Anda di halaman 1dari 17

2010

TEKNIK
I.
PRODUKSI INDUK
PENDAHULUAN
JANTAN YY IKAN NILA
1.1 Latar belakang
(Oreochromis niloticus)
Penggunaan benih ikan nila jantan dalam proses pembesaran merupakan
pilihan pembudidaya dalam rangka peningkatan produksi melalui sistem pembesaran
tunggal kelamin jantan, karena secara genetis ikan nila jantan tumbuh lebih cepat
dari pada ikan betina (Contreras-Sanchez et al. 2001). Sistem pembesaran tunggal
kelamin jantan lebih menguntungkan secara ekonomis, karena selain mempercepat
JURNAL AQUACULTURE
masa pemeliharaan, juga dapat menghasilkan ukuran ikan yang besar dan seragam.
Hal ini karena selama masa pemeliharaan dapat mencegah terjadinya pemijahan
Abstract: Penerapan teknologi Nila Jantan YY ditujukan untuk menyediakan induk nila
liar. yang dapat memproduksi benih tunggal kelamin janan secara genetis menjadi alternatif
yang penting untuk mengantikan teknologi pengarahan kelamin menggunakan
Benih jantanhormon.Teknologi
nila pada umumnya Induk Jantan
dapat YYdiproduksi
di adopsi untuk membuat
secara teknik produksi
komersial dengan induk yang
dapat menghasilkan benih tuggal kelamin jantan. Metodologinya memerlukan enam
teknik pengarahan kelamin
rangkaian (sex
proses reversal) menggunakan
kegiatan yang bertahap mulai hormon Methyl
dari tahap Testosteron
feminisasi pertama, verifikasi
hasil feminisasi (Progeny Test I) dan feminisasi tahap kedua, verifikasi jantan
(Green et al., 1997;berkromosom
Abucay andYYMair, 1997;
(Progeny testGale
II) danetverifikasi
al., 1999).
betina Jenis hormon
berkromosom YYpada
(Progeny Test
III). Dua tahap terakhir adalah perbanyakan dan produksi massal induk jantan YY. Tahap
umumnya menggunakan hormon
Feminisasi pertama, Methyloleh
17 dilakukan Testosteron
Prof. Komar(MT). Teknik dan
Sumatadinata secara oralSiti Aliah,
Dr. Ratu
menghasilkan induk ikan nila betina yang diduga memiliki kromosom XY yang kemudian
banyak dipraktekandipelihara
lebih luas di dan komersial
BBPBAT karena
Sukabumi lebihimplementasi
sebagai praktis, mudah dilakukan
kerjasama antara Dirjen
Perikanan Budidaya dengan BPPT. Verifikasi betina XY dilakukan dengan mengawinkan
dan secara signifikan dapat menghasilkan benih 100% jantan (Popma and Green,
induk betina hasil feminisasi dengan jantan normal dan anakannya akan menetukan
1991). induk tersebut XY atau XX, tergantung nisbah kelamin (sex ratio) jantan yang dihasilkan
dari identifikasi kelamin secara visual setelah berukuran dewasa. Turunan betina XY
sebagian di-feminisasi
Walaupun penggunaan hormon kembali
dalam dan sebagian
produksi benihtidaknila
di-feminisasi.
telah digunakanVerifikasi kedua
dilakukan terhadap anakan jantan turunan induk betina XY dan menghasilkan induk
secara komersial, jantan
namun YY.demikian
Verifikasi ada
tahap kekhawatiran
ketiga dilakukan tentang dampakbetina
terhadap turunan negatif
XY yang di-
feminisasi dan menghasilkan betina YY.Perbanyakan dilakukan dengan memijahkan
terhadap hormoneinduk yang mempengaruhi
jantan YY dengan induk keamanan
betina YY pangan
yang tidakdan kelestarian
sekerabat. Anakan hasil
perbanyakan sebagian difeminisasi untuk menghasilkan induk betina YY. Induk hasil
lingkungan. Pada saat ini umumnya
perbanyakan terdiri darikonsumen ikan rataan
betina YY ukuran menghendaki
96 sampaiagar ikanper
130 gram yang
ekor dan YY
jantan ukuran 12-130 gram. Pada bulan Juni 2006 telah dilakukan uji produksi masal
dikonsumsinya diperoleh dari hasil produksi yang terbebas dari bahan-bahan yang
Jantan YY dengan mengawinkan Betina YY dengan Jantan YY yang tidak satu
berbahaya. Sehingga keturunan. Anakannya
apabila usahamasih berupa benih
budidaya ikanukuran
dalam rataan 2-3 cm.produksinya
proses
menggunakan bahan hormon (hormone base aquaculture) maka produk budidaya
tersebut akan sangat rawan terhadap propaganda negatif pasar. Disamping itu
berdasarkan penelitian, telah ada bukti bahwa penggunaan hormon dapat
mengakibatkan hasil yang paradoxial menjadi betina, terutama bila pemakaian dosis
yang berlebihan atau waktu pemberian yang terlalu lama (Rinchard et al., 1999 dan
Papoulias et al., 2000).
Nila Jantan Supermale adalah istilah yang diberikan kepada induk nila jantan
yang memiliki kromosom homogamet YY. Sistem kromosom ikan nila DEDY KURNIAWAN
(Oreochromis
Key Word : Verifikasi, progeny test, kromosom, feminisasi, nila
niloticus) adalah homogamet XX untuk betina dan heterogamet
jantan, larva, danXY untuk jantan
YY-supermale.
6/20/2010
(Mair et al. 1991; Trombka and Avtalion 1993). Beberapa peneliti memprakarsai
untuk membuat kreasi unik membuat individu jantan yang homogamet YY. Kreasi ini
mengacu kepada hipotesis bahwa individu betina yang berkromosom XX disilangkan
dengan individu jantan yang berkromosom YY akan menghasilkan keturunan yang
mempunyai kromosom XY. Diantaranya Yang et al. 1980; Varadaraj and Pandian
1989 melakukan uji coba pada ikan Mujaer (O. mossambicus), sedangkan Mair
1988; Baroiller and Jalabert 1989; Scott et al. 1989 melakukan uji coba pada Ikan
Nila (O. niloticus). Mair et al. (1997) merekomendasikan untuk menerapkan
teknologi YY supermale dalam usaha budidaya ikan nila secara komersial.
Benih keturunan jantan YY dapat disebut sebagai benih nila jantan genetic =
NJG (Genetic Male Tilapia = GMT) berbeda dari benih jantan hasil sex reversal (
Sex-reversed Male Tilapia=SMT). Menurut Mair et al. (1997), hasil evaluasi secara
menyeluruh dalam suatu uji coba sekala lapang pada lahan usaha budidaya
menunjukan bahwa benih GMT telah lebih menguntungkan secara significan
meningkatkan produksi lebih dari 58% dibandingkan usaha budidaya ynag
menggunakan benih nila campuran. Produksi benih nila GMT juga secara konsinten
lebih tinggi dari pada produksi benih nila hasil sex reversal, karena keistimewaan lain
dari nila GMT ini adalah ukuran panen yang lebih seragam, sintasan yang tinggi, dan
FCR paling baik (Mair et al., 1997). Keunggulan comparatif penting pada penerapan
teknologi YY-supermale dalam system produksi benih monosex jantan adalah
merupakan technology yang berbasis ramah lingkungan environmentally friendly
tilapia monosex production (Mair et al., 1997).
Penerapan teknologi YY-supermale di Balai Besar Pengembangan Budidaya
Air Tawar merupakan implementasi kerja sama antara Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, Institut Pertanian Bogor dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT). Pelaksanaan penerapan teknologi di BBPBAT dimulai sejak penyerahan
populasi ikan betina hasil feminisasi dari oleh Prof. Komar Sumantadinata dan Dr
Ratu Siti Aliah sebagai bahan untuk menghasilkan populasi induk betina XY.
Selanjutnya di BBPBAT mulai dilakukan Progeny test I pada tahun 2002 untuk
memverifikasi Induk Betina berkromosom XY dan sekaligus membuat populasi
betina dan jantan yang mengandung individu berkromosom YY.

1.2 Tujuan

Penerapan teknologi YY-Supermale untuk menghasil teknik produksi induk


nila yang yang bermutu yang dapat memproduksi benih tunggal kelamin jantan
II. BAHAN DAN METODA

3.1 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari: Induk nila betina hasil feminisasi I,
pakan induk, pakan benih, pakan larva, hormone 17 Estradiol, Alkohol, aceto-
carmine. Sedangkan alat-alat yang digunakan terdiri dari hapa dan waring ukuran
(2x1x1) m3; ukuran (2x2x1) m3; ukuran (4x2x1) m3; dan ukuran (5x4x1) m3,
akuarium, Aerator Hi-Blow, Water heater, tagging, mikroskop, disecting set, dan
timbangan, dan alat-alat perikanan.

3.2 Metoda

Metodologi yang digunakan mencakup feminisasi, progeny test, dan


pemijahan, dan gonad-squash. Progeny test atau uji keturunan adalah teknik
verifikasi berdasarkan keturunan hasil pemijahan ikan uji. Progeny test I bertujuan
untuk memverifikasi induk betina XY hasil feminiasi. Progeny test II bertujuan utnuk
memverifikasi induk jantan YY hasil turunan dari betina XY. Progeny test III
bertujuan untuk memverifikasi induk betina YY turunan betina XY yang difeminisasi.
Pada prosedur progeny test, individu induk diidentifikasi berdasarkan nisbah kelamin
turunannya. Progeny test I menghasilkan induk betina XY, progeny test II induk
jantan YY dan progeny test III menghasilkan induk betina YY.
Progeny test I dilakukan dengan mengawinkan satu persatu induk betina hasil
feminisasi dengan jantan normal, kemudian keturunannya dipelihara sampai dewasa
kelamin. Berdasarkan identifikasi kelamin secara visual, maka nisbah kelamin
ditentukan pada masing-masing populasi. Bila jumlah jantan 75% maka induk
populasi anakan tersebut merupakan individu betina XY. Pada saat proses progeny
test I, anakan setiap individu induk yang dipijahkan dibagi menjadi dua sub populasi.
Satu sub populasi di-feminisasi untuk membuat populasi betina YY, sedangkan satu
sub populasi lagi dipelihara secara normal untuk verifikasi dan bahan populasi induk
jantan YY .
Progeny test II dilakukan dengan mengawinkan satu persatu individu induk
jantan turunan induk betina XY dengan betina normal. Anakannya dipelihara sampai
usia dua sampai tiga bulan atau kira-kira ukuran 12 cm untuk diperiksa kelaminnya
dengan cara menngidentifikasi gonadnya menggunakan mikroskop dan pewarnaan
aceto-carmine atau Gonad squash (Guerrero. 1974). Verifikasi induk jantan YY
ditentukan oleh hasil identifikasi gonad keturunannya, yakni bila turunannya terdiri
dari 90% jantan maka induk jantan tersebut dikaragorikan sebagai induk jantan YY.
Progeny test III dilakukan hanya pada keturunan induk induk betina hasil feminisasi
turunan betina XY yang sudaranya sudah dikategorikan sebagai induk jantan YY,
caranya dengan mengawinkan secara masal dengan induk jantan normal, kemudian
turunan dari masing-masing induk betina dipelihara secara terpisah, terakhir
dibesarkan selama dua sampai tiga bulan sampai ukuran benih mencapai 12 cm
untuk diperiksa kelaminnya dengan cara mengidentifikasi gonadnya sebagaimana
pada progeny test II. Apabila hasil identifikasi gonad, jumlah jantan lebih dari 90%
maka induk betina tersebut digolongkan sebagai individu betina YY.
Tata cara progeny test mencakup:
a) Proses Pematangan Gonad dan Pemijahan
b) Proses Pendederan
c) Proses Pemeriksaan gonad
Dua minggu sebelum pemijahan dilakukan pematangan gonad terlebih
dahulu terhadap induk betina dan jantan pada bak yang terpisah. Pematangan induk
jantan dilaksanakan di dalam bak bulat berdiameter 3 m dengan kedalaman air
sekitar 0,75 1,0 m dan induk betina di bak persegi empat ukuran 0,5 x 3,0 m2.
Perkawinan dilaksanakan secara berpasangan dilakukan dalam bak tembok ukuran
1 x 2 m2 dalam ruangan tertutup. Selama proses pematangan diberi pakan
sebanyak 3% per hari berupa pellet, dengan frekuensi pemberian 2 3 kali per hari.
Pada saat akan dilakukan pemijahan, induk betina yang telah diseleksi dan
diperkirakan telah matang gonad dimasukkan kedalam bak pemijahan, sebanyak 3
ekor per bak, seminggu kemudian satu ekor induk jantan dan diamati apakah
menyerang dan melukai induk-induk betina atau tidak, bila menyerang maka induk
jantan tersebut diangkat kembali untuk dikembalikan ke bak pematangan kemudian
digantikan dengan jantan yang lain. Bila tidak ada lagi penyerangan maka pasangan
induk tersebut dibiarkan untuk melakukan proses pememijahan secara alami.
Selama proses pemijahan dilakukan pengontrolan setiap hari sekali bersamaan
dengan pemberian pakan tiga kali per hari. Induk betina yang memijah
memperlihatkan tanda-tanda yang khas yang bisa diamati. Ikan nila termasuk ikan
yang mengerami telur dan mengasuh anak-anaknya dalam mulut. Induk betina yang
telah memijah di dalam mulutnya terdapat telur sehingga keadaannya selalu
mengatup, dan bagian bawah mulutnya membesar. Disamping itu warna tubuh
induk betina yang sedang mengerami telur mudah dibedakan dengan yang lainya,
bisanya warna tubuhnya memudar, dan garis-garis strip vertikal sepanjang tubuh
berwarna hitam sangat konras dengan warna-dasar tubuhnya yang pucat keabu-
abuan. Proses pengeraman telur sekitar 3 5 hari sampai menjadi larva bisa
berenang aktif.
Proses pemanenan larva dilakukan sebelum masing-masing induk betina
melepaskan larva dari proses pengeramannya, pada hari ketiga atau keempat. Dari
tiga ekor cukup diambil satu induk betina yang memijah, kemudian larvanya
dikeluarkan dari dalam mulut untuk selanjutnya dipelihara sementara di dalam
aquarium sampai bisa berenang secara aktif (swiming up fry). Masing-masing induk
jantan yang telah memijah dan menghasilkan larva lebih dari 100 ekor diberi tanda
dengan memberi Tagging (Gambar 3) kemudian dimasukkan kedalam bak
pemeliharaan yang terkontrol berupa bak tembok bulat berdiameter 3 m dan tinggi
air 0,75 1,0 m (Gambar 2). Sedangkan larva yang telah dapat berenang aktif
dimasukkan ke dalam hapa ukuran 2 x 2 m2 yang dipasang di kolam untuk proses
pendederan sampai berukuran 8 - 12 cm guna pemeriksaan gonad (Gambar 1).
Berbeda dengan pemijahan pada progeny test II, pada progeny test III
pemijahan dilakukan secara masal dengan perbandingan induk 1 jantan : 3 betina.
Sebagaimana halnya pada progeny test II, sebelum pemijahan atau perkawinan
dimulai dua minggu sebelumnya masing-masing induk dimatangan-gonadkan
terlebih dahulu secara terpisah dari induk betina dan jantan di dalam bak.
Pematangan induk betina dilakukan di dalam bak persegi empat berdimensi 1 x 5 x
1,5 m3 dengan kedalaman air sekitar 1,0 1,3 m dengan salah satu dinding berupa
kaca. Sedangkan pematangan induk jantan di dalam hapa di kolam. Perkawinan
dilaksanakan secara massal dilakukan dalam bak tempat pematangan induk betina.
Selama proses pematangan diberi pakan sebanyak 3% per hari berupa pellet,
dengan frekuensi pemberian 2 3 kali per hari.
Pada saat akan dilakukan pemijahan, induk jantan yang telah diseleksi dan
diperkirakan telah matang gonad dimasukkan kedalam bak pemijahan, sebanyak 3
ekor per bak dan dibiarkan untuk melakukan proses pemijahan secara alami.
Selama proses pemijahan dilakukan pengontrolan setiap hari sekali bersamaan
dengan pemberian pakan tiga kali per hari. Induk betina yang memijah
memperlihatkan tanda-tanda yang khas yang bisa diamati. Ikan nila termasuk ikan
yang mengerami telur dan mengasuh anak-anaknya dalam mulut. Induk betina yang
telah memijah di dalam mulutnya terdapat telur sehingga keadaannya mudah
dikenali. Disamping itu dari warna tubuh induk betina yang sedang mengerami telur
mudah dibedakan dengan yang lainya, bisanya warna tubuhnya memudar, dan
garis-garis strip vertikal sepanjang tubuh berwarna hitam sangat konras dengan
warna-dasar tubuhnya yang pucat keabu-abuan, hal ini hanya dapat diamati bila
media airnya jernih. Proses pengeraman telur sekitar 3 5 hari sampai menjadi
larva bisa berenang aktif.
Proses pemanenan larva dilakukan sebelum masing-masing induk betina
melepaskan larva dari proses pengeramannya, pada hari ketiga atau keempat. Dari
induk betina yang memijah, kemudian larvanya dikeluarkan dari dalam mulut untuk
selanjutnya dipelihara sementara di dalam aquarium sampai bisa berenang secara
aktif (swiming up fry). Sedangkan induk betina yang telah memijah dan
menghasilkan larva lebih dari 100 ekor diberi tagging (Gambar 3 dan 4) kemudian
dimasukkan kedalam bak pemeliharaan yang terkontrol berupa bak persegi
berdimensi sama dengan bak pemijahan. Sedangkan larva yang telah dapat
berenang aktif dimasukkan ke dalam hapa ukuran 2 x 2 m2 yang dipasang di kolam
untuk proses pendederan sampai berukuran 8 - 12 cm guna pemeriksaan gonad
(Gambar 1).

Gambar 1. Hapa pendederan progeny test

Gambar 2. Bak bulat tempat penyimpanan, pematanga dan pemijahan induk YY

3.3 Feminisasi tahap II

Feminisasi tahap II pada proses progeny test I ditujukan untuk membuat


populasi betina YY. Larva berukuran 0,9 13 mm berasal dari hasil pemijahan
masing-masing induk betina hasil feminisasi pertama secara individual. Hormone 17
Estradiol sebanyak 100 mg pakan dilarutkan dengan 10 ml alkohol 90%, lalu
diencerkan dengan 300 ml alkohol 70%. Setelah diaduk rata selanjutnya
dicampurkan kepada 1,0 kg pellet tepung menggunakan sprayer sambil diaduk-aduk
supaya tercampur merata. Pakan yang telah bercampur larutan hormon diangin-
anginkan hingga bau alkohol tidak menyengat, sebelum dimasukan kedalam kantong
plastik berwarna gelap. Pakan berhormon dalam plastik disimpan dalam lemari
pendingin untuk jangka waktu paling lama satu bulan. Selanjutnya pakan berhormon
diberikan kepada larva yang dipelihara dalam aquarium selama 30 hari dengan
kepadatan 100 ekor larva per aquarium. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak
50% bobot biomasa dengan frekuensi pemberian 5 kali per hari. Benih hasil
pemeliharan didalam akuarium selanjutnya dibesarkan di dalam hapa dan bak
tembok sampai ukuran matang kelamin.

3.4 Pemasangan Tagging

Penandaan ikan yang telah dipijahkan dilakukan dengan pemasangan Visual


Tag (Gambar 3) dengan cara ditempelkan pada bagian belakang sirip punggung
menggunakan tali nylon yang ditusukkan kedalam otot 3 sisik ke arah bawah.
Sedangkan induk ikan yang telah teridentifikasi sebagai individu YY ditandai dengan
Microchip Implant Tag (Gambar 4) yang ditanam kedalam otot ikan pada sisik ketiga
di bawah sirip punggung bagian depan.

Gambar 3. Tagging visual

Implanter terbuat Cylindrical glass Standard 12-gauge


Portable Reader KIT
dari plastik implantable chip replacement needle

Gambar 4. Mini Portable Tagging Kit


3.5 Pemeriksaan Gonad (Gonad Squash)

Pemeriksaan gonad dilakukan terhadap semua populasi benih keturunan


(progeny) individu jantan menggunakan gonad squash teknik (Guerrero and Shelton
1974). Benih yang akan diperiksa gonadnya harus dibunuh dan rongga perutnya
dibedah menggunakan gunting, lalu seluruh organ pencernaan dikeluarkan secara
hati-hati menggunakan penjepit pinset secara hatihati hingga tidak menyentuh dan
merobek selaput pemisah ronga perut dengan organ ginjal. Sepasang gonad yang
terletak antara selaput pemisah rongga perut dan organ ginjal diambil seluruh atau
sebagiannya diamati lebih lanjut. Sepasang gonad atau sebagiannya diletakkan di
atas gelas objek lalu tambahkan setetes aceto-carmine, ditutup dengan coper glass,
selanjutnya diamati pada mikroskop perbesaran 100 kali. Gonad jantan dan gonad
betina dapat dibedakan bedasarkan betuk jaringannya (Gambar 5).

Gonad betina (sel ovum) Gonad jantan (sel sperma)

Gambar 5. Bentuk gonad jantan dan gonad betina ikan nila pada
perbesaran mikroskop 100 kali

3.6 Perbanyakan induk YY

Perbanyakan induk YY ditujukan untuk melipatgandakan populasi induk


jantan YY dan induk betina YY. Cara yang dilakukan adalah dengan mengawinkan
induk jantan YY dengan induk betina YY hasil verifikasi. Agar tidak terjadi kawin
sekerabat, maka induk jantan YY berbeda kerabat dengan induk betina YY.
Proses perbanyakan meliputi pematangan induk YY, pemijahan, feminisasi,
pendederan, dan pembesaran. Proses pematangan dan pemijahan dilakukan dalam
bak tembok bulat (Gambar 2). Induk jantan YY dan betina YY yang dipergunakan
berasal dari kerabat yang berbeda untuk menghindari pengaruh inbreeding. Panen
pemijahan berlangsung selama 15 hari dengan cara pemungutan telur yang sedang
dierami oleh betina. Penetasan dilakukan didalam media air yang suhunya
o
dipertahankan pada 28 C dalam aquarium ukuran (40x30x30) cm3 selama 3-4 hari.
Populasi larva yang telah menetas dibagi menjadi dua sub populasi. Satu sub
populasi dipelihara terpisah dalam aquarium sistem resirkulasi dengan perlakuan
feminisasi untuk memperbanyak induk betina YY. Sedangkan sub populasi lainnya
dipelihara secara normal dalam akuarium ukuran yang sama tetapi bukan pada
sistem resirkulasi. Pemeliharaan larva dalam akuarium sampai ukuran 3 5 cm,
setelah itu dipindahkan kedalam hapa dan bak tembok untuk proses pendederan dan
pembesaran sampai ukuran dewasa. Hasil pendederan ikan pada kedua sub
populasi disortir berdasarkan ukuran dan dipelihara secara terpisah sampai ukuran
dewasa > 100 gram.

3.7 Uji produksi massal

Produksi masal ditujukan untuk menghasilkan calon induk jantan YY dalam


jumlah besar untuk tujuan distribusi. Produksi masal membutuhkan induk betina YY
dan jantan YY dalam jumlah banyak yang bukan satu keturunan. Proses produksi
masal mliputi, pematangan induk, pemijahan, dan pendederan. Pematangan
dilakukan di dalam hapa di kolam, pemijahan dilakukan di kolam tanah, pendederan I
dilakukan di aquarium, pendederan II dan III dilakukan di hapa waring.

3.8 Waktu dan tempat

Progeni test I dilakukan mulai bulan Desember 2002 sampai Agustus 2003,
progeny test II dilakukan pada bulan September 2003 sampai Agustus 2004 dan
Progeny Test III September 2004 sampai Agustus 2005. Perbanyakan mulai
dilakukan sejak bulan Sepetember 2005 sampai Desember 2006. Dan uji coba
produksi masal dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2006. Kegiatan
Feminisasi tahap I dilaksanakan di IPB, sedangkan kegiatan Progeni test I sampai III,
Feminisasi tahap II dan III, perbanyakan dan ujicoba produksi masal dilaksanakan di
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Progeny Test I

Pada ulan Juni 2002 diterima calon induk ikan nila hasil feminisasi dari Prof.
Komar Sumantadinata sebanyak 59 ekor, kemudian dipelihara di BBPBAT Sukabumi
sampai ukuran induk. Pada awal bulan Desember ukurannya sudah menjadi induk
tetapi jumlahnya berkurang menjadi 47 ekor.
Hasil pemijahan pada progeny test I hanya 41 ekor yang memijah dan
menghasilkan keturunan. Anakan pada setiap individu induk yang dipijahkan dibagi
menjadi dua sub populasi satu sub populasi sebanyak 100-600 ekor larva di-
feminisasi untuk membuat populasi betina YY, sedangkan satu sub populasi lagi
masing-masing sebanyak 87-800 ekor larva dipelihara secara normal didalam hapa
sebagai bahan untuk membuat populasi jantan YY .
Hasil benih pembesaran pada progeny test I digunakan untuk verifikasi
masing-masing induk betina hasil feminisasi pertama. Berdasarkan hasil identifikasi
kelamin secara visual pada turunan hasil progeny test tersebut diperoleh nisbah
kelamin. Nisbah kelamin jantan yang mencapai atau mendekati 70% hanya
diperoleh pada turunan 5 ekor induk dari total induk yang diprogeny sebanyak 41
ekor.
Proses progeny test I ini membutuhkan waktu yang lama, karen harus
memelihara dari ukuran larva sampai ukuran matang kelamin, yaitu ukuran > 50
gram per ekor. Ikan jantan turunan 5 induk XY tersebut selanjutnya dipelihara
sampai matang gonad dan disiapkan untuk diverifikasi pada tahap progeny test II
untuk mengidentifikasi jnatan YY.

4.2 Progeny test II

Pada proses pemijahan progeny test II jumlah induk jantan yang diduga
mengandung individu Jantan YY sebanyak 52 ekor yang meliputi 39 ekor dari
populasi induk dengan kode 2.14; dan 4 ekor dari populasi induk dengan kode 2.13;
serta 14 ekor populasi dengan kode 2.6. Jumlah populasi larva yang telah dihasilkan
dari masing-masing populasi induk 2.14 sebesar 35.889 ekor dengan rataan hasil
larva sekitar 816 ekor per individu induk jantan, dari populasi 2.13 sebesar 838 ekor
dengan rataan sebesar 210 ekor per individu induk jantan, dan dari populasi 2.6
sebesar 12.108 ekor dengan rataan 865 ekor per individu induk jantan.
Adapun jumlah induk betina yang digunakan berasal dari satu populasi induk
betina normal yang terdiri dari 160 ekor. Namun demikian jumlah induk betina yang
mati pada waktu pemijahan mencapai lebih dari 50% ekor.
Pada proses pendederan ini telah dihasilkan dua populasi benih keturunan
dari individu masing-masing populasi yang dipelihara didalam hapa di kolam.
Populasi benih pertama yang telah dipanen untuk diperiksa gonadnya sebanyak
10.276 ekor dari penebaran larva sebanyak 24.949
Populasi benih pertama ini sebagian besar berasal dari turunan 38 ekor
individu jantan populasi induk dengan kode 2.14; dari turunan 14 ekor individu jantan
populasi induk dengan kode 2.6; dan dari turunan 4 ekor individu jantan dari populasi
induk dengan kode 2.13. Sisanya berupa ppuasi benih kedua masih dalam proses
pemeliharaan didalam hapa menunggu proses pemeriksaan gonad yang
diperkirakan sebanyak 5000 ekor dari penebaran larva sebanyak 12000 ekor.
Populasi benih kedua masing-masing berasal dari turunan 13 ekor individu jantan
dari populasi induk dengan kode 2.14 dan dari turunan 2 ekor individu jantan dari
populasi induk dengan kode 2.6.

4.3 Progeny test III

Pada proses pemijahan progeny test III jumlah induk betina yang diduga
mengandung individu YY sebanyak dua populasi, yaitu dari populasi 2.6 dan
populasi 2.13. Masing-masing terdiri dari 12 ekor dan 13 ekor yang di progeny test.
Jumlah larva yang telah dihasilkan dari masing-masing populasi populasi 2.6
sebesar 8.359 ekor dengan rataan hasil larva sekitar 816 ekor per individu induk
jantan, dari populasi 2.13 sebesar 17.237 ekor.
Pada proses pendederan untuk progeny test III dihasilkan dua populasi benih
yang dipelihara didalam hapa di kolam. Populasi benih pertama yang telah dipanen
untuk diperiksa gonadnya sebanyak 2.876 ekor dari penebaran larva sebanyak 6.208

Populasi benih pertama ini hanya berasal dari turunan 9 ekor individu betina
populasi 2.6. Sisanya berupa 16 populasi benih kedua, masih dalam proses
pemeliharaan didalam hapa menunggu proses pemeriksaan gonad yang
diperkirakan sebanyak 9000 ekor dari penebaran larva sebanyak 19.388 ekor.
Populasi benih kedua masing-masing berasal dari turunan 3 ekor individu betina dari
populasi induk dengan kode 2.6 dan dari turunan 14 ekor individu betina dari
populasi induk dengan kode 2.13.
4.4 Pemeriksaan gonad progeny test II

Berdasarkan hasil pemeriksaan gonad terhadap benih keturunan populasi


benih keturunan 52 individu jantan dari kelompok populasi 2.14; 2.13; dan 2.6, pada
progeny test II telah menghasilkan 14 individu jantan YY yang masing-masing terdiri
dari 12 ekor berasal dari populasi induk jantan 2.14 dan 2 ekor berasal dari dari
populasi induk jantan 2.6.
Pemeriksaan gonad menghasilkan data berupa nisbah kelamin jantan dan
betina. Nisbah kelamin turunan Jantan YY berkisar antara 90 100% atau dengan
rataan sebesar 97,09% 3,58. Sedangkan nisbah kelamin jantan normal yang
berkromosom XY berkisar antara 40 88% dengan rataan 66,08 15,38.
Walaupun secara genetis benih keturunan jantan YY terdiri dari 100% jantan, tetapi
karena terjadi pembiasan genetik, maka menurut Sumantadinata 2004 (kompri),
benih turunan induk jantan YY mempunyai proporsi jantan antara 90 100%.
Nisbah kelamin yang bias dari 100% jantan sebagaimana yang diperkirakan
oleh hipotesa, dan hanya menghasilkan monosek jantan 97,09% 3,58. Penomena
yang sama juga juga sesuai dengan hasil penelitian Mair et al. (1991a) yang
mendapatkan hanya satu betina dalam turunan salah satu dari empat jantan YY
yang diuji progeny. Tetapi Scott et al. (1989), tidak medapatkan betina samasekali
dari 285 ekor turunan dari satu ekor individu jantan YY yang disilangkan dengan 10
ekor betina. Hal yang sama juga diperoleh Varadaraj and Pandian (1989) dalam
hasil penelitiannya yang tidak menemukan individu betina diantara keturunan betina
YY females ikan Mujaer O. mossambicus. Pengamatan dalam uji progeny populasi
jantan dengan jumlah indidu yang banyak dapat menghasilkan keturunan jantan hasil
progeny test lebih dari 95% (Mair et al. 1997). Sebenarnya tidak ada kecendrungan
yang jelas dalam kejadian penyimpangan sex ratios yang ditunjukkan oleh adanya
segregasi atau pemisahan dari satu autosomal sex yang memodifikasi locus, ini
sebagai sebuah dalil saja untuk ikan nila (Hussain et al. 1994) dan Mair et al. 1991b
telah membuktikan pada jenis O. aureus.

4.5 Pemeriksaan Gonad pada progeny test III

Berdasarkan hasil pemeriksaan gonad terhadap benih keturunan populasi


benih keturunan 8 individu betina dari kelompok populasi 2.6, pada progeny test III
baru menghasilkan 1 ekor individu betina YY dan 2 ekor individu betina XY yang
semuanya berasal dari populasi induk betina 2.6.
Pemeriksaan gonad menghasilkan data berupa nisbah kelamin jantan dan
betina. Nisbah kelamin turunan betina YY sebesar 98%. Sedangkan nisbah kelamin
betina yang berkromosom XY sebesar 71% dan 87%. Seperti halnya pada hasil
turunan jantan YY, pembiasan nisbah kelamin dari 100% jantan sebagaimana
hipotesa disebabkan karena oleh adanya segregasi atau pemisahan dari satu
autosomal sex yang memodifikasi locus sebagaimana halnya telah dialami oleh
penelitian sebelumnya.
Individu XY yang diperoleh dapat digunakan untuk menghasilkan kembali
individu YY dengan cara disilangkan kembali dengan Jantan YY yang telah
dihasilkan. Berdasarkan hypotesa hasil persilangan tersebut akan menghasilkan
100% benih jantan yang terdiri dari 25% jantan yang berkromosom XY dan 75%
jantan berkromosom YY. Melalui satu tahap progeny test akan diperoleh individu
jantan YY.

4.6 Perbanyakan induk YY

Keterbatasan jumlah individu YY yang dihasilkan baik induk jantan maupun


betina mememrlukan tahap perbanyakan sebelum melakukan produksi massal.
Perbanyakan telah dilakukan dengan memijahkan induk jantan hasil progeny test II
dengan induk betina YY hasil progeny test III. Sejak bulan Oktober 2005 sampai Mei
2006 telah dilakukan 6 kali pemijahan. Hasil pemijahan I dan II telah dihasilkan
induk jantan YY sebanyak 490 dan 768 ekor, masing-masing berukuran antara 150
200 gram, dan induk betina YY sebanyak 17 dan 110 ekor, masing-masing
berukuran 100 150 gram. Pada jantan YY hasil perbanyakan ditemukan individu
pseudomale, yaitu individu betina yang alat kelaminnya jantan, masing-masing
sebesar 24,36 % dan 28,57%. Penyimpangan ini mungkin disebabkan karena
adanya pengaruh lingkungan pada saat pemeliharaan larva. Kisaran suhu air media
pemeliharaan larva yang lebih rendah dari normal, berkisar antara 22 23oC, yang
mempengaruhi differensiasi sex larva, sehingga terjadi pengarahan kelamin menjadi
betina. Temperatur air media pemeliharaan akan mempengaruhi proses biokimia,
seperti aktivitas aromatase dan sistesis estradiol (Crews dan Bergeson, 1994; dan
Crews 1996). Sekresi estradiol pada ikan mas dapat mencapai 20 kali lipat pada
kisaran temperatur rendah (Maning dan Kime 1984). Pada ikan nila peningkatan
temperatur dapat menurunkan kandungan estradiol (Kitano et al. 1999).
Perbanyakan selanjutnya tahap III sampai VI telah menghasilkan benih
ukuran 12 + 1,8 cm sebanyak 700 ekor, ukuran 3,0 + 0,8 cm sebanyak 2000 ekor,
dan ukuran 4,0 + 100 ekor, yang masing-masing dipelihara di dalam bak dan hapa.

4.7 Uji produksi masal

Induk jantan YY dan induk betina YY yang berbeda generasi dipijahkan


secara alami dengan perbandingan 70 ekor jantan dan 90 ekor betina. Pemijahan
baru dilaksanakan satu kali dan telah menghasilkan benih berukuran 2-3 cm. Benih
tersebut saat ini dipelihara dalam unit resirkulasi dan suhu air dipertahankan pada
level 26oC. Benih yang dihasilkan berasal dari hasil penetasan telur yang dipanen
dari induk betina yang sedang mengeram. Jumlah induk yang memijah mencapai
32% dari total populasi betina yang dipijahkan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan bahwa:
Progeny test I untuk verifikasi terhadap populasi betina hasil feminisasi hanya
menghasilkan lima ekor induk betina XY.
Progeny test II untuk verifikasi jantan YY baru dilakukan terhadap 52 ekor
individu jantan dari dua kelompok populasi jantan turunan betina XY dan
menghasilkan 17 induk jantan YY.
Progeny test III untuk verifikasi betina YY telah dilakukan terhadap 25 ekor
individu induk betina dari dua kelompok populasi betina hasil feminisasi tahap
dua turunan betina XY dan menghasilkan 3 ekor induk betina YY.
Verifikasi induk YY berdasarkan hasil sex ratio anakan yang masing-masing
sebesar 97,09 + 3,58% jantan turunan jantan YY dan 98 % jantan untuk turunan
betina YY.melalui pemeriksaan jaringan gonad.
Perbanyakan induk YY telah dilaksanakan dengan 6 kali pemijahan dan telah
menghasilkan 1158 ekor jantan YY dan 127 ekor betina YY. Disamping itu ada
Pseudomale sebanyak 24,36 % dan 28,57%.
Uji coba produksi masal baru dilakukan pada 70 ekor jantan YY dan 90 ekor
betina YY hasil perbanyakan dan turunannya masih berupa benih jantan YY
ukuran 2-3 cm.

5.2 Saran-saran
Perlu dilakukan uji coba produksi benih GMT turunan induk jantan YY hasil
perbanyakan yang dipasangkan dengan induk betina dari berbagai strain untuk
mengetahui efektivitas Induk Jantan YY
Produksi jantan YY dapat didistribusikan sebagai induk pada saat ukuran benih.
Sebagai pasangan induk jantan YY perlu dibuat metoda untuk memproduksi
benih monosek betina.
V. DAFTAR PUSTAKA

Abucay, J. S. and Mair, G. C.. In press. Methods of identifying males with YY


genotype in Oreochromis niloticus L. In: Proceedings of the Second
AADCP International Workshop on Genetics in Aquaculture and
Fisheries Management, Phuket, Thailand, Nov. 7-11, 1994.

Alvendia-Casauay, A. and Carino, V. S. 1988. Gonadal sex differentiation in


Oreochromisniloticus. In: ICLARM Conference Proceedings, 15: The
Second International Symposium on Tilapia in Aquaculture. Edited by
R. S. V. Pullin, T. Bhukaswan , K.Tonguthai, and J. L. Maclean.
Department of Fisheries, Thailand and International Center for Living
Aquatic Resources Management, Bangkok, Thailand and Manila,
Philippines. pp. 121-124.

Baroiller, J-F., and Jalabert, B. 1989. Contribution of research in reproductive


physiology to the culture of tilapias. Aquat. Living Resour. 2: 105-116.

Crews, D. 1996. Temperature-dependent sex determination: the interplay of steroid


hormones and temperature. Zool. Sci. 13: 1 13.

Crews, D. and J.M. Bergeron. 1994. Role of reductase and aromatase in sex
determination in the red-eared slider (Trachemys scripta), a turtle with
temperature-dependent sex determination. J. Endocrinol. 143: 279289.

Feist, G., C.G. Yeoh, M.S. Fitzpatrick and C.B. Schreck. 1995. The production of
functional sex-reversed male rainbow trout with 17-methyltestosterone
and 11-hydroXYandrostenedione. Aquaculture 131:145152.

Fitzpatrick, M.S. and C. Schreck. 1999. Masculinization of tilapia by immersion in


trenbolone acetate, pp. 1013. In Pond Dynamics/Aquaculture
Collaborative Research Support Program Ninth Work Plan. Pond
Dynamics/Aquaculture CRSP, Oregon State University, Corvallis, Oregon.

Gale, W.L., M.S. Fitzpatrick, M. Lucero, W.M. Contreras-Snchez and C.B. Schreck.
1999. Masculinization of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) by immersion
in androgens. Aquaculture 178: 349357.

Guerrero III, R. D. and Shelton, W. L. 1974. An aceto-carmine squash method of


sexing juvenile fishes. Prog. Fish Cult. 36: 56.

Hussain, M. G., McAndrew, B. J., Penman, D. J. and Sodsuk, P. 1994. Estimate


genecentromere recombination frequencies in gynogenetic diploids of
Oreochromis niloticus (L.) using allozymes, skin colour and a putative sex-
determination locus (SDL-2). In: Genetics and Evolution of Aquatic
Organisms. Edited by A. R. Beaumont. Chapman and Hall, London, UK.
pp. 502-508.
Kitano, T., Takamune, K., Kobayashi, T., Nagahama, Y., Abe, S.-I., 1999.
Suppression of P450 aromatase gene expression in sex-reversed males
produced by rearing genetically female larvae at a high water temperature
during a period of sex differentiation in the Japanese flounder
(Paralichthys olivaceus). J. Mol. Endocr. 23, 167-176.
Mair, G.C., Abucay, J.S., Skibinski, D.O.F., Abella, T.A., Beardmore, J.A. 1997
Genetic manipulation of sex ratio for the large scale production of all-male
tilapia Oreochromis niloticus L. Canadian Journal of Fisheries and
Aquatic Sciences, 54(2): 396-404.

Mair, G. C., Abucay, J. S., Beardmore, J. A., and Skibinski, D. O. F. 1995. Growth
performance trials of genetically male tilapia (GMT) derived from YY
males in Oreochromis niloticus L.: On-station comparisons with mixed sex
and sex reversed male populations. Aquaculture 137: 313-322.

Mair, G. C., Scott, A., Penman, D. J., Beardmore, J. A., and Skibinski, D. O .F. 1991.
Sex determination in the genus Oreochromis I: Sex reversal,
gynogenesis, and triploidy in O. niloticus L. Theor. Appl. Genet. 82: 144-
152.

Mair, G. C., Scott, A., Penman, D. J., Skibinski, D. O .F., and Beardmore, J. A..
1991b. Sex determination in the genus Oreochromis II: Sex reversal,
hybridisation, gynogenesis and triploidy in O. aureus Steindachner.
Theor. Appl. Genet. 82: 153-160.

Piferrer, F. and E.M. Donaldson. 1989. Gonad differentiation in coho salmon,


Oncorhynchus kisutch, after a single treatment with androgen or estrogen
at different stages during ontogenesis. Aquaculture 77: 251262.

Scott, A. G., Penman, D. J., Beardmore, J. A., and Skibinski, D .O .F. 1989. The
'YY'supermale in Oreochromis niloticus (L.) and its potential in
aquaculture. Aquaculture 78: 237-251.

Trombka, D., and Avtalion, R.R. 1993. Sex determination in tilapia - a review. The
Israeli Journal of Aquaculture-Bamidgeh 45: 26-37.

Varadaraj, K., and Pandian, T. J. 1989. First report on production of supermale tilapia
by integrating endocrine sex reversal with gynogenetic technique. Curr.
Sci. 58: 434-441.

Yang, Y., Zhang, Z., Lin, K., Wei, Y., Huang, E., Gao, A., Xu, Z., Ke, S., and Wei, J.
1980. Use of three line combination for production of genetic all-male
tilapia mossambica. Acta Scientica Sinica. 7: 241-246.

Anda mungkin juga menyukai