Anda di halaman 1dari 18

ABORTUS HABITUALIS

A. DEFINISI
Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan, yaitu sebelum janin mencapai berat 500 gram atau
kurang dari 20 minggu.1,2,3,4,5,6
Abortus habitualis (Recurrent Miscarriage= recurrent spontaneous
abortion = recurrent pregnancy loss) didefinisikan sebagai hilangnya hasil
konsepsi 3 kali atau lebih berturut-turut pada usia kehamilan 20 minggu atau
berat badan bayi <500 gram. Kebanyakan wanita dengan abortus habitualis
kehilangan janin pada masa embrionik atau pada awal pertumbuhannya, dan
sangat jarang yang mengalami abortus setelah usia kehamilan 14 minggu.
Walaupun definisi abortus habitulis mencakup abortus yang terjadi sebanyak tiga
kali atau lebih, banyak pula yang berpendapat bahwa keguguran yang dialami
sebanyak dua kali berturut-turut dianggap sebagai abortus habitualis. Hal ini
dikarenakan risiko untuk mengalami keguguran berulang setelah dua kali abortus
akan sama dengan risiko setelah mengalami tiga kali abortus (kira-kira 30%).
Walaupun demikian, keberhasilan kehamilan dapat mencapai 50% bahkan setelah
enam kali keguguran.1,5
Abortus habitualis seharusnya dibedakan dengan abortus sporadik.
Abortus sporadik menunjukkan bahwa kejadian abortus yang terjadi diselingi
dengan kehamilan aterm dimana wanita tersebut melahirkan bayi yang sehat.
Yang lainnya membedakan abortus rekuren primer (tidak ada kehamilan yang
berhasil) dengan abortus rekuren sekunder (kehamilan sebelumnya bayi lahir
hidup) dimana kelompok terakhir tersebut 32% tidak berisiko mengalami abortus
berulang sampai abortus tiga kali berturut-turut.5

B. EPIDEMIOLOGI
Kebanyakan penelitian menunjukkan angka keguguran spontan 10-15%.
Namun, angka keguguran pada awal kehamilan sebenarnya hampir mencapai 50%
karena tingginya jumlah kehamilan yang tidak diketahui dalam 2-4 minggu

1
setelah pembuahan. Sebagian besar abortus terjadi karena kegagalan pembentukan
gamet (misalnya, disfungsi sperma atau oosit). Dalam sebuah studi klasik oleh
Wilcox, dkk pada tahun 1988, 221 perempuan diamati selama 707 siklus
menstruasi total. Sebanyak 198 kehamilan dapat dicapai. Dari jumlah tersebut, 43
(22%) yang mengalami keguguran sebelum onset menstruasi, dan lain 20 (10%)
secara klinis diketahui mengalami abortus. Data dari berbagai penelitian
menunjukkan bahwa setelah 1 abortus spontan, risiko abortus selanjutnya adalah
sekitar 15%. Namun, jika 2 abortus spontan terjadi, risiko berikutnya meningkat
menjadi sekitar 30%. Angka ini lebih tinggi bagi perempuan yang belum memiliki
setidaknya 1 bayi lahir hidup. Beberapa kelompok telah memperkirakan bahwa
risiko abortus setelah 3 abortus berturut-turut adalah 30-45%, yang sebanding
dengan risiko pada wanita yang mengalami abortus 2 kali. Hal ini membuat
banyak kontroversi tentang waktu evaluasi diagnostik abortus habitualis. Banyak
spesialis memilih untuk menetapkan definisi abortus habitualis setelah 2 abortus
berturut-turut dibandingkan 3 kali berturut-turut.3
Pada umumnya penderita tidak sukar untuk hamil, tetapi kehamilannya
berakhir sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus
habitualis pada semua kehamilan.1
Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada
seorang wanita yang mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%.
Sebaliknya Warton dan Fraser memberikan prognosis yang lebih baik yaitu 25,9%
dan 39%.1

C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Penyebab terjadinya abortus habitualis sama dengan abortus sporadik,
walaupun hubungan insidensi berbeda antara keduanya. Sebagai contoh, abortus
pada trimester pertama kehamilan memiliki insiden kelainan genetik yang rendah.
Kariotipe normal ditemukan pada setengah kasus abortus rekuren, tetapi hanya
seperempat saja pada abortus sporadik. Waktu terjadinya abortus habitualis dapat
menggambarkan kausanya. Faktor genetik paling sering menyebabkan keguguran

2
embrionik, sedangkan kelainan autoimun atau anatomi lebih sering menyebabkan
abortus pada trimester kedua kehamilan.5
Abortus habitualis merupakan kondisi yang heterogen dan dapat lebih
dari satu faktor penyebabnya.6
1. Faktor Epidemiologi
a) Usia Ibu
Risiko abortus meningkat dengan bertambahnya usia ibu, tanpa
memperhatikan riwayat reproduksi, sebagai akibat dari kelainan
kromosom pada hasil konsepsi yang berhubungan dengan peningkatan
usia atau penurunan fungsi uterus dan ovarium.6,7 Berikut ini merupakan
hasil suatu studi tentang hubungan antara usia dengan risiko abortus
dalam kehamilan:6
- 13,3% pada usia 12-19 tahun
- 11,1% pada usia 20-24 tahun
- 11,9% pada usia 25-29 tahun
- 15% pada usia 30-34 tahun
- 24,6% pada usia 35-39%
- 51% usia 40-44 tahun
- 93,4% pada usia 45 tahun ke atas
Baru-baru ini peningkatan usia ayah dianggap sebagai suatu faktor risiko
terjadinya abortus. Suatu penelitian yang dilakukan di Eropa melaporkan
bahwa risiko abortus tertinggi ditemukan pada pasangan dimana usia
wanita 35 tahun dan pria 40 tahun.6
b) Riwayat reproduksi
Riwayat reproduksi merupakan faktor yang dapat memprediksi
suatu kehamilan di masa depan. Risiko abortus habitualis meningkat
setelah suatu abortus yang berulang terjadi (kira-kira 40%). Salah satu
yang penting dari riwayat reproduksi ini adalah riwayat abortus
sebelumnya. Sebagai contoh, primigravida dan wanita yang melahirkan
anak hidup memiliki 5% kemungkinan abortus pada kehamilan

3
berikutnya yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan
wanita memiliki riwayat abortus pada kehamilan sebelumnya (19%).6,7
2. Faktor Genetik
Kelainan kromosom pada embrio menyebabkan abortus sporadik pada
trimester pertama sekitar 50% dan 29% - 57% kejadian abortus pada
pasangan dengan abortus habitualis. Walaupun demikian, banyak studi
menggunakan analisis sitogenetik konvensional yang hanya mengidentifikasi
aberasi/penyimpangan kromosom. Baru-baru ini analisis jaringan dengan
hibridisasi genomik, suatu teknik yang mendeteksi kelainan kromosom tanpa
memerlukan kulturisasi menunjukkan bahwa analisis sitogenetika
konvensional tidak menganggap penting insiden anomali kromosom dan
bahwa kontribusi kromosom abnormal terhadap kejadian abortus pada
trimester pertama hampir 70%.6
a) Kelainan penyusunan kromosom parental
Abortus adalah kasus yang sangat sering terjadi dan dianggap
sebagai suatu seleksi alam untuk memilih keturunan yang normal.
Kenyataannya, ada studi yang mengatakan bahwa sedikitnya 50%
abortus disebabkan oleh karena kelainan kromosom.7 Sekitar 3% - 5%
pasangan dengan abortus habitualis, salah satu pasangannya membawa
kelainan kelainan struktural kromosom yang seimbang. Wanita lebih
mungkin menjadi carrier dibandingkan dengan laki-laki. Tipe kelainan
kromosom parental yang paling banyak adalah translokasi seimbang,
baik timbal balik (resiprokal) atau Robertsonian. Pada translokasi timbal
balik, segmen distal terbagi menjadi kromosom yang saling bertukar.
Pada translokasi Robertsonian, dua kromosom akrosentrik bersatu pada
wilayah sentromer dengan hilangnya lengan pendek. Walaupun carrier
translokasi seimbang ini memiliki fenotip yang normal, kehamilannya
berisiko tinggi berakhir sebagai abortus dan dapat mengakibatkan
lahirnya anak dengan cacat bawaan atau cacat mental karena pengaturan
kromosom yang tidak seimbang. Risiko abortus dipengaruhi oleh ukuran
dan isi genetik dari segmen kromosom yang diatur kembali.3,6

4
Translokasi yang seimbang menyebabkan abortus rekuren.
Translokasi yang tidak seimbang dapat menyebabkan abortus, anomali
fetus, atau bayi lahir mati. Walaupun demikian, prognosisnya masih baik
dan 85% pasangan dapat memiliki bayi yang sehat. Dengan demikian,
riwayat abortus atau anomali fetus pada trimester kedua seharusnya
dicurigai adanya kelainan pola kromosom pada salah satu pasangan.1,5

Gambar 1. Translokasi resiprokal dan Robertsonian6

b) Aneuploidi dan poliploidi embrionik


Aneuploidi disebabkan oleh nondisjungsi selama meiosis yang
menghasikan kromosom tambahan (trisomi) atau hilangnya kromosom
(monosomi). Triploidi dan tetraploidi terkait dengan fertilisasi yang tidak
normal. Triploidi biasanya terjadi karena fertilisasi oosit oleh dua
spermatozoa atau akibat kegagalan salah satu bagian pematangan baik
pada oosit maupun pada spermatozoa. Tetraploidi (empat kali jumlah
haploid) biasanya disebabkan kegagalan untuk menyelesaikan pemisahan
zigotik pertama. Pada pasangan dengan abortus habitualis, analisis
sitogenetik konvensional melaporkan insiden trisomi, poliploidi dan
monosomi X pada jaringan adalah 30%, 9% dan 4%.3,6,7

5
Kebanyakan kelainan kromosom utama adalah trisomi autosomal,
polipoid dan monosomi X. Kebanyakan kelainan trisomi menunjukkan
kesalahan tahap meiosis sebagai efek peningkatan usia ibu, dengan
kromosom 16 dan 22 paling sering terlibat. Sekitar 30% abortus spontan
karena kelainan kromosom adalah tipe triploid dan tetraploid. Fetus yang
triploid biasanya memiliki kromosom 69, XXY atau 69, XXX dan
berasal dari fertilisasi dispermik seperti yang telah disebutkan di atas.
Beberapa hasil konsepsi triploid muncul sebagai mola parsial yang
ditandai dengan kantong kehamilan yang besar dan degenerasi kistik
plasenta. Tetraploid jarang berkembang di bawah usia kehamilan 4 atau 5
minggu. Monosomi X merupakan kelainan kromosom tunggal yang
paling sering terjadi di antara aborsi spontan, kira-kira 15%-20% dari
seluruh kasus abortus.3,6,7
Risiko monosomi kromosom seks dan konsepsi polipoid tidak
meningkat sejalan dengan usia ibu. Beberapa pasangan dengan riwayat
abortus habitualis berisiko untuk mengalami aneuploidi rekuren.
Kariotipe embrionik pada kehamilan sebelumnya dapat membantu
memprediksi tingkat abortus. Wanita dengan kariotipe embrio normal
lebih sering mengalami keguguran dibandingkan dengan kariotipe
embrionik abnormal yang menunjukkan bahwa mekanisme lain selain
kromosom fetal yang abnormal dapat menjelaskan terjadinya beberapa
kasus abortus habitualis.3,5,6,7
c) Mekanisme molekuler.
Kemajuan terbaru teknologi genetika molekuler menyoroti
pentingnya mekanisme tertentu seperti mutasi gen tunggal dan inaktivasi
kromosom X pada etiologi abortus. Peran mutasi gen tunggal yang
menyebabkan kelainan pada embrio, perkembangan plasenta atau jantung
penting untuk diteliti. Wanita dengan inaktivasi kromosom X yang tidak
simetris mungkin membawa gen resesif terkait X pada janin yang
sifatnya mematikan sehingga rentan terjadi abortus berulang.

6
3. Kelainan anatomi
Sejumlah kelainan anatomi traktus genitalia mempengaruhi abortus
habitualis. 15% wanita dengan tiga atau lebih abortus secara berturut-turut
memiliki kelainan uterus baik yang bersifat kongenital ataupun yang didapat.
Kelainan uterus yang didapat misalnya sinekia intrauterine (sindrom
Asherman), leiomioma dan inkompeten serviks. Kelainan saat perkembangan
misalnya uterus bersepta, bikornuata dan unikornuata.5
a) Malformasi uterus kongenital
Malformasi uterus kongenital merupakan akibat dari gangguan
perkembangan, fusi, kanalisasi, dan reabsorpsi septal duktus Mullerian.
Peranan kelainan kongenital uterus terhadap abortus habitualis masih
belum jelas karena prevalensi yang sesungguhnya dan implikasi
reproduksi pada kelainan uterus pada populasi umum tidak diketahui.
Pada pasien dengan abortus berulang, frekuensi pasien dengan anomali
uterus bervariasi dari 1,8% - 37,6%. Variasi ini terjadi akibat perbedaan
dalam kriteria dan teknik yang digunakan untuk mendiagnosisnya dan
fakta bahwa studi yang dilakukan melibatkan wanita dengan dua, tiga
atau lebih riwayat abortus pada tahap awal dan akhir kehamilan.
Prevalensi kelainan uterus paling tinggi ditemukan pada wanita dengan

Gambar 2. Jenis-jenis anomali mullerian6

7
riwayat abortus terakhir yang mencerminkan prevalensi serviks
inkompeten pada wanita dengan malformasi uterus.6
Dengan menggunakan USG tiga dimensi sebagai alat diagnostik,
sebuah studi prospektif baru-baru ini melaporkan bahwa frekuensi
anomali uterus adalah sekitar 23,8% pada wanita dengan abortus
habitualis pada trimester pertama dibandingkan dengan frekuensi 5,3%
pada wanita dengan risiko rendah. Selanjutnya, distorsi anatomi uterus
lebih parah ditemukan pada wanita dengan abortus berulang. Penemuan
ini menunjukkan bahwa anomali kongenital uterus dapat menyebabkan
terjadinya abortus pada sebagian kecil wanita dengan abortus habitualis.
Pada suatu studi retrospektif, pasien dengan anomali uterus yang tidak
ditangani cenderung memiliki risiko tinggi abortus dan partus prematurus
dan tingkat partus aterm hanya 50% saja.6
Retroversio uteri, mioma uteri atau kelainan bawaan uterus dapat
menyebabkan abortus. Tetapi, harus diingat bahwa hanya retroversio
uteri gravid inkarserata atau mioma submukosa yang memegang peranan
penting.1
b) Serviks inkompeten
Serviks inkompeten merupakan penyebab abortus habitualis pada
pertengahan trimester kehamilan (trimester kedua). Serviks inkompeten
adalah ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan suatu kehamilan
oleh karena defek fungsi maupun struktur pada serviks. Serviks
inkompeten yang parah menyebabkan abortus pada midtrimester dan
derajatnya lebih rendah pada kasus dengan partus prematurus. Insiden
serviks inkompeten masih belum diketahui secara pasti karena
diagnosisnya ditegakkan secara klinis dan belum ada kriteria objektif
yang disetujui secara umum untuk mendiagnosis keadaan tersebut.
Secara kasar, suatu studi epidemiologi menunjukkan insiden terjadinya
serviks inkompeten adalah sekitar 0,5% pada populasi pasien obstetri
secara umum dan 8% pada wanita dengan abortus midtrimester
sebelumnya. Meskipun beberapa kasus serviks inkompeten melibatkan

8
inkompeten mekanik seperti hipoplasia serviks kongenital, riwayat
operasi serviks, dan trauma serviks yang luas, kebanyakan wanita dengn
diagnosis klinis serviks inkompeten memiliki anatomi serviks yang
normal. Pematangan serviks yang dini mungkin merupakan jalur akhir
dari berbagai proses patofisiologi seperti infeksi, kolonisasi, inflamasi
dan predisposisi genetik atau hormonal.1,6,7
Serviks merupakan barier mekanik yang memisahkan kehamilan
dari flora bakteri vagina. Banyak pasien dengan dilatasi serviks pada
midtrimester yang asimptomatis memiliki bukti adanya infeksi
intrauterine subklinis. Tidak jelas apakah ini merupakan invasi mikroba
akibat dilatasi serviks yang prematur. Ketika terjadi pematangan serviks
yang prematur, barier mekanik terganggu dan selanjutnya dapat
menyebabkan proses patologis (misalnya kolonisasi pada saluran kemih
bagian atas) yang berakhir pada kelahiran prematur spontan. Pada serviks
inkompeten yang berhubungan dengan kelainan mekanik, penanganan
suportif misalnya cerclage suture dapat mencegah infeksi dan dapat
memperpanjang masa kehamilan. Sebaliknya, jika perubahan pada
serviks adalah akibat proses non mekanik, maka cerclage menjadi kurang
efektif dan bahkan berbahaya dalam beberapa kasus karena kemungkinan
adanya komplikasi inflamasi dan infeksi.6
c) Fibroid
Jaringan fibroid pada uterus telah lama dihubungkan dengan
masalah reproduksi termasuk abortus. Hal tersebut dipengaruhi oleh
ukuran dan lokasi fibroid. Meskipun mekanisme yang terjadi belum
diketahui secara pasti, teori patofisiologi yang selama ini dipahami
adalah distorsi mekanik kavum uteri, vaskularisasi abnormal,
perkembangan endometrium yang abnormal, inflamasi endometrium,
lingkungan endometrium yang abnormal, dan kelainan struktural dan
kontraktil miometrium. Bukti adanya hubungan antara fibroid uterus dan
abortus habitualis bersifat retrospektif dan tidak cukup untuk menentukan
perbedaan dalam hasil kehamilan atau menilai efek ukuran dan lokasi

9
fibroid. Data terbaru dari pasien dengan infertilitas menunjukkan bahwa
hanya fibroid pada submukosa atau intrakavitas berhubungan dengan
tingkat implantasi yang menurun dan peningkatan kasus abortus. Fibroid
subserosa tidak memiliki efek merusak dan peranan fibroid intramural
yang tidak mendistorsi kavum uteri masih kontroversial.6
d) Adhesi intrauterin
Defek pada uterus dapat menyebabkan kesulitan reproduksi pada
seorang wanita, termasuk kejadian abortus pada trimester pertama dan
kedua kehamilan, persalinan preterm dan presentasi fetal yang abnormal.
Kelainan anatomi ini dapat bersifat kongenital, termasuk yang
berhubungan kelainan dietilstilbestrol, atau yang bersifat didapat seperti
adhesi intrauterin atau leiomyomata.7
Perlengketan atau adhesi intrauterin (sindrom Asherman) terjadi
akibat trauma intrauterin misalnya setelah kuretase endometrium yang
berlebihan karena retensi hasil konsepsi. Adhesi intrauterin berhubungan
erat dengan abortus rekuren. Mekanisme yang diduga terjadi adalah
adanya penurunan volume kavum uteri dan fibrosis serta inflamasi pada
endometrium sehingga terjadi kelainan plasentasi dan menyebabkan
abortus.6
4. Faktor endokrin
a) Defek Fase Luteal dan Defisiensi Progesteron
Defek fase luteal disebut juga defisiensi progesteron merupakan
suatu keadaan dimana korpus luteum mengalami kerusakan sehingga
produksi progesteron tidak cukup dan mengakibatkan kurang
berkembangnya dinding endometrium. Oleh karena progesteron
dibutuhkan untuk keberhasilan suatu implantasi dan mempertahankan
suatu kehamilan muda maka defisiensi progesteron selama fase luteal
berhubungan dengan kejadian abortus habitualis. Namun, kriteria standar
untuk diagnosis secara tepat dan efek dari defek fase luteal sebagai
penyebab abortus berulang masih kurang. Variasi hormon yang sering
berubah dan sekresi pulsatil menyebabkan pengukuran serum progesteron

10
tidak dapat digunakan dan interpretasi hasil biopsi endometrium rentan
terhadap variasi sampel. Tetapi ada penelitian yang menunjukkan bahwa
penanganan pada defek fase luteal telah meningkatkan keberhasilan suatu
kehamilan pada wanita dengan abortus habitualis.5,6
b) Sindrom ovarium polikistik, Hipersekresi LH dan Hiperandrogenemia
Sindrom ovarium polikistik terkait dengan infertilitas dan abortus.
Dua mekanisme yang mungkin menyebabkan hal tersebut terjadi adalah
peningkatan hormon LH dan efek langsung hiperinsulinemia terhadap
fungsi ovarium. Ovarium polikistik, peningkatan kadar LH dan
hiperandrogenemia merupakan ciri klasik suatu sindrom ovarium
polikistik dan telah dilaporkan sebagai faktor risiko terjadinya abortus
habitualis. Jika terjadi peningkatan konsentrasi hormon LH akan
menyebabkan abortus dan inhibisi hormon tersebut selama siklus induksi
ovulasi gonadotropin dapat menurunkan angka abortus. Walaupun
ovarium polikistik secara signifikan sering ditemukan pada pasien
dengan abortus berulang, ovarium polikistik tersebut tidak dapat
memprediksi terjadinya kehamilan pada wanita yang ovulatorik dengan
riwayat abortus berulang.5,6
Tingginya kadar LH atau testoteron tidak berhubungan dengan
kehamilan pada seorang wanita ovulatorik dengan riwayat abortus
habitualis. Supresi kadar LH yang tinggi tidak selalu meningkatkan
angka kelahiran hidup dan kehamilan pada wanita dengan pengggunaan
placebo sama dengan wanita yang memiliki kadar LH yang normal.6
Baru-baru ini, ditemukan hubungan antara sindrom ovarium
polikistik dan resistensi insulin yang menyebabkan kompensasi
hiperinsulinemia sebagai faktor risiko abortus habitualis. Resistensi
insulin dihubungkan dengan tingginya jumlah abortus di antara wanita
dengan sindrom ovarium polikistik yang sedang menjalani induksi
ovulasi dibandingkan dengan yang tidak menderita resistensi insulin.
Laporan terdahulu menyarankan penggunaan metformin (yang
meningkatkan sensitivitas terhadap insulin) pada wanita dengan sindrom

11
ovarium polikistik selama induksi ovulasi dan kehamilan muda sehingga
dapat meningkatkan penerimaan hasil konsepsi oleh dinding
endometrium dan mengurangi risiko abortus di masa mendatang.6
c) Faktor Endokrin Sistemik
Diabetes melitus dan penyakit tiroid dihubungkan dengan abortus,
tetapi masih belum ada bukti langsung bahwa keduanya berperan pada
kejadian abortus habitualis. Wanita dengan diabetes di mana kadar
HbA1c yang tinggi pada trimester pertama berisiko mengalami abortus
dan malformasi fetal. Sebaliknya, diabetes melitus yang terkontrol bukan
merupakan faktor risiko abortus rekuren begitu juga dengan disfungsi
tiroid yang telah diterapi. Prevalensi DM dan disfungsi tiroid pada wanita
abortus habitualis sama dengan yang diharapkan pada populasi umum.5,6
Autoantibodi tiroid tidak berhubungan dengan abortus habitualis.
Wanita dengan abortus habitualis tidak lebih cenderung dibandingkan
dengan wanita subur yang juga memiliki antibodi tiroid dalam sirkulasi
darahnya. Adanya antibodi tiroid pada wanita eutiroid dengan riwayat
abortus habitualis tidak mempengaruhi kehamilannya mendatang. Oleh
karena belum jelas apakah penyakit tiroid menyebabkan terjadinya
abortus habitualis atau tidak, American College of Obstetricians and
Gynecologists (2001) menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi screening
terhadap wanita yang asimptomatik. Sebaliknya, hipotiroidisme mungkin
sulit untuk dideteksi secara klinis, tes yang dilakukan tidak mahal dan
pengobatannya memiliki efektivitas yang tinggi. Oleh karena itu,
screening TSH direkomendasikan pada wanita dengan abortus
habitualis.5,6
5. Faktor Koagulasi dan Imunologi
a) Trombofilia
Sistem hemostatis berperan penting dalam pembentukan dan
pemeliharaan suatu kehamilan. Defek trombofilia adalah kelainan sistem
koagulasi yang mengarah ke trombosis. Selama beberapa tahun terakhir,
peranan sindrom antifosfolipid (APS) suatu defek trombofilik telah

12
ditetapkan dan ditangani sebagai penyebab abortus habitualis dan
berperan potensial terhadap defek trombofilik lainnya (didapat maupun
diturunkan secara genetik). Hipotesis yang diduga adalah bahwa pada
beberapa kasus abortus habitualis dan komplikasi akhir dari suatu
kehamilan disebabkan oleh respon hemostatik yang berlebihan selama
kehamilan, menyebabkan terjadinya trombosis pada pembuluh darah
uteroplasenta dan selanjutnya dapat mengakibatkan kematian janin.6
b) Antibodi Antifosfolipid
Antibodi antifosfolipid merupakan kelompok dari autoantibodi
heterogen yang bereaksi dengan epitop pada protein yang bergabung
dengan fosfolipid bermuatan negatif. Pada etiologi abortus habitualis,
terdapat 2 penyakit dengan antibodi antifosfolipid yaitu lupus
antikoagulan dan antibodi antikardiolipin. Sindrom antifosfolipid (APS)
merupakan hubungan antara antibodi antifosfolipid dan morbiditas pada
kehamilan atau trombosis vaskular. Morbiditas suatu kehamilan
mencakup abortus rekuren pada trimester pertama, satu atau lebih
kematian janin yang secara morfologi normal setelah 10 minggu gestasi
dan satu atau lebih kelahiran prematur sebelum 34 minggu gestasi akibat
preeklampsia berat, eklampsia atau insufisiensi plasenta. APS pada
pasien dengan penyakit inflamasi kronik, seperti SLE disebut sebagai
APS sekunder. Sebaliknya, APS primer mempengaruhi pasien dengan
tidak adanya penyakit jaringan ikat sistemik yang mendasarinya.6
Karakterisitik utama APS adalah abortus rekuren. Pada 15%
wanita dengan abortus berulang, aPLs (antikoagulan lupus dan
antikardiolipin IgG atau IgM) ditemukan. Patogenesis aPL terkait dengan
trombosis plasenta. Namun, trombosis sendiri tidak spesifik ataupun
bersifat universal dan penelitian terbaru memberikan wawasan baru
tentang mekanisme aPL dalam hubungannya dengan kehamilan yang
gagal. Cacat desidualisasi pada endometrium dan kelainan fungsi dan
diferensiasi tropoblas dini mungkin merupakan mekanisme patologis
utama.

13
c) Defek Trombofilik yang diturunkan
Penyakit ini merupakan kelainan faktor pembekuan yang
diturunkan secara genetik yang dapat menyebabkan trombosis patologis
akibat ketidakseimbangan antara jalur pembekuan darah dan
antikoagulasi. Teori yang paling banyak menjelaskan tentang hal ini
adalah resistensi terhadap protein C yang disebabkan oleh mutasi faktor
V Leiden atau yang lainnya, penurunan atau tidak adanya aktivitas
antitrombin III, mutasi gen protrombin dan mutasi gen untuk methylene
tetrahydrofolate reductase yang menyebabkan peningkatan kadar
homosistein serum (hiperhomosisteinemia).5,6
d) Imunologi
Yetman dan Kutteh melaporkan bahwa sekitar 15% dari 1000
wanita dengan abortus habitualis memiliki faktor autoimun. Terdapat 2
patofisiologi primer yang menjelaskan kejadian tersebut yaitu teori
autoimun (imunitas yang menyerang diri sendiri) dan teori alloimun
(imunitas yang menyerang pihak lain).5
1) Faktor autoimun. Abortus lebih sering terjadi pada wanita dengan
SLE. Kebanyakan dari wanita tersebut memiliki antibodi
antifosfolipid yang merupakan kelompok autoantibody yang
mengikat fosfolipid muatan negatif, phospholipids-binding proteins,
atau kombinasi keduanya. Antibodi tersebut dapat juga ditemukan
pada wanita tanpa lupus. Memang >5% wanita dengan kehamilan
normal, antikoagulan lupus (LAC) dan antibodi antikardiolipin
(ACA) berhubungan dengan abortus berulang. Dibandingkan dengan
kejadian abortus, LAC dan ACA lebih banyak ditemukan pada
kematian fetus setelah pertengahan trimester kehamilan. Oleh sebab
itu, kematian fetus merupakan salah satu kriteria diagnosis sindrom
antifosfolipid. Wanita yang memiliki riwayat abortus dan kadar
antibodi yang tinggi mungkin berpotensi mengalami abortus
habitualis sekitar 70%. 5

14
2) Faktor alloimun. Kehamilan yang normal memerlukan pembentukan
faktor yang mencegah rejeksi maternal terhadap antigen asing fetus
yang diperoleh secara paternal. Seorang wanita tidak akan
menghasilkan faktor penghambat serum ini jika dia memiliki HLA
yang mirip dengan suaminya. Gangguan alloimun lainnya juga
menyebabkan abortus habitualis temasuk perubahan aktivitas sel
natural killer dan peningkatan antibodi limfositotoksik. Berbagai
terapi untuk memperbaiki gangguan ini telah disarankan untuk
dilakukan termasuk imunisasi dengan menggunakan sel paternal,
third party donor leukocytes, infus membran trofoblast dan
immunoglobulin intravena. Kebanyakan dari terapi imunologi ini
membahayakan pasien sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan.
Salah satu terapi yang mungkin dapat dilakukan adalah terapi
immunoglobulin intravena untuk abortus habitualis sekunder (wanita
dengan abortus habitualis setelah memiliki anak sebelumnya).5
6. Faktor Lain
a) Infeksi
Peranan infeksi terhadap suatu kejadian abortus berulang masih
rendah. Beberapa infeksi berat yang menyebabkan bakteremia atau
viremia dapat menyebabkan keguguran sporadik. Untuk dapat
menyebabkan terjadinya abortus berulang agen infektif tersebut harus
menetap dalam traktus genitalis dan dapat menghindari deteksi atau tidak
menyebabkan gejala yang cukup untuk mengganggu host.
Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes dan infeksi Lister tidak
memenuhi kriteria tersebut. Walaupun vaginosis bakterial pada trimester
pertama dilaporkan sebagai faktor risiko keguguran pada trimester kedua
dan kelahiran prematur, bukti adanya hubungannya dengan abortus pada
trimester pertama masih belum konsisten. Pada wanita dengan riwayat
abortus pada midtrimester atau partus prematurus, deteksi dan terapi
untuk vaginosis bakterial pada awal masa kehamilan dapat menurunkan
risiko prematuritas, KPD dan BBLR.6

15
b) Faktor Lingkungan
Abortus habitualis dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan
seperti paparan terhadap logam berat, pelarut organik, alkohol dan radiasi
ionisasi yang dikenal sebagai teratogen lingkungan. Kafein, merokok dan
hipertermia dicurigai sebagai teratogen. Wanita hamil yang sering
terpapar akan berisiko untuk mengalami abortus.6,8

D. PATOLOGI
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian
diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil
konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya sehingga merupakan benda asing
dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan
isinya.1

E. DIAGNOSIS
Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis.
Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia yang menunjukkan
gambaran klinik yang khas yaitu dalam kehamilan trimester kedua terjadi
pembukaan serviks tanpa rasa mulas, ketuban menonjol dan pada suatu saat
pecah. Kemudian timbul mulas yang selanjutnya diikuti dengan pengeluaran janin
yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila penderita datang dalam trimester
pertama, maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan pemeriksaan vaginal
tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia mengeluarkan banyak
lendir dari vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan
dengan histerosalpingografi yaitu ostium uteri internum melebar >8 mm.1,8

F. PENANGANAN
Penyebab abortus habitualis sebagian besar tidak diketahui sehingga
penanganannya terdiri atas memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan
yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga.
Terapi dengan hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid dan lainnya mungkin

16
hanya mempunyai pengaruh psikologis. Calvin melaporkan penelitiannya tentang
141 wanita hamil yang sebelumnya mengalami 1 sampai 4 abortus berturut-turut
hanya 22,7% yang mengalami abortus dan pada 76,6% kehamilan berlangsung
terus tanpa pengobatan apa pun. Apabila pada pemeriksaan histerosalpingografi
yang dilakukan menunjukkan kelainan seperti mioma submukosa atau uterus
bikornis maka kelainan tersebut dapat diperbaiki dengan operasi atau penyatuan
kornu uterus dengan operasi menurut Strassman. Pada serviks inkompeten apabila
penderita hamil, maka operasi dilakukan untuk mengecilkan ostium uteri
sebaiknya dilakukan pada kehamilan 12 minggu atau lebih sedikit. Dasar
operasinya adalah memperkuat jaringan serviks yang lemah dengan melingkari
daerah ostium uteri internum dengan benang sutera atau dakron yang tebal. Jika
berhasil maka kehamilan dapat dilanjutkan sampai hampir cukup bulan dan
benang dipotong pada usia kehamilan 38 minggu. Operasi tersebut dapat
dilakukan menurut cara Shirodkar atau cara Mac Donald.1,9,10

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo,S. Abortus. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan


Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2006. Hal.302-304; 309-310
2. NN. Habitual abortion. Available from: www.wikipedia.com [cited on
22/09/2011]
3. Petrozza, J.C dan Cowan, B.D. Recurrent Early Pregnancy Loss. Avalaible
from: www.emedicine.com [cited on 10/09/2011]
4. Stead, G.L. Recurrent Abortion. First Aid For The Obstetrics and Gynecology
Clerkship A Student To Student Guide. Second Edition. New York: McGraw-
Hill Companies, Inc. 2007; 140-141
5. Cunningham, et.al. Recurrent Miscarriage. Abortion. Williams Obstetrics.
23rd Edition. New York: McGraw-Hil Companies, Inc. 2010;
6. Backos, M and Regan, L. Recurrent Miscarriage. High Risk Pregnancy
Management Options. 3rd Edition. Ed: James,et.al. Philadelphia: Elsevier
Saunders. 2006; 160-182
7. Dhont, Marc. Recurrent Miscarriage. Current Womens Health Reports 2003,
3:361366. Current Science Inc. ISSN 15345874 Copyright 2003 by
Current Science Inc.
8. Hanretty, K.P. Recurrent Miscarriage. Multiple Pregnancy and Other
Antenatal Complication. Obstetrics Illustrated. Sixth Edition. Edinburgh:
Churchill Livingstone. 2004; 220-221
9. Pernoll, M.L. Habitual Abortion. Benson and Pernolls Handbook of
Obstetrics and Gynecology. New York: McGraw-Hill Companies. 2001; 305-
307
10. Tien J C, Tan TYT. CME Article. Non-surgical Interventions for Threatened
and Recurrent Miscarriages. Singapore Med J 2007;48(12) : 1074

18

Anda mungkin juga menyukai