5
lainnya. Adapun susunan organisasi perusahaan di PT Aditya Buana Inter adalah
sebagai berikut:
STRUKTUR ORGANISASI
PT ADITYA BUANA INTER
Direktur Utama
Direktur Operasi
KTT
Manager Quarry
Ka. Logistik Ka. Crusher Ka. Tambang Ka. Pool Ka. Security
2.1.3 Topografi
Keadaan topografi kegiatan pertambangan di PT Aditya Buana Inter
(Anonim, 2015) berada pada ketinggian berkisar antara 100 150 m dari
permukaam laut. Seluruh wilayah penambangan merupakan daerah punggung
bukit yang merupakan badan cebakan batu granit dan morfologi lokasi
penambangan secara umum merupakan morfologi perbukitan. Berdasarkan
6
kelompok kemiringan lahannya, wilayah PT Aditya Buana Inter termasuk
kedalam lereng > 180 (Lereng D) dengan luas 40 ha.
2.1.4 Morfologi
Morfologi daerah penambangan dapat digolongkan ke dalam satuan
morfologi perbukitan sedang, dengan ketinggian 200 m di atas permukaan laut.
Daerah ini terbentang memanjang dari arah utara ke selatan dengan sudut lereng
yang landai antara 30 - 40, sedangkan ke arah puncak bukit sudut lereng agak
terjal dengan sudut lereng 50 - 60.
Tabel 2.1 Titik Koordinat Wilayah Izin Usaha Pertambangan Batu Granit PT
Aditya Buana Inter (Anonim, 2015)
No. Garis Bujur Garis Lintang
1 1060 4 54,65 BT 10 55 58,68 LS
2 1060 4 59,13 BT 10 55 58,68 LS
3 1060 4 59,13 BT 10 55 59,65 LS
4 1060 5 2,04 BT 10 55 59,65 LS
5 1060 5 2,04 BT 10 56 0,30 LS
6 1060 5 4,79 BT 10 56 0,30 LS
7 1060 5 4,79 BT 10 56 1,93 LS
8 1060 5 8,19 BT 10 56 1,93 LS
9 1060 5 8,19 BT 10 56 5,02 LS
10 1060 5 5,77 BT 10 56 5,02 LS
11 1060 5 5,77 BT 10 56 8,93 LS
12 1060 5 3,99 BT 10 56 8,93 LS
13 1060 5 3,99 BT 10 56 15,93 LS
14 1060 5 4,64 BT 10 56 15,93 LS
15 1060 5 4,64 BT 10 56 19,19 LS
16 1060 5 5,61 BT 10 56 19,19 LS
17 1060 5 5,62 BT 10 56 22,93 LS
18 1060 5 8,69 BT 10 56 22,93 LS
19 1060 5 8,70 BT 10 56 31,89 LS
20 1060 4 52,68 BT 10 56 31,90 LS
21 1060 4 52,67 BT 10 56 17,89 LS
22 1060 4 55,74 BT 10 56 17,89 LS
23 1060 4 55,74 BT 10 56 16,26 LS
24 1060 4 57,20 BT 10 56 16,26 LS
7
25 1060 4 57,20 BT 10 56 14,31 LS
26 1060 4 55,09 BT 10 56 14,31 LS
27 1060 4 55,09 BT 10 56 12,03 LS
28 1060 4 52,66 BT 10 56 12,03 LS
Gambar 2.2 Peta distribusi curah hujan Bulan September 2015 (Anonim, 2015)
2.1.6 Geologi
Geologi daerah Pulau Bangka, seperti yang telah diteliti oleh Mangga dan
Djamal (1994) bahwa struktur geologi yang berkembang adalah sesar naik, sesar
mendatar dan sesar normal serta lipatan yang mempunyai variasi arah barat laut
-tenggara, dan timur laut - barat daya hingga utara - selatan. Struktur ini
memotong semua formasi yang berada di kedua pulau tersebut seperti: Kompleks
Pemali, Diabas Penyabung, Granit Klabat, Formasi Tanjung Genting dan Formasi
8
Ranggam kecuali Endapan Aluvium (QA). Granit Klabat yang berupa pegmatit,
menerobos mulai dari Kompleks Pemali hingga Formasi Tanjung Genting.
Menurut Asikin dan Atmaja (1972) dalam prosiding Seminar Nasional
Pengembangan Nuklir IV Sunarko dan Suntoko (2011), deformasi di daerah ini
terjadi dalam tiga (3) fase, diawali pada masa Paleozoikum Akhir dengan struktur
berarah timur laut barat daya yang dicirikan dengan intrusi diabas. Kemudian
(fase ke-2) pada jaman Trias Atas - Jura struktur yang terjadi berarah barat laut -
tenggara dan kembali berarah timur laut barat daya yang ditandai dengan gang-
gang (dykes) granit. Pada zaman Kapur (fase terakhir atau paling muda) struktur
yang terjadi berarah utara - selatan.
Katili (1967) mengatakan bahwa pada batuan metamorf dan sedimen di
Bangka Utara terdapat perlipatan silang akibat dua deformasi. Deformasi pertama
mengakibatkan lipatan dengan arah barat laut - tenggara, namun umurnya sulit
ditentukan dengan pasti. Struktur lipatan berarah timur laut - barat daya (Orogen
II) disebabkan oleh deformasi pada Yura Atas. Orogen yang kedua ini
menghilangkan jejak Orogen yang lebih tua. Berdasarkan penelitian dan analisis
kedudukan rekahan-rekahan, urat-urat, dan gang-gang di daerah Sambung Giri
dan Pemali, menyimpulkan bahwa gerak-gerak Orogen sebelum Yura Atas
mengakibatkan terjadinya deformasi yang menyebabkan perlipatan pada batuan
sedimen yang berumur Karbon-Trias. Deformasi ini selain membentuk lipatan
NW-SE juga menyebabkan terjadinya rekahan-rekahan (Shear dan Tension
fracture). Struktur sesar, kekar, ditemukan dalam arah yang bervariasi, tetapi
kecenderungannya mempunyai arah utara - selatan.
2.1.7 Statigrafi
Pada Peta Geologi Lembar Bangka Utara dan Selatan, Sumatera, skala
1:250.000, Mangga dan Djamal (1994) dan Margono dkk (1995) yang
dipublikasikan oleh Pusat Penelitian Pengembangan Geologi, memetakan batuan
tertua di Bangka diwakili oleh Kompleks Malihan Pemali (CPp), terdiri dari filit
dan sekis, disisipi oleh kuarsit dan lensa batu gamping, dengan lokasi di Daerah
9
Pemali, sebelumnya Ko (1986) telah mengilustrasikan batuan tertua di Pulau
Bangka sebagai Kelompok Pemali yang diperkirakan berumur Karbon-Perm.
Wilayah penambangan batu granit yang terletak di Pulau Bangka ini
merupakan daerah yang berasal dari formasi granit yang diperkirakan berumur
kapur dan kaya akan mineral kuarsa dan feldspar. Batuan granit tersebut telah
mengalami proses pelapukan secara mekanis yang berlangsung lebih kuat dari
proses pelapukan secara kimia, tetapi batu granit yang berada di PT Aditya Buana
Inter dikategorikan masih segar. Menurut Ngadenin dkk (2014), Granit Pemali
memiliki kenampakan fisik di lapangan granit umumnya telah mengalami
pelapukan tingkat lanjut dengan ketebalan tanah hasil pelapukan mencapai 20 m
seperti yang terdapat di tambang timah Pemali, di beberapa tempat tersingkap
granit dalam kondisi segar seperti di pantai Parai, pantai Tanjung Pesona, Bukit
Betung, pantai Penyusup dan pantai Penyamun. Granit, segar berwarna abu-abu
berbintik hitam, lapuk abu abu kecoklatan hingga coklat kemerahan, holokristalin,
fanerik sedang- pegmatitik, komposisi mineral tersusun oleh kuarsa, ortoklas,
plagioklas, biotit, ilmenit, zirkon dan hornblenda.
10
Tabel 2.2 Komposisi bahan peledak (Konya & Walter, 1991)
Ingredient Chemical Formula Function
Nitroglycerin C3H5O9N3 Explosive Base
Nitrocellulose C6H7O11N3 Explosive Base
Trinitrottoluene (TNT) C7H5O6N3 Explosive Base
AmoniumNitrat H4O3N2 Oxygen Carrier
Sodium Nitrat NaNO3 Oxygen Carrier
Fuel Oil CH2 Fuel
Wood Pulp C6H10O5 Fuel
Carbon C Fuel
Powdered Aluminum Al Sensitizer-Fuel
Chalk CaCO3 Antacid
Zinc Oxide ZnO Antacid
Sodium Chloride NaCl Flame Depresant
11
Gambar 2.3 Geometri peledakan (Konya & Walter, 1991)
12
Gambar 2.4 Geometri peledakan dengan banyak lubang (Konya & Walter, 1991)
13
mempermudah dalam menentukan geometri peledakan yang selama ini digunakan
seperti Ash (1963) dan Konya (1972) menyajikan batasan range/konstanta untuk
menentukan dan menghitung geometri peledakan , terutama menentukan ukuran
burden berdasarkan diameter lubang tembak, kondisi batuan setempat dan jenis
bahan peledak. Adapun perhitungan geometri Rule of Thumb ini adalah sebagai
berikut:
Diameter lubang ledak (D) (mm) < 15 x tinggi jenjang (BH) (meter)
Tinggi jenjang (BH) (meter) > Diameter lubang ledak (D) (mm)
Burden (B) = 25 sampai 40 x (D)
Spacing (S) = 1,15 x B
Subdrill = 3 sampai 15 x D
Charge length (C) > 20 D
Stemming > 20 x D atau (0,7 1,2) x B
B. Pola Pemboran
Menurut Dick et al. (2014) dalam Explosives and Blasting Procedure
Manual menjelaskan bahwa ada tiga jenis pola pemboran yang digunakan saat ini
diantaranya; Square, rectangular, dan staggered. Pola pemboran square (Gambar
2.5) memiliki nilai burden dan spacing yang sama. Kedua pola square dan
rectangular, lubang pemboran tiap baris ditersusun langsung membentuk garis
yang secara langsung berada tepat dibelakang lubang lainnya. Sedangkan pada
pola staggered (Gambar 2.5), lubang tiap baris diposisikan pada bagian tengah
spacing pada baris sebelumnya. Pada pola sttagered, spacing harus lebih besar
daripada burden.
Pola pemboran staggered menggunakan penembakan row-on-row, yang
mana lubang dari satu baris diledakan sebelum lubang pada baris belakang secara
cepat yang ditunjukkan pada Gambar 2.6.
14
Gambar 2.5 Pola pemboran (Dick et al., 2014)
Gambar 2.6 Delay configuration pada pola pemboran staggered (Dick et al., 2014)
Keterangan:
Xr = ukuran rata rata fragmentasi batuan (m)
A = faktor batuan (Rock Factor/RF); secara umum dapat ditentukan dari
nilai sebagai berikut:
1 untuk batuan yang sangat rapuh
7 untuk batuan yang agak kompak
10 untuk batuan kompak dengan sisipan yang rapat
13 untuk batuan kompak dengan sedikit sisipan
15
V = volume batuan yang terbongkar (B x S x L x Jumlah Lubang) (m3)
Q = berat bahan peledak (kg)
E = relatif weight strength (ANFO = 100)
Keterangan:
n = indeks keseragaman (0,7 - 1,5)
B = burden (m)
D = diameter lubang ledak (mm)
W = standar deviasi lubang bor
A = rasio spacing terhadap burden
L = panjang muatan bahan peledak (m)
H = tinggi jenjang (m)
16
X
Xc
.(4)
n
R=e
Keterangan:
X = ukuran ayakan (cm)
Xc = karakteristik ukuran (cm)
n = indeks keseragaman; memiki rentang umumnya bernilai 0,7-1,5
e = bilangan eksponen (2,71828)
R = masa fragmen batuan yang tertahan pada screen
17
bahan peledak dengan densitas rendah. Sedangkan secara praktis loading density
dapat dilihat pada Lampiran B.
Gambar 2.7 Perbandingan arah lemparan batuan pada delay yang memadai
dengan delay yang kurang memadai (Dick et al., 2014)
18
Rancangan harusnya didasari pada dimensi peledakan. Meskipun powder
factor merupakan perhitungan yang penting untuk tujuan perhitungan biaya yang
digunakan. Dalam operasi peledakan seperti pengupasan batubara atau konstruksi
kerja dimana pemuatan material bernilai kecil, powder factor biasanya dinyatakan
dalam pon berat bahan bahan peledak per kubik yard material ledak.
Powder factor untuk sebuah lubang ledak dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
L( 0,3405 d)(D2 )
PF = ...(5)
(B)(S )(H)(27)
Keterangan:
PF = powder factor (lb/cu yd) (kg/BCM)
L = panjang bahan peledak isisan (ft) (m)
D = diameter lubang isian (in) (mm)
d = densitas bahan peledak (gr/cu cm)
B = burden (ft) (m)
S = spacing (ft) (m)
H = tinggi jenjang (ft) (m)
Tabel 2.3 Nilai powder factor pada derajat kesulitan pemberaian batuan
(Dick et al., 2014)
Derajat kesulitan Powder factor
pemberaian batuan (lb/cu yd)
Low 0,25-040
Medium 0,40-0,75
High 0,75-1,25
Very High 1,25-2,5
19