Anda di halaman 1dari 2

Kadar glukosa plasma disaat apapun ditentukan oleh jumlah glukosa yang masuk ke dalam aliran darah

dan jumlah yang meninggalkannya pula. Oleh karena itu, faktor-faktor penentu utamanya yakni:

1. Dietary intake (Asupan makanan)


2. Jumlah glukosa yang masuk ke dalam otot, jaringan adiposa, dan organ lainnya.
3. Aktivitas glukostatis hepar.

Starvasi atau prolonged fasting terjadi setelah kita berpuasa 3 hari atau lebih.

1. Pada hari pertama starvasi, yang terjadi adalah penurunan kadar gula darah yang menyebabkan
turunnya sekresi insulin dan peningkatan sekresi glukagon. Proses metabolik yang dominan
pada tahap ini adalah mobilisasi dari trigliserida di jaringan adiposa dan glukoneogenesis oleh
hati.
- Uptake glukosa oleh otot menurun karena kadar insulin rendah. Sehingga, otot mengubah
sumber energinya dari glukosa menjadi asam lemak.
Asam lemak kemudian melalui proses oksidasi beta diubah menjadi asetil KoA yang kemudian
diubah menjadi badan keton. Badan keton ini kemudian bisa masuk ke dalam jaringan tubuh
dan diubah kembali menjadi asetil KoA dan masuk ke siklus asam sitrat untuk produksi energi.
- Proteolisis juga menyediakan kerangka karbon untuk glukoneogenesis. Selama starvasi, protein
yang terdegradasi tidak diisi ulang dan berfungsi sebagai sumber karbon untuk sintesis glukosa.
Sumber protein awal adalah mereka yang cepat berubah, seperti protein epitel usus dan sekresi
pankreas. Proteolisis protein otot menyediakan beberapa prekursor glukosa tiga karbon.
Namun, kelangsungan hidup bagi sebagian besar hewan tergantung pada kemampuan untuk
bergerak dengan cepat, yang membutuhkan massa otot yang besar, sehingga kehilangan otot
harus diminimalkan.

2. Setelah 3 hari masa starvasi, otot mulai mengurangi penggunaan badan keton dan bergantung
terutama pada oksidasi asam lemak secara langsung menjadi asetil KoA dan kemudian CO2 dan
H20 dalam siklus asam sitrat sebagai sumber energinya.
Namun, hati tetap membentuk sejumlah besar asetoasetat dan d-3-hidroksibutirat (badan
keton). Sintesisnya dari asetil KoA meningkat secara nyata karena siklus asam sitrat tidak
mampu mengoksidasi semua unit asetil yang dihasilkan oleh degradasi asam lemak.
Glukoneogenesis menghabiskan pasokan oksaloasetat, yang penting untuk masuknya asetil KoA
ke dalam siklus asam sitrat. Akibatnya, hati menghasilkan sejumlah besar tubuh keton, yang
dilepaskan ke dalam darah.
Pada saat ini, otak mulai mengonsumsi jumlah asetoasetat yang cukup banyak sebagai
pengganti glukosa. Setelah 3 hari kelaparan, sekitar sepertiga dari kebutuhan energi otak
dipenuhi oleh badan keton. Jantung juga menggunakan badan keton sebagai bahan bakar.

3. Setelah beberapa minggu kelaparan, badan keton menjadi bahan bakar utama otak.
Hanya 40 g glukosa yang dibutuhkan per hari untuk otak, dibandingkan dengan sekitar 120 g
pada hari pertama kelaparan. Konversi yang efektif dari asam lemak menjadi badan keton oleh
hati dan penggunaannya oleh otak secara nyata mengurangi kebutuhan akan glukosa. Oleh
karena itu, lebih sedikit otot yang terdegradasi daripada pada hari-hari pertama kelaparan.
Pemecahan 20 g otot setiap hari dibandingkan dengan 75 g pada awal kelaparan adalah yang
paling penting untuk bertahan hidup. Waktu bertahan hidup seseorang terutama ditentukan
oleh ukuran cadangan triasilgliserol.
Selain itu, glukoneogenesis dari asam amino juga mulai menurun karena peralihan penggunaan
energi dari glukosa. Sehingga, ammonia sebagai hasil sampingan pemecahan asam amino pun
berkurang dan produksi urea menurun.

4. Apa yang terjadi setelah menipisnya cadangan triacylglycerol? Satu-satunya sumber bahan
bakar yang tersisa adalah protein. Degradasi protein semakin cepat, dan kematian tidak dapat
dihindari disebabkan oleh hilangnya fungsi jantung, hati, atau ginjal.

Berg, J. M. (2002). Food Intake and Starvation Induce Metabolic Changes. Retrieved February 25, 2019,
from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK22414/

Ganong, W. F. (2003). Review of medical physiology(23rd ed.). New York: Lange Medical Books/McGraw-
Hill.

Smith, C. M., Marks, A. D., Lieberman, M. A., Marks, D. B., & Marks, D. B. (2005). Marks basic medical
biochemistry: A clinical approach. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai