TEKNIK
I.
PRODUKSI INDUK
PENDAHULUAN
JANTAN YY IKAN NILA
1.1 Latar belakang
(Oreochromis niloticus)
Penggunaan benih ikan nila jantan dalam proses pembesaran merupakan
pilihan pembudidaya dalam rangka peningkatan produksi melalui sistem pembesaran
tunggal kelamin jantan, karena secara genetis ikan nila jantan tumbuh lebih cepat
dari pada ikan betina (Contreras-Sanchez et al. 2001). Sistem pembesaran tunggal
kelamin jantan lebih menguntungkan secara ekonomis, karena selain mempercepat
JURNAL AQUACULTURE
masa pemeliharaan, juga dapat menghasilkan ukuran ikan yang besar dan seragam.
Hal ini karena selama masa pemeliharaan dapat mencegah terjadinya pemijahan
Abstract: Penerapan teknologi Nila Jantan YY ditujukan untuk menyediakan induk nila
liar. yang dapat memproduksi benih tunggal kelamin janan secara genetis menjadi alternatif
yang penting untuk mengantikan teknologi pengarahan kelamin menggunakan
Benih jantanhormon.Teknologi
nila pada umumnya Induk Jantan
dapat YYdiproduksi
di adopsi untuk membuat
secara teknik produksi
komersial dengan induk yang
dapat menghasilkan benih tuggal kelamin jantan. Metodologinya memerlukan enam
teknik pengarahan kelamin
rangkaian (sex
proses reversal) menggunakan
kegiatan yang bertahap mulai hormon Methyl
dari tahap Testosteron
feminisasi pertama, verifikasi
hasil feminisasi (Progeny Test I) dan feminisasi tahap kedua, verifikasi jantan
(Green et al., 1997;berkromosom
Abucay andYYMair, 1997;
(Progeny testGale
II) danetverifikasi
al., 1999).
betina Jenis hormon
berkromosom YYpada
(Progeny Test
III). Dua tahap terakhir adalah perbanyakan dan produksi massal induk jantan YY. Tahap
umumnya menggunakan hormon
Feminisasi pertama, Methyloleh
17 dilakukan Testosteron
Prof. Komar(MT). Teknik dan
Sumatadinata secara oralSiti Aliah,
Dr. Ratu
menghasilkan induk ikan nila betina yang diduga memiliki kromosom XY yang kemudian
banyak dipraktekandipelihara
lebih luas di dan komersial
BBPBAT karena
Sukabumi lebihimplementasi
sebagai praktis, mudah dilakukan
kerjasama antara Dirjen
Perikanan Budidaya dengan BPPT. Verifikasi betina XY dilakukan dengan mengawinkan
dan secara signifikan dapat menghasilkan benih 100% jantan (Popma and Green,
induk betina hasil feminisasi dengan jantan normal dan anakannya akan menetukan
1991). induk tersebut XY atau XX, tergantung nisbah kelamin (sex ratio) jantan yang dihasilkan
dari identifikasi kelamin secara visual setelah berukuran dewasa. Turunan betina XY
sebagian di-feminisasi
Walaupun penggunaan hormon kembali
dalam dan sebagian
produksi benihtidaknila
di-feminisasi.
telah digunakanVerifikasi kedua
dilakukan terhadap anakan jantan turunan induk betina XY dan menghasilkan induk
secara komersial, jantan
namun YY.demikian
Verifikasi ada
tahap kekhawatiran
ketiga dilakukan tentang dampakbetina
terhadap turunan negatif
XY yang di-
feminisasi dan menghasilkan betina YY.Perbanyakan dilakukan dengan memijahkan
terhadap hormoneinduk yang mempengaruhi
jantan YY dengan induk keamanan
betina YY pangan
yang tidakdan kelestarian
sekerabat. Anakan hasil
perbanyakan sebagian difeminisasi untuk menghasilkan induk betina YY. Induk hasil
lingkungan. Pada saat ini umumnya
perbanyakan terdiri darikonsumen ikan rataan
betina YY ukuran menghendaki
96 sampaiagar ikanper
130 gram yang
ekor dan YY
jantan ukuran 12-130 gram. Pada bulan Juni 2006 telah dilakukan uji produksi masal
dikonsumsinya diperoleh dari hasil produksi yang terbebas dari bahan-bahan yang
Jantan YY dengan mengawinkan Betina YY dengan Jantan YY yang tidak satu
berbahaya. Sehingga keturunan. Anakannya
apabila usahamasih berupa benih
budidaya ikanukuran
dalam rataan 2-3 cm.produksinya
proses
menggunakan bahan hormon (hormone base aquaculture) maka produk budidaya
tersebut akan sangat rawan terhadap propaganda negatif pasar. Disamping itu
berdasarkan penelitian, telah ada bukti bahwa penggunaan hormon dapat
mengakibatkan hasil yang paradoxial menjadi betina, terutama bila pemakaian dosis
yang berlebihan atau waktu pemberian yang terlalu lama (Rinchard et al., 1999 dan
Papoulias et al., 2000).
Nila Jantan Supermale adalah istilah yang diberikan kepada induk nila jantan
yang memiliki kromosom homogamet YY. Sistem kromosom ikan nila DEDY KURNIAWAN
(Oreochromis
Key Word : Verifikasi, progeny test, kromosom, feminisasi, nila
niloticus) adalah homogamet XX untuk betina dan heterogamet
jantan, larva, danXY untuk jantan
YY-supermale.
6/20/2010
(Mair et al. 1991; Trombka and Avtalion 1993). Beberapa peneliti memprakarsai
untuk membuat kreasi unik membuat individu jantan yang homogamet YY. Kreasi ini
mengacu kepada hipotesis bahwa individu betina yang berkromosom XX disilangkan
dengan individu jantan yang berkromosom YY akan menghasilkan keturunan yang
mempunyai kromosom XY. Diantaranya Yang et al. 1980; Varadaraj and Pandian
1989 melakukan uji coba pada ikan Mujaer (O. mossambicus), sedangkan Mair
1988; Baroiller and Jalabert 1989; Scott et al. 1989 melakukan uji coba pada Ikan
Nila (O. niloticus). Mair et al. (1997) merekomendasikan untuk menerapkan
teknologi YY supermale dalam usaha budidaya ikan nila secara komersial.
Benih keturunan jantan YY dapat disebut sebagai benih nila jantan genetic =
NJG (Genetic Male Tilapia = GMT) berbeda dari benih jantan hasil sex reversal (
Sex-reversed Male Tilapia=SMT). Menurut Mair et al. (1997), hasil evaluasi secara
menyeluruh dalam suatu uji coba sekala lapang pada lahan usaha budidaya
menunjukan bahwa benih GMT telah lebih menguntungkan secara significan
meningkatkan produksi lebih dari 58% dibandingkan usaha budidaya ynag
menggunakan benih nila campuran. Produksi benih nila GMT juga secara konsinten
lebih tinggi dari pada produksi benih nila hasil sex reversal, karena keistimewaan lain
dari nila GMT ini adalah ukuran panen yang lebih seragam, sintasan yang tinggi, dan
FCR paling baik (Mair et al., 1997). Keunggulan comparatif penting pada penerapan
teknologi YY-supermale dalam system produksi benih monosex jantan adalah
merupakan technology yang berbasis ramah lingkungan environmentally friendly
tilapia monosex production (Mair et al., 1997).
Penerapan teknologi YY-supermale di Balai Besar Pengembangan Budidaya
Air Tawar merupakan implementasi kerja sama antara Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, Institut Pertanian Bogor dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT). Pelaksanaan penerapan teknologi di BBPBAT dimulai sejak penyerahan
populasi ikan betina hasil feminisasi dari oleh Prof. Komar Sumantadinata dan Dr
Ratu Siti Aliah sebagai bahan untuk menghasilkan populasi induk betina XY.
Selanjutnya di BBPBAT mulai dilakukan Progeny test I pada tahun 2002 untuk
memverifikasi Induk Betina berkromosom XY dan sekaligus membuat populasi
betina dan jantan yang mengandung individu berkromosom YY.
1.2 Tujuan
Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari: Induk nila betina hasil feminisasi I,
pakan induk, pakan benih, pakan larva, hormone 17 Estradiol, Alkohol, aceto-
carmine. Sedangkan alat-alat yang digunakan terdiri dari hapa dan waring ukuran
(2x1x1) m3; ukuran (2x2x1) m3; ukuran (4x2x1) m3; dan ukuran (5x4x1) m3,
akuarium, Aerator Hi-Blow, Water heater, tagging, mikroskop, disecting set, dan
timbangan, dan alat-alat perikanan.
3.2 Metoda
Gambar 5. Bentuk gonad jantan dan gonad betina ikan nila pada
perbesaran mikroskop 100 kali
Progeni test I dilakukan mulai bulan Desember 2002 sampai Agustus 2003,
progeny test II dilakukan pada bulan September 2003 sampai Agustus 2004 dan
Progeny Test III September 2004 sampai Agustus 2005. Perbanyakan mulai
dilakukan sejak bulan Sepetember 2005 sampai Desember 2006. Dan uji coba
produksi masal dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2006. Kegiatan
Feminisasi tahap I dilaksanakan di IPB, sedangkan kegiatan Progeni test I sampai III,
Feminisasi tahap II dan III, perbanyakan dan ujicoba produksi masal dilaksanakan di
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada ulan Juni 2002 diterima calon induk ikan nila hasil feminisasi dari Prof.
Komar Sumantadinata sebanyak 59 ekor, kemudian dipelihara di BBPBAT Sukabumi
sampai ukuran induk. Pada awal bulan Desember ukurannya sudah menjadi induk
tetapi jumlahnya berkurang menjadi 47 ekor.
Hasil pemijahan pada progeny test I hanya 41 ekor yang memijah dan
menghasilkan keturunan. Anakan pada setiap individu induk yang dipijahkan dibagi
menjadi dua sub populasi satu sub populasi sebanyak 100-600 ekor larva di-
feminisasi untuk membuat populasi betina YY, sedangkan satu sub populasi lagi
masing-masing sebanyak 87-800 ekor larva dipelihara secara normal didalam hapa
sebagai bahan untuk membuat populasi jantan YY .
Hasil benih pembesaran pada progeny test I digunakan untuk verifikasi
masing-masing induk betina hasil feminisasi pertama. Berdasarkan hasil identifikasi
kelamin secara visual pada turunan hasil progeny test tersebut diperoleh nisbah
kelamin. Nisbah kelamin jantan yang mencapai atau mendekati 70% hanya
diperoleh pada turunan 5 ekor induk dari total induk yang diprogeny sebanyak 41
ekor.
Proses progeny test I ini membutuhkan waktu yang lama, karen harus
memelihara dari ukuran larva sampai ukuran matang kelamin, yaitu ukuran > 50
gram per ekor. Ikan jantan turunan 5 induk XY tersebut selanjutnya dipelihara
sampai matang gonad dan disiapkan untuk diverifikasi pada tahap progeny test II
untuk mengidentifikasi jnatan YY.
Pada proses pemijahan progeny test II jumlah induk jantan yang diduga
mengandung individu Jantan YY sebanyak 52 ekor yang meliputi 39 ekor dari
populasi induk dengan kode 2.14; dan 4 ekor dari populasi induk dengan kode 2.13;
serta 14 ekor populasi dengan kode 2.6. Jumlah populasi larva yang telah dihasilkan
dari masing-masing populasi induk 2.14 sebesar 35.889 ekor dengan rataan hasil
larva sekitar 816 ekor per individu induk jantan, dari populasi 2.13 sebesar 838 ekor
dengan rataan sebesar 210 ekor per individu induk jantan, dan dari populasi 2.6
sebesar 12.108 ekor dengan rataan 865 ekor per individu induk jantan.
Adapun jumlah induk betina yang digunakan berasal dari satu populasi induk
betina normal yang terdiri dari 160 ekor. Namun demikian jumlah induk betina yang
mati pada waktu pemijahan mencapai lebih dari 50% ekor.
Pada proses pendederan ini telah dihasilkan dua populasi benih keturunan
dari individu masing-masing populasi yang dipelihara didalam hapa di kolam.
Populasi benih pertama yang telah dipanen untuk diperiksa gonadnya sebanyak
10.276 ekor dari penebaran larva sebanyak 24.949
Populasi benih pertama ini sebagian besar berasal dari turunan 38 ekor
individu jantan populasi induk dengan kode 2.14; dari turunan 14 ekor individu jantan
populasi induk dengan kode 2.6; dan dari turunan 4 ekor individu jantan dari populasi
induk dengan kode 2.13. Sisanya berupa ppuasi benih kedua masih dalam proses
pemeliharaan didalam hapa menunggu proses pemeriksaan gonad yang
diperkirakan sebanyak 5000 ekor dari penebaran larva sebanyak 12000 ekor.
Populasi benih kedua masing-masing berasal dari turunan 13 ekor individu jantan
dari populasi induk dengan kode 2.14 dan dari turunan 2 ekor individu jantan dari
populasi induk dengan kode 2.6.
Pada proses pemijahan progeny test III jumlah induk betina yang diduga
mengandung individu YY sebanyak dua populasi, yaitu dari populasi 2.6 dan
populasi 2.13. Masing-masing terdiri dari 12 ekor dan 13 ekor yang di progeny test.
Jumlah larva yang telah dihasilkan dari masing-masing populasi populasi 2.6
sebesar 8.359 ekor dengan rataan hasil larva sekitar 816 ekor per individu induk
jantan, dari populasi 2.13 sebesar 17.237 ekor.
Pada proses pendederan untuk progeny test III dihasilkan dua populasi benih
yang dipelihara didalam hapa di kolam. Populasi benih pertama yang telah dipanen
untuk diperiksa gonadnya sebanyak 2.876 ekor dari penebaran larva sebanyak 6.208
Populasi benih pertama ini hanya berasal dari turunan 9 ekor individu betina
populasi 2.6. Sisanya berupa 16 populasi benih kedua, masih dalam proses
pemeliharaan didalam hapa menunggu proses pemeriksaan gonad yang
diperkirakan sebanyak 9000 ekor dari penebaran larva sebanyak 19.388 ekor.
Populasi benih kedua masing-masing berasal dari turunan 3 ekor individu betina dari
populasi induk dengan kode 2.6 dan dari turunan 14 ekor individu betina dari
populasi induk dengan kode 2.13.
4.4 Pemeriksaan gonad progeny test II
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan bahwa:
Progeny test I untuk verifikasi terhadap populasi betina hasil feminisasi hanya
menghasilkan lima ekor induk betina XY.
Progeny test II untuk verifikasi jantan YY baru dilakukan terhadap 52 ekor
individu jantan dari dua kelompok populasi jantan turunan betina XY dan
menghasilkan 17 induk jantan YY.
Progeny test III untuk verifikasi betina YY telah dilakukan terhadap 25 ekor
individu induk betina dari dua kelompok populasi betina hasil feminisasi tahap
dua turunan betina XY dan menghasilkan 3 ekor induk betina YY.
Verifikasi induk YY berdasarkan hasil sex ratio anakan yang masing-masing
sebesar 97,09 + 3,58% jantan turunan jantan YY dan 98 % jantan untuk turunan
betina YY.melalui pemeriksaan jaringan gonad.
Perbanyakan induk YY telah dilaksanakan dengan 6 kali pemijahan dan telah
menghasilkan 1158 ekor jantan YY dan 127 ekor betina YY. Disamping itu ada
Pseudomale sebanyak 24,36 % dan 28,57%.
Uji coba produksi masal baru dilakukan pada 70 ekor jantan YY dan 90 ekor
betina YY hasil perbanyakan dan turunannya masih berupa benih jantan YY
ukuran 2-3 cm.
5.2 Saran-saran
Perlu dilakukan uji coba produksi benih GMT turunan induk jantan YY hasil
perbanyakan yang dipasangkan dengan induk betina dari berbagai strain untuk
mengetahui efektivitas Induk Jantan YY
Produksi jantan YY dapat didistribusikan sebagai induk pada saat ukuran benih.
Sebagai pasangan induk jantan YY perlu dibuat metoda untuk memproduksi
benih monosek betina.
V. DAFTAR PUSTAKA
Crews, D. and J.M. Bergeron. 1994. Role of reductase and aromatase in sex
determination in the red-eared slider (Trachemys scripta), a turtle with
temperature-dependent sex determination. J. Endocrinol. 143: 279289.
Feist, G., C.G. Yeoh, M.S. Fitzpatrick and C.B. Schreck. 1995. The production of
functional sex-reversed male rainbow trout with 17-methyltestosterone
and 11-hydroXYandrostenedione. Aquaculture 131:145152.
Gale, W.L., M.S. Fitzpatrick, M. Lucero, W.M. Contreras-Snchez and C.B. Schreck.
1999. Masculinization of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) by immersion
in androgens. Aquaculture 178: 349357.
Mair, G. C., Abucay, J. S., Beardmore, J. A., and Skibinski, D. O. F. 1995. Growth
performance trials of genetically male tilapia (GMT) derived from YY
males in Oreochromis niloticus L.: On-station comparisons with mixed sex
and sex reversed male populations. Aquaculture 137: 313-322.
Mair, G. C., Scott, A., Penman, D. J., Beardmore, J. A., and Skibinski, D. O .F. 1991.
Sex determination in the genus Oreochromis I: Sex reversal,
gynogenesis, and triploidy in O. niloticus L. Theor. Appl. Genet. 82: 144-
152.
Mair, G. C., Scott, A., Penman, D. J., Skibinski, D. O .F., and Beardmore, J. A..
1991b. Sex determination in the genus Oreochromis II: Sex reversal,
hybridisation, gynogenesis and triploidy in O. aureus Steindachner.
Theor. Appl. Genet. 82: 153-160.
Scott, A. G., Penman, D. J., Beardmore, J. A., and Skibinski, D .O .F. 1989. The
'YY'supermale in Oreochromis niloticus (L.) and its potential in
aquaculture. Aquaculture 78: 237-251.
Trombka, D., and Avtalion, R.R. 1993. Sex determination in tilapia - a review. The
Israeli Journal of Aquaculture-Bamidgeh 45: 26-37.
Varadaraj, K., and Pandian, T. J. 1989. First report on production of supermale tilapia
by integrating endocrine sex reversal with gynogenetic technique. Curr.
Sci. 58: 434-441.
Yang, Y., Zhang, Z., Lin, K., Wei, Y., Huang, E., Gao, A., Xu, Z., Ke, S., and Wei, J.
1980. Use of three line combination for production of genetic all-male
tilapia mossambica. Acta Scientica Sinica. 7: 241-246.