jadwal
dinasnya). Jika pasien memilki skor lebih dari 3, berarti kemungkinan
besar pasien tersebut mendapatkan delirium. Sebagai perawat, kita tidak
memiliki wewenang untuk menentukan diagnose, tetapi hasil dari
observasi kita ini, menjadi acuan buat dokter dalam menentukan apakah
pasien tersebut delirium atau tidak.

DOS (Delirium Observation Screening )


28

Skala ini terdiri dari 13 pertanyaan, yang di skor dengan YA ( 1 poin )


atau TIDAK ( 0 poin )
1) Tertidur sebentar selama percakapan atau aktivitas
2) Mudah terganggu oleh rangsangan/ stimulus dari lingkungan
sekitarnya
3) Memperhatikan/ fokus pada percakapan atau tindakan yg dilakukan
4) Bertanya atau memberikan jawaban yang tidak lengkap (belum
selesai)
5) Memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan
6) Lambat dalam merespon perintah
7) Berpikir kalau dia berada ditempat lain (orientasi tempat)
8) Menyadari bahwa dia berada di bagian hari yg mana
9) Mengingat peristiwa-peristiwa yang baru terjadi
10) Gelisah, restless, tidak bisa diam, dll
11) Menarik atau berusaha mencabut infus, kateter, dll
12) Cepat atau tiba-tiba ada perubahan emosi
13) Mendengar atau melihat hal-hal yang tidak ada
(Dewanto, George. 2009)
e. Preventif/ Pencegahan
Pencegahan primer, sebelum terjadinya delirium, merupakan strategi
paling efektif mencegah terjadinya delirium dan komplikasinya. Oleh karena
itu, identifikasi dan intervensi faktor-faktor risiko terjadinya delirium harus
dilakukan secara cermat dan secepatnya. Tindakan - tindakan pencegahan
antara lain:
a) Melakukan indentifikasi terhadap grup - grup yang berisiko
b) Menghilangkan factor - faktor risiko dan pencetus/ pemicu

Tindakan pencegahan ini bertujuan untuk:


a) Mencegah terjadinya delirium
b) Jika delirium sudah terjadi; meminimalisir efek negatifnya dan supaya
tidak berlangsung terlalu lama
c) Mengurangi dampak keparahan/ komplikasi dari delirium
29

Melalui langkah - langkah pencegahan, yaitu mengenali risiko dan jika


mungkin menghilangkan faktor risiko, delirium dapat dicegah atau mungkin
mengurangi durasi dan tingkat keparahan dari delirium tersebut. Jadi,
penting bahwa kita mengidentifikasi sejak awal mana pasien yg berpotensi
mendapatkan delirium.
(Dewanto, George. 2009)
30

Gambar 1.3 Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf.(Hazzards)

C. Depresi
Depresi adalah suatu kelainan alam perasaan berupa hilangnya minat atau
kesenangan dalam aktivitas-aktivitas yang biasa dan pada waktu yang lampau.
Rentang respon emosi individu dapat berfluktuasi dalam rentang respon emosi
dari adaptif sampai maladaptif. Respon depresi merupakan emosi yang mal
adaptif.

a. Etiologi Depresi
Etiologi dari depresi pada lansia terdiri dari: faktor psikologik,
biologik, dan sosio-budaya. Pada sebagian besar kasus, ketiga faktor ini
saling berinteraksi.
a) Faktor Psikososial
Menurut teori psikoanalitik dan psikodinamik Freud (1917) cit
Kaplan dan Sadock (1997) mengungkapkan bahwa depresi disebabkan
karena kehilangan obyek cinta kemudian individu mengadakan introyeksi
yang ambivalen dari aspek cinta tersebut. Menurut model Cognitif
Behavioural Beck (1974) cit Kaplan dan Sadock (1997), depresi terjadi
karena pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, interprestasi yang
negatif terhadap pengalaman hidup dan harapan pengalaman hidup dan
harapan yang negatif untuk masa depan.
b) Faktor Biologik
a. Disregulasi biogenik amin
Beberapa peneliti melaporkan bahwa pada penderita depresi
terdapat abnormalitas metabolitas biogenik amin (5- hydroxy
indolacetic acid, homouanilic acid, 3-methoxy-4 hydroxy
phenylglycol). Hal ini menunjukkan adanya disregulasi biogenic amin,
serotonin, dan norepineprin yang merupakan nurotransmiter paling
terkait dengan patofisiologi depresi.
b. Disreguloasi Neuroendokrin
Hipotalamus merupakan pusat pengatur aksis neuroendokrin.
Organ ini menerima input neuron yang mengandung neurotransmister
31

biologik amin. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi


neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron
yang mengandung biogenik ami.

c) Faktor Genetik
Faktor genetik memiliki kontribusi dalam terjadinya depresi.
Berdasarkan studi lapangan, studi anak kembar, dan anak angkat, serta
studi linkage terbukti adanya faktor genetik dan depresi.
d) Biokimia.
Ketidak seimbangan elektrolit tampak memainkan peranan dalam
penyakit depresif. Suatu kesalahan hasil metabolisme dalam perubahan
natrium dan kalium di dalam neuron.
Teori biokimia yang lainnya menyangkut biogenik amin
norepinefrin, dopamin, dan serotinin. Tingkatan zat - zat kimia ini
mengalami defisiensi dalam individu dengan penyakit depresif.
e) Kognitif.
Ahli teori-teori ini yakin bahwa penyakit depresif terjadi sebagai
suatu hasil dari kelainan kognitif. Kelainan proses pikir membantu
perkembangan evaluasi diri individu. Persepsi merupakan ketidak
adekuatan dan ketidak berhargaan. Pandangan untuk masa depan
merupakan suatu kepesimisan keputusasaan.
f) Teori Pembelajaran.
Teori ini mengemukakan bahwa penyakit depresif dipengaruhi oleh
keyakinan individu bahwa ada kurang kontrol atau situasi-situasi
kehidupannya. Ini dianggap bahwa keyakinan ini muncul dari
pengalaman - pengalaman yang mengakibatkan kegagalan (baik yang
dirasakan atau yang nyata). Setelah sejumlah kegagalan, individu merasa
tidak berdaya untuk berhasil dalam usaha-usaha yang keras, dan oleh
karena itu berhenti mencoba. Pembelajaran ketidak berdayaan ini
digambarkan sebagai suatu predisposisi untuk penyakit depresif.
32

g) Teori Kehilangan Objek.


Teori ini menyatakan bahwa penyakit depresif terjadi jika pribadi
tersebut terpisah dari atau ditolak orang terdekat selama 6 bulan pertama
kehidupan. Proses ikatan diputuskan, dan anak menarik diri dari orang
lain dan lingkungan.
b. Faktor Pencetus Depresi
Ada empat sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan
alam perasaan (Sundeen,Stuart,1998:260):
1) Kehilangan keterikatan, yang nyata atau yang dibayangkan, termasuk
kehilangan cinta, seseorang, fungsi fisik, kedudukan, atau harga diri.
Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep kehilangan,
maka persepsi pasien merupakan hal yang sangat penting.
2) Peristiwa besar dalam kehidupan sering dilaporkan sebagai pendahulu
episode depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah
yang dihadapi sekarang dan kemampuan menyelesaikan masalah.
3) Peran dan ketegangan peran telah dilaporkan mempengaruhi
perkembangan depresi, terutama pada wanita.
4) Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat - obatan atau berbagai
penyakit fisik, seperti infeksi, neoplasma, dan gangguan keseimbangan
metabolik, dapat mencetuskan gangguan alam perasaan.
c. Gejala Klinis
Gejala depresi pada usi lanjut sering hanya berupa apatis dan
penarikan diri dari aktifitas sosial, gangguan memori, perhatian serta
memburuknya kognitif secara nyata. Tanda disfori atau sedih yang jelas
seringkali tidak terdapat. Seringkali sukar untuk mengorek adanya
penurunan perhatian dari hal-hal yang sebelumnya disukai, penurunan nafsu
makan, aktivitas atau sukar tidur.

Depresi pada usia lanjut seringkali kurang atau tidak terdiagnosis


karena hal-hal berikut :
a) Penyakit fisik yang diderita seringkali mengacaukan gambaran depresi,
antara lain mudah lelah dan penurunan berat badan.
33

b) Golongan lanjut usia sering kali menutupi rasa sedihnya dengan justru
menunjukan bahwa dia lebih aktif.
c) Kecemasan, obsesionalitas, histeria dan hipokondria yang sering
merupakan gejala depresi justru sering menutupi depresinya. Penderita
dengan hipokondria, misalnya justru sering dimasukkan ke bangsal
Penyakit Dalam atau Bedah (misalnya karena diperlukan penelitian untuk
konstipasi dan lain sebagainya).
d) Masalah sosial yang juga di derita seringkali membuat gambaran depresi
menjadi lebih rumit.

Mengingat hal-hal tersebut diatas, maka dalam setiap asesmen geriatri


seringkali disertakan form pemeriksaan untuk depresi, yang seringkali
berupa skala depresi geriatrik (GDS) atau skala penilian (depresi) Hamilton
(Hamilton Rating Scale = HRS).

d. Patofisiologi
34

Gambar 1.4 patomekanisme depresi

e. Diagnosa
35

Kriteria DSM-III R*(1987) untuk diagnosis depresi

1) Perasaan tertekan hampir sepanjang hari


2) Secara nyata berkurang perhatian atau keinginan untuk berbagi kesenangan, atau atas semua
atau hampir semua aktivitas.
3) Berat badan turun atau naik secara nyata,atau turun atau naiknya selera makan secara nyata
4) Isomnia atau justru hipersomnia
5) Agitasi atau retardasi psikomotorik.
6) Rasa capai/lemah atau hilangnya kekuatan.
7) Perasaan tidakn berharga, rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat (seiring bersifat
delusi)
8) Hilangnya kemampuan untuk berpikir, berkosentrasi atau membuat keputusan.
9) Pikiran berulang tentang kematian (bukan sekedar takut mati), pikiran berulang untuk lakukan
bunuh diri tanpa rencana yang jelas,atau upaya bunuh diri atau rencana khusus untuk
melakukan bunuh diri. Ditambah lagi takdapat dibuktikan bahwa perasaan/ gangguan tersebut
disebabkan oleh gangguan organic. Gangguan tersebut bukan suatu reaksi normal atas
kematian seseorang yang dicintainya

Anamnesis merupakan hal yang sangat penting dalam diagnosis


depresi dan harus diarahkan pada pencarian terjadinya berbagai perubahan
dari fungsi terdahulu dan terdapatnya lima atau lebih gejala depresi mayor
seperti disebutkan pada defenisi depresi di atas. Aloanamnesis dengan
keluarga atau informan lain bisa sangat membantu.

(Hendry Irawan. 2013)

2. Bagaimana metabolism obat pada pasien geriatric :


Pada sistem pencernaan para lansia, terjadi perubahan pada peningkatan pH
lambung. Menurunnya aliran darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan
perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran cerna
36

(Supartondo 2014).
Distribusi obat berhubungan dengan komposisi tubuh, ikatan protein -
plasma, dan aliran darah organ. Semua itu akan mengalami perubahan dengan
bertambahnya usia, sehingga dosis antara pasien geriatri dan pasien yang lebih
muda akan berbeda. Pada geriatri, komposisi air dalam tubuh akan berkurang
sehingga menyebabkan penurunan volum distribusi obat yang larut air, sehingga
konsentrasi dalam plasma meningkat, contoh: digoksin. Namun pada usia lansia,
terjadi peningkatan total lemak dalam tubuh, sehingga meningkatkan Vd obat yang
larut dalam lemak namun konsntrasi obat dalam plasma menurun. Pada geriatri,
jumlah albumin plasma berkurang sehingga mengakibatkan jumlah obat yang
diikat oleh albumin menurun dan mengakibatkan obat tersebut berada dalam tubuh
dalam keadaan bebas.
(Supartondo.2014).
Ginjal berpengaruh besar pada eliminasi beberapa obat. Umumnya obat
diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya
berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga
dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan
aminoglikosida.
(Supartondo.2014).
Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke
ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan
pada orang muda.
a. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti pada geriatri ialah berkurangnya fungsi ginjal
dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit
ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat
sering berkurang, dengan akibat perpanjangan atau intensitas kerjanya. Obat
yang mempunyai waktu paruh panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil
bila efek sampingnya berbahaya. Dalam setiap keadaan kita perlu memakai
dosis lebih kecil bila dijumpai penurunan fungsi ginjal, khususnya bila
memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan
petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia memproduksi metabolit
37

aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada
lansia
(Supartondo.2014).
b. Fungsi Hati
Penurunan fungsi hati tidak sepenting penurunan fungsi ginjal. Hal ini
disebabkan karena hati memiliki kapasitas yang lebih besar, sehingga
penurunan fungsi hati tidak begitu berpengaruh. Kejenuhan metabolisme oleh
hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-
obat tertentu. First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-
binding) berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral
diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan langsung
masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan
metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat
mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian
ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang
dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberi secara
intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi
umum. Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat
yang diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang
berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif
obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping.
Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99 persen dan
hanya 1 persen merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses redistribusi
menyebabkan 1 persen ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian
diberi aspirin yang 80-90 persen diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan
warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang
akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai
antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Inipun bisa terjadi
dengan aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15 menit. Banyak
obat geser-menggeser dalam proses protein-binding bila beberapa obat diberi
38

bersamaan. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi


untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita
(Supartondo.2014).
Pasien geriatri (elderly) merupakan pasien dengan karakteristik khusus
karena terjadinya penurunan massa dan fungsi sel, jaringan, serta organ. Hal
ini menimbulkan perlu adanya perubahan gaya hidup, perbaikan kesehatan,
serta pemantauan pengobatan baik dari segi dosis maupun efek samping yang
mungkin ditimbulkan
(Supartondo.2014).
Kimble, menyatakan bahwa geriatri juga telah mengalami perubahan
dalam hal farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Perubahan
farmakokinetik yang terjadi karena adanya penurunan kemampuan absorbsi
yang disebabkan oleh perubahan dari saluran gastrointestinal, perubahan
distribusi terkait dengan penurunan cardiac output dan ikatan protein-obat,
perubahan metabolisme karena penurunan fungsi hati dan atau ginjal, serta
penurunan laju ekskresi karena terjadinya penurunan fungsi ginjal. Obat harus
berada pada tempat kerjanya dengan konsentrasi yang tepat untuk mencapai
efek terapetik yang didapatkan. Perubahan-perubahan farmakokinetik pada
pasien lanjut usia memiliki peranan penting dalam bioavailabilitas obat
tersebut (Supartondo.2014).

Proses-proses farmakokinetik obat pada usia lanjut dijelaskan pada uraian di


bawah ini :

1. Absorbsi
Penundaan pengosongan lambung, reduksi sekresi asam lambung dan
aliran darah organ absorbsi secara teoritis berpengaruh pada absorbsi itu
sendiri. Namun pada kenyataannya perubahan yang terkait pada usia ini tidak
berpengaruh secara bermakna terhadap bioavailabilitas total obat yang
diabsorbsi. Beberapa pengecualian termasuk pada digoksin dan obat dan
substansi lain (misal thiamin, kalsium, besi dan beberapa jenis gula).
(Supartondo.2014).
2. Distribusi
39

Farktor-faktor yang menentukan distribusi obat termasuk komposisi


tubuh, ikatan plasma-protein dan aliran darah organ dan lebih spesifik lagi
menuju jaringan, semuanya akan mengalami perubahan dengan bertambahnya
usia, akibatnya konsentrasi obat akan berbeda pada pasien lanjut usia jika
dibandingkan dengan pasien yang lebih muda pada pemberian dosis obat yang
sama.
(Supartondo.2014).
3. Komposisi Tubuh
Pertambahan usia dapat menyebabkan penurunan total air. Hal ini
menyebabkan terjadinya penurunan volume distribusi obat yang larut air
sehingga konsentrasi obat dalam plasma meningkat. Pertambahan usia juga
akan meningkatkan massa lemak tubuh. Hal ini akan menyebabkan volume
distribusi obat larut lemak meningkat dan konsentrasi obat dalam plasma turun
namun terjadi peningkatan durasi obat (missal golongan benzodiazepin) dari
durasi normalnya.
(Supartondo.2014).
4. Ikatan Plasma Protein
Seiring dengan pertambahan usia, albumin manusia juga akan turun.
Obat-obatan dengan sifat asam akan berikatan dengan protein albumin sehingga
menyebabkan obat bentuk bebas akan meningkat pada pasien geriatric. Saat
obat bentuk bebas berada dalam jumlah yang banyak maka akan mengakibatkan
peningkatan konsentrasi obat dalam plasma meningkat. Hal ini menyebabkan
kadar obat tersebut dapat melampaui konsentrasi toksis minimum (terlebih
untuk obat - obatan paten).
(Supartondo.2014).
5. Aliran Darah pada Organ
Penurunan aliran darah organ pada lansia akan mengakibatkan penurunan
perfusi darah. Pada pasien geriatri penurunan perfusi darah terjadi sampai
dengan 45%. Hal ini akan menyebabkan penurunan distribusi obat ke jaringan
sehingga efek obat akan menurun.
(Supartondo.2014).
6. Eliminasi
40

Metabolisme hati dan eskresi ginjal adalah mekanisme penting yang


terlibat dalam proses eliminasi. Efek dosis obat tunggal akan diperpanjang dan
pada keadaan steady state akan meningkat jika kedua mekanisme menurun
(Supartondo.2014).
7. Metabolisme hati
Substansi yang larut lemak akan dimetabolisme secara ekstensif di hati,
sehingga mengakibatkan adanya penurunan bioavaibilitas sistemik. Oleh karena
itu adanya penurunan metabolism akan meningkatkan bioavaibilitas obat. Pada
pasien geriatri adanya gangguan first past metabolism akan
meningkatkan biovaibilitaas obat.
(Supartondo.2014).
8. Eliminasi Ginjal
Penurunan aliran darah ginjal, ukuran organ, filtrasi glomerulus dan
fungsi tubuler merupakan perubahan yang terjadi dengan tingkat yang berbeda
pada pasien geriatri. Kecepatan filtrasi glomerolus menurun kurang lebih 1 %
per tahun dimulai pada usia 40 tahun. Perubahan tesebut mengakibatkan
beberapa obat dieliminasi lebih lambat pada lanjut usia. Beberapa kasus
menunjukan bahwa konsentrasi obat dalam jaringan akan meningkat sebanyak
50% akibat penurunan fungsi ginjal. Penurunan klirens kreatinin terjadi pada
dua pertiga populasi. Penting untuk diketahui bahwa penuruna klirens kreatinin
ini tidak dibarengi dengan peningkatan kadar kreatinin yang setara dalam serum
karena produksi kreatinin juga menurun seiring berkurangnya massa tubuh
dengan pertambahan usia. Akibat yang segera ditimbulkan oleh perubahan ini
adalah pemanjangan waktu-paruh banyak obat dan kemungkinan akumulasinya
dalam kadar toksik jika dosis tidak diturunkan dalam hal ukuran atau frekuensi.
Rekomendasi pemberian obat untuk para lansia sering kali mencakup batasan
dosis untuk klirens ginjal yang menurun.
(Supartondo.2014).
3. Apa saja prinsip pemilihan obat pada pasien geriatric
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur
dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk
infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi.
41

(Boedi, 2015).
Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya,
karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia
lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan
dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan (Boedi, 2015).
Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga
pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak
obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-
rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian
banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat
serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih
sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih
dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal
jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan
fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering mengganggu
lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan
pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh pengobatan
yang banyak jenisnya. (Boedi, 2015).
A. Konsep Dasar Pemakaian Obat
Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan
obat, yaitu :
a. Diagnosis dan patofisiologi penyakit
b. Kondisi organ tubuh
c. Farmakologi klinik obat
(Boedi, 2015).
Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan
obat yang diberikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta
farmakologi dari obat yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-hal
yang lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat, karena pada
golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistema tubuh
akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum
penggunaan obat pada usia lanjut :
42

1) Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada
indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang
sesungguhnya.
2) Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling
menguntungkandan tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit
lainnya.
3) Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa
diberikan pada orang dewasa yang masih muda.
4) Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan
memonitor kadar plasma pasien. Dosis penuNjang yang tepat umumnya
lebih rendah.
5) Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan
untuk memelihara kepatuhan pasien.
6) Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat
yang tidak diperlukan lagi.
(Boedi, 2015).
B. Farmakokinetik
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga
mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya
aliran darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu
pengosongan lambung dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan
tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat
seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin.
(Boedi, 2015).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam
cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin,
tetapi pada beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein),
dengan sel darah merah dan jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia
lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak dan
cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma.
Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat
lebih menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau
sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat
43

bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat
lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan
cara penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak
dipengaruhi oleh kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang
biasanya membuat obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit
yang kurang aktif atau dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat
sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan (uptake) oleh
reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya tergantung pada
kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut, penurunan aliran
darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang tinggi
terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol.
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat.
Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan
kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh
karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan
antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang,
begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus
berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi,
kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap
normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat
semacam penicilin dan litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal,
mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus.
(Boedi, 2015).
C. Interaksi Farmakokinetik
1. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya
fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat
penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan
ekskresi obat sering berkurang, sehingga memperpanjang intensitas
kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang perlu diberi dalam dosis
lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dua obat yang sering diberikan
44

kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes


dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu
diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal
besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktu paruh
panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping
terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan,
walaupun sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk
mengobati payah jantung sebagai first-line drug.
(Boedi, 2015).
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka
harus digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat
yang renal-toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut
seperti infark miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan
penurunan fungsi ginjal dan ekskresi obat.
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal,
khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit.
Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia dapat
memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi
dalam dosis lebih kecil pada lansia.
2. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar dari pada ginjal, sehingga
penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu
batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak
seperti penurunan creatinine-clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi
tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati
sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang
sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi
obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3
kali nilai normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak
dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian methylprednisolon, prednison
dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu
untuk dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal.
45

Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati
untuk metabolisme dengan obat-obat tertentu.
First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding)
berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral
diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan
langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan
melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme
ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang
kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk
yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang
diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung
masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu yang
mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada dosis
oral.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat
yang diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang
berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar
aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek
samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99
persen dan hanya 1 persen merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses
redistribusi menyebabkan 1 persen ini dipertahankan selama obat bekerja.
Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90 persen diikat oleh protein, aspirin
menggeser ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas
naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan
spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas
perdarahan. Hal ini juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-
paruh plasma hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh
secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat
membahayakan penderita.
(Boedi, 2015).
D. Farmakodinamik
46

Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler


pada lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol
pada respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya
obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas
pengaruhnya akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma bronkial
diperlukan dosis yang lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek
sampingnya akan besar juga sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan
obat-obat yang kerjanya menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya
akan terlihat bila mekanisme regulasi homeostatis melemah.
(Boedi, 2015).
E. Interaksi Farmakodinamik
Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons
reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat
menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus
dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat
nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis normal dapat
menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif
seperti klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4
mg memang terlalu besar) pada lansia.
Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia
lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu 1 adrenergic
blocker, dapat menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik
furosemide dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya.
(Boedi, 2015).

4. Mengapa obat (antikolinergik, psikoaktif, antikoagulan, analgetik, obat jantung,


dll) harus diperhatikan atau dihindari pemakaiannya?
A. Obat Susunan Saraf Pusat (Ssp)
a. Hipnotik-Sedatif
Waktu paruh benzodiazepin dan barbiturat meningkat sebesar 50-150
persen antara usia 30 dan 70 tahun. Banyak dari perubhan ini terjadi selama
dekade dari 60 sampai 70. Untuk sebagian benzoadiazepin, molekul induk
dari metabolit-metabolitnya (yang dihasilkan hati) secara farmakologis aktif.
47

Penyakit hati dan penurunan fungsi ginjal terkait usia, jika ada, ikut berperan
mengurangi eliminasi senyawa-senyawa golongan ini. Selain itu,
meningkatnya volume distribusi dilaporkan nterjadi pada sebagian obat.
Lorazepam dan oksazepam mungkin kurang terpengaruh oleh perubahan-
perubahan dibandingkan dengan bezodiazepin lainnya. Selain faktor-faktor
farmakokinetika ini, secara umum dipercayai orang bahwa berusia lanjut
juga memperlihatkan variasi sensitivitas terhadap obat hipnotik-sedatif yang
didasarkan pada faktor-faktor farmakodinamika. Di antara berbagai
toksisitas obatobat ini, ataksia dan tanda-tanda gangguan motorik lain perlu
sangat diperhatikan untuk menghindari kecelakaan.
b. Analgesik
Analgesik opoid menunjukkan perubahan bervariasi dalam
farmakokinetiknya seiring dengan usia. Namun, orang lanjut usia sering
sangat sensitif terhadap efek respiratorik obat golongan ini karena perubahan
fungsi pernapasan yang terkait usia. Karena itu, golongan obat in i perlu
digunakan secara hati-hati sampai sensitivitas pasien yang bersangkutan
dapat dievaluasi, dan pasien kemudian perlu diberikan dosis yang sesuai agar
efeknya optimal. Studi-studi menunjukkan bahwa opoid secara konsisten
kurang digunakan pada pasien yang memerlukan analgesik kuat untuk
penyakit yang menimbulkan nyeri kronik seperti kanker. Kekurangan
pemakaian obat golongan ini tidak dibenarkan khususnya dalam perawatan
pasien lanjut usia dan program penatalaksanaan nyeri yang baik mudah
ditemukan.
c. Obat Antipsikotik & Antidepresan
Obat anti psikotik tradisional (fenotiazin dan haloperidol) telah
digunakan secara luas (dan mungkin disalah gunakan) dalam
penatalaksanaan berbagai penyakit kejiwaan pada pasien lanjut usia. Tidak
diragukan lagi bahwa mereka berguna dalam penanganan skizofrenia di usia
lanjut dan juga dalam pengobatan beberapa gejala yang berkaitan dengan
delirium, demensia, agitasi, mengamuk dan sindrom paranoid yang terjadi
pada sebagian geriatrik. Namun, obat-obat ini belum sepenuhnya
48

memuaskan pada berbagai penyakit geriatrik ini dan dosis jangan


ditingkatkan berdasarkan anggapan bahwa dapat sepenuhnya terkontrol.
Banyak perbaikan yang dijumpai pada pasien dengan agitasi dan
agresif mungkin sebenarnya mencerminkan efek sedatif obat. Jika
diinginkan suatu antipsikotik sedatif, dapat digunakan suatu fenotiazin
misalnya tioridazin. Jika sedasi ingin dihindari, haloperidol atau antipsikotik
atipiukal akan lebih sesuai. Namun, haloperidol memperlihatkan
peningkatan toksisitas ekstrapiramidal dan perlu dihindari pada pasien yang
sudah mengidap penyakit ekstrapiramidal. Golongan fenotiazin khususnya
obat lama seperti kloropromazin sering menyebabkan hipotensi ortostatik
karena efek blokade adrenoseptor. Efek ini bahkan cenderung lebih nyata
pada pasien lanjut usia. Dosis obat-obat ini dimulai dengan dosis yang
diberikan pada pasien dewasa muda.
Litium sering digunakan dalam pengobatan lansia pada lanjut usia.
Karena obat ini dibersihkan oleh ginjal, dosisnya harus disesuaikan dan
kadar dalam darah dipantau. Pemakaian bersamaan dengan diuretik tiazid
akan mengurangi kebersihan litium dan perlu disertai oleh penurunan dosis
lebih lanjut dan pengukuran kadar litium darah yang lebih sering.
B. Obat Kardiovaskular
a. Obat Antihipertensi
Perubahan farmakokinetika dan menumpuknya mekanisme-
mekanisme kompensasi tetap berlaku. Karena keamanannya, terapi non-obat
(penurunan berat pada pasien obesitas dan pembatasan garam) perlu di
dorong. Tiazid adalah langkah pertama yang rasional dalam terapi obat.
Hipokalemia, hperglikemia, dan hiperurisemia yang disebabkan oleh obat
golongan ini lebih relavan pada pasien lanjut usia karena tingginya insiden
aritmia, diabetes tipe 2, dan gout pada para pasien ini. Karena, pemakaian
dosis hipertensi yang rendah bukan dosis diuretik maksimal penting
diperhatikan. Penghambat saluran kalsium efektif dan aman jika dititrasi ke
respon yang sesuai. Obat golongan ini terutama berguna pada pasien yang
mengidap angina aterosklerotik. Penghambat beta berpotensi membahayakan
pada pasien obstruksi saluran napas dan dianggap kurang berguna
49

dibandingkan penghambat saluran kalsium pada pasien lanjut usia kecuali


jika terdapat gagal jantung, inhibitor angiotensin converting enzyme juga
dianggap kurang bermanfaat pada pasien lanjut usia. Obat-obat yang paling
poten, misalnya monoksisidil jarang diperlukan. Setiap pasien yang
mendapat obat antihipertensi ortostatik karena bahaya iskemia otak dan
jatuh.
b. Obat Inotropik Positif
Gagal jantung sering terjadi terutama mematikan pada pasien lanjut
usia. Kekhawatiran akan penyakit ini mungkin merupakan salah satu alasan
mengapa dokter menggunakan glikosida jantung secara berlebihan pada
kelompok usia ini. Efek toksik digoksin terutama berbahaya pada populasi
geriatrik karena mereka lebih rentan terhadap aritmia. Bersihan digoksin
biasanya berkurang pada kelompok usia lanjut dan meskipun volume
distribusi juga sering berkurang, tetapi waktu paruh obat ini dapat meningkat
hingga 50 persen atau lebih. Karena obat ini dihasilkan terutama oleh ginjal,
fungsi ginjal perlu dipertimbangkan dalam merencang rejimen dosis. Tidak
terdapat bahwa bukti terjadi peningkatan sensitivitas farmakodinamik
terhadapa efek terapeutik glikosida jantung bahkan pada kenyataannya studi-
studi hewan menyarankan kemungkinan penurunan dalam sensitivitas
terapeutik. Di pihak lian, mungkin terdapat peningkatan sensitivitas terhadap
efek aritmogenik toksik. Hipokalemia, hipomagnesemia, hipoksemia (akibat
penyakit paru) dan aterosklerosis koronaria ikut berperan dalam tingginya
insiden aritmia imbas-digitalis pada pasien geriatrik. Toksisitas digitalis yang
lebih jarang seperti delirium, gangguan penglihatan dan kelainan endokrin
juga lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut dibandingkan yang muda.
c. Obat Antiaritmia
Pengobatan antiaritmia pada lanjut usia tidaklah mudah karena adanya
cadangan hemodinamik yang memadai, frekuensi gangguan elektrolit, dan
tingginya prevalensi penyakit koronaria yang parah. Bersihan kuinidin dan
prokainamid berkurang dan waktu paruh mereka meningkat pada usia lanjut.
Disopiramid mungkin sebaiknya dihindari pada populasi geriatrik karena
50

tosisitas utamanya efek antimuskrinik yang menyebabkan gangguan


berkemih pada pria dan efek inotropik negatif pada jantung yang
menyebabkan gagal jantung sangatlah tidak diinginkan bagi para pasien ini.
Bersihan lidokain tampaknya tidak banyak berubah tetapi waktu paruhnya
meningkat pada lanjut usia.
d. obat Antinarkoba
beberapa perubahan terkait usia ikut berperan dalam meningkatkan
insiden infeksi pada pasien lanjut tampaknya terjadi efek penurunan
pertahanan pejamu yang bermanifestasi sebagai peningkatan infeksi serius
pada kanker. Hal ini mungkin mencerminkan perubahan pada limfosit T. Di
paru, penurunan bersihan mukosiliaris dependen usia dan asap rokok
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi secra bermakana. Di saluran
kemih insiden infeksi serius sangat meningkat akibat retensi urin dan
kateterisasi pada pria.

C. Obat Anti-Inflamasi
Osteoartritis merupakan penyakit yang sangat umum pada usia lanjut.
Artritis rematoid bukan merupakan penyakit eksklusif geriatrik, tetapi obat
yang digunakan biasanya sama.
Obat ati-inflamasi non-steroid (OAINS) harus digunakan dengan sangat
hati-hati pada pasien lanjut usia karena populasi pasien ini sangat rentan
terhadap toksisitas obat golongan ini. Pada kasus aspirin, toksisitas yang
terpenting adalah iritasi dan perdarahan saluran cerna. Pada kasus ginjal, yang
mungkin ireversibel. Karena terutama dibersihkan oleh ginjal, obat golongan ini
terakumulasi lebih cepat pada pasien geriatrik dan khususnya pada pasien
fungsi ginjalnya sudah berkurang melebihi kisaran rerata untuk usia mereka.
Mudah terjadi lingkaran setan ketika penimbunan OAINS menyebabkan
kerusakan ginjal yang lebih besar yang kemudian akan memperparah
akumulasinya.
51

5. Perubahan apa saja yang terjadi pada sel otak dan neurokimia otak secara
fisiologis dan dihubungkan dengan perubahan fungsi kognitif yang terjadi?

Otak manusia mengatur dan mengkordinir, gerakan, perilaku dan fungsi


tubuh, homeostasis seperti tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh,
keseimbangan cairan, keseimbangan hormonal, mengatur emosi, ingatan, aktivitas
motorik dan lain-lain. Otak terbentuk dari dua jenis sel, yaitu glia dan neuron. Glia
berfungsi untuk menunjang dan melindungi neuron, sedangkan neuron membawa
informasi dalam bentuk pulsa listrik yang di kenal sebagai potensial aksi. Mereka
berkomunikasi dengan neuron yang lain dan keseluruh tubuh dengan mengirimkan
berbagai macam bahan kimia yang disebut neurotransmitter. Neurotransmitter ini
dikirimkan pada celah yang di kenal sebagai sinapsis. Neurotransmiter paling
mempengaruhi sikap, emosi, dan perilaku seseorang yang ada antara lain Asetil
kolin, dopamin, serotonin, epinefrin, norepinefrin. Fungsi masing masing
neurotransmiter dapat dilihat dibawah ini :

Neurotransmitter Pada Sistem Saraf Pusat

Neurotransmiter Lokasi/Fungsi Implikasinya pada


penyakit Jiwa
Sistem saraf otonom simpatis dan
Kolinergik: parasimpatis, Meningkatkan
terminal saraf presinapsis parasimpatik,
Asetil kolin terminal derajat depresi
Postsinapsis

Sistem saraf pusat : korteks serebral


hipokampus, struktur limbik, basal ganglia Menurunkan
derajat penyakit
52

Fungsi : alzeimer, korea


tidur, bangun persepsi hutington, penyakit
nyeri , pergerakan memori parkinson.

Monoamin

Norepinefrin Sistem syaraf otonom


terminal saraf post sinapsis
simpatis Menurunkan
derajat depresi
Sistem saraf pusat: talamus, sistem
limbik, hipokampus, serebelum, Meningkatkan
derajat mania,
korteks serebri
keadaan
kecemasan,
Fungsi pernafasan, pikiran,
skizofrenia.
persepsi, daya penggerak,
fungsi kardiovaskuler, tidur dan
bangun

Dopamin Frontal korteks, sistem limbik, basal Menurunkan


ganglia, talamus, hipofisis posterior, derajat penyakit
medula spinalis parkinson dan
depresi

Fungsi: pergerakan dan Meningkatkan


koordinasi, emosional, penilaian, derajat mania dan
pelepasan prolaktin skizofrenia

Serotonin Hipotalamus, talamus, sistem Menurunkan


limbik, korteks serebral, derajat depresi
serebelum, medula spinalis
Meningkatkan
Fungsi : tidur, bangun, libido,
derajat kecemasan
nafsu makan, perasaan, agresi
persepsi nyeri, koordinasi dan
penilaian

Histamin Hipotalamus Menurunkan


derajat depresi

Asam amino
53

GABA (gamma Amino Hipotalamus, hipocampus, korteks, Menurunkan


butyric acid) serebelum, basal ganglia, medula derajat korea
spinalis, retina huntington

Fungsi kemunduran aktivitas


tubuh
gangguan ansietas,
skizofrenia, dan
berbagai jenis
epilepsi

Glisin Medula spinalis, batang otak Derajat


toksik/keracunan
Fungsi: menghambat motor glycine
encephalopaty
neuron berulang
Glutamat dan aspartat Sel-sel piramid/kerucut dari korteks, Menurunkan
serebelum dan sistem sensori aferen tingkat derajat yang
primer, hipocampus, talamus, berhubungan
hipotalamus, medula spinalis dengan gerakan
motor spastik
Fungsi: menilai informasi
sensori, mengatur berbagai
motor dan reflek spinal
Neuropeptida

Endorfin dan enkefalin Hipotalamus , talamus, Modulasi aktivitas


struktur limbik dan batang dopamin oleh opiod
otak, enkedalin juga peptida dapat
ditemukan pada traktus menumpukkan
gastrointestinal berbagai ikatan
terhadap gejala
Fungsi modulasi (mengatur) skizofrenia
nyeri dan mengurangi
peristaltik (enkefalin)
Substansi P Hipotalamus struktur limbik otak Menurunkan
tengah, batang otak, talamus, basal derajat korea
ganglia, dan medula spinalis, juga hutington
ditemukan pada traktus
gastrointestinal dan kelenjar saliva

Fungsi: pengaturan nyeri


Somatostatin Menurunkan
Korteks serebral, hipokampus, derajat penyakit
54

talamus, basal ganglia, batang alzeimer


otak, medula spinalis
Meningkatkan
Fungsi: menghambat pelepasan derajat korea
norepinefrin, merangsang hutington
pelepasan serotonin, dopamin
dan asetil kolin

Fungsi Dopamin sebagai neururotransmiter kerja cepat disekresikan oleh


neuron-neuron yang berasal dari substansia nigra, neuron-neuron ini terutama
berakhir pada regio striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya sebagai
inhibisi.
Dopamin bersifat inhibisi pada beberapa area tapi juga eksitasi pada
beberapa area. Sistem norepinefrin yang bersifat eksitasi menyebar ke setiap area
otak, sementara serotonin dan dopamin terutama ke regio ganglia basalis dan
sistem serotonin ke struktur garis tengah.
Serotonin disekresikan oleh nukleus yang berasal dari rafe medial batang
otak dan berproyeksi disebahagian besar daerah otak, khususnya yang menuju
radiks dorsalis medula spinalis dan menuju hipotalamus. Serotonin bekerja sebagai
bahan penghambat jaras rasa sakit dalam medula spinalis, dan kerjanya di daerah
sistem syaraf yang lebih tinggi diduga untuk membantu pengaturan kehendak
seseorang, bahkan mungkin juga menyebabkan tidur.
Serotonin berasal dari dekarboksilasi triptofan, merupakan vasokontriksi
kuat dan perangsang kontraksi otak polos. Produksi serotonin sangat meningkat
pada karsinoid ganas penyakit yang ditandai sel-sel tumor penghasil serotonin
yang tersebar luas didalam jaringan argentafin rongga abdomen.
(Martin,David .1987:364)
Sistem respons fisiologik pada stress akut dan kronik, terdapat respon fight
and flight dimana berperan hormon epinefrin, norepinefrin dan dopamin, respon
terhadap ancaman meliputi penyesuaian perpaduan banyak proses kompleks dalam
55

organ-organ vital seperti otak, sistem kardiovaskular, otot, hati dan terlihat sedikit
pada organ kulit, gastrointestinal dan jaringan limfoid.
Sistem norepinefrn dan sistem serotonin normalnya menimbulkan dorongan
bagi sistem limbik untuk meningkatkan perasaan seseorang terhadap rasa nyaman,
menciptakan rasa bahagia, rasa puas, nafsu makan yang baik, dorongan seksual yang
sesuai, dan keseimbangan psikomotor, tapi bila terlalu banyak akan menyebabkan
serangan mania. Yang mendukung konsep ini adalah kenyataan bahwa pusat-pusat
reward dan punishment di otak pada hipotalamus dan daerah sekitarnya menerima
sejumlah besar ujung-ujung saraf dari sistem norepinefrin dan serotonin.
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang
dijumpai pada penyakit Demensia, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa
kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein
beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein prukesor amiloid (APP).
Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan
mengakibatkan rusaknya ukuran otak.
Secara maskroskopik, perubahan otak pada demensia melibatkan kerusakan
berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam
pembuluh darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologik
(structural) dan biokimia pada neuron neuron. Perubahan morfologis terdiri dari
2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi soma dan atau
akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan neurofibrilaris
yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari
protein tau. Dalam SSP, protein tau sebagian besar sebagai penghambat
pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan
komponen penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD terjadi fosforilasi
abnormal dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan pada tau
sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama sama. Tau yang
abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing
masing terluka. Dengan kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler
adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti kematian sel.
56

Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak


menyebabkan Demensia.

6. Bagaimana perubahan fungsi kognitif secara patologis dan dihibungkan dengan


manifestasi klinis juga sistem tubuh lainnya?

Otak manusia mempunyai berat 2 persen dari berat badan orang dewasa (3 pon),
menerima 20 persen curah jantung dan memerlukan 20 persen pemakaian oksigen
tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang
paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari
proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan terhadap perubahan
oksigen dan glukosa darah, aliran darah berhenti 10 detik saja sudah dapat
menghilangkan kesadaran manusia. Berhenti dalam beberapa menit, merusak
permanen otak. Hipoglikemia yang berlangsung berkepanjangan juga merusak
jaringan otak.
(Prince,Wilson, 2014).
Ketika lahir seorang bayi telah mempunyai 100 miliar sel otak yang aktif dan
900 miliar sel otak pendukung, setiap neuron mempunyai cabang hingg 10.000
cabang dendrit yang dapat membangun sejumlah satu kuadrilion koneksi.
komunikasi.perkembangan otak pada minggu-minggu pertama lahir diproduksi
250.000 neuroblast (sel saraf yang Belum matang), kecerdasan mulai berkembang
dengan terjadinya koneksi antar sel otak, tempat sel saraf bertemu disebut synapse,
makin banyak percabangan yang muncul, makin berkembanglah kecerdasan anak
tersebut, dan kecerdasan ini harus dilatih dan di stimulasi, tampa stimulasi yang baik,
potensi ini akan tersia-siakan.
(Prince,Wilson, 2014).
Otak manusia, adalah organ yang unik dan dasyat, tempat diaturnya proses
berfikir, berbahasa, kesadaran, emosi dan kepribadian, secara garis besar, otak terbagi
dalam 3 bagian besar, yaitu neokortek atau kortex serebri, system limbik dan batang
otak, yang berkerja secara simbiosis. Bila neokortex berfungsi untuk berfikir,
berhitung, memori, bahasa, maka sistek limbik berfugsi dalam mengatur emosi dan
memori emosional, dan batang otak mengarur fungsi vegetasi tubuh antara lain denyut
jantung, aliran darah, kemampuan gerak atau motorik, Ketiganya bekerja bersama
57

saling mendukung dalam waktu yang bersamaan, tapi juga dapat bekerja secara
terpisah.
(Prince, Wilson, 2014).
Otak manusia mengatur dan mengkordinir, gerakan, perilaku dan fungsi tubuh,
homeostasis seperti tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, keseimbangan cairan,
keseimbangan hormonal, mengatur emosi, ingatan, aktivitas motorik dan lain-lain.
Otak terbentuk dari dua jenis sel: yaitu glia dan neuron. Glia berfungsi untuk
menunjang dan melindungi neuron, sedangkan neuron membawa informasi dalam
bentuk pulsa listrik yang di kenal sebagai potensial aksi. Mereka berkomunikasi
dengan neuron yang lain dan keseluruh tubuh dengan mengirimkan berbagai macam
bahan kimia yang disebut neurotransmitter. Neurotransmitter ini dikirimkan pada
celah yang di kenal sebagai sinapsis. Neurotransmiter paling mempengaruhi sikap,
emosi, dan perilaku seseorang yang ada antara lain Asetil kolin, dopamin, serotonin,
epinefrin, norepinefrin.
(Prince, Wilson, 2014).
Fungsi Dopamin sebagai neururotransmiter kerja cepat disekresikan oleh
neuron-neuron yang berasal dari substansia nigra, neuron-neuron ini terutama berakhir
pada regio striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya sebagai inhibisi
(Guyton, 2014).

Dopamin bersifat inhibisi pada beberapa area tapi juga eksitasi pada beberapa
area. Sistem norepinefrin yang bersifat eksitasi menyebar ke setiap area otak,
sementara serotonin dan dopamin terutama ke regio ganglia basalis dan sistem
serotonin ke struktur garis tengah (midline).
(Guyton, 2014).
Serotonin disekresikan oleh nukleus yang berasal dari rafe medial batang otak
dan berproyeksi disebahagian besar daerah otak, khususnya yang menuju radiks
dorsalis medula spinalis dan menuju hipotalamus. Serotonin bekerja sebagai bahan
penghambat jaras rasa sakit dalam medula spinalis, dan kerjanya di daerah sistem
syaraf yang lebih tinggi diduga untuk membantu pengaturan kehendak seseorang,
bahkan mungkin juga menyebabkan tidur. (Guyton, 2014).
Serotonin berasal dari dekarboksilasi triptofan, merupakan vasokontriksi kuat
dan perangsang kontraksi otak polos. Produksi serotonin sangat meningkat pada
58

karsinoid ganas penyakit yang ditandai sel-sel tumor penghasil serotonin yang tersebar
luas didalam jaringan argentafin rongga abdomen.
(Guyton, 2014).
Sistem respons fisiologik pada stress akut dan kronik, terdapat respon fight and
flight dimana berperan hormon epinefrin, norepinefrin dan dopamin, respon terhadap
ancaman meliputi penyesuaian perpaduan banyak proses kompleks dalam organ-organ
vital seperti otak, sistem kardiovaskular, otot, hati dan terlihat sedikit pada organ kulit,
gastrointestinal dan jaringan limfoid.
(Guyton, 2014).
Sistem norepinefrn dan sistem serotonin normalnya menimbulkan dorongan
bagi sistem limbik untuk meningkatkan perasaan seseorang terhadap rasa nyaman,
menciptakan rasa bahagia, rasa puas, nafsu makan yang baik, dorongan seksual yang
sesuai, dan keseimbangan psikomotor, tapi bila terlalu banyak akan menyebabkan
serangan mania. Yang mendukung konsep ini adalah kenyataan bahwa pusat-pusat
reward dan punishment di otak pada hipotalamus dan daerah sekitarnya menerima
sejumlah besar ujung-ujung saraf dari sistem norepinefrin dan serotonin.
(Guyton, 2014).
59

Daftar Pustaka

Boedhi.Darmojo. 2015 . Buku Ajar Geriatri. Jakarta. FKUI

Guyton & Hall.2014.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.Jakarta: EGC.

Dewanto, George. (2009). Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit


Saraf. Jakarta : EGC - See more at:

Lumbantobing, Prof.DR.dr.SM. 2006. Kecerdasan Pada Usia Lanjut dan Demensia.


Jakarta : FKUI

Price, Sylvia A dan Lorraine M.2006.Patofisiologi KonsepKlinis Proses-proses


Penyakit Volume 2 Edisi 6.Jakarta:EGC.
60

Anda mungkin juga menyukai