Problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan masalah dan
memecahkan berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil
kesimpulan yang tepat dan cermat (Hamalik, 1994:151). Problem solving yaitu suatu
pendekatan dengan cara problem identifikation untuk ketahap syntesis kemudian dianalisis
yaitu pemilahan seluruh masalah sehingga mencapai tahap application selajutnya
komprehension untuk mendapatkan solution dalam penyelesaian masalah
tersebut.(Qruztyan.Blogs.Friendster.com).
Pendapat lain problem solving adalah suatu pendekatan dimana langkah-langkah berikutnya
sampai penyelesaian akhir lebih bersifat kuantitatif yang umum sedangkan langkah-langkah
berikutnya sampai dengan pengelesain akhir lebih bersifat kuantitatif dan spesifik (Qrustian
Blogs Friendster.com).
Berpikir memecahkan masalah dan menghasilkan sesuatu yang baru adalah kegiatan yang
kompleks dan berhubungan erat satu dengan yang lain. Suatu masalah umumnya tidak dapat
dipecahkan tanpa berpikir, dan banyak masalah memerlukan pemecahan yang baru bagi
orang-orang atau kelompok. Sebaliknya, menghasilkan sesuatu (benda-benda, gagasan-
gagasan) yang baru bagi seseorang, menciptakan sesuatu, itu mencakup problem solving. Ini
berarti informasi fakta dan konsep-konsep itu tidak penting. Seperti telah kita ketahui,
penguasaan informasi itu perlu untuk memperoleh konsep; keduanya itu harus diingat dan
dipertimbangkan dalam problem solving dan perbuatan kreatif. Begitu pula perkembangan
intelektual sangat penting dalam problem solving (Slameto, 1990 : 139). Selanjutnya
problem solving merupakan taraf yang harus dipecahkan dengan cara memahami sejumlah
pengetahuan dan ketrampilan kerja dan merupakan hasil yang dicapai individu setelah
individu yang bersangkutan mengalami suatu proses belajar problem solving yang diajarkan
suatu pengetahua tertentu.
Selain di atas menurut Dewey langkah-langkah dalam problem solving yaitu sebagai berikut:
kesadaran akan adanya masalah, merumuskan masalah, mencari data dan merumuskan hipotesa-
hipotesa itu dan kemudian menerima hipotesa yang benar. Tetapi problem solving itu tidak selalu
mengikuti urutan yang teratur, melainkan dapat meloncat-meloncat antara macam-macam lankah
tersebut, lebih-lebih apabila orang berusaha memecahkan masalah yang kompleks. Misalnya:
masalah-masalah pendidikan telah dikenal orang bertahun-tahun yang lalu, dan telah banyak
hipotesa pemecahan dirumuskan dan dicoba. Tetapi, orang masih berusaha merunuskan masalah-
masalah itu secara lebih tepat dan mengusahan pengerjaan pemecahan masalah yang lain agar
dapat ditemukan pemecahan yang lebih baik.
Sedangkan Kenedy seperti dikutip oleh Lovitt (1989 : 279) menyarankan empat langkah proses
pemecahan masalah matematika yaitu dengan :
1. Memahami masalah
2. Merencanakan pemecahan masalah
3. Melaksanakan pemecahan masalah, dan
4. Memeriksa kembali
Permasalahan dalam terapi yang diberikan kepada pasien di rumah sakit ataupun
permasalahan terkait dengan pengobatan mandiri (swamedikasi) sangat erat hubungan
dengan permasalahan terkait penggunaan obat (Drug Related Problems). Drug related
problems (DRPs) adalah suatu kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang
berhubungan dengan terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap
perkembangan pasien yang diinginkan. Suatu kejadian dapat disebut DRPs bila memenuhi
dua komponen berikut:
a. Adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien. Kejadian ini dapat berupa
keluhan medis, gejala, diagnose penyakit, ketidakmampuan yang merupakan efek
dari kondisi psikologis, fisiologis, atau ekonomi.
b. Adanya hubungan antara kejadian DRPs dengan terapi obat. Bentuk hubungan ini
dapat berupa konsekuensi dari terapi obat maupun kejadian yang memerlukan
terapi obat sebagai solusi ataupun sebagai pencegahan.
Secara garis besar drug related problems (DRPs) dapat dikategorikan menjadi 8 macam,
yaitu:
Seorang farmasis mempunyai peran besar sebagai problem solver dalam pencegahan dan
pengatasan DRPs yang terjadi. Salah satu cara problem solving adalah dengan melakukan
pharmaceutical care (asuhan kefarmasian).
1. Menyembuhkan penyakit
2. Mengurangi gejala penyakit
3. Memperlambat proses perburukan penyakit
4. Mencegah penyakit atau gejala penyakit
Jika ingin menjalankan pelayanan pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian, seorang
apoteker klinis harus mengkaji diagnosa dokter, test labor dan informasi dari pasien. Hal ini
menuntut seorang apoteker klinis untuk bekerjasama secara terpadu dengan pasien dan
dokter yang menangani pasien tersebut sehingga dapat diperoleh pemahaman yang benar
tentang dampak dari berbagai jenis pengobatan yang diterima pasien.
Sudah lebih dari 4 dekade telah terjadi kecenderungan perubahan pekerjaan kefarmasian di
apotik dari fokus semula penyaluran obat-obatan kearah fokus yang lebih terarah pada
kepedulian terhadap pasien. Peran apoteker lambat laun berubah dari peracik obat
(compounder) dan suplair sediaan farmasi kearah pemberi pelayanan dan informasi dan
akhirnya berubah lagi sebagai pemberi kepedulian pada pasien. Disamping itu ditambah lagi
tugas seorang apoteker adalah memberikan obat yang layak , lebih efektif dan seaman
mungkin serta memuaskan pasien. Dengan mengambil tanggung jawab langsung pada
kebutuhan obat pasien individual , apoteker dapat memberikan kontribusi yang berdampak
pada pengobatan serta kualitas hidup pasien.
Bagaimana dengan progresifitas pharmaceutical care yang diterapkan oleh rumah sakit di
Indonesia? Kondisinya hampir tidak berbeda dengan apotek. Farmasi rumah sakit di
Indonesia masih banyak berperan sebagai logistic obat di rumah sakit, belum berfungsi
dalam ranah farmasi klinis yang berorentasi pada pasien. Pemilihan obat (drug of choice)
masih jauh dari peran dan fungsi farmasis di rumah sakit, bahkan sebagian besar mereka
tidak melakukan recording dan pemantauan secara aktif terhadap penggunaan obat di rumah