Anda di halaman 1dari 4

Merayakan Kehilangan

Andhikamppp

Sebelum Anda membaca tulisan ini ada baiknya, agar tulisan ini lebih dapat dikhidmati,
Anda menutup mata sejenak. Kemudian membayangkan sebuah ikatan persahabatan
yang Anda bina, bersama sahabat-sahabat Anda, tentu saja. Di mana canda, tawa,
susah, senang menjadi hal yang luar biasa yang membuat ikatan persahabatan itu
menjadi sedemikian kuat. Dan suatu ketika mereka, sahabat-sahabat Anda itu, hilang
entah pergi atau mati, meninggalkan Anda sendirian. Satu per satu. Hingga akhirnya
menyisakan Anda seorang belaka dalam kesepian.

Sudah? Jika sudah, maka biarkanlah saya menceritakan suatu hal tentang kehilangan
dan persahabatan.

Bagi saya pribadi persahabatan adalah suatu hal yang fundamental. Ia menjadi salah
satu hal yang paling saya agungkan dalam lelakon kehidupan yang sedang saya jalani.
Karena, bagaimanapun, persahabatan adalah entitas unik yang tumbuh tak terencana.
Ia bisa saja datang tiba-tiba untuk waktu, tempat dan subjek yang tidak diduga. Dalam
kasus lain, ia tidak akan sudi lahir pada padu padan waktu, tempat atau subjek yang
tidak ia kehendaki.

Sebelumnya kita sepakati terlebih dahulu kalimat ini: ikatan persahabatan berada
pada tingkatan yang lebih tinggi ketimbang ikatan pertemanan biasa. Sepakat?
Baiklah, saya lanjutkan kembali.

Maksud saya begini, kita sebagai makhluk sosial bisa berteman dengan siapa saja,
bukan? Berada dalam lingkaran yang sama, berkenalan, berinteraksi sesekali, biasanya
dengan melakukan hal seperti itu saja kita sudah bisa melekati hubungan tersebut
sebagai hubungan pertemanan. Atau bahkan dalam kasus yang lebih buruk, dengan
hanya berada pada lingkaran yang sama, ditambahkan dengan mengetahui nama
belaka, kita bisa menganggap seseorang sebagai seorang teman. Tapi untuk
hubungan persahabatan? Itu menjadi soal yang lain.

Kita memerlukan proses yang teramat panjang dalam tempo waktu yang tak
tergambarkan. Sebagian orang boleh jadi memulai persahabatan dengan cara yang
klise: berkenalan, berinteraksi atas dasar kesukaan yang sama, melakukan komunikasi
yang lebih sering, timbul kecocokan pun dengan kenyamanan, hingga akhirnya pada
waktu yang entah ikatan persahabatan itu muncul dengan sendirinya. Sebagian yang
lain memulainya dengan cara yang tidak wajar. Perkelahian misalnya. Tak jarang orang
yang di mula bermusuhan, dengan tabiat yang luar biasa bertolak belakang, sesekali
beradu fisik, tak bisa dipersatukan serupa minyak dengan air. Namun, mereka itu bisa
saja, kok, membentuk sebuah ikatan persahabatan. Siapa sangka, bukan?

Atau malah sebaliknya. Dua orang atau lebih yang telah berinteraksi sedemikian lama,
berteman, dengan segala kecocokan yang ada. Boleh jadi malah rusak, berpisah,
sebelum ikatan persahabatan itu muncul.

Karena, bagaimanapun, persahabatan adalah sebuah hasil yang luar biasa indah dari
banyak sekali proses. Ya, persahabatan amat sangat menghargai proses. Sebuah
proses panjang itu lah yang kemudian menjadi keuntungan (atau kerugian) untuk saya
selama lebih kurang delapan tahun bekerja di perusahaan ini. Atau, setidaknya dua
tahun jika yang dihitung hanya tempat terakhir saya ditempatkan.

Dua tahum silam, ketika pertama kali saya ditempatkan di posisi dan lokasi yang
sekarang. Saya memulainya dengan perasaan jengah. Menghadapi rutinitas
membosankan semenjak pergi sampai pulang, bertemu orang baru yang, saya pikir,
amat sangat berbeda dari kebiasaan, kesukaan, minat, usia bahkan kesukuan. Tak
jarang perbedaan-perbedaan itu melahirkan tatapan sinis menyebalkan, celotehan asal
yang menyakitkan, atau bahkan emosi yang tak tertahankan. Saya dan beberapa orang
yang banyak di antara mereka jelas tidak mungkin bisa berteman. Malas.

Mereka, bagaimanapun, menjadi bukti bahwa sebuah ikatan persahabatan tidak melulu
berawal dari sebuah hubungan pertemanan yang menyenangkan. Mereka menjadi
salah satu dari sebuah pengecualian. Dalam suatu perusahaan, pergolakan antar divisi
menjadi sebuah keniscayaan, budaya saling menyalahkan adalah suatu kelaziman,
kerelaan untuk rendah hati mengakui terkukung oleh ego yang sedemikian buncah. Dan
beberapa dari kami adalah benteng dari ego yang diperjual-belikan, ketika itu, hanya
demi kemaslahatan divisi masing-masing dari kami. Menyedihkan, karena kami
sebetulnya sedang berada dalam sebuah omong kosong yang masif.

Dari situlah kemudian kami bermula, berjabat tangan untuk saling menyalahkan, saling
mengenal untuk kemudian menjatuhkan. Namun, di sini lah kami sekarang. Partner in
Crime. Pasukan bebal di antara yang loyal. Pasukan terluka di antara para pencari
muka. Potensi-potensi yang tersembunyi dari gemerlapnya tirani. Peduli setan.

Tak ada batasan usia, meski kami tetap mempertuankan etika kesopanan. Tak ada
batasan posisi, meski kami lebih dari cakap untuk memahami sikap-sikap profesional.
Tak ada batasan kesukuan, karena kami tahu betul bahwa hakikatnya menghargai
manusia jauh lebih penting ketimbang menghargai kesukuan atau bahkan agama yang
dianut para manusia itu sekalipun. Yang terjadi berikutnya adalah sebuah hadiah. Salah
satu yang teristimewa. Selain mencari uang, masing-masing dari kami adalah alasan
untuk masing-masing yang lain pergi ke tempat kerja.
Saya pernah membaca sebuah kalimat yang luar biasa indah. Ia mengatakan: dalam
beberapa hal, kehilangan seorang sahabat jauh lebih menyakitkan ketimbang
kehilangan hal lain yang ada di muka bumi ini. Terlebih seseorang itu telah berada di
batas-batas yang tipis antara teman atau keluarga.

Dan untuk urusan ini, waktu memperlihatkan kefanaanya.

Waktu menjadi momok yang teramat menakutkan untuk semua ikatan persahabatan
yang lahir di sebuah perusahaan. Masing-masing dari kami tidak pernah tahu sampai
kapan kami tetap berada di perusahaan tersebut. Dalam artian, kami tentu tidak akan
tahu kapan si A, katakanlah, diputus kontrak oleh perusahaan, atau di mutasi ke daerah
jauh entah, atau boleh jadi pindah ke perusahaan yang lain yang lebih memberikan
penghidupan untuk ke depan. Dan dengan seperti apapun bentuknya, hal ini menjadi
bagian yang paling menyebalkan.

Satu persatu, dalam rentang enam bulan terakhir. Sahabat-sahabat saya pergi,
berurutan. Meninggalkan saya dalam kesendirian yang paripurna. Gelas yang biasanya
berputar jauh, kini kembali lebih cepat. Akumulasi asap yang terkepul menjadi
sedemikian bias. Kursi panjang yang teradapat pada salah satu sudut gedung, yang
biasa kami gunakan, mulai hilang fungsinya. Lebih dari separuh, telah pergi. Kursi itu
kehilangan pemiliknya.

Tidak seperti perginya teman sekolah, yang berada dalam satu jejak tanah yang ada.
Ditinggalkan teman kerja, sedikit banyak memengaruhi peluang untuk melepas rindu
nantinya. Karena, bagaimanapun, perusahaan adalah sebuah entitas multi-agama,
multi-suku, dan terpenting multi-daerah. Pindah, dengan dalih penghidupan yang lebih
baik, hanya melahirkan sebuah posis yang amat dilema. Kita tidak bisa menuntut waktu
temu di kemudian, bagaimanalah, kita pun memiliki waktu yang berbatas.

Bagaimana kemudian saya menyikapi kehilangan dan kesendirian ini? Saya


bersabar, menunggu sesuatunya selesai tepat waktu. Saya bersabar, menunggu.
Terkukung di dalam sepinya kehilangan. Namun ada yang saya lupakan. Ketika mereka
pergi, dengan dalih penghidupan yang lebih baik, itu berarti mereka mendapatkan hal
baik. Ikatan persahabatan memupuskan segala ego para pelakunya. Tak ada lagi saya
kamu, hanyalah kita belaka. Ikatan persahabatan melahirkan pula keikhlasan yang tak
terbantahkan. Jika mereka pergi untuk kehidupan yang lebih baik. Lantas kemudian
untuk apa saya terjerembab dalan nistanya kehilangan? Alih-alih merayakannya.
Sambil menyisipkan segala banyak semoga di dalamnya. Untuk pertemuan, untuk
kesempatan dan tentu saja untuk persahabatan.

Kawan, saya yang di sini kehilangan, akan selalu mendoakan kalian mendapatkan
segala cita-cita yang sudah ataupun belum kalian sebutkan. Kawan, saya yang di sini
kehilangan, bersuka dengan senang hati atas apa yang telah kalian dapatkan. Kawan,
saya yang di sini kehilangan, akan selalu bersemoga untuk segala yang jauh entah.
Kawan, berbahagialah di sana. Dan sisakan sedikit untuk di sini, untuk kami yang
tersisa, merayakan kehilangan.

Epilog:
Pada satu siang yang ribut, ketika mayoritas pekerja sedang mengkhidmati menu
santap siang. sebuah pesan singkat masuk ke dalam grup percakapan rahasia.

Genks!!! Apa kabar, lu semua? Udah hampir tiga bulan gue cabut. Tapi gue
masih ngerasa sepi aja. Pikiran gue masih di sana. Sama tolol dan babiknya
kalian semua. Kadang gue mikir. Gue salah gak, sih, cabut dari sana?
Ninggalin keluarga gue di sana? Gue gak mau nyesel. Tapi, yang pasti, gue
kangen sama lu semua.

Anda mungkin juga menyukai