Anda di halaman 1dari 19

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Tn. H

Usia : 57 th

Alamat : Watumalang

Pekerjaan : Wiraswasta

Nomor CM : 568369

Tanggal Masuk RS : 28 September 2015

Diagnosis masuk : Anemia

Diagnosis keluar : Anemia gravis

B. Anamesis

1. Keluhan Utama : Lemas

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD dengan keluhan lemas dan pucat makin dirasakan memberat
sejak 1 minggu SMRS. Lemas (+), letih (+), lesu (+), pusing (+), mual (-),
muntah (-) BAK (+) normal tidak ada keluhan, BAB (+) normal tidak ada keluhan,
riwayat trasfusi (+), sebelumnya pasien pernah dirawat di RS dengan keluhan
serupa dengan diagnosis anemia.

3. Anamesis Sistem

Sistem serebrospinal : keadaan sadar (compos mentis).


Sistem kardiovaskular : tidak ada nyeri dada.
Sistem respiratori : sesak(-), batuk(-) dan pilek(-).

1
Sistem gastrointestinal : nyeri epigastrium (-), mual(-), muntah(-),BAB(+) tidak ada
keluhan.
Sistem urogenital : BAK(+) tidak ada keluhan.
Sistem intergumentum : tidak ada bentol-bentol kemerahan di badan, kaki dan
tangan serta tidak terasa gatal.
Sistem musculoskeletal : tidak ada edem, nyeri, deformitas dan fraktur.
Sistem kejiwaan : sadar penuh

4. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum : Tampak pucat dan lemas

b. Kesadaran : Compos mentis

c. Vital Sign

Tekanan darah : 128/69

Respirasi : 20 kpm, tipe thorakoabdomen

Nadi : 84 kpm, teratur, cepat dan tidak kuat

Suhu : 36,60C

d. Status Generalis

1) Kulit :

Warna : coklat sawo matang


Sianosis : (-)
Ikterik : (-)
Turgor : baik, kembali cepat
Hipopigmentasi : (-)
Hiperpigmentasi : (-)
2) Kepala :

Bentuk : mesochepal, simetris, tidak ada deformitas,


Rambut : dominan hitam
Facial : tampak pucat

2
Mata : conjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), mata
merah (-/-), isokor pupil kanan & kiri, reflex cahaya (+/+), edema palpebra (-/-).
Telinga : pendengaran baik, tidak ada cairan yang keluar.
Hidung : tidak ada deformitas, secret (-), inflamasi (-), nafas
cuping hidung (+), epistaksis (-).
Mulut : bibir tampak pucat dan kering, stomatitis (-), lidah
kotor (-), lidah putih(-), atrofi papil lidah (-).

3) Leher :

Bentuk : simetris
Massa : (-)
JVP : tidak ada peningkatan.
pembesaran kelenjar limfonodi (-).

4) Thorax :

Inspeksi : Bentuk simetris kanan dan kiri, tidak ada retraksi, penggembanggan
paru (+) iktus kordis (-), petekie (-).
Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri seimbang, tidak ada pembesaran
limfonodi aksilla dekstra, tidak teraba iktus kordis.
Perkusi : Sonor (+) pada paru kanan kiri,
Auskultasi :
- Suara dalam vesikuler, ronkhi (-), wheezing(-).
- Suara jantung S1-S2 reguler murni, murmur (-), gallop (-).

5) Abdomen :

Inspeksi : Kembung(-), tidak ada benjolan dan tanda-tanda radang.


Auskultasi : Bunyi usus (+) normal.
Perkusi : Timpani(+) dan redup/pekak pada kuadran kanan bawah.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada epigastric, tidak ada nyeri tekan pada
seluruh lapang abdomen, pada palpasi hepar & lien tidak teraba

3
6) Ekstermitas :

Ekstermitas superior dan inferior tidak ditemukan edem, akral dingin (-),
nyeri sendi (-).

5. Laboratorium

Laboratorium Hasil 8/9/2015 GDS 134

HB 2,8 UREUM 21,5

AL 6.3 KREATININ 0,92

AE 11,50 SGOT 16,0

AT 724 SGPT 9,0

HT 11 HBSAg negative

MCV 55

MCH 14

MCHC 26

GOLDA B

CREA 0.92

SGOT 16,0

SGPT 9,0

6. Diagnosis

Anemia Gravis

7. Terapi

Infus Nacl
Tranfusi PRC 4 Kolf

4
Omeprazole
Ranitidine
ulsicral syr
antasid syr
domperidon
hemafort

8. Follow up harian dan instruksi dokter

Tgl Subyektif Obyektif Assesment Plan

29/10/ Pasien TD: 100/50,N: Anemia Infus Nacl


mengeluhkan 72, RR: 20, T: gravis Tranfusi PRC 4 Kolf
2015 lemas (+), 36,6 Omeprazole 2x1 amp
Pusing (+) KU: CM , Ranitidine 2x1 amp
tampak pucat, ulsicral syr 3c1
Mata : CA (+/+) antasid syr 3c1
SI (-/-) domperidon 3x1
Leher : JVP hemafort 1x1
tidak meningkat
dan pembesaran
INN tidak
ditemukan
Thx : SDV
(+/+), ST (-/-)
BJ S1 < S2
Reguler, Bising
jantung (-).
Abd : BU(+) N,
Supel, Timpani,
NT (-)
Ext : tampak
pucat
30/10/ Pasien masih TD: 110/70,N: Anemia Infus Nacl
mengeluhkan 78, RR: 20, T: garvis Tranfusi PRC 4 Kolf
2015 lemas (+) 36,6 Omeprazole 2x1 amp
KU: CM , Ranitidine 2x1 amp
tampak pucat, ulsicral syr 3c1
Mata : CA (+/+) antasid syr 3c1
SI (-/-) domperidon 3x1
Leher : JVP hemafort 1x1
tidak meningkat
dan pembesaran
INN tidak
ditemukan
Thx : SDV
(+/+), ST (-/-)
BJ S1 < S2

5
Reguler, Bising
jantung (-).
Abd : BU(+) N,
Supel, Timpani,
NT (-)
Ext : tampak
pucat
1/10/ Post TD: 110/70,N: Anemia Infus Nacl
transfusi 2 72kpm, RR: Gravis Tranfusi PRC 4 Kolf
2015 kolf PRC, 18kpm, T: 36,6 Omeprazole 2x1 amp
keluhan KU: CM , Ranitidine 2x1 amp
pasien tampak pucat, ulsicral syr 3c1
berkurang Mata : CA (-/-) antasid syr 3c1
SI (-/-) domperidon 3x1
Leher : JVP hemafort 1x1
tidak meningkat
dan pembesaran
INN tidak
ditemukan
Thx : SDV
(+/+), ST (-/-)
BJ S1 < S2
Reguler, Bising
jantung (-).
Abd : BU(+) N,
Supel, Timpani,
NT (-)
Ext : tampak
pucat
2/10/ Post TD: 120/80,N: Anemia Infus Nacl
transfusi 3 48kpm, RR: gravis Tranfusi PRC 4 Kolf
2015 kolf 20kpm, T: 36,6 Omeprazole 2x1 amp
Keluhan KU: CM , Ranitidine 2x1 amp
pasien tampak pucat, ulsicral syr 3c1
berkurang Mata : CA (-/-) antasid syr 3c1
SI (-/-) domperidon 3x1
Leher : JVP hemafort 1x1
tidak meningkat
dan pembesaran
INN tidak
ditemukan
Thx : SDV
(+/+), ST (-/-)
BJ S1 < S2
Reguler, Bising
jantung (-).
Abd : BU(+) N,
Supel, Timpani,
NT (-)
Ext : oedema (-)

6
3/10/ Post TD: 150/80,N: Anamia Infus Nacl
transfusi 4 48kpm, RR: Tranfusi PRC 4 Kolf
2015 kolf 18kpm, T: 36,6 gravis Omeprazole 2x1 amp
Keluhan KU: CM , Ranitidine 2x1 amp
tampak pucat, ulsicral syr 3c1
pasien Mata : CA (-/-) antasid syr 3c1
SI (-/-) domperidon 3x1
berkurang Leher : JVP hemafort 1x1
tidak meningkat
dan pembesaran
INN tidak
ditemukan
Thx : SDV
(+/+), ST (-/-)
BJ S1 < S2
Reguler, Bising
jantung (+).
Abd : BU(+) N,
Supel, Timpani,
NT (-)
Ext : oedema

pada kedua

tungkai dan

kedua tangan.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh

dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara

berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai dampak

besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh karena

frekuensinya yang demikian sering, anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat

perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik.

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit

sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup

ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan

oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count).

Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit

paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi

tegantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal, serta keadaan fisiologis tertentu,

misalnya kehamilan. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan

gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis

anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan

penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit

dasar tersebut tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus

anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan

terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut.

8
B. Kriteria Anemia

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit, dan hitung eritrosit. Yang menjadi
masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal
hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung umur, jenis kelamin, adanya
kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut
off point) di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia.

Kriteria Anemia menurut WHO:

Kelompok Kriteria anemia (Hb)

Laki-laki dewasa <13 gr/dl

Wanita dewasa tidak hami <12 gr/dl

Wanita hamil <11 gr/dl

Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang
mengunjungi poliklinik atau dirawat di rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up
anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah
dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 gr/dl sebagai awal dari work up anemia.

C. Prevalensi Anemia

Untuk Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran prevalensi anemia pada tahun
1989 sebagai berikut:

Anak prasekolah : 30-40%

Anak usia sekolah : 25-35%

Perempuan dewasa tidak hamil : 30-40%

Perempuan hamil : 50-70%

Laki-laki dewasa : 20-30%

9
Pekerja berpenghasilan rendah : 30-40%

D. Etiologi dan Klasifikasi anemia

Klasifikasi untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat
indeks eritrosit atau hapusan darah tepi:

Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi

A. Anemia hipokrom mikrositer

1. Anemia defisiensi besi

2. Thalassemia mayor

3. Aemia akibat penyakit kronik

4. Anemia sideroblastik

B. Anemia normositik normokrom

1. Anemia pasca perdarahan akut

2. Anemia aplastik

3. Anemia hemolitik didapat

4. Anemia akibat penyakit kronik

5. Anemia pada gagal ginjal kronik

6. Anemia pada sindrom mielodisplastik

7. Anemia pada keganasan hematologik

C. Anemia makrositer

1. Bentuk megaloblastik

a. Anemia defisiensi asam folat

b. Anemia defisiensi B12

10
2. Benutk non-megaloblastik

a. Anemia pada penyakit hati kronik

b. Anemia pada hipotiroidisme

c. Anemia pada sindrom mielodisplastik

E. Patofisiologi Anemia Mikrositik Hipokrom:

Tergantung dari penyebabnya:


1. Anemia defisiensi besi terjadi dalam 3 tahap
Tahap 1 (tahap prelaten), dimana yang terjadi penurunan hanya kadar feritin (simpanan besi)
Tahap 2 (tahap laten), dimana feritin dan saturasi transferin turun (tetapi Hb masih normal)
Tahap 3 (tahap def. besi), dimana feritin, saturasi transferin dan Hb turun (eritrosit menjadi
mikrositik hipokrom)

2. Anemia pada penyakit kronis


Anemia ini biasanya bersifat sekunder, dalam arti ada penyakit primer yang mendasarinya.
Perbedaan anemia ini dengan anemia defisiensi besi tampak pada feritin yang tinggi dan
TIBC yang rendah

3. Anemia sideroblastik
Terjadi karena adanya gangguan pada rantai protoporfirin. Menyebabkan besi yang ada di
sumsum tulang meningkat sehingga besi masuk ke dalam eritrosit yang baru terbentuk dan
menumpuk pada mitokondria perinukleus.

4. Thalasemia
Terjadi karena gangguan pada rantai globin. Thalasemia dapat terjadi karena sintesis hb yang
abnormal dan juga karena berkurangnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta yang normal

F. Gejala anemia

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:

1. Gejala umum anemia. Gejala umum anemia timbul karena: 1. Anoksia organ, 2.
Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Anemia

11
simtomatik apabila kadar hemoglobin telah turun dibawah 7 gr/dl. Sindrom anemia
terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dyspepsia. Pada pemeriksaan,
pasien tampak pucat (dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan
jaringan di bawah kuku)

2. Gejala khas:

- Anemia defisiensi besi: pada vegetarian, geriatric, riwayat perdarahan, disfagia,


atrofi papil lidah, dan kuku sendok (koilonychia)

- Anemia pada penyakit kronis: ada penyakit yang mendasari, onset

- Anemia sideroblastik: riwayat MDS, riwayat dalam keluarga, ada agen pencetus,
poliuri, buta, tuli, diare, gagal tumbuh

- Thalasemia: Hb turun sejak lahir, mendapat transfusi darah berulang, pembesaran


hepar, gangguan jantung, pertumbuhan terhambat

Gambar 1. Penderita Thalasemia

Gambaran khas pada penderita Thalasemia beta mayor: tengkorak menonjol,


tulang frontal parietal menonjol, maxilla besar

G. Pemeriksaan untuk diagnosis anemia

Pemeriksaan laboratorium:

12
1. Pemeriksaan penyaring, terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit
dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis
morfologik anemia tersebut.

Anemia

Hapusan darah tepi


d an indeks eritrosit
(MCV, MCH, MCHC)

Anemia mikrositik Anemia normositik


Anemia makrositik
hipokrom normokrom

Tabel 1. Pemeriksaan penyaring

Gambaran darah tepi pada anemia mikrositik hipokrom:

2. Pemeriksaan darah seri anemia, meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit
dan laju endap darah.

3. Pemeriksaan sumsum tulang.

4. Pemeriksaan khusus:

13
ANEMIA
MIKROSITIK
HIPOKROM

Besi serum

Menurun Normal

TIBC meningkat
Feritin normal
Feritin menurun

Besi sumsum tulang


Elektroforesis Hb
negatif

Anemia defisiensi HbA2 meningkat,


besi HbF meningkat

TIBC menurun
Feritin Thalasemia beta
normal/menigkat

Besi sumsum tulang Anemia


positif sideroblastik

Anemia akibat
penyakit kronik

Tabel 2. Pemeriksaan Anemia

Penatalaksanaan Anemia Mikrositik Hipokrom


1. Anemia defisiensi besi
a. terapi besi oral
Ferro sulfat, mengandung 67mg besi
Ferro glukonat, mengandung 37 mg besi.
b. terapi besi parenteral
biasa digunakan untuk pasien yang tidak bisa mentoleransi penggunaan besi oral.
Besi-sorbitol-sitrat diberikan secara injeksi intramuskular
Ferri hidroksida-sukrosa diberikan secara injeksi intravena lambat atau infus
c. Pengobatan Lain
Diet, diberikan makanan bergizi tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani

14
Vitamin C diberikan 3 x 100mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi
Transfusi darah, pada anemia def. Besi dan sideroblastik jarang dilakukan (untuk
menghindari
penumpukan besi pada eritrosit)

2. Anemia pada penyakit kronik. Tidak ada pengobatan khusus yang mengobati penyakit ini,
sehingga pengobatan ditujukan untuk penyakit yang mendasarinya. Jika anemia menjadi
berat, dapat dilakukan transfusi darah dan pemberian eritropoietin.

3. Anemia sideroblastik. Penatalaksanaan anemia ini dapat dilakukan dengan veneseksi dan
pemberian vit b6 (pyridoxal fosfat). Setiap unit darah yang hilang pada veneseksi
mengandung 200-250 mg besi.

4. Thalasemia. Transfusi darah dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar Hb >10 g/dL.
Tetapi transfusi darah yang berulang kadang mengakibatkan penimbunan besi, sehingga perlu
dilakukan terapi kelasi besi

15
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD dengan keluhan lemas dan pucat makin dirasakan memberat
sejak 1 minggu SMRS. Lemas (+), letih (+), lesu (+), pusing (+), mual (-), muntah (-) BAK
(+) normal tidak ada keluhan, BAB (+) normal tidak ada keluhan, riwayat trasfusi (+),
sebelumnya pasien pernah dirawat di RS dengan keluhan serupa dengan diagnosis anemia.

Pada anamnesis pasien didapatnya keluhan lemas dan pucat dalam 1 minggu SMRS

dan mempunyai riwayat penyakit yang sam sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh karena

penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa

oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).

16
ANEMIA
MIKROSITIK
HIPOKROM

Besi serum

Menurun Normal

TIBC meningkat
Feritin normal
Feritin menurun

Besi sumsum
Elektroforesis Hb
tulang negatif

Anemia defisiensi HbA2 meningkat,


besi HbF meningkat

TIBC menurun
Feritin Thalasemia beta
normal/menigkat

Besi sumsum Anemia


tulang positif sideroblastik

Anemia akibat
penyakit kronik

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D. G., 1999. Principles Of Surgery Sevent Edition. Mc-

Graw Hilla Division of the McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic

Publication.

2. SjamsuhidayatR, Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta : EGC, 2004.

3. David C. Sabiston.Buku Ajar Ilmu Bedah.

https://books.google.co.id/books?id=qgdPlhd-

lc0C&pg=PA499&lpg=PA499&dq=perbedaan+apendisitis+dan+divertikulitis&sou

rce=bl&ots=YKUgVwriEE&sig=jLh3di4fImqaP2-

ooID_cXTH2Lg&hl=en&sa=X&ei=QNaJVfG0BImLuwTcv4XwCQ&redir_esc=y#v=

onepage&q=perbedaan%20apendisitis%20dan%20divertikulitis&f=false

4. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15.

www.emedmag.com

5. Gray,H. (1826-1861). 1918. Anatomy Of Human Body. www. Bartleby.com

6. Lugo., VH., 2004. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update. Vol.23 No.03

September 2004.

http://home.coqui.net/titolugo/PSU23304.PDF#search=periappendiceal %20 mass

18
19

Anda mungkin juga menyukai