Referat Anestesi - Terapi Oksigen
Referat Anestesi - Terapi Oksigen
Terapi Oksigen
Penyusun :
Eifraimdio Paisthalozie
11.2014.166
Dokter Pembimbing:
dr.Hari Krisdiyanto, SpAn
Pemberian oksigen terapeutik, selayaknya tetap dianggap sebagai salah satu metode
pengobatan yang bertujuan untuk mengkoreksi keadaan hipoksia pada individu. Oleh karena
pandangan oksigen sebagai suatu jenis obat, maka tentu memiliki efek samping dan risiko
toksisitas yang perlu diperhatikan, disertai dengan dosis dan rute yang berbeda untuk tiap-tiap
individunya. Keadaan hipoksia seringkali merupakan manifestasi klinis dari penyakit yang
mendasarinya, dan sekali lagi ditekankan bahwa pemberian oksigen layaknya dipandang
sebagai terapi yang bersifat simtomatik. Beberapa macam usaha sebaiknya dilakukan
sebelum memberikan terapi oksigen yang efektif, sebagai contoh keadaan obstruksi jalan
napas akan lebih buruk berespon terhadap peningkatan tekanan oksigen yang dihirup, oleh
karena itu perlu dilakukan usaha untuk mengatasi sumbatan sebelum memberi terapi oksigen.
Hipoksia yang terjadi akibat penyakit-penyakit paru pada umumnya dapat diredakan
setidaknya secara parsial oleh pemberian oksigen, sehingga dapat memberikan waktu untuk
terapi definitif agar dapat mengatasi proses primernya.
Terapi oksigen memiliki banyak efek terapeutik, selain daripada mengkoreksi keadaan
hipoksia, pemberian terapi oksigen juga dapat memberikan efek pada gas-gas inert yang ada
di dalam tubuh, salah satunya ialah nitrogen. Pemberian oksigen dalam konsentrasi tinggi,
dapat secara cepat menurunkan tekanan parsial total nitrogen dalam tubuh, dan memberikan
gradien yang substansial untuk pembuangan nitrogen dari dalam ruangan-ruangan udara ini.
Terapi oksigen dapat diberikan dalam metode yang berbeda dengan bantuan device atau alat
yang bervariasi, disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan. Metode pemberian oksigen
ini selanjutnya akan berpengaruh besar untuk memenuhi demand atau kebutuhan oksigen
individu.
Selain efek terapeutiknya, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa oksigen
memiliki toksisitas tersendiri, yang akan semakin meningkat risikonya apabila diberikan
dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Toksisitas ini akan berkorelasi kuat dengan durasi
pemberian dan dosis yang diberikan. Salah satu organ yang paling rentan terhadap risiko
toksisitas ini, tentunya ialah organ paru; sebagai organ yang paling banyak menerima pajanan
terhadap oksigen, walau tidak menutup kemungkinan adanya cidera pada organ lain. Dengan
demikian, oksigen yang diberikan secara rasional dan penuh pertimbangan selayaknya dapat
memberikan efek terapeutik yang tepat guna bagi individu yang membutuhkannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Oksigen ialah terapi rumah sakit yang paling umum diberikan. Di tahun-tahun
belakangan ini, oksigen aliran tinggi telah banyak digunakan sebagai terapi untuk kegawatan
medis dan kegawatan bedah dan sebagai bagian dari resusitasi awal. Saat ini sudah ada
pergerakan menuju tatalaksana yang lebih aman dengan terapi oksigen yang terkontrol.
Masalah-masalah yang umum ditemui pada pemberian terapi oksigen ialah kegagalan untuk
memberikan oksigen, kegagalan memeriksa analisis gas darah pada pasien yang
membutuhkan terapi oksigen, kegagalan mengamati atau mengkaji ulang pasien yang
mendapat terapi oksigen, pemberian gas lain yang tidak diperlukan di samping pemberian
oksigen, terputusnya hubungan dengan suplai oksigen, dan deplesi oksigen dalam tangki
oksigen selama pemindahan.1
Tujuan daripada terapi oksigen ialah untuk mengoptimalkan pemberian oksigen ke
jaringan dan meredakan hipoksemia dengan meningkatkan tekanan alveolar, dengan cara
mengurangi kerja pernapasan dan menurunkan kerja miokardium. Oksigen sebaiknya
diberikan dan dianggap sebagai obat dalam kondisi apapun sehingga dosisnya bervariasi
untuk tiap-tiap individu. Pemberian pulse oximetry ialah untuk memandu apakah pasien
membutuhkan oksigen suplemental sekaligus menentukan sistem aliran yang dipilih dan
kebutuhan untuk titrasinya.1,2
Mengikuti penemuan dari Joseph Priestley mengenai oksigen molekuler dan
demonstrasi pertukaran gas respiratorik oleh Lavoisier berikutnya, penggunaan dari oksigen
inhalasi di dalam tatalaksana dari sekian banyak kelainan klinisi telah berkembang dengan
sangat cepat selama periode abad ke-18. Namun, kembali kepada kritik yang kian
berkembang seiring dengan studi demonstrasinya, di bawah kondisi udara ruangan, kapasitas
pengangkutan oksigen oleh arteri yang hampir maksimal, dan lebih jauh peningkatan dari
fraksi oksigen murni tidak menghasilkan adanya keuntungan secara fisiologis. Lebih jauh di
tahun 1899, Lorrain-Smith mengkonfirmasi kecurigaan dini terhadap toksisitas potensial
oksigen inhalasi dari Priestley, Lavoisier dan yang lainnya, yang menjelaskan adanya
gangguan yang bersifat patologik oleh karena pajanan oksigen yang berlebihan. Sebagai hasil
dari pengamatan ini, dimulai dari abad ke-20, penggunaan oksigen sebagai modalitas
terapeutik mulai dipertimbangkan.3
Selama lebih dari 80 tahun, dengan peningkatan sistem pemberian oksigen, ventilasi
mekanik, unit perawatan intensif yang modern, dan pemberian oksigen jangka panjang
rumahan, oksigen telah secara luas tersedia dan mulai lebih sering diberikan. Walau dari
sekian banyak pengalaman klinis yang luas, banyak ketidaktentuan justru membatasi
penggunaan oksigen ini. Seperti pada sebagian besar obat, terdapat indikasi dan
kontraindikasi untuk terapi oksigen. Banyak konferensi-konferensi yang membentuk
konsensus dan banyak studi yang menghasilkan guideline yang cukup baik terkait dengan
kriteria penggunaan yang tepat terapi oksigen. Sayangnya, pada praktik saat ini, terapi
oksigen sering diberikan tanpa evaluasi yang teliti mengenai kemungkinan efek samping
yang ada dan supervisi yang adekuat. Pada studi retrospektif dari 90 pasien yang dirawat di
rumah sakit, terapi oksigen diberikan secara tidak pantas pada 21 persen pasien; pengamatan
tidak adekuat pada 85 persen pasien; dan dokumentasi kriteria fisiologis terminasi terapi
cenderung kurang pada 88 persen.3
Oksigen dapat diberikan sendiri, atau dalam campuran udara sebagai suplemen parsial
untuk volume tidal pasien atau volume semenit ataupun untuk sumber volume inspirasi.
Pertimbangan yang perlu dilakukan untuk memilih terapi mencakup kepatuhan pasien,
keberadaan dan tipe jalan napas artifisial, dan kebutuhan untuk humidifikasi sistem
pemberian aerosol.4
Oksigenasi Jaringan
Oksigen membentuk 21% udara, dengan tekanan parsial 21 kPa (158 mmHg) pada
tingkat ketinggian laut. Tekanan parsial memberikan difusi oksigen; lebih jauh ketika terdapat
peninggian ketinggian, maka akan mengurangi uptake dan pengiriman oksigen ke jaringan.
Seiring dengan udara yang dikirimkan ke jalan napas distal dan alveoli, tekanan oksigen akan
menurun melalui dilusi dengan karbon dioksida, penguapan air dan oleh uptake darah. Di
bawah kondisi yang ideal, ketika ventilasi dan perfusi cocok, pO 2 alveolar akan setara dengan
14,6 kPa (110 mmHg). Tekanan parsial alveolar yang berkorespondensi dengan air dan
karbondioksida ialah sekitar 6,2 kPa (47 mmHg) dan 5,3 kPa (40 mmHg). Di bawah kondisi
yang normal, terdapat ekuilibrasi komplit udara alevolar dan darah kapiler. Pada beberapa
penyakit, barrier difusi untuk transpor udara mungkin meningkat, selama olahraga, ketika
volume sekuncupnya tinggi maka akan mengurangi waktu transit kapiler, ekuilibrasi penuh
mungkin tidak terjadi, dan gradien pO2 kapiler akhir alveolar mungkin meningkat.5
Oksigen yang dikirim ke kapiler jaringan oleh sirkulasi akan mengikuti gradien keluar
darah dan ke dalam sel. Ekstraksi jaringan oleh oksigen akan secara khas mengurangi pO 2
darah vena, sekitar 7,3 kPa (55 mHg).5
Di dalam darah, oksigen dibawa secara utama oleh hemoglobin dan ada sedikit
perluasan kecil akan terlarut di dalam cairan. Kuantitas oksigen yang terkombinasi
hemoglobin tergantung pada tekanan oksigen. Hemoglobin sekitar 98% tersaturasi dengan
oksigen ketika udara dihirup di bawah keadaan normal, dan akan berikatan dengan 1,3 mL
oksigen per gram ketika tersaturasi penuh. Peningkatan lebih jauh konten oksigen darah dapat
terjadi hanya dengan meningkatkan jumlah oksigen yang terlarut plasma. Oleh karena
solubilitas oksigen yang rendah, bernapas 100% oksigen dapat meningkatkan jumlah oksigen
yang terlarut di dalam darah hanya 15 mL/L, yang mana kurang dari sepertiga kebutuhan
metabolisme normal. Namun, bila tekanan oksigen inspirasi ditingkatkan dari 3 atm (304
kPa) pada ruangan hiperbarik, jumlah oksigen yang terlarut akan cukup untuk mencukup
kebutuhan metabolik normal bahkan bila dengan ketiadaan hemoglobin.5
Basis fisiologis dari terapi oksigen telah didokumentasikan dengan baik selama lebih
dari 40 tahun. Tatalaksana dan pencegahan hipoksemia arterial ialah indikasi sebagian besar
dari terapi oksigen, tujuan utamanya ialah penggunaannya untuk koreksi dan mencegah
hipoksia jaringan. Pada tahun 1965, Chance mendokumentasikan pertama kali bahwa tekanan
parsial oksigen (PO2) di dalam mitokondria yang berkisar antara 18 mmHg atau lebih,
dibutuhkan untuk melepaskan ikatan fosfat berenergi tinggi (sebagai adenosin trifosfat) yang
bersifat esensial untuk semua fungsi biokimia sel besar. Rata-rata dewasa mengkonsumsi
sekitar 225 hingga 250 ml oksigen per menit, taraf konsumsi ini dapat meningkat sampai
sebanyak 10 kali lipat selama beraktivitas. Pemahaman yang lengkap mengenai konsep
pemberian oksigen ini dan utilisasinya dibutuhkan untuk pengkajian secara hati-hati pasien
hipoksik dan implementasinya untuk terapi yang pantas.3-5
Inhalasi Oksigen
Inhalasi oksigen digunakan utamanya untuk membalikkan atau mencegah
perkembangan hipoksia. Namun, ketika oksigen dihirup pada jumlah yang berlebih atau pada
periode yang berkepanjangan, perubahan fisiologikal sekunder dapat berubah dan efek toksik
dapat terjadi.3
Sistem respiratorik. Inhalasi oksigen pada 1 atm atau di atasnya dapat menyebabkan
depresi ringan pernapasan pada pasien normal, dimungkinkan oleh karena hilangnya tonus
aktivitas kemoreseptor. Namun, ventilasi secara khas dapat meningkat dalam kurun waktu
beberapa menit setelah inhalasi oksigen oleh karena peningkatan paradoksikal karbon
dioksida di dalam jaringan, hasilnya ialah peningkatan oksihemoglobin di dalam darah vena,
yang dapat menyebabkan proses pembuangan karbondioksida yang berkurang efektifitasnya
dari jaringan.3
Pada sebagian kecil pasien, yang pusat pernapasannya terdepresi oleh retensi jangka
panjang karbon dioksida, cidera atau obat-obatan, maka ventilasi dijaga oleh stimulasi karotis
dan kemoreseptor aortik, yang secara khas disebut sebagai hypoxic drive. Pemberian oksigen
dalam jumlah banyak dapat mendepresi dorongan ini, yang menyebabkan asidosis
respiratorik. Pada kasus-kasus ini, oksigen suplemental sebaiknya dititrasi dengan teliti,
untuk memastikan saturasi arterial yang adekuat. Bila terjadi hipoventilasi, bantuan ventilator
mekanik dengan atau intubasi trakeal sebaiknya diberikan. Ekspansi alveoli yang terventilasi,
secara buruk dijaga oleh konten nitrogen dari udara alveolar. Nitrogen larut secara buruk dan
sehingga akan tersisa pada ruangan udara sedangkan oksigen akan diserap. Konsentrasi
oksigen yang diberikan pada regio paru yang terventilasi buruk, akan mendilusikan konten
nitrogen dan dapat menyebabkan atelektasis absorpsi, sehingga akan menghasilkan
peningkatan pirau dan perburukan paradoksikal setelah periode pemberian oksigen.3
Sistem kardiovaskuler. Di samping membalikkan efek hipoksia, konsekuensi
fisiologis inhalasi oksigen pada sistem kardiovaskuler memiliki signifikansi kecil. Frekuensi
jantung dan volume sekuncup akan sedikit berkurang, tekanan darah akan berubah sedikit.
Sedangkan, tekanan arterial pulmonal akan berubah sedikit pada subjek normal dengan
inhalasi oksigen, peningkatan tekanan arteri pulmonal pada pasien yang tinggal di ketinggian
tinggi yang memiliki hipertensi pulmoner hipoksik kronik dapat dibalikkan dengan terapi
oksigen atau ketika kembali ke permukaan laut. Pada neonatus dengan penyakit jantung
kongenital atau pirau kiri ke kanan, suplementasi oksigen harus diregulasi dengan teliti oleh
karena risiko mengurangi resistensi vaskuler pulmonal dan meningkatkan aliran darah
pulmoner.3-5
Pemberian Oksigen dan Utilisasi
Transpor oksigen dari udara atmosferik ke mitokondria jaringan membutuhkan fungsi
yang terintegrasi dari fungsi pulmoner, kardiovaskuler, dan sistem hematologik. Hipoksia
jaringan akan terjadi manakala pemberian oksigen tidak adekuat dan tidak mencukupi
kebutuhan metabolik. Pemberian oksigen ke jaringan perifer ditentukan oleh 2 faktor besar
(1) konten oksigen darah arterial dan (2) aliran darah (misalnya volume sekuncup).
Pengiriman oksigen dikalkulasi sebagai produk volume sekuncup dan konten oksigen arterial.
Pengiriman oksigen dihitung sebagai produk dari cardiac output dan arterial oxygen content.
Total oxygen delivery dikalkulasi sebagai:
Mekanisme Hipoksia
Metabolisme aerobik membutuhkan keseimbangan antara pengiriman oksigen (DO 2)
dan utilisasi oksigen (VO2). Hubungan bifasik antara DO2 dan VO2 dijelaskan pada gambar.
Selama metabolisme aerobik normal, transpor oksigen dan utilisasi oksigen ialah variabel
independen, sedangkan jumlah oksigen yang dikirimkan ke jaringan per satuan waktu
didefinisikan sebagai batas atas ketersediaan oksigen untuk kebutuhan metabolik total tubuh,
pengiriman oksigen di bawah kondisi normal selalu melebihi utilisasi oksigen perifer. Pada
daerah grafik supply-independent, konsumsi oksigen diukur dengan tingkat produksi
adenosin-5-trifosfat (ATP) dan mewakili pengukuran dari kebutuhan energi jaringan. Bila
pengiriman oksigen jatuh dalam ambang batas kritis (DO 2 kritis), atau bila utilisasi melebihi
pengiriman (misal selama olahraga yang berlebihan), jaringan harus berganti dari
metabolisme aerobik ke metabolisme anaerobik. Ketika terjadi imbalans, produksi asam
laktat yang berlebihan terjadi, sehingga akan menyebabkan asidosis, metabolisme sel yang
terganggu, dan secara potensial dapat menyebabkan kematian sel. Sebab-sebab utama dari
hipoksia jaringan yang secara mekanik dibagi menjadi 3 kategori besar (1) hipoksemia
arterial, (2) pengiriman oksigen yang berkurang, dan (3) utilisasi jaringan yang disfungsional
dan berlebihan. Pengaturan dari oksigenasi jaringan tergantung integrasi yang wajar dari 3
komponen terpisah (1) sistem kardiovaskuler, yang menentukan volume sekuncup dan
distribusi aliran darah; (2) darah, yang menentukan konsentrasi hemoglobin, dan (3) sistem
respiratorik, yang menentukan PaO2. Walaupun sebab hipoksemia secara utama
mencerminkan kegagalan loading oksigen dalam darah (PaO2 yang rendah) oleh karena
fungsi abnormal dari sistem respiratorik, defek pada transpor oksigen juga akhirnya dapat
menyebabkan disfungsi sistem kardiovaskuler atau hematologik. Pada akhirnya, penggunaan
yang salah dari oksigen yang telah dikirimkan, akan menyebabkan defek pada metabolisme
seluler, atau demand yang semakin bertambah.
BAB III
PENUTUP
Terapi oksigen ialah terapi yang bermanfaat dalam mengatasi hipoksia pada beberapa
kasus, dan dapat diaplikasikan dalam kondisi akut maupun kondisi kronik, perannya dalam
keadaan kegawatan cukup fundamental. Tanda-tanda hipoksia dini seringkali sulit untuk
dideteksi oleh karena itu diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang diharapkan berguna
untuk menilai keadaan hipoksemia pasien, salah satunya ialah aplikasi pulse oximetry.
Pemberian terapi oksigen yang tepat, baik tepat dari segi metode, tepat dari segi dosis, dan
tepat dari segi durasi diharapkan dapat membantu memaksimalkan efek terapeutik yang
dimiliki oleh oksigen. Oksigen selayaknya dipandang sama seperti obat-obatan pada
umumnya, yang memiliki indikasi pemberian, efek samping dan risiko toksisitas.
Pertimbangan untuk memberi terapi oksigen juga memerlukan pertimbangan untuk
menghentikan dan menurunkan konsentrasi oksigen murni yang diberikan secara berkala.
Sehingga, penting untuk mengetahui batasan-batasan yang diperlukan bagi seorang klinisi
dalam memberikan terapi oksigen ini. Pemberian terapi oksigen sebaiknya bersifat rasional
dan efektif, sehingga dapat meminimalkan efek samping dan risiko toksisitas yang mungkin
terjadi ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wyatt JP, Illingworth RN, Graham CA, Hogg K. Oxford handbook of emergency
medicine. 4th ed. New York: Oxford University Press; 2012.p.95.
2. Singh CP, Singh N, Singh J, Brar GK, Singh G. Oxygen therapy. Indian Academy of
Clinical Medicine 2001;2(3):178-84.
3. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI. Fishmans
pulmonary disease and disorders. 4th ed. New York: McGraw-Hill Medica;
2008.p.2613-30.
4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & mikhails clinical
anesthesiology. New York: McGraw-Hill Education; 2013.p.1282-88.
5. Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman & gilmans: manual of
pharmacology of therapeutics. New York: McGraw-Hill; 2008.p.253-8.