Anda di halaman 1dari 53

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR MEDIS

1. DEFINISI

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal dengan sebutan Spondiltis


Tuberkulosis merupakan kejadian Tuberkulosis ekstrapulmonal kebagian
tulang belakang tubuh (Brunner, Suddart, &Smeltzer, 2008). Spondilitis
Tuberkulosis merupakan infeksi tulang belakang yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosis (Paramartabet al, 2008). Lokalisasi yang paling
sering terjadi pada daerah vertebra torakal bawah dan daerah sarkum (Garfin &
Vaccaro, 1997 dalam Moesbar 2006).

2. ETIOLOGI

Spondilitis tuberkulosis disebabkan oleh karena bakteri berbentuk


basil (basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah
Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang
lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti
Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika
Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria
(banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini
menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang


yang bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik
melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk
memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-
enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan
karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk
membedakannnya dengan spesies lain (repository unpad spondilitis
tuberkulosa.pdf, 2014).
3. PATOFISIOLOGI

Spondilitis tuberkulosis merupakan sekunder infeksi dari ekstraspinal.


Tuberkulosis pada tulang ini dapat terjadi karena dapat terjadi karna penyebaran
secara hematogen atau penyebaran secara langsung melalui nodus limfatikus para
aorta atau melalui jalur limfatikus ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah
ada sebelumnya di luar tulang belakang. Sumber infeksi yang paling sering adalah
dari sistem pulmoner dan genitourinarius. Pada anak-anak sumber infeksi
tuberkulosis tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru, sedangkan
pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal,
tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri interkostal atau lumbar yang
memberikan suplai darah kedua vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di
bawahnya atau melalui pleksus Bastons yang mengelilingi kolumna vertebralis
sehingga menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang
menyebabkan kurang lebih 70% kasus penyakit diawali dengan terkenanya dua
vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih
vertebra.
Lesi dari dasar penyakit ini merupakan kombinasi antara osteomielitis dan
artritis yang melibatkan satu atau lebih dari vertebra. Area infeksi secara bertahap
bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra
sepanajng ligamen longitudinal anterior, serta melibatkan dua atau lebih vertebra
yang berdekatan melalui perluasan dibawah ligamentum anterior atau secara
langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang
multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal. Infeksi dapat juga
berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi
akibat banyak proses, yaitu:
a. Penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral,
b. Subluksasio sendi faset patologis,
c. Jaringan granulasi,
d. Vaskulitis, trombosis arteri/ vena spinalis,
e. Kolaps vertebra,
f. Abses epidural atau
g. Invasi duramater secara langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga
terjadi secara intradural melalui meningitis dan tuberkulomata sebagai space
occupying lesion.
Proses lanjut apabila tidak mendapatkan pengobatan, maka akan terjadi
proses lanjut di mana nekrosis akan mencegah pembentukan tulang baru dan pada
saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avaskular pada diksus yang
memberikan manifestasi pada penyempitan rongga diskus, hilangnya tulang
subkondral, kolapsnya korpus vertebra. Suplai darah juga akan semakin terganggu
dengan timbulnya endoarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.
Sebagai media untuk menahan beban, kolaps vertebra akan memberikan dampak
terhadap destruksi progresif tulang belakang terutama pada bagian anterior.
Destruksi lanjut akan menyebabkan perubahan pada diksus intervertebral dan
akan timbul deformitas berbentuk kifosis (gibus) yang progrevitasnya bergantung
dari derajat kerusakan, level lesi, serta jumlah vertebra yang terlibat.
Bila dibandingkan antara paisen spondilitis tuberkulosis dengan defisit
neurologis dan tanpa defisit neurologis, maka defisit biasanya terjadi jika lesi
tuberkulosis pada vertebra torakal. Defisit neurologis dan deformitas kifosis lebih
jarang ditemukan apabila lesi terdapat pada vertebra lumbalis. Penjelasan yang
mungkin mengenai hal ini antara lain :

1) Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang mendarahi medula


spinalis segmen torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal 10
dari sisi kiri. Obliterasi arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan
kerusakan saraf dan paraplegia.

2) Diameter relatif antara medula spinalis dengan foramen vertebralisnya.


Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10,
sedangkan foramen vertebrale di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra
lumbalis, foramen vertebralenya lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak
bila ada kompresi dari bagian anterior (Zairin Noor, 2016).
4. PATHWAY

Sumber : Arif Mutaqqin, 2005

Infeksi secara hematogen tuberkulosis paru ke diskus intervertebralis

Perusakan tulang dan penjalaran infeksi ke ruang diskus

Pembentukan abses dingin

Perubahan pada vertebra v


Deformitas tulang Eksudat
lumbalis \ ve

Kerusakan pada Menyebar di


Penekanan korda dan radiks ligamentum
korteksepifisis
saraf oleh pembentukan longitudinal anterior
diskus
abses yang bergeser

Eksudat Menembus ligamentum


Paraplegia, stimulus nyeri & berekspansi
keligament yang lemah
Operasi
Nyeri Gangguan
stimul mobilitas fisik Abses
Imobilisas Lumbal
i
Penekanan
lokal paraplegia
Resiko Debridemen
Penyebaran t
Destruksi mekanisme jaringan infeksi
sekunder terhadap tekanan dan
gesekan Krista iliaka

Kerusaka integritas kulit

Muskulus psoas &muncul di bawah ligamentum Pembuluh darah


inguinal femoral pada
5. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis spondilitis tuberkulosis mengalami keadaan seperti


berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, demam
lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak
sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare berulang yang tidak sembuh dengan
pengobatan diare disertai benjolan atau/masa di abdomen dan tanda-tanda cairan
di abdomen (Paramarta et al 2008).
(Moesbar, 2006) menyatakan bahwa kelainan yang sudah berlangsung
lama pada penderita spondilitis tuberkulosis dapat disertai dengan paraplegia
ataupun tanpa paraplegia. (Agrawal, Padgaonkar dan Nagariya, 2010) menyatakan
hal yang sama dimana tanda lain dari spondilitis tuberkulosis dapat berupa defisit
neurologi yang mengakibatkan paraplegia.
Manifestasi klinis spondilitis tuberkulosis relatif indolen (tanpa nyeri).
Paisen biasanya mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang
terinfeksi. Demam subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau
berat badan tidak sesuai umur pada anak yang merupakan gejala klasik
tuberkulosis paru juga terjadi pada paisen dengan spondilitis tuberkulosis paru
juga terjadi pada paisen dengan spondilitis tuberkulosis. Apabila sudah ditemukan
deformitas berupa kifosis, maka patogenesis tuberkulosis umumnya spinal sudah
berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan (CKD-208 vol 4/diagnosis
dan penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis, 2013).

Defisit yang mungkin antara lain : paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri


radikular dan atau/sindrom kauda equina. Nyeri radikuler menandakan adanya
gangguan pada radiks (radikulopati). Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai
gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal dari lesi vertebra akan memburuk
jika penyakit tidak segera ditangani. Spondilitis Tuberkulosis (Potts paraplegia)
dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia
onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam
dua tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula
spinalis oleh abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi
saat penyakit sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasis pondilitis,
umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan
tulang akibat destruksi tulang sebelumnya CKD-208 vol 4/diagnosis dan
penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis, 2013).

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis dini spondilitis tuberkulosis sulit ditegakkan dan sering disalah


artikan sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Ironisnya,
diagnosis biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi
deformitas tulang belakang dan defisit neurologis. Penegakan diagnosis seperti
pada penyakit-penyakit pada umumnya melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
diikuti dengan pemeriksaan penunjang. Keberhasilan melakukan diagnosis dini
menjanjikan prognosis yang lebih baik (CKD-208 vol 4/diagnosis dan
penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis, 2013).

1) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak
spesifik dan membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap
paisen tuberkulosis paru dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai
mengidap spondilitis tuberkulosis sebelum terbukti sebaliknya. Selain itu, dari
anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat tuberkulosis paru, atau riwayat
gejala-gejala klasik (demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama, penurunan
berat badan) jika tuberkulosis paru belum ditegakkan sebelumnya. Demam
lama merupakan keluhan yang paling sering ditemukan namun cepat
menghilang (satu hingga empat hari) jika diobati secara adekuat. Paraparesis
adalah gejala yang biasanya menjadi keluhan utama yang membawa paisen
datang mencari pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang mungkin: rasa
kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi.

Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan adanya fokus infeksi


tuberkulosis di paru atau di tempat lain, meskipun pernah dilaporkan banyak
spondilitis tuberkulosis yang tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
tuberkulosis ekstraspinal. Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh hambatan
pengembangan volume paru oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi
paru oleh kuman tuberkulosis. Infiltrat paru akan terdengar sebagai ronkhi,
kavitas akan terdengar sebagai suara amforik atau bronkial dengan predileksi di
apeks paru. Kesegarisan (alignment) tulang belakang harus diperiksa secara
seksama. Infeksi tuberkulosis spinal dapat menyebar membentuk abses
paravertebra yang dapat teraba, bahkan terlihat dari luar punggung berupa
pembengkakan. Permukaan kulit juga harus diperiksa secara teliti untuk
mencari muara sinus/fistel hingga regio gluteal dan di bawah inguinal
(trigonum femorale). Tidak tertutup kemungkinan abses terbentuk di anterior
rongga dada atau abdomen.
Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah lanjut,
meski masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti sangat
penting untuk menunjang diagnosis dini spondilitis tuberkulosis. Pada
pemeriksaan neurologis bisa didapatkan gangguan fungsi motorik, sensorik,
dan autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper motor neuron (UMN),
namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis flaksid, baru setelahnya
akan muncul spastisitas dan refleks patologis yang positif. Kelumpuhan lower
motor neuron (LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi jika radiks spinalis
anterior ikut terkompresi. Jika kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi, yang
biasanya bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom untuk
protopatis (raba, nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk
proprioseptif (gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi
keringat rutin dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom.

2) Pemeriksaan Radiologi

Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling


menunjang untuk diagnosis dini spondilitis tuberkulosis karena
memvisualisasi langsung kelainan fisik pada tulang belakang. Terdapat
beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan seperti sinar-X,
Computed Tomography Scan (CT- scan) dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Pada infeksi tuberkulosis spinal, klinisi dapat menemukan penyempitan
jarak antar diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan vertebra,
sekuestrasi, serta massa para vertebra. Pada keadaan lanjut, vertebra akan
kolaps ke arah anterior sehingga menyerupai akordion (concertina), sehingga
disebut juga concertina collapse.

3) Sinar-X

Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering


dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil
sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi
osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan osteoporosis regional.
Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan
diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran
fusiformis.

Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan


membentuk angulasi kifosis (gibbus). Bayangan opak yang memanjang
paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun, sayangnya
sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik. Dengan proyeksi
lateral, klinisi dapat menilai angulasi kifosis diukur dengan metode Konstam.

4) CT Scan

CT scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi


badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis
spinalis CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula
spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi
penyuntikan kontras melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu
dilanjutkan dengan CT scan.

Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk
memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan
tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk
visualisasi jaringan lunak.
5) MRI

MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi


badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk
abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk
mengevaluasi spondilitis tuberkulosis, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI
aksial, dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah
terlewatkannya lesi non- contiguous. MRI juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan sinyal T1 pada sumsum tulang
mengindikasikan pergantian jaringan radang granulomatosa oleh jaringan
lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis.

6) Pemeriksaan laboratoris
a) Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi DNA
kuman tuberkulosis. Lain halnya dengan kultur yang memerlukan waktu
lama, pemeriksaan ini sangat akurat dan cepat (24 jam), namun memerlukan
biaya yang lebih mahal dibandingkan pemeriksaan lainnya. Prinsip kerja
PCR adalah memperbanyak DNA kuman secara eksponensial sehingga
dapat terdeteksi meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10 hingga 1000
kuman). PCR memiliki sensitivitas sekitar 8098% dan spesifisitas 98%.
b) Pemeriksaan imunologi
Pemeriksaan imunologi seperti deteksi antigen excretory-secretory ES-31
mycobacterial, IgG anti-tuberkulosis, IgM anti-tuberkulosis, IgA anti-
tuberkulosis, dan antigen 31 kDa dikatakan dapat berguna, namun
efektivitasnya masih diuji lebih lanjut.
c) Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi studi hematologis. Laju endap
darah (LED) biasanya meningkat, namun tidak spesifik menunjukkan proses
infeksi granulomatosa tuberkulosis. Peningkatan kadar C-reactive protein
(CRP) diasosiasikan kuat dengan formasi abses. Uji Mantoux positif pada

sebagian besar paisen (8495%). Namun hanya memberi petunjuk tentang


paparan kuman tuberkulosis sebelumnya atau saat ini. Spesimen sputum
memberikan hasil positif hanya jika proses infeksi paru sedang aktif.

7. KOMPLIKASI
a. Cedera korda spinalis
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus
tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuestra dari diskus intervertebralis atau
dapat juga langsung karena keterlibatankorda spinalis oleh jaringan
granulasi tuberkulosa (contoh : menigomielitis-prognosis buruk). Jika cepat
diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor).
MRI dan mielografi dapat membantu membedakan parapegia karena
tekanan atau karena invasi dura dan korda spinalis (Zairin Noor, 2016).

b. Empiema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal


kedalam pleura (Zairin Noor, 2016).

8. PENATALAKSANAAN

Sebelum ditemukannya Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang efektif,


penganganan spondilitis tuberkulosis hanya dengan metode imobilisasi, yaitu tirah
baring dan korset/bidai. Mortalitas dan angka relaps sangat tinggi saat itu.
Sekarang, penanganan spondilitis tuberkulosis secara umum dibagi menjadi dua
bagian yang berjalan dapat secara bersamaan, medikamentosa dan pembedahan.
Terapi medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan
melengkapi terapi medikamentosa dan disesuaikan dengan keadaan individual tiap
paisen. Paisen spondilitis tuberkulosis pada umumnya bisa diobati secara rawat
jalan, kecuali diperlukan tindakan bedah dan tergantung pada stabilitas keadaan
paisen. Tujuan penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis adalah untuk
mengeradikasi kuman tuberkulosis, mencegah dan mengobati defisit neurologis,
serta memperbaiki kifosis (CKD-208 vol 4/diagnosis dan penatalaksanaan
spondilitis tuberkulosis, 2013).

a. Medikamentosa

Spondilitis tuberkulosis dapat diobati secara sempurna hanya dengan OAT


saja hanya jika diagnosis ditegakkan awal, dimana destruksi tulang dan
deformitas masih minimal. Seperti pada terapitu berkulosis pada umumnya,
terapi infeksi spondilitis tuberkulosis adalah multidrug therapy. Secara
umum, regimen OAT yang digunakan pada tuberkulosis paru dapat pula
digunakan pada tuberkulosis ekstraparu, namun rekomendasi durasi
pemberian OAT pada tuberkulosis ekstraparu hingga saat ini masih belum
konsisten antar ahli.

Terapi utama dengan OAT selama 6-9 bulan. Pemberian OAT dapat secara
signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas. OAT yang utama adalah
isoniazid (INH), rifampisin (RMP), pirazinamida (PZA), streptomisin (SM),
dan etambutol (EMB).

b. Pembedahan

Pembedahan dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :

1) Defisit neurologi (deteriorasi neurologis akut, paraparesis, dan paraplegia).

2) Deformitas spina dengan ketidakstabilan dan adanya nyeri

3) Tidak ada respon pada pengobatan OAT dengan diserai adanya


progresifitas kifosis atau ketidakstabilan spina.

4) Abses paraspina yang besar.


5) Diagnosis yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi.

c. Diet tinggo kalori tinggi protein (TKTP) (Zairin Noor, 2016).

B. Konsep Dasar Dekubitus

1. DEFINISI

Dekubitus merupakan kerusakan kulit pada suatu area dan dasar jaringan
yang disebabkan oleh tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan,
pergeseran, gesekan atau kombinasi dari beberapa hal tersebut (NPUAP, 2014).
Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat
dari tekanan dari luar yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak
sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa, gangguan ini terjadi pada
individu yang berada diatas kursi atau diatas tempat tidur, seringkali pada
inkontinensia, malnutrisi, ataupun individu yang mengalami kesulitan makan
sendiri, serta mengalami gangguan tingkat kesadaran (Potter & Perry, 2005).

Dekubitus adalah kerusakan jaringan terlokalisir yang disebabkan karena


adanya penekanan jaringan lunak diatas tulang yang menonjol (Bony
Prominence) akibat adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu lama yang
menyebabkan gangguan pada suplai darah pada daerah yang tertekan Sehingga
terjadi terjadi insufisiensi aliran darah, anoksia, isckemic jaringan dan
akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel (Sari, 2007). Pressure Ulcers
(diketahui sebagai luka tekan, luka ranjang atau luka dekubitus) adalah
kerusakan jaringan yang terlokasi karena tekanan yang berlebihan yang terjadi
pada area tertentu yang tidak mengalami reposisi (Moore & Cowman, 2009).

Sedangkan menurut Perry et al,(2012) dekubitus adalah luka pada kulit


dan atau jaringan dibawahnya, biasanya disebabkan oleh adanya penonjolan
tulang, sebagai akibat dari tekanan atau kombinasi tekanan dengan gaya geser
dan atau gesekan.

2. ETIOLOGI

Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya dekubitus dibagi


menjadi dua bagian, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik (Bansal, et al., 2005).
Braden & Bergstorm (2000), mengembangkan sebuah skema untuk
menggambarkan faktor-faktor resiko terjadinya dekubitus.
Skema 1.2 Faktor resiko dekubitus

Sumber : Braden dan Bergstorm, (2000)

Ada dua hal utama yang berhubungan dengan resiko terjadinya dekubitus,
yaitu faktor tekanan dan toleransi jaringan. Faktor yang mempengaruhi durasi
dan intensitas tekanan diatas tulang yang menonjol adalah imobilitas,
inaktifitas dan penurunan persepsi sensori. Sedangkan faktor yang
mempengaruhi toleransi jaringan dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor
intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor yang berasal dari paisen,
sedangkan yang dimaksud dengan faktor ekstrinsik yaitu faktor-faktor yang
berhubungan dari luar yang mempunyai efek deteriorasi pada lapisan eksternal
dari kulit (Braden dan Bergstorm, 2000).
Penjelasan dari masing-masing faktor yang mempengaruhi dekubitus diatas
adalah sebagai berikut :

a. Faktor Tekanan

1) Mobilitas dan Aktivitas

Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh,


sedangkan aktifitas adalah kemampuan untuk berpindah. Paisen dengan
berbaring terus-menerus ditempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi
beresiko tinggi untuk terkena dekubitus. Imobilitas adalah faktor yang
paling signifikan dalam kejadian dekubitus (Braden & Bergstorm, 2000).
Sedangkan imobilitas pada lansia merupakan ketidakmampuan untuk
merubah posisi tubuh tanpa bantuan yang disebabkan oleh depresi CNS
(Jaul. 2010). Ada beberapa penelitian prospektif maupun retrospektif yang
mengidentifikasi faktor spesifik penyebab imobilitas dan inaktifitas,
diantaranya Spinal Cord Injury (SCI), stroke, multiple sclerosis, trauma
(misalnya patah tulang), obesitas, diabetes, kerusakan kognitif, penggunaan
obat (seperti sedatif, hipnotik, dan analgesik), serta tindakan pembedahan
(AWMA, 2012).

2) Penurunan Persepsi Sensori

Paisen dengan gangguan persepsi sensorik terdapat nyeri dan tekanan lebih
beresiko mengalami gangguan integritas kulit daripada paisen dengan
sensasi normal. Paisen dengan gangguan persepsi sensorik terdapat nyeri
dan tekanan adalah paisen yang tidak mampu merasakan kapan sensasi pada
bagian tubuh mereka meningkat, adanya tekanan yang lama, atau nyeri dan
oleh karena itu paisen tanpa kemampuan untuk merasakan bahwa terdapat
nyeri atau tekanan akan menyebabkan resiko berkembangnya dekubitus
(Potter & Perry, 2010).
b. Faktor Toleransi Jaringan :

1) Faktor Intrinsik :

a) Nutrisi

Hipoalbumin, kehilangan berat badan dan malnutrisi umumnya


diidentifikasi sebagai faktor predisposisi terhadap terjadinya dekubitus,
terutama pada lansia. Derajat III dan IV dari dekubitus pada orang tua
berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin,
dan intake makanan yang tidak mencukupi (Guenter, et al., 2000).
Menurut Jaul (2010), ada korelasi yang kuat antara status nutrisi yang
buruk dengan peningkatan resiko dekubitus. Keller, (2002) juga
menyebutkan bahwa 75% dari paisen dengan serum albumin dibawah 35
g/l beresiko terjadinya dekubitus dibandingkan dengan 16 % paisen
dengan level serum albumin yang lebih tinggi. Paisen yang level serum
albuminnya di bawah 3 g/100 ml lebih beresiko tinggi mengalami luka
dari pada paisen yang level albumin tinggi (Potter & Perry, 2010).

b) Usia

Paisen yang sudah tua memiliki resiko tinggi untuk terkena


dekubitus karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan proses
penuaan (Sussman & Jensen, 2007). 70% dekubitus terjadi pada orang
yang berusia lebih dari 70 tahun. Seiring dengan meningkatnya usia akan
berdampak pada perubahan kulit yang di indikasikan dengan penghubung
dermis-epidermis yang rata (flat), penurunan jumlah sel, kehilangan
elastisitas kulit, lapisan subkutan yang menipis, pengurangan massa otot,
dan penurunan perfusi dan oksigenasi vaskular intradermal (Jaul, 2010)
sedangkan menurut Potter & Perry, (2005) 60% - 90% dekubitus dialami
oleh paisen dengan usia 65 tahun keatas.

c) Tekanan arteriolar

Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit


terhadap tekanan sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah
mampu mengakibatkan jaringan menjadi iskemia (Suriadi, et al., 2007).
Studi yang dilakukan oleh Bergstrom & Braden (1992) menemukan bahwa
tekanan sistolik dan tekanan diastolik yang rendah berkontribusi pada
perkembangan dekubitus.

1) Faktor ekstrinsik :

a) Kelembaban

Adanya kelembaban dan durasi kelembaban pada kulit


meningkatkan resiko pembentukan kejadian dekubitus. Kelembaban kulit
dapat berasal dari drainase luka, perspirasi yang berlebihan, serta
inkontinensia fekal dan urine (Potter & Perry, 2010). Kelembaban yang
disebabkan karena inkontinensia dapat mengakibatkan terjadinya
maserasi pada jaringan kulit. Jaringan yang mengalami maserasi akan
mudah mengalami erosi. Selain itu, kelembaban juga mengakibatkan
kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan pergeseran (shear).
Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam perkembangan luka daripada
inkontinensia urine karena adanya bakteri dan enzim pada feses yang
dapat meningkatkan PH kulit sehingga dapatmerusak permukaan
kulit (Sussman & Jansen, 2001., AWMA, 2012).

b) Gesekan

Gaya gesek (Friction) adalah tekanan pada dua permukaan


bergerak melintasi satu dan yang lainnya seperti tekanan mekanik yang
digunakan saat kulit ditarik melintasi permukaan kasar seperti seprei
atau linen tempat tidur (WOCNS, 2003). Cidera akibat gesekan
memengaruhi epidermis atau lapisan kulit yang paling atas. Kulit akan
merah, nyeri dan terkadang disebut sebagai bagian yang terbakar. Cidera
akibat gaya gesek terjadi pada paisen yang gelisah, yang memiliki
pergerakan yang tidak terkontrol seperti keadaan spasme dan pada paisen
yang kulitnya ditarik bukan diangkat dari permukaan tempat tidur selama
perubahan posisi (Potter & Perry, 2010). Pergesekan terjadi ketika dua
permukaan bergerak dengan arah yang berlawanan. Pergesekan dapat
mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit.
Pergesekan bisa terjadi pada saat pergantian seprei paisen yang tidak
berhati-hati (Dini, et al., 2006).

c) Pergeseran

Gaya geser adalah peningkatan tekanan yang sejajar pada kulit


yang berasal dari gaya gravitasi, yang menekan tubuh dan tahanan
(gesekan) diantara paisen dan permukaan (Potter & Perry, 2010). Contoh
yang paling sering adalah ketika paisen diposisikan pada posisi semi
fowler yang melebihi 30. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari
Jaul (2010) bahwa pada lansia akan cenderung merosot kebawah ketika
duduk pada kursi atau posisi berbaring dengan kepala tempat tidur
dinaikkan lebih dari 30. Pada posisi ini paisen bisa merosot kebawah,
sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak kebawah namun kulitnya
masih tertinggal. Hal ini dapat mengakibatkan oklusi dari pembuluh
darah, serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot, namun
hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan kulit (WOCNS,
2005).

3. PATOFISIOLOGI

Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu:

B. Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler.


C. Durasi dan besarnya tekanan.
D. oleransi jaringan.
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan tekanan
(Potter & Perry, 2005). Semakin besar tekanan dan durasinya,maka semakin
besar pula insidensinya terbentuknya luka (Potter & Perry, 2005). Kulit dan
jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi pada tekanan
eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau
menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi
hipoksia sehinggan terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32
mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka
pembuluh darah kolaps dan trombosis (Potter & Perry, 2005).
Jika tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan
akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena
kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari
otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan
dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Potter & Perry, 2005).
Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek
yang terjadi saat menaikkan posisi paisen di atas tempat tidur. Area sakral dan
tumit merupakan area yang paling rentan (Potter & Perry, 2005). Efek tekanan
juga dapat di tingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata.
Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan
tempatnya berada karena adanya gravitasi (Potter & Perry, 2005). Jika
tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan
jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit
di titik tekanan mengalami gangguan.
4. PATHWAY

Sumber: repository undpad/konsep dekubitus, 2014


5.
Manifestasi Klinis

Terjadi pada paisen-paisen paraplegia, quadriplegia, spina bifida,


multipel sklerosis dan imobilisasi lama di rumah sakit. Selain itu, factor lain
perlu diketahui dari riwayat penderita meliputi onset, durasi, riwayat
pengobatan sebelumnya, perawatan luka, riwayat operasi sebelumnya, status
gizi dan perubahan berat badan, riwayat alergi, konsumsi alkohol, merokok
serta keadaan sosial ekonomi penderita. Anamnesa sistem termasuk di
dalamnya antara lain demam, keringat malam, spasme (kaku), kelumpuhan,
bau, nyeri (Arwaniku, 2007). Menurut NPUAP (2014), luka tekan dibagi
menjadi enam karakteristik, yaitu :

a. Derajat I : Nonblanchable Erythema

Derajat I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh dengan tanda-
tanda akan terjadi luka. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal,
maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur
kulit (lebih dingin atau lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih
keras atau lunak), dan perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang
berkulit putih luka akan kelihatan sebagai kemerahan yang menetap,
sedangkan pada orang kulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah
yang menetap, biru atau ungu. Cara untuk menentukan derajat I adalah
dengan menekan daerah kulit yang merah (erytema) dengan jari selama tiga
detik, apabila kulitnya tetap berwarna merah dan apabila jari diangkat juga
kulitnya tetap berwarna merah.

b. Derajat II : Partial Thickness Skin Loss

Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau


keduanya. Cirinya adalah lukanya superfisial dengan warna dasar luka
merah-pink, abrasi, melepuh, atau membentuk lubang yang dangkal. Derajat
I dan II masih bersifat reversibel.

c. Derajat III : Full Thickness Skin Loss

Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis


dari jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fasia. Luka
terlihat seperti lubang yang dalam. Disebut sebagai typical decubitus yang
ditunjukkan dengan adanya kehilangan bagian dalam kulit hingga subkutan,
namun tidak termasuk tendon dan tulang. Slough mungkin tampak dan
mungkin meliputi undermining dan tunneling.

d. Derajat IV : Full Thickness Tissue Loss

Kehilangan jaringan secara penuh sampai dengan terkena tulang, tendon


atau otot. Slough atau jaringan mati (eschar) mungkin ditemukan pada
beberapa bagian dasar luka (wound bed) dan sering juga ada undermining
dan tunneling. Kedalaman derajat IV dekubitus bervariasi berdasarkan
lokasi anatomi, rongga hidung, telinga, oksiput dan malleolar tidak memiliki
jaringan subkutan dan lukanya dangkal. Derajat IV dapat meluas ke dalam
otot dan atau struktur yang mendukung (misalnya pada fasia, tendon atau
sendi) dan memungkinkan terjadinya osteomyelitis. Tulang dan tendon yang
terkena bisa terlihat atau teraba langsung.

e. Unstageable : Depth Unknown

Kehilangan jaringan secara penuh dimana dasar luka (wound bed) ditutupi
oleh slough dengan warna kuning, cokelat, abu-abu, hijau, dan atau jaringan
mati (eschar) yang berwarna coklat atau hitam didasar luka. slough dan atau
eschar dihilangkan sampai cukup untuk melihat (mengexpose) dasar luka,
kedalaman luka yang benar, dan oleh karena itu derajat ini tidak dapat
ditentukan.

f. Suspected Deep Tissue Injury : Depth Unknown

Berubah warna menjadi ungu atau merah pada bagian yang terkena luka

secara terlokalisir atau kulit tetap utuh atau adanya blister (melepuh) yang

berisi darah karena kerusakan yang mendasari jaringan lunak dari tekanan

dan atau adanya gaya geser. Lokasi atau tempat luka mungkin didahului

oleh jaringan yang terasa sakit, tegas, lembek, berisi cairan, hangat atau

lebih dingin dibandingkan dengan jaringan yang ada di dekatnya. Cidera

pada jaringan dalam mungkin sulit untuk di deteksi pada individu dengan

warna kulit gelap. Perkembangan dapat mencakup blister tipis diatas dasar

luka (wound bed) yang berkulit gelap. Luka mungkin terus berkembang

tertutup oleh eschar yang tipis. Dari derajat dekubitus diatas, dekubitus

berkembang dari permukaan luar kulit ke lapisan dalam (top-down),

namun menurut hasil penelitian saat ini, dekubitus juga dapat berkembang
dari jaringan bagian dalam seperti fascia dan otot walapun tanpa adanya

adanya kerusakan pada permukaan kulit. Ini dikenal dengan istilah injury

jaringan bagian dalam (Deep Tissue Injury). Hal ini disebabkan karena

jaringan otot dan jaringan subkutan lebih sensitif terhadap iskemia

daripada permukaan kulit (Rijswijk & Braden, 1999).

6. KOMPLIKASI

Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV,

walaupun dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut subandar (2008)

komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

a. Infeksi Sering bersifat multibakterial, baik yang aerobic maupun anaerobic.

b. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi, seperti : periostitis, osteitis,


osteomielitis.

c. Septicemia,

d. Anemia,

e. Hipoalbumin

f. Hiperalbumin

g. Kematian

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Darah lengkap

Peningkatan tertentu awal menunjukkan hemo konsentrasi, sehubungan


dengan perpindahan atau kehilangan cairan dan untuk mengetahui adanya
defisiensi nutrisi pada paisen. Jika terjadi leukositosis karena adanya
kehilangan sel pada sisi luka dan respon inflamasi terhadap edema. Glukosa
serum yang terjadi peningkatan karena respon stres.
2. Biopsi luka

Untuk mengetahui jumlah bakteri.

3. Kultur swab

Untuk mengidentifikasi tipe bakteri pada permukaan ulkus.

4. Pembuatan foto klinis

Dibuat untuk memperlihatkan sifat serta luasnya kelainan kulit atau ulkus
dan dipergunakan untuk perbaikan setelah dilakukan terapi.
(Subandar, 2008).

8. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan paisen dekubitus memerlukan pendekatan holistik yang


menggunakan keahlian pelaksana yang berasal dari beberapa disiplin ilmu
kesehatan. Selain perawat, keahlian pelaksana termasuk dokter, ahli fisiotrapi,
ahli terapi okupasi, ahli gizi, dan ahli farmasi. Beberapa aspek dalam
penatalaksanaan dekubitus antara lain perawatan luka secara lokal dan
tindakan pendukung seperti gizi yang adekuat dan cara penghilang tekanan
(Potter & Perry, 2005). Selama penyembuhan dekubitus, maka luka harus
dikaji untuk lokasi, tahap, ukuran, traktusinus, kerusakan luka, luka
menembus, eksudat, jaringang nekrotik, dan keberadaan atau tidak adanya
jaringan granulasi maupun epitelialisasi. Dekubitus harus dikaji ulang
minimal 1 kali per hari. Pada perawatan rumah banyak pengkajian
dimodifikasi karena pengkajian mingguan tidak mungkin dilakukan oleh
pemberi perawatan. Dekubitus yang bersih harus menunjukkan proses
penyembuhan dalam waktu 2 sampai 4 minggu (Potter & Perry, 2005).
Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan pada
paisen dekubitus adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat
tercapai dengan memberikan perawatan kulit yang terencana dan konsisten.
Perawatan kulit yang tidak terencana dan konsisten dapat mengakibatkan
gangguan integritas kulit (Potter & Perry, 2005). Salah satu intervensi dalam
menjaga integritas kulit adalah dengan cara memberikan olesan minyak zaitun
karena integritas kulit yang normal dapat dipertahankan dengan memberikan
minyak zaitun. Minyak zaitun mengaandung asam lemak yang dapat
memelihara kelembapan, kelenturan, serta kehalusan kulit (Khadijah, 2008).
Minyak zaitun dengan kandungan asam oleat hingga 80% dapat
mengenyalkan kulit dan melindungi elastis kulit dari kerusakan karena
minyak zaitun yang dioleskan dapat mempercepat penyembuhan kulit yang
luka atau iritasi (Surtiningsih, 2005).

9. PENCEGAHAN DEKUBITUS
Pencegahan dekubitus merupakan prioritas dalam perawatan paisen dan
tidak terbatas pada paisen yang mengalami keterbatasan mobilisasi (Potter &
Perry, 2006). Untuk mengurangi kemungkinan perkembangan dekubitus pada
semua paisen, perawat harus melakukan berbagai macam tindakan pencegahan,
seperti perawat menjaga kebersihan kulit paisen, untuk mempertahankan
integritas kulit, mengajarkan paisen dan keluarga untuk pencegahan dan
memberikan asuhan keperawatan mengenai cara mencegah dekubitus (Kozier,
2010).
Berdasarkan National Pressure Ulcer Advisory Panel (2007), untuk
mencegah kejadian terhadap dekubitus ada 5 (lima) point yang bisa digunakan
untuk menilai faktor resiko dekubitus, antara lain sebagai berikut :

a. Mengkaji faktor resiko

Pengkajian resiko dekubitus seharusnya dilakukan pada saat paisen masuk


Rumah Sakit dan diulang dengan pola yang teratur atau ketika ada
perubahan yang signifikan pada paisen, seperti pembedahan atau penurunan
status kesehatan (Potter & Perry, 2010). Berdasarkan National Pressure
Ulcer Advisory Panel (NPUAP, 2014) mempertimbangkan semua paisen
yang berbaring ditempat tidur dan dikursi roda, atau paisen yang
kemampuannya terganggu untuk memposisikan dirinya, dengan
menggunakan metode yang tepat dan valid yang dapat diandalkan untuk
menilai paisen yang beresiko terhadap kejadian dekubitus, mengidentifikasi
semua faktor resiko setiap paisen (penurunan status mental , paparan
kelembaban, inkontinensia, yang berkaitan dengan tekanan, gesekan, geser,
imobilitas, tidak aktif, defisit gizi) sebagai panduan pencegahan terhadap
paisen yang beresiko, serta memodifikasi perawatan yang sesuai dengan
faktor resiko setiap paisen.

b. Perawatan pada kulit

Perawatan kulit yang dimaksud disini adalah dengan cara menjaga


kebersihan kulit dan kelembaban kulit dengan memberikan lotion atau
creams. Mengontrol kelembaban terhadap urine, feses, keringat, saliva,
cairan luka, atau tumpahan air atau makanan, melakukan inspeksi setiap
hari terhadap kulit. Kaji adanya tanda-tanda kerusakan integritas kulit
(Carville, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Handayani, et al (2011)
pemberian Virgin Coconut Oil (VCO) dengan massage efektif untuk
digunakan dalam pencegahan dekubitus derajat I pada paisen yang berisiko
mengalami dekubitus. Penelitian yang dilakukan oleh Utomo, et al (2014)
Nigella Sativa Oil efektif untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus pada
paisen tirah baring lama.
c. Memperbaiki status nutrisi
Australian Wound Management Association (AWMA, 2012) memberikan
rekomendasi untuk standar pemberian makanan untuk paisen dengan
dekubitus antara lain intake energi/kalori 30 35 kal/kg per kgBB/hari, 1
1,5 g protein/kg per kg BB/hari dan 30 ml cairan/kg per kg BB/hari.
d. Support surface
Support surface yang bertujuan untuk mengurangi tekanan (pressure),
gesekan (friction) dan pergeseran (shear) (Carville, 2007). Support surface
ini terdiri dari tempat tidur, dan matras meja operasi, termasuk pelengkap
tempat tidur dan bantal (AWMA, 2012).

e. Memberikan edukasi

Pendidikan kesehatan kepada keluarga dilakukan secara terprogram dan


komprehensif sehingga keluarga diharapkan berperan serta secara aktif
dalam perawatan paisen, topik pendidikan kesehatan yang dianjurkan
adalah sebagai berikut : etiologi dan faktor resiko dekubitus, aplikasi
penggunaan tool pengkajian resiko, pengkajian kulit, memilih dan atau
gunakan dukungan permukaan, perawatan kulit individual, demonstrasi
posisi yang tepat untuk mengurangi resiko dekubitus, dokumentasi yang
akurat dari data yang berhubungan, demonstrasi posisi untuk mengurangi
resiko kerusakan jaringan, dan sertakan mekanisme untuk mengevaluasi
program efektifitas dalam mencegah dekubitus (NPUAP, 2014).
C. Konsep Asuhan Keperawatan Spondilitis Tuberkulosis disertai Dekubitus

1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan. Pengkajian
merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya. Kemampuan
mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan
menentukan diagnosis keperawatan. Diagnosis yang diangkat akan menentukan
desain perencanaan yang ditetapkan. Selanjutnya, tindakan keperawatan dan
evaluasi mengikuti perencanaan yang dibuat. Oleh karena itu, pengkajian harus
dilakukan dengan teliti dan cermat sehingga seluruh kebutuhan perawatan pada
paisen dapat diidentifikasi (Nikamtur & Saiful,2013).

Kegiatan dalam pengkajian adalah pengumpulan data. Pengumpulan data


adalah kegiatan untuk menghimpun informasi tentang status kesehatan paisen.
Status kesehatan paisen yang normal maupun yang senjang hendaknya dapat
dikumpulkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi pola fungsi
kesehatan paisen, baik yang efek optimal maupun yang bermasalah.
Pengumpulan data dapat diperoleh dengan 3 (tiga) cara yaitu anamnesis,
observasi, pemeriksaan baik fisik maupun penunjang (Nikamtur &
Saiful,2013).

a. Biodata

Pengkajian biodata difokuskan pada :

1) Identitas Paisen

Nama, umur, jeniskelamin, suku/bangsa, bahasa, pekerjaan, pendidikan,


status, suami/istri/orangtua.

2) Identitas Penanggung

Nama, umur, jeniskelamin, suku/bangsa, bahasa, pekerjaan, pendidikan,


status, suami/istri/orangtua, hubungan dengan paisen.

b. Keluhan utama

Keluhan utama ditulis singkat jelas, dua atau tiga kata yang merupakan
keluhan yang membuat paisen meminta bantuan pelayanan kesehatan
(Nikamtur & Saiful,2013).

Keluhan utama paisen dengan spondilitis tuberkulosis yaitu nyeri pada


punggung, kelumpuhan atau /paraplegia yang disertai dekubitus di bokong.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Riwayat penyakit sekarang merupakan penjelasan dari permulaan paisen


merasakan keluhan sampai dengan dibawa ke rumah sakit (Nikamatur &
Saiful,2013).

Riwayat penyakit sekarang dengan spondilitis tuberkulosis yaitu kronologis


penyakit spondilitis tuberkulosis.

d. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit dahulu diisi dengan riwayat penyakit yang diderita paisen
yang berhubungan dengan penyakit saat ini atau penyakit yang mungkin
dapat dipengaruhi atau mempengaruhi penyakit yang diderita paisen saat
ini. Bila paisen pernah menjalani operasi perlu dikaji tentang waktu operasi,
jenis operasi, dan kesimpulan akhir setelah operasi (Nikamatur &
Saiful,2013).

Riwayat penyakit dahulu sebelum terjadi penyakit Spondilitis tuberkulosis


biasanya pada paisen didahului dengan adanya riwayat pernah menderita
penyakit tuberkulosis paru, atau riwayat gejala-gejala klasik (demam lama,
diaforesis nokturnal, batuk lama, penurunan berat badan) jika TB paru
belum ditegakkan sebelumnya. Demam lama merupakan keluhan yang
paling sering ditemukan namun cepat menghilang (satu hingga empat hari)
jika diobati secara adekuat.

e. Riwayat Kesehatan Keluarga

Riwayat kesehatan keluarga dihubungkan dengan kemungkinan adanya


penyakit keturunan, kecenderungan alergi dalam satu keluarga, dan penyakit
menular akibat kontak langsung maupun tidak langsung antar anggota
keluarga (Nikamatur & Saiful,2013).

Pada paisen dengan penyakit Spondilitis tuberkulosis salah satu penyebab


timbulnya adalah paisen pernah atau masih kontak dengan penderita lain
yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada
yang menderita penyakit menular tersebut.

f. Pola Fungsi Kesehatan

Pola Fungsi Kesehatan diisi dengan prioritas pada pola fungsi kesehatan
yang berhubungan dengan perubahan fungsi atau/anatomi tubuh. Bila
karena keadaan paisen atau sumber data yang lain belum dapat memberikan
data yang memadai, mungkin tidak semua pola fungsi dapat dikaji
(Nikamatur & Saiful,2013).

1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Kesehatan

Pola Persepsi dan Tata Laksana Kesehatan diisi dengan persepsi


paisen/keluarga terhadap konsep sehat sakit dan upaya persepsi
paisen/keluarga dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan perilaku yang
menjadi gaya hidup paisen/keluarga untuk mempertahankan kondisi
sehat (Nikamatur & Saiful,2013).

Pada paisen dengan spondilitis tuberkulosis perlu dikaji tentang tingkat


pengetahuan paisen/keluarga tentang penyakit spondilitis tuberkulosis,
tindakan apa yang dilakukan dalam menangani penyakit tersebut.

2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pola Nutrisi dan Metabolisme diisi dengan kebiasaaan paisen dalam


memenuhi kebutuhan nutrisi sebelum sakit sampai dengan saat sakit yang
meliputi : jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, frekuensi
makan, porsi makan yang dihabiskan dankeluhan yang berhubungan
dengan nutrisi seperti mual, muntah, dan kesulitan menelan (Nikamatur
& Saiful,2013).

Pada paisen dengan spondilitis tuberkulosis biasanya paisen merasakan


tubuhnya menjadi lemah dan amnesia. Sedangkan kebutuhan
metabolisme tubuh semakin meningkat, sehingga paisen akan mengalami
gangguan pada status nutrisinya.
3) Pola Eliminasi

Pola Eliminasi diisi dengan eliminasi alvi (buang air besar) dan eliminasi
urin (buang air kecil). Pola eliminasi menggambarkan keadaan eliminasi
paisen sebelum sakit sampai dengan saat sakit, yang meliputi frekuensi,
konsistensi, warna, bau, adanya darah, dan lain-lain (Nikamatur &
Saiful,2013).

Pada paisen dengan spondilitis tuberkulosis biasanya paisen terlihat


tidak mampu mengontrol eliminasi urin dan alvi.

4) Pola Aktivitas

Pola aktivitas diisi dengan aktivitas rutinyang dilakukan paisen sebelum


sakit sampai saat sakit mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali,
termasuk penggunaan waktu senggang (Nikamatur & Saiful,2013).

Pada paisen dengan spondilitis tuberkulosis biasanya sukar untuk


beraktivitas dikarenakan terjadi kerusakan neuromukular yang
menyebabkan kelumpuhan atau/hemiplagia sehingga paisen tidak mampu
untuk melaksanakan aktivitas fisik tersebut.

5) Pola Istirahat Tidur

Pola Istirahat Tidur diisi dengan kualitas dan kuantitas istirahat tidur
paisen sejak sebelum sakit sampai saat sakit, meliputi jumlah jam tidur
siang dan tidur malam, penggunaan alat pengantar tidur, perasaan paisen
sewaktu bangun tidur, dan kesulitan atau masalah tidur (Nikamatur &
Saiful,2013).

Pada paisen spondilitis tuberkulosis adanya nyeri pada punggung dan


perubahan lingkungan atau dampak hospitalisasi akan menyebabkan
masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat.

6) Pola Kognitif dan Persepsi Sensori

Pola kognitif dan persepsi sensori diisi dengan kemampuan paisen


berkomunikasi, status mental danorientasi, kemampuan pengindraan
yang meliputi: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan
pengecapan (Nikamatur & Saiful,2013).

Pada paisen spondilitis tuberkulosis biasanya mengalami gangguan indra


perabaan pada ekstremitas atas dan bawah yang mengalami paraglegia.

7) Pola Konsep Diri

Pola konsep diri diisihanya pada paisenyang sudah dapat


mengungkapkan perasaan yang berhubungan dengan kesadaran akan
dirinya meliputi: gambaran dir, ideal diri, harga diri, peran diri dan
identitas diri.

Pada paisen dengan spondilitis tuberkulosis seringkali merasa malu


terhadap bentuk tubuhnya dan kadang-kadang mengisolasi diri.

8) Pola Peran Hubungan

Pola peran hubungan diisi dengan hubungan paisen dengan anggota


keluarga, masyarakat pada umumnya, perawat, dan tim kesehatan yang
lain, termasuk juga pola komunikasi yang sering digunakan paisen dalm
berhubungan dengan orang lain (Nikamatur & Saiful,2013).

Pada paisen spondilitis tuberkulosis biasanya mengalami perubahan


hubungan peran sehingga tidak mampu menjalankan peran sebagaimana
mestinya.

9) Pola Seksual dan Seksualitas

Pola seksual dan seksualitas pada anakusia 0-12 tahun diisi sesuai sengan
tugas perkembangan psikoseksual. Usia remaja dewasa dan lansia dikaji
berdasarkan jenis kelaminnya (Nikamatur & Saiful,2013).

Pada paisen spondilitis tuberkulosis kebutuhan seksual paisen dalam hal


melakukan hubungan badan akan terganggu untuk sementara waktu,
karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal curahan kasih sayang dan
perhatian dari pasangan hidupnya melalui cara merawat sehari-hari tidak
terganggu.

10) Pola Mekanisme Koping

Pola mekanisme koping diisi dengan mekanisme koping yang biasa


digunakan paisen ketika menghadapi masalah atau/konflik, stres
atau/kecemasan (Nikamatur & Saiful,2013).

Dalam penanggulangan stres bagi paisen spondilitis tuberkulosis yang


belum mengerti penyakitnya, akan mengalami stres. Untuk mengatasi
rasa cemas yang menimbulkan rasa stres, paisen akan bertanya - tanya
tentang penyakitnya untuk mengurangi stres.

11) Pola Nilai dan Kepercayaan

Pola nilai dan kepercayaan diisi dengan nilai-nilai dan keyakinan paisen
terhadap sesuatu dan menjadi sugesti yang amat kuat sehingga
memengaruhi gaya hidup paisen, dan berdampak pada kesehatan paisen.
Termasuk, juga praktik ibadah yang dijalankan paisen sebelum sakit dan
saat sakit (Nikamatur & Saiful,2013).

Pada paisen yang dalam kehidupan sehari-hari selalu taat menjalankan


ibadah, semasa dia sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengan
kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di jalankan pula
sebagai penaggulangan stres dengan percaya pada Tuhan.

g. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik di bsgi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status


general) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokal) (Muttaqin, 2008).

1) Status Kesehatan Umum

a) Keadaan Umum (di mana keadaan baik dan buruknya paisen): lemah,
sakit ringan, sakit berat, gelisah dan rewel (Nikamatur & Saiful,2013).

Pada paisen dengan spondilitis tuberkulosis keadaan umum paisen


biasanya lemah, dan sakit berat.

b) Kesadaran: dapat diisi dengan tingkat kesacaran secara kualitatif dan


kuantitatif yang dipilih sesuai dengan kondisi paisen. Secara kualitatif,
pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pengukuran Glasgow Coma
Scale (GCS). Sedangkan, secara kualitatif tingkat kesadaran dimulai
dari composmentis, apatis, somnolen, sopor, dan koma (Nikamatur &
Saiful,2013).

Pada paisen dengan spondilitis tuberkulosis kesadaran paisen biasanya


composmentis dengan GCS 15.

c) Tanda-tanda vital: tekanan darah normal denyut nadi bervariasi.

d) Pemeriksaan Kepala dan Leher

(1) Kepala : bentuk monocephali

(2) Muka : umumnya simetris

(3) Leher : kaku kuduk jarang terjadi, tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid.

e) Pemeriksaan Dada

Umumnya bentuk dada normal chest. Pada pemeriksaan dada dapat


menunjukkan adanya fokus infeksi tuberkulosis di paru atau di tempat
lain, meskipun pernah dilaporkan banyak spondilitis tuberkulosis yang
tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi tuberkulosis ekstraspinal.
Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh hambatan pengembangan
volume paru oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh
kuman tuberkulosis. Infiltrat paru akan terdengar sebagai ronkhi,
kavitas akan terdengar sebagai suara amforik atau bronkial dengan
predileksi di apeks paru.

f) Pemeriksaan Vertebra

Kesegarisan (alignment) tulang belakang harus diperiksa secara


seksama. Infeksi spondilitis tuberkulosis dapat menyebar membentuk
abses paravertebra yang dapat teraba, bahkan terlihat dari luar
punggung berupa pembengkakan. Permukaan kulit juga harus
diperiksa secara teliti untuk mencari muara sinus/fistel hingga regio
gluteal dan di bawah inguinal (trigonum femorale). Dapat terjadi
deformitastulang belakang atau/kifosis dan nyeri ketok di daerah yang
terinfeksi.

g) Pemeriksaan Abdomen

Tidak tertutup kemungkinan abses terbentuk di anterior rongga dada


atau abdomen.

h) Pemeriksaan Genetalia dan Anus

Pada pemeriksaan genetalia dan anus tidak terjadi kelainan.

i) Pemeriksaan Ekstremitas

Pada paisen spondilitis tuberkulosis biasanya terjadi kelumpuhan


atau/paraplegia anggota gerak atas dan bawah. Penilaian kekuatan otot
merupakan salah satu pemeriksaan yang harus dilakukan pada
pemerikasaan paraplegi. Kekuatan otot dapat diperiksa baik pada
waktu otot melakukan suatu gerakan (power, kinetik) atau pada waktu
menahan atau menghambat atau melawan gerakan (statik). Kadang
kelemahan otot baru diketahui bila penderita disuruh melakukan
serentetan gerakan pada satu periode (endurance). Untuk melakukan
pemeriksaan kekuatan otot harus diketahui fungsi masing-masing otot
yang diperiksa. Pada paraplegia didapatkan kekuatan otot yang
menurun pada kedua tungkai serta sering didapatkan adanya dekubitus
pada bokong, terutama pada paisen yang mengalami paraplegia.

j) Pemeriksaan Integumen

(1) Kulit: Mengkaji untuk indikator tekanan jaringan meliputi


inspeksi visual dan taktil pada kulit. Pengkajian dasar dilakukan
untuk menentukan karakteristik kulit normal pasien setiap area
yang potensial atau/aktual mengalami kerusakan seperti lecet dan
bintil-bintil pada area yang tertekanatau/menaggung beban berat
tubuh dan biasanya disertai hipertermi. Permukaan tubuh yang
paling terbebani berat badan ataupun tekanan merupakan area
risiko tinggi terjadi dekubitus(Potter & Herry, 2005).
(2) Kuku: Perlu dikaji adanya clubbing of finger, sianosis.

k) Pemerikasaan Neurologis

(1) Pemeriksaan 12 Fungsi Saraf Cranial

Pada paisen spondilitis tidak mengalami gangguan 12 fungsi saraf


crani.

(2) Pemeriksaan Motorik

Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper motor neuron (UMN),


namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis flaksid,
baru setelahnya akan muncul spastisitas dan refleks patologis
yang positif. Kelumpuhan lower motor neuron (LMN)
mononeuropati mungkin saja terjadi jika radiks spinalis anterior
ikut terkompresi. Jika kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi,
yang biasanya bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap
dermatom untuk protopatis (raba, nyeri, suhu), dibandingkan
ekstremitas atas dan bawah untuk proprioseptif (gerak, arah, rasa
getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi keringat rutin
dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom. Otot harus
diketahui fungsi masing masing otot yang diperiksa.

Gejala neurologis lainnya yang mungkin: rasa kebas, baal,


gangguan defekasi dan miksi.

(3) Pemeriksaan Sensorik

Pada paisen apondilitis tuberkulosis terjadi gangguan sensorik


indra perabaan pada daerah yang mengalami paraplegia.

(4) Pemeriksaan Refleks

Pada paisen spondilitis tuberkulosis terjadi kelumpuhan upper


motor neuron (UMN), pada presentasi awal akan didapatkan
paralisis flaksid, baru setelahnya akan muncul spastisitas dan
refleks patologis yang positif.
h. Pemeriksaan Penunjang

1) Foto Rongen

Pasa pasien spondilitis tuberkulosis pembacaan foto rontgen pada fase


awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus vertebra
dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis,
menunjukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak
disekitar vertebra menimbulkan bayangan fusiform. Pada fase lanjut,
kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk angulasi
kifosis (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat
terlihat, yang merupakan cold abscess.

2) CT Scan

CTscan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi


badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan
kanalis spinalis.

3) Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi studi hematologis. Laju endap


darah (LED) biasanya meningkat, namun tidak spesifik menunjukkan
proses infeksi granulomatosa tuberkulosis. Peningkatan kadar C-reactive
protein (CRP) diasosiasikan kuat dengan formasi abses. Uji Mantoux
positif pada sebagian besar pasien, namun hanya memberi petunjuk
tentang paparan kuman tuberkulosis sebelumnya atau saat ini. Spesimen
sputum memberikan hasil positif hanya jika proses infeksi paru sedang
aktif.
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan pernyataan yang menggambarkan respon


manusia (keadaan sehat atau perubahan pola interaksi aktual/potensial) dari
individu atau kelompok tempat perawat secara legal mengidentifikasi dan
perawat dapat memberikan intervensi secarapasti untuk menjaga status
kesehatan atau untuk mengurangi, menyingkir, atau mencegah perubahan
(Nikamatur & Saiful, 2013).

Tipe Diagnosis keperawatan

a. Diagnosis Keperawatan Aktual

1) Diagnosis keperawatan aktual adalah diagnosis yang menjelaskan


masalah yang nyata terjadi saat ini.

2) Harus ada PES.

3) Simtom harus memenuhi kriteria mayor (80-100%) dan sebagian kriteria


minor.

a) Label: perubahan, kerusakan, ketidakefektifan, gangguan dan lain-


lain.

b) Definisi: konseptual dan konsisten dengan label dan batasan


karakteristik merupakan arti yang tepat dari diagnosa keperawatan
yang sedang terjadi.

c) Batasan karakteristik: meemenuhi 80% atau lebih kriteria mayor.

d) Faktor yang berhubungan dengan etiologi

e) Rumusan: PES

b. Diagnosa Keperawatan Risiko/Risiko Tinggi

1) Diagnosa keeprawatan risiko/risiko tinggi adalah keputusan klinis bahwa


individu, keluarga/komunitas sangat rentan untuk mengalami masalah
dibandingkan yang lain pada situasi yang sama atau hampir sama.

2) Komponen diagnosa keperawatan risiko/risti:

a) Label: risiko atau risiko tinggi


b) Definisi: konsep yang jelas divalidasi oleh faktor risiko.

c) Faktor-faktor risiko = etiologi

c. Diagnosa Keperawatan Kemungkinan

1) Diagnosa keperawatan kemungkinan adalah pernyataan tentang masalah


yang diduga akan terjadi atau masih memerlukan data tambahan.

2) Data tambahan diperlukan untuk:

a) Memastikan adanya tanda/gejala utama (aktual).

b) Faktor risiko (diagnosa keperawatan risiko).

c) Komponen diagnosa keperawatan kemungkinan:


(1) Label: kemungkinan.
(2) Faktor-faktor yang diduga dapat menjadi penyebab = etiologi.
(3) Rumusan: PE.

d. Diagnosa Keperawatan Sindrom


1) Diagnosa yang terdiri dari kelompok diagnosa keperawatan
aktual/risiko/risiko tinggi yang diperkirakan akan muncul karena suatu
kejadian atau situasi tertentu.
2) Label: sindrom.
3) Rumusan: P.

e. Diagnosis Keperawatan Sejahtera

1) Keputusan klinis yang divalidasi oleh ungkapan subjektif yang positif


ketika pola fungsi dalam keadaan efektif.

2) Label:potensial peningkatan

3) Rumusan: P atau PE
(Nikamatur & Saiful, 2013).
Dalam kasus spondilitis tuberkulosis disertai dekubitus dapat muncul diagnosa
keperawatan sebagai berikut:

1. Hambatan Mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular


atau/paraplegia.

2. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan korda dan radiks saraf oleh
pembentukan abses yang bergeser.

3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan destruksi mekanisme


jaringan sekunder terdapat tekanan dan gesekan.

4. Risiko infeksi berhubungan dengan pemajanan ulkus dekubitus.

5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh.

6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang


pelaksanaan perawatan dirumah.
(Susan Martin Tucker, 1998 : 445 dalam qittun.blogspot.co.id/asuhan
keperawatan spondilitis tuberkulosis, 2008, Marlyn dan Doengoes, 2000).

3. Perencanaan

a. Pengertian perencanaan

Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah,


mengurangi, dan mengatasi msalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam
diagnosis keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana
perawata mampu menetapkan cara menyelesaikan masalah dengan efektif
dan efisien (Nikamatur & Saiful, 2013).

Rencana asuhan keperawatan berikut ini meliputi diagnosis keperawatan,


tindakan keperawatan, tindakan keperawatan mandiri, dan kolaborasi serta
rasionalisasi dari masing-masing tindakan keperawatan.

b. Kegiatan dalam tahap perencanaan:


1) Menentukan prioritas masalah keperawatan.
2) Menetapkan tujuan dan kriteria hasil.
3) Merumuskan rencana tindakan keperawatan.
4) Menetapkan rasional rencana tindakan keperawatan.
(Nikamatur & Saiful, 2013).

c. Komponen-komponen Dalam Tahap Perencanaan Meliputi:

a) Membuat prioritas masalah mengacu pada hirarki kebutuhan dari


maslow, kerangka hirarki ini termasuk kebutuhan fiiologis dan
psikologis, hirarki kebutuhan menurut maslow mempunyai lima tahapan
meliputi:
a) Fisiologis
b) Keamanan dan kenyamanan
c) Mencintai dan dicintai
d) Harga diri
e) Aktualisasi diri.
b) Menetapkan Tujuan
Tujuan adalah perubahan perilaku paisen yang diharapkan oleh perawat
setelah tindakan berhasil dilakukan.
Tujuan perencanaan:
a) Tujuan administrasi
(1) Untuk mengidentifikasi fokus keperawatan kepada paisen atau
kelompok.
(2) Untuk membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi
kesehatan lain.
(3) Untuk menyediakan kriteria guna penanggulangan dan evaluasi
keperawatan.
(4) Untuk menyediakan kriteria klasifikasi paisen.
b) Tujuan klink
(1) Menyediakan suatu pedoman dalam penulisan.
(2) Mengkomunikasikan dengan staf perawat, apa yang diajarkan, apa
yang diobservasi dan apa yang dilaksanakan.
(3) Menyediakan kriteria hasil sebagai penanggulangan dan evaluasi
keperawatan.
(4) Rencana tindakan yang spesifik secara langsung bagi individu,
keluarga dan tenaga kesehatan lainnya untuk melakukan tindakan.
d. Menetapkan Tujuan dan Kriteria Hasil
1) Kriteria Tujuan (Standar Keperawatan)
a) Rumusan singkat dan jelas.
b) Disusun berdasarkan diagnosis keperawatan.
c) Spesifik.
d) Dapat diukur/diobservasi.
e) Realistis/dapat dicapai.
f) Terdiri dari: subjek, perilaku paisen, kondisi, dan kriteria tujuan.

2) Rumusan Tujuan

a) SPHK

(1) S: Subjek, siapa yang mencapai tujuan.

(2) H: Predikat, kata kerja yang dapat diukur, tulis sebelum kata kerja
kata mampu.

(3) K: Hasil, respon fisiologi dan gaya hidup yang diharapkan dari
paisen terhadap intervensi.

(4) K: Kriteria, mengukur kmajuan paisen dalam mencapai hasil.

(5) T: Time, target waktu, periode tertentu untuk mencapai kriteria


hasil,

b) SPK

(1) S: Subjek.

(2) P: Predikat/perilaku yang diinginkan setelah paisen mencapai


tujuan.

(3) K: Kriteria/kondisi pencapaian tujuan.

c) SMART

(1) S: Spesifik, berfokus pada paisen,singkat, dan jelas.

(2) M: Measurable, dapat diukur.

(3) Achievable, realistis.

(4) Reasonable, ditentukan oleh perawat dan paisen.

(5) Time, kontrak waktu.

c) Menetapkan Kriteria Hasil

Kriteria hasil adalah batasan karakteristik atau indikator keberhasilan dari


tujuan yang telah ditetapkan. Kriteria hasil berorientasi pada masalah dan
kemungkinan penyebab dan merujuk pada simtom. Kriteria hasil meliputi
empat aspek:

a) Kognitif (pengetahuan).

b) Afektif (perubahan status emosi).

c) Psikomotor (perilaku).

d) Perubahan fungsi tubuh.


Dalam suatu pernyataan, tujuan perilaku yang akan dicapai masih
memerlukan indikator-indikator yang lebih spesifik sehingga tingkat
keberhasilan akan lebih mudah diukur. Penetapan kriteria hasil yang benar
dapat menggambarkan perilaku yang ingin dicapai dengan tepat. Perilaku
ini dapat berbentuk kognitif, yaitu perubahan pengetahuan paisen dari
keadaan tidak tahu, kurang tahu, dan salah konsep menjadi tahu dan
mempunyai konsep yang benar.
Aspek yang kedua adalah afektif, yaitu perubahan status emosi, dari
keadaan menola, pengingkaran, marah, tidak kooperatif, koping tidak
efektif, serta menjadi perilaku yang asertif dan kooperatif, Psikomotor
merupakan bentuk perilaku aktif yang dapat dilihat melalui perubahan
tindakan paisen secara nyata, yaitu perubahan dari ketidakmampuan
melakukan suatu keterampilan perawatan diri menjadi mampu dan mandiri.
Aspek perubahan fungsi tubuh berkaitan dengan respons tubuh yang timbul
akibat keadaan patologis, tindakan, atau situasi yang mengancam.
Perubahan perilaku yang diinginkan adalah perubahan dari kondisi
abnormal menjadi normal.
Perencaan tindakan berikut yang akan diuraikan ini meliputi diagnosa
keperawatan, tindakan mandiri dan berkolaborasi, serta rasionalisasi dari
masing-masing tindakan keperawatan.
Rencana tindakan pada masing-masing diagnosa pada kasus spondilitis
tuerkulosis disertai dekubitus menurut (Mutaqqin, Arif, 2005 dalam
repository/pdf/asuhaan keperawatan spondilitis tuberkulosis, Marlyn dan
Doengoes, 200, Taylor, Cynthia M, 2010).
Tabel 2.1 Intervensi dan Rasional Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan
gangguan neuromuskular atau/paraplegia.
Intervensi Rasional
Kaji mobilitas yang ada dan observasi Mengetahui tingkat kemampuan
terhadap peningkatan kerusakan. paisen
dalam melakukan aktivitas.
Pantau dan catat setiap hari semua bukti Paisen dengan riwayat penyakit atau
komplikasi imobilitas (kontraktur, stasis disfungsi neuromuskular mungkin
vena, trombus, pneumonia,saluran lebih cenderung mengalami
kemih). komplikasi
Mempertahankan postur tubuh yang Dilakukan untuk menegakkan postur
baik dan latihan pernapasan: dan menguatkan otot-otot paraspinal.

a. Latihan ekstensi batang tubuh baik


posisi berdiri (bersandar pada
tembok) maupun posisi
menelungkup dengan cara
mengangkat ekstremitas atas dan
kepala serta ekstremitas bawah
secara bersamaan.

b. Menelungkup sebanyak 3 4 kali


sehari selama 15 30 menit.

c. Latihan pernapasan yang akan dapat


meningkatkan kapasitas pernapasan.
Atur posisi setiap dua jam. Tindakan ini mencegah kerusakan
kulit dengan mengurangi tekanan.
Bantu paisen melakukan latihan ROM, Untuk memelihara fleksibilitas sendi
secara konsisten yang diawali dengan sesuai kemampuan.
latihan ROM pasif kemudian ROM
aktif.
Buat jadwal latihan secara teratur Mengurangi kelelahan dan
meningkatkan toleransi terhadap
aktifitas.
Berikan penjelasan tentang pentingnya Meningkatkan pengetahuan paisen
latihan ROM dan keluarga tentang latihan ROM.
Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk Untuk membantu rehabilitasi defisit
pengembangan program mobilitas. muskuloskeletal.

Tabel 2.2 Intervensi dan Rasional Nyeri akut berhubungan dengan penekanan
korda dan radiks saraf oleh pembentukan abses yang bergeser.
Intervensi Rasional
Pantau tanda-tanda vital Untuk mengetahui keadaan umum dan
mendeteksi perubahan pada paisen.
Pantau lokasi, intensitas dan tipe Pengkajian berkelanjutan membantu
nyeri. Observasi terhadap kemajuan meyakinkan bahwa penanganan dapat
nyeri ke daerah yang baru. memenuhi kebutuhan paisen dalam
mengurangi nyeri.
Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi. Tindakan tersebut mengurangi
ketegangan atau spasme otot,
melancarkan peredaran darah sehingga
kebutuhan oksigen pada jaringan
terpenuhi dan pengurangan nyeri.
Gunakan brace punggung atau korset. Dapat mempertahankan posisi
punggung.
Anjurkan pasien untuk istirahat. Tindakan ini meningkatkan kesehatan,
kesejahteraan, dan peningkatan tingkat
energi, yang penting untuk mengurangi
nyeri.
Kolaborasi dengan dokter dalam Analgesik dapat mengurangi nyeri.
pemberian analgesik.

Tabel 2.3 Intervensi dan Rasional Kerusakan integritas jaringan berhubungan


dengan destruksi mekanisme jaringan sekunder terdapat tekanan dan gesekan.
Intervensi Rasional
Observasi ukuran, warna, kedalaman Untuk mengetahui sirkulasi pada
luka, jaringan nekrotik dan kondisi daerah yang luka.
sekitar luka.
Pantau tanda-tanda vital Untuk mendeteksi perubahan pada
paisen. Peningkatan suhu tubuh
menunjukkan adanya infeksi.
Identifikasi derajat perkembangan Mengetahui tingkat keparahan luka.
luka tekan
Lakukan perawatan luka dengan Mencegah terpajan dengan organisme
teknik aseptik dan antiseptik. infeksius, mencegah kontaminasi
silang, menurunkan risiko infeksi.
Bersihkan jaringan nekrotik. Mencegah auto kontaminasi
Dorong kepatuhan paisen untuk Latihan fisik meningkatkan sirkulasi
melakukan latihan rentang pergerakan arteri dan aliran balik vena melalui
sendi atau regimen latihan fisik yang peningkatan kontraksi-relaksasi otot.
dapat ditoleransi.
Kolaborasi dalam pemberian Antibiotik dapat membunuh dan
antibiotik. menghambat pertumbuhan bakteri.

Tabel 2.4 Intervensi dan Rasional Risiko infeksi berhubungan dengan pemajanan
dekubitus.
Intervensi Rasional
Pantau terhadap tanda-tanda infeksi Respon jaringan terhadap infiltrasi
(rubor,dolor,kalor,edema,fungsiolesa). pathogen dengan peningkatan aliran
darah dan aliran limfe (edema, rubor).
Pantau tanda-tanda vital Pathogen bersirkulasi merangsang
hipotalamus untuk meningkatkan suhu
tubuh.
Cuci tangan sebelum dan sesudah Mencegah terjadinya infeksi silang dari
melakukan tindakan. lingkungan ke dalam luka.
Lakukan rawat luka dengan teknik Mencegah terjadinya invalsi kuman dan
antiseptik dan septik. kontaminasi bakteri.
Anjurkan paisen untuk menghabiskan Nutrisi dapat meningkatkan daya tahan
porsi makan yang tersedia, tertutama tubuh dan mengganti jaringan yang
tinggi kalori, protein dan vitamin c. rusak dan mempercepat proses
penyembuhan.
Jaga personal hygiene paisen. Sesuatu yang kotor merupakan media
yang baik bagi kuman.
Kolaborasi dalam pemberian Antibiotik dapat membunuh dan
antibiotik, pemeriksaan leukosit dan menghambat pertumbuhan bakteri.
pemeriksaan LED. Peningkatan leukosit dan LED
meruakan indikasi terjadinya infeksi.

Tabel 2.5 Intervensi dan Rasional Gangguan citra tubuh berhubungan dengan
gangguan struktur tubuh.
Intervensi Rasional
Terima persepsi diri paisen dan Untuk memvalidasi perasaannya.
berikan jaminan bahwa ia dapat
mengatasi krisis ini.
Kaji pola koping dan tingkat harga Untuk mendapatkan nilai dasar pada
dirinya. pengukuran kemajuan psikologisnya.
Dorong paisen melakukan perawatan Untuk meningkatkan rasa kemandirian
diri. dan kontrol.
Libatkan paisen dalam pengambilan Keterlibatan dapat memberikan rasa
keputusan tentang perawatan, bila kontrol dan meningkatkan harga diri.
memungkinkan.
Berikan kesempatan kepada paisen Agar paisen dapat mengungkapkan
untuk menyatakan perasaan tentang keluhannya.
citra tubuhnya dan hospitalisasi.
Bimbing dan kuatkan fokus paisen Untuk mendukung adaptasi dan
pada aspek-aspek positif dari kemajuan yang berkelanjutan.
penampilannya dan upayanya dalam
menyesuaikan diri dengan perubahan
citra tubuhnya.

Tabel 2.6 Intervensi dan Rasional Kurang Pengetahuan berhubungan dengan


kurangnya informasi tentang pelaksanaan perawatan dirumah.
Intervensi Rasional
Kaji ulang prognosis dan harapan Memberikan dasar pengetahuan dimana
yang akan datang. paisen dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi.
Jelaskan tanda dan gejala penyakit Untuk menambah pengetahuan paisen
spondilitis tuberkulosis disertai maupun keluarga.
dekubitus.
Tekankan kepada paisen pentingnya Nutrisi optimal meningkatkan
melanjutkan diet tinggi kalori dan regenerasi jaringan dan penyembuhan
protein. umum kesehatan.
Sediakan informasi pada Agar paisen mengetahui kondisinya.
paisententang kondisi paisen.

4. Pelaksanaan

Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang


telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data
berkelanjutan, mengobservasi respon paisen selama dan sesudah tindakan, serta
menilai data yang baru (Nikamatur & Saiful,2013). Dalam melakukan
tindakan keperawatan menggunakan 3 (tiga) tahap pendekatan yaitu:
independen, dependen dan interdependen. Tindakan keperawatan
interdependen adalah tindakan keperawatan yang menjelaskan suatu kegiatan
dan memerlukan kerja sama dengan tenaga kesehatan lain misalnya: tenaga
sosial, ahli gizi dan dokter. Tindakan keperawatan secara independen adalah
suatu kegiatan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari
dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Tindakan dependen adalah tindakan yang
berhubungan dengan pelaksanaan rencana medis. Kemampuan yang harus
dimiliki perawat dalam melaksanakan tindakan keperawatan yaitu:

a. Keterampilan kognitif, mencakup pengetahuan keperawatan yang


menyeluruh. Perawat harus mengetahui alasan untuk setiap intervensi
terapeutik.

b. Keterampilan interpersonal, penting untuk tindakan keperawatan yang


efektif. Perawat harus berkomunikasi dengan jelas kepada paisen,
keluarganya dan anggota tim perawatan kesehatan lainnya.

c. Keterampilan psikomotor, mencakup kebutuhan langsung terhadap


perawatan kepada paisen, seperti membantu paisen memenuhi kebutuhan
aktivitas sehari-hari.
(Sudarti, 2006, Nikamatur & Saiful,2013).

5. Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan


paisen (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada
tahap perencanaan. Tujuan evaluasi yaitu:

a. Mengakhiri rencana tindakan keperawatan.

b. Memodifikasi rencana tindakan keperawatan.

c. Meneruskan rencanatindakan keperawatan.


(Nikamatur & Saiful,2013).

6. Dokumentasi

Dokumentasi keperawatan merupakan aspek dari praktik keperawatan


yaitu sebagai segala sesuatu yangtertulis atau tercetak yang dapat diandalkan
sebagai cacatan tentang bukti bagi individu yang berwenang. Dokumentasi
keperawatan juga mendeskripsikan tentang status dan kebutuhan paisen yang
komperhensif, juga layanan yang diberikan untuk perawatan paisen (Potter &
Herry, 2005).

a. Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi keperawatan adalah cara menggunakan dokumentasi


keperawatan dalam penerapan proses keperawatan. Ada 3 (tiga) teknik
dokumentasi yang ssering digunakan:

1) SOR (Sour Oriented Recorder)

Teknik dokumentasi yang dibuat oleh setiap anggota tim kesehatan.


Dalam melaksanakan tindakan, mereka tidak tergantung dengan tim
kesehatan lainnya. Catatan ini cocok untuk paisen rawat inap.

2) Kaerdex
Teknik dokumentasi ini menggunakan serangkaian kartu dan membuat
data penting tentang paisen dengan menggunakan ringkasan problem dan
terapi paisen yang digunakan pada paisen rawat jalan.

3) POR (Problem Oriented Recorder)

POR merupakan teknik efektif untuk mendokumentasikan sistem


pelayanan keperawatan yang berorientasi pada masalah paisen. Teknik
ini menggunakan aplikasi pendekatan pemecahan masalah dengan
mengarahkan idepemikiran anggota tim mengenai problem paisen secara
jelas.

b. Format Dokumentasi

Ada 5 (lima) bentuk format yang lazim digunakan:

1) Format Naratif

Format yang dipakai untuk mencatat perkembangan paisen dari hari ke


hari dalam bentuk narasi.

2) Format SOAP

Format ini dapat digunakan pada catatan medis yang berorientasi pada
masalah (problem oriented medical) yang mencerminkan masalah yang
diidentifikasi oleh semua anggota tim perawat. Format SOAP terdiri dari:

a) S: Data Subjektif

Masalah yang dikemukakan yang dikeluhkan atau yang dirasakan


sendiri oleh paisen.

b) O: Data Objektif

Tanda-tanda klinik dari fakta yang berhubungan dengan diagnosa


keperawatan meliputi data fisiologis dan informasi dari pemeriksaan.
Data dapat diperoleh dari wawancara, observasi, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan diagnostik.

c) A: Pengkajian (Assesment)

Analisis data subjektif dan objektif dalam menentukan masalah


paisen.
d) P: Perencanaan (Planning)

Oengembangan rencana segera atau tidak yang akan datang dari


intervensi tindakan untuk mencapai status kesehatan optimal.

3) Format fokus atau/DAR

Semua masalah paisen diidentifikasi dalam catatan keperawatan dan


terlihat pada rencana keperawatan. Kolom fokus dapat berisi: masalah
paisen (data), tindakan (action) dan respon (R).

4) Format DAE

Merupakan sistem dokumentasi dengan konstruksi data tindakan dan


evaluasi dimana setiap diagnose keperawatan diidentifikasi dalam catatan
perawatan, terkait pada rencana keprawatan atau setiap daftar masalah
dari setiap catatan perawat dengan suatu diagnosa keperawatan.

5) Catatan perkembangan ringkas

Dalam menuliskan catatan perkembangan diperlukan beberapa hal yang


perlu diperhatikan antara lain :

a) Adanya perubahan kondisi paisen.

b) Berkembangnya masalah baru.

c) Pemecahan masalah lama.

d) Respon paisen terhadap tindakan.

e) Kesediaan paisen terhadap tindakan.

f) Kesediaan paisen untuk belajar.

g) Perubahan rencana keperawatan.

h) Adanya abnormalitas atau/kejadian yang tidak diharapkan.


(Potter & Herry, 2005).

Anda mungkin juga menyukai