Anda di halaman 1dari 13

Dialek Komunitas Arab di Kampung Arab Malang

Proposal Penelitian Dialektologi

Pengampu: Dr. Amir Maruf, M.Hum

:Disusun oleh
Itsnaini Muslimati Alwi
PMU/08815/16/404928

Kajian Timur Tengah


Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2016

Dialek Komunitas Arab di Kampung Arab Malang

Latar Belakang

Pengertian bahasa menurut KBBI (kbbi.web.id) adalah sistem lambang bunyi yang
arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi,

1
dan mengidentifikasikan diri. Oleh karena itu dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa
tidak dapat dilepaskan dari rutinitas sehari-hari, karena merupakan alat komunikasi yang
bersifat universal serta disepakati secara bersama-sama. Struktur dasar bahasa sebagaimana
diketahui meliputi beberapa hal yaitu: al-aswat (phonetics), al-sharf (morphology), al-nahwu
(syntax), dan al-dalaly (semantics).

Dialektologi merupakan ilmu tentang dialek; atau cabang dari linguistik yang
mengkaji perbedaan-perbedaan isolek (isoglos pada peta bahasa) dengan memperlakukan
perbedaan tersebut secara utuh (Mahsun, 1995: 11). Dengan kata lain menurut Steinhauer
dalam Mahsun (1995) dialek merupakan penilaian hasil perbandingan dengan salah satu
isolek lainnya yang dianggap lebih unggul. Bahasa Arab memiliki klasifikasi dua ragam
fusha-lahjah atau ragam baku-nonbaku. Ragam baku menjadi lingua franca di daerah Arab
karena secara umum rangam ini dianggap ragam yang lebih murni benar, lebih terpelajar, dan
karenanya tinggi. Sedangkan ragam nonbaku sering dianggap sebaliknya. Adapun klasifikasi
model Barat membedakan fusha menjadi dua: klasik dan modern. Karena itu, ragam bahasa
dibagi menjadi tiga: Bahasa Arab klasik (Classical Arabic), Bahasa Arab Modern Standar
(Modern Standard Arabic/MSA) dan Bahasa Arab Lahjah (Nimah, 2009: 31).

Kota Malang sebagai kota pedalaman, merupakan salah satu kota tempat persebaran
agama Islam oleh kaum Arab. Awal kedatangan orang Arab ke Kota Malang banyak
menempati pesantren-pesantren yang ada di Kota Malang, dan tidak bertempat di satu
kawasan saja (belum terbentuk kampung). Pada tahun 1854, Pemerintah Hindia Belanda
membentuk kebijakan Regering Regleement yang membedakan kelompok masyarakat
menjadi tiga kelas, yaitu Eropa, Timur Asing dan Pribumi, sedangkan tahun 1860
mengeluarkan peraturan yang mengatur dan menggolongkan masyarakat Arab dan
keturunananya di Indonesia sama dengan orang Timur Asing (Vremde Oosterlingen). Pada
tahun 1882, daerah orang Arab terletak di sebelah belakang Masjid Jami (sebelah Barat alun-
alun). Akan tetapi, terdapat salah satu jalan bernama Embong Arab yang dapat diartikan
sebagai jalan milik orang Arab yang terletak di sebelah barat pasar. Hal ini yang
mengakibatkan orang Arab pada akhirnya secara alami membentuk perkampungan sesuai
dengan daerah permukiman yang diperuntukkan dari pemerintah Belanda (Handinoto, 1996).

Komunitas Arab Kota Malang merupakan keturunan dari dari Yaman, tepatnya daerah
Tarim dan Hadramaut. Selain memiliki tujuan awal menjalankan syiar agama Islam, kaum
Arab juga berdagang dan melakukan persebaran agama Islam melalui berdagang. Komunitas

2
Arab Kota Malang menjadi pendatang dan membentuk permukiman sebelum tahun 1900
(Aryanti,dkk, 2002: 48). Dalam berkomunikasi, tampaknya mereka belum bisa
menghilangkan bahasa Arab dari negara asal nenek moyang mereka berada. Dalam hal ini,
bahasa Indonesia atau bahasa Jawa daerah Malang tetap menjadi bahasa ibu mereka, namun
ada beberapa kata dalam bahasa Arab (yang kebanyakan berkelas kata nomina) digunakan
dalam percakapan sehari-hari mereka, diantara contohnya adalah sebagai berikut:

1. Jaddah menjadi jiddah


2. Khalah menjadi khaleh
3. Rijal menjadi rejal
4. Qahwa menjadi gahwa
5. Raja menjadi reja

Dari hal yang tersebut di atas dapat diketahui bahwa perubahan pada huruf vokal
pertama (setelah huruf konsonan) dan perubahan huruf konsonan pada awal kata (khususnya
q menjadi g). Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Maxos dalam Nimah (2009), ia
menyebutkan bahwasanya Yaman termasuk dalam keluarga dialek Badui yang dikenal
dengan pronounciation huruf dan . Dua huruf pertama dengan fonetik non-semitik
ch dan g (ini adalah merupakan pengaruh kedekatan mereka dengan Bahasa Persia).
Selain beberapa contoh di atas masih banyak lagi dialek yang digunakan. Maka dalam hal ini
peneliti ingin mengetahui bagaimanakah varian dialek Arab yang digunakan di Kampung
Arab Malang.

Rumusan Masalah

Dengan latar belakang tersebut peneliti ingin mengetahui beberapa hal yang
berkenaan dengan hal tersebut :

1. Bagaimanakah dialek Arab yang digunakan di Kampung Arab Malang?


2. Bagaimanakah varian dialek Arab yang digunakan di Kampung Arab Malang ditinjau
dari segi fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik?
Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai setelah terlaksanya penelitian tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dialek Arab yang digunakan di Kampung Arab Malang.

3
2. Untuk mengetahui varian dialek Arab yang digunakan di Kampung Arab Malang dari
segi fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.

Landasan Teori

Dalam perkembangannya kajian lingusitik murni terbagi menjadi dua sub kajian
utama yaitu kajian linguistik teoritis dan linguistik praktis. Linguistik teoritis berkaitan
langsung dengan pembahasan terhadap empat unsur utama dalam kajian bahasa yaitu
fonologi, morfologi, sintaksis dan juga semantik. Sedangkan kajian linguistik praktis lebih
kepada pembahasan terhadap hasil-hasil kajian dari linguistik murni yang berusaha
mengkombinasikan disiplin ilmu linguistik murni dengan berbagai aspek lain. Seperti
kombinasi ilmu linguistik dengan ilmu sosial yang menghasilkan ilmu sosiolinguistik dan
lain sebagainnya.

Sebagai bentuk kajian bahasa, dialektologi lebih menekankan kepada pembahasan


yang berhubungan dengan ragam bahasa. Penelitian dan pengkajian terhadap varian-varian
bahasa dengan memperlakukannya sebagai struktur yang utuh telah menjadikannya sebagai
salah satu cabang linguistik. Hal tersebut sesuai dengan pangertian dialektologi yang
merupakan cabang dari linguistik yang mengkaji perbedaan-perbedaan isolek dan
memperlakukannya secara utuh (Mahsun, 1995: 11).

Dialektologi sebagai suatu bentuk kajian dalam ilmu linguistik yang mempelajari
dialek-dialek yang terdapat dalam wilayah tertentu. Tujuan kajian ilmu ini adalah untuk
mencari hubungan kekeluargaan di antara dialek-dialek tersebut serta menentukan sejarah
perubahan bunyi atau bentuk kata serta makna yang terkandung di dalamnya. Usaha
pencarian tersebut dilakukan dari masa ke masa dan dari satu tempat ke tempat yang lain
(Sumarsono,dkk, 2002: 9-10).

Dalam kajian dialektologi, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan bunyi kata,


bentuk kata, serta makna yang terkandung di dalamnya adalah perbedaan dari fonologi,
morfologi, sintaksis, leksikon dan semantik (Mahsun, 1995). Adapun deskripsi dari perbedaan
masing-masing unsur tersebut adalah sebagai berikut:

a. Fonologi
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-
bunyi bahasa adalah fonologi. Fonologi adalah merupakan studi bunyi bahasa ditinjau
dari segi fungsinya (Kentjono, 1997: 3). Menurut Chaer (2012: 102) secara etimologi,

4
fonologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan
bunyi yang menjadi objek studi fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara
umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi
bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai
pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang
mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda
makna.
Menurut Chaer (2012: 103) urutan proses terjadinya bunyi bahasa, dibedakan adanya
jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris. Fonetik
artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, yaitu mempelajari
bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi
bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari
bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Bunyi-bunyi itu diselidiki
frekuensi getarannya, ampluitudonya, intensitasnya, dan timbrenya. Sedangkan fonetis
auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga
kita. Dari ketiga fonetik ini, yang paling berurusan dengan dunia linguistik adalah fonetik
artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi
bahasa dihasilkan atau diucapkan oleh manusia.
Sedangkan objek penelitian fonemik adalah fonem, yakni bunyi bahasa yang dapat
atau berfungsi membedakan makna kata. Jika dalam fonetik, misalnya, meneliti bunyi-
bunyi [a] yang berbeda pada kata-kata seperti lancar, laba, dan lain-lain; atau meneliti
perbedaan bunyi [i] seperti yang terdapat pada kata-kata: ini, intan, dan pahit. Maka
dalam fonemik kita meneliti apakah perbedaan bunyi itu mempunyai fungsi sebagai
pembeda makna atau tidak. Jika bunyi itu membedakan makna, maka bunyi tersebut
disebut fonem, dan jika tidak membedakan makna adalah bukan fonem (Chaer, 2012:
125).
Dalam ilmu dialektologi, perbedaan fonologi berkenaan dengan perbedaan fonetik,
jadi merupakan perbedaan fonologikal. Perbedaan fonologi perlu dibedakan dengan
perbedaan leksikon mengingat dalam penentuan isolek sebagai bahasa, dialek, atau
subdialek dengan menggunakan dialektometri pada tataran leksikon (Mahsun, 1995: 23).
b. Morfologi
Morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata
secara gramatikal (Verhaar, 2010: 52). Proses morfologis merupakan suatu proses yang
mengubah leksem atau satuan leksikal menjadi kata (Arifin, 2009: 9). Dari akar dan pola,
tersebutlah kata dalam bahasa Arab tertentu. Satuan bahasa terkecil yang maknanya relatif

5
stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil disebut morfem
(Kridalaksana, 2008: 158). Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwasana proses
pembentukan kata ada tiga komponen yang sangat erat berkaitan, yaitu leksem (input),
morfem dan kata (output). Dengan kata lain pada proses pembentukan kata itu bisa terjadi
pula proses pembentukan morfem.
Bidang-bidang yang dibahas dalam morfologi yaitu meliputi: (1) morfem-morfem
yang terdapat dalam sebuah bahasa, (2) proses pembentukan kata, (3) fungsi proses
pembentukan kata, (4) makna proses pembentukan kata, dan (5) penjenisan kata. Dalam
proses morfologis Bahasa Arab terdapat beberapa istilah yang digunakan (Thoyib, 2016),
istilah-istilah tersebut meliputi:
1. Akar kata
Satuan terkecil dari leksikon (kata) adalah leksem. Leksem berperan sebagai input dan
sebagai bahan baku dalam proses morfologi. Kata adalah satuan terbesar dalam proses
morfologis, yang berperan sebagai output dan dapat dianalisis atas komponen yang
disebut morfem (Kridalaksana, 2009: 110 dan 140). Satuan bahasa terkecil yang
maknanya relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil
disebut morfem (Kridalaksana, 2009: 158). Dari keterangan tersebut dapat
disimpulkan bahwasanya leksem (istilah dalam leksikologi) dan morfem (istilah
dalam morfologi) dapat disebut pula akar kata, yang merupakan bagian terkecil dari
kata yang bermakna dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil.
2. Vokal
Vokal adalah tanda bunyi yang dituliskan di atas atau di bawah konsonan berpola aktif
meliputi fathah untuk bunyi (a), kasrah untuk bunyi (i) dan dhommah untuk bunyi
(u), serta berpola pasif meliputi sukun, yaitu penanda hilangnya bunyi vokal
(Kridalaksana, 2009: 60, 108, 230).

3. Radikal
Radikal adalah inti kata yang mengandung makna inti dan menjadi dasar
pembentukan kata (Kridalaksana, 2009: 4).
4. Stem
Stem adalah pangkal (leksem) yang bergabung dengan afiks (Kridalaksana, 2009:
170).
5. Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk kata (Chaer,
2012: 177). Dalam proses ini terlibat unsur-unsur (1) dasar atau bentuk dasar, (2)
afiks, dan (3) makna gramatikal yang dihasilkan.

6
6. Fleksi
Fleksi atau infleksi adalah perubahan bentuk kata yang menunjukkan pelbagai
hubungan gramatikal; mencakup deklinasi nomina; pronomina, adjektiva, dan
konjugasi verba (Kridalaksana, 2009: 93).
7. Desinensi
Desinensi disebut pula akhiran atau imbuhan (morfem yang terikat) yang
dirangkaikan di belakang kata; seperti pemarkah, jumlah, dan ketakrifan
(kbbi.web.id). Contoh lainnya adalah dalam kata latin dominus bentuk domin
adalah akar katanya, u adalah vokal tematis, dan s adalah desinens (Kridalaksana,
2009: 47).
8. Konjugasi
Konjugasi adalah klasifikasi verba menurut infleksinya, atas kala, persona, dan
jumlah atau infleksi kata kerja maupun seperangkat verba yang memiliki sistem
infleksi yang hampir sama (Kridalaksana, 2009: 131).
9. Deklinasi
Deklinasi adalah perubahan nomina, pronominal atau adjektiva yang menunjukkan
ketegori, kasus, jumlah, atau jenis (Kridalaksana, 2009: 45).
10. Derivasi
Derivasi adalah proses pengimbuhan afiks non-inflektif pada dasar untuk
membentuk kata (Kridalaksana, 2009: 47).
11. Mazid (Derivasi Verbal)
Dalam Bahasa Arab, mazid merupakan kata yang telah ditambahi afiks baik satu
jenis afiks, dua, maupun tiga jenis. Bahkan pada kasus nomina bisa sampai empat
dan lima tambahan. Biasanya istilah ini digunakan dalam verba atau fiil dalam
bahasa Arab (Baalbaki, 1990: 64)
12. Deverbalisasi (Derivasi Nominal)
Deverbalisasi adalah proses pembentukan kata dari verba (Kridalaksana, 2009:
47).
13. Konsonan Formatif
Konsonan formatif adalah unit atau sub-bagian kecil dari bahasa yang menjadi
bagian dari unit bahasa yang besar, seperti ya mudharaah dan lain sebagainya
(Baalbaki, 1990: 198).
14. Afiks Vokalis
Afiks vokalis atau penambahan vokal dalam proses pembentukan kata, misalnya a,
i, u, e, dan o (Kridalaksana, 2009: 256-257).
15. Konstitusi Silabis
Konstitusi silabis adalah unsur atau bagian dari suku kata yang bisa berdiri sendiri
sebagai suku kata (Kridalaksana, 2009: 132, 221).

7
Dalam ilmu dialektologi, perbedaan morfologi yang dideskripsikan menyangkut semua
perbedaan aspek kajian morfologis yang terdapat dalam bahasa yang diteliti. Perbedaan itu
dapat menyangkut aspek afiksasi, reduplikasi, komposisi, dan morfofonemik (Mahsun, 1995:
51).

c. Sintaksis
Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antar-kata dalam tuturan
(Verhaar, 2010: 161). Tata bahasa terdiri atas morfologi dan sintaksis. Morfologi adalah
kajian yang menyangkut struktur gramatikal di dalam kata, dan sintaksis adalah kajian
yang berurusan tentang tata bahasa di antara kata-kata di dalam tuturan. Menurut Chaer
(2012: 206) dalam pembahasan sintaksis yang biasa dibicarakan adalah: (1) struktur
sintaksis, mencakup masalah fungsi, kategori, dan peran sintaksis; serta alat-alat yang
digunakan dalam membangun struktur itu; (2) satuan-satuan sintaksis yang berupa kata,
frase, klausa, kalimat, dan wacana; dan (3) hal-hal lain yang berkenaan dengan sintaksis,
seperti masalah modus, aspek, dan sebagainya.
Struktur sintaksis mencakup masalah fungsi, kategori, dan peran, penjelasan dari
masing-masing masalah adalah sebagai berikut:
1. Fungsi
Fungsi adalah tataran pertama, tertinggi, dan paling abstrak. Fungsi adalah apa
yang dinamakan oleh istilah umum sebagai subyek (S), predikat (P), obyek (O),
dan keterangan (K). Menurut Venhaar (2010: 167) fungsi sintaksis adalah
konstituen yang formal belaka tidak terikat pada unsur semantis tertentu
(asalkan menjadi salah satu peserta pada verba), tidak terikat juga pada unsur
kategorial tertentu (asalkan nominal, bermarkah dengan preposisi atau bentuk
kasus, atau tanpa pemarkah tersebut).
2. Kategori
Kategori sintaksis adalah apa yang disebut kelas kata, seperti nomina, verba,
adjektiva, adverbia, adposisi (artinya: preposisi atau posposisi), dan lain
sebagainya (Venhaar, 2010: 170). Kategori bersifat sistematik, artinya
pengetahuan tentang verba di dalam suatu tuturan misalnya, tidak harus
dihubungkan dengan kategori lainnya. Seperti dengan nomina, preposisi, atau
lainnya, dan begitu juga sebaliknya.
3. Peran
Peran sintaksis adalah segi semantis dari peserta-peserta verba (Verhaar, 2012:
167). Sedangkan menurut Thoyib (2016) peran merupakan tataran yang ketiga dan
terendah tingkat keabstrakannya jika dibandingkan dengan ke dua tataran

8
sebelumnya (fungsi dan kategori), yaitu dapat berupa pelaku (agentif), penderita
(obyektif), penerima (benefaktif), alat (instrumental), dan tindakan (aktif, pasif).
Dalam sintaksis diterangkan pola-pola yang mendasari satuan-satuan sintaksis serta
bagian-bagian yang membentuk satuan-satuan tersebut. Satuan-satuan tersebut meliputi:
(1) kata, yaitu satuan gramatikal bebas terkecil. (2) frase, yaitu satuan gramatikal yang
terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak berciri klausa tetapi pada umumnya pembentuk
klausa. (3) klausa, yaitu satuan gramatikal yang disusun oleh kata atau frase yang
mempunyai satu predikat. (4) kalimat, yaitu satuan gramatikal yang disusun oleh
konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, partikel penghubung (jika ada), dan
intonasi final. (5) wacana, adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa
yang lengkap, maka dalam wacana terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh
yang bisa dipahami oleh pembaca atau pendengar tanpa keraguan apapun.
Dalam ilmu dialektologi, perbedaan sintaksis yang dimaksudkan berkaitan dengan
perbedaan yang terdapat pada seluruh aspek kajian sintaksis, yang ditemukan dalam
bahasa yang diteliti. Perbedaan tersebut menyangkut perbedaan struktur klausa ataupun
frasa yang digunakan untuk menyatakan makna yang sama (Mahsun, 1995: 53).
d. Leksikon
Istilah leksikon dalam ilmu linguistik berarti perbendaharaan kata-kata itu sendiri
sering disebut leksem (Venhaar, 2010: 13). Setiap bahasa memiliki perbendaharaan
yang cukup besar, meliputi puluhan ribu kata. Setiap kata memiliki arti atau makna
sendiri, dan urusan leksikografi (penyusunan kamus) tidak lain adalah pemerian arti
masing-masing leksem. Leksikologi memiliki hubungan yang erat dengan fonologi.
Sebagai contoh adalah kata lupa : rupa. Satu-satunya perbedaan di antaranya ialah
perbedaan antara /l/ dan /r/; jadi jelas tugas kedua fonem itu adalah membedakan leksem-
leksemnya.
Dalam ilmu dialektologi, perbedaan dalam bidang leksikon adalah apabila leksem-
leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari
satu etimon prabahasa. Semua perbedaan bidang leksikon selalu berupa variasi (Mahsun,
1995: 54).
e. Semantik
Semantik adalah cabang linguistik yang meneliti arti atau makna (Verhaar, 2010:
385). Menurut Chomsky (1965) dalam Chaer (2012: 285) semantik merupakan salah satu
komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi), dan makna
kalimat sangat ditentukan oleh komponen sintaksis ini. Menurut Wijana (1999) dalam
Ainin dan Asrori (2008: 6) semantik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah makna

9
satuan lingual (satuan lingual di samping memiliki bentuk juga memungkinkan memiliki
makna). Makna dapat di definisikan sebagai konsepsi atau persepsi yang menghubungkan
satuan lingual itu dengan kenyataan di luar bahasa yang disebut referen kendatipun
makna tidak selalu identik dengan referen. Lambang atau simbol yang menjadi kajian
semantik hanyalah lambang bahasa atau simbol-simbol yang berkenaan dengan bahasa
sebagai alat komunikasi verbal. Objek semantik adalah makna, dan makna dapat
dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tataran bahasa, yaitu fonologi, morfologi,
dan sintaksis (Ainin dan Asror, 2008: 9).
Dalam ilmu semantik, makna memiliki bermacam-macam klasifikasi bila dilihat dari
segi atau prespektif yang berbeda. Adapun menurut Chaer dalam Ainin dan Asrori (2008:
37-52) klasifikasi makna meliputi:
1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa
konteks apa pun. Misalnya, leksem memiliki makna leksikal bagian tubuh
/anggota badan paling atas atau paling depan. Sedangkan makna gramatikal hadir
sebagai akibat proses gramatika, misalnya afiksasi, perubahan internal, dan
penggabungan (idhafi). Seperti contoh, kata bermakna seorang penganut
agama Islam, setelah mengalami proses afiksasi kata tersebut mengalami perubahan
makna; bermakna dua orang muslim dan bermakna sejumlah
orang penganut Islam.
2. Makna Referensial dan Makna Non-Referensial
Apabila suatu kata memiliki referen atau acuan (sesuatu di luar bahasa yang
diacu), maka kata tersebut mempunyai makna referensial () . Makna
referensial dikontraskan dengan makna non-referensial. Kata-kata yang termasuk
kategori kata tugas (huru:f) selain tidak mempunyai makna leksikal juga tidak
memiliki makna referensial. Kata-kata yang termasuk kategori kata depan (huru:f
jaar), kata penghubung (huru:f athf), dan kata tugas lainnya tidak mempunyai
referen atau acuan. Oleh karena itu, makna yang dikandung dalam kata tugas
disebut makna non-referensial () .
3. Makna denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif ( ) adalah makna dasar atau makna asli yang dimiliki
oleh sebuah kata. Hal itu berarti bahwa makna denotatif mengacu pada acuan
yang sebenarnya, contoh: kata bermakna warna yang menyerupai darah.
Sedangkan makna konotatif ( ) adalah makna tambahan terhadap
makna dasarnya yang berupa nilai, rasa, atau gambaran tertentu, contoh: kata
bermakna konotatif berani.

10
4. Makna Kata dan Makna Istilah
Pada awalnya makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna
denotatif, atau makna konseptual. Namun dalam penggunaannya, makna kata baru
menjadi jelas jika kata tersebut sudah berada pada konteks kalimatnya atau
konteks situasinya, contoh: (a) tangannya luka terkena percahan kata, (b)
lengannya luka terkena pecahan kaca. Kata tangan dan lengan pada kalimat
tersebut adalah bersinonim, atau bermakna sama. Sedangkan makna istilah adalah
makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks
kalimat (makna bebas konteks). Contohnya: kata tangan dan lengan dalam bidang
kedokteran mempunyai makna istilah yang berbeda, tangan bermakna bagian dari
pergelangan sampai ke jari tangan, sedangkan lengan adalah bagian dari
pergelangan sampai ke pangkal bahu.
5. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya/referennya dan
tidak dikaitkan dengan asosiasi-asosiasi tertentu. Oleh karena itu, makna
konseptual pada prinsipnya sama dengan makna referensial, makna leksikal,
maupun makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna sebuah kata
dikaitkan, dihubungkan, diasosiasikan dengan hal-hal tertentu di luar bahasa.
Menurut Leech dalam Chaer (2012) makna asosiatif mencakup makna konotatif,
stilistika, afektif, refleksi dan kolokatif, contohnya: kata bermakna denotatif
cahaya berasosiasi dengan kebenaran dan petunjuk.
6. Makna Idiomatis dan Makna Peribahasa
Idiom adalah satuan-satuan kebahasaan (kata, frasa, dan kalimat) yang maknanya
tidak dapat diketahui dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun dari makna
gramatikal satuan tersebut. Sebagai contoh, kata yang berasal dari bentuk
dasar berupa nomina " "menurut kaidah gramatikal bermakna menjadi pasar,
namun hal tersebut tentunya tidak masuk akal, makna yang tepat melainkan
berbelanja. Sedangkan peribahasa merupakan satuan kebahasaan yang
digunakan sebagai perbandingan, tetapi maknanya masih dapat dilacak dari makna
leksikal dan gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Sebagai contoh, pada kalimat
" " , bermakna harfiah tidak akan kembali hari-hari yang telah

berlalu. Makna tersebut digunakan sebagai pembanding suatu hal yang ada di
luar atau yang tidak dinyatakan. Dalam hal ini yang dibandingkan adalah
kesempatan, waktu atau kegiatan, dan kehidupan yang telah lewat atau yang telah
dikerjakan.

11
Dalam ilmu dialektologi, perbedaan makna yang diberikan pada bentuk yang sama
disebut perbedaan semantik. Namun perbedaan tersebut masih memiliki pertalian antara
makna yang digunakan pada daerah pengamatan tertentu dengan makna yang digunakan
pada daerah pengamatan yang lainnya (Mahsun, 1995: 55).

Daftar Pustaka

Ainin, Moh dan Asrori, Imam. 2008. Semantik Bahasa Arab. Surabaya: Hilal Pustaka

Arifin, Zaenal. 2009. Morfologi Bentuk, Makna, dan Fungsi. Jakarta: PT Grasindo

Aryanti, dkk. Perubahan Kawasan Kampung Arab Kota Malang dalam Arsitektur e-
journal, Vol. 5, No. 1. 2012

Baalbaki, Ramzi Munir. 1990. Dictionary of Linguistic Term. Beirut: Dar el-Ilmi Malyin

Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta

Handinoto. Perkembangan Kota Malang pada Jaman Kolonial (1914-1940) dalam


Dimensi Teknik Arsitektur. Vol. 22, No. 1. 1996

Kridalaksana, Harimurti. 2009. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT


Gramedia

Kentjono, Djoko. 1997. Dasar-dasar Linguistik Umum. Depok: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia

Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press

Nimah, Ummi Nurun. Bahasa Arab Sebagai Bahasa Diglosis dalam Adabiyat Jurnal
Bahasa Dan Sastra, Vol. 8, No. 1. 2009

Sumarsono, dkk. 2002. Sosiolinguistik, Cetakan Pertama. Yogyakarta: SABDA, Lembaga


Studi Agama, Budaya, Dan Perdamaian

Thoyib. 2016. Sintaksis (Buku Diktat Kuliah)

Thoyib. 2016. Pembentukan Kata dalam Bahasa Arab (Buku Diktat Kuliah)

Verhaar. J.M.W, dkk. 2010. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press

12
Rujukan Internet:

http://kbbi.web.id/

13

Anda mungkin juga menyukai