Saya sendiri pernah mengalami hal yang seperti itu, misalnya dahulu saya pernah kehilangan
Handphone di salah satu bus saat melakukan perjalanan pulang. Saat peristiwa yang seperti itu,
otomatis saat kehilangan HP tersebut, saya langsung merasa bahwa kurangajar banget itu yang
nyuri HP saya.
Saya juga sempat tidak hanya menyalahkan orang yang mencuri HP saya saja tapi juga saya
sampai berfikir untuk lain kali jangan sampai naik bus yang saya naiki. Begitulah kondisi saya
yang saat itu ingin selalu menyalahkan orang lain atas hilangnya HP saya.
Namun begitu saya sudah tenang, saya kemudian jadi koreksi diri saya jika hilangnya HP saya
tersebut, ternyata semua berawal dari KESALAHAN saya sendiri. Kesalahan saya yaitu karena
mungkin saja saya meletakan HP saya pada posisi yang kurang aman, jadi mungkin saja orang
yang mau nyuri HP saya, awalnya mereka tidak ada niat mencuri HP saya, tapi karena pencuri itu
melihat ada kesempatan, maka akhirnya pencuri itu berani mengambil HP saya.
Nah, dari peristiwa itu saya jadi ingin lebih banyak belajar untuk memahami bahwa seburuk
apapun yang saya alami, hal itu mungkin memang sebenarnya berasal dari KESALAHAN saya
sendiri. Walaupun jujur saja hal itu teramat sangat sulit saya lakukan ketika saya sedang
mengalami kondisi yang buruk karena penginya selalu menyalahkan orang lain.
Namun saya jadi termotivasi ketika membaca salah satu artikel di hipwee.com ini yang menulis
terkait dengan, 5 Akibat Buruk Jika Terlalu Sering Menyalahkan Orang Lain.
Ketika menghadapi kegagalan maupun kesuksesan, seseorang bisa memaknai hal tersebut dari
dua sudut pandang, yaitu sudut pandang internal dan eksternal [dalam istilah Psikologi :Locus of
control internal and external].
Orang dengan sudut pandang internal akan menganggap segala sesuatu yang terjadi baik
kegagalan maupun kesuksesan banyak bergantung pada dirinya.
Sedangkan orang dengan sudut pandang eksternal akan menganggap segala sesuatu terjadi
karena kondisi di luar dirinya [yang menurutnya tidak dapat ia kendalikan].
Kedua jenis sudut pandang tersebut masing-masing ada kekurangan dan kelebihannya.
Yang ideal tentunya ketika seseorang bisa menjalankan keduanya secara seimbang.
Pada artikel ini saya ingin menjabarkan kerugian yang akan diperoleh bila seseorang terlalu
sering menyalahkan pihak luar atas kondisi yang terjadi pada dirinya. Dalam hal yang wajar
mungkin tidak terlalu masalah bila memang kita gagal karena sesuatu yang tidak bisa dikontrol
seperti musibah atau kecelakaan.
Namun bila terlalu sering memaknai segala kegagalan adalah karena pihak luar hasilnya tentu
tidak baik. Contohnya :putus pacar menyalahkan si mantan, gagal kuliah menyalahkan dosen,
gagal dalam pekerjaan menyalahkan atasan atau rekan kerja, dan lain-lainnya (pokoknya semua
bukan salah saya!).
Bila kamu termasuk orang jenis ini, ada baiknya membaca kerugian-kerugian yang ditimbulkan
karena sikap yang demikian:
Namun bila berhadapan dengan seseorang yang sudah berusia dewasa (bukan berarti sikapnya
sudah dewasa), hal ini akan terasa aneh. Terus menerus menghindari tanggungjawab dan
menyalahkan pihak lain, akan membuat otak terbiasa bekerja seperti itu.
Otomatis otak akan membuat jaringan sikap kekanak-kanakkan. Semakin sering bersikap
demikian jaringan ini akan semakin kuat terpancang di otak. Sebaliknya jaringan otak yang
mengatur sikap dewasa akan melemah, karena tidak pernah dipakai.
Sikap malas mengembangkan diri secara langsung tentunya akan semakin mengerdilkan
kemampuan orang tersebut. Ia akan kalah dalam kompetisi dalam hal akademis, karir bahkan
percintaan.
Seseorang yang mengakui kegagalannya akan mendapatkan respek dari orang lain, dibandingkan
orang yang menyalah-nyalahkan pihak lain karena kegagalan yang ia alami.
Seorang pengecut tidak berani mengakui kesalahannya, malah berbalik menyalahkan orang lain.
Bila putus cinta, ia punya sejuta alasan bahwa hal tersebut terjadi karena orang lain. Orang
dengan tipe seperti ini juga biasanya kurang memiliki perasaan untuk melindungi orang lain,
karena justru ia yang menuntut perlindungan.
Dari uraian diatas, tentunya yang harus dicatat bahwa semuanya dikembalikan kepada prinsip
hidup masing-masing. Hal tersebut dikarenakan setiap pribadi pasti memiliki prinsip hidup yang
mungkin menurut diri sendiri baik. Jika kebiasaan tersebut dianggap baik, ya, itu semua
dikembalikan kepada diri anda masing-masing. Toh pada akhirnya memang diri anda sendirilah
yang bisa menentukan mau seperti apa dan bagaimana anda memegang prinsip hidup anda,
tentunya dengan resiko dan konsekuensinya.