Anda di halaman 1dari 17

Belligerent

Sebagai
Subjek
Hukum
Internasion
al
Diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Hukum
Internasional

Disusun Oleh :
M. Agus Salim 110110090078
Derry Hadian 110110090081
Fildzah Rio 110110090087
Ni Made Prastiti Wiguna
110110090117
Sinatrya S. Primandhana
110110090131
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Subjek hukum internasional diartikan sebagai pemilik,


pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban
berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dari kelahiran
dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang
dipandang sebagai subjek hukum internasional. Namun, seiring
perkembangan zaman telah terjadi perubahan pelaku-pelaku
subyek hukum internasional itu sendiri. Dewasa ini subjek-subjek
hukum internasional yang diakui oleh masyarakat internasional
adalah:
Negara
Organisasi internasional
Palang Merah Internasional
Tahta suci Vatikan
Belligerent
Individu
Perusahaan multinasional
Subjek hukum internasional juga dapat didefinisikan sebagai
pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh
hukum internasional atau setiap negara, badan hukum
(internasional) atau manusia yang memiliki hak dan kewajiban
dalam hubungan internasional.
Mendasarkan pada uraian latar belakang sebagaimana
tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
pembahasan lebih jauh mengenai belligerent ke dalam bentuk
penulisan makalah yang berjudul BELLIGERENT SEBAGAI
SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL.
I.2 Identifikasi Masalah
Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai
berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan belligerent?

2. Mengapa belligerent dikategorikan sebagai subjek


hukum internasional?

3. Apakah contoh-contoh dari belligerent?

I.3 Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah


sebagai berikut :

1. Mengetahui lebih dalam mengenai belligerent dalam


statusnya sebagai subjek hukum internasional

2. Memenuhi tugas kelompok hukum internasional kelas


B pagi.
BAB II

LANDASAN TEORETIS

II.1. Definisi Belligerent

Belligerent merupakan para pihak yang bersengketa atau


negara yang sedang terlibat dalam peperangan.
Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat
dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena
itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang
bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut
bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara
dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke
negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil
oleh adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum
pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun
sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh
pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan
pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara
yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status
sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.
Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh
kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam
keadaan tertentu.

Menentukan nasibnya sendiri,

Memilih sendiri sistem ekonomi, politik, dan sosial,


Menguasai sumber kekayaan alam di wilayah yang
didudukinya.

Memiliki sebuah organisasi pemerintahan sendiri


Kekuatan militernya telah menduduki wilayah tertentu
Mempunyai kontrol efektif atas wilayah tersebut
Anggota militernya memiliki seragam dengan tanda-tanda
khusus dengan peralatan militer yang cukup.

II.2. Status Pihak Yang Berperang

Secara historis, kelompok pemberontak yang berusaha


menjatuhkan sebuah pemerintahan yang berwenang atau untuk
memisahkan diri dari sebuah negara akan memperoleh status
pihak yang berperang, sebuah posisi yang membuat mereka
membentuk pemerintah tandingan sehingga hukum konflik
bersenjata Internasional harus diberlakukan.

Sebuah kelompok pemberontak akan memperoleh status


pihak yang berperang bila terjadi keadaan-keadaan sebagai
berikut :

kelompok tersebut berkuasa di sebuah wilayah di


dalam negara tempat mereka melakukan
pergerakannya;
kelompok tersebut memproklamirkan kemerdekaan,
bila tujuan akhirnya adalah pemisahan diri;
kelompok tersebut memiliki angkatan bersenjata
yang terorganisir;
kelompok tersebut memulai konflik dengan pihak
pemerintah; dan yang paling penting,
pihak pemerintah juga mengakui status mereka
sebagai penentang.

Namun kini, pemerintah biasanya tidak mengakui


keberadaan kelompok pemberontakan tersebut. Pemerintah
biasanya enggan mengakui bahwa mereka kehilangan kendali
efektif di wilayah tertentu, dan mereka juga menolak untuk
memberikan dasar hukum bagi para kelompok pemberontak
tersebut. Penolakan ini memiliki konsekuensi hukum dan
kemanusiaan. Tanpa adanya status pihak yang berperang secara
resmi, sebuah pemerintah tidak diharuskan untuk
memperlakukan para pemberontak menurut hukum konflik
bersenjata internasional, yang mengakibatkan terjadinya insiden-
insiden yang kejam dan biadab.

Untuk mencegah hal ini, komunitas internasional telah


mengatur standar minimum aturan kemanusiaan yang harus
berlaku tanpa menunggu suatu pemerintah mengakui para
penentang mereka. Sebuah sebuah konfrontasi akan dinilai
sebagai konflik bersenjata intern bila pertempuran yang terjadi
sangat intens terorganisir dan berkelanjutan hingga tidak dapat
dikatakan sebagai gangguan dan ketegangan sementara.
Sebagai tambahan, konflik tersebut harus terjadi dalam batas
wilayah Negara tertentu dan secara umum tidak melibatkan
pihak asing. Bila situasi yang terjadi memenuhi aturan
kemanusiaan yang telah ditentukan yang umumnnya dapat
ditemukan dalam Pasal 3 keempat Konvensi Jenewa tahun 1949
dan Protokol Tambahan II. Ketentuan-ketentuan ini berlaku tanpa
memandang status hukum pihak-pihak yang terlibat. Akibatnya,
aturan kemanusiaan mengenyahkan masalah-masalah sensitif
yang ada.
BAB III

BELLIGERENT SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

III.1 Belligerent Sebagai Subjek Hukum Internasional

Pemberontak dan pihak yang bersengketa (belligerent)


dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak menurut
hukum perang. Bahkan belakangan gerakan pembebasan,
seperti Gerakan Pembebasan Palestina, mendapat pengakuan
sebagai subjek hukum internasional. Perkembangan ini dinilai
sebagai penjelmaan dari suatu konsepsi baru yang terutama
dianut oleh negara-negara dunia ketiga yang didasarkan atas
pengertian bahwa bangsa-bangsa dianggap memiliki beberapa
hak asasi, seperti :

(1) hak menentukan nasib sendiri,


(2) hak secara bebas memilih sistem ekonomi, politik dan
sosial dan (3) hak menguasai sumber kekayaan alam dari
wilayah yang didudukinya

III.2 Contoh Belligerent


III.2.1 Organisasi Pembebasan Palestina

Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation


Organisation atau disingkat PLO) adalah lembaga politik resmi
bangsa Arab Palestina yang telah mendapatkan pengakuan dari
dunia internasional. Lembaga ini terdiri atas sejumlah organisasi
perlawanan (yang terpenting ialah Al Fatah), organisasi ahli
hukum, mahasiswa, buruh dan guru. Organisasi ini
mengusahakan sebuah negara Palestina di antara Laut Tengah
dan Yordania.

PLO didirikan pada 1964, setelah didahului oleh langkah


awal Alm. Yasser Arafat untuk menyatukan semua organisasi
perlawanan Palestina di bawah satu wadah, Al Fatah, pada 1950-
an. Di awal pendirian, PLO di bawah dukungan Arafat dengan Al
Fatahnya, menyerang Israel secara terus menerus. Israel
menjawab dengan secara rutin menyerang basis PLO di Lebanon.
Tak jarang korban yang berjatuhan dari kalangan sipil serta
perempuan dan anak-anak.

Organ utama lembaga ini ialah Komite Eksekutif, Komite


Sentral serta Dewan Palestina. Terpenting dari antaranya ialah
Komite Eksekutif, yang bertugas mengambil keputusan-
keputusan politik. Dalam mengambil keputusan, organ ini
menerima masukan serta nasihat dari Komite Sentral, yang
hampir kesemua anggotanya diambil dari organisasi perlawanan
dan tokoh-tokoh independen. Dewan Nasional Palestina, sebuah
organisasi penting lainnya yang terdiri dari 500 anggota,
merupakan juga Parlemen Palestina.

Atas kegigihannya menarik perhatian masyarakat


internasional, pada tahun 1969 Arafat diangkat sebagai ketua
PLO. Setelah menjadi ketua, Arafat mulai meninggalkan kegiatan
penyerangan dengan senjata dan berusaha mendirikan sebuah
pemerintahan di pengasingan. Beberapa langkah penting yang
dilakukannya ialah berhasil membuat PLO memperoleh
pengakuan Liga Arab sebagai satu-satunya organisasi bangsa
Palestina tahun 1974. Juga pada November 1974, PLO
merupakan satu-satunya organisasi nonpemerintah yang
memperoleh kesempatan berbicara di depan Sidang Umum PBB.
Satu langkah berikut yang dicapai ialah diperolehnya
keanggotaan penuh PLO di dalam Liga Arab pada tahun 1976.

Tanpa memperhatikan unsur persamaan dan perdamaian


selanjutnya manuver politik yang dilakukan oleh PLO untuk
mencapai tujuan kemerdekaan Palestina ialah dengan
menyebarkan perjuangan rakyat Palestina ke seluruh dunia,
mengakui Resolusi Dewan Keamanan PBB No 242 dan 338 (yang
mengakui eksistensi Israel), serta melakukan gerakan Intifadah
sejak tahun 1987. Sebagian faksi militan militer menolak
mengakui Resolusi PBB tersebut, namun mereka menegaskan
bahwa mereka tetap menjadi anggota PLO dan tidak ingin
memecah belah semangat nasionalisme ketika sedang dirintis
usaha ke arah berdirinya sebuah negara yang baru terbentuk.
Pada 15 November 1988, sebuah langkah besar dilakukan oleh
PLO, yaitu mengumumkan berdirinya negara Palestina dari
markas besarnya di Aljir, Aljazair. Bersamaan dengan ini PLO
mulai mendirikan kantor kedutaannya di berbagai negara Timur
Tengah dan di Indonesia.
PLO mendapatkan status peninjau di Sidang Umum PBB
pada 1974 (Resolusi Sidang Umum no. 3237). Dengan
pengakuan terhadap Negara Palestina, PBB mengubah status
peninjau ini sehingga dimiliki oleh Palestina pada 1988 (Resolusi
Sidang Umum no. 43/177.) Pada Juli 1998, Sidang Umum
menerima sebuah resolusi baru (52/250) yang memberikan
kepada Palestina hak-hak dan privilese tambahan, termasuk hak
untuk ikut serta dalam perdebatan umum yang diadakan pada
permulaan setiap sesi Sidang Umum, hak untuk menjawab, hak
untuk ikut mensponsori resolusi dan hak untuk mengajukan
keberatan atau pertanyaan yang berkaitan dengan pembicaraan
dalam rapat (points of order) khususnya menyangkut masalah-
masalah Palestina dan Timur Tengah. Dengan resolusi ini,
"tempat duduk untuk Palestina akan diatur tepat setelah negara-
negara non-anggota dan sebelum peninjau-peninjau lainnya."
Resolusi ini diterima dengan suara 124 setuju, 4 menolak (Israel,
AS, Kepulauan Marshall, Mikronesia) dan 10 abstain.

III.2.2 Gerakan Aceh Merdeka

Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah


organisasi (yang dianggap separatis) yang memiliki tujuan
supaya daerah Aceh atau yang sekarang secara resmi disebut
Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Konflik antara pemerintah dan GAM yang diakibatkan
perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan
menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini
juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation
Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro selama hampir
tiga dekade bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan
Swedia.

Pemerintah RI dan beberapa pakar-pakar hukum


mengatakan bahwa Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI
dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bukanlah perjanjian
internasional, dengan beberapa alasan;

1. Pemerintah RI hanya mengirim pejabat setingkat menteri


yang tidak memiliki 'kapasitas' untuk mewakili negara
menandatangani suatu perjanjian internasional. Menurut
mereka, Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional, pasal 7 yang kemudian diadopsi pasal 7 UU
No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur
bahwa untuk mewakili Indonesia dalam suatu perjanjian
internasional diperlukan surat kuasa. Tentunya,
pengecualian dari ketentuan ini adalah Presiden dan
Menteri Luar Negeri yang tidak memerlukan surat kuasa.

2. Pemerintah menganggap perundingan dengan GAM adalah


masalah dalam negeri Indonesia, karena Pemerintah tidak
menganggap GAM sebagai belligerent (pihak yang
bersengketa) sehingga dengan begitu tidak bisa dianggap
sebagai subyek hukum internasional.

Namun demikian, ada beberapa alasan kuat yang


mengindikasikan bahwa nota kesepahaman tersebut justru
merupakan perjanjian internasional;

1. Pasal 7 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian


Internasional memang mengatur bahwa seseorang - selain
kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri
& kepala perwakilan diplomatik) hanya dapat dianggap
mewakili suatu negara dengan sah dan demikian dapat
mensahkan naskah suatu perjanjian internasional atas
nama negara itu dan atau mengikat negara itu pada
perjanjian, apabila ia dapat menunjukkan surat kuasa
penuh (full powers atau credentials) kecuali jika dari
semula peserta konferensi sudah menentukan bahwa surat
kuasa penuh tersebut tidak diperlukan. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja, Hukum Internasional dewasa ini juga
memungkinkan seseorang yang tidak memiliki surat kuasa
penuh, mewakili suatu negara asal saja tindakan yang
dilakukan orang tersebut kemudian disahkan oleh pihak
yang berwenang dari negara yang bersangkutan.
(Kusumaatmadja, 1990; 89-90). Dengan demikian,
ketentuan tersebut sesungguhnya lebih merupakan
sebuah antisipasi untuk menjaga dan memastikan agar
orang yang mengikuti perjanjian tersebut adalah benar-
benar mengatasnamakan atau mewakili negara tertentu.

Dalam kasus nota kesepahaman Pemerintah RI dengan


GAM, walaupun Pemerintah RI hanya mengirimkan pejabat
setingkat menteri, yakni Hamid Awaludin selaku Menteri
Hukum dan HAM yang -katanya--tidak memiliki 'kapasitas'
untuk mewakili negara untuk menandatangani suatu
perjanjian internasional, kecuali dengan adanya surat
kuasa penuh, maka alasan tersebut terbantah karena :

a. Dalam nota kesepahaman tertulis "Signed in triplicate in


Helsinki, Finland on the 15 of August in the year 2005. On
behalf of the Government of the Republic of Indonesia, On
behalf of the Free Aceh Movement ". 3 Nota kesepahaman
tersebut dengan sendirinya telah menjelaskan bahwa
keberadaan Hamid Awaludin jelas bukan atas nama pribadi
akan tetapi atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Hal
tersebut dibuktikan dengan diutusnya Hamid Awaludin
secara resmi oleh Presiden RI yang kemudian dilanjutkan
dengan pengambilan kebijakan strategis oleh Presiden RI,
misalnya dengan melepaskan seluruh Narapidana dan
Tahanan Politik GAM dari seluruh penjara di Indonesia.
Langkah tersebut-secara langsung atau pun tidak--
sesungguhnya merupakan 'pengesahan oleh pihak yang
berwenang dari suatu negara tertentu'.

b. Keberadaan 'surat kuasa penuh' sesungguhnya lebih


merupakan syarat administratif yang tidak mutlak
keberadaannya. Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja sendiri
mengatakan bahwa keberadaan surat kuasa penuh tidak
lagi diperlukan, jika (1) dari semula peserta konferensi
sudah menentukan bahwa surat kuasa penuh tersebut
tidak diperlukan (2) tindakan yang dilakukan orang
tersebut kemudian disahkan oleh pihak yang berwenang
dari negara yang bersangkutan.

2. Pemerintah RI memang tidak menganggap GAM sebagai


belligerent (pihak yang bersengketa) akan tetapi dengan
dilakukannya perjanjian antara Pemerintah RI dan GAM
sesungguhnya merupakan bentuk pengakuan secara tidak
langsung kepada keberadaan GAM dan pengakuan bahwa
GAM adalah pihak yang bersengketa yang memiliki
kedudukan sejajar dengan Indonesia.

Keberadaan GAM sebagai belligerent semakin dipertegas


dengan keterlibatan pihak ketiga yang bukan organisasi
atau lembaga dalam negeri yakni Crisis Management
Initiative (CMI) yang memfasilitasi perundingan di Helsinki
setelah sebelumnya melibatkan Henry Dunant Centre
(HDC) di Swiss pada 12 Mei 2000.
Dr. Huala Adolf, SH. LL.M., Pakar Hukum Internasional yang
juga merupakan Ketua Bidang Hukum Internasional Unpad
menegaskan bahwa secara teoritis GAM sudah dapat
dikategorikan sebagai belligerent karena telah mendapat
pengakuan secara diam-diam dari kalangan internasional
sebagai belligerent, yakni dengan keterlibatan pihak
ketiga. Hal ini berarti secara teoritis, kata dia, kesepakatan
damai kemarin juga dapat dianggap sebagai perjanjian
internasional karena belligerent adalah subjek hukum
internasional yang dapat membuat perjanjian
internasional.

3. Perundingan tersebut sulit untuk disebut hanya sebagai


permasalahan dalam negeri Indonesia, karena selain
kedua hal/point diatas, pimpinan dan pihak yang mewakili
GAM kesemuanya berkewarganegaraan asing, bukan
Warga Negara Indonesia. Sebagaimana diketahui banyak
pihak Presiden GAM Hasan Tiro dan Menlu GAM Zaini
Abdullah keduanya berkewarganegaraan Swedia,
sementara penandatangan perjanjian tersebut Perdana
Menteri Malik Mahmud berkewarganegaraan Singapura.
BAB IV

KESIMPULAN

1. Belligerent merupakan para pihak yang bersengketa atau


negara yang sedang terlibat dalam peperangan.

2. Gerakan pembebasan mendapat pengakuan sebagai subjek


hukum internasional. Perkembangan ini dinilai sebagai
penjelmaan dari suatu konsepsi baru yang terutama dianut oleh
negara-negara dunia ketiga yang didasarkan atas pengertian
bahwa bangsa-bangsa dianggap memiliki beberapa hak asasi,
seperti :
(1) hak menentukan nasib sendiri,
(2) hak secara bebas memilih sistem ekonomi, politik dan
sosial dan (3) hak menguasai sumber kekayaan alam dari
wilayah yang didudukinya
3. Contoh-contoh belligerent antara lain adalah PLO dan GAM
DAFTAR PUSTAKA

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes, Pengantar Hukum


Internasional, Alumni, Jakarta, 2003

J.G, Starke, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung,


1965

Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka; Jihad Rakyat Aceh


Mewujudkan Negara Islam, Madani Press, Jakarta, 1999

http://en.wikipedia.org/wiki/Belligerent

http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Pembebasan_Palestina

Anda mungkin juga menyukai