Anda di halaman 1dari 12

Patogenesa, Pola Penyebaran, dan Prinsip Terapi

Abses Rongga Mulut


Posted: Juni 1, 2010 in Mari Belajar!, Penjalaran Infeksi Odontogen
6

Proses infeksi pada jaringan pulpo-periapikal dapat menyebabkan beberapa kondisi ketika
melibatkan jaringan periapikal, dapat berupa granuloma, abses, kista, atau osteomyelitis.
Dalam catatan ini akan dibahas mengenai patogenesa abses mulai dari jaringan periapikal
hingga ke jaringan lunak.

PATOGENESA DAN POLA PENYEBARAN

Saluran pulpa yang sempit menyebabkan drainase yang tidak sempurna pada pulpa yang
terinfeksi, namun dapat menjadi tempat berkumpulnya bakteri dan menyebar kearah jaringan
periapikal secara progresif (Topazian, 2002). Ketika infeksi mencapai akar gigi, jalur
patofisiologi proses infeksi ini dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi bakteri, ketahanan host,
dan anatomi jaringan yang terlibat.

Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh infeksi bakteri
campuran. Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus
aureus dan Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim
aktif yang disebut koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan
Streptococcus mutans memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi,
yaitu streptokinase, streptodornase, dan hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang
bersifat merusak jembatan antar sel, yang pada fase aktifnya nanti, enzim ini berperan
layaknya parang yang digunakan petani untuk merambah hutan.

Bagaimana sebenarnya pola perjalanan abses ini?

Seperti yang kita semua ketahui, pada umumnya abses merupakan proses yang kronis,
meskipun sebenarnya ada juga abses periapikal akut, namun di catatan ini saya hendak
membahas mengenai perjalanan abses secara kronis.

Seperti yang disebutkan diatas, bakteri Streptococcus mutans (selanjutnya disingkat


S.mutans) memiliki 3 macam enzim yang sifatnya destruktif, salah satunya adalah enzim
hyaluronidase. Enzim ini berperan layaknya parang petani yang membuka hutan untuk
dijadikan ladang persawahannya, ya.. enzim ini merusak jembatan antar sel yang terbuat dari
jaringan ikat (hyalin/hyaluronat), kalau ditilik dari namanya hyaluronidase, artinya adalah
enzim pemecah hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan antar sel penting adanya, sebagai
transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel, juga sebagai unsur penyusun dan
penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar, maka dapat diperkirakan,
kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat terancam rusak/mati/nekrosis.

Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim dari S.mutans tadi,
akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media perkembangbiakan bakteri yang baik,
sebelum akhirnya mereka mampu merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan
periapikal.
Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat dalam proses abses, karenanya infeksi
pulpo-periapikal seringkali disebut sebagai mixed bacterial infection. Kondisi abses kronis
dapat terjadi apabila ketahanan host dalam kondisi yang tidak terlalu baik, dan virulensi
bakteri cukup tinggi. Yang terjadi dalam daerah periapikal adalah pembentukan rongga
patologis abses disertai pembentukan pus yang sifatnya berkelanjutan apabila tidak diberi
penanganan.

Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon


keradangan untuk datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun karena kondisi hostnya
tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi, yang terjadi alih-alih kesembuhan,
namun malah menciptakan kondisi abses yang merupakan hasil sinergi dari bakteri S.mutans
dan S.aureus.

S.mutans dengan 3 enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus saja mampu merusak jaringan
yang ada di daerah periapikal, sedangkan S.aureus dengan enzim koagulasenya mampu
mendeposisi fibrin di sekitar wilayah kerja S.mutans, untuk membentuk sebuah
pseudomembran yang terbuat dari jaringan ikat, yang sering kita kenal sebagai membran
abses (oleh karena itu, jika dilihat melalui ronsenologis, batas abses tidak jelas dan tidak
beraturan, karena jaringan ikat adalah jaringan lunak yang tidak mampu ditangkap dengan
baik dengan ronsen foto). Ini adalah peristiwa yang unik dimana S.aureus melindungi dirinya
dan S.mutans dari reaksi keradangan dan terapi antibiotika.

Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja yang terjadi
pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada pembentukan pus oleh bakteri pembuat
pus (pyogenik), salah satunya juga adalah S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk oleh sinergi
dua kelompok bakteri tadi, tidak kosong, melainkan terisi oleh pus yang konsistensinya
terdiri dari leukosit yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan
nekrotik, dan bakteri dalam jumlah besar.

Secara alamiah, sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut akan terus berusaha
mencari jalan keluar sendiri, namun pada perjalanannya seringkali merepotkan pasien dengan
timbulnya gejala-gejala yang cukup mengganggu seperti nyeri, demam, dan malaise. Karena
mau tidak mau, pus dalam rongga patologis tersebut harus keluar, baik dengan bantuan dokter
gigi atau keluar secara alami.

Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yang notabene
adalah di dalam tulang. Untuk mencapai luar tubuh, maka abses ini harus menembus jaringan
keras tulang, mencapai jaringan lunak, lalu barulah bertemu dengan dunia luar. Terlihat
sederhana memang, tapi perjalanan inilah yang disebut pola penyebaran abses.

Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi bakteri,
ketahanan jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan
bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik
menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot
mempengaruhi arah gerak pus.

Sebelum mencapai dunia luar, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena
sesuai perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah
tepian tulang atau lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan korteks tulang.
Tulang yang dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang
tervaskularisasi dengan baik guna menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena
memiliki vaskularisasi yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi ketika pus mulai
mencapai korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas komponen keradangan dan
sel plasma ke rongga subperiosteal (antara korteks dan periosteum) dengan tujuan
menghambat laju pus yang kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini alih-
alih tanpa gejala, tapi cenderung menimbulkan rasa sakit, terasa hangat pada regio yang
terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini disebut periostitis/serous periostitis.
Adanya tambahan istilah serous disebabkan karena konsistensi eksudat yang dikeluarkan
ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70% plasma, dan tidak kental seperti pus
karena memang belum ada keterlibatan pus di rongga tersebut. Periostitis dapat berlangsung
selama 2-3 hari, tergantung keadaan host.

Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu menghambat
aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal.
Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang
dengan lapisan periosteum, bedanya adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus,
alias pus sudah berhasil menembus korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karenanya
nama abses yang tadinya disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi abses
subperiosteal. Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa
jam saja akan mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat
berbeda dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih serous.

Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi, maka dengan
bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah
mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka
dapat terjadi fascial abscess. Fascial spaces adalah ruangan potensial yang
dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan ikat. Fascial spaces dibagi menjadi :

Fascial spaces primer

1. Maksila
a. Canine spaces
b. Buccal spaces
c. Infratemporal spaces

2. Mandibula
a. Submental spaces
b. Buccal spaces
c. Sublingual spaces
d. Submandibular spaces

- Fascial spaces sekunder

Fascial spaces sekunder merupakan fascial spaces yang dibatasi oleh jaringan ikat dengan
pasokan darah yang kurang. Ruangan ini berhubungan secara anatomis dengan daerah dan
struktur vital. Yang termasuk fascial spaces sekunder yaitu masticatory space, cervical space,
retropharyngeal space, lateral pharyngeal space, prevertebral space, dan body of mandible
space. Infeksi yang terjadi pada fascial spaces sekunder berpotensi menyebabkan komplikasi
yang parah.
Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang paling sering oleh karena
penyebaran kuman dari penyakit odontogenik terutama komplikasi dari periapikal abses. Pus
yang mengandung bakteri pada periapikal abses akan berusaha keluar dari apeks gigi,
menembus tulang, dan akhirnya ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah fascial spaces.
Gigi mana yang terkena periapikal abses ini kemudian yang akan menentukan jenis dari
fascial spaces yang terkena infeksi.

Canine spaces

Berisi musculus levator anguli oris, dan m. labii superior. Infeksi daerah ini disebabkan
periapikal abses dari gigi caninus maksila. Gejala klinisnya yaitu pembengkakan pipi bagian
depan dan hilangnya lekukan nasolabial. Penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces dapat
menyerang daerah infraorbital dan sinus kavernosus.

Buccal spaces

Terletak sebelah lateral dari m. buccinator dan berisi kelenjar parotis dan n. facialis. Infeksi
berasal dari gigi premolar dan molar yang ujung akarnya berada di atas perlekatan m.
buccinator pada maksila atau berada di bawah perlekatan m. buccinator pada mandibula.
Gejala infeksi yaitu edema pipi dan trismus ringan.

Infratemporal spaces

Terletak di posterior dari maksila, lateral dari proc. Pterigoideus, inferior dari dasar
tengkorak, dan profundus dari temporal space. Berisi nervus dan pembuluh darah. Infeksi
berasaal dari gigi molar III maksila. Gejala infeksi berupa tidak adanya pembengkakan wajah
dan kadang terdapat trismus bila infeksi telah menyebar.

Submental space

Infeksi berasal dari gigi incisivus mandibula. Gejala infeksi berupa bengkak pada garis
midline yang jelas di bawah dagu.

Sublingual space

Terletak di dasar mulut, superior dari m. mylohyoid, dan sebelah medial dari mandibula.
Infeksi berasal dari gigi anterior mandibula dengan ujung akar di atas m. mylohyoid. Gejala
infeksi berupa pembengkakan dasar mulut, terangkatnya lidah, nyeri, dan dysphagia.

Submandibular space

Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi berasal dari gigi
molar mandibula dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan dari pericoronitis. Gejala
infeksi berupa pembengkakan pada daerah segitiga submandibula leher disekitar sudut
mandibula, perabaan terasa lunak dan adanya trismus ringan.

Masticator space

Berisi m. masseter, m. pterygoid medial dan lateral, insersi dari m. temporalis. Infeksi berasal
dari gigi molar III mandibula. Gejala infeksi berupa trismus dan jika abses besar maka infeksi
dapat menyebar ke lateral pharyngeal space. Pasien membutuhkan intubasi nasoendotracheal
untuk alat bantu bernapas.

Lateral pharyngeal space (parapharyngeal space)

Berhubungan dengan banyak space di sekelilingnya sehingga infeksi pada daerah ini dapat
dengan cepat menyebar. Gejala infeksi berupa panas, menggigil, nyeri dysphagia, trismus.

Retropharyngeal space (posterior visceral space)

Infeksi berasal dari gigi molar mandibula, dari infeksi saluran pernapasan atas, dari tonsil,
parotis, telinga tengah, dan sinus. Gejala infeksi berupa kaku leher, sakit tenggorokan,
dysphagia, hot potato voice, stridor. Merupakan infeksi fascial spaces yang serius karena
infeksi dapat menyebar ke mediastinum dan daerah leher yang lebih dalam (menyebabkan
kerusakan n. vagus dan n cranial bawah, Horner syndrome)

PRINSIP TERAPI

Pada dasarnya, prinsip terapi abses adalah insisi untuk drainase (mengeluarkan cairan pus),
dengan catatan, prinsip ini dipergunakan untuk abses yang berada di jaringan lunak. Lalu
bagaimana dengan abses periapikal? Yang terjadi didalam tulang? Biasanya abses periapikal
memiliki kondisi khas berupa gigi mengalami karies besar dan terasa menonjol, sakit bila
digunakan mengunyah, kadang terasa ada cairan asin keluar dari gigi yang berlubang
tersebut. Terapi kegawat-daruratannya dalam kondisi ini tentunya belum dapat dilakukan
insisi, oleh karena pus berada dalam tulang, namun yang dapat dilakukan adalah melakukan
prosedur open bur, melakukan eksterpasi guna mengeluarkan jaringan nekrotik, oklusal
grinding, dan pemberian terapi farmakologi.

http://gilangrasuna.wordpress.com/2010/06/01/patogenesa-pola-penyebaran-
dan-prinsip-terapi-abses-rongga-mulut/

Abses Submandibula penyebab bengkak rahang dan


nyeri tenggorokan
03 Friday Aug 2012

Posted by sikkabola in Uncategorized

Leave a Comment

Pendahuluan
Abses submandibula di defenisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang potensial di
regio submandibula yang disertai dengan nyeri tenggorok, demam dan terbatasnya gerakan
membuka mulut.
Abses submandibula merupakan bagian dari abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk
di ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai
sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan
leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam
yang terlibat.

Kuman penyebab infeksi terbanyak adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman


anaerob Bacteroides atau kuman campur.
Abses leher dalam yang lain dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring
dan angina Ludovici (Ludwigs angina).
Ruang submandibula merupakan daerah yang paling sering terlibat penyebaran infeksi dari
gigi. Penyebab lain adalah infeksi kelenjar ludah, infeksi saluran nafas atas, trauma, benda
asing, dan 20% tidak diketahui fokus infeksinya.

Pengetahuan anatomi fasia servikal sangat penting dalam menegakkan diagnosis,


mengetahui komplikasi dan penatalaksanaan abses submandibula. Komplikasi dapat
diperberat karena adanya kelainan ginjal seperti uremia dan kelainan jantung seperti old MCI,
dimana komplikasi yang diperberat dengan penyakit penyerta dapat
menyebabkan kematian.Penatalaksanaannya meliputi mengamankan jalan nafas, antibiotik
yang adekuat, drainase abses serta menghilangkan sumber infeksi. Kelainan-
kelainan penyakit penyerta juga harus ditatalaksana dengan baik.

Anatomi
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal. Fasia
servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisialis dan fasia profunda. Kedua fasia ini
dipisahkan oleh m. plastima yang tipis dan meluas ke anterior leher. Muskulus
platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke
superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.

Ruang potensial leher dibagi menjadi ruang yang melibatkan seluruh leher, ruang suprahioid
dan ruang infrahioid. Ruang yang melibatkan seluruh leher terdiri dari ruang retrofaring,
ruang bahaya (danger space) dan ruang prevertebra. Ruang suprahioid terdiri dari ruang
submandibula, ruang parafaring, ruang parotis, ruang peritonsil dan ruang temporalis. Ruang
infrahioid meliputi bagian anterior dari leher mulai dari kartilago tiroid sampai superior
mediastinum setinggi vertebra ke empat dekat arkus aorta.

Ruang Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual, submaksila dan submental.
Muskulus milohioid memisahkan ruang sublingual dengan ruang submental dan submaksila.
Ruang sublingual dibatasi oleh mandibula di bagian lateral dan anterior, pada bagian inferior
oleh m. milohioid, di bagian superior oleh dasar mulut dan lidah, dan di posterior oleh tulang
hioid. Di dalam ruang sublingual terdapat kelenjer liur sublingual beserta duktusnya.

Ruang submental di anterior dibatasi oleh fasia leher dalam dan kulit dagu, di bagian lateral
oleh venter anterior m. digastrikus, di bagian superior oleh m. milohioid, di bagian inferior
oleh garis yang melalui tulang hyoid. Di dalam ruang submental terdapat kelenjer
limfa submental. Ruang maksila bagian superior dibatasi oleh m. milohioid dan m.
hipoglossus. Batas inferiornya adalah
lapisan anterior fasia leher dalam, kulit leher dan dagu.
Batas medial adalah m. digastrikus anterior dan batas posterior adalah m. stilohioid dan m.
digastrikus posterior. Di dalam ruang submaksila terdapat kelenjer liur submaksila atau
submandibula beserta duktusnya. Kelenjar limfa submaksila atau submandibula
beserta duktusnya berjalan ke posterior melalui tepi m. milohioid kemudian masuk ke ruang
sublingual. Akibat infeksi pada ruang ini mudah meluas dari satu ruang ke ruang lainnya.

Kekerapan
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus infeksi
leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak
ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh angina Ludovici (12,4%), parotis (7%)
dan retrofaring (5,9%).

Sakaguchi dkk, menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 91 kasus dari tahun 1985
sampai 1994. Rentang usia dari umur 1-81 tahun, laki-laki sebanyak 78% dan perempuan
22%. Infeksi peritonsil paling banyak ditemukan, yaitu 72 kasus, diikuti oleh parafaring 8
kasus, submandibula, sublingual dan submaksila 7 kasus dan retrofaring 1 kasus. Fachruddin
melaporkan 33 kasus abses leher dalam selama Januari 1991-Desember 1993 di bagian

THT FKUI-RSCM dengan rentang usia 15-35 tahun yang terdiri dari 20 laki-laki dan 13
perempuan. Ruang potensial yang tersering adalah submandibula sebanyak 27 kasus,
retrofaring 3 kasus dan parafaring 3 kasus. Di sub bagian laring faring FK Unand/RSUP M
Djamil Padang selama Januari 2009 sampai April 2010, tercatat kasus abses leher dalam
sebanyak 47 kasus, dengan abses submandibula menempati urutan ke dua dengan 20 kasus
dimana abses peritonsil 22 kasus, abses parafaring 5 kasus dan abses retrofaring 2 kasus.

Etiologi atau penyebab


Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjer liur atau kelenjer limfa
submandibula. Sebagian lain dapat merupakan kelanjutan infeksi ruang leher dalam lainnya.
Sebelum ditemukan antibiotika, penyebab tersering infeksi leher dalam adalah faring dan
tonsil, tetapi sekarang adalah infeksi gigi. Bottin dkk, mendapatkan infeksi gigi merupakan
penyebab yang terbanyak kejadian angina Ludovici (52,2%), diikuti oleh infeksi
submandibula (48,3%), dan parafaring.
Sebagian besar kasus infeksi leher dalam disebabkan oleh berbagai kuman, baik aerob
maupun anaerob. Kuman aerob yang paling sering ditemukan adalah Streptococcus sp,
Staphylococcus sp, Neisseria sp, Klebsiella sp, Haemophillus sp. Pada kasus yang berasal
dari infeksi gigi, sering ditemukan kuman anaerob Bacteroides melaninogenesis,
Eubacterium Peptostreptococcus dan yang jarang adalah kuman Fusobacterium.

Patogenesis
Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.
Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui
foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang
mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari
ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu limfatik, melalui celah
antara ruang leher dalam dan trauma tembus.

Gejala klinis
Pada abses submandibula didapatkan pembengkakan di bawah dagu atau di
bawah lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeri tenggorok
dan trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan
dapat berfluktuasi atau tidak.

Diagnosis
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus
kadang-kadang sulit untuk menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan
beberapa daerah leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan pengobatan
sebelumnya.

Pemeriksaan penunjang sangat berperan dalam menegakkan diagnosis. Pada foto polos
jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral didapatkan gambaran pembengkakan jaringan
lunak, cairan di dalam jaringan lunak, udara di subkutis dan pendorongan trakea. Pada foto
polos toraks, jika sudah terdapat komplikasi dapat dijumpai gambaran pneumotoraks dan juga
dapat ditemukan gambaran pneumomediastinum. Jika hasil pemeriksaan foto polos jaringan
lunak menunjukkan kecurigaan abses leher dalam, maka pemeriksaan tomografi komputer
idealnya dilakukan.
Tomografi Komputer (TK) dengan kontras merupakan standar untuk evaluasi infeksi leher
dalam. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara selulitis dengan abses, menentukan lokasi
dan perluasan abses. Pada gambaran TK dengan kontras akan terlihat abses berupa daerah
hipodens yang berkapsul, dapat disertai udara di dalamnya, dan edema jaringan sekitar. TK
dapat menentukan waktu dan perlu tidaknya operasi.

Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan pencitraan resonansi magnetik


(Magnetic resonance Imaging / MRI) yang dapat mengetahui lokasi abses, perluasan dan
sumber infeksi. Sedangkan Ultrasonografi (USG) adalah pemeriksaan penunjang diagnostik
yang tidak invasif dan relatif lebih murah dibandingkan TK, cepat dan dapat menilai lokasi
dan
perluasan abses. Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya abses pada
gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses leher dalam yang diduga sumber
infeksinya berasal dari gigi.

Pemeriksaan darah rutin dapat melihat adanya peningkatan leukosit yang merupakan tanda
infeksi. Analisis gas darah dapat menilai adanya sumbatan jalan nafas. Pemeriksaan kultur
dan resistensi kuman harus dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan antibiotik yang
sesuai

Komplikasi
Komplikasi terjadi karena keterlambatan diagnosis, terapi yang tidak tepat dan
tidak adekuat. Komplikasi diperberat jika disertai dengan penyakit diabetes
mellitus, adanya kelainan hati dan ginjal dan kehamilan. Komplikasi yang berat
dapat menyebabkan kematian.

Infeksi dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya, dapat mengenai struktur neurovaskular
seperti arteri karotis, vena jugularis interna dan n. X. Penjalaran infeksi ke daerah selubung
karotis dapat menimbulkan erosi sarung karotis atau menyebabkan trombosis vena jugularis
interna. Infeksi yang meluas ke tulang dapat menimbulkan osteomielitis mandibula dan
vertebra servikal. Dapat juga terjadi obstruksi saluran nafas atas, mediastinitis, dehidrasi dan
sepsis.

Terapi
Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang
adekuat dan drainase abses yang baik. Seharusnya pemberian antibiotik
berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan terhadap bakteri penyebab
infeksi, tetapi hasil biakan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil
mikrobiologi ada, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob.

Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk abses yang dangkal dan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.
Adanya trismus menyulitkan untuk masuknya pipa endotrakea peroral. Pada kasus demikian
diperlukan tindakan trakeostomi dalam anastesi lokal. Jika terdapat fasilitas bronkoskop
fleksibel, intubasi pipa endotrakea dapat dilakukan secara intranasal.
Insisi abses submandibula untuk drainase dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau
setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses. Eksplorasi dilakukan secara tumpul sampai
mencapai ruang sublingual, kemudian dipasang salir.

http://sikkabola.wordpress.com/2012/08/03/abses-submandibula-penyebab-
bengkak-rahang-dan-nyeri-tenggorokan/

Pola Perjalanan (Penyebaran) Abses Pada Gigi


diposting oleh gilangrasuna-fkg pada 13 December 2011
di Catatan Kecil Tentang Gigi - 0 komentar

Seperti yang sudah dibahas pada materi sebelumnya, bahwa pola penyebaran abses
dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu virulensi bakteri, ketahanan jaringan, dan perlekatan otot.
Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa ke segala
arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan
mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah gerak pus.

Dalam skema yang ada dibawah ini, mari kita mencoba membayangkan bahwa cavum oris
manusia adalah sebuah peta perjalanan, dimana kita pasti akan bertemu pertigaan,
perempatan, lampu merah, dan rambu lalu lintas lainnya. Lalu apa korelasinya? Yaitu bahwa
peta yang saya buat di bawah ini adalah prakiraan logis tentang lokasi abses, darimana arah
pus, akan kemana, dan kira-kira akan menjadi kondisi seperti apa. Mari membahasnya!

Apabila terjadi sebuah kondisi abses periapikal pada sebuah gigi yang mengalami proses
infeksi, maka pada prinsipnya, pus yang terkandung harus dikeluarkan, namun jika tidak
dikeluarkan, maka ia pun dapat mencari jalan keluar sendiri, eits tunggu dulu jangan
berasumsi kalau gitu dibiarin aja!, karena pada proses perjalanannya, pasti sakit dengan
intensitas yang berbeda di tiap individu.

Kali ini, kita membayangkan jika abses periapikal tidak dirawat dengan baik agar dapat
terdrainase, tentunya pus masih akan berkutat di regio periapikal. Seperti yang sempat
disebutkan diatas tadi, sesuai dengan pola penyebaran abses yang dipengaruhi oleh 3
kondisi :

1. Virulensi bakteri,
2. Ketahanan jaringan,
3. dan perlekatan otot.

Kondisi-kondisi yang tertulis di bawah ini adalah berkaitan dengan poin ke-2 dan ke-3,
karena ketahanan jaringan dan letak perlekatan otot mempengaruhi sampai dimana arah gerak
pus. Dengan adanya faktor-faktor tersebut, maka akan tercipta kondisi-kondisi seperti yang
tertera pada gambar, dengan syarat dan ketentuan yang berlaku :
a. Abses Submukosa (Submucous Abscess)

Disebut submukosa karena memang dikarenakan pus terletak dibawah lapisan mukosa,
akan tetapi, jika berbeda tempat, berbeda pula namanya. Ada 4 huruf a yang tertera pada
gambar, kesemuanya merupakan abses submukosa, namun untuk yang terletak di palatal,
disebut sebagai Abses Palatal (Palatal Abscess). Yang terletak tepat dibawah lidah dan diatas
(superior dari) perlekatan otot Mylohyoid disebut abses Sublingual (Sublingual Abscess).
Yang terletak di sebelah bukal gigi disebut dengan Abses vestibular, kadangkala sering terjadi
salah diagnosa karena letak dan secara klinis terlihat seperti Abses Bukal (Buccal Space
Abscess), akan tetapi akan mudah dibedakan ketika kita melihat arah pergerakan polanya,
jika jalur pergerakan pusnya adalah superior dari perlekatan otot masseter (rahang atas) dan
inferior dari perlekatan otot maseter (rahang bawah), maka kondisi ini disebut Abses Bukal,
namun jika jalur pergerakan pusnya adalah inferior dari perlekatan otot maseter (rahang atas)
dan superior dari perlekatan otot maseter (rahang bawah), maka kondisi ini disebut Abses
Vestibular.

b. Abses Bukal (Buccal Space Abscess)

Abses Bukal (Buccal Space Abscess) dan Abses Vestibular kadang terlihat membingungkan
keadaan klinisnya, akan tetapi akan mudah dibedakan ketika kita melihat arah pergerakan
polanya, jika jalur pergerakan pusnya adalah superior dari perlekatan otot masseter (rahang
atas) dan inferior dari perlekatan otot maseter (rahang bawah), maka kondisi ini disebut
Abses Bukal, namun jika jalur pergerakan pusnya adalah inferior dari perlekatan otot maseter
(rahang atas) dan superior dari perlekatan otot maseter (rahang bawah), maka kondisi ini
disebut Abses Vestibular.

c. Abses Submandibular (Submandibular Abscess)

Kondisi ini tercipta jika jalur pergerakan pus melalui inferior (dibawah) perlekatan otot
Mylohyoid dan masih diatas (superior) otot Platysma.

d. Abses Perimandibular

Kondisi ini unik dan khas , karena pada klinisnya akan ditemukan tidak terabanya tepian
body of Mandible, karena pada region tersebut telah terisi oleh pus, sehingga terasa
pembesaran di region tepi mandibula.

e. Abses Subkutan (Subcutaneous Abscess)

Sesuai namanya, abses ini terletak tepat dibawah lapisan kulit (subkutan). Ditandai dengan
terlihat jelasnya pembesaran secara ekstra oral, kulit terlihat mengkilap di regio yang
mengalami pembesaran, dan merupakan tahap terluar dari seluruh perjalanan abses. Biasanya
jika dibiarkan, akan terdrainase spontan, namun disarankan untuk melakukan insisi untuk
drainase sebagai perawatan definitifnya.
http://gilangrasuna-fkg.web.unair.ac.id/artikel_detail-40675-Catatan%20Kecil
%20Tentang%20Gigi-Pola%20Perjalanan%20%28Penyebaran%29%20Abses
%20Pada%20Gigi.html

Anda mungkin juga menyukai