PENDAHULUAN
tergantung dari karakteristik organisme dan pejamu. Dapat dibagi menjadi infeksi
jamur yang dapat menginduksi respon inflamasi seperti yang disebabkan oleh
dermatofit, dan infeksi jamur yang tidak menghasilkan reaksi inflamasi sampai
berbagai infeksi non dermatofit pada kulit dan kuku, seperti dermatomikosis yang
menyebabkan infeksi pada kulit, rambut, dan kuku), dan Epidermophyton (yang
menyebabkan infeksi pada kulit dan kuku). Berdasarkan lokasi yang terkena,
diklasifikasikan secara klinis kedalam tinea kapitis (kepala), tinea faciei (wajah),
tibea barbe (jenggot), tinea corporis (tubuh), tinea cruris (selangkangan), tinea
1
anjing, sapi, kambing, babi, kuda, binatang pengerat dan kera) yang menyerang
folikel rambut dari kulit kepala dan kulit disekitarnya. Kelainan ini dapat ditandai
BAB II
LAPORAN KASUS
2
I. Identitas Pasien
Nama : An. M
Umur : 11 tahun
purwakarta, Cilegon
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Pelajar
II. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan gatal pada kulit kepala sejak 1 bulan
yang lalu. Gatal terutama dirasakan pada kulit kepala sebelah kiri. Gatal
dirasakan terus menerus dan mengganggu aktivitas, membuat pasien
sering menggaruk-garuk kepalanya.Gatal bertambah jika berkeringat,
sedikit berkurang jika mandi berkeramas. Awalnya timbul bercak
kemerahan pada kulit kepala yang tidak berambut, berukuran kecil yang
kemudian semakin meluas sebesar koin diameter 4 cm berwarna pucat dan
bersisik. Rambut di sekitarnya menjadi menjadi kusam, rapuh dan mudah
patah sehingga lama-lama terjadi kebotakan setempat di daerah kulit
kepala tersebut. Sudah berobat ke klinik sebelumnya, 3 minggu yang lalu
3
dan diberi 2 macam obat salep (lupa nama obatnya), warna obat putih dan
biru lalu dioles 2x sehari pagi dan malam setelah mandi, namun keluhan
tidak berkurang. Pasien tidak pernah pernah diberi obat minum.
Riwayat Kebiasaan :
Pasien sering memakai topi bila keluar rumah sehingga timbul keringat
Pasien adalah pelajar kelas 5 SD. Pasien tinggal bersama seorang kakak
4
rumah cukup padat penduduk. Tidak ada orang-orang sekitar yang
A. Status Generalis :
Respirasi : 20x/menit
Berat badan : 28 kg
Gizi : Cukup
5
Status Lokalis :
- Tinea kapitis
- Dermatitis Seboroik
- Dermatitis Atopik
- Piodermal bakterial
- Folikulitis devalcans
6
- Perivolikulitis kapitis absedens et suodiens
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Chloramphenicol+cyclohexamide
(mycrosporum)
VII. PENATALAKSANAAN
Terapi :
Kausatif :
Pengobatan sistemik
o Griseofulvin 20-25mg/kgBB/hari
seminggu
mengganggu.
Suportif :
7
- Mencuci pakaian, kain, atau handuk penderita setiap hari dan
kulit.
menularkan jamur.
obyektif)
VIII. Prognosis
- Ad vitam : Ad Bonam
- Ad sanationam : Ad Bonam
- Ad functionam : Ad Bonam
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Dermatofitosis
3.1.1 Definisi
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan
oleh golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat mengivasi seluruh lapisan
stratum korneum dan menghasilkan gejala malalui aktivasi respons imun pejamu.
3.1.2 Etiologi
Epidermophyton. Selain sifat keratofilik, masih banyak sifat yang sama diantara
3.1.3 Klasifikasi
9
- Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan
khusus, yaitu
morfologis.
bentuk klinis tidak khas oleh karena telah diobati dengan steroid
topikal kuat.
3.2.1 Definisi
Tinea kapitis (Ringwormof the scalp and hair, tinea tonsurans, herpes
tonsurans) adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh
spesies Microsporum dan Trichophyton .
Penyakitnya bervariasi dari kolonisasi subklinis non inflamasi berskuama
ringan sampai penyakit yang beradang ditandai dengan produksi lesi kemerahan
berskuama dan alopesia (kebotakan), yang mungkin menjadi radang berat dengan
10
pembentukan erupsi kerion ulseratif dalam. Hal tersebut sering menyebabkan
pembentukan keloid dan skar dengan alopesia permanen. Tipe timbulnya penyakit
tergantung pada interaksi pejamu dan jamur. 2
3.2.2 Epidemiologi
anak-anak 3-14 tahun dan jarang ditemukan pada dewasa. Kasus pada dewasa
FKUI/RSCM tinea kapitis (1989-1992) hanya 0,61-0,87% dari kasus jamur kulit.
(45,5%). Di Surabaya tersering tipe kerion (62,5%) daripada tipe Gray Patch
3.2.3 Etiologi
Peneyebab tinea kapitis berbeda-beda berdasarkan letak geografis. Tinea
kapitis disebabkan oleh spesies Trichophyton sp dan Microsporum sp. Di Amerika
serikat penyebab terbanyak ialah Trichophyton Tonsurans dan Microsporum
Canis. Di Eropa, Amerika Selatan, Australia, Asia, dan Afrika Utara, Tinea kapitis
umumnya disebabkan oleh M.canis. Tricophyton Violaceum merupakan penyebab
11
tinea kapitis terbanyak di India, sedangkan M. Ferrugineum adalah penyebab
terbanyak di Jepang, Cina, Korea, dan Afrika Selatan. Laporan tahun 1994, di
Medan tinea kapitis terbanyak oleh T. Rubrum dan T. Mentagrophytes. Spesien
antropifilik sebagai penyebab yang predominan.
3.2.4 Patogenesis
1. Patogenesis Dermatofitosis
Penularan dermatofitosis terjadi melalui 3 (tiga) cara yaitu:
a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui kolam renang dan
udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi peradangan
(silentcarrier).
b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak
langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang
terinfeksi dan melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada
rumah/ tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan.
Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis
menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang.
Jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non spesifik dan
spesifik agar dapat menyebabkan penyakit. Jamur harus mempunyai
kemampuan melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan
untuk menembus jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam
lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan
biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi
jaringan atau radang. 4
Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu:
perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta
pembentukan respon pejamu.
a. Perlekatan Dermatofit pada Keratinosit
Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal
setelah 6 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang
12
memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis
keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum
korneum.Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik
dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan aktivator
plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein
ekstrasel dalam menginvasi pejamu.
Proses tersebut dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua
sel, dan pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang
dipermudah oleh adanya proses trauma atau adanya lesi pada kulit.
Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung
pada jenis strainnya. 3
b. Penetrasi Dermatofit melewati dan di antara Sel
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum
dengan kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi
menghasilkan sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang
menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 46 jam untuk
germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat
pada keratin.
Jamur patogen menggunakan beberapa cara dalam upaya
bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut:
1) Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida
yang tebal, memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan
yang terdapat pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1,
dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel,
sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.
2) Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme
penghambatan imun pejamu atau secara aktif mengendalikan
respons imun mengarah kepada tipe pertahanan yang tidak efektif,
contohnya adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD14
dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang
berakibat aktivasi makrofag akan terhambat.
3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung
13
merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan
mensekresi toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan
superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat
menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi
oleh jamur, dan memproduksi siderospore (suatu molekul
penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk
menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik. 5
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum
bervariasi dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat
membatasi kemampuan dermatofit dalam melakukan penetrasi
pada stratum korneum. 4
c. Respons Imun Pejamu
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang
memberikan respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan
respons lambat. Pada kondisi individu dengan sistem imun yang
lemah (immunocompromized), cenderung mengalami
dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi,
obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat
meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non
patogenik. 4
1) Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan
alami terdiri dari:
a) Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak
sebagai barrier terhadap masuknya dermatofit. Stratum
korneum secara kontinyu diperbarui dengan keratinisasi sel
epidermis sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang
menginfeksinya. Proliferasi epidermis menjadi benteng
pertahanan terhadap dermatofitosis, termasuk proses
peradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang
dimediasi sel T.
b) Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi
14
berupa pustul, secara mikroskopis berupa mikroabses epidermis
yang terdiri dari kumpulan netrofil di epidermis, dapat
menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme
oksidatif.
c) Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated
transferrin dan 2-makroglobulin keratinase inhibitor dapat
melawan invasi dermatofit. 6
2) Mekanisme Pertahanan Spesifik
Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat
membangkitkan baik imunitas humoral maupun cell-mediated
immunity (CMI). Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan
Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan
dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum
pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah
suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi
dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini
melibatkan antigen dermatofit dan CMI. 6
a) Antigen Dermatofit
Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik
menunjukkan spesies tertentu. Dua kelas utama antigen
dermatofit adalah: glikopeptida dan keratinase, di mana bagian
protein dari glikopeptida menstimulasi CMI, dan bagian
polisakarida dari glikopeptida menstimulasi imunitas humoral.
Antibodi menghambat stimulasi aktivitas proteolitik yang
disebabkan oleh keratinase, yang dapat memberikan respons
DTH yang kuat.
b) CMI
Pertahanan utama dalam membasmi infeksi dermatofit
adalah CMI, yaitu T cell-mediated DTH. Kekurangan sel T
dalam sistem imun menyebabkan kegagalan dalam membasmi
infeksi dermatofit. Penyembuhan suatu penyakit infeksi pada
hewan dan manusia, baik secara alamiah dan eksperimental,
15
berkorelasi dengan pembentukan respon DTH. Infeksi yang
persisten seringkali terjadi karena lemahnya respon
transformasi limfosit in vitro, tidak adanya respon DTH, dan
peningkatan proliferasi kulit dalam respon DTH. Reaksi DTH
di mediasi oleh sel Th1 dan makrofag, serta peningkatan
proliferasi kulit akibat respon DTH merupakan mekanisme
terakhir yang menyingkirkan dermatofit dari kulit melalui
deskuamasi kulit.
Respon sel Th1 yang ditampilkan dengan ciri pelepasan
interferon gamma (IFN-), ditengarai terlibat dalam pertahanan
pejamu terhadap dermatofit dan penampilan manifestasi klinis
dalam dermatofitosis.
Respons T Helper-1 (Th1). Sitokin yang diproduksi oleh
sel T (Sitokin Th1) terlibat dalam memunculkan respon DTH,
dan IFN- dianggap sebagai faktor utama dalam fase efektor
dari reaksi DTH. Pada penderita dermatofitosis akut, sel
mononuklear memproduksi sejumlah besar IFN- untuk
merespon infeksi dermatofit. Hal ini dibuktikan dengan
ekspresi mRNA IFN- pada lesi kulit dermatofitosis.
Sedangkan pada penderita dermatofitosis kronis, produksi IFN-
secara nyata sangat rendah yang terjadi akibat
ketidakseimbangan sistem imun karena respon Th2.
SelLangerhans.Infiltrat radang pada dermatofitosis
terutama terdiri dari sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang
dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel Langerhans CD1a+.
Sel Langerhans dapat menginduksi respon Sel Langerhans
dapat menginduksi respon sel T terhadap trichophytin, serta
bertanggung jawab dalam pengambilan dan pemrosesan antigen
pada respon Th1 pada lesi infeksi dermatofit.
Imunitas humoral. Pejamu dapat membentuk bermacam
antibodi terhadap infeksi dermatofit yang ditunjukkan dengan
teknik ELISA. Imunitas humoral tidak berperan menyingkirkan
16
infeksi, hal ini dibuktikan dengan level antibodi tertinggi pada
penderita infeksi kronis.
d. Beberapa Faktor Lain yang Berkaitan dengan Dermatofitosis
Produksi substansi mannan, yaitu suatu komponen glikoprotein
dinding sel jamur, dapat menekan respons inflamasi terutama pada
kondisi atopik atau kondisi lain. Mannan dapat menekan pembentukan
limfoblast, menghambat respon proliferasi limfosit terhadap berbagai
rangsangan antigenik, serta menghambat proliferasi keratinosit yang
memperlambat pemulihan epidermis.6
Tidak ada bukti yang menyokong adanya kerentanan secara
khusus pada kelompok golongan darah ABO, dan pada penderita
diabetes. Pada kondisi malnutrisi dan sindroma Chusing mudah
mengalami infeksi dermatofit dimungkinkan karena depresi imunitas
seluler. 4
Kemampuan spesies dermatofit tertentu untuk memproduksi
penicillin-like antibiotics memungkinkan jamur ini memanfaatkan
flora normal, Staphylococcus aureus dapat betindak sebagai ko-
patogen yang meningkatkan derajat infeksi dermatofit. Gambaran
klinis yang bervariasi pada infeksi dermatofit merupakan hasil dari
kombinasi kerusakan jaringan keratin secara langsung oleh karena
dermatofit, dan proses peradangan akibat respon pejamu.Pada bentuk
klasik tinea yang annular, tepi lingkaran lesi ditandai oleh adanya
infiltrat limfosit perivaskular, karena proses pembersihan jamur dari
stratum korneum akibat surveilans sistem imun, dan pertumbuhan
jamur yang sentrifugal. Kecepatan epidermal turn over berjalan
normal di dalam area cincin, namun pada daerah infeksi bisa menjadi
lebih dari 4 kali lipat. Pada tinea imbrikata karena
Trychophytonconcentricum, terjadi semacam gelombang pertumbuhan
jamur pada kulit dengan perluasan infeksi yang sentrifugal. 6
17
Gambar II.1. Epidermikosis dan trikhomikosis (A) Epidermomikosis,
dermatofit (titik dan garis merah) memasuki stratum korneum dengan
merusak lapisan tanduk dan juga menyebabkan respons radang (titik
hitam sebagai sel-sel radang) yang berbentuk eritema, papula, dan
vasukulasi. (B) Trikhomikosis pada batang rambut, ditunjukkan oleh titik
merah, menyebabkan rambut rusak dan patah, jika infeksi berlanjut
hingga ke folikel rambut, akan memberikan respons radang yang lebih
dalam, ditunjukkan oleh titik hitam, yang mengakibatkan reaksi radang
berupa nodul, pustulasi folikel, dan pembentukan abses .
kutikula dari pertengahan sampai akhir anagen, sebelum turunke folikel rambut
keratinisasi, tidak pernah memasuki daerah berinti. Ujung-ujung hifa pada daerah
batas ini disebut Adamsons Fringe dan dari sini hifa-hifa berproliferasi dan
membagi menjadi artrokonidia yang mencapai korteks rambut dan dibawa keatas
pada permukaan rambut. Rambut-rambut akan patah tepat diatas ringe tersebut,
Secara mikroskopik hanya artrokonidia ektotrik yang tampak pada rambut yang
18
Patogenesis infeksi endotrik (didalam rambut) sama kecuali kutikula tidak terkena
dan patahpada permukaan kepala dimana penyanggah dan dinding folikular hilang
meninggalkan titik hitam kecil (black dot). Infeksi endotrik juga lebih kronis
19
black dot. Biasanya disertai skuama yang difus, tetapi peradangannya
bervariasi dari minimal sampai folikulitis pustula atau lesi seperti furunkel
sampai kerion. Daerah yang terkena biasanya banyak atau poligonal
dengan batas yang tidak bagus, tepi seperti jari-jari yang membuka.
Rambut-rambut normal biasanya masih ada dalam alopesianya.
20
Gambar II.4. Tinea Kapitis Black Dot.2
21
patahan rambut atau pangkal rambut dicabut yang ditaruh di object glass
Potongan rambut pada kepala harus termasuk akar rambut, folikel rambut
dan skuama kulit. Skuama kulit akan terisi hifa dan artrokonidia, yang
batang rambut. Pada skuama kulit kepala dijumpai hifa dan artrospora.
Calcofluor immunofluorescent.
c. Kultur
dipakai adalah agar Sabourand. Jamur akan tumbuh dalam 5-14 hari
jamur dapat dilihat dari perubahan warna dari kuning ke merah yang
dimulai setelah 24-48 jam, serta dibaca jelas pada hari 3-7.
22
Tabel II.2. Karakteristik Dermatofita 3
23
3.2.7 Diagnosis Banding
24
a. Dermatitis seboroik
Peradangan yang biasanya terjadi pada sebelum usia 1 tahun atau sesudah
difus, tidak setempat. Rambut tidak patah. Distribusi umumnya di kepala, leher,
rambut dan kepala, alis mata, bulu mata, atau belakang telinga. Sering tampak
b. Dermatitis Atopik
Dermatitis Atopik yang berat dan luas mungkin mengenai kepala dengan
skuama kering putih dan halus. Khas tidak berhubungan dengan kerontokan
rambut, bila ada biasanya karena trauma sekunder karena garukan kepala yang
c.Psoriasis
Psoriasis kepala khas seperti lesi psoriasis dikulit, plak eritematos berbatas
jelas dan berskuama lebih jelas dan keperakan diatasnya, dan rambut-rambut tidak
patah. Kepadatan rambut berkurang di plak psoriasis juga meningkatnya
25
kerapuhan rambut dan kecepatan rontoknya rambut telogen. Sekitar 10% psoriasis
terjadi pada anak kurang 10 tahun dan 50% mengenai kepala, dan sering lesi
psoriasis anak terjadi pada kepala saja, maka kelainan kuku dapat membantu
diagnosis psoriasis.
26
Alopesia areata mempunyai tepi yang eritematus pada stadium
permulaan, tetapi dapat berubah kembali ke kulit normal. Juga jarang
ada skuama dan rambut-rambut pada tepinya tidak patah tetapi
mudah dicabut.
b. Trikotilomania
Khas adanya alopesia yang tidak sikatrik berbatas tidak jelas
karena pencabutan rambut oleh pasien sendiri. Umumnya panjang
rambut berukuran macam-macam pada daerah yang terkena.
Tersering di kepala atas, daerah oksipital dan parietal yang kontra
lateral dengan tangan dominannya. Kadang-kadang ada gambaran
lain dari kelainan obsesif-kompulsif misalnya menggigit-gigit kuku,
menghisap ibu jari atau ada depresi atau kecemasan. Dapat disertai
efek efluvium telogen yaitu berupa tumbuhnya kembali rambut yang
terlambat atau rontoknya rambut meningkat sebelum tumbuh
kembali. 2
27
c. Pseudopelade
Pseudopelade adalah alopesia sikatrik progresif yang pelan-
pelan, umumnya sebagai sindroma klinis sebagai hasil akhir dari satu
dari banyak proses patologis yang berbeda (yang diketahui maupun
yang tidak diketahui), walaupun klinis spesifik jenis tidak beradang
selalu dijumpai misalkan karena likhen planus, lupus eritematus
stadium lanjut. 2
28
sikatrik.
c. Pseudopelade
d. Dermatitis radiasi
3.2.8 Penatalaksanaan
29
a) Tablet microsize (125, 250, 500mg) 20 mg/Kg BB/hari, 1-2
kali/hari selama 6-12 minggu.
b) Tablet ultramicrosize (330mg) 15 mg/Kg BB/hari, 1-2
diberikan dengan dosis 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk
klinis dan mikologik, minimal 6-8 minggu sampai 3-4 bulan. Efek
ialah sefalgia yang didapati pada 15% penderita. Efeksamping yang lain
hepar.
kembar dempet. Kontra indikasi relatif pada pasien SLE, acute intermitten
30
inhibitor sistem enzim sitokrom CYP450-3A4. Selain itu juga dapat
rasg, gatal.
31
a) Shampo selenium zulfit 1% - 1,8% dipakai 2-3 kali/ minggu
didiamkan 5 menit baru dicuci.
b) Shampo ketokonazole 1% - 2% dipakai 2-3 kali/ minggu
didiamkan 5 menit baru dicuci.
c) Shampo povidine iodine dipakai 2 kali / minggu selama 15
menit.
Setelah menggunakan shampo diatas maka dianjurkan
memakai Hair Conditioner dioleskan dirambutnya dan didiamkan
satu menit baru dicuci air. Hal ini untuk membuat rambut tidak
kering. Juga shampo ini dipakai untuk karier asimptomatik yaitu
kontak dekat dengan pasien, seminggu 2 kali selama 4 minggu.
Karena asimptomatik lebih menyebarkan tinea kapitis disekolah
atau penitipan anak yang kontak dekat dengan karier daripada
anak-anak yang terinfeksi jelas.
2) Terapi Kerion
Pengobatan optimal kerion tidak jelas apakah perlu dengan
obat oral antibiotika dan kortikosteroid sebagai terapi ajuvan
dengan griseofulvin. Beberapa penelitian menyatakan:
a) Kerion lebih cepat kempes dengan kelompok yang menerima
griseofulvin saja
b) Sedangkan skuama dan gatal lebih cepat bersih/ hilang
dengan kelompok yang menerima ke 3 obat yaitu griseofuvin,
antibiotika dan kortikosteroid oral
c) Kortikosteroid oral mungkin menurunkan insiden sikatrik.
Juga bermanfaat menyembuhkan nyeri dan pembengkakan.
Dosis prednison 1 mg/Kg BB/pagi untuk 10-15 hari pertama
terapi.
d) Pemberian antibiotika dapat dipertimbangkan terutama bila
dijumpai banyak krusta.
c. Tatalaksana terkini
1) Sistemik
32
Tabel II.3. Pilihan Obat Sistemik pada Tinea Kapitis. 7
33
singkat.Akan tetapi, obat-obat tersebut lebih mahal dibandingkan
dengan griseofulvin.Sehingga pemilihan obat bergantung juga
pada faktor individu pasien terkait kepatuhan dan status ekonomi
pasien. 7
2) Topikal
Pengobatan topikal secara adjuvant, seperti selenium
sulfide atau shampo ketoconazole maupun krim atau losion dapat
mengurangi penyebaran spora yang dapat memperparah penyakit
dan reinfeksi serta mengoptimalkan pengobatan bersama dengan
antifungi oral. Fungisida topical diberikan pada lesi sehari sekali
selama 1 (satu) minggu. Shampo digunakan pada kulit kepala dan
rambut selama 5 menit, 2 kali sehari, untuk 2-4 minggu atau 3
kali dalam seminggu pada pasien dengan klinis dan mikologis
yang telah menunjukkan kesembuhan. Pemberian fungisida
tropikal dapat dilanjutkan untuk 1 (satu) minggu kemudian. 7
3) Follow-up
Pemeriksaan secara klinis dan mikologis dapat dilakukan 2-4
minggu. Pengobatan dapat dihentikan setelah kultur menjadi
negatif atau rambut telah tumbuh kembali. 7
3.2.9 Prognosis
Tinea kapitis tipe Gray patch sembuh sendirinya dengan waktu, biasanya
34
pasien menjadi vektor untuk menyebarkan penyakit dalam keluarga dan
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien datang dengan keluhan gatal pada kulit kepala sejak 3 minggu yang
lalu.Gatal terutama dirasakan pada kulit kepala pelipis sebelah kiri.Gatal
dirasakan terus menerus dan mengganggu aktivitas, membuat pasien sering
menggaruk-garuk kepalanya.Gatal bertambah jika berkeringat, sedikit berkurang
jika mandi berkeramas.Awalnya timbul bercak kemerahan pada kulit kepala,
berukuran kecil yang kemudian semakin meluas menjadi bercak sebesar koin
berwarna pucat dan bersisik.Rambut di sekitarnya menjadi menjadi kusam, rapuh
dan mudah patah sehingga lama-lama terjadi kebotakan setempat di daerah kulit
kepala tersebut.Pasien mandi 2x sehari, namun jarang berkeramas, paling sering
1x/minggu.
Pemeriksaan fisik ditemukan Status Lokalis (Dermatologis) berupa papul-
papul miliar dengan skuama dan krusta di sekitar muara rambut, tampak alopesia
setempat, rambut di sekitar keabuan dan rapuh, lokasi pada scalp regio temporalis
sinistra. Status dermatologis mendukung pada diagnosis tinea kapitis, khususnya
tipe gray patch.
Tinea kapitis (Ringwormof the scalp and hair, tinea tonsurans, herpes
tonsurans) adalah infeksi dermatofit pada kepala, alis mata dan bulu mata karena
spesies Microsporum dan Trichophyton. Tinea kapitis tipe Gray Patch ditandai
dengan papula-paula milier sekitar muara rambut, rambut mudah putus,
meninggalkan alopesia yang berwarna cokelat.Biasanya disebabkan oleh
dermatofita genus Microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak.
35
Pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung diagnosis diantaranya adalah
lampu Wood, KOH, dan kultur.
Pengobatan pasien yaitu menggunakan obat sistemik dan topikal.
Pengobatan sistemik yang diberikan adalah griseofulvin 250 mg dan cetirizine 5
mgdalam bentuk puyer, sedangkan pengobatan topikal berupa shampo
ketoconazole 2%.Griseofulvin secara teori merupakan gold standar pada
pengobatan tine kapitis.Griseofulvin bersifat fungistatik, berikatan dengan protein
mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur.Cetirizine 5 mg merupakan obat
antihistamin untuk mengurangi rasa gatal yang timbul. Cetirizine bekerja sebagai
anatagonis reseptor H1 secara selektif, yang akan menghambat mediator histamin
dan menurunkan migrasi sel inflamasi.Ketoconazole merupakan antifungi
golongan azol yang bekerja dengan menghambat biosintesis ergosterol.Sediaan
shampo sering diberikan sebagai terapi adjuvan pada tinea kapitis. Terapi ajuvan
lain yang dapat diberikan jika shampo ketoconazole tidak tersedia adalah krim
ketoconazole atau krim derivat imidazole, seperti miconazol.Edukasi yang
diberikan adalah menjaga kebersihan kepala maupun badan, edukasi kepatuhan
obat dan terapi, serta edukasi terapi yang memerlukan jangka waktu yang cukup
lama.
Pasien juga dianjurkan kontrol seminggu kemudian untuk mengetahui
obyektif yang masih ada. Prognosis pasein ini baik. Penyakit ini dapat sembuh
tetapi perlu adanya edukasi bahwa penyakit ini dapat kambuh kembali jika
36