Anda di halaman 1dari 47

CASE REPORT

TEKNIK ANESTESIA UMUM PADA PASIEN LAMBUNG


PENUH YANG MENJALANI OPERASI CITO

Disusun oleh :

Tunggul Sinaga

(1161050118)

Pembimbing :

dr. Robert H. Sirait, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


PERIODE 08 MEI - 10 JUNI 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. D

No RM : 00-00-50-09

Usia : 32 tahun

Alamat : Jl. Kampung dalam RT 008/001, Cawang

Agama : Kristen

Suku : Batak

Berat badan : 63 kg

Tinggi badan : 158 cm

Tanggal masuk RS 18 Mei 2017

Tanggal operasi bedah 18 Mei 2017

Diagnosa pra bedah: Open Fr. Metacarpal digiti II manus sinistra + Closed Fr. 1/3
medial radius

Jenis pembedahan : ORIF

Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tangan kiri sejak 5 jam SMRS. Pasien
jatuh dari motor ke arah sebelah kiri dengan tangan kiri menumpu badan. Pasien sampai
terseret 5 meter. Pasien menggunakan helm saat jatuh. Kepala terbentur disangkal. Mual (-),
muntah (-), pingsan (-). Pasien dapat mengingat kejadian saat kecelakaan dan saat dibawa ke
RSU UKI. Sebelumnya pasien sempat ditangani di RS Puri Medika dan dipasang bidai pada
tangan kiri (lengan bawah kiri).

1
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat operasi : Riwayat Sectio Cesarea


Alergi obat : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat penyakit hati : disangkal
Pemakaian obat-obatan : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat DM : disangkal

Pemeriksaan fisik (18 Juli 2017, pukul 11.00)

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 92 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,6 C
Berat badan : 63 kg
Tinggi badan : 158 cm

2
Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal 18 Mei 2017

Pemeriksaan Hasil Nilai normal


Hemoglobin 10,9 g/dl 12-14
Leukosit 8,8 ribu/uL 510
Hematokrit 34,2 % 37-43
Natrium 145 136-145
Kalium 3,3 3,5-5,1
Clorida 110 99-111
Gula darah sewaktu GDS 145 <200
Ureum 23 15-45
Creatinin 0,88 0,60-0,90
Masa pendarahan 2 menit 1-3
Masa pembekuan 13 menit 10-16
Kontrol masa protrombin 13 detik 10-16
Pasien masa protrombin 15 detik 10-16

LAPORAN ANESTESI

Tindakan Operasi : ORIF + Debridement


Jenis anestesi : General Anestesi
Teknik Anestesi : Pasien dalam posisi supine, pasien di induksi dengan
propofol 100 mg (iv) dan diberi Ecron 5 mg (iv). Dilakukan pemasangan ETT No. 7
Cuff +. Kemudian dialirkan gas inhalasi untuk maintenance berupa O2 3 lpm, N2O 3
lpm dan Isofluran 1,5
Anestesi dengan :
o Premedikasi : Fortanest 3 mg (iv), Fentanyl 100 mcg
o Induksi : Propofol 100 mg
o Maintenance : O2 3 lpm, N2O 3 lpm dan Isofluran 1,5
Repirasi : Kontrol Respirator (menggunakan ventilator)
Keseimbangan cairan :
o Input: Preop : RL 200

3
Durante op : RL 500
o Output : perdarahan 100 cc
Urine 250 cc (kuning jernih)
Lama Operasi : 16.55 18.25 ( 1 jam 30 menit)
Lama anestesi : 16.35 18.35 ( 1 jam 40 menit)

Persiapan Pra Anestesi

Informed consent
o Bertujuan untuk menginformasikan kepada pasien tentang tindakan medis apa
yang akan dilakukan kepada pasien, bagaimana pelaksanaannya, kemungkinan
hasilnya dan resiko tindakan yang akan dilakukan
Surat persetujuan operasi
o Bertujuan untuk memperoleh bukti tertulis dari pasien sendiri atau dari
keluarga pasien yang menunjukkan pesetujuan dari pihak pasien terhadap
tindakan medis yang akan dilakukan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, keluarga pasien tidak mengajukan tuntutan.

Persiapan Alat Anestesi

Monitor Elektrokardiografi (EKG)


Sfigmomanometer digital
Oksimeter/ saturasi
Infus set dan cairan infus
Abbocath No. 20
Plester, kapas alkohol, kassa steril
Spuit 20 cc
Sungkup muka (sesuaikan dengan ukuran wajah pasien)
Guedel/ Oropharyngeal airway
Suction
Handscoon
Endotracheal tube No. VII dengan cuff
Laryngoscope
Mesin anestetik, terdiri dari:
o Sumber )2, N2O dan udara tekan
o Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)

4
o Katup penurunan tekanan gas (pressure reducing valve)
o Meter aliran gas (flowmeter)
o Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizer)
o Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
o Kendali O2 darurat

Pasien mengaku terakhir makan terakhir pukul 12.30 WIB tanggal 18 Mei 2017

Bertujuan untuk memastikan bahwa lambung pasien telah kosong sebelum operasi untuk
menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan
membahayakan pasien.

Memakai pakaian operasi yang telah disiapkan di ruang operasi

Pasien ditidurkan dalam posisi terlentang di meja operasi dan dipasangkan infus

Pendataan kembali identitas pasien di kamar operasi dengan melakukan anamnesa singkat
yang meliputi berat badan, tinggi badan, umur, riwayat penyakit, riwayat alergi, riwayat
kebiasaan, riwayat pembedahan dan anestesi serta riwayat pemakaian gigi palsu.

Pemeriksaan fisik di ruang persiapan : TD : 120/70 mmHg, Nadi : 84 x/menit, RR : 18


x/menit

Persiapan pemberian cairan perioperatif

Berat badan : 63 kg
Maintenance (M) = BB x Kebutuhan cairan per jam
= (10x4)+(10x2)+(43x1) cc/kg/jam
= 103 cc/jam
Pengganti puasa (P) = Maintenance x Jam puasa
= 103 cc/jam x 8 jam
= 824 cc
Jenis operasi (O) besar = BB x Jenis operasi
= 63 kg x 8 cc/kgBB
= 504 cc

5
Pemberian cairan pada operasi ini

(M) + 50% (P) + (O)

= 103 + 50% (424) + 504

= 819 cc

Pelaksanaan Anestesi
Pukul 16.35 :
Pasien dibaringkan di atas meja operasi
Pasang infus cairan RL pada tangan kiri dan kanan dengan abbocath No. 20
Memasang monitor EKG dan oksimeter pulse
Mengukur TD : 130/80 mmHg, Nadi : 90 x/menit

Pukul 16.40 :

Pasien diposisikan dalam posisi supine


Memastikan kondisi pasien stabil dengan tanda-tanda vital dalam batas normal
Obat-obatan yang dimasukkan secara intravena:
o Fortanes 3 mg
o Fentanyl 100 mcg
o Fentanyl 50 mcg
o Propofol 100 mg
o Ecron 5 mg
o Ranitidine 50 mg
o Narfoz 8 mg
o Ketolorac

Post operatif

Maintenance dengan : nasal kanul O2 3 lpm


Monitor : tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen, munculnya
perdarahan
Pasien masuk RR
Observasi tanda-tanda vital, tanda-tanda perdarahan

6
Instruksi Post-op

Infus RL /24 jam


Puasa sampai sadar penuh
Minum dan makan bertahap bila sadar penuh
Observasi tensi, nadi, kesadaran per 5 menit dan urin per jam
Terapi:
o Ketolorac 3 x 30 mg/iv
o Antibiotika dan obat-obatan lain sesuai dr. Wendy, Sp. OT

Keadaan Post-op

Operasi selesai dalam waktu 1 jam 30 menit


Keadaan akhir pembedahan:
o Kesadaran : Compos mentis
o Tekanan darah : 120/90 mmHg
o Nadi : 72 x/menit
o RR : 20 x/menit
o SpO2 : 100%
Pasien dipindahkan ke ruang RR dan dilakukan observasi TD, N, RR dan
kemungkinan munculnya tanda-tanda perdarahan

Program post-operasi

Pasang O2 nasal kanul 2-4 L/menit


Kontrol TD, N, RR setiap 5 menit selama 30 menit, selanjutnya setiap 15 menit
selama 1 jam
Bila pasien kesakitan : berikan Ketolorac 3 x 30 mg/iv
Bila pasien mual/muntah : berikan Ondansetron 4mg/iv
Infus antibiotika dan obat-obatan lain sesuai dr. Wendy, Sp.OT
Minum sesuai dr. Wendy, Sp.OT
Infus sesuai dr. Wendy, Sp.OT
Cek H2TL post operasi
Transfusi PRC bila Hb 8

7
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI LAMBUNG


1. ANATOMI LAMBUNG
a. Bagian dan batas-batas lambung

Lambung merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar dan mempunyai 3


fungsi utama :
Menyimpan makanan; pada orang dewasa, lambung mempunyai kapasitas
sekitar 1500 ml.
Mencampur makanan dengan getah lambung untuk membentuk kimus y/ang
setengah padat.
Mengatur kecepatan pengiriman kimus ke usus halus sehingga pencernaan dan
absorpsi yang efisien dapat berlangsung.
Lambung terletak pada bagian atas abdomen, dari regio hipochondrium
kiri sampai regio epigastrium dan regio umbilikalis. Sebagian besar lambung
terletak di bawah iga-iga bagian bawah. Secara kasar lambung berbentuk huruf J
dan mempunyai dua lubang, ostium cardiacum dan ostium pyloricum, dua
curvatura yang dikenal sebagai curvatura major dan minor, dan dua permukaan
anterior dan posterior. Lambung relatif terfiksasi pada kedua ujungnya, tetapi
diantara ujung-ujung tersebut sangat mobile. Lambung cenderung terletak tinggi
dan transversal pada orang yang pendek dan gemuk (lambung steer-horn) dan
memanjang secara vertikal pada orang yang tinggi dan kurus (lambung berbentuk
huruf J). Bentuk lambung sangat berbeda-beda pada orang yang sama tergantung
pada volume isinya, posisi tubuh dan fase pernafasan.
Lambung terbagi atas beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :
Fundus, berbentuk kubah dan menonjol ke atas dan terletak di sebelah kiri
ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi penuh oleh gas.
Corpus, dari setinggi ostium cardiacum sampai setinggi incisura angularis,
suatu lekukan yang selalu ada pada bagian bawah curvatura minor.
Antrum pyloricum, adalah bagian lambung yang paling berbentuk lambung.
Dinding ototnya yang tebal membentuk sphincter pyloricum. Rongga pylorus
dinamakan canalis pyloricus.

8
Gambar 1. Bagian-bagian lambung

Pada lambung, terdapat curvatura minor yang membentuk pinggir kanan lambung
dan terbentuk dari ostium cardiacum sampai pylorus. Omentum minus terbentang dari
curvatura minor sampai hati. Curvatura major jauh lebih panjang dari curvatura minor
dan terbentang dari sisi kiri ostium cardiacum, melalui kubah fundus dan kemudian
mengitarinya dan menuju ke kanan sampai bagian inferior pylorus. Ligamentum
(omentum) gastrolienalis terbentang dari bagian atas curvatura major sampai limpa, dan
omentum majus terbentang dari bagian bawah curvatura major sampai colon
transversum.
Ostium cardiacum merupakan tempat dimana oesophagus bagian abdomen masuk
ke lambung. Walaupun secara anatomis tidak ada sphincter, diduga bahwa terdapat
mekanisme fisiologis yang mencegah regurgitasi isi lambung ke oesophagus.
Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus yang panjangnya sekitar 2,5 cm.
Otot sirkular yang meliputi lambung jauh lebih tebal di sini dan secara anatomis dan
fisiologi membentuk sphincter pyloricum. Pylorus terletak pada bagian transpilorica
dan posisinya dapat dikenali dengan adanya sedikit kontraksi pada permukaan lambung.
Sphincter pyloricum mengatur kecepatan pengeluaran isi lambung ke duodenum.
Membran mukosa adalah tebal dan banyak pembuluh darah dan terdiri atas banyak
lipatan atau rugae yang terutama longitudinal arahnya. Lipatan memendek bila lambung
teregang.

Dinding otot lambung mengandung serabut longitudinal, serabut sirkular dan serabut
obliq. Serabut longitudinal terletak paling superfisial dan paling banyak sepanjang

9
curvatura. Serabut sirkular yang lebih dalam mengelilingi fundus lambung dan sangat
menebal pada pylorus untuk membentuk sphincter pyloricum. Serabut sirkular jarang
sekali ditemukan pada daerah fundus. Serabut obliq membentuk lapisan otot yang
paling dalam. Serabut ini mengitari fundus dan berjalan turun sepanjang dinding
anterior dan posterior, berjalan sejajar dengan curvatura minor. Peritoneum
mengelilingi lambung secara lengkap dan meninggalkan curvatura sebagai lapisan
ganda yang dikenal sebagai omentum.

Batas-batas lambung :
Anterior
Dinding anterior abdomen, arcus costae kiri, pleura dan paru kiri, diafragma dan lobus
kiri hepar.
Posterior
Bursa omentalis, difragma, limfa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas ginjal kiri,
A.lienalis, pankreas, mesocolon transversum dan colon transversum.

Gambar 2. Batas-batas Lambung

b. Vaskularisasi Lambung
1. Pembuluh Arteri
A.gastrica sinistra, berasal dari A.coelica. Ia berjalan ke atas dan kiri
untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura

10
minor lambung. Ia memperdarahi sepertiga bawah oesophagus dan bagian kanan
atas lambung.
A.gastrica dextra, berasal A.hepatica pada pinggir atas pylorus dan
berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Ia memperdarahi bagian kanan bawah
lambung.
A.gastrica brevis, berasal dari A.lienalis pada hillus limfa dan berjalan ke
depan dalam ligamentum gastrolienalis untuk memperdarahi fundus.
A.gastroepiploica sinistra, berasal dari A.lienalis pada hillus limfa dan
berjalan ke depan dalam ligamentum gastrolienalis untuk memperdarahi lambung
sepanjang bagian atas curvatura major.
A.gastroepiploida dextra, berasal dari A.gastroduodenalis yang
merupakan cabang dari A.hepatica. Ia berjalan ke kiri dan memperdarahi lambung
sepanjang bagian bawah curvatura major.
2. Pembuluh Vena
Vena-vena ini mengalirkan darah ke sirkulasi portal. V.gastrica sinistra dan
dextra langsung mengalirkan darah ke V.porta. V.gastrica brevis dan
V.gastroepiploica sinistra bermuara dalam V.lienalis. V.gastroepiploica dextra
bermuara dalam V.mesenterica superior.

c. Sistem limfatik lambung


Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe sepenjang
A.V.gastrica sinistra. Efferent kelenjar limfe ini berjalan ke nodulus lymphaticus
coelica, yang terletak disekitar pangkal A.coelica.
Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe sepanjang
A.V.gastrica dextra. Efferent dari kelenjar limfe ini berjalan sepanjang A.hepatica
dan kemudian masuk ke nodus lymphaticus coelica.
Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe sepanjang
A.gastrica brevis dan A.gastroepiploica sinistra dan kemudian memasukkan cairan
limfe ke kelenjar limfe pada hillus limfa. Dari sini pembuluh limfe ini berjalan ke
nodus lymphaticus pancreticolienalis yang terletak sepanjang A.lienalis, yang
selanjutnya mengalirkan cairan limfe ke nodus lymphatici coelica.
Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke nodus lymphaticus
gastroepiploica dextra, yang terletak sepanjang bagian bawah curvatura major

11
lambung. Pembuluh limfe efferent bermuara pada kelenjar limfe yang terletak
sepanjang A.gastroduodenalis, yang selanjutnya mengalirkan cairan limfe ke nodus
lymphaticus coelica.

d. Persyarafan pada lambung


Lambung dan usus diinervasi oleh enteric nervus system ( ENS) yang
terdistribusi diantara dinding otot polos seperti nervus otonom, baik parasimpatis (
terbanyak nervus vagus) maupun simpatis.

Inervasi intrinsik

Traktus gastrointestinal dapat melakukan fungsi motorik tanpa adanya


pengaruh atau input dari sistem saraf pusat, tetapi melalui ENS. ENS terdistribusi
sepanjang usus berupa plexus mienterykus yang terletak antara lapisan sirkuler dan
longitudinal otot, dan plexus submucosa yang terletak antara lapisan sirkuler otot
dengan lapisan muskularis mukosa. Plexus mienterykus lebih dominan terdapat di
lambung dan plexus submukosa dominan di usus halus dan usus besar ( Scheman er
al, 2001), Neuron yang termasuk dalam ENS diantaranya adalah neuron primer aferen
intrinsik, interneuron, neuron motorik eksitator atau inhibitor, vasomotor, dan
secretomotor ( Di Nardo, et al, 2008). Neuron primer aferen intrinsik sensitif
terhadap stimulus kimiawi dan perubahan mekanik seperti distensi. Interneuron
menghubungkan neuron primer aferen intrinsik dengan motor neuron eksitator
maupun inhibitor. Neuron eksitattor akan menggunakan asetilkolin, takiin, dan
substansi P untuk neurotransmisi, dimana transmisinya dapat dihambat oleh
polipeptida vasoaktif intestinal dan nitrit oxid.

Inervasi extrinsik

Traktus gastrointestinal diinervasi oleh sistem saraf otonom yaitu


parasimpatis dan simpatis. Inervasi parasimpatis berasal nucleus motoris dorsalis n.X
(DMV) di medulla spinalis (Travagli et al, 2006), sedangkan simpatis berasal dari
ganglia paravertebralis ( Furness, 2006). Pergerakkan gaster terutama dikontrol oleh
nervus vagus, yang merupakan gabungan dari nervus sensorik dan motorik, Axon

12
sensoris n. Vagus akan menerima input aferen dari reseptor gastrointestinal kemudian
memproyeksikannya ke nucleus traktus solitarius ( Chang et al, 2003).

Gambar 3. Sistem Saraf Otonom

Neuron NTS akan mengaktifkan vagal motor neuron pada nucleus ambiguus
(NA) dan nucleus dorsomedial (DMN) untuk mengatur kontraksi dari otot lambung
dan duodenym yang dikenal dengan vagovagal reflek

13
2. HISTOLOGI LAMBUNG

Gambar 4. Lapisan Mukosa Lambung

Dinding lambung terdiri atas 4 lapisan, yaitu :


a. Mukosa
Mukosa merupakan lapisan tebal dengan permukaan halus dan licin
yangkebanyakan berwarna coklat kemerahan namun berwarna pink di daerah
pylorik. Pada lambung yang berkontraksi, mukosa terlipat menjadi beberapa
lipatan rugae, kebanyakan berorientasi longitudinal. Rugae ini kebanyakan
ditemukan mulai dari pinggir daerah pyloric hingga kurvatur mayor. Rugae ini
merupakan lipatan-lipatan besar pada jaringan konektif submukosa dan bukan
variasi ketabalan mukosa yang menutupinya, dan rugae ini akan menghilang jika
lambung mengalami distensi.Seperti pada semua saluran cerna lainnya, mukosa ini
tersusun oleh epitel permukaan, lamina propria, dan mukosa muskuler.
Pemeriksaan mikroskopis dari mukosa menampakkan lapisan epitel kolumna yang
sederhana (sel permukaan mukosa) mengandung banyak lubang sempit yang
memanjang sampai lamina propria yang disebut gastric pits. Pada bagian bawah
lubang adalah mulut atau lubang dari kelenjar lambung (gastric glands).
Lamina propria
Lamina propria membentuk kerangka jaringan konektif antara kelenjar dan
mengandung jaringan lymphoid yang terkumpul dalam massa kecil folikel
lymphatic gastrik yang membentuk folikel intestinal soliter (terutama pada masa
awal kehidupan). Lamina propria juga memiliki suatu pleksus vaskuler

14
periglanduler yang kompleks, yang diperkirakan berperan penting dalam menjaga
lingkungan mukosa, termasuk membuang bikarbonat yang diproduksi pada
jaringan sebagai pengimbang sekresi asam. Pleksus neural juga ditemukan dan
mengandung ujung saraf motorik dan sensorik.
Mucosa Muskularis
Mukosa muskularis merupakan lapisan tipis dari serat otot halus yang
terdapat pada bagian eksternal dari kelenjar. Serat muskular ini teratur dalam
bentuk sirkuler di dalam, lapisan longitudinal di bagian luar, terdapat pula lapisan
sirkuler diskontinu bagian luar. Lapisan dalam mengandung jelujur sel otot polos
terletak di antara kelenjar dan kontraksinya kemungkinan membantu dalam
mengosongkan foveola gastrik.

b. Submukosa
Submukosa merupakan lapisan bervariabel dari jaringan konektif yang terdiri
dari bundel kolagen tebal, beberapa serat elastin, pembuluh darah, dan pleksus
saraf, termasuk pleksus submukosa berganglion (Meissner's) pada lambung.

c. Muscularis eksterna
Muscularis eksterna merupakan selaput otot tebal berada tepat dibawah
serosa, dimana keduanya terhubung melalui jaringan konektif subserosa longgar.
Dari lapisan terdalam keluar, jaringan ini memiliki lapisan serat otot oblique,
sirkuler, dan longitudinal, walaupun celah antara tiap lapisan tidak berbeda satu
sama lain. Lapisan sirkuler kurang begiru berkembang pada bagian oesofagus
namun semakin menebal pada distal antrum pyloric untuk kemudian membentuk
sphincter pyloric annular. Lapisan longitudinal luar kebanyakan terdapat pada 2/3
bagian cranial lambung dan lapisan oblique dalam pada setengah bagian bawah
lambung. Kerja dari muskularis eksterna ini adalah menghasilkan pergerakan
adukan yang mencampur makanan dengan produk sekresi lambung. Ketika otot
berkontraksi, volume lambung akan berkurang dan menggerakkan mukosa menjadi
lipatan longitudinal atau rugae (lihat atas). Rugae ini akan datar kembali dan
menghilang ketika lambung penuh akan makanan dan muskulatur berelaksasi dan
menipis. Aktivitas otot diatur oleh jaringan saraf autonom yang tidak bermyelin,
yang terdapat pada lapisan otot dalam plexus myenterik (Auerbach's)

15
d. Serosa atau Peritoneum
Serosa merupakan perpanjangan dari peritoneum visceral yang menutupi
keseluruhan permukaan pada lambung kecuali sepanjang kurvatura mayor dan
minor pada pertautan omentum mayor dan minor, dimana lapisan peritoneum
meninggalkan suatu ruang untuk saraf dan vaskler. Serosa juga tidak ditemukan
pada bagian kecil di posteroinferior dekat dengan orificium kardiak dimana
lambung berkontak dengan diafragma pada refleksi gastrophrenik dan lipatan
gastropancreatik. Serosa mengandung banyak lemak apabila umur bertambah.
Persarafan lambung sepenuhnya otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk
lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus.
Trunkus vagus mempercabangkan ramus gastrik, pilorik, hepatik dan seliaka.
Persarafan simpatis adalah melalui saraf splenikus major dan ganlia seliakum.
Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh
peregangan, dan dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut aferen simpatis
menghambat gerakan dan sekresi lambung. Pleksus saraf mesentrikus
(auerbach)dan submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding
lambung dan mengkordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa
lambung.Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serat hati, empedu, dan
limpa)terutama berasal dari daerah arteri seliaka atau trunkus seliaka, yang
mempecabangkan cabang-cabang yang mensuplai kurvatura minor dan mayor.
Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteri gastroduodenalis dan
arteri pankreas tikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus
posterior duodenum. Tukak dinding postrior duodenum dapat mengerosi arteria
ini dan menyebabkan perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta
berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran cerna, berjalan kehati
melalui vena porta.

3. FISIOLOGI LAMBUNG
a. Peranan Sel Interstisial Cajal (ICCs)
Tanpa pengaruh hormonal maupun neural , sebagian besar daerah pada traktus
gastrointestinal akan menimbukan aktivitas dan mekanisme elektrik. Aktivitas
elektrik verasal dari sekumpulan sel yang disebut dengan sel interstisal Cajal (
ICCs) yang terletak di lapisan submukosa, intramuskular, dan intermuskular dari

16
traktus gastrointestinal ( Ordog, 2008). Sel-sel ini akan menimbulkan mekanisme
elektrik berupa gelombang lambat atau slow waves dan kemudian
mengkoordinir input dari sistem saraf otonom untuk memacu sel otot polos (
Ordog, 2008). ICCs terletak diabtara lapusan otot longitudinal dan sirkular dari
plexus mienterikus ( ICC-MY) ( Ward and Sander, 2006) yang penting untuk
memaksimalkan frekuensi dari fase kontraksi. ICC-IM erletak diantara sel otot
polos sirkular dan longitudinal dari lambung yang bertanggung jawab untuk
melakukan komunikasi langsung dengan akhir nervus enterik ( Ward and Sander,
2006). ICC- SEP terletak antara otot, yang akan mentransmisikan depolarisasi
antar serabut otot. Pada usus manusia, ICCs sebagian besar terletak dalam lapisan
sirkuler yang membentuk plexus muskularis profunda ( ICC-DMP). ICC-DMP
pada usus mempunyai peranan yang sama dengan ICC-IM yang terdapat di
lambung.

b. Regulasi Hormonal pada Pergerakan Gastrointestinal

Sekresi dari hormon yaitu GLP-1, CCK, dan PYY, sebagai respon
terhadap nutrisi yang diserap usus mempunyai peranan penting dalam regulasi
pengosongan usus, efek inhibitor pada pengosongan lambung dimainkan oleh
ectreotide, sebuah inhibitor dari sekresi hormon peptida.

Diantara makrinutrien, pengosongan lemak berjalan lebih lambat pada


lambung, hal ini dikaenakan kepadatan energinya timggi. Efek dari pengeluaran
hormon akibat adanya lemak pada usus dipengaruhi oleh pencernaan lemak.
Dibandingkan dengan isokalorik triasilglisero, efek asam lemak pada
pengeluaran CCK dan PYY dan pengosongan lambung lebih besar. Ketika
inhibitor lipase, tetrahidrolipstatin ( orlistat) masuk ke dalam duodenum bersama
lemak, maka akan muncul stimulasi gelombang tekanan fasik dan tonus pilorus,
yang akan mensupresi kontaksi antrum dan mengeluarkan hormon kenyang dan
hormon tersebut dieliminasi oleh lemak itu sendiri.

Bukanlah hal yang mengejutkan, jika pengeluaran GLP-1, CCK, dan


PYY menjadi berkurang karena orlistat, dan malabsorbsi lemak . Peranan lipase
pada permukaan tets lemak penting untuk memunculkan penernaan lemak.
Emulsi dari dari lemak dan tetesan berukuran kecil akan memperbesar efek

17
pengeluaran hormon dan nafsu makan daripada tetesan lemak yang berukuran
besar. Stimulasi CCK oleh asam lemak juga tergantung pada ukuran rantai asam
lemak. C10 dan C12 akan meningkatkan CCK plasma, tetapi c12 memberikan
efek lebih besar. C12 akan menstimulasi sekresi GLP-1, sedangkan c10 tidak.
Hal ini serupa untuk karbohidrat, absorbsi monosakarida pada intestinal
diyakini akan memicu pelepasan GLP-1 dan menurunkan kecepatan pengosongan
lambung.
Pemicu pelepasan hormon yang disebabkan oleh protein masih belum
jelas, tetapi ditunjukkan bahwa pepton dan asam amino tubggal berpotensi
merangsang sekresi CCK dan GLP-1.

GLP-1 dilepaskan dari sel L, yang sebagian besar terletak di ileum dan
colon, meskipun juga ditemukan ditemukan di bagian proximal duodenum dan
jejunum ( Theodorakis et al, 2006). Konsentrasi GLP-1 pada plasma saat puasa
adalah rendah ( 5-10 pmol/L), ketika berespon terhadap makanan yang kaya akan
lemak dan karbohidrat, jumlah GLP-1 akan meningkat hingga 5 kali . Konsentrasi
puncak di sirkulasi ( 20 pmol/L) biasanya terjadi dalam 30-45 menit, dan
kemudian kembali ke konsentrasi basal dalam 2-3 jam. GLP-1 disinitesi sebagai
asam amino peptida 37 inaktif yang merupakan derivat dari prekusor
proglukagon. Waktu paruh dari GLP-1 singkat ( kurang dari 2 menit), karena
didegradasai oleh enzim dipeptidylpeptidase IV( DPP-IV). DPP IV juga dikenal
sebagai CD26 yang akan membelah dari dipeptida N-terminal menjadi GLP-1
inaktif .DPP-IV terletak di berbagai organ seperti ginjal, paru, kelenjar adrenal,
hati, lien, pankreas, dan usus. Proporsi GLP-1 dalam jumlah banyak akan
didegradasi oleh DPP-IV. sebelum memasuki sirkulasi sistemik.

GLP-1 merupakan satu dari dua hormon inkretin, bersama dengan


glukosa tergantung polipeptida insulin (GIP). Insulinotropic efek dari GLP-1
adalah ketergantungan glukas, melalui interaksi dengana reseptor yang spesifik
yang diekspresikan oleh membran sel B. Reseptor GLB-1 ditemukan di sel B dan
D pankreas, sel parietal , pilorus, ajringan lemak, paru, dan otak. Pada hewan,
ketiadaan reseptor GLP-1 akan menghasilkan intoleransi glukosa dan
hiperglikemia saat puasa. GLP-1 akan menstimulasi proliferasi sel B dan
menginduksi neogenesis islet, menghabat apoptosis, dan berperan dalam
diferensiasi sel B baru dari progenitor di epitel duktus prankreas. GLP-1 juga

18
memacu diferensiasi sel B, dari sel kelenjar eksokrin atau progenitor islet yang
imatur.

Pada orang yang sehat, GLP-1 akan mengurangi pelepasan glukagon dari sel
pankreas dan GLP-1 intravena akan menurunkan sekresi glukagon pada pasien DM
tipe 2. Seperti efek insulinotropik dari GLP-1 , penghambatan glukagon dilakukan
oleh glukosa bebas. Hal ini tidak terjadi selama keadaan euglikemia, dan tidak berefek
selama keadaa hipoglikemia.
GLP-1 eksogen menurunkan gula darah puasa bahkan pada pasien diabetes
tipe 1, hal ini mengindikasikan bahwa efek insulinotropik GLP-1 sangat penting
dalam glukoganostatik.
Diantara beberapa efek fisiologis dari GLP-1, efeknya pada pengosongan
lambung terjadi diluar efek insulinotropik untuk mengontrol gula darah post prandial.
Telah lama diketahui bahwa pelepasan GLP-1 akan menghambat efek sekressi dan
motilitas gastrointestinal. Sebagai sebuah enterogastron, GLP-1 akan menurunkan
gastrin yang akan menginduksi sekresi asam dan pankreatik sebaik kemampuannya
dalam menyebabkan pengosongan lambung. Aktivitas motorik dari GLP-1
diantaranya adalah relaksasi dari fundus, inhibisi dari kontraksi antrum dan
duodenum, serta stimulasi kontraksi fasik dan tonus dari pilorus, sebagai respon dari
masuknya nutrisi ke dalam duodenum. Mekanisme peranan GLP-1 dalam motilitas
lambung sangatlah komplek dan sulit dimengerti. Pada hewan, hal tersebut
ditunjukkan bahwa hal tersebut tergantung kepada inervasi n. Vagus di lambung,
sedangkan pada manusia regulasi jalur kolinergik akan berefek pada GLP-1 endogen
pada fundus, tetapi mekanisme alternatif tampak pada efeknya terhadap pergerakan di
antrum dan pilorus. Pada tikus, aksi GLP-1 eksogen pada pergerakan usus halus saat
puasa dimediasi oleh nitrit oksid.
Penemuan reseptor GLP-1 pada jantung dan pembuluh darah tikus serta
manusia baru0baru ini menyebabkan fokus pada efek GLP-1 pada sistem
kardiovaskuler. GLP-1 akan meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolik .

19
Gambar 5. Efek GLP-1 pada Tubuh Manusia

CCK (kolesistokinin)

CCK disekeresikan oleh sel L pada duodenum dan jejunum bagian atas, serta
ditemukan di otak, Terdapat beberapa bentuk CCK diantaranya adalah CCK-8, CCK-
22, CCK-33, dan CCK-58 dimana CCK-33 merupakan bentuk yang dominan pada
pada plasma dan usus. Waktu paruh dari CCK selama 1-2 menit. Pada orang yang
sehat, konsentrasi CCK puasa mengalami peningkatan dari 1 pmol/L hingga 5-
10pmol/L ketika seseorang makan, waktu puncaknya kurang lebih 30 menit dan
kembali ke kadar puasa setelah 3-5 jam. Protein dan lemak merangsang kuat skresi
dari CCK, sedangkan karobohidrat hanya memberikan sedikit rangsangan.
Lemak oada usus halus mempunyai aksi dalam memperlambat pengosongan
lambung pada manusia yang diregulasi secara dominan oleh CCK melalui reseptor
CCK-1 , dan dihambat dengan antagomnis CCK-1, loxiglumide. CCK memperlambat
pengosongan lambung dengan merelaksasi bagian proksimal lambung, meningkakan
tekanan basal dan fasik pilorus, serta menghambat pergerakan antrum yang dimediasi
oleh jalur reflek vagovagal. Berkebalikan dengan efeknya pada lambung, CCK
eksogen akan meningkatkan aktivitas motorik dari usus halus dan memperpendek
waktu transit pada usus.
PYY

20
PYY terletak sama dengan GLP-1 yaitu pada sel L di bagian distal usus dan
sering disebut dengan ileal brake. Konsentrasi PYY dalam plasma pada keadaan
puasa rendah, dan meningkat kurang lebih 30 menit setelah nutrisi masuk ke dalam
usus halus. PYY disekresi dengan stimulus kuat dari lemak, dan karbohidrat serta
protein. Sekresi PYY merupakan respon dari adanya lemak pada usus halus yang
sebagian telah dimediasi oleh CCK. Karena kemampuannya dalam memperlambat
pengosongan lambung, PYY juga berperan dalam meningkatkan gula darah post
prandial, meskipun belum ada bukti yang jelas terhadap efek insulinotropik tersebut.

c. Fisiologi Pengosongan Lambung

Gambar 6. Proses Pengosongan Lambung

21
Berdasarkan pada fungsinya, lambung di bagi menjadi dua bagian yaitu bagian
proximal dan distal. Bagian proximal merupakan tempat penyimpanan makanan yang di
makan. Bagian ini terdiri dari fundus dan sepertiga proximal corpus. Pola aktivitas
motorik dari lambung lambat dan dilanjutkan dengan munculnya tonus kontraksi,
pergerakan ini akan mempengaruhi tekanan dalam lambung dan menentukan gradien
tekanan antara lambung dan duodenum. Tekanan ini penting untuk mengosongkan cairan
dalam lambung. Tonus pada bagian proximal lambung menurun ketika makanan masuk
dari oesofagus ke lambung, hal ini akan menyebabkan peningkatan volume lambung,
yang dikenal dengan relaksasi reseptif. Hal ini diikuti dengan relaksasi yang lebih lama
yang disebut dengan akomodatif relatif yang akan menyebabkan lambung dapat
berfungsi sebagai tempat penyimpanan tanpa ada zat yang menimbulkan tekanan pada
lambung.
Pola pergerakan dari lambung sangatlah spesifik. Awalnya akan terjadi
kontraksi menyeluruh pada fundus dan cardiac, akibvat munculnya pacemaker oleh sel
interstisial cajal (ICCs), sedangkan bagian bawah lambung dan antrum akan
menghambat aktifitas motorik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pengosongan lambung diantaranya adalah usia, jenis kelamin, densitas dan osmolaritas
kalori. 300ml garam yang diberikan secara bolus akan mengosongkan lambung 2 kali
lebih cepat dibandingkan dengan bolus 150 ml garam. Pada umunya pengosongan cairan
akan berlangsung cepat yang memakan waktu 50% dari waktu pengosongan ( 8-18
menit). Cairan yang kaya akan kalori akan dikosongkan lebih lambat daripada makanan
yang rendah kalori. Peningkatan osmolaritas akan menurunkan respon kontraksi pada
usus halus. Selain itu karakteristi dari nutrisi itu sendiri akan mempengaruhi
pengosongan isi lambung, Karbohidrat dan sebagian besar asam amino akan diserap usus
melalui osmoreseptor mukosa usus halus yang berperan aktif dalam inhibisi feedback
jalur neral. L-triptofan, prekusor dari 5-HT yang berasal dari asam amino lain efektif
dalam menunda pengosongan lambung. Efek dari trigliserida pada motilitas lambung
tergantung pada panjangnya rantai asam lemak yang berbeda dalam mensekresi CCK.
Namun demikian, pada suatu penelitian, perubahan makanan yang drastis dan cepat tidak
menunjukkan perubahan pada pergerakan gastrointestinal. Keasaman lambung juga
berperan penting. Omeperazol akan mengurangi hubungan antara PH intragastrik dan
jenis MMC yang akan menginduksi penundaan pengosongan lambung. Selain itu, suhu
makanan yang dicerna juga mempengaruhi pergerakan lambung, di mana makanan
dingin akan mempelambat pengosongan.

22
Pada pengosongan lambung, neurohormonal sangatlah berperan termasuk
peranan inervasi n. Vagus. Namun demikian n. Vagus tidak dibutuhkan untuk
menginisiasi pola pergerakan gastroduodenal ketika puasa atau postprandial, tetapi
dibutuhkan untuk memodulasi pola kontraksi selama fase ke III. Berbagai
neurohormonal akan berperan dalam pengosongan lambung, Perbedaan tipe neuron
dengan perbedaan kombinasi transmisi akan memberikan kontrol yang berbeda terhadap
pergerakan lambung. Plexus mienterikus yang terletak pada dinding lambung
mengandung berbagai neurotransmitter, diantaranya adalah Ach, norepinefrin, 5-HT, SP,
VIP, peptide histidine isoleucin (PHI) dan enkefalin. Neuron eksitasi mengandung Ach,
SP, atau keduanya yang berperan langsung dalam mengontrol kontraksi dari lapisan otot
sirkuler. Motorneuron inhibitor terdiri dari VIP dan NO yang akan mengontrol secara
langsung relaksasi.
Selama puasa, tonus pada bagian proksimal lambung dimediasi oleh input
kolinergik. Setelah makan, bagian proksimal dari lambung akan mengalami relaksasi
melalui aktivasi dari neuron nitregik pada dinding lambung. NO akan menginduksi
relaksasi dengan memproduksi c-GMP.Sildenafil ( inhibitor selektif 5- fosfodiesterase)
akan memperlama kerja cGMP dan kemudian memodifikasi kontaksi dari esofagus dan
menurunkan tekanan LES, mengahambat aktivitas motorik interdigestif dari antrum dan
duodenum, meningkatkan volume intragastrik setelah makan dan memperlambat
pengosongan isi lambung. Sebalikya, jalur nitrergik tidak tampak pada tonus gaster
ketika puasa dan sensitif terhadap distensi gaster pada manusia. Opiat dari subklas
reseptor yang berbeda mempunyai efek inhibisi dan eksitator . 5-HT akan mempercepat
pengosongan gaster melalui reseptor 5-HT3, sedangkan somatostatin, neurotensin,
oksitosi, PYY, GRP, enteroglukagon, oksintomodulin dan PGE1 akan memperlambat
pengosongan isi lambung. Peranan CCK masih belum jelas.
Inervasi dari sistem saraf pusat (CNS) berperan dalam regulasi aktivitas motorik
dan pengosongan lambung. Tekanan mental akan memperlama periode dari MMC.
Kemarahan akan meningkatkan aktivitas motorik dari lambung sedangkan kecemasan
dan depresi akan menurunkan kontraksi lambung. Nyeri dan dingin, serta nyeri
iskemik akan memperlambat pengosongan lambung. Beberapa jalur saraf berperan
dalam tekanan tersebut. Mediator untuk otak-usus telah dievaluasi secara intensif. Infus
TRH intraventrikular akan mempercepat pengosongan lambung, sedangkan CRF, CCK,
opiat, bombesin, takinin, somatostatin, faktor natriuretic atrial, GABA, kalsitonin, dan
CGRP akan memperlambat pengosongan lambung, sebagian melalui mekanisme vagal.

23
Untuk menurunkan LESP dan menurunkan relaksasi spincter esofagus, GABA, dan
agonis reseptor 5HT-1 yang akan menginduksi pemneuhan gaster yag diikuti oleh
aktivasi neuron mienterik.

24
ANESTESI UMUM

I. DEFINISI
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose
umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi umum biasanya dimanfaatkan
untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu
pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu
empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain.
Obat-obatan anestesi dimasukkan ke dalam tubuh melalui inhalasi, parenteral, rektal.
Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu:
Hipnotik (tidur)
Analgesia (bebas dari nyeri)
Relaksasi otot (mengurangi keteganggan tonus otot)

II. CARA KERJA


Anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan
membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi
juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi
kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi.

III. KLASIFIKASI
Untuk menentukan prognosis ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat
klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien ke dalam
5 kelompok atau kategori sebagai berikut:
ASA I : Pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi
ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah mapun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter
dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan
lekositosis.
ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan
karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis perforasi
dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemi
miokardium.

25
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.
ASA V : Pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun di operasi atau
tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok
hemoragik karena ruptura hepatik.
ASA VI : Pasien dengan kematian otak yang organnya sudah diambil. Klasifikasi
ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencntumkan tanda
darurat (E = Emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.

IV. METODE ANESTESI UMUM


1. Parenteral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi
anestesia.

2. Perektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia maupun
tindakan singkat.

3. Perinhalasi
Yaitu, menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile
agent) dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika tersebut tergantung
dari tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat apabila dengan tekanan parsial
yang rendah sudah mampu memberikan anestesia yang adekuat.

V. TAHAP-TAHAP ANESTESI
Stadium anestesi dibagi dalam 4, yaitu:
Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari
pemberian agent anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran.
Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi
pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.

26
Stadium II (stadium II eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II
terjadi eksitasi dan eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak,
pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis,
hipertensi dan takikardia.
Stadium III (pembedahan / operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu:
o Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya
anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal
masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjungtiva dan
kornea terdepresi.
o Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata
ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
o Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata
kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.
Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis), ditandai
dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata
menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi
lakrimal.

VI. Anestesia untuk kasus gawat darurat


Pasien yang membutuhkan anestesi untuk operasi gawat darurat akan lebih sulit
bagi ahli anestesi, yang harus mempersiapkan dan menanggulangi masalah yang
ada, karena pasien ini tidak dipersiapkan lebih dahulu dan tidak dalam keadaan
ideal. Keadaan patologis yang mungkin ada, misalnya kekurangan cairan, harus
ditanggulangi dengan cepat sebelum anestesi, tetapi bila terdapat infeksi, misalnya
infeksi dada, maka penanggulangan dilakukan dalam waktu terbatas karena bila
terlalu lama akan mengganggu kondisi pasien. Pasien yang sakit berat dengan
sirkulasi yang buruk hanya dapat menerima obat dalam dosis yang lebih kecil
(kecuali suksametonium, tetap diberikan dalam dosis normal). Terutama hati-hati
terhadap obat yang diberikan secara intravena dan anestesi lokal. Biasanya, makin
berat keadaan pasien, makin besar resiko yang berhubungan dengan anestesi
spinal, sehingga dipilih anestesi umum.

27
Teknik terbaik dipilih oleh seorang anestesi tergantung kemampuannya karena
keterbatasan waktu untuk memilih metode apa yang dipilih. Pilihan teknik tergantung
pada jenis dan lama tindakan bedah, keadaan umum dan kooperasi pasien. Operasi yang
besar hampir selalu membutuhkan teknik anestesi umum dengan intubasi trakea dan
napas kendali dengan bantuan obat pelumpuh otot. Cara ini menghindari pemakaian obat
anestesi yang banyak dan memastikan oksigenisasi yang baik dan tidak ada
kontraindikasi absolut untuk teknik anestesi umum. 3
Bila pasien kooperatif, anestesi regional dapat dipertimbangkan, khusus pada operasi
ekstremitas maupun abdomen bawah. Cara ini dapat mencegah bahaya aspirasi seperti
yang dapat terjadi pada pasien yang tidak sadar. Adapun kntraindikasi absolut untuk
anestesi regional antara lain:3
Infeksi di daerah tusukan
Pasien menolak
Koagulopati
Hipovolemi berat (pada neuroaksial)
Peningkatan TIK (pada neuroaksial)
Aorta dan mitral stenosis berat (pada neuro aksial)

Sedangkan kontra indikasi relatifnya antara lain:3


Sepsis
Pasien tidak kooperatif
Terdapatnya kelainan neurologis sebelumnya
Kelainan katup jantung stenosis (pada neuroaksial)
Toksisitas anestesi lokal (pada peripheral nerve block)
Neuropati perifer (pada peripheral nerve block)3
Pasien dengan lambung penuh sebaiknya dilakukan anestesi regional. Tetapi perlu diingat
bahwa anestesi spinal atau epidural tidak mampu memberikan proteksi absolut terhadap
aspirasi.3
Pasien yang memerlukan operasi darurat, biasanya lambungnya penuh. Pada pasien
trauma, pengosongan lambung akan berhenti setelah trauma. Pasien dengan penyakit
intraabdomen dan pasien hamil, harus diperkirakan bahwa lambungnya penuh dengan
konsentrasi asam lambung yang tinggi. Jika isi lambung masuk ke dalam paru-paru selama
anestesi, maka akan menimbulkan cedera berat yang dapat menyebabkan kematian. Maka

28
jika kita sudah memperkirakan akan terjadi aspirasi sebaiknya dilakukan pencegahan.
Pasanglah balon pipa endotrakea selama anestesi umum. Tujuan anestesi adalah memasang
intubasi secepat dan semulus mungkin, sehingga aspirasi dapat dicegah.3
Cara yang paling sederhana adalah melakukan intubasi pada pasien yang
sadar dan hal ini biasanya dapat dilakukan pada neonates dan anak dengan usia kurang
dari 2 bulan, dimana cara ini merupakan teknik pilihan. Banyak orang dewasa,
khususnya mereka yang sakit, biasanya dapat mentoleransi intubasi pada keadaan
sadar, asal kita menerangkan apa maksudnya. Gunakan laringoskop yang telah diolesi
dengan jeli, dan pasanglah dengan hati-hati dan perlahan-lahan. Jika kita dapat melihat
laring (memerlukan waktu satu sampai dua menit), masukkan pipa endotrakea melalui
laring, cobalah jangan menyentuh faring, karena ini akan menyebabkan pasien muntah.
Pada saat intubasi kadang-kadang pasien batuk, dan asisten dibutuhkan untuk
memegang tangan pasien. Segera setelah intubasi, lakukan induksi anestesi dengan
tiopental (untuk bayi, kita hanya perlu menghidupkan suplai bahan anestesi inhalasi).2
Setelah selesai pembedahan, pasien harus diekstubasi setelah reflek-reflek jalan
napas kembali dan kesadaran sudah pulih. Terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah
lambung penuh dan aspirasi selama anestesi, antara lain:3
Induksi inhalasi dengan kepala diekstensikan ke belakang dan penderita dimiringkan.
Cara ini sudah kuno tapi merupakan metode yang baik untuk dicoba dan masih
berguna, terutama jika penderita dalam keadaan mendekati ajal. Cara ini banyak
digunakan sebelum dikenalnya relaksan otot, tetapi meningkatkan bahaya regurgitasi
pasif.
Intibasi secara sadar di bawah anestesi lokal. Cara ini dahulu banyak digunakan di
Amerika Serikat, tetapi menjadi tidak nyaman bagi penderita yang tidak ditolong oleh
seorang pakar.
Induksi cepat secara berurutan, metide yang hampir secara universal dipraktekkan di
Inggris. Praoksigenasi, induksi intravena, relaksasi dengan suksametonium, intubasi.
Induksi berurutan cepat, sekarang kadang-kadang diserta dengan penekanan
krikotiroid (perasat Selick) untuk menghalangi terbukanya esophagus.

Induksi Cepat
Untuk operasi darurat, banyak ahli anestesi lebih suka menggunakan induksi
cepat, yang kadang-kadang disebut crash induction. Tujuannya adalah untuk

29
menginduksi anestesi dan intubasi trakea dengan cepat dan mulus, selain untuk
mencegah regurgitasi dengan kompresi eksterna esophagus bagian atas.
Pertama-tama, hisaplah isi lambung dengan sonde lambung besar, ini akan
membantu dekompresi lambung, walaupun tidak ada jaminan terjadi pengosongan
lambung. Angkatlah sonde lambung sebelum melakukan tindakan, karena sonde akan
menimbulkan kebocoran sfingter esophagus. Lakukan oksigenisasi, periksalah apakah
penghisap sudah tersedia dan sudah dihidupkan. Asisten harus menekan kartilago
krikoidea pasien ke belakang dengan telunjuk dan ibu jari. Kartilago ini mempunyai
cincin yang mengelilingi trakea secara lengkap di depan esophagus, maka akan
menekan esophagus dan menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam paru-paru.
Penekanan kartilago krikoidea harus dipertahankan sampai intubasi selesai,
kembangkan balon, dan periksalah apakah ada kebocoran. Asisten harus tahu akan hal
ini. Pada saat penekanan krikoid, berikan tiopental yang dimasukkan ke dalam tabung
infus, diikuti segera dengan suksamelonium 1 mg/kgBB. Segera setelah pasien relaks,
masukkan laringoskop dan pipa endotrakea, kembangkan balon dan periksalah apakah
ada kebocoran dan ikat pipa ini dalam posisi tertentu.
Balon tidak digunakan pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun, karena
bagian yang tersempit akan tepat menutupinya, sehingga tidak dibutuhkan balon. Jika
terjadi kebocoran udara, sumbatlah laring dengan kassa basah dengan melihat langsung
dan menggunakan forsep Magill. Pada anak-anak, sangat penting untuk tidak memaksa
pipa yang terlaluu besar, karena dapat menyebabkan edema laring setelah ekstubasi.
Jika terdapat kebocoran kecil di sekitar pipa, yang terdengar pada saat mengembangkan
paru, ini menandakan pipa tidak terlalu menekan. Jika setelah intubasi dipikirkan harus
digunakan pipa yang lebih kecil, maka gantilah dengan pipa yang lebih kecil.
Walaupun demikian, balon tidak dapat memberikan perlindungan mutlak pada jalan
napas, oleh karena itu hisaplah sekresi mulut dan faring sebelum dan sesudah intubasi
dan ekstubasi.4

30
Gambar 1. Penekanan pada Kartilago

Jika kita berhasil mengintubasi pasien, maka kita dapat memilih anestesi jenis
apapun yang sesuai dengan pasien. Sebaiknya pasang sonde lambung dan hisaplah isi
lambung lagi. Jika ahli bedah membuka abdomen, maka ahli bedah dapat meyakinkan
apakah sonde lambung masuk ke lambung atau tidak. Ingatlah pada akhir operasi, kita
harus menjaga paru-paru pasien terhadap kemungkinan aspirasi dengan cara
melakukan intubasi pada saat pasien dalam keadaan sadar dan dalam posisi miring.4
Induksi cepat sangat berguna dan akan mudah bila sudah terbiasa. Induksi ini tidak
berbahaya dan tidak menyebabkan rasa tak nyaman pada pasien. Untuk kasus sito,
tanyakan makan-minum terakhir apalagi SC (lambung penuh), beri Metoclorpropamid
1 ampul secara IV pelan-pelan dan atau Ranitidin/simetidin sebelum operasi. Jika
mual beri ondansetron (premedikasi).4

VII. PREMEDIKASI
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anethesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anethesia diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Memperlancar induksi anethesia
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual muntah pasca bedah

31
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang membahayakan
Premedikasi dapat diberikan dengan menggunakan satu obat atau kombinasi dari
kedia obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan dari premedikasi
itu sendiri misalnya untuk memberikan sedasi dapat diberikan benzodiazepin,
untuk memberikan analgesia dapat diberikan golongan opioid, sebagai
antisialagogue dapat diberikan antikolinergik, mencegah muntah dan aspirasi
dapat diberikan metoklorpromide dan ondancentron. Opioid adalah obat yang
paling baik digunakan sebagai premedikasi untuk mengilangkan myeri, dimana
opioid, bukanlah merupakan obat ideal untuk menghilangkan kecemasan,
menghasilkan sedasi dan memberikan amnesia. Pemberian fentanyl sebagai
premedikasi adalah tindakan yang umum dilakukan untuk menumpulkan respon
hemodinamik selama induksi pada waktu intubasi. Premedikasi dengan opioid
menyebabkan beberapa efek samping diantaranya : hipotensi, pelepasan histamin,
mual dan muntah. Waktu adalah yang penting dalam pemberian premedikasi
dimana waktu tepat dalam pemberian premedikasi akan menghasilkan manfaat
yang besar. Secara umum waktu pemberian secara oral adalah 60-90 menit
sebelum pembedahan, bila diberikan intramuskular dapat diberikan 30-60 menit
sebelum pembedahan dan jika secara intravena dapat diberikan 1-5 menit sebelum
pembedahan.

VIII. INDUKSI
Induksi anesthesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan.
1. Induksi intravena
a. Tiopental (pentotal, tiopental) dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk
berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul 500 mg atau
1000 mg.
b. propofol

32
IX. Induksi Dan Rumatan Anestesia
a. Induksi Anestesi Umum
Induksi adalah usaha membawa / membuat kondisi pasien dari sadar ke stadium
pembedahan. Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi,
intramuskuler atau rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung
dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan
yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan
lebih cepat dan lebih baik.
Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita ingat kata STATICS:
S = Scope Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung, Laringo-Scope.
Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus
cukup terang.
T = Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan >
5 tahun dengan balon (cuffed).
A = Airway Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah tidak menyumbat
jalan napas.
T = Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C = Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia.
S = Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara / rute :


1) Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi bolus disuntikan
dalam kecepatan 30-60 detik. Selama induksi anesthesia, pernapasan pasien, nadi, dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
2) Induksi intramuskular

33
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar) yang
dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5
menit pasien tidur.
3) Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau
dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi
dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N20 : O2 = 3 : 1 aliran > 4
liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol % sampai konsentrasi yang dibutuhkan.
Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah
tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk. Walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat
: tidak berbau menyengat / merangsang, baunya enak, cepat membuat pasien tertidur
4) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata
disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
5) Induksi Mencuri
Induksi mencuri ( steal induction ) dilakukan pada anak atau bayi yang sedang
tidur. Untuk yang sudah ada jalur vena tidak ada masalah, tetapi pada yang belum
terpasang jalur vena, harus dikerjakan hati-hati supaya pasien tidak terbangun. Induksi
mencuri inhalasi seperti induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita
tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak berapa sentimeter, sampai
pasien tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.

34
b. Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena
inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu:
- Hipnosis
- Analgesia
- Relaksasi otot

IX. Teknik Anestesi Umum

a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan


Indikasi :
- Tindakan singkat ( - 1 jam)
- Keadaan umum baik (ASA I II)
- Lambung harus kosong

Prosedur :

- Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik


- Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
- Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang) efek
sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
- Induksi
- Pemeliharaan

Gambar: Face Mask

35
b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan

Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal


tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama, sulit mempertahankan
airway (operasi di bagian leher dan kepala)

Prosedur :

1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn durasi singkat)

2. Intubasi setelah induksi dan suksinil

3. Pemeliharaan

Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS

c. Teknik Intubasi

1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap


2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala
sedikit ekstensi mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit,
menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat
epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas ( alat
resusitasi )

36
Gambar: Teknik Intubasi

c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)


Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah operasi selesai
pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.
- Teknik sama dengan diatas
- Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
- Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya

f. Tahapan Anestesi
1. Stadium 1 (analgesia)
Penderita mengalami analgesi,
Rasa nyeri hilang,
Kesadaran berkurang

2. Stadium II (delirium/eksitasi)
Penderita tampak gelisah dan kehilangan kesadaran
Penderita mengalami gerakan yang tidak menurut kehendak (tertawa, berteriak,
menangis, menyanyi)
Volume dan kecepatan pernapasan tidak teratur
Dapat terjadi mual dan muntah
Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi
Midriasis, hipertensi

37
3. Stadium III (anestesia,pembedahan/operasi)
Pernapasan menjadi dangkal, cepat, dan teratur, seperti pada keadaan tidur
(pernapasan perut)
Gerakan mata dan refleks mata hilang / gerakan bola mata tidak menurut kehendak
Otot menjadi lemas, misal; kepala dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan
bebas; lengan diangkat lalu dilepaskan akan jatuh bebas tanpa ditahan

4. Stadium IV (paralisis medula oblongata)


Kegiatan jantung dan pernapasan spontan terhenti.
Terjadi depresi berat pusat pernapasan di medulla oblongata dan pusat vasomotor.
Tanpa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat meninggal. Maka taraf
ini sedapat mungkin dihindarkan.

g. Klasifikasi Obat-obat Anestesi Umum


1. Anestesi Inhalasi
Halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, desflurane, dan methoxyflurane merupakan
cairan yang mudah menguap.

Halothane
Bau dan rasa tidak menyengat ,
Khasiat anestetisnya sangat kuat tetapi khasiat analgetisnya dan daya relaksasi
ototnya ringan, yang baru adekuat pada anestesi dalam
Halotan digunakan dalam dosis rendah dan dikombinasi dengan suatu relaksans
otot, seperti galamin atau suksametonium.
Kelarutannya dalam darah relative rendah induksi lambat, mudah digunakan,
tidak merangsang mukosa saluran napas
Bersifat menekan refleks dari faring dan laring, melebarkan bronkioli dan
mengurangi sekresi ludah dan sekresi bronchi
Famakokinetik: sebagian dimetabolisasikan dalam hati bromide, klorida
anorganik, dan trifluoacetik acid.
Efek samping: menekan pernapasan dan kegiatan jantung, hipotensi, jika
penggunaan berulang, maka dapat menimbulkan kerusakan hati.

38
Dosis: tracheal 0,5-3 v%.
Enfluran
Anestesi inhalasi kuat yang digunakan pada berbagai jenis pembedahan, juga
sebagai analgetikum pada persalinan.
Memiliki daya relaksasi otot dan analgetis yang baik, melemaskan otot uterus
Tidak begitu menekan SSP
Resorpsinya setelah inhalasi , cepat dengan waktu induksi 2-3 menit
Sebagian besar diekskresikan melalui paru-paru dalam keadaan utuh, dan sisanya
diubah menjadi ion fluoride bebas
Efek samping: hipotensi, menekan pernapasan, aritmia, dan merangsang SSP.
Pasca bedah dapat timbul hipotermi (menggigil), serta mual dan muntah, dapat
meningkatkan perdarahan pada saat persalinan, SC, dan abortus.
Isofluran (Forane)
Bau tidak enak
Termasuk anestesi inhalasi kuat dengan sifat analgetis dan relaksasi otot baik
Daya kerja dan penekanannya terhadap SSP = enfluran
Efek samping: hipotensi, aritmi, menggigil, konstriksi bronkhi, meningkatnya
jumlah leukosit. Pasca bedah dapat timbul mual, muntah, dan keadaan tegang
Sediaan : isofluran 3-3,5% dlm O2; + NO2-O2 = induksi; maintenance : 0,5%-
3%
Desfluran
Desfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya
mirip isofluran.
Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestesi volatil lain, sehingga
perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-6).
Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5C).
Potensinya rendah
Bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi
Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran
Merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi
Sevofluran
Merupakan halogenasi eter
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas

39
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia
Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik
terhadap hepar
Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan

2. Anestesi Intravena
Termasuk golongan ini adalah: barbiturate (thiopental, methothexital);
benzodiazepine (midazolam, diazepam); opioid analgesic (morphine, fentanyl, sufentanil,
alfentanil, remifentanil); propofol; ketamin, suatu senyawa arylcylohexylamine yang dapat
menyebabkan keadaan anestesi disosiatif dan obat-obat lain ( droperianol, etomidate,
dexmedetomidine).
Barbiturat
Blokade sistem stimulasi di formasi retikularis
Hambat pernapasan di medula oblongata
Hambat kontraksi otot jantung, tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap
ketekolamin
Dosis anestesi : rangsang SSP; dosis > = depresi SSP
Dosis : induksi = 2 mg/kgBB (i.v) dlm 60 dtk; maintenance = dosis induksi

Na tiopental
Induksi : dosis tgt BB, keadaan fisik dan peny
Dws : 2-4ml lar 2,5% scr intermitten tiap 30-60 dtk ad capaian
Ketamin
sifat analgesik, anestetik, kataleptik dg kerja singkat
analgesik kuat utk sistem somatik, lemah utk sistem viseral
relaksasi otot polos lurik (-), tonus meninggi
tingkatkan TD, nadi, curah jantung
Ketamin sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala,
pasca anestesi dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur, dan mimpi
buruk.
Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi mdasolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0.1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0.001 mg/kg.

40
Dosis bolus untuk induksi intravena adalah 1-2 mg/kg dan untuk intramuskular 3-
10 mg.
Ketamin dikemas dalam cairan bening dengan kepekatan 1% (1ml=10mg), 5%
(1ml=50 mg) dan 10 % (1ml=100 mg)

Fentanil dan droperidol


Analgesik & anestesi neuroleptik
Kombinasi tetap
Aman diberikan pada yang mengalami hiperpireksia dan anestesi umum lain
Fentanil : masa kerja pendek, mula keja cepat
Droperidol : masa kerja lama & mula kerja lambat
Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg).
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena
total 4- 12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%.
Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak <3 tahun dan pada wanita hamil
tidak dianjurkan.
Diazepam
Suatu benzodiazepine dengan kemampuan menghilangkan kegelisahan, efek
relaksasi otot yang bekerja secara sentral, dan bila diberikan secara intravena
bekerja sebagai anti kejang. Respon obat bertahan selama 12-24 jam menjadi
nyata dalam 30-90 mnt stlah pemberian scra oral dan 15 mnt slah injeksi
intravena.
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap benzodiazepine, pemberian parenteral
dikontraindikasikan pada pasien syok atau koma
Penurunan kesadaran disertai nistagmus, bicara lambat
Analgesik (-)
Sedasi basal pada anestesia regional, endoskopi, dental prosedure, induksi
anestesia pd pasien kardiovaskuler

41
Efek anestesia < ok mula kerja lambat, masa pemulihan lama Utk premedikasi
(neurolepanalgesia) & atasi konvulsi ok anestesi lokal Dimetab mjd metabolit
aktif T > seiring bertambahnya usia
ESO : henti napas,flebitis dan trombosis (+) (rute IV)
Dosis : induksi = 0,1-0,5 mg/kgBB

Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi.
Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
induksi pasien dengan kelainan jantung.
Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg, dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0.3-1 mg/kg/menit.

h. Mekanisme Kerja Obat Anestesi


1. Anestesi inhalasi
Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan aktivitas
neuron berbagai area di dalam otak. Sebagai anestesi inhalasi digunakan gas dan cairan
terbang yang masing-masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat
melemaskan otot maupun menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi yang
secepat-cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang
kemudian diturunkan sampai hanya sekadar memelihara keseimbangan antara pemberian
dan pengeluaran. Keuntungan anestesi inhalasi dibandingkan dengan anestesi intravena
adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah kedalaman anestesi dengan
mengurangi konsentrasi dari gas / uap yang diinhalasi.
2. Anestesi intravena
Obat-obat intravena seperti thiopental, etomidate, dan propofol mempunyai mula
kerja anestetis yang lebih cepat dibandingkan terhadap senyawa gas inhalasi yang terbaru,
misalnya desflurane dan sevoflurane. Senyawa intravena ini umumnya digunakan untuk
induksi anestesi. Kecepatan pemulihan pada sebagian besar senyawa intravena juga sangat
cepat.

Farmakokinetika
Dalamnya anestesi ditentukan oleh konsentrasi anestesi di dalam susunan saraf pusat.
Kecepatan pada konsentrasi otak yang efektif (kecepatan induksi anestesi) bergantung pada

42
banyaknya farmakokinetik yang mempengaruhi ambilan dan penyebaran anestesi. Faktor
tersebut menentukan perbedaan kecepatan transfer anestesi inhalasi dari paru ke dalam darah
serta dari darah ke otak dan jaringan lainnya. Faktor-faktor tersebut juga turut mempengaruhi
masa pemulihan anestesi setelah anestesi dihentikan.
Dipengaruhi / tek parsial zat anestetik dlm otak. Faktor penentu tekanan parsial :
1. Tekanan parsial anestetik gas yang diinspirasi
Untuk mempercepat induksi : kadar gas yang diinspirasi harus lebih tinggi daripada
tekanan parsial yang diharapkan di jaringan
Setelah tercapai, diturunkan untuk pertahankan anestesi
2. Ventilasi paru
Hiperventilasi dapat percepat masuknya gas anestetik ke sirkulasi & jaringan
Zat larut dalam darah : halothan
3. Pemindahan gas anestetik dari alveoli ke aliran darah
Membran alveoli mudah dilewati gas anestetik secara difusi dari alveoli ke aliran darh
4. Pemindahan gas anestetik dari aliran darah ke sel jaringan tubuh
Jaringan yang mempunyai aliran darah cepat, keseimbangan tekanan parsial lebih
mudah tercapai sehingga anestetik gas lebih mudah berpindah.

Farmakodinamika
Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan aktivitas neuron
berbagai area di dalam otak. Untuk mendapatkan reaksi yang secepat-cepatnya, obat ini pada
permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi.
Senyawa intravena ini umumnya digunakan untuk induksi anestesi. Kecepatan pemulihan
pada sebagian besar senyawa intravena juga sangat cepat.

Efek samping
Hampir semua anestesi inhalasi yang mengakibatkan sejumlah efek samping dan yang
terpenting adalah :
1. Menekan pernapasan yang pada anestesi dalam terutama ditimbulkan oleh halotan,
enfluran dan isofluran. Efek ini paling ringan pada N2O dan eter.

43
2. Menekan system kardiovaskuler, terutama oleh halotan, enfluran dan isofluran. Efek
ini juga ditimbulkan oleh eter, tetapi karena eter juga merangsang sistem saraf
simpatis, maka efek keseluruhannya menjadi ringan.
3. Merusak hati dan ginjal, terutama senyawa klor, misalnya kloroform.
4. Oliguri (reversibel) karena berkurangnya pengaliran darah di ginjal, sehingga pasien
perlu dihidratasi secukupnya.
5. Menekan sistem regulasi suhu, sehingga timbul perasaan kedinginan (menggigil)
pasca-bedah.

44
PEMBAHASAN

Pada kasus operasi cito atau gawat darurat, penatalaksanaan anestesi yang akan
dilakukan harus lebih cermat dilakukan. Berbeda dengan pada kasus operasi lainnya, pasien
yang akan melakukan operasi cito biasanya dalam keadaan tidak terlebih dahulu
dipersiapkan. Ahli anestesi harus melakukan pendekatan sistematis perioperatif dan
tatalaksana pengelolaan anestesi yang optimal. Kesiapan alat dan tenaga kamar operasi untuk
melakukan bedah darurat yang sifatnya kapan saja. Seperti yang kita ketahui, seharusnya
dibutuhkan persiapan pada pasien yang akan menjalankan operasi yang membutuhkan
anestesi. Pasien dewasa harus dipuasakan kurang lebih enam jam sebelum anestesi dan
operasi dilakukan. Hal ini penting mengingat pada pasien yang tidak dipuasakan,
lambungnya terisi. Lambung yang terisi akan membahayakan proses anestesi, terutama pada
saat dilakukannya teknik intubasi untuk membuka jalan napas. Resiko untuk terjadinya
regurgitasi dapat membahayakan jalan napas pasien, dan akan berdampak pada keselamatan
pasien. Pada kasus ini, pasien tidak diketahui kapan terakhir kali makan karena diantar ke
IGD dalam keadaan pingsan. Mempertimbangkan hal ini, maka operasi dilakukan 5 jam
setelah pasien masuk RS, walau idealnya minimal 6 jam.
Premedikasi yang dapat diberikan yaitu sesaat sebelum operasi dimulai, mengingat
kondisi kegawatdaruratan dan situasi yang agak mendadak. Seringkali pada pasien dengan
operasi cito, keadaan kesehatan pasien belum diketahui, sehingga perlu persiapan yang lebih
lengkap untuk berjaga-jaga dengan segala kemungkinan yang akan terjadi pada saat
berjalannya proses anestesi dan bedah. Pada operasi cito, jenis anestesi disesuaikan dengan
keadaan pasien. Pada kasus ini, pasien akan dilakukan laparotomi eksplorasi, dan teknik
anestesi yang dilakukan adalah anesthesia umum, dengan teknik pernapasan terkontrol,
intubasi menggunakan endotracheal tube. Dicantumkan huruf E pada penilaian ASA pasien
yang menjalani operasi cito.
Pada pasien di kasus ini untungnya telah diusahakan untuk dilakukan berbagai pemeriksaan
sebelum dioperasi, sehingga ahli anestesi dapat mempersiapkan tindakan anestesi untuk
pasiennya lebih baik, walau penundaan yang tidak perlu sebisanya diminimalisir demi
keselamatan pasien.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Smith S., Williams C.S., Ferris C.D. Diagnosis and Treatment of Chronic Gastroparesis
and Chronic Intestinal Pseudo-Obstruction. Gastro Clin N Am, 2003; 32: 619-658.

2. Venturi S.; Venturi M. 2009. "Iodine in evolution of salivary glands and in oral health".
Nutrition and Health 20 (2): 119134.

3. Santoso, H.sardjono O. dan Hedi Rosmiati D., 2005, Buku Farmakologi Dan Terapi, Edisi 4,
Hal.237-238, Gaya Baru : Jakarta

4. Latief, Said A. dkk., 2007, Petunjuk Praktis Anestesiologi, FKUI: Jakarta

5. Varon A.R., Zuleta J. From The Physiology of Gastric Emptying of The Understanding of
Gastroparesis. Rev Col Gastroenterol, 2010; 25: 207-212.

6. Morgan GE. Mikhail MS. Murray MJ. Morgan and Mikhails clinical anesthesiology.
5th ed. New York: Lange Medical Books, 2006.

7. WHO. Penuntun praktis anestesi. Edisi 1. Jakarta: Penerbit EGC; 1994. H. 77

46

Anda mungkin juga menyukai