Neoplasia Skuamosa Pada Permukaan Okular
Neoplasia Skuamosa Pada Permukaan Okular
1. Pendahuluan
Permukaan mata terdiri dari konjungtiva dan kornea. Konjungtiva adalah
membran mukosa yang meliputi bola mata dan bagian dalam kelopak mata.
Morfologi dari sel epitel konjungtiva adalah epitel berlapis tidak berkeratin yang
bervariasi dari cuboidal diatas tarsus, hingga columnar di forniks, hingga epitel
skuamosa pada bola mata . Sel goblet menyumbang sekitar 10% dari jumlah sel
basal yang ada dari epitel konjungtiva. Substantia propia dari konjungtiva terdiri
dari jaringan ikat longgar. Kornea itu merupakan jaringan transparan dan
avaskular yang berfungsi sebagai dinding anterior mata dan media optik untuk
cahaya dapat masuk ke mata. Lapisan epitel kornea terdiri dari sel-sel epitel
skuamosa berlapis dan menyumbang sekitar 5% (0,05 mm) dari total ketebalan
kornea. Sel-sel induk epitel kornea terletak di lapisan basal dari epitel limbal yang
berploriferasi terus menerus dan menghasilkan lapisan superfisial yang kemudian
akan berdiferensiasi menjadi sel-sel superfisial. Regulasi dari pertumbuhan sel
dan metabolisme sangat penting untuk mempertahankan permukaan mata tetap
utuh dan kornea tetap transparan.
Tumor primer dari konjungtiva dan kornea dapat dikelompokkan menjadi
dua kategori utama: kongenital dan diperoleh. Lesi yang diperoleh terdiri dari
berbagai variasi neoplasma yang berasal dari epitel skuamosa, melanosit, dan sel-
sel limfosit. Tumor dari epitel skuamosa memiliki spektrum yang besar untuk
jenis lesinya, mulai dari lesi jinak seperti papiloma skuamosa, hingga lesi
prakanker yang terbatas pada epitel permukaan (neoplasia intraepithelial atau
displasia, yang sebelumnya dikenal sebagai penyakit Bowen). Terdapat karsinoma
sel skuamosa yang bersifat lebih invasif dan dapat menembus membran basal
hingga substantria propia dari konjungtiva atau stroma kornea.
Istilah ocular surface squamous neoplasia (OSSN) (Neoplasia Skuamosa
pada Permukaan Mata) pertama kali dijelaskan pada 1995 oleh Lee dan
Hirst untuk menunjukkan sebuah spektrum neoplasma yang berasal dari epitel
skuamosa mulai dari dysplasia sederhana hingga karsinoma sel skuamosa invasif
(SCC), yang melibatkan konjungtiva, limbus, dan kornea. (Lee & Hirst 1995).
Mirip dengan kanker leher rahim, tumor ini juga memiliki tingkat kekambuhan
yang relatif tinggi setelah pengobatan dan dapat bermetastasis. Tumor ini
dianggap sebagai keganasan tingkat rendah ( low grade) tetapi lesi invasif dapat
menyebar ke bola mata atau orbita. Bab ini menyoroti tentang epidemiologi,
etiologi dan faktor terkait, manifestasi klinis, alat diagnostik, dan standar
perawatan untuk pengelolaan tumor ini. Papiloma skuamosa juga disertakan
dimana beberapa papilloma konjungtiva mungkin memiliki potensi displastik.
2.4 Imunosupresi
Dari catatan, OSSN memiliki beberapa kesamaan dengan neoplasma kulit.
Diyakini bahwa supresi kekebalan lokal pada kulit dari kerusakan akibat sinar
matahari dapat menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi HPV, yang
dapat menyebabkan neoplasia. Risiko tambahan juga telah dilaporkan terjadi
pasien kanker dengan imunosupresi dan pasien transplantasi organ. (Shelil et al
2003;. Shome et al. 2006) Selain itu, terdapat laporan bahwa OSSN terjadi
setelah cangkok kornea, yang mungkin sebagian terkait dengan imunosupresi
lokal, HPV, atau mungkin bahwa sel-sel neoplastik telah ada sebelumnya pada
epitel kornea donor pada saat transplantasi. (Ramasubramanian et al. 2010)
2,5 Lainnya
Faktor-faktor lain yang terkait dengan kondisi ini termasuk usia tua, jenis
kelamin laki-laki (Lee & Hirst 1995; Sun et al. 1997), dan pigmentasi kulit kuning
langsat (Lee et al 1994;. Sun et al 1997), serta perokok berat. (Napora et al. 1990),
paparan terhadap produk minyak bumi (Napora et al. 1990), dan beberapa kondisi
genetik seperti xeroderma pigmentosum. Yang disebutkan terakhir adalah
kelainan genetik yang jarang terjadi, di mana terdapat reaktivitas berlebihan
terhadap luka yang diinduksi sinar UV dan menyebabkan peningkatan keganasan.
Penyakit ini sering terjadi pada anak usia dini dengan yang berat dan fotofobia.
(Kraemer et al 1987;.. Chidzonga et al 2009).Penggunaan yang lama dari prostesis
mata (Jain et al. 2010) dan memakai lensa kontak (Guex-OSC & Herbort 1993)
juga telah telah terlibat dalam patogenesis OSSN, meskipun buktinya masih
kurang
.
3. Manifestasi klinis
Spektrum klinis dari OSSN bervariasi dari lesi jinak seperti papiloma
skuamosa, lesi prakanker seperti dysplasia konjungtiva kornea- intraepitel
(CCIN), karsinoma insitu, dan karsinoma sel skuamosa invasif (SCC).
Gambar. 11. Karsinoma sel skuamosa A. massa difus melibatkan lebih dari
dua kuadran limbus. Temuan B. Temuan Gonioscopic dalam mata yang
sama menunjukkan invasi angulus oleh massa.
4.1 Histologi
Fitur histologis OSSN dapat diklasifikasikan sesuai dengan keberadaan
sel-sel displastik yang berasal dari lapisan sel basal yang meluas ke arah
permukaan. Ada berbagai pola perubahan displastik, mulai dari sel-sel skuamosa
kecil dengan peningkatan rasio inti-sitoplasma (N/C), sel-sel skuamosa besar
dengan inti hiperkromatik, dan sel spindle di sekitar inti berbentuk oval. Sel-sel
displastik mengandung inti yang abnormal baik dengan pleomorfisme nuklir atau
anisonukleosis.Selain itu, gambaran tanda mitosis mengalami peningkatan dan
secara bertahap terdorong ke arah permukaan seiring dengan tingkat
displasia. Banyak gambaran mitosis yang abnormal.Istilah histologis digunakan
untuk menggambarkan OSSN meliputi (Font et al 2006.):
Displasia: lesi epitel displastik konjungtiva dan kornea terbagi menjadi
tiga kelas berdasarkan ketebalan keterlibatan intraepitel. Koilocytes jarang
teridentifikasi namun sugestif untuk infeksi HPV bila
ditemukan. Ketebalan keterlibatan dapat diperkirakan dengan
menggunakan pengecatan Periodic acid-Schiff (PAS) untuk menunjukkan
adanya glikogen dalam sel skuamosa superfisial non-neoplastik. Selain itu,
immunostaininguntuk proliferating cell nuclear antigen(PCNA), Ki-67
dan p53 serta pengecatan argyrophillic nucleolar organizer
region(AgNOR) mungkin berguna untuk grading lesi displastik serta
menentukan korelasi dengan temuan morfologi klinis. (Aoki et al
1998).Grading displasia digambarkan sebagai:
o Ringan -Kurang dari sepertiga ketebalan dari epitel ditempati oleh
sel-sel atipikal (Gbr.12A)
o Sedang - dalam tiga kuartal ketebalan epitel ditempati oleh sel-sel
atipikal.
o Parah - ketebalannya hampir seluruh epitel ditempati oleh sel-sel
atipikal (Gbr.12B).
Karsinoma in situ: neoplasia melibatkan seluruh ketebalan epitel dengan
hilangnya lapisan permukaan normal. (Gbr.12C) Pengumpulan pembuluh
darah yang berproliferasi dan perluasan jaringan ikat di sepanjang daerah
neoplastik dapat membuatnya mirip dengan papilloma sessile. (Pizzarello
& Jakobiec 1978)
Karsinoma sel skuamosa invasif: seluruh ketebalan epitel telah digantikan
oleh sel-sel displastik dan membran basal lapisan epitel basal telah
tertembus karena invasi sel displastik ke substantiapropia. Pembentukan
sarang sel kanker dan sel-sel kanker tunggal dengan inti aneh dalam
stroma adalah tanda untuk definitif karsinoma jenis invasif. (Tunc et al.
1999) (Gbr.12D)
4.2 Sitologi
Sitologi permukaan okular dapat dilakukan dengan dua teknik utama:
pertama dengan sitologi eksfoliatif dengan menggunakan kerokan spatula atau
cytobrush untuk mengumpulkan sampel, dan kedua adalah sitologi impresi
dengan menggunakan perangkat pengambil untuk mengumpulkan sampel melalui
kontak dengan permukaan lesi. Fitur sitologi dari OSSN telah ditelaah oleh
beberapa penulis. (Lee & Hirst 1995)
Displasia: Sel skuamosa dengan bantalan inti membesar dengan granulasi
halus hingga kasar pada kromatininti, batas inti tidak teratur, sitoplasma
sedikit. Latar belakang bersih.
Karsinoma in situ: Berbagai jumlah sel displastik dengan campuran sel-sel
ganas utuh dan terpelihara dengan baik. Beragam ukurannya dengan
sitoplasma sedikit, biasanya <1 diameter nuklir lebarnya. Inti yang
membesar menunjukkan gambaran neoplastik dari hiperkromatisme,
penebalanmembran inti tidak teratur, atau pengerasan membran
inti. Gambaran inti lainnya termasuk kliring atau kondensasi chromatins
inti abnormal dan nukleoliasidofilik yang besar. Namun, latar belakang
apusan dalam keadaan bersih.
Karsinoma sel skuamosa invasif: gambaran sitologi dari SCC telah dinilai
menjadi dua kelompok.
o Grade1-2: Ditandai aberasi sitologi dengan tanda sel ganas aneh
termasuk tadpole cell dengan cytolplasmic tail, selserat atau
spindle, sel hiperkeratinisasi dengan sitoplasma merah atau oranye
refraktil buram, dan inti ganas.
o Grade 3-4: Sel kanker besar atau kecil dengan sitoplasma
sedikit. Sel mukosanya tidak berkeratin mungkin sebagian sel yang
rusak, atau kehilangan bantalan sitoplasma secara lengkap dengan
inti pleomorfik besar hingga raksasa. Dengan invasi dalam dan
ulserasiyang lebih, latarbelakang "diatesis" tumor-sel tumor
nekrotik, eksudat debris sel, darah, dan leukosit dalam keadaan
yang lebih menonjol.
Keuntungan dari sitologi yakni teknik yang sederhana dalam diagnosis dan
tindak lanjut setelah pengobatan OSSN, terutama untuk mendeteksi
rekurensi. Namun, beberapa masalah telah dilaporkan dalam teknik sitologi
eksfoliatif yang dapat meliputi beberapa tingkat ketidaknyamanan bagi pasien,
masalah dengan artefakpengeringan, masalah dengan tumpang tindih seluler (sulit
untuk menafsirkan spesimen secara terpercaya) dan lesi yang tak terlokalisir.
Gambar. 12. Gambaran histologis. Displasia ringan A.; sel-sel basal yang
teratur dengan peningkatan ukuran inti dan kromatin inti yang kasar. B.
displasia berat; sel-sel epitel yang bervariasi dalam bentuk dan ukuran
dengan inti pleomorfik besar. Sel-sel permukaan merata dengan inti
pyknotic. C. Karsinoma in situ: seluruh ketebalan epitel terdiri dari sel-sel
displastik dengan bantalan inti pleomorfik. Perhatikan reaksi inflamasi
dalam stroma. D. Invasif karsinoma sel skuamosa; sarang invasif dalam
stroma terdiri dari sel-sel aneh mirip dengan yang di epitel. Inti yang
plemorfik dengan membran inti tebal dan nukleolus yang menonjol
(Pengecatan Hematoksilin dan Eosin . Pembesaran asli X40) memberikan
yang ketidaknyamanan bagi pasien, dapat dilakukan pada kondisi rawat
jalan, dan memberikan lokalisasi area yang lebih tepat untuk diteliti. Selain
itu, hubungan antara satu sel dengan yang lainnya dapat dinilai, yang
memberikan kesempatan melihat sel-sel tersebut ada secara in vivo.
Diagnosis diferensial/banding
Karena sifat non-invasif OSSN, diagnosis sering kali terlewatkan atau
terlambat. Keluhan-keluhan pasien terkadang diobati sebagai konjungtivitis
kronik. Kondisi-kondisi lainnya yang sering kali salah antara lain : pterigium,
pingecula, pannus kornea, keratokonjungtivitis viral, dan distrofi kornea.
5. Penatalaksanaan
5. 1 Papiloma konjungtiva
Banyak papiloma konjugtiva yang mengalami regresi spontan. Papiloma
pedunkulata merupakan papiloma kecil, yang secara kosmetik dapat diterima dan
sering kali asimtomatik, meskipun dibutuhkan berbulan-bulan hingga bertahun-
tahun untuk resolusi spontan. Lesi-lesi yang lebih besar dan lebih berpedukulata
secara umum menimbulkan gejala dan tidak dapat diterima secara kosmetik, oleh
karena itu, direkomedasikan dilakukan operasi ditambah dengan kryoterapi.
Papiloma sesil harus diobservasi secara ketat. Jika terdapat bukti bahwa terjadi
perubahan displastik, eksisi dengan kryoterapi harus dilakukan.
Eksisi komplit tanpa manipulasi tumor (teknik tanpa sentuh) merupakan
bagian krusial dari operasi eksisi untuk meminimalisir risiko virus menyebar ke
konjungtiva sehat yang tak terlibat. Kryoterapi freeze-thaw ganda diaplikasikan ke
konjuctiva yang tereksisi untuk mencegah rekurensi tumor. Suatu eksisi yang
tidak lengkap dapat menstimulasi pertumbuhan dan menyebabkan rekurensi lesi
dan perburukan outcome kosmetik.(Gambar 14) Interferon- alpha 2b topikal
(Schechter et al. 2002; Kothari et al. 2009) dan mitomycin C(Hawkins et al.
1999; Yuen et al. 2002) telah digunakan dalam terapi papiloma konjunctiva. Agen-
agen imunomodulasi seperti cimetidin oral menyebabkan regresi viral terkait
papiloma. (Chang & Huang 2006)
5.2.2 Kemoterapi
Karena tingkat kekambuhan yang relatif tinggi setelah eksisi bedah,
berbagai perawatan topikal telah dianjurkan sebagai terapi tunggal untuk OSSN.
Terapi topikal menawarkan suatu metode non-bedah untuk mengobati seluruh
permukaan mata dengan kurang menekankan pada definisikan margin tumor.
sehingga berpotensi menghilangkan lesi-lesi subklinis. Pengobatan topikal dapat
mengunakan obat dengan konsentrasi tinggi, untuk menghindari efek samping
sistemik. Di samping itu, peningkatan biaya, stres, nyeri, dan trauma yang terkait
dengan prosedur bedah juga dapat dihindari. Berbagai obat topikal telah
digunakan secara efektif untuk mengobati kondisi ini, yaitu mitomycin C (MMC),
5-fluorouracil (5-FU), dan interferon. MMC merupakan agen topikal yang paling
sering digunakan oleh kelompok dokter spesialis penyakit eksternal. (Stone et al.
2005) Agen-agen ini telah digunakan sebagai terapi tunggal atau adjuvan
pembedahan (preoperasi, intraoperasi, dan pascaoperasi) untuk pengobatan
OSSN.
Mitomycin C
Mitomycin C (MMC) adalah antibiotik ankylating yang mengikat DNA
dalam seluruh fase siklus sel yang menyebabkan cross-linking ireversibel dan
penghambatan sintesis nukleotida. Ketika diaplikasikan pada permukaan
konjungtiva sebagai adjuvan pembedahan, MMC telah terbukti menghambat
migrasi sel fibroblast, menurunkan produksi matriks ekstraseluler, dan
menginduksi apoptosis pada fibroblast kapsula Tenon. Selain itu, juga diketahui
bahwa efek jaringan kronis dari pemberian MMC topikal dapat bertahan selama
bertahun-tahun setelah penghentian pengobatan, sehingga meniru efek radiasi
ionisasi. (McKelvie & Daniell 2001)
MMC telah banyak digunakan dalam operasi glaukoma dan pterygium
karena efek anti-fibrotik pada fibroblast subkonjungtiva. Penggunaan MMC untuk
pengobatan OSSN pertama kali deskripsikan pada tahun 1994. (Frucht-Pery &
Rozenman 1994) Sejak saat itu, berbagai seri kasus yang menggunakan MMC
telah dipublikasi dengan konsentrasi dan jangka waktu yang berbeda. Protokol
umum dari pemberian MMC topikal berkisar dari 0,02% -0,04% dan diberikan
empat kali sehari untuk mata yang sakit selama 7 sampai 28 hari. (Gambar 15)
Dalam salah satu seri kasus menunjukkan bahwa bahkan MMC dengan
konsentrasi yang lebih kecil dari 0,002% efektif dalam pengobatan OSSN primer
dan rekuren. (Prabhasawat et al. 2005) Beberapa penelitian (mirip dengan yang
digunakan dalam fraksinasi radiasi dalam pengobatan kanker-kanker sistemik)
menyukai siklus 7 hari dan bergantian antar-minggu (1 minggu pemberian dan 1
minggu off) untuk memungkinkan sel-sel Satu percobaan randomise control
menemukan bahwa tetes mata MMC 0,04% yang digunakan 4 kali sehari selama 3
minggu efektif dan menyebabkan resolusi awal pada OSSN noninvasif. Tingkat
resolusi relatif pada MMC dibandingkan dengan plasebo adalah 40,87 dan waktu
rata-rata untuk resolusi tumor dalam penelitian ini adalah 121 hari, serta tidak ada
komplikasi yang serius yang ditemukan pada follow up jangka menengah. (Hirst
2007) MMC juga telah digunakan sebagai tambahan terapi bedah untuk OSSN:
perioperatif, untuk mengurangi ukuran lesi yang luas sebelum eksisi bedah
(chemoreduction), intraoperatif, dan postoperatif untuk mengurangi kekambuhan
(Kemp et al, 2002; Chen et . al 2004; Gupta & Muecke 2010)
Interferon
Interferon (IFN) adalah kelompok protein yang terikat pada reseptor
permukaan sel target dan memicu terjadinya kaskade antiviral dan antitumor
intraseluler. Interefon-alpha sistemik telah digunakan pada pengobatan hairy cell
leukemia, kondiloma acuminata, sarkoma karposi pada AIDS, dan hepatitis (B
dan C). Rekombinan topikal IFN-2b (1 juta IU / ml) 4 kali sehari telah
digunakan secara efektif dalam pengobatan OSSN primer. (Sturges et al. 2008)
Efek antiviral dari IFN-2b dapat menjelaskan mengapa agen tersebut kurang
efektif sebagai pengobatan utama untuk lesi yang tidak terkait dengan infeksi
HPV. Topikal IFN-2b telah digunakan secara efektif dalam pengelolaan lesi
berulang atau bandel di mana eksisi bedah atau MMC yang dilakukan telah gagal.
(Holcombe & Lee 2006) Agen ini ditoleransi dengan baik dan tidak merusak sel-
limbal stem sel secara nyata. Subconjunctival / perilesional IFN-2b (1-3000000
IU / ml) juga telah digunakan secara efektif untuk pengobatan pada OSSN primer
dan rekuren. (Nemet et al 2006;.. Karp et al 2010) Pemberian IFN topikal yang
perlahan-lahan, tampaknya berhubungan dengan beberapa efek samping, seperti
konjungtivitis folikular dan injeksi konjungtiva, yang tampaknya dapat benar-
benar sembuh setelah penghentian obat. (Schechter et al. 2008) Dilaporkan
adanya microkista epitel kornea setelah pemberian interferon topikal yang identik
dengan yang telah dilaporkan pada terapi interferon sistemik. (Aldave & Nguyen
2007) IFN-2b subconjunctival dikaitkan dengan terjadinya demam sementara
dan mialgia yang serupa dengan yang terjadi pada aplikasi sistemik.
Agen kemoterapi topikal pada pengobatan OSSN telah menunjukkan
efikasi yang bisa diterima. Perbandingan dari ketiga obat ini terhadap pengobatan
OSSN non-invasif mengungkapkan bahwa MMC adalah agen yang paling efektif
(88%), diikuti oleh 5-FU (87%), dan IFN-2b (80%). MMC memiliki rasio efek
samping tertinggi, mungkin karena MMC merupakan agen topikal yang paling
sering digunakan. IFN-2b adalah agen yang memiliki toksisitas paling rendah,
namun merupakan yang termahal dari ketiga agen. (Sepulveda et al 2010) Indikasi
relatif penggnaan perawatan topikal pada OSSN adalah: 1) keterlibatan
konjungtiva > 2 kuadran, 2) keterlibatan limbal > 180 derajat, 3) pemanjangan ke
dalam clear cornea yang melibatkan sumbu papiler, 4) margin positif setelah
eksisi, dan 5) pasien yang tidak dapat menjalani operasi. (Sepulveda et al. 2010)
Namun, beberapa dokter lebih memilih eksisi bedah sebagai pengobatan awal
pada lesi invasif jika pemanjangannya kurang dari 6 jam, karena ini dapat
memberikan konfirmasi diagnosis dengan cacat kosmetik yang sedikit jika
dilakukan dengan benar. (Shields et al. 2002) Ketika dipertimbangkan agen
topikal sebagai rejimen pengobatan OSSN, agen tersebut harus digunakan dengan
hati-hati karena efek jangka panjangnya terhadap permukaan okular mata, juga
kelopak mata yang berdekatan dan sistem drainase nasolacrimal, belum
didefinisikan sepenuhnya.
Modalitas terapi lainnya untuk pengelolaan OSSN meliputi plak
brachytherapy dengan Iodine-125 (Walsh-Conway & Conway 2009), terapi beta-
radiasi, gamma radiasi, dan imunoterapi dengan dinitrochlorobenzene (DNCB).
(Lee & Hirst 1995) Pengobatan agresif seperti enukleasi atau exenterasi
dipertimbangkan pada kasus dengan invasi ocular atau orbital. (Shields & Shields
2004)
6. Tujuan klinis
OSSN adalah tumor yang tumbuh lambat; Namun beberapa kasus jika
diabaikan dapat menyerang bulbus dan orbita dan dapat menyebabkan kematian.
Tumor ini memiliki potensi untuk kambuh setelah pengobatan. Pada serangkaian
OSSN, pada lesi intraepithelial dan invasif, ditemukan bahwa keterlibatan sclera
terjadi pada 37%, invasi orbital 11%, dan tidak ada metastasis atau kematian yang
berhubungan dengan tumor. (Tunc et al.1999) Pada serangkaian 26 SCC
konjungtiva, invasi intraokular terjadi pada 11% pasien, invasi kornea atau sclera
30%, dan invasi orbital 15%. Exenterasi diperlukan pada 23% kasus, dan 8%
meninggal karena metastasis. (McKelvie et al. 2002) Faktor yang diprediksi yang
berhubungan dengan peningkatan kekambuhan tumor secara signifikan yaitu
meliputi usia tua, lesi berdiameter besar, indeks proliferasi tinggi (Ki-67 skor),
dan surgical margin positif. (McKelvie et al. 2002)
Sebuah studi jangka panjang CCIN juga menemukan bahwa tingkat
kekambuhan setelah operasi lebih tinggi pada kasus dengan surgical margin yang
positif dibandingkan dengan free margin (56% berbanding 33%). Waktu untuk
kekambuhan berkisar antara 33 hari sampai 11,5 tahun setelah pengobatan primer,
dan pada pasien dengan eksisi tidak lengkap kambuh lebih awal daripada pasien
dengan free margin. (Tabin et al. 1997) Pertumbuhan tumor kambuhan yang
lambat dan bukti adanya kekambuhan laten 10 tahun setelah operasi,
mengakibatkan perlunya untuk follow up pasien tahunan selama sisa hidupnya.
OSSN pada individu imunosupresi tampaknya memiliki agresifitas yang
berbeda dengan perjalanan klinis yang relatif jinak pada OSSN klasik
(Masanganise & Magava 2001; Gichuhi & Irlam 2007). Tumor sering tumbuh
dengan pesat dan memiliki kecenderungan untuk menyerang bulbus oculi atau
orbita. Masalah ini diperparah oleh fasilitas kesehatan yang buruk, dan kepatuhan
pasien, yang sering ditemukan di daerah endemis HIV. Manajemen dengan
pendekatan standar pada pasien-pasien ini sering dikaitkan dengan tingkat
kekambuhan dan invasi intraokular atau orbital yang lebih tinggi. Dengan
demikian, mungkin diperlukan eksisi luas dengan analisis histologis terhadap
margin, seperti juga rejimen tambahan lain seperti cryotherapy, agen kemoterapi
topikal untuk mencegah kekambuhan lokal, invasi intraokular atau orbital, dan
metastasis. Selain itu, sangat penting bagi setiap pasien HIV untuk menjalani
pemeriksaan mata secara rinci pada saat datang ke klinik dan menjalani follow up
untuk mendeteksi rekurensi penyakit secepat mungkin.
7. Kesimpulan
OSSN adalah spektrum penyakit mulai dari simple displasia sampai
karsinoma invasif. Lesi ini dianggap memiliki keganasan yang rendah, tetapi
secara invasif dapat menyebar ke seluruh bulbus oculi atau orbit. OSSN adalah
tumor permukaan mata yang paling umum dan memiliki insiden yang bervariasi
pada setiap lokasi geografis yang berbeda. Faktor risiko utama adalah paparan
UV-B dimana terdapat meningkatnya insiden OSSN di daerah yang dekat dengan
khatulistiwa. Faktor risiko penting lainnya adalah human papilloma visur dan
human immunodeficiency virus (HIV). Namun, tidak jelas apakah faktor host
(misalnya faktor genetik dan gangguan kekebalan terkait HIV) atau karakteristik
epitel permukaan mata juga merupakan bagian dari etiopatogenesis dari OSSN.
Gejala OSSN berkisar dari tidak adanya gejala sama sekali sampai gejala nyeri
yang berat atau hilangnya penglihatan. Secara klinis, tumor ini paling sering
muncul di daerah interpalpebral, terutama di daerah limbal. Diagnosis dan
penanganan awal dapat mengurangi risiko agresifitas lokal dan dapat
meningkatkan prognosis pasien dalam hal kontrol lokal dan mempertahankan
visus. Dalam praktek klinis, OSSN umumnya dievaluasi dengan histologi
jaringan. Perkembangan teknik diagnostik pra-operasi seperti pemeriksaan
sitologi adalah kemajuan dalam hal penemuan diagnosis dan tindakan follow up
setelah pengobatan. Bedah eksisi tambahan dengan cryotherapy dikombinasikan
dengan abrasi alkohol pada kasus keterlibatan kornea merupakan strategi
pengobatan utama. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada OSSN dengan tingkat
yang lebih berat dan yang memiliki margin bedah yang adekuat pada eksisi awal.
Perawatan manajemen standar untuk OSSN tampaknya bergeser ke arah
kemoterapi topikal seperti MMC, 5 FU, dan interferon sebagai terapi tunggal, atau
sebagai tambahan terapi bedah, terutama dalam kasus-kasus OSSN difus atau
unoperable. Pengobatan alternatif ini terus berkembang meskipun memiliki
kekurangan dalam literatur jangka panjang yang telah diterbitkan. Penyakit invasif
dapat menyebabkan keterlibatan intraokular atau orbital dengan hilangnya
penglihatan, dan kadang-kadang dapat menyebabkan kematian. Kekambuhan
setelah pengobatan awal adalah bervariasi dan menyebabkan perlunya follow up
seumur hidup pada semua kasus OSSN.