Anda di halaman 1dari 53

REFERAT STASE IGD

Nutrisi Bedah dan Trauma

Oleh :

Dr. Fitriardi Sejati

Pembimbing :
Dr. Agung Ary Wibowo Sp.B(K)BD
Dr. Tjahyo Kelono Utomo Sp.B(K)BD

PPDS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
2015
BAGIAN I

KOMPOSISI KIMIA TUBUH

Gambar 1.1. memperlihatkan komposisi kimia tubuh dari pria normal berusia 40
tahun. LEMAK TUBUH

Bisa dilihat bahwa pria normal berusia 40 tahun terdiri atas 15 kg lemak.
Sebagian besar,kira-kira 12 kg, merupakan lemak simpanan, yaitu lemak di
subkutan, intermuskular, intraabdomen dan intratorakal. Sisanya 3 kg disebut
lemak esensial, yakni lipid di sumsum tulang dan lipid di susunan saraf pusat dan
organ-organ lain.

Lemak simpanan adalah dalam bentuk trigliserida yang secara kimiawi dan
fisika mirip minyak zaitun. Disimpan terutama dalam sel-sel khusus disebut
adiposit, lemak ini tidak disertai air. Bila dibutuhkan sebagai bahan bakar untuk
jantung, otot rangka, hati atau ginjal, lemak dihidrolisis menjadi tiga asam lemak
dan gliserol (suatu karbohidrat).

Berikatan erat dengan albumin, asam-asam lemak ini diangkut ke organ-


organ tersebut di mana pembakarannya menghasilkan 9,4 kcal untuk setiap asam
lemak yang dibakar.

MASSA TUBUH NON-LEMAK

Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa massa tubuh non-lemak terdiri atas air,
glikogen, protein dan mineral.

Air tubuh

Dari Gambar 1.1 bisa dilihat bahwa air merupakan komponen terbesar dari
tubuh. Secara klinis, ini penting karena berarti setiap penambahan atau penurunan
berat badan dalam waktu singkat disebabkan terutama oleh perubahan kandungan
air tubuh. Hidrasi dari massa tubuh non-lemak bersifat konstan. Pada manusia dan
beberapa hewan yang diukur, 73% dari massa tubuh non-lemak berupa air. Kita
akan lihat kemudian bahwa hampir semua penyakit bedah selalu diikuti ekspansi
air dari massa non-lemak. Bahkan pada pasien dengan kondisi khusus, koefisien
hidrasi bisa mencapai 80% atau lebih.

Karbohidrat

Simpanan karbohidrat dalam tubuh sangat sedikit (600-700 gr). Karbohidrat


disimpan sebagai glikogen; 500 gr dalam otot dan 200 gr dalam hati. Glikogen
terbentuk dari molekul-molekul glukosa dengan rantai cabang besar yang
membentuk gel bersama-sama dengan air yang kaya kalium di antara rantai-rantai
tersebut. Ketika sel-sel membentuk glikogen 2-4 gr air disimpan untuk setiap gram
glikogen. Simpanan karbohidrat yang sedikit ini tidak penting sebagai cadangan
energi tetapi menjadi sangat berarti pada keadaan-keadaan stres dimana
glikogenolisis menghasilkan glukosa yang diperlukan segera. Replesi glikogen tubuh
menghasilkan peningkatan kalium total tubuh dan air total tubuh.
Protein Tubuh

Tidak semua dari 12 atau 13 kg protein tubuh tersedia untuk konversi


metabolik (metabolic interchange). Kira-kira 45% merupakan penyangga tubuh
yakni protein struktural dari kolagen, fasia, ligamen, dermis dan dinding pembuluh
darah. Bila jaringan tubuh terkuras pada penyakit-penyakit katabolik, struktur-
struktur ini tetap utuh sedangkan jaringan seluler dioksidasi. Sisanya 55% terdapat
di dalam sel atau sirkulasi. Inilah yang merupakan mesin dari tubuh. Masing-masing
molekul protein memiliki fungsi penting: sebagai enzim, unit kontraktil atau unit
struktural, atau merupakan protein fungsional. Yang penting, jika protein seluler
terpakai sebagai bahan bakar, misal pada penyakit bedah, akan berakibat hilangnya
sebagian fungsi tubuh. Kita akan lihat nanti (Bab 5) bahwa pada saat 20% cadangan
protein tubuh telah terbakar, terbukti ada disfungsi fisiologis dari kebanyakan
sistem organ tubuh. Bila jumlah protein tubuh normal, setiap kelebihan asupan
protein dari luar akan dipecah dan nitrogen diekskresi sebagai urea, dan rangka
karbon dari asam amino didaur ulang sebagai energi atau disimpan sebagai lemak.

Mineral

Berdasarkan berat, kebanyakan mineral tubuh terdapat dalam rangka. Walaupun


sisanya hanya seberat kurang dari setengah kilogram, mineral ini penting dalam
menentukan distribusi air.
BAGIAN II

KEBUTUHAN ENERGI

KEADAAN ISTIRAHAT

Dari semua organ tubuh, otak memiliki kebutuhan energi yang paling
konstan. Baik dalam keadaan tidur, ikut ujian atau menonton televisi kebutuhannya
konstan. Otak menggunakan kira-kira 20% dari REE (resting energy expenditure).
Hati bersama visera menggunakan 30% REE, jantung 5%, ginjal 10% dan selebihnya
digunakan oleh otot. Pada olah raga, otot bisa mengkonsumsi 90% dari seluruh
pemakaian energi total (TEE = total energy expenditure).

KEADAAN STRES

Pada keadaan stress, katekolamin dan glukagon meningkat, dan akibatnya


glikogen hati dan otot dipecah (glikogenolisis) sehingga glukosa dilepas ke sirkulasi.
Glikogen merupakan sumber glukosa yang terbatas, sehingga tidak lama setelah itu
produksi glukosa (glukoneogenesis) di hati meningkat juga oleh perangsangan
katekolamin dan glukagon. Bahan mentah untuk glukoneogenesis ini terutama dari
asam amino otot, dua di antaranya yang terpenting adalah alanin dan glutamin.
Energi untuk proses pembuatan ini bukan berasal dari glukosa melainkan dari
pemecahan lemak tubuh.

Perubahan-perubahan dasar yang terlihat pada stress fisiologis ini juga


dijumpai pada kondisi bedah di mana pada trauma dan sepsis kebutuhan glukosa
yang meningkat dipenuhi dari asam-asam amino yang dihasilkan dari pemecahan
protein otot. Kita akan lihat bagaimana pada starvasi yang berkepanjangan, tubuh
melakukan adaptasi dengan menghemat protein otot. Namun pada penyakit bedah
serius, proses adaptasi ini tidak efektif, dan terjadi kanibalisasi otot untuk memasok
alanin dan glutamin yang merupakan bahan mentah untuk produksi glukosa.
Glukosa yang meningkat ini dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan energi dari otak,
luka dan tempat-tempat yang terinfeksi atau cedera.
BAGIAN III

INTERKONVERSI METABOLIK PADA STARVASI PROGRESIF

SUBYEK NORMAL SEGERA SETELAH MAKAN

Glukosa dari karbohidrat yang dikonsumsi dalam makanan diserap dan


prioritas utamanya adalah untuk memberi bahan bakar ke otak yang memerlukan
100-125 gr glukosa per hari. Prioritas berikutnya adalah mengisi kembali glikogen
hati, dan kelebihan glukosa akan disimpan sebagai lemak.

Protein makanan dipecah menjadi asam amino yang setelah diserap akan
mengisi hati dan otot dan menggantikan protein yang dipecah sejak jam makan
sebelumya. Asam amino yang tidak dibutuhkan untuk sintesis protein akan dilepas
dari gugus aminonya untuk membentuk urea dan residu karbohidrat yang tinggal
digunakan hati untuk energi atau sintesis lemak atau untuk pembentukan glukosa
baru. Tiga asam amino (leusin, isoleusin dan valin) yang dikenal sebagai asam
amino rantai cabang ( BCAA = branched-chain amino acids) dimetabolisme di
perifer oleh sel adiposit untuk menghasilkan energi.

Itulah sebabnya, telah diduga bahwa pemberian larutan asam amino yang
diperkaya dengan BCAA mungkin membantu menghemat protein pada penyakit
bedah serius, sebagaimana telah kita ketahui otot dipecah untuk memasok alanin
dan glutamin sebagai substrat untuk produksi glukosa.

Lemak dari makanan diserap sebagai trigliserida dan bila bergabung dengan
lipoprotein akan membentuk kilomikron. Pada keadaan puasa, ini digunakan otot
sebagai bahan bakar walaupun setelah makan kilomikron dipindahkan oleh jaringan
lemak untuk diserap ke dalam butir lemak dan disimpan sebagai cadangan energi.
SUBYEK NORMAL SETELAH PUASA SEMALAM

Setelah puasa semalam, ketika semua makanan dari makan sebelumnya


diserap, otak mengkonsumsi sebagian besar glukosa walaupun otot rangka
mengambil kira-kira sepertiga energinya dari glukosa. Asam lemak bebas mulai
dimobilisasi dari jaringan adiposa untuk melengkapi kebutuhan bahan bakar otot
(Layzer 1991).

Produksi glukosa hati dipertahankan oleh glikogenolisis serta


glukoneogenesis. Kadar insulin rendah dan ini mencetuskan pemecahan protein
dengan pelepasan asam amino, terutama alanin dan glutamin. Ini merupakan
substrat optimal untuk produksi glukosa baru dalam hati dan ginjal.

STARVASI DINI

Gambar 1.2 memperlihatkan metabolisme bahan bakar pada seorang normal yang
tidak makan selama 1-2 hari. Sekarang otak tergantung hanya pada glukosa yang
baru dihasilkan dari hati. Menjelang hari kedua starvasi, kira-kira 75 gr protein otot
dipecah setiap hari. Ini tidak cukup untuk memasok semua substrat untuk produksi
glukosa yang diperlukan hati.

Sebagai kompensasi, gliserol (dari lemak ) dan laktat (dari utilisasi glukosa di
jaringan hemopoietik) digunakan sebagai bahan bakar. Kembalinya laktat ke hati
untuk didaur ulang menjadi glukosa disebut siklus Cori. Prekursor-prekursor
glukoneogenik yang berasal dari perifer ini didorong untuk proses glukoneogenesis
dengan efisiensi mendekati 100%. Hati sendiri mengambil energi langsung dari
asam lemak. Gambar 1.2 juga memperlihatkan bahwa kira-kira 160 gr trigliserida
dipecah setiap hari untuk memasok energi.
STARVASI LANJUT

Gambar 1.3 memperlihatkan gambar metabolisme substrat pada puasa


berkepanjangan. Saat ini mekanisme adaptasi telah terjadi dengan tujuan
menghindari pemecahan lebih lanjut dari protein otot. Kadar asetoasetat dan beta-
hidroksibutirat (benda keton) dalam darah yang mulai terbentuk pada minggu
pertama starvasi, sekarang sudah cukup tinggi untuk dikonsumsi otak sebagai
bahan bakar utama. Sejalan dengan itu, oksidasi glukosa oleh otak berkurang.
Dengan semakin berkurangnya kebutuhan otak terhadap glukosa, glukoneogenesis
hati lebih sedikit diperlukan dan proteolisis otot jauh berkurang.

Oleh karena itu, hanya 20 gr protein otot dikonsumsi, dan nitrogen urin yang
pada orang normal berkisar antara 11-15 gram per hari, pada starvasi lanjut ini
menurun menjadi 4-5 gr per hari. Ini disebabkan oleh menurunnya urea urin secara
mencolok (Gambar 1.4). Adaptasi ini memungkinkan otot tubuh banyak dihemat,
dan starvasi bisa berlanjut selama ada trigliserida untuk menghasilkan asam lemak
bebas dan gliserol.
Saat hati memasuki tahap glukoneogenesis, dengan adanya kadar insulin
yang rendah dan dengan kehadiran glukagon, glukokortikoid dan hormon tiroid,
hati mulai menghasilkan benda keton. Puasa mengurangi konversi tiroksin menjadi
triyodotironin, sehingga menghasilkan suatu bentuk hipometabolisme ringan. Ini
disusul dengan penurunan penggunaan energi karena berkurangnya konsumsi
oksigen. Juga ada sedikit penurunan kadar katekolamin.
RESPONS ENDOKRIN TERHADAP PUASA

Gambar 1.5 melukiskan respons hormonal terhadap puasa. Ada penurunan


kadar insulin dan peningkatan glukagon serta penurunan triyodotironin. Tanda
primer yang dijumpai pada starvasi dini adalah kadar insulin rendah dengan adanya
peninggian kadar glukagon akan mencetuskan tidak saja glikogenolisis melainkan
juga glukoneogenesis. Kadar insulin yang rendah mendorong proteolisis dalam otot
rangka dengan pelepasan asam amino.
BAGIAN IV

INTERKONVERSI METABOLIK PADA TRAUMA

Trauma menghasilkan respons neuroendokrin yang mengakibatkan


perubahan-perubahan kadar hormon yang sangat berbeda dari yang diamati pada
starvasi berkepanjangan. Kortisol, glukagon dan katekolamin, epinefrin dan
norepinefrin meningkat sebanding dengan derajat trauma. Hormon-hormon ini
menyebabkan proteolisis otot (kortisol), glikogenolisis dan peningkatan
glukoneogenesis (kortisol dan glukagon), serta oksidasi lemak (epinefrin, kortisol
dan hormon tiroid). Kerja insulin diantagonisir oleh meningkatnya kadar hormon
pertumbuhan dan epinefrin. Hasil bersih terhadap metabolisme bahan bakar
terlihat pada Gambar 1.6.

Perubahan mendasar adalah kebutuhan jaringan luka atau trauma terhadap


glukosa dan hilangnya mekanisme adaptasi, yakni penurunan proteolisis
sebagaimana terlihat pada starvasi yang berkepanjangan .Proteolisis otot
memproduksi asam-asam amino rantai cabang yang dikonversi menjadi alanin dan
glutamin sebagai prekursor untuk glukoneogenesis di hati.

Glukosa merupakan bahan bakar yang digunakan oleh jaringan luka dan
hemopoietik. Laktat dari jaringan luka dan gliserol dari oksidasi lemak juga menjadi
substrat untuk glukosa baru. Dalam plasma, ada peningkatan mencolok dari asam
lemak bebas, gliserol, glukosa, laktat, dan asam-asam amino khususnya alanin dan
glutamin. Alanin adalah prekursor utama untuk glukoneogenesis. Glutamin adalah
bahan bakar untuk saluran cerna (usus), ginjal dan sel-sel system imun (Gambar
1.7)

Respons neuroendokrin terhadap trauma akan dibahas lebih rinci pada Bab
4, tetapi patut diketahui bahwa pemutusan lintasan saraf ke otak tengah bisa
menghapus respons ini sama sekali (Hume & Egdahl 1959) Jika injuri terbatas,
seperti pada pembedahan elektif, respons bersifat ringan dan sementara.

Pada trauma kecelakaan, respons neuroendokrin demikian mencolok dan


efek metaboliknya lebih dahsyat. Bila trauma sangan parah, apalagi jika terinfeksi,
bisa diikuti perubahan hemodinamik yang lebih dalam dan hipermetabolisme serta
proteolisis hebat. Respons neuroendokrin mungkin menjadi penyebab dari respons
hipermetabolisme namun bukan merupakan satu-satunya yang bertanggung jawab.
Pada bagian berikut, kita akan lihat bagaimana faktor-faktor regulasi memainkan
peran kunci dalam mencetuskan dan menyebarkan respons metabolik pada trauma
berat dan sepsis serius.
BAGIAN V

INTERKONVERSI METABOLIK PADA SEPSIS SERIUS

Pasien dengan sepsis serius memiliki dimensi hipermetabolisme, proteolisis


dan ekspansi cairan ekstraseluler yang tidak bisa dijelaskan oleh respons
neuroendokrin sebagaimana diamati setelah bedah mayor atau trauma moderat.

Walaupun pemberian infus hormon-hormon katabolik seperti kortisol,


glukagon dan katekolamin bisa menghasilkan banyak perubahan klinis dan
metabolik pada pasien sepsis, hormon-hormon ini tidak bisa menirukan proteolisis
massif yang terlihat pada pasien-pasien sepsis. Sampai 250 gr protein otot dipecah
setiap hari pada pasien sepsis. Kini disadari bahwa peptide regulatory factors,
khususnya sitokin yang dihasilkan dari sel-sel radang pada lokasi infeksi ini sendiri
merupakan penghubung antara jaringan luka atau radang dengan respons
metabolik dann imunologik yang terjadi (Fong & Lowry 1990).

Interleukin-interleukin 1,2 dan 6 (IL-1, IL-2, IL-6), tumor necrosis factor


(TNF) dan interferon memainkan peran penting. Sedikitnya dua dari sitokin-
sitokin ini, TNF dan IL-2 merupakan mediator pasca inflamasi yang bisa
mencetuskan dan menyebarkan respons metabolik pada sepsis serius. Endotoksin
merupakan stimulus kuat untuk produksi TNF.

Banyak penelitian memberi kesan bahwa sitokin memperkuat pembebasan


sitokin-sitokin dan mediator lain selain merangsang hormon-hormon klasik,
katekolamin, glukagon, dan kortisol (Michie & Wilmore 1990). Efek-efek sitokin
sirkulasi bersifat kuat (Welbourn dkk 1990). Sebagai contoh, TNF telah
diperlihatkan menimbulkan hipotensi, syok dan peningkatan permeabilitas kapiler,
demam dan efek hebat terhadap sistem imun.
Efek-efek metabolik yang ditimbulkannya meliputi proteolisis otot, peningkatan
ambilan asam amino oleh hati, produksi protein fase akut dan peningkatan lipolisis.
IL-1 telah disebut sebagai faktor penginduksi proteolisis dan juga merupakan
penginduksi sintesis protein fase akut. IL-2 dan IL-6 memilki fungsi dominan
sebagai stimulasi sistem imun, walaupun keduanya memiliki efek metabolik.

Hasil bersih dari pelepasan sitokin ke dalam sirkulasi adalah menginduksi


hipermetabolisme dengan peningkatan konsumsi oksigen tubuh, proteolisis massif
dan memperhebat perubahan metabolisme bahan bakar pada trauma. Gambar 1.8
memperlihatkan perubahan-perubahan dalam pertukaran substrat antar organ
yang terjadi; pada sepsis, sirkulasi hiperdinamiklah yang memungkinkan
perubahan-perubahan ini terjadi.

Sel-sel radang pada luka membutuhkan glukosa (mungkin juga glutamine)


sebagai bahan bakar primer. Di sini glukosa membebaskan energinya melalui
lintasan glikolisis dengan CO2, air dan laktat sebagai produk akhir. Laktat yang
dihasilkan ini diangkut kembali ke hati untuk didaur ulang menjadi glukosa.
Keseluruhan proses glukoneogenesis membutuhkan energi yang dipasok oleh asam
lemak bebas.

Sebagian besar glukosa yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka atau


jaringan radang diproduksi hati tidak hanya dari laktat melainkan juga alanin yang
dilepaskan otot, dan beberapa asam amino lain dalam jumlah lebih sedikit. Otot
merupakan pemasok utama dari asam amino. Asam amino yang terbanyak dilepas
dari otot adalah alanin dan glutamin. Glutamin merupakan bahan bakar utama
untuk enterosit (sel usus). Glutamin menghasilkan amonia dan produk-produk lain
seperti alanin yang diangkut kembali ke hati. Glutamin juga membantu sebagai
dapar dari kelebihan asam di ginjal dengan membentuk ammonia

Pelajaran praktis yang bisa dipetik adalah sampai fokus septik dikendalikan,
sitokin akan terus diproduksi dan hipermetabolisme plus autokanibalisme akan
berlanjut tanpa mereda. Sudah lama ahli bedah mengetahui efek dramatis dan
menguntungkan dari drainase pus, membuang jaringan nekrotik dan mencegah
kontaminasi. Kesadaran bahwa peptide regulatory factors dilepaskan dari sel-sel
radang di fokus septik telah mengajarkan kita mengapa efek ini begitu dramatis.
Solusi terhadap masalah hipermetabolisme yang berlanjut ini sering berada di
tangan dokter bedah sendiri dan tidak bisa ditegaska terlalu banyak sebelum
produksi sitokin dari sel radang dihentikan. Teknologi rekombinan, dengan
memproduksi antibodi monoklonal terhadap endotoksin dan berbagai sitokin telah
membuka era baru dalam penanganan sepsis serius.
BAGIAN VI

DAMPAK DARI PERKEMBANGAN MUTAKHIR DI BIDANG BIOTEKNOLOGI DAN


PENATALAKSANAAN SEPSIS SERIUS

Banyak respons sistemik terhadap bakteremia Gram negative bisa dipicu


oleh endotoksin. Endotoksin adalah komponen lipopolisakarida dari dinding sel
bakteri. Suatu antibody monoklonal manusia yang berikatan dengan komponen
endotoksin-lipid A telah diproduksi dan pemberiannya telah diperlihatkan
mengurangi sampai separuh mortalitas pasien-pasien dengan sindroma sepsis
(Ziegler 1991). Antibodi monoklonal lain telah dikembangkan untuk tumor necrosis
factor dan komponen-komponen reaksi radang lainnya. Imunoterapi memiliki
potensial untuk mempengaruhi prognosis penyakit bedah kritis seperti halnya
antibiotika di masa lampau (Dunn 1988, shimamoto dkk 1988, Khazaeli dkk 1990).
BAGIAN VII

ISTILAH-ISTILAH METABOLIK-BEBERAPA DEFINISI DAN PENJELASAN

IMBANG NITROGEN

Diet orang Barat rata-rata mengandung sekitar 80 gr protein. Karena 16%


dari protein ini adalah nitrogen (yakni ada 1 gr N dalam 6,25 gr protein), ini berarti
kira-kira 13 gr nitrogen dikonsumsi setiap hari. Seseorang normal yang beratnya
konstan akan mengekskresi nitrogen dalam jumlah sama seperti yang dimakannya.
Orang ini dikatakan memiliki imbang nitrogen nol. Dari 13 gr asupan per hari, 11 gr
nitrogen diekskresikan dalam urin (=70% dalam bentuk urea) dan sisanya dalam
tinja (1 gr) dan dari lepasnya korneum kulit (1 gr).

Imbang nitrogen bisa memberikan gambaran umum apakah protein total


tubuh bertambah (anabolisme) atau dipecah (katabolisme). Bila imbang nitrogen
positif, berarti lebih banyak yang dikonsumsi daripada yang diekskresi dan protein
tubuh disintesis; bila imbang nitrogen negative, ada katabolisme protein tubuh.

Data imbang nitrogen sering diperlihatkan dalam metabolic chart. Konvensi


yang biasanya digunakan adalah dari Moore dan Ball (1952).

PERGANTIAN PROTEIN (PROTEIN TURNOVER)

Protein dan juga proses-proses lain dalam metabolisme berada dalam


keadaan dinamis, yakni secara konstan dipecah dan disintesis. Protein dianggap
berada dalam suatu kompartemen atau pool, dan volume total dari pool dipengaruhi
oleh laju penambahan atau pengambilan dari pool tersebut. Laju ini bisa ditetapkan
dengan menginfus sejumlah kecil protein yang diberi label isotop (biasanya asam
amino).

Pada steady state, tracer akan tampil dalam pool dan seandainya ukuran pool
konstan, laju pemunculan protein berlabel sama dengan laju menghilangnya dari
pool serta laju pergerakan melalui pool. Proses ini diacu sebagai aliran (flux) atau
pergantian (turnover) protein.

SINTESIS PROTEIN DAN KATABOLISME PROTEIN

Protein total tubuh dianggap sebagai pool metabolisme tunggal, di mana lalu lintas
protein memiliki dua arah-yakni untuk sintesis protein dan untuk katabolisme
(pemecahan) protein. Jika sintesis melampaui pemecahan, ada penambahan bersih
dari protein total tubuh (net protein synthesis), dan jika pemecahan melebihi
sintesis maka akan ada kehilangan bersih dari protein total tubuh (net protein
catabolism).

ASAM AMINO

Asam amino esensial

Isoleusin, leusin, valin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin dan triptofan


merupakan komponen diet esensial. Kekurangan salah satu unsur ini dalam diet
akan menyebakan ketidakmampuan meyimpan protein. Oleh karena itu, subyek
akan mengalami imbang nitrogen negative. Pada dewasa paling sedikit 20% dari
protein makanan mereka harus berbentuk asam amino esensial.

Asam amino rantai cabang (BCAA= branched-chain amino acids)

Tiga dari asam amino esensial, isoleusin, leusin dan valin disebut BCAA.
Sementara kebanyakan asam amino diambil dan dimetabolisme oleh hati, asam
amino rantai cabang diutilisasi oleh otot rangka. Di otot, BCAA memasok nitrogen
dan glukosa memasok karbon untuk pembentukan alanin dan glutamin. Alanin
merupakan prekursor untuk glukoneogenesis di hati. Glutamin diutilisasi oleh
ginjal, usus dan sel-sel sistem imun.

Asam amino aromatis

Fenilalanin, tirosin dan triptofan merupakan asam amino aromatis, yang


metabolismenya diatur dalam hati. Pada gagal hati, kadar plasma dari asam amino
aromatis meninggi, lebih banyak masuk ke dalam otak. Sintesis serotonin otak
menjadi tidak terkendali.

Pool asam amino

Ini adalah pool asam amino dalam tubuh yang terdapat di plasma, cairan interstisial,
dan air sel dan berada dalam keseimbangan dinamis dengan pool protein total
tubuh. Pool ini berisi asam amino sampai kira-kira 100 gr, dan terutama terdiri atas
asam amino non-esensial.

HORMON-HORMON KONTRA-REGULASI

Massa sel tubuh merupakan jumlah total dari sel-sel tubuh. Oleh karena itu massa
sel tubuh mewakili bagian tubuh di mana semua pertukaran energi terjadi, di mana
oksigen dikonsumsi dan CO2 diproduksi. Massa sel tubuh ditaksir dengan
mengalikan kalium tubuh total dengan suatu faktor yang bisa bervariasi menurut
status penyakit pasien. Massa non-lemak (Fat-free mass) adalah massa tubuh yang
tinggal setelah lemak yang bisa diekstraksi eter diangkat. Walaupun sering disebut
lean body mass, sebetulnya berbeda. Lean body mass telah didefinisikan sebagai
bagian tubuh yang sama sekali tanpa lemak, kecuali mengandung sedikit lipid
esensial, mungkin 2%. Ada lagi yang mendefinisikan secara salah bahwa lean body
mass adalah selisih antara massa tubuh dan jaringan adiposa.

PERUBAHAN BERAT BADAN

Untuk memahami metabolisme bedah secara benar, berat badan harus dipikirkan
menurut komponen- komponennya, antara lain air tubuh total, protein total tubuh,
mineral total dan glikogen total. Akan membantu jika air tubuh dipilah lagi menjadi
plasma, air interstisial, dan air intraseluler, protein tubuh dipilah menjadi protein
otot, protein viseral dan protein struktural. Dari Gambar 1.1 bisa dilihat bahwa
sebagian besar berat badan adalah air, sehingga peningkatan berat badan secara
bermakna dalam waktu singkat (kurang dari 48 jam) sebagian besar disebabkan
karena penambahan air tubuh. Sintesis jaringan baru (lean tissue), kira-kira
seperlimanya protein dan empat perlimanya air berlangsung lambat, sehingga baru
bisa terlihat setelah seminggu atau lebih. Sintesis jaringan non-lemak jarang lebih
cepat dari 150 gr per hari. Lemak dan protein bisa hilang secepat 200-300 gr per
hari, namun kehilangan air yang cepat dari fistula enterokutan bisa menyebabkan
kehilangan berat badan sepuluh kali lebih cepat.

Jadi, penurunan berat badan dalam waktu singkat umumnya menandakan


kehilangan garam dan air. Trauma jaringan yang terus berlanjut dan parah, misal
yang menyertai sepsis, bisa menghilangkan kira-kira 500-600 gr per hari.
Penurunan lebih cepat dari ini disebabkan karena kehilangan air.

PEMINDAHAN ENERGI

Karena urutan strukturnya yang memiliki derajat tinggi, molekul kompleks


yang dikandung dalam lemak, protein dan karbohidrat mengandung banyak energi
kimia, dan selama katabolisme energi ini dibebaskan dan disimpan sebagai energi
kimia yang dikandung dalam struktur ikatan kovalen dari gugus fosfat terminal
dalam molekul ATP.

ATP yang terbentuk akan berdifusi bebas ke tempat-tempat dalam sel di


mana fungsi transport, mekanik dan kerja biosintesis dibutuhkan. Hidrolisis ATP
atau senyawa fosfat berenergi tinggi lain membebaskan energi yang bisa ditangkap
oleh reaksi-reaksi lain yang membutuhkan energi untuk bisa berlangsung. Jadi ATP
menyediakan energi untuk anabolisme lemak dan protein, kontraksi otot dan
transport membran. ATP dibentuk dari oksidasi nutrien seperti karbohidrat dan
lemak, yang pada pembakaran lengkap menghasilkan CO2 dan air.
KESEIMBANGAN ENERGI

Hukum pertama dalam hemodinamik menyatakan bahwa energi tak bisa


diciptakan ataupun dihancurkan. Oleh karena itu jumlah total energi yang diambil
oleh tubuh (oral atau intravena) harus diperhitungkan sesuai dengan energi yang
dikeluarkan tubuh menurut persamaan:

Jika asupan energi dari makanan lebih besar dari energi yang dikeluarkan
sebagai panas dan kerja, tubuh akan menyimpan energi dan berat badan pasien
bertambah sebagai lemak. Di lain pihak, jika kandungan kalori dari makanan yang
dimakan lebih kecil daripada output, akan ada imbang energi negatif, dan cadangan
protein dan lemak akan digunakan, dan berat badan akan menurun. Penurunan
berat badan yang terjadi setelah operasi mayor hampir seluruhnya disebabkan oleh
kurangnya asupan energi, karena sangat sedikit peningkatan output energi setelah
operasi yang tanpa komplikasi

Walaupun hukum fisika ini harus berlaku pada pasien bedah, skala waktu
untuk pengaturan antara asupan energi dan pengeluaran energi adalah dalam
mingguan bukan beberapa hari , dan ada sedikit hubungan langsung antara asupan
makanan dan output energi selama satu hari.

Kebutuhan energi pasien bedah di rumah sakit dinilai salah berdasarkan


selera makan dan telah ditunjukkan bahwa pasien-pasien yang dirawat di rumah
sakit setelah operasi mayor jarang makan lebih banyak dibanding sebelum masuk
rumah sakit, sekalipun output energi mereka meningkat. Akan tetapi, benar bahwa
asupan energi meningkat tajam pada saat pasien kembali di rumah dan pada saat
inilah imbang energi positif dicapai dan berat serta komposisi tubuh kembali
normal.

NILAI ENERGI

Energi disimpan dalam tiga substrat dalam tubuh: protein, lemak dan
karbohidrat (glikogen). Nilai energi yang bisa dimetabolisme dari ketiga substrat ini
telah ditetapkan. Pada pembakaran protein menghasilkan 4,7 kcal/gr, lemak
menghasilkan 9,44 kcal/gr dan glikogen 4.18 kcal/gr (Livesay & Elia 1988). Dalam
buku ini dan dalam praktek, umumnya nilai ini dibulatkan menjadi 4,9 dan 4
masing-masingnya. Protein dianggap 4 kcal/gr karena komposisi protein bervariasi.
Dengan berpatokan pada nilai-nilai ini dan data- data dari Gambar 1.1, nilai energi
dari berbagai kompartemen tubuh bisa dihitung (Tabel 1.1)

RESPIRATORY QUOTIENT (RQ)

Pengukuran konsumsi oksigen dan produksi karbon dioksida bisa


memberikan gagasan kepada dokter bedah bahan bakar mana yang dikonsumsi
pasien. Oksidasi karbohidrat dan lemak menjadi air dan CO2 dalam tubuh adalah
lengkap.

Ratio CO2/O2 disebut RQ.

Untuk karbohidrat RQ adalah 1, untuk lemak campuran RQ 0.7. RQ untuk


protein tidak jelas karena komposisi protein bervariasi, dan oksidasi sempurna
tidak selalu terjadi. Biasanya RQ untuk protein dianggap 0,8. Proses lipogenesis di
mana asam lemak berasal dari glukosa memiliki RQ lebih dari 1.

LEMAK TIDAK BISA DIKONVERSI MENJADI KARBOHIDRAT

Hubungan timbal balik dari ketiga sumber energi dalam tubuh begitu
kompleks, namun pokok klinis penting adalah karbohidrat mudah diubah menjadi
lemak dan bisa diaminasi menjadi protein, tetapi tidak ada konversi lemak menjadi
karbohidrat dan sedikit konversi menjadi protein.
Manajemen Metabolik Pasien Bedah Mayor & Trauma

PENDAHULUAN

Sudah lama para ahli bedah tertarik mengetahui respons metabolik dini pada
pasien bedah mayor, khususnya selama mereka masih di rumah sakit, tetapi baru
belakangan ini perubahan-perubahan jangka panjang dalam metabolisme,
komposisi tubuh, fungsi fisiologis dan psikologis dikaji selama berminggu- minggu
dan berbulan-bulan pasca operasi. Dalam bab ini kita akan melihat lebih dekat
perubahan- perubahan metabolik yang ditimbulkan prosedur pembedahan dan
bagaimana perubahan-perubahan ini menetap sampai berminggu-minggu dan pada
sebagian kasus sampai berbulan-bulan sebelum pasien sembuh sempurna.
Berdasarkan ini kami akan menyusun program manajemen untuk asuhan rawat
metabolik terhadap pasien-pasien yang menjalani pembedahan mayor elektif.
BAGIAN 1

RESPONS METABOLIK TERHADAP PEMBEDAHAN

Dr David Cuthbertson (1932) memilah respons metabolik terhadap trauma


(injury) menjadi ebb phase yang ditandai oleh hipovolemia disusul oleh respons
simpatis dan adrenal; dan fase berikutnya flow phase di mana pasien mengalami
kehilangan protein dalam kecepatan berlebihan. Durasi dari fase flow tergantung
pada keparahan trauma, dan secara berangsur-angsur fase flow ini digantikan oleh
suatu fase anabolik konvalesensi. Pada fase anabolik ini cadangan protein dan
energi yang hilang pada periode dini pasca trauma diisi kembali (Tabel 2.1).

EBB PHASE

Ebb phase disebabkan terutama oleh hipovolemia dan berlangsung sampai


volume darah sirkulasi pulih. Pasien terlihat pucat, lembab dan takikardia. Hume
dan Egdahl (1959) menunjukkan pentingnya otak dalam respons endokrin dini
terhadap trauma. Mereka mengisolasi satu tungkai seekor hewan yang telah dibius,
dan menyisakan hanya nervus sciaticus dan pembuluh femoralis sebagai saraf dan
pembuluh darah yang tinggal.

Ketika mereka mengukur kadar kortikosteroid dalam aliran darah vena


setelah tungkai yang diisolasi dipaparkan ke luka bakar, mereka mendapatkan
kadar kortikosteroid tersebut meninggi cepat; namun ketika nervus sciaticus
dipotong respons ini tidak terjadi.

Berikutnya mereka juga memperlihatkan bahwa respons hormonal dini


terhadap trauma tidak terjadi jika system saraf pusat tidak utuh. Dengan demikian,
nyeri, hipovolemia, asidosis dan hipoksia memulai sinyal saraf aferen ke otak, yang
diolah di hipotalamus. Selanjutnya impus ini menyebabkan meningkatnya aktivitas
sistem simpato-adrenal yang diikuti dengan pelepasan adrenocorticotrophic
hormone (ACTH) dan growth hormone (GH) dari hipofisis anterior, serta
antidiuretic hormone (ADH) dari hipofisis posterior.
Kadar kortisol plasma naik sebagai akibat pelepasan ACTH dan sistem renin-
angiotensin diaktifkan. Pengaruh-pengaruh vasokonstriktor ini mengurangi aliran
darah ginjal, laju filtrasi glomerulus, ekskresi natrium dan produksi urin. Retensi
volume berlanjut melewati ebb phase, namun diuresis terjadi dalam 72 jam pertama
pada kebanyakan pasien. Kadar insulin plasma bervariasi selama ebb phase, tetapi
relatif rendah bila dibandingkan dengan kadar glukosa yang tinggi. Mungkin ini
disebabkan penghambatan simpatis terhadap pelepasan insulin dari pankreas dan
resistensi insulin akibat induksi glukagon di jaringan tepi.

Ebb phase bisa memanjang jika pasien menderita perdarahan pasca bedah, atau
jarang terjadi sama sekali jika prosedur pembedahan hanya menghasilkan sedikit
kehilangan darah atau kerusakan jaringan. Segera setelah normovolemia, ebb phase
digantikan oleh flow phase.

FLOW PHASE

Flow phase ditandai oleh oksidasi protein otot untuk memasok glukosa sebagai
bahan bakar esensial untuk otak dan jaringan dalam proses penyembuhan.
Kehilangan protein yang dipacu ini disebabkan oleh meningkatnya proteolisis otot
bukan karena berkurangnya sintesis. Dalam bab 1 kita lihat bagaimana pada pasien
yang mengalami trauma hebat, misal kecelakaan atau sepsis serius, fase ini disertai
dengan peningkatan laju metabolisme walaupun kita ketahui bahwa pada pasien
bedah elektif REE hanya sedikit meningkat. Kebutuhan energi pasien selama fase ini
dipenuhi terutama oleh oksidasi lemak. Kadar plasma dari hormon-hormon kontra-
regulasi menurun selama flow phase, sedangkan kadar insulin meningkat sampai
maksimum walaupun laju kehilangan protein tubuh mencapai maksimum pada saat
ini. Alasan peninggian kadar insulin plasma tidak dipahami, begitu pula halnya
resistensi terhadap efek anabolikya yang lazim.

Karena kadar plasma dari katekolamin, glukagon dan kortisol menurun selama flow
phase, sukar untuk menyatakan bahwa kehilangan protein yang hebat pada fase ini
disebabkan oleh aksi katabolik mereka. Walaupun ada sedikit keraguan bahwa
susunan saraf pusat dan respons neuroendokrin terhadap trauma bedah
menjelaskan banyak perubahan metabolik yang diamati selama flow phase operasi
mayor, hormon-hormon stress ini tidak bertanggung jawab penuh terhadap
perubahan-perubahan metabolisme.

Kebanyakan penelitian mutakhir berpusat pada peran sitokin yang


dilepaskan oleh sel-sel di lokasi luka. Berbagai jenis sel bisa melepaskan sitokin
yang memiliki efek sistemik maupun lokal. Interleukin-1, Interleukin-6, tumor
necrosis factor (TNF) dan interferon gamma merupakan mediator-mediator penting
dari respons metabolik terpadu, tetapi dengan pengecualian Interleukin-6, sitokin-
sitokin ini belum ditemukan dalam plasma pasien-pasien pasca bedah (Cruickshank
dkk 1990).

Pemberian infus TNF menirukan banyak gambaran klinis dan metabolik dari
sepsis, seperti demam, hipotensi, anoreksia, hiperglikemia dan imbang nitrogen
negative (Tracey dkk 1986, Michie dkk 1988, Flores dkk 1989). Banyak gambaran
reaksi endokrin dan metabolik terhadap sepsis, seperti resistensi insulin dan
kehilangan protein ditemukan pada pasien-pasien yang mengalami cedera. Yang
mengherankan sampai sekarang belum dideteksi TNF pada serum pasien setelah
pembedahan mayor.
BAGIAN II

ENERGETIKA PERIOPERATIF

Selama 2 minggu pasca operasi mayor pasien mengalami defisit energi cukup
besar. Hanya separuh dari kebutuhan energi dipenuhi dari dekstrosa intravena dan
makanan. Untuk mencapai imbang energi, cadangan lemak, glikogen dan otot
dibakar.

Pada tahun 1968 Kinney dan rekan-rekan melakukan kajian imbang energi
pada 10 pasien bedah mayor. Kajian yang menonjol dan rinci dari asupan energi dan
pemakaian energi ini memperlihatkan bahwa resting energy expenditure (REE)
yang pada orang sehat adalah sekitar 22 kcal/kg/hari, meningkat hanya sedikit
sekali setelah operasi, tetapi selanjutnya jika tidak ada komplikasi akan tetap pada
nilai normal (Gambar 2.1).
Energi yang dipakai selama aktivitas fisik turun sampai ke tingkat rendah
(kira-kira 1 kcal/kg/hari) selama 4 hari pertama pasca bedah dan oleh karena itu
selama periode ini, kebutuhan energi total sangat menurun; dari 26 kcal/kg/hari
menjadi 22 kcal/kg/hari. Menjelang akhir mingu pertama pasca bedah, activity
energy expenditure (AEE) naik dua kali lipat dan pada akhir minggu kedua, total
energy expenditure (TEE) mendekati nilai normal (25 kcal/kg/hari), dan pada saat
ini pasien sudah cukup makan untuk mendekati imbang energi (Gambar 2.2).
Setelah keluar dari rumah sakit, napsu makan membaik dan imbang energi positif
dicapai dengan penimbunana lemak dan protein. Lemak, protein dan berat badan
kembali normal.
BAGIAN III

PERUBAHAN-PERUBAHAN KOMPOSISI TUBUH SETELAH PEMBEDAHAN &


TRAUMA

Terdapat penelitian mengukur perubahan-perubahan komposisi tubuh yang


terjadi setelah pembedahan gastrointestinal mayor yang tidak berkomplikasi pada
46 pasien (23 pria, 23 wanita, usia rata-rata 47 tahun). Tepat sebelum operasi,
masing-masing pasien diukur berat badan, lemak, protein dan air tubuh total
dengan cara yang tertulis pada Lampiran 1. Pengukuran diulang pada 7, 14, 28, 90,
180 dan 360 hari kemudian. Hanya 16 pasien menjalani pengukuran pada lebih dari
90 hari. Tak satupun dari pasien-pasien dalam kajian ini yang mendapat dukungan
nutrisi perioperatif. Pada periode pasca bedah mereka mendapat 2-3 liter dekstrose
4,3% dan 1/5 Normal saline sebelum mereka bisa minum.

BERAT BADAN

Setelah operasi tanpa-komplikasi berat badan turun 3 kg. Penurunan berat badan
mencapai maksimum menjelang akhir minggu kedua pasca bedah. Selanjutnya berat
badan berangsur-angsur naik (Gambar 2.3). Pada 3 bulan pasca operasi, kehilangan
berat badan pada periode pasca operasi telah memulih, namun pada mereka yang
sebelum operasi sudah mengalami defisit, peningkatan berat badan terus berlanjut
sampai nilai normal dicapai-biasanya memakan waktu sampai 6 bulan dan kadang-
kadang bisa sampai satu tahun. Banyak pasien yang berat badannya melonjak lebih
dari sebelum operasi, dan setelah satu tahun kelebihan 2-3 kg. Kelebihan berat
badan ini disebabkan penimbunan lemak dan keadaan ini diistilahkan-
posttraumatic obesity.
KOMPOSISI JARINGAN DARI PERUBAHAN BERAT BADAN

Penurunan berat badan pasca bedah diakibatkan oksidasi lemak dan pemecahan
protein untuk memasok energi dan asam amino selama 2 minggu pertama pasca
bedah. Gambar 2.4, 2.5 dan 2.6 memperlihatkan bagaimana 3000 gr berat badan
yang hilang selama 2 minggu pertama pasca operasi terdiri atas 1400 gr lemak, 600
gr protein dan 1000 gr air.

LemakKebanyakan lemak yang hilang terjadi dalam beberapa hari pertama pasca
bedah ketika defisit energi

adalah maksimal-paling sedikit satu kg hilang dalam minggu pertama (Gambar 2.4).

Setelah 2 atau 3 bulan, ketika pasien sudah sehat dan cadangan protein sudah terisi,
penambahan lemak mencapai maksimum. Post-traumatic obesity terjadi bila
penimbunan lemak berlanjut akibat terusnya imbang energi positif. Ahli bedah
harus mengingatkan pasiennya tentang masalah ini dan mendorong olah raga dan
mengendalikan napsu makan.
ProteinKatabolisme protein terjadi selama 2 minggu pasca bedah dengan
kehilangan total kira-kira 600 gr (6% protein tubuh) (Gambar 2.5).

Setelah itu dengan memulihnya asupan makanan, protein perlahan-lahan


kembali ke tingkat sebelum operasi pada 3 bulan dan mencapai normal pada 6
bulan sampai 1 tahun. Protein yang hilang terutama berasal dari otot, tetapi pada
kajian kami kehilangan kalium dan nitrogen pada 46 pasien ini memberi kesan ada
protein non-seluler yang juga hilang. Kira-kira 3 mmol kalium per gr nitrogen otot,
jadi ratio K:N = 3. Selama 7 hari pertama pasca bedah rasio kehilangan K:N jauh
lebih besar (kira-kira 10).

Ini memperlihatkan bahwa kehilangan kalium dari otot melebihi kehilangan


nitrogen. Ini disebabkan glikogen dimobilisasi dan bersama glikogen berikatan air
yang kaya kalium, ataupun defisiensi kalium intraseluler terjadi. Ada kemungkinan
kedua mekanisme ini terjadi. Setelah dua minggu ketika imbang energi positif,
kalium diganti dengan ratio 6:1. Ini memberi kesan defisit kalium intraseluler
sedang diperbaiki.
Pada masa konvalesen, ketika penambahan protein sedikit, ratio
penambahan K:N dalam jaringan < 3, ini memperlihatkan protein tubuh mulai
terbentuk. Kajian-kajian kinetik telah memperlihatkan bahwa kehilangan protein
total tubuh pada periode pasca bedah disebabkan oleh meningkatnya laju
katabolisme lebih daripada penurunan sintesis (Clague dkk 1983).

Durasi dan tingkat kehilangan protein tubuh ini merupakan fungsi cadangan
protein tubuh (Lebih besar cadangan protein, lebih besar kehilangannya) tanpa
tergantung apakah pasien mengalami deplesi protein sebelum pembedahan (pasien
yang telah deplesi mengalami lebih sedikit kehilangan protein tubuh).

Kehilangan protein akan lebih besar pada periode pasca bedah dini jika
regimen cairan tidak mengandung dekstrosa. Infus 130-150 gr dekstrosa per hari
menghasilkan penurunan ekskresi nitrogen urin sebesar 40% (Craig dkk 1977,
Swaminathan dkk 1980)

AirSelama minggu pertama pasca bedah ketika kadar hormon antidiuretik tinggi,
terjadi retensi air walaupun dokter bedah berusaha memperhatikan imbang air
(Gambar 2.6).

Pasien mengalami hiponatremia karena penambahan air tanpa-natrium yang


berasal dari substansi sel dan oksidasi protein dan lemak. Ini bisa dipahami
berdasarkan rujukan pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5. Di sini bisa terlihat bahwa
300 gr protein dioksidasi selama minggu pertama pasca bedah. Karena 1 kg otot
basah mengandung kira-kira 200 gr protein, kehilangan 300 gr protein
menunjukkan kehilangan kira- kira 1500 gr otot basah, yang terdiri atas 300 gr
protein dan 1200 ml air tanpa-natrium kaya-kalium, yang berpindah ke
kompartemen ekstraseluler. Lebih dari itu, protein yang dioksidasi sendiri
menghasilkan air bebas; 300 gr protein pada oksidasi lengkap akan menghasilkan
kira-kira 120 ml air.

Pada periode yang sama 1100 gr lemak dioksidasi. Karena setiap 1000 gr lemak
yang dioksidasi sempurna menghasilkan 1000 ml air bebas, oksidasi 1100 gr
menghasilkan 1100 ml, sehingga total mendekati 2,5 L (1200+120+1100) air
endogen. Karena kadar ADH tinggi pada masa pasca bedah, air endogen ini tidak
diekskresikan secara normal, sehingga menyebabkan imbang air positif,
meningkatnya hidrasi tubuh dan hipotonisitas. Tonisitas kembali ke normal
menjelang akhir minggu pertama pasca bedah. Oliguria serta retensi garam dan air
yang terjadi selama beberapa hari pasca bedah juga berkaitan dengan tingginya
aktivitas aldosteron, dan mungkin disebabkan sebagian oleh menurunnya aktivitas
atrial natriuretic peptide. Perubahan tonus vaskuler yang berhubungan dengan
ventilasi tekanan positif mengurangi alir balik vena ke jantung kanan, dan sebagai
akibatnya bisa mengurangi sekresi hormon ini.
BAGIAN IV

LETIH PASCA OPERASI DAN FUNGSI OTOT RANGKA

Salah satu efek yang paling tak menyenangkan dari pembedahan adalah
perasaan letih mental dan fisik. Dalam suatu kajian 84 pasien (37 pria, 47 wanita,
usia rata-rata 54 18 tahun) yang menjalani operasi mayor saluran cerna
(Schroeder & Hill, 1992) kami mendapatkan banyak pasien mengeluh letih sebelum
operasi dan menjadi lebih letih setelahnya (Gambar 2.7).
Satu bulan setelah operasi kebanyakan pasien telah merasa mendingan dan
menjelang 3 bulan rasa letih menghilang. Akan tetapi segelintir pasien, khususnya
yang penurunan berat badan paling mencolok pada periode pasca bedah merasakan
letih paling berat dan juga paling lama. Hal serupa dilaporkan sebelumnya
(Christiansen & Kehlet 1984).

Fungsi otot rangka juga berubah setelah operasi dan kami mendapatkan
bahwa pola memburuknya fungsi ini serupa dengan rasa letih (Gambar 2.7). Ada
kemungkinan letih pasca operasi adalah karena berkurangnya massa otot yang
memiliki dampak buruk terhadap fungsi otot, sehingga ini merupakan keletihan
fisik. Sayangnya, yang dijumpai adalah lebih kompleks dari ini.

Sebagai contoh, nutrisi enteral pasca bedah, untuk menghemat cadangan


protein pasca bedah tidak mencegah rasa letih pasca bedah (Schroeder dkk 1991).
Di samping itu, fungsi otot polos tidak memburuk seperti halnya otot rangka
(Schroeder & Hill 1991). Jadi rasa letih pasca bedah yang merupakan masalah hanya
pada manusia (tidak terjadi pada hewan) memiliki dasar psikologis maupun
fisiologis (Lancet 1979).

Sebagai kesimpulan, rasa letih yang dialami setelah operasi tidak begitu
menjadi masalah bagi mereka yang merasa segar sebelum operasi. Mereka yang
sebelum operasi sudah merasa lemah, usia lanjut dan mengidap kanker adalah
mereka yang cenderung mengeluh lelah berkepanjangan setelah operasi.
BAGIAN V

FASE KONVALESEN

Dr Francis D Moore (Moore 1959) melukiskan konvalesensi pasien bedah


menurut empat fase berututan, yang dimulai segera setelah operasi itu sendiri, dan
merentang sampai 3 atau bahakn 12 bulan sampai fungsi pasien kembali seperti
seida kala.

Empat fase Moore adalah injury phase, turning point phase, gain in muscle strength
phase dan phase of fat gain.

Pada Gambar 2.7 bisa dilihat bagaimana keempat fase ini secara lengkap
melukiskan proses trauma bedah dan konvalesensi dipandang dari segi komposisi
tubuh, fungsi fisiologis dan letih pasca bedah. Pada gambar yang sama ebb phase
dan flow phase dari Cuthbertson juga diperlihatkan. Pada bedah mayor elektif, ebb
phase terlalu singkat untuk digambarkan.

INJURY PHASE

Pasien

Injury phase dari Moore mencakup tidak hanya ebb phase yang diceritakan
sebelumnya melainkan juga bagian dari flow phase. Fase ini berlangsung selama 4
hari pasca bedah. Ini diawali dengan fase tingginya aktivitas katekolamin dan
adrenokortikoid. Ini merupakan fase di mana defisit energi maksimal dan oksidasi
protein dan lemak juga maksimal. Laju sintesis protein sama atau berkurang,
sedangkan katabolisme protein meningkat.

Kehilangan kalium melebihi kehilangan nitrogen akibat mobilisasi glikogen


dari hati dan otot. Pada permulaan, pasien dingin dan lembab, pucat dan takikardia.
Pasien merasa lemas dan tidak napsu makan dan lebih senang tidak dibesuk. Lama
fase ini tergantung pada besarnya operasi dan gangguan fisiologis yang ditimbulkan
Hipovolemia, atelektasis dan gangguan asam basa semuanya memperpanjang fase
ini. Komplikasi pasca bedah seperti sepsis, peritonitis, embolus atau nekrosis akan
memperpanjang perubahan metabolisme ini.

Luka

Segera setelah penutupan luka bekuan fibrin di antara dua permukaan


diinfiltrasi dengan neutrofil dan makrofag. Menjelang hari ketiga, tunas kapiler
muncul dari pinggir luka dan fibroblas bermigrasi ke daerah tersebut, disusul cepat
oleh pembentukan kolagen. Kandungan kolagen dari luka berbanding lurus dengan
kelenturan jaringan pada hari-hari pertama ini.

Ada sejumlah variasi dalam respons penyembuhan luka. Puasa yang


dipaksakan sebelum operasi (Windsor Knight & Hill 1988), hipoalbuminemia
(Dickhaut dkk 1984), dan defisiensi vitamin C dan zinc (Sanstead dkk 1982)
menyebabkan gangguan respons penyembuhan luka, begitu pula halnya pemberian
steroid dosis tinggi (Orgill & Demling 1988).

Jadi ahli bedah harus memperhatikan penutupan luka pada mereka yang
kurang makan pada saat-saat menjelang operasi. Walaupun defisiensi zinc cukup
mengganggu penyembuhan luka, ini jarang dijumpai pada pasien-pasien bedah
elektif. Difisiensi vitamin C lebih sering, bisa sampai 25% pada pasien bedah elektif
(Hill dkk 1977). Efek bisa menonjol; walaupun jaringan granulasi terbentuk pada
daerah luka, fibroblas kurang orientasi dan akibat defisiensi fosfatase, pembentukan
kolagen tidak terjadi.

Secara eksperimental bila diberikan steroid dosis tinggi, jaringan granulasi


yang terbentuk sedikit, fibroblas tetap kecil dan kolagen kurang terbentuk. Dosis
steroid ini jauh lebih besar daripada yang digunakan di klinis. Namun demikian,
terbukti bahwa pasien yang mendapat steroid secara kronis lukanya sukar sembuh,
sehingga ahli bedah harus mengusahakan penutupan fasia lengkap dan jahitan atau
klip kulit lebih lama pada pasien yang mendapat steroid dosis tinggi.
Secara umum, respons penyembuhan luka terjadi pada daerah dengan aktivitas
metabolik tinggi sekalipun daerah tubuh lainnya katabolik. Sel-sel radang dalam
luka memiliki kapasitas mencolok untuk metabolisme glikolitik dan glukosa
merupakan bahan bakar yang lebih disukai untuk penyembuhan luka. Hati
menghasilkan glukosa ini melalui daur ulang karbon dari laktat, serta
glukoneogenesis.

Patut dicermati bahwa luka bersifat anabolik sedangkan bagian tubuh


lainnya bersifat katabolik selama fase injury ini. Luka mensintesis kolagen baru,
memperoleh kekuatan untuk sembuh sekalipun oksidasi lemak dan protein terjadi
untuk memasok energi bagian tubuh lain. Prioritas luka ini merupakan gambaran
dari fase injury. Berikutnya prioritas tinggi ini beralih dan jika pasien tetap
katabolik untuk wkatu berkepanjangan, luka berhenti sembuh dan memberi
kontribusi ke bagian tubuh lainnya untuk mengkonsumsi jaringan yang dibutuhkan
untuk mempertahankan kehidupan.

TURNING POINT PHASE

Pasien

Sekitar pertengahan sampai akhir minggu pertama pasca bedah, pasien


mulai tertarik memperhatikan sekelilingnya dan bertanya-tanya tentang
penampilannya yang kusut. Ia ingin bangun dan bercukur atau menyisir rambut.
Pasien wanita mungkin akan mencari cermin dan memakai lipstik. Fase ini biasanya
berlangsung hanya 1 sampai 2 hari, namun jika timbul komplikasi sepsis perubahan
ini tidak lengkap dan lebih lama.

Pada saat inilah hasrat untuk bangun terhambat oleh rasa letih dan pasien
segera kembali ke tempat tidur. Napsu makan dan minum mulai muncul (Gambar
2.8). Pasien mulai merasa lebih segar dan kekuatan otot membaik. Fungsi endokrin
telah kembali normal walaupun katabolisme protein terus berlanjut. Karena
sekarang aktivitas endokrin telah mereda, antara hari ke 3 dan ke 5 terjadi diuresis.
Kehilangan protein dalam urin lebih sedikit jika defisit kalium intraseluler diisi.
Hipotonisitas sementara (akibat hiponatremia kembali normal dan volume
ekstrasel yang ekspansi kembali normal. AEE (activity energy expenditure)
menigkat selama fase tititk balik ini, namun karena asupan masih kurang dari
normal (Gambar 2.8) defisit energi berlangsung dengan diimbangi katabolisme
lemak dan protein. Kunci keberhasilan pada stadium ini adalah meningkatkan
asupan nutrisi.

Luka

Biasanya luka sangat nyeri tekan walaupun tidak merah. Pinggir-pinggir luka sudah
merapat kuat, tetapi bisa dilepas dengan tarikan kuat. Gambaran mikroskopik
memperlihatkan kuatnya aktivitas fibroblas dan benang-benang kolagen sedang
terbentuk. Menjelang hari ke 7 pasca bedah, jahitan bisa dilepas karena kelenturan
yang meningkat ini. Anastomosis usus pada stadium ini mulai berfungsi, tetapi
rusaknya anastomosis atau luka menunjukkan kegagalan untuk mendapatkan
kekuatan lentur
MUSCULAR STRENGTH PHASE

Pasien

Sekarang pasien masuk ke periode 2 sampai 8 minggu di mana terjadi perbaikan


fungsi fisiologis dan psikologis yang cepat. Pasien sudah bergairah, makan mulai
seperti normal dan luka tidak begitu dirasa nyeri. Buang air besar sudah normal dan
letih menghilang. Pada akhir minggu 8, komposisi tubuh dan perasaan lelah sudah
pulih sempurna seperti sebelum operasi.

Luka

Kandungan kolagen luka mencapai maksimum. Pada perabaan terasa tebal dan
menonjol dan garis putih halus yang diamati segera setelah operasi sekarang sudah
lebih kasar dan kemerahan. Kekuatan lentur semakin bertambah namun dengan
persilangan serabut kolagen dan dengan remodeling kolagen baru secara lisis dan
resintesis.

FAT GAIN PHASE

Pasien

Periode akhir dari masa konvalesensi adalah penambahan berat badan karena
penimbunan lemak tubuh dan struktur penyokongnya. Ini terjadi karena imbang
energi positif terus berlanjut di mana asupan lebih besar dari yang digunakan untuk
kerja dan panas. Protein yang diperoleh bersama dengan lemak diduga sebagai
struktur yang mendukung jaringan adiposa, karena sedikit perubahan air tubuh
total bahkan sampai satu tahun setelah operasi. Pada fase ini, pasien sudah kembali
ke aktivitas normal.

Luka

Kekuatan lentur terus bertambah dengan berlanjutnya persilangan serabut kolagen


dan remodeling. Semua elemen parut menjadi kurang vaskuler dan sekarang
menjadi pucat dan kurang menonjol dari permukaan kulit. Kekuatan lentur
maksimum terjadi sekitar 100 hari, dan kekuatan jaringan kira-kira 80% normal.
Jaringan parut mulai mengecil selama maturasi luka dan ini berlanjut selama 3
sampai 12 bulan.

Pada saat ini jaringan parut bisa teregang atau berkontraksi. Defisiensi vitamin C
pada stadium ini memiliki efek buruk terhadap pembentukan kolagen dan parut
bisa membuka kembali jika defisiensi berat.
BAGIAN VI

MENAJEMEN METABOLIK PASIEN YANG MENJALANI OPERASI BESAR

Rekomendasi kami berdasarkan atas perubahan-perubahan yang diukur


dalam metabolisme, komposisi tubuh, fisiologi dan psikologi. Perubahan-perubahan
ini dimulai sebelum pasien memasuki kamar operasi dan ketika pasien sudah
kembali beraktivitas di lingkungan mereka.

MANAJEMEN PRA BEDAH

Jika ahli bedah meluangkan waktu untuk memberikan gambaran kepada


pasien tentang apa yang akan mereka alami dan rasakan di rumah sakit, terbukti
masa perawatan di rumah sakit akan lebih singkat (Egbert dkk 1964). Si dokter bisa
memilih menjelaskan kepada mereka yang cenderung mengalami rasa letih
berlebihan setelah operasi, bahwa masa konvalesensi akan lebih panjang, sehingga
kekecewaan pasien bisa dihindari (Schroeder & Hill 1991).

Ahli fisioterapi bisa membantu mengajar latihan-latihan yang akan


dikerjakan pasien pada pasca bedah, cara membalik badan atau bergerak di tempat
tidur sehingga rasa nyeri menjadi jauh berkurang. Jika pemeriksaan telah dilakukan
lama sebelum operasi dan jika asupan makanan sangat kurang, penyembuhan luka
akan terganggu sehingga perlu diperhatikan (Windsor Knight & Hill 1988). Jika ada
kecurigaan defisiensi vitamin C perlu diperbaiki. Pemberian antibiotik profilaktik
dan tindakan preventif untuk mencegah trombosis vena akan membantu kelancaran
penyembuhan pada pasca operasi.

PADA SAAT OPERASI

Ahli Bedah

Derajat cedera, jumlah jaringan nekrotik yang ditimbulkan dan ada tidaknya
infeksi mempengaruhi pelepasan sitokin adalah hal-hal yang perlu dipertimbangkan
dokter untuk menetapkan tujuan dan strategi pembedahan. Tujuannya adalah
menghindari sitokin dalam sirkulasi. Prosedur yang paling sedikit merusak, paling
sedikit kontaminasi dan berhati-hati adalah cara untuk menghindari ini. Strategi-
strategi tersebut mencakup, pemaparan (exposure) yang baik, diseksi tajam
sepanjang bidang anatomis, hemostasis seksama, aposisi jaringan yang akurat dan
jahitan yang rapih tanpa strangulasi.

Strategi- strategi ini mutlak perlu untuk mendapatkan perjalanan pasca


operasi yang lancer. Ini perlu dipikirkan beberapa hari atau jam sebelum bertindak.
Ahli bedah yang bijaksana, tanpa perduli apakah ia terbiasa dengan prosedur harus
memeprhatikan langkah-langkah ini.

Sebelum mengakhiri operasi, pembersihan rongga peritoneum yang seksama


akan meminimalkan resiko meninggalkan jaringan nekrotik atau bekuan, dan
hemostasis yang seksama memastikan bahwa hematoma besar tidak mengganggu
pemulihan pasca operasi.

Ahli anestesi

Walaupun pembiusan spinal atau epidural mencegah respons endokrin


klasik terhadap pembedahan, efek ini maksimal pada operasi daerah panggul, misal
prostatektomi, ginekologi dan prosedur ortopedik tungkai bawah. Namun kurang
bermakna pada operasi abdomen dan toraks karena kurangnya pemblokan pada
saraf aferen (Kehlet 1987). Pada kebanyakan operasi besar membutuhkan anestesi
umum, namun efek- efek hemodinamik yang diinduksi oleh anestesi umum serta
prosedur operasi bisa ditangani oleh ahli anestesi.

Hipovolemi harus dicegah, defisit cairan dari prosedur radiologis atau


persiapan usus harus diganti segera setelah induksi tidur. Selama operasi, tekanan
darah harus dimanipulasi dalam kisaran 10- 20% tingkat preoperatif dan volume
urin dalam kisaran 0,5-1 ml/kg/jam dengan penambahan larutan garam seimbang
dalam jumlah lebih dari yang cukup untuk mempertahankan rumatan. Jumlah
ekstra ini kebutuhan rongga ketiga tergantung pada sifat, luas dan lama operasi
dan bisa memanjang sampai 12 jam pada periode pasca operasi. Perhatian
sepantasnya terhadap volume cairan dan pengendalian tekanan darah, nadi dan
volume urin akan mengurangi respons endokrin terhadap trauma operasi (Roberts
dkk 1985), mengurangi lama fase injury dan mempersingkat masa rawat.

Kebutuhan akan darah (diberikan sebagai packed RBC) selama operasi


merupakan topik yang kontroversial. Keputusan untuk memberikan transfusi
membutuhkan pertimbangan klinis yang matang (NIH 1988), walaupun kombinasi
hipovolemia dan anemia bisa mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang lebih
besar. Ada kadar hemoglobin minimum untuk setiap pasien di mana delivery
oksigen yang tak memadai cenderung terjadi.

Keputusan untuk memberikan transfusi perlu memperhitungkan ada atau


tidaknya anemia perioperatif, volume intravaskuler, dan luas operasi, kemungkinan
kehilangan darah yang berlanjut dan ada tidaknya kondisi penyerta seperti
gangguan fungsi paru, curah jantung yang kurang, iskemia jantung dan penyakit
pembuluh darah otak atau penyakit pembuluh darah perifer.

MANAJEMEN SELAMA FASE PASCA BEDAH

Analgesia

Nyeri pasca operasi tidak memiliki fungsi yang berguna dan jika tidak
dikendalikan dengan memadai akan berdampak buruk terhadap fungsi pernapasan,
kebutuhan intrakardiak, mengurangi motilitas usus, dan menginduksi spasme otot
rangka yang selanjutnya menghambat mobilisasi. Jika anestesia regional telah
digunakan, ini harus diteruskan sepanjang operasi dan mungkin diteruskan selama
24-48 jam.

Pemberian opioid sistemik tidak memiliki efek modifikasi penting terhadap


respons endokrin. Namun efeknya sangat penting dalam mengurangi atau
menghapus nyeri pasca bedah, memperbaiki fungsi pernapasan, mengurangi
kebutuhan jantung dan mengendalikan spasme otot.
Cairan intravena

Jika sekembalinya ke bangsal pasien mengalami takikardia dan syok (ebb


phase) dibutuhkan lebih banyak kristaloid. Pada kebanyakan situasi ini disediakan
oleh larutan Ringer laktat dalam jumlah cukup untuk menjaga tekanan darah dan
nadi mendekati tingkat sebelum operasi dan volume urin 0,5-1 ml/kg/jam. Pada
banyak pasien kehilangan cairan dari kompartemen intravaskuler terus berlanjut
selama 12 jam dan selama periode ini akan dibutuhkan cairan pengganti isotonik.

Setelah beberapa jam, kebocoran kapiler akan berhenti dan cairan perlahan-
lahan dimobilisasi dari perifer ke ruang vaskuler, disusul diuresis. Pada titik ini,
cairan harus beralih ke rumatan.

Pada pasien dengan hidrasi cukup dan menjalani prosedur dengan


kehilangan darah sedikit, yang dibutuhkan adalah cairan rumatan. Kebutuhan
rumatan untuk pasien 70 kg biasanya 100 ml/jam dekstrosa/saline ditambahkan
dengan 20 mmol kalium per liter. Pemberian 130-150 gr dekstrosa pada regimen
cairan pasca bedah memiliki efek menekan produksi glukosa endogen (protein
sparing effect). Nitrogen urea urin (NUU) berkurang sebesar 40% bila dekstrosa
diberikan dengan cara ini (Swaminathan dkk 1980). Karena sel-sel yang rusak akan
membanjiri ruang ekstrasel dengan kalium, dianjurkan untuk tidak memberikan
kalium dalam 24-48 jam pertama pasca bedah.

Energi dan protein yang dipasok melalui enteral atau parenteral bisa
mencegah kehilangan protein setelah operasi mayor tanpa-komplikasi. Sayang tidak
jelas ada manfaat dini atau lanjut dari pencegahan kehilangan protein walaupun
beberapa ahli memberi kesan bahwa diet enteral memiliki tempat dalam
mengurangi komplikasi pasca bedah (Bower 1990a, Yeung dkk 1979b).

Namun demikian, telah diperlihatkan bahwa respons penyembuhan luka


ditingkatkan oleh dukungan nutrisi pasca bedah dan pada luka granulasi yang besar,
dukungan nutrisi memiliki manfaat klinis (lihat Bab 10, gambar 10.3). Seluruh topik
mengenai nutrisi perioperatif dibahas lebih rinci pada Bab 18. Manipulasi hormonal
juga telah dicoba. Insulin yang ditambahkan ke regiman TPN (total parenteral
nutrition) dan pemberian growth hormone mengurangi kehilangan protein pada
periode pasca operasi, mempertahankan komposisi tubuh dan menambah kekuatan
genggam tangan (Jiang dkk 1989, Inculet dkk 1986). Banyak penelitian lanjut
dibutuhkan sebelum regimen ini digunakan secara rutin pada bedah mayor (Ziegler
dkk 1990).

Peran perawat, fisioterapis dan ahli gizi

Asuhan perawatan metabolik terbaik pada saat pasien masuk ke turning


point phase dan sesudah itu adalah mendorong sikap positif. Ini dilakukan oleh staf
perawatan, fisioterapis dan pemberian makanan bergizi yang menarik oleh ahli gizi.
Memang kunci keberhasilan adalah memulihkan pola makan saat fase anabolik
mulai. Pada tahap dini pasca bedah pasien lebih suka karbohidrat daripada protein,
tetapi menjelang pertengahan minggu kedua diet seimbang antara karbohidrat dan
protein harus dimulai di rumah (Gambar 2.8).

Sebagian pasien dengan gigi palsu mengalami penyusutan gusi setelah


operasi dan perasaan tidak enak ketika mengunyah sehingga membatasi asupan
protein. Pemberian suplemen makanan pada pasien yang lambat mencapai imbang
protein dan energi tampaknya bermanfaat (Isaksson dkk 1959).

Apakah bisa dilakukan sesuatu untuk membatasi rasa letih pasca operasi?

Nutrisi pasca bedah yang cukup untuk menghapus kehilangan protein belum
dibuktikan mengurangi rasa letih pasca operasi. Di lain pihak, rasa letih ini minimal
pada mereka yang bugar sebelum menjalani operasi.
Bagian VII

PEMBEDAHAN DENGAN INVASI MINIMAL DAN RESPONS METABOLIK

Operasi dengan invasi minimal, khususnya kolesistektomi laparoskopi di


mana kandung empedu diangkat melalui insisi abdomen yang kecil telah menarik
perhatian ilmiah. Walaupun anestesi umum dibutuhkan dan prosedur berlangsung
lebih lama, ini agaknya disertai dengan mas konvalesensi yang lebih singkat dan
letih pasa bedah yang minimal (Neugebauer dkk 1991).

Walaupun penelitian pendahuluan memberi kesan bahwa respons


neuroendokrin sama seperti yang terjadi setelah operasi terbuka (Cuschieri 1991),
masih ditunggu evaluasi ilmiah lengkap terhadap efek-efek metabolik dari prosedur
ini serta efek fisiologis dan psikologis pada periode pasca bedah (Paterson-Brown
dkk 1991).
DAFTAR PUSTAKA
1. Nicholas E.Tawa, Jr., Joseph E. Fischer. Metabolism In Surgical Patients.
Towsend. Sabiston textbook of surgery, 18 th ed. Saunders, 2008. Chapter 7.
2. Graham L. Hill, Disorder of Nutrition and Metabolism in Surgery : Understanding and
Management, Churchill Livingstone, 2010

Anda mungkin juga menyukai