LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Usia : 57 th
Alamat : Watumalang
Pekerjaan : Wiraswasta
Nomor CM : 568369
B. Anamesis
Pasien datang ke IGD dengan keluhan lemas dan pucat makin dirasakan memberat
sejak 1 minggu SMRS. Lemas (+), letih (+), lesu (+), pusing (+), mual (-),
muntah (-) BAK (+) normal tidak ada keluhan, BAB (+) normal tidak ada keluhan,
riwayat trasfusi (+), sebelumnya pasien pernah dirawat di RS dengan keluhan
serupa dengan diagnosis anemia.
3. Anamesis Sistem
1
Sistem gastrointestinal : nyeri epigastrium (-), mual(-), muntah(-),BAB(+) tidak ada
keluhan.
Sistem urogenital : BAK(+) tidak ada keluhan.
Sistem intergumentum : tidak ada bentol-bentol kemerahan di badan, kaki dan
tangan serta tidak terasa gatal.
Sistem musculoskeletal : tidak ada edem, nyeri, deformitas dan fraktur.
Sistem kejiwaan : sadar penuh
4. Pemeriksaan Fisik
c. Vital Sign
Suhu : 36,60C
d. Status Generalis
1) Kulit :
2
Mata : conjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), mata
merah (-/-), isokor pupil kanan & kiri, reflex cahaya (+/+), edema palpebra (-/-).
Telinga : pendengaran baik, tidak ada cairan yang keluar.
Hidung : tidak ada deformitas, secret (-), inflamasi (-), nafas
cuping hidung (+), epistaksis (-).
Mulut : bibir tampak pucat dan kering, stomatitis (-), lidah
kotor (-), lidah putih(-), atrofi papil lidah (-).
3) Leher :
Bentuk : simetris
Massa : (-)
JVP : tidak ada peningkatan.
pembesaran kelenjar limfonodi (-).
4) Thorax :
Inspeksi : Bentuk simetris kanan dan kiri, tidak ada retraksi, penggembanggan
paru (+) iktus kordis (-), petekie (-).
Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri seimbang, tidak ada pembesaran
limfonodi aksilla dekstra, tidak teraba iktus kordis.
Perkusi : Sonor (+) pada paru kanan kiri,
Auskultasi :
- Suara dalam vesikuler, ronkhi (-), wheezing(-).
- Suara jantung S1-S2 reguler murni, murmur (-), gallop (-).
5) Abdomen :
3
6) Ekstermitas :
Ekstermitas superior dan inferior tidak ditemukan edem, akral dingin (-),
nyeri sendi (-).
5. Laboratorium
HT 11 HBSAg negative
MCV 55
MCH 14
MCHC 26
GOLDA B
CREA 0.92
SGOT 16,0
SGPT 9,0
6. Diagnosis
Anemia Gravis
7. Terapi
Infus Nacl
Tranfusi PRC 4 Kolf
4
Omeprazole
Ranitidine
ulsicral syr
antasid syr
domperidon
hemafort
5
Reguler, Bising
jantung (-).
Abd : BU(+) N,
Supel, Timpani,
NT (-)
Ext : tampak
pucat
1/10/ Post TD: 110/70,N: Anemia Infus Nacl
transfusi 2 72kpm, RR: Gravis Tranfusi PRC 4 Kolf
2015 kolf PRC, 18kpm, T: 36,6 Omeprazole 2x1 amp
keluhan KU: CM , Ranitidine 2x1 amp
pasien tampak pucat, ulsicral syr 3c1
berkurang Mata : CA (-/-) antasid syr 3c1
SI (-/-) domperidon 3x1
Leher : JVP hemafort 1x1
tidak meningkat
dan pembesaran
INN tidak
ditemukan
Thx : SDV
(+/+), ST (-/-)
BJ S1 < S2
Reguler, Bising
jantung (-).
Abd : BU(+) N,
Supel, Timpani,
NT (-)
Ext : tampak
pucat
2/10/ Post TD: 120/80,N: Anemia Infus Nacl
transfusi 3 48kpm, RR: gravis Tranfusi PRC 4 Kolf
2015 kolf 20kpm, T: 36,6 Omeprazole 2x1 amp
Keluhan KU: CM , Ranitidine 2x1 amp
pasien tampak pucat, ulsicral syr 3c1
berkurang Mata : CA (-/-) antasid syr 3c1
SI (-/-) domperidon 3x1
Leher : JVP hemafort 1x1
tidak meningkat
dan pembesaran
INN tidak
ditemukan
Thx : SDV
(+/+), ST (-/-)
BJ S1 < S2
Reguler, Bising
jantung (-).
Abd : BU(+) N,
Supel, Timpani,
NT (-)
Ext : oedema (-)
6
3/10/ Post TD: 150/80,N: Anamia Infus Nacl
transfusi 4 48kpm, RR: Tranfusi PRC 4 Kolf
2015 kolf 18kpm, T: 36,6 gravis Omeprazole 2x1 amp
Keluhan KU: CM , Ranitidine 2x1 amp
tampak pucat, ulsicral syr 3c1
pasien Mata : CA (-/-) antasid syr 3c1
SI (-/-) domperidon 3x1
berkurang Leher : JVP hemafort 1x1
tidak meningkat
dan pembesaran
INN tidak
ditemukan
Thx : SDV
(+/+), ST (-/-)
BJ S1 < S2
Reguler, Bising
jantung (+).
Abd : BU(+) N,
Supel, Timpani,
NT (-)
Ext : oedema
pada kedua
tungkai dan
kedua tangan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai dampak
besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh karena
frekuensinya yang demikian sering, anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup
ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan
oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count).
Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit
paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi
tegantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal, serta keadaan fisiologis tertentu,
misalnya kehamilan. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan
gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis
anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan
penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit
dasar tersebut tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus
anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan
8
B. Kriteria Anemia
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit, dan hitung eritrosit. Yang menjadi
masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal
hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung umur, jenis kelamin, adanya
kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut
off point) di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia.
Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang
mengunjungi poliklinik atau dirawat di rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up
anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah
dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 gr/dl sebagai awal dari work up anemia.
C. Prevalensi Anemia
Untuk Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran prevalensi anemia pada tahun
1989 sebagai berikut:
9
Pekerja berpenghasilan rendah : 30-40%
Klasifikasi untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat
indeks eritrosit atau hapusan darah tepi:
2. Thalassemia mayor
4. Anemia sideroblastik
2. Anemia aplastik
C. Anemia makrositer
1. Bentuk megaloblastik
10
2. Benutk non-megaloblastik
3. Anemia sideroblastik
Terjadi karena adanya gangguan pada rantai protoporfirin. Menyebabkan besi yang ada di
sumsum tulang meningkat sehingga besi masuk ke dalam eritrosit yang baru terbentuk dan
menumpuk pada mitokondria perinukleus.
4. Thalasemia
Terjadi karena gangguan pada rantai globin. Thalasemia dapat terjadi karena sintesis hb yang
abnormal dan juga karena berkurangnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta yang normal
F. Gejala anemia
1. Gejala umum anemia. Gejala umum anemia timbul karena: 1. Anoksia organ, 2.
Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Anemia
11
simtomatik apabila kadar hemoglobin telah turun dibawah 7 gr/dl. Sindrom anemia
terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dyspepsia. Pada pemeriksaan,
pasien tampak pucat (dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan
jaringan di bawah kuku)
2. Gejala khas:
- Anemia sideroblastik: riwayat MDS, riwayat dalam keluarga, ada agen pencetus,
poliuri, buta, tuli, diare, gagal tumbuh
Pemeriksaan laboratorium:
12
1. Pemeriksaan penyaring, terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit
dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis
morfologik anemia tersebut.
Anemia
2. Pemeriksaan darah seri anemia, meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit
dan laju endap darah.
4. Pemeriksaan khusus:
13
ANEMIA
MIKROSITIK
HIPOKROM
Besi serum
Menurun Normal
TIBC meningkat
Feritin normal
Feritin menurun
TIBC menurun
Feritin Thalasemia beta
normal/menigkat
Anemia akibat
penyakit kronik
14
Vitamin C diberikan 3 x 100mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi
Transfusi darah, pada anemia def. Besi dan sideroblastik jarang dilakukan (untuk
menghindari
penumpukan besi pada eritrosit)
2. Anemia pada penyakit kronik. Tidak ada pengobatan khusus yang mengobati penyakit ini,
sehingga pengobatan ditujukan untuk penyakit yang mendasarinya. Jika anemia menjadi
berat, dapat dilakukan transfusi darah dan pemberian eritropoietin.
3. Anemia sideroblastik. Penatalaksanaan anemia ini dapat dilakukan dengan veneseksi dan
pemberian vit b6 (pyridoxal fosfat). Setiap unit darah yang hilang pada veneseksi
mengandung 200-250 mg besi.
4. Thalasemia. Transfusi darah dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar Hb >10 g/dL.
Tetapi transfusi darah yang berulang kadang mengakibatkan penimbunan besi, sehingga perlu
dilakukan terapi kelasi besi
15
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD dengan keluhan lemas dan pucat makin dirasakan memberat
sejak 1 minggu SMRS. Lemas (+), letih (+), lesu (+), pusing (+), mual (-), muntah (-) BAK
(+) normal tidak ada keluhan, BAB (+) normal tidak ada keluhan, riwayat trasfusi (+),
sebelumnya pasien pernah dirawat di RS dengan keluhan serupa dengan diagnosis anemia.
Pada anamnesis pasien didapatnya keluhan lemas dan pucat dalam 1 minggu SMRS
dan mempunyai riwayat penyakit yang sam sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh karena
penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).
16
ANEMIA
MIKROSITIK
HIPOKROM
Besi serum
Menurun Normal
TIBC meningkat
Feritin normal
Feritin menurun
Besi sumsum
Elektroforesis Hb
tulang negatif
TIBC menurun
Feritin Thalasemia beta
normal/menigkat
Anemia akibat
penyakit kronik
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D. G., 1999. Principles Of Surgery Sevent Edition. Mc-
Publication.
2. SjamsuhidayatR, Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta : EGC, 2004.
https://books.google.co.id/books?id=qgdPlhd-
lc0C&pg=PA499&lpg=PA499&dq=perbedaan+apendisitis+dan+divertikulitis&sou
rce=bl&ots=YKUgVwriEE&sig=jLh3di4fImqaP2-
ooID_cXTH2Lg&hl=en&sa=X&ei=QNaJVfG0BImLuwTcv4XwCQ&redir_esc=y#v=
onepage&q=perbedaan%20apendisitis%20dan%20divertikulitis&f=false
4. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15.
www.emedmag.com
6. Lugo., VH., 2004. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update. Vol.23 No.03
September 2004.
18
19