BRONKOPNEMONIA
Disusun Oleh:
Cindy Belinda S.
030.12.057
Pembimbing:
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Bronkopnemonia
Disusun oleh :
Cindy Belinda S
030.12.057
Selaku dokter pembimbing Departemen Ilmu Penyakit Anak RSUD Budhi Asih
Mengetahui,
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul
"Bronkopnemonia" dengan baik dan tepat waktu. Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi
persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan kepaniteraan klinik ilmu penyakit anak di RSUD
Budhi Asih.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Daniel Effendi, Sp. A
sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan, arahan, serta motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada keluarga dan rekan-rekan sejawat yang telah memberikan dukungan, saran, dan kritik
yang membangun. Keberhasilan penyusunan laporan kasus ini tidak akan tercapai tanpa adanya
bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak-pihak tersebut.
Cindy Belinda S
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................................2
KATA PENGANTAR......................................................................................................................3
DAFTAR ISI....................................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................5
BAB II KASUS................................................................................................................................6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................29
A. DEFINISI..............................................................................................................................29
B. EPIDEMOLOGI....................................................................................................................29
C. ETIOLOGI.............................................................................................................................30
D. PATOFISIOLOGI..................................................................................................................32
E. DIAGNOSIS..........................................................................................................................34
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG...........................................................................................35
G. PENATALAKSANAAN.......................................................................................................37
H. KOMPLIKASI......................................................................................................................42
I. PROGNOSIS..........................................................................................................................43
BAB IV PEMBAHASAN KASUS...............................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................46
4
BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia merupakan penyebab 1 dari 5 kematian anak berusia dibawah 5 tahun (balita) di
dunia dengan tingkat mortalitas lebih dari dua juta anak per tahunnya. 1Sekitar 156 juta kasus
pneumonia pada anak ditemukan setiap tahunnya dengan 151 juta kasus dilaporkan dari negara
berkembang, antara lain India (43 juta), Cina (21 juta), Pakistan (10 juta), dan Bangladesh,
Indonesia, dan Nigeria (6 juta per negara).2Anak dengan pneumonia dapat memiliki gejala yang
beragam tergantung faktor resiko, umur, dan etiologi dari infeksinya, namun 7-13% dari seluruh
kasus pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia) mengancam nyawa dan
membutuhkan perawatan di rumah sakit.1,2
Penyakit yang secara spesifik menyerang jaringan parenkim paru ini umum ditemukan di
praktik klinik sehari-hari dan biasanya dapat didiagnosis secara klinis dengan adanya takipnea
(napas cepat), demam, dan batuk. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan
radiologi memiliki peran dalam mempertegas diagnosis pneumonia, dan memberikan gambaran
terhadap lokasi infeksi dan kemungkinan dari penyebabnya. Membedakan pneumonia bakterial
dengan viral sangat sulit, namun terdapat literatur yang yang memberikan pedoman bahwa
pneumonia bakterial awitannya cepat, batuknya produktif, pasien tampak toksik, leukositosis,
dan terdapat perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis.3,4
Pneumonia tetap merupakan penyebab kematian anak paling utama di dunia, meskipun
telah tersedia intervensi yang sederhana, aman, efektif, dan tidak mahal untuk menanggulangi
pneumonia. Antibiotik sebagai pengobatan yang direkomendasikan menjangkau sangat sedikit
anak yaitu kurang dari 20% anak yang terdiagnosis dengan pneumonia. Para peneliti menyatakan
apabila pemberian antibiotik ditingkatkan, maka sekitar 600.000 nyawa dapat diselamatkan per
tahunnya. Terapi preventif meliputi pemberian vaksinasi, nutrisi adekuat, ASI (Air Susu Ibu)
eksklusif .1
5
BAB II
KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AS
Agama : Islam
Pendidikan :-
6
ORANG TUA/ WALI
Ayah Ibu
Umur : 32 Umur : 28
I. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien di bangsal Dahlia timur pada tanggal 4
April 2017.
Keluhan tambahan : Batuk dan pilek sejak 1 minggu sebelum masuk RS.
7
terlihat sesak, pasien mengalami batuk dan pilek sejak 1 minggu sebelum masuk RS,
batuk yang awalnya kering namun sekarang seperti berdahak namun sulit keluar, selain
itu pilek dengan cairan ingus yang berwarna bening, Demam juga dirasakan sejak 1
minggu sebelum masuk RS bersamaan dengan keluhan batuk. Demam muncul dengan
suhu tidak terlalu tinggi dan hilang timbul, kejang dan mengigil disangkal. Tidak ada
riwayat tersedak selumnya. Ibu pasien juga mengatakan tidak ada keluhan dalam buang
air besar maupun buang air kecil. Pasien sempat berobatke RSCM namun tidak dirawat
inap dengan alasan tidak mendapat ruangan kamar inap. Sebelum ke RSCM pasien juga
sudah berobat ke puskesmas dan diberikan obat-obat, namun batuk tidak dirasakan
membaik. Pasien baru pertama kali mengalami sesak selama ini dan tidak ada anggota
keluarga pasien yang mengalami hal serupa. Adanya kontak dengan penderita TBC
disangkal oleh ibu pasien.
B. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien belum pernah mengalami
penyakit yang sama sebelumnya.
8
paru (-), merokok (-), infeksi (-), minum
alkohol (-)
Sectio caesarea
Cara persalinan
Penyulit : Chepalopelvic disproportion
Kuning (-)
Kesimpulan riwayat kehamilan/ persalinan :.Pasien lahir section caesarea atas indikasi
chepalopelvic disproportion, cukup bulan, berat badan lahir cukup.
D. Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi I : 8 bulan (Normal: 5-9 bulan)
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
9
Psikomotor :
o Tengkurap : 4 bulan (Normal: 3-4 bulan)
o Duduk : 7 bulan (Normal: 6-9 bulan)
o Berdiri : 11 bulan (Normal: 9-12 bulan)
o Berjalan : 14 bulan (Normal: 12-18 bulan)
o Bicara : 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Perkembangan pubertas : Belum mengalami masa pubertas
E. Riwayat Makanan
Umur
ASI/PASI Buah/ Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
02 ASI - - -
24 ASI - - -
46 ASI - - -
68 ASI + + -
8 10 ASI + + +
10 -12 ASI + + +
F. Riwayat Imunisasi
Hepatitis + - - - - -
10
B
DPT - - - - - -
Polio + - - - - -
BCG + - - - - -
Campak - - - - - -
MMR - - - - - -
G. Riwayat Keluarga
a. Corak Reproduksi
b. Riwayat Pernikahan
Ayah Ibu
Perkawinan ke- 1 1
11
Agama Islam Islam
Kosanguinitas - -
Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang menderita gejala atau penyakit yang sama
seperti yang dialami oleh pasien. Tidak ada yang mengalami sesak atau batuk lama.
H. Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tua. Rumah merupakan rumah sewaan, satu
lantai, beratap genteng, berlantai keramik, dan berdinding tembok. Ventilasi dan
pencahayaan baik. Sumber air bersih dariair tanah. Air yang dikonsumsi direbus hingga
mendidih. Rumah pasien terletak di kawasan penduduk yang padat, rumah berdempet-
dempetan.
I. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
KEADAAN UMUM
12
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
DATA ANTROPOMETRI
Tinggi Badan : 67 cm
Lingkar Kepala : 46 cm
STATUS GIZI
BB / U = 6,9/11 x 100% = 63 %
TB/U = 67/79 x 100% = 84%
BB/TB = 6,9/7,8 x 100% = 89%
Kesimpulan status gizi: Dari ketiga parameter yang digunakan diatas didapatkan kesan
gizi kurang.
TANDA VITAL
Nadi : 121 x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Pernapasan : 48 x/ menit
Suhu : 38o C
WAJAH : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut
13
MATA:
TELINGA :
HIDUNG :
BIBIR: Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-), pucat (-)
MULUT:
Trismus (-), oral hygiene cukup baik, halitosis (-), mukosa gusi berwarna merah muda,
14
mukosa pipi berwarna merah muda, arcus palatum simetris dengan mukosa palatum
Lidah : Normoglosia, pucat (-), ulkus (-), hiperemis (-) massa (-), atrofi papil (-), coated
tongue (-).
TENGGOROKAN:
Dinding posterior faring tidak hiperemis, uvula terletak di tengah, ukuran tonsil T1/T1
LEHER:
- Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB, tidak
tampak deviasi trakea.
- Tidak teraba pembesaran KGB submandibula, konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan.
THORAKS :
JANTUNG
15
PARU
Inspeksi
Retraksi substernal (+), subcostal (+), intercostall (+),bentuk thoraks simetris pada
saat statis dan dinamis, tidak ada pernafasan yang tertinggal.
Palpasi
Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vocal fremitus
teraba simetris pada kedua hemithoraks.
Perkusi
Auskultasi
Suara napas vesikuler, ronkhi (+/+) di kedua lapang paru, wheezing (-), stridor (-)
ABDOMEN :
Inspeksi :
Warna kulit sawo matang, ruam (-), kulit keriput (-), umbilikus normal, gerak dinding
perut saat pernapasan simetris, gerakan peristaltik (-)
Palpasi :
16
Ginjal : Ballotement -/-
ANOGENITALIA:
KGB :
EKSTREMITAS:
Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan kaki, serta sikap
badan, tidak terdapat keterbatasan gerak sendi, akral hangat pada keempat ekstremitas,
sianosis (-), edema (-), capillary refill time<2 detik.
17
Kaki Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain Edema (-) Edema (-)
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
18
Foto Thorax
Deskripsi :
19
Kesimpulan :
K. RESUME
Seorang bayi laki-laki berusia 1 tahun 2 bulan dibawa oleh kedua orang tua nya ke UGD
RSUD Budi Asihdengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit, sesak nafas muncul secara tiba-tiba, sesak terus menerus dan pasien sulit
tidur karena sesak, sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas, posisi, bibir biru tidak ada, dan
suara mengik juga disangkal. Pasien juga mengalami batuk dan pilek sejak 1 minggu
yang lalu sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak namun sulit keluar, selain itu pilek
dengan cairan ingus yang berwarna bening,Demam juga dirasakan sejak 1 minggu
sebelum masuk RS, demam muncul dengan suhu tidak terlalu tinggi dan hilang timbul,
kejang dan mengigil disangkal. Pasien baru pertama kali mengalami sesak selama ini dan
tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami hal serupa. Riwayat imunisasi dasar
belum lengkap sampai saat ini. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos
mentis dengan keadaan umum tampak sakit sedang,gizi kurang dan pernapasan
48x/menit, suhu 380c, Pada inspeksi hidung sekret +/+ berwarna bening, Napas cuping
hidung (+), retraksi substernal (+), subcostal (+), intercostal (+). Ronki +/+ dikedua
lapang paru. Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan leukositosis (19,400
ribu/L). Pada pemeriksaan foto thorax PA ditemukan gambaran infiltrat difus di kedua
lapang paru.
L. DIAGNOSIS BANDING
Bronkopnemonia
Bronkiolitis
Asma
20
M. DIAGNOSIS KERJA
Bronkopnemonia
N. TATALAKSANA
O. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
P. FOLLOW UP
Hari
ke- Tanggal Keterangan
1 1/04/2017 S. Sesak (+), Batuk berdahak (+) warna putih kental ,
21
demam (+)
O. KU: sakit sedang, K: compos mentis, TTV: Suhu=
37,8C, Nafas= 40x/menit, Nadi = 120x/menit
Nafas Cuping Hidung (+)
Ambroxol 3x 3,5 mg
CTM 3x 0,65
Salbutamol 3x 0,3 mg
22
Leukosit 11.8 ribu/L 5.5-15.5 ribu/ L
Trombosit 469 ribu/L 217-497ribu/ L
MCV 81,9 fL 73-101 fL
MCH 25,7 Pg 23-31 pg
MCHC 31,3 g/dL 26-34 g/ dL
RDW 12,7 % <14%
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0-1%
Eosinofil 1 % 15%
Netrofil Batang 3 % 36%
Netrofil Segmen 45 % 25 60 %
Limfosit 42 % 25 50 %
Monosit 9 % 16%
23
Dexamethasone 3x 1,5 mg I.V
Ambroxol 3x 3,5 mg
CTM 3x 0,65
Salbutamol 3x 0,3 mg
3 3/04/2017 S. Sesak (-), Batuk (+), demam (-),BAB cair 1x ampas (+)
O. KU: sakit sedang, K: compos mentis, TTV: Suhu=
36,9C, Nafas= 36x/menit, Nadi = 116x/menit
Nafas Cuping Hidung (-)
Ambroxol 3x 3,5 mg
CTM 3x 0,65
Salbutamol 3x 0,3 mg
Theophylin 3x 10 mg
24
O. KU: sakit sedang, K: compos mentis, TTV: Suhu=
36,7C, Nafas= 32x/menit, Nadi = 118x/menit
Nafas Cuping Hidung (-)
Ambroxol 3x 3,5 mg
CTM 3x 0,65
Salbutamol 3x 0,3 mg
Theophylin 3x 10 mg
25
MCHC 33,5 g/dL 26-34 g/ dL
RDW 15 % <14%
Ambroxol 3x 3,5 mg
CTM 3x 0,65
Salbutamol 3x 0,3 mg
Theophylin 3x 10 mg
26
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Bronkopneumonia yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terfokus pada daerah
bronkiolus dan memicu produksi eksudat mukopurulen yang dapat mengakibatkan obstruksi
saluran respiratori berkaliber kecil dan menyebabkan konsolidasi yang merata ke lobulus yang
berdekatan, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.5
B. EPIDEMIOLOGI
Pneumonia merupakan penyebab 1 dari 5 kematian anak berusia dibawah 5 tahun (balita) di
dunia dengan tingkat mortalitas lebih dari dua juta anak per tahunnya. 1Sekitar 156 juta kasus
pneumonia pada anak ditemukan setiap tahunnya dengan 151 juta kasus dilaporkan dari negara
berkembang, antara lain India (43 juta), Cina (21 juta), Pakistan (10 juta), dan Bangladesh,
Indonesia, dan Nigeria (6 juta per negara).2 Di Indonesia dari tahun ke tahun pneumonia selalui
menduduki peringkat atas penyebab kematian bayi dan anak balita di Indonesia. Menurut
riskesdas 2007 pnemonia merupakan penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% diantara
semua balita).6 Dan selalu berada pada daftar 10 enyakit terbesar setiap tahunnya difasilitas
kesehatan. Diperkirakan lebih dari 4 juta kematian setiap tahun di Negara berkembang
disebabkan infeksi respiratori akut. Faktor risiko untuk infeksi respiratori bawah termasu refluks
gastroesofageal, gangguan system neurologi (aspirasi), kondisi imunokompromais, abnormalitas
anatomis system respiratori, penghuni fasilitas perawatan umtuk anak cacat, dan saat dalam
27
perawatan dirumah sakit, terutama dibagian perawatan intensif (ICU) ataupun sedang menjalani
prosedur tindakan invasif. 5
C. ETIOLOGI
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus Sitomegalo
28
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe B
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Virus Varisela-Zoster
D. PATOFISIOLOGI
29
pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus.
Streptococcus pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn.
Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh
alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin
yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena
menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada
atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)
30
3. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru
yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan
terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih
tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-
sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
strukturnya semula.
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau penyebaran langsung
kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari bakterimia
atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari
sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
31
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan,
maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit.7
E. DIAGNOSIS
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa
hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai >380C. Anak sangat gelisah, dispneu, pernafasan
cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.
Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa
hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Penilaian keadan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan pada saat awal
pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain dapat menyebabkan anak gelisah atau rewel.
Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan makan/minum.
Gejala distres pernapasan seperti takipneu, retraksi otot subkosta, epigastrik, interkostal,
suprasternal, batuk, krepitasi, pernapasan cuping hidung, dan penurunan suara paru..12
Pnemonia atipikal pada bayi kecil ditandai oleh gejala yang khas seperti takipneu,batuk, ronki
kering (creackles) pada pemeriksaan auskultasi, dan seringkali ditemukan bersamaan dengan
timbulnya konjungtivitis chlamydial.
32
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas normal atau sedikit
meningkat. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-
40.000/mm3 dengan predominan PMN. Pada infeksi Chlamydia kadang ditemukan eosinofilia.
Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara
umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi
virus dan bakteri secara pasti.8,9,11
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi
dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar
CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus. CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons
terhadap terapi antibiotik.13,16Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang
pemeriksaan radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan
nilai CRP 120 mg/l dan prokalsitonin 5 ng/ml.
c. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik seperti kultur dan pewarnaan gram untuk diagnosis pneumonia anak
tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang positif.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan
dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.
d. Pemeriksaan serologis
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai
sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat
33
dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau
antiDNAse B. Uji serologik IgM dan IgG antara fase akut dan konvalesen pada anak dengan
infeksi pneumonia oleh Chlamydia pneumonia dan Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang
memuaskan tetapi tidak bermakna pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan
yang cepat.
Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi antigen visrus dengan
atau tanpa kultur virus jika fasilitas tersedia.
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis utama pneumonia.
Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya direkomendasikan pada pneumonia
berat yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara
pernafasan. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan
gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP, tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks
tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.
Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa bercak-
bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan
corakan peribronkial.
34
Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus. Tetapi gambaran
foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi. Penebalan
peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus.
Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumoni dan air bronchogram
sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.10,11
G. PENATALAKSANAAN
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi subkosta untuk
mengklasifikasikan pneumonia di Negara berkembang. Namun demikian, kriteria tersebut
mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala
malaria.8
Pneumonia sangat berat: tidak mau menetek/minum, kejang, letargis, demam atau
hipotermia, bradipneu atau pernapasan ireguler
Bayi:
35
Saturasi oksigen 92%, sianosis
Anak:
Distress pernapasan
Grunting
Tatalaksana Umum:
Pasien dengan saturasi oksigen 92% pada saat bernapas dengan udara kamar harus diterapi
oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen
>92%.8
Pada pneumonia berat atau asupan peroral kurang, diberikan cairan intravena dan lakukan
balans cairan ketat
Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan pneumonia
Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan dan mengkontrol batuk
36
Nebulisasi dengan 2 agonis dan atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki mucocilliary
clearance
Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya 4 jam sekali, termasuk
pemeriksaan saturasi oksigen
Pemberian antibiotik:8
Amoksisilin merupakan pilihan utama untuk antibiotik oral pada anak <5 tahun karena
efektif melawan sebagian besar pathogen yang menyebabkan pneumonia pada anak,
ditoleransi dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor, eritromisin,
claritromisin, dan azitromisin
Mycoplasma pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotik
golongan makrolid diberikan sebagai pilihan utama secara empiris pada anak 5 tahun
Amoksisilin diberikan sebagai pilihan utama jika Streptococcus pneumoniae sangat mungkin
sebagai penyebab
Jika Staphylococcus aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau kombinasi
flucloxacillin dengan amoksisilin
Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obet per
oral (misal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat
Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah mendapat
antibiotik intravena
37
Antibiotik untuk Community Acquired Pneumonia (CAP) Rekomendasi UUK (Unit Kerja
Koordinasi) Respirologi:8
Neonatus - 2 bulan:
Ampisilin + gentamisin
>2 bulan:
Lini pertama adalah ampisilin, bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat ditambahkan
kloramfenikol
Bila klinis terdapat perbaikan, antibiotik intravena dapat diganti ke preparat oral dengan
antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.16
Nutrisi:8
Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral harus dihindari.
Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat
bahwa NGT dapat menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan ukuran lubang
hidung kecil. Bila memang dibutuhkan, sebaiknya menggunakan ukuran yang terkecil
Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami overhidrasi
karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormone antidiuretic.
Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
38
Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah
H. KOMPLIKASI
39
Pneumonia bakterial seringkali menyebabkan cairan inflamasi terkumpul di rongga pleura,
kondisi ini mengakibatkan efusi parapneumonik atau apabila cairan tersebut purulent disebut
empiema. Efusi dalam jumlah kecil tidak memerlukan terapi. Efusi dalam jumlah besar akan
membatasi pernapasan dan harus dilakukan tindakan drainase. Diseksi udara diantara jaringan
paru mengakibatkan timbulnya pneumatokel, atau timbulnya kantung udara. Jaringan parut pada
saluran pernapasan dan parenkim paru akan menyebabkan terjadinya dilatasi bronkus dan
mengakibatkan bronkiektasis dan peningkatan risiko terjadinya infeksi berulang.5
I. PROGNOSIS
40
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai secara dini pada perjalanan
penyakit tersebut maka mortalitas selama masa bayi dan masa kanak-kanak dapat di turunkan
sampai kurang 1 % dan sesuai dengan kenyataan ini morbiditas yang berlangsung lama juga
menjadi rendah. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat
menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.8
BAB IV
41
PEMBAHASAN KASUS
Pasien berusia 1 tahun 2 bulan dengan keluhan sesak sejak 3 hari yang lalu yang diawali gejala
batuk berdahak, pilek dan demam sejak 1 minggu yang lalu mengarahkan diagnosis ke infeksi
saluran napas bawah. Adanya faktor resiko, tidak adanya riwayat imunisasi pneumokokus dan
Haemophilus influenzae tipe B, riwayat munisasi dasar belum lengkap dan gizi kurang
meningkatkan kecurigaan ke arah pneumonia. Walaupun kecurigaan utama mengarah ke
pneumonia, namun kemungkinan diagnosis bronkiolitis belum dapat disingkirkan mengingat
frekuensinya yang tinggi pada anak berusia dibawah 2 tahun.
Penemuan dari takipnea (laju nafas 48 kali/menit), demam (suhu 38C), napas cuping
hidung, retraksi substernal, interkostal, dan subcostal, adanya ronki bilateral di seluruh lapang
paru, dan tidak ditemukannya mengi pada pemeriksaan fisik serta gambaran foto rontgen toraks
menegakkan diagnosis bronkopneumonia pada pasien ini. Takipnea, sebagaimana didefinisikan
oleh WHO, merupakan tanda klinis dengan sensitivitas (74%) dan spesifisitas (67%) yang paling
tinggi untuk pneumonia yang dikonfirmasi dengan radiologi, sedangkan crackles (ronki basah)
dan suara nafas bronkial memiliki sensitivitas 75% dan spesifisitas 57%.11
Pada pemeriksaan darah menunjukan peningkatan jumlah leukosit yang signifikan yaitu
19,4 x 103 / L, penyebab yang mungkin terjadi adalah infeksi sekunder dari bakteri yang
menunjukan peningkatan leukosit. Hal utama yang perlu diketahui adalah peningkatan leukosit
pada bronkopneumonia tidak siknifikan dan tidak perlu dipikirkan secara mendalam, walaupun
beberapa literatur ada yang menggunakannya sebagai acuan untuk membedakan infeksi
42
pneumonia bakterial atau viral. Menurut Korppi, kombinasi dari CRP > 8 mg/dL, leukosit > 17 x
103 /L, prokalsitonin > 0,8 mg/L, dan laju endap darah (LED) > 63 mm/jam hanya memiliki
sensitivitas sebesar 61% dan spesifisitas 65% untuk pneumonia yang disebabkan pneumokokus,
bila infiltrat alveolar pada gambaran radiologi dimasukkan maka spesifisitas meningkat menjadi
82% sedangkan sensitivitas menjadi 34%.9
Adanya tanda-tanda distres pernapasan berupa retraksi dada merupakan salah satu
indikasi untuk rawat inap pada pasien ini. Tatalaksana yang dilakukan pada pasien ini adalah
terapi oksigen dengan nasal kanul 2L/menit, cairan rumatan berupa KAEN 1 B 3cc/kgbb,
Nebulisasi dengan ventolin, NaCl 3%/12 jam, pemberian antibiotik secara intravena (Antibiotik
Ampisilin 4x175 mg, Antibiotik Gentamisin 1x35mg), dan pengobatan simtomatik (parasetamol,
salbutamol, ambroksol, dan dexamethason). Hal utama dalam tatalaksana pneumonia adalah
pengobatan dari etiologinya, dalam hal ini berupa pengobatan terhadap bakteri sebagai etiologi
utama pneumonia dalam negara berkembang.2 Jenis antibiotik yang digunakan tentunya harus
berdasarkan epidemiologi yang ada karena pengobatan yang dilakukan sifatnya empiris, dalam
hal ini bakteri yang paling umum adalah Streptococcus pneumoniae (30-50%) dan Haemophilus
influenzae (10-30%).2
43
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Pneumonia: The Forgotten Killer of Children. Geneva: World
Health Organization; 2010. Available at:
http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9280640489_eng.pdf
2. Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H. Epidemiology and
Etiology of Childhood Pneumonia. Bulletin of the World Health Organization 2008;
86:408-16.
3. Durbin WJ, Stille C. Pneumonia. Pediatrics in Review 2008; 29:147-59.
4. Wagener JS. Pneumonia. Dalam: Bajaj L, Hambidge SJ, Kerby G, Nyquist AC. Bermans
Pediatric Decision Making. 5th ed. Philadelphia: Saunders; 2011. Hal.754-59.
5. Karen J.Robert M. et al. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Edisi 6.2014. pg 527-34.
6. Buletin Jendela Epidemiologi Pnemonia pada Balita. Kementrian Kesehatan RI. Volume
3. 2010
7. Bradley JS et al. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and
Children Older than 3 Months of Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric
Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect
Dis. 2011:53(7):617-30p.
8. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Jakarta: IDAI; 2010. 250-4p
9. Korppi M. Non-specific host response markers in the differentiation between
pneumococcal and viral pneumonia: what is the most accurate combination? Pediatr Int
2004; 46:545-50.
10. Virkki R, Juven T, Rikalainen H,et al. Differentiation of bacterial and viral pneumonia in
children.Thorax 2002; 57:438-41.
11. Harris et al. British Thoracic Society Guidelines for the Management of Community
Acquired Pneumonia in Children: Update 2011. Thorax 2011; 66:ii1-ii23
12. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Bandung: PAPDI; 2005.
13. Said M. Pneumonia. Dalam: Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi pertama, cetakan ketiga. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2012.
Hal. 350-65
44