Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


2.1 Rumusan Masalah
3.1 Tujuan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Kromomikosis merupakan istilah untuk menyebut penyakit mikosis

profunda yang disebabkan infeksi jamur dengan dinding mycelium yang

mengandung pigmen melanin (dematiaceous).


Kromomikosis berasal dari kata chroma dan mycosis. Istilah chroma

berarti berwarna atau berpigmen, sedangkan myces berarti jamur dan

akhiran -osis berarti kondisi. Sebagian peneliti lebih senang menggunakan

istilah kromoblastomikosis untuk kondisi penyakit ini, namun istilah tersebut

lebih dekat maknanya dengan blastomikosis yang melakukan pembelahan

seluler dengan tunas atau budding (blastos), sementara yang terjadi pada

penyakit ini adalah pembentukan septa ekuatorial, sehingga istilah

kromomikosis lebih cocok. Penyakit feohifomikosis juga disebabkan oleh

jamur dematiaceous, namun pada penyakit tersebut, temuan mikroskopik

berupa hifa atau ragi (yeast) dalam kista fibrosa, sedangkan pada

kromomikosis terjadi pembentukan plak verukosa dan temuan badan sklerotik

(Pene-Penabad dkk., 2003; James dkk., 2011; Elewski dkk., 2012). Pada

akhirnya para peneliti tetap menggunakan nama kromomikosis atau

kromoblastomikosis untuk mengidentifikasi penyakit ini, walaupun ada

sedikit literatur yang menganggap kedua istilah tersebut merupakan penyakit

yang berbeda.
Selain kromoblastomikosis, kromomikosis memiliki berbagai sinonim lain

akibat sulitnya pemberian nama yang tepat untuk kondisi penyakit ini. Di
antaranya adalah kladosporiosis, dermatitis verukosa, feosporotrikosis,

penyakit Pedroso dan penyakit Fonseca. Namun istilah-istilah tersebut lebih

jarang digunakan.
Kromomikosis atau kromoblastomikosis atau dermatitis verukosa adalah

penyakit jamur yang disebabkan bermacam-macam jamur berwarna

(dematiaceous). Penyakit ini ditandai dengan pembentukan nodus verukosa

kutan yang perlahan-lahan, sehingga akhirnya membentuk vegetasi

papilomatosa yang besar. Pertumbuhan ini dapat menjadi ulkus atau tidak,

biasanya ada di kaki atau tungkai, namun lokalisasi di tempat lain pernah

ditemukan, misalnya pada tangan, muka, telinga leher, dada, dan bokong.

Penyakit ini kadang-kadang dilihat di Indonesia. Sumber penyakit biasanya

dari alam dan terjadi infeksi melalui trauma. Biasanya yang terkena penyakit

ini adalah petani karena jamur ini hidup di alam bebas pada tumbuh-

tumbuhan yang membusuk. Bagian tubuh yang sering terkena adalah bagian

tubuh yang terbuka, seperti kaki dan tangan.


2.2 Epidemiologi

Kromoblastomikosis pertama kali ditemukan di Brazil oleh Pedroso pada

tahun 1911. Sejak saat itu penyakit ini ditemukan pada tempat lain dari

Amerika selatan dan Karibia, Madagaskar, Asia selatan, Asia timur, US,

Rusia dan negara negara lainnya. Para petani memiliki resiko paling besar

untuk terkena infeksi ini. Trauma dari kayu dan pajanan dari tanah

menyebabkan masuknya organisme kedalam kulit. Kromoblastomycosis

ditemukan sebagi infeksi sporadis di daerah Amerika Tengah dan Selatan,

meski jarang ditemukan di daerah utara Amerika. Infeksi ini juga dijumpai di
daerah kepulauan Karibia, Afrika (terutama Madagaskar), Australia, dan

Jepang. Kromoblastomikosis juga ditemukan di luar daerah endemik sebagai

infeksi yang dibawa. Insiden paling sering ditemukan di area pedesaan dan

terjadi pada para pekerja terutama di pedesaan. Sekitar 2/3 penderita infeksi

adalah laki-laki, biasanya berkisar pada usia antara 30 dan 50 tahun.

Kasus kromomikosis atau kromoblastomikosis telah banyak dilaporkan di

Amerika tengah, selatan dan utara, Kuba, Jamaica, Martinique, dan juga dari

banyak negara lainnya seperti India, Afrika, Madagaskar, Australia, dan

Eropa utara.

Penyakit tidak ditularkan dari manusia ke manusia dan belum pernah di

laporkan terjadi pada binatang. Diseminasi dapat terjadi melalui

autoinokulasi, ada juga kemungkinan penyebaran melalui saluran getah

bening. Penyebarannya melalui darah dengan terserangnya susunan saraf

sentral pernah di laporkan.

Kejadian di luar daerah epidemik, seperti di Eropa, diduga terjadi akibat

dibawa pada jalur perdagangan, yaitu impor tanaman dan kayu. Didapatkan

pula laporan bahwa transmisi kromomikosis dapat terjadi melalui logam,

seperti pada kendaraan dan jarum akupuntur.

Penderita kromomikosis kebanyakan adalah pria dewasa, dengan

perbandingan 4:1 dibanding penderita wanita. Penduduk di pedesaan yang

bekerja sebagai petani, peternak dan pekerja tambang paling sering terjangkit,

yaitu sekitar 75-90% dari keseluruhan kasus, karena pekerjaan ini sering
berkaitan dengan trauma pada kulit dan sentuhan langsung dengan tanah yang

terkontaminasi.

Pria dewasa dengan usia 20 hingga 60 tahun adalah saat onset yang paling

sering ditemukan, namun telah dilaporkan terjadi kasus kromomikosis pada

usia anak. Kasus pada anak yang jarang menimbulkan kecurigaan adanya

faktor lain yang mencetuskan onset kromomikosis selain trauma pada kulit

dan paparan materi terkontaminasi, mengingat usia anak juga terkait dengan

trauma kecil pada kulit dan kontak dengan tanah.

Jamur penyebab kromomikosis merupakan organisme saprofit yang dapat

ditemukan di dalam tanah dan menyerap nutrien dari tanaman atau kayu yang

membusuk. Sebagian besar organisme jamur tersebut umumnya menyukai

daerah dengan curah hujan lebih besar dari 2,5 m (100 inci) dalam satu tahun

dan pada temperatur kisaran 12oC hingga 24oC.

2.3 Etiologi

Terdapat beberapa spesies jamur penyebab kromomikosis, yaitu

Fonsecaea pedrosoi, Fonsecaea compacta, Fonsecaea monophora,

Phialophora verrucosa, Wangiella dermatitidis, Cladophialophora carrionii

(dulu bernama Cladosporium carrionii), Rhinocladiella aquaspersa dan

Botryomyces caespitosus, namun sebagian besar kasus disebabkan oleh F.

pedrosoi dan C. Carrionii. Gambaran klinis dan morfologi koloni dari

masing-masing spesies jamur tersebut sangat mirip, tetapi dapat dibedakan

berdasarkan gambaran mikroskopik dan karakteristik konidia.


Kebanyakan kasus disebabkan oleh salah satu dari lima jamur

dematiaceous. Fonsecaea pedrosoi adalah penyebab paling umum, dan

menyumbang 90% atau lebih dari kasus yang dilaporkan di Amerika Selatan.

Jamur ini juga telah dilaporkan sebagai penyebab yang paling umum di

bagian lain dunia.

Fonsecaea pedrosoi umumnya ditemukan pada iklim tropis dengan

kelembapan dan curah hujan tinggi, sementara Cladophialophora carrionii

ditemukan pada daerah beriklim tropis yang sedikit gersang dan siklus hujan

yang sedikit seperti Kuba, Venezuela, Afrika Selatan dan Australia.

Phialophora verrucosa merupakan spesies yang paling pertama dilaporkan

pada kasus kromomikosis dan Rhinocladiella aquaspersa merupakan

penyebab yang paling jarang dilaporkan.

Secara mikroskopik, F. pedrosoi memiliki konidiasi dominan berbentuk

simpodial, dengan konidia berbatasan dengan bagian atas sel. Konidia coklat

bersel satu yang diproduksi pada dentikel pendek dapat menghasilkan konidia

sekunder dengan cara yang sama. Konidia yang diproduksi oleh pertunasan

secara acropetal juga ditemukan pada sebagian besar isolat, dan beberapa

isolat akan menghasilkan sedikit phialide, yaitu semacam kantung vesikel

pada bagian pucuk konidiofor.

Bentuk pertunasan acropetal juga dominan pada C. carrionii, dengan

produksi konidia seperti rantai panjang yang pucat, berbentuk oval atau

seperti lemon. Rantai tersebut bercabang dengan interval yang cukup dekat.

Pada media starvation, seperti agar jagung dengan setengah kekuatan materi
(half-strength), phialide bulat dapat muncul oleh konversi dari beberapa sel

dalam rantai bercabang.

Pasien mungkin dapat terinfeksi oleh lebih dari satu organisme jamur.

Kondisi penyakit berbeda seperti kromomikosis dan paracoccidioidomycosis

telah dilaporkan terjadi pada pasien yang sama. Pasien juga dapat memiliki

kromomikosis bersamaan dengan mycetoma atau feohifomikosis yang invasif.

Lesi SSP umumnya dikaitkan dengan infeksi Cladosporium trichoides.

2.4 Patogenesis

Perjalanan penyakit ini dapat diawali dengan masuknya jamur dari tanah

melalui abrasi kulit, berkembang membentuk nodula-nodula yang selanjutnya

menjadi lesi verukosa yang menyerupai kembang kol. Infeksi ini sering

menyerang tungkai bawah terutama telapak kaki, punggung kaki, dan bokong

dengan gambaran effloresensi berupa nodula-nodula lentikular sampai

nummular dengan permukaan yang kasar menyerupai kembang kol dan

berbatas tegas.

Lesi awal dari infeksi biasanya ditemukan pada kaki, lutut, tangan dan

tungkai atas. Gambaran klinik bervariasi, lesi awal berupa papul yang

menyebar secara lambat selama beberapa bulan sampai tahun. Kemudian lesi

ini akan membentuk suatu plak dengan bagian tengah yang atropi. Bentuk

yang agak sering berupa verrucous menyebar secara lambat dan lokal. Nodul

seperti kembang kol disertai abses-abses berkrusta akhirnya menutupi daerah

tersebut. ulkus kecil atau titik hitam bahan hemopurulen terdapat pada

permukaan kutil. Walaupun jarang elephantiasis mungkin timbul akibat


infeksi sekunder, obstruksi dan fibrosis saluran getah bening. penyebaran ke

bagian tubuh lainnya sangat jarang terjadi, walaupun lesi satelit dapat terjadi

akibat penyebaran limfatik setempat atau akibat autoinokulasi.

2.5 Gejala Klinis

Lesi biasanya ditemukan pada daerah tubuh yang yang terekspose,

biasanya pada kaki, lutut, tangan, muka dan leher. Sebuah papul yang

membesar secara perlahan yang kemudian akan membentuk suatu plak

hiperkeratosis. Pada beberapa lesi plak ini datar dan menyebar secara lambat

dengan scar disentral lesi. Lesi awal dapat menjadi ulkus. Kemudian, setelah

beberapa bulan atau tahun , terbentuklah massa hiperkeratosis yang besar dan

biasanya memiliki ketebalan kira-kira 3cm. Ulkus sekunder dapat terjadi. Lesi

ini biasanya memberikan rasa nyeri kecuali jika terjadi infeksi bakteri

sekunder dapat menyebabkan gatal dan nyeri. Lesi satelit terbentuk akibat

garukan, dan mungkin dapat menyebar melalui jaringan limfatik ketempat

yang jauh. Penyebaran secara hematogen dapat terjadi namun jarang, dan

abses pada otak pernah ditemukan. Infeksi sekunder akhirnya dapat

menyebakan stasis limfatik yang akhirnya menjadi elefantisiasis. Beberapa

bentuk dari lesi dapat membentuk lesi psoriasiform. Karsinoma sel skuamosa

dapat terjadi pada lesi kronik.

Lesi awal dari infeksi biasanya ditemukan pada kaki, lutut, tangan dan

tungkai atas. Gambaran klinik bervariasi, lesi awal berupa papul yang

menyebar secara lambat selama beberapa bulan sampai tahun. Kemudian lesi
ini akan membentuk suatu plak dengan bagian tengah yang atropi. Bentuk

yang agak sering berupa verrucous menyebar secara lambat dan lokal.

Gambar 1: lesi awal berupa papul pada


kromoblastomikosis

Gambar 2 : Plak dari kromoblastomikosis


Gambar 3 : Plak verrucous soliter dikelilingi eritem halo

Gambar 4 : Infek kromoblastomikosis menyebar pada seluruh tungkai

Gambar 4 : Infeksi Kromoblastomikosis menyebar pada seluruh


2.6 Gambaran Histopatologi

Gambaran histologi dari penyakit ini berupa foreign-body granuloma,

dengan area tertutup dari suatu gabungan abses-abses kecil. Pada granuloma

ini dapat ditemukan sel giant yang didalamnya terdapat kumpulan-kumpulan

dari sel jamur. Karena sel nya berwarna coklat keemasan sehingga dapat

dibedakan secara jelas di dalam infiltrat. Sel ini dipisahkan oleh septa yang

tebal dan membentuk sel yang sklerotik. Dapat juga dilihat adanya

pseudoepiteliomatus hiperplasia pada lapisan epidermis, dan pada tempat yg

lain terlihat eliminasi transepidermal dari sel sel jamur, yang dapat ditemukan

pada stratum korneum. Jaringan yang terletak diantara nodul-nodul

granulomatus menunjukkan suatu fibrosis kronik. Jika terjadi ulkus maka

mungkin dapat terjadi infeksi bakteri sekunder.

Lesi ditandai dengan hiperplasia pseudoepiteliomatus dengan abses

intraepidermal, reaksi granulomatus dermis, dan ditemukan adanya bentukan

jamur sklerotik bodies. Jamur sering tampak seperti lapisan yang bersepta

lebih banyak dibandingkan dengan tunas. Adanya sklerotik bodies lebih

banyak dibandingkan hifa membedakan dengan invasif phaeohyphomikosis.

Gambaran histopatologi infeksi ini didapatkan dengan preparat pewarnaan

HE dan Giemsa dimana pada epidermis ditemukan hiperkeatosis, akantosis,

dan abses-abses kecil dikelilingi sel-sel datia. Di dalam abses dapat

ditemukan elemen jamur yang berbentuk bundar, berdinding tebal dan

berwarna coklat.
Gambar 5 : Sela jamur berpigmen coklat

2.7 Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu menegakkan

diagnosis, namun tidak ada uji serologis yang dapat dilakukakan. Spesimen

sebaiknya diambil melalui kerokan titik hitam (black dots) atau mikroabses

pada nodul verukosa, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan larutan KOH

10-20% untuk menemukan badan Medlar (disebut juga sebagai sel sklerotik,

sel muriformis atau sel fumagoid) yang khas pada kromomikosis. Badan

Medlar (Gambar 5) merupakan elemen jamur yang berbentuk bulat,

berpigmen kecoklatan dan berstruktur polihedral dengan dinding yang terdiri

dari 2 lamina berdiameter 4-6 m, dengan morfologi copper pennies (uang

logam tembaga). Biopsi juga sebaiknya dilakukan untuk mendapatkan

gambaran histopatologi
.
Gambar 6. Temuan sel sklerotik pada pemeriksaan dengan larutan KOH

10% pada mikroskop dengan perbesaran 200x


Gambaran histopatologi pada kerokan lesi kromomikosis didapatkan

gambaran yang menyerupai respons granuloma benda asing, dengan daerah-

daerah isolasi pembentukan abses mikro. Kelompok sel jamur atau disebut

badan Medlar dapat ditemukan di dalam sel-sel raksasa makrofag atau sel

Langerhans pada granuloma (Gambar 6). Selain itu ditemukan juga

hiperplasia pseudoepiteliomatosa pada lapisan epidermis dan eliminasi sel

jamur pada lapisan transepidermal yang umumnya berupa inflamasi pada

stratum korneum. Jaringan antara nodul granulomatosa menunjukkan fibrosis

kronis. Jika terjadi ulserasi dan selulitis, dapat ditemukan tanda infeksi

bakteri sekunder, seperti limfadenitis regional.


Gambar 7. Gambaran histologi sel sklerotik di dalam sel raksasa dengan

pewarnaan PAS dan perbesaran mikroskop 200x (Tamura dkk., 2011).

Perkembangbiakan melalui septasi ekuatorial merupakan tanda penting

lainnya bagi kromomikosis, bukan melalui pertunasan (budding) seperti pada

blastomikosis. Preparat dengan pewarnaan HE atau Giemsa untuk

menemukan antigen jamur menunjukkan bahwa organisme tersebut biasanya

menumpuk di makrofag atau sel Langerhans. Kehadiran badan sklerotik

(badan Medlar) dengan morfologi copper pennies (uang logam tembaga)

membedakan penyakit ini dari feohifomikosis invasif (Gambar 7). Respons

kekebalan terhadap organisme tampaknya mempengaruhi presentasi klinis

dan histologis. Pasien dengan lesi plak verukosa menunjukkan respons

kekebalan jenis T-helper 2 (Th2), sementara lesi plak atrofi eritema memiliki

respons tipe T-helper 1 (Th1).


Kultur in vivo pada agar dextrose Saboraud menunjukkan koloni berwarna

hitam kehijauan ditutupi beludru halus, berbatas tegas dan tumbuh lambat,

yaitu selama 4-6 minggu pada suhu 25-30oC (Gambar 8). Tiga bentuk

produksi konidia dapat diamati pada organisme yang paling umum

menginfeksi: pertunasan acropetal, produksi phialide dan konidiasi


simpodial. Beberapa organisme yang polimorfik dapat menunjukkan lebih

dari satu jenis konidiasi secara bersamaan. Terdapat 3 tipe konidia mayor,

yaitu :
- Menyerupai Cladophialophora: Rantai dengan cabang panjang dengan

sel perisai pada titik-titik percabangan).


- Menyerupai Phialophora: Berbentuk tunas yang meluap dari dalam vas.
- Menyerupai Rhinocladiella: Konfigurasi mirip dengan sikat maskara.

Gambar 8. Badan sklerotik dalam dermis bebas dan dalam sel raksasa pada

pewarnaan HE pada mikroskop dengan dengan perbesaran 400x

Gambar 9. Hasil kultur jamur pada agar dextrose Saboraud pada suhu

kamar selama 30 hari, didapatkan gambaran tumpukan koloni dengan beludru

halus dan berwarna gelap dengan diameter kisaran 8,5 cm.


2.8 Diagnosis Banding
1. Tuberkulosis kutis verukosa
Terjadi melalui inokulasi eksogen dari bakteri M. Tuberculosis pada kulit

dari orang orang yang sudah tersensitisasi sebelumnya oleh

mikroorganisme ini
Tes tuberkulin +
Lesi berupa papul yang dengan menjadi hiperkeratosis. Lesi membesar

melalui perifer ekspansion dengan atau tanpa central clearing, kadang-

kadang diameter sampai beberapa senti meter


Dapat terbentuk fissura mengeluarkan eksudat purulen. Lesi lebih banyak

soliter dan pembesaran kelenjar limfe regional dapat terjadi begitu juga

dengan infeksi bakteri sekunde

2. Karsinoma epidermoid
Etiologi berupa sinar matahari, herediter, faktor genetic, arsen inorganik,

radiasi ionik, faktor hidrokarbon, osteomielitis, immunosupresif, HPV.


Jarang terjadi pada orang yang memiliki pigmen melanin yang tinggi,

sering terjadi pada orang yang menggunakan terapi PUVA


Sering terjadi pada usia 40-50 tahun dengan lokalisasi yang tersering

adalah tungkai bawah dan secara umum ditemukan lebih banyak pada laki-

laki daripada wanita.


Predileksinya adalah daerah yang terpapar sinar matahari seperti kepala,

leher, dan tungkai bawah.


Lesi berupa plaq, multiple, dengan daerah sekitar yang eritem, diskret

yang akan menjadi hyperkeratosis. Kadang-kadang bisa juga berpigmen.


Gambaran histopatologi berupa penebalan dari lapisan epidermis dengan

sel-sel yang atipik termasuk struktur adneksanya.

Gambar 6 : plaq dari karsinoma epidermoid pada kaki

2.9 Penatalaksanaan

Tatalaksana kromoblastomikosis termasuk sulit. Dalam beberapa

penelitian, hanya sekitar 30% dari keseluruhan kasus yang sembuh, meskipun

hampir 60% membaik. Sekitar 10% terapi langsung gagal pada permulaan,

dan kambuhnya penyakit ini dicatat dalam lebih dari 40% pasien. Lesi

kromoblastomikosis yang lebih kecil paling baik diobati dengan eksisi bedah

atau cryotherapy. Dalam salah satu penelitian terhadap 22 pasien, jumlah

cryosurgery bervariasi dari 1 sampai 22, dan pengobatan berlangsung sampai

126 bulan. Hanya tiga pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan.

Pengobatan utama dari kromomikosis mencakup penggunaan anti jamur

kemoterapi. Itrakonazol dengan atau tanpa flusitosin lebih sering berhasil,

meskipun respon terhadap itrakonazol sendiri lebih baik terhadap spesies C.

Carrionii. Flusitosin digunakan sendiri atau kombinasi dengan amfoterisin B

dapat lebih efektif, namun resisten terhadap flusitosine meningkat jika

digunakan secara sendiri. Ada juga evidence lain yang menerangkan

penggunaan terbinafine 250 mg lebih efektif. Thiabendazol merupakan


alternatif lainnya namun obat ini tidak dapat ditoleransi oleh pasien karena

efek samping pada traktus gastrointestinal. Pengobatan lain yang dianjurkan

termasuk penggunaan krioterapi atau terapi panas. Penatalaksanaan secara

pembedahan dapat dilakukan pada lesi yang sangat kecil, namun harus

dikombinasikan dengan kemoterapi anti jamur.

Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian itrakonazol 200mg/hari

sampai perbaikan (3bulan 1 tahun), Flusitosin 150-200mg/kgBB/hari dibagi

menjadi 4 dosis, Terbinafin 250mg/hari dilaporkan memberi manfaat

pada beberapa kasus. Kombinasi dengan pemanasan topikal dapat membantu,

demikian juga kombinasi dengan bedah beku.

Jika lesi ekstensif, itrakonazole, 100 mg / hari atau lebih, diberikan untuk

setidaknya 18 bulan. Terbinafine, 500 mg / hari selama 6-12 bulan, efektif

pada sebagian pasien. Dalam kasus refrakter, itrakonazol dapat digabungkan

dengan cryotherapy, aplikasi panas (hipertermia lokal), atau laser CO 2. Terapi

mingguan bregantian menggunakan dua obat dengan itrakonazol dan

terbinafine juga telah dilaporkan. Hipertermia lokal saja telah dilaporkan

efektif dalam beberapa kasus, dan telah digabungkan dengan laser CO 2.

Meskipun menggunakan pilihan ini, beberapa lesi telah resisten, dan amputasi

mungkin tidak dapat dihindari pada beberapa pasien. Kombinasi amfoterisin

B dan itrakonazole telah digunakan dalam kasus-kasus resisten.

2.10 Prognosis
Kromomikosis merupakan infeksi kronis dan memakan waktu lama untuk

penyembuhan, beberapa bahkan bertahan hingga puluhan tahun. Hanya

sekitar 30% dari pasien yang sembuh total dan 60% pasien membaik. Sekitar

10% gagal terapi dan kekambuhan diderita lebih dari 40% pasien. Umumnya

kekambuhan penyakit ini tidak diketahui sebabnya. Penyulit yang dapat

memperburuk prognosis adalah infeksi bakteri sekunder dan muncul jaringan

karsinoma pada area verukosa.


DAFTAR PUSTAKA

Yusuf, Hasbiallah. KROMOMIKOSIS.

https://www.scribd.com/document/261816024/Kromomikosis. ( diakses 24

Desember 2016 ).

Melinda, Venny. 2011. KROMOMIKOSIS.

https://www.scribd.com/document/134985614/Refrat-Kromomikosis-Venny-Fix.

( diakses 24 Desember 2016 )

Lim, Albert. 2015. Kromoblastomikosis.

https://www.scribd.com/document/253601674/Kromoblastomikosis-Andrews.

( diakses 24 Desember 2016 ).

Husei, Muhammad Mehdy Akbar. Kromoblastomikosis.

https://www.scribd.com/document/245977627/Kromoblastomikosis-Kel-1.

( diakses 24 Desember 2016 ).

Anda mungkin juga menyukai