Anda di halaman 1dari 35

DASAR-DASAR SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH

1. Pendahuluan

Peningkatan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi serta


pembangunan di suatu daerah selain mempunyai dampak positif juga menimbulkan
dampak negatif. Indonesia yang merupakan negara nomor empat terpadat di dunia
dengan prakiraan jumlah penduduk tahun 2007 mencapai 234 juta jiwa, menghadapi
banyak permasalah terkait sanitasi lingkungan terutama masalah pengelolaan sampah.
Berdasarkan target MDGs (Millineum Development Goals) pada tahun 2015 tingkat
pelayanan persampahan ditargetkan mencapai 80%. Tetapi di Indonesia berdasarkan
data BPS tahun 2004, hanya 41,28% sampah yang dibuang ke lokasi tempat
pembuangan sampah (TPA), dibakar sebesar 35, 59%, dibuang ke sungai 14,01%,
dikubur sebesar 7,97% dan hanya 1,15% yang diolah sebagai kompos. Berdasarkan
kondisi ini jika tidak dilakukan upaya pengelolaan sampah dengan baik maka tingkat
pelayanan berdasarkan target nasional akan sulit tercapai.
Telah diketahui bahwa sampah yang tidak ditangani dengan baik dapat
mengganggu estetika lingkungan, menimbulkan bau, serta mengakibatkan
berkembangnya penyakit. Gangguan lingkungan oleh sampah dapat timbul mulai dari
sumber sampah, di mana penghasil sampah tidak melakukan penanganan dengan
baik. Hal ini dapat terjadi pada penghasil sampah yang tidak mau menyediakan tempat
sampah di rumahnya, dan lebih suka membuang sampah dengan seenaknya ke
saluran air atau membakarnya sehingga mencemari lingkungan sekitarnya. Tempat
sampah yang disediakan di rumah tangga dan lokasi komersial seperti pasar, tidak
bertutup, sehingga menyebabkan sampah tercecer dan menjadi tempat berkembang-
biaknya lalat serta menimbulkan bau. Selain itu pola penanganan sampah secara
umum masih belum sebagaimana yang dipersyaratkan, sehingga timbul masalah
pencemaran (Gambar 1).

1
Gambar 1. Kondisi Eksisting Pengelolaan Sampah

Pemerintah menyadari bahwa permasalahan sampah telah menjadi


permasalahan nasional. Perlu adanya sistem pengelolaan yang dilakukan secara
komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir. Selain itu bahwa dalam pengelolaan
sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan
Pemerintah, pemerintahan daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga
perlu adanya Undang-Undang yang mengatur tentang pengelolaan sampah. Pada
tahun 2008 disahkan UU no 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang
bertujuan antara lain :
a. Agar pengelolaan ini dapat memberikan manfaat secara ekonomi (sampah
sebagai sumber daya), sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan,
serta dapat mengubah perilaku masyarakat;
b. Agar mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh sampah terhadap
kesehatan dan lingkungan;
c. Agar pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan
efisien.

Kondisi pengelolaan persampahan di berbagai kota di Indonesia ditenggarai


cenderung menurun, terlihat dari menurunnya tingkat pelayanan yang hanya 40%
pada tahun 2000 (sebelumnya pernah mencapai 50%), walau secara perlahan
meningkat kembali menjadi 56% pada 2006 (data BPS, 2006). Dalam kurun waktu
tersebut juga terjadi berbagai kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan karena
pengelolaan sampah yang tidak sesuai dengan standar teknis.

2
Pengangkutan sampah dari sumber sampah (kawasan perumahan, perkantoran,
komersial, industri, dan lain-lain) ke TPA merupakan cara konvensional yang sampai
saat ini masih mendominasi pola penanganan sampah di Indonesia. Namun sesuai
dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Persampahan, paradigma pola
pengelolaan sampah tidak lagi mengandalkan pola kumpul-angkut-buang, namun
beralih ke pola pengurangan dan pemanfaatan sampah sejak dari sumbernya, sehingga
volume sampah yang dibuang ke TPA sudah sangat berkurang.
Prasarana pengangkutan sampah dapat berupa gerobak/sepeda/motor sampah
atau truk terbuka. Adanya perubahan paradigma penanganan sampah tersebut, maka
diperlukan perubahan pola pengangkutan sampah baik untuk sampah tercampur
maupun sampah terpilah.
Kondisi operasional TPA yang sebagian besar dilakukan secara open dumping
pada umumnya karena keterbatasan sumber daya manusia dan dana. Undang-Undang
No. 18 Tahun 2008 mengamanatkan bahwa mulai tahun 2013 tidak diperkenankan lagi
operasi TPA secara open dumping. Untuk itu proses perencanaan memegang peranan
penting dalam pelaksanaan pengelolaan persampahan. Keterlibatan dalam pengelolaan
persampahan tidak hanya oleh pemangku kepentingan tetapi termasuk masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi sampah
baik timbulan (berat atau volume) serta komposisinya.

2. Pengertian Sampah

Sejumlah literatur mendefinisikan sampah sebagai semua jenis limbah


berbentuk padat yang berasal dari kegiatan manusia dan hewan, dan dibuang karena
tidak bermanfaat atau tidak diinginkan lagi kehadirannya (Tchobanoglous, Theisen &
Vigil, 1993). Sedangkan dalam PP No. 18/1999 jo PP No. 85/1999 tentang pengelolaan
limbah berbahaya dan beracun, secara umum limbah didefinisikan sebagai bahan sisa
pada suatu kegiatan dan/atau proses produksi.
Definisi sampah mengalami pergeseran pada tahun-tahun terakhir ini karena
aspek pembuangan tidak disebutkan secara jelas, dimana pada masa sekarang ada
kecenderungan untuk tidak membuang sampah begitu saja, melainkan sedapat
mungkin melakukan daur ulang. Hal ini tertuang pula dalam UU no 18 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah. Berdasarkan UU no 18 Tahun 2008 disebutkan definisi
sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat.

3
3. Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah didefinisikan adalah semua kegiatan yang bersangkut paut
dengan pengendalian timbulnya sampah, pengumpulan, transfer dan transportasi,
pengolahan dan pemrosesan akhir/pembuangan sampah, dengan mempertimbangkan
faktor kesehatan lingkungan, ekonomi, teknologi, konservasi, estetika, dan faktor-
faktor lingkungan lainnya yang erat kaitannya dengan respons masyarakat.
Menurut UU no 18 Tahun 2008 pengelolaan sampah didefinisikan sebagai
kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi
pengurangan dan penanganan sampah. Kegiatan pengurangan meliputi:
a. pembatasan timbulan sampah;
b. pendauran ulang sampah; dan/atau
c. pemanfaatan kembali sampah.

Sedangkan kegiatan penanganan meliputi :


a. pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai
dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah;
b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari
sumber sampah ke tempat penampungan sementara (TPS) atau tempat
pengolahan sampah 3R skala kawasan (TPS 3R), atau tempat pengolahan
sampah terpadu;
c. pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau
dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan
sampah 3R terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir (TPA) atau tempat
pengolahan sampah terpadu (TPST);
d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah
sampah; dan/atau
e. pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah
dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara
aman.

3.1. Prinsip Pengelolaan Sampah


- Paradigma lama penanganan sampah secara konvensional yang bertumpu pada
proses pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir perlu diubah dengan
mengedepankan terlebih dahulu proses pengurangan dan pemanfaatan sampah.
- Pengurangan dan pemanfaatan sampah secara signifikan dapat mengurangi
kebutuhan pengelolaan sehingga sebaiknya dilakukan di semua tahap yang
memungkinkan baik sejak di sumber, TPS, Instalasi Pengolahan, dan TPA.
Dengan demikian diharapkan target pengurangan sampah sebesar 20% dapat
terpenuhi.
- Pengurangan dan pemanfaatan sampah sejak disumbernya akan memberikan
dampak positif, dalam hal ini peran serta masyarakat sangatlah penting.

4
- Komposisi sampah dengan kandungan organik tinggi (60-80%) merupakan
potensi sumber bahan baku kompos yang dapat melibatkan peran serta
masyarakat.
- Daur ulang oleh sektor informal perlu diupayakan menjadi bagian dari sistem
pengelolaan sampah perkotaan.
- Tempat Pemrosesan Akhir merupakan tahap terakhir penanganan sampah.
Pemanfaatan TPA sebaiknya untuk jangka panjang (minimal 10 tahun).
- Insinerator merupakan pilihan teknologi terakhir untuk pengolahan sampah kota,
mengingat karakteristik sampah di Indonesia yang masih mengandung organik
yang cukup tinggi, biaya investasi dan operasi serta pemeliharaan yang mahal.

Pengelolan persampahan dapat terdiri dari 5 aspek seperti dalam Gambar 2 dibawah
ini.

A S P E K T E K N IS
O P E R A S IO N A L

ASPEK PENG ELO LAAN ASPEK


P E M B IAYA A N L IM B A H PA D AT O R G A N IS A S I

ASPEK ASPEK
HUKUM DAN P E R A N S E R TA
P E R AT U R A N M A S YA R A K AT

Gambar 2. Aspek-Aspek Pengelolaan Persampahan

3.2. Aspek Pengelolaan Sampah


3.2.1. Aspek Teknis Operasional
Aspek Teknis Operasional dapat dibagi lagi atas 6 elemen fungsi (aspek) yaitu,
penimbulan (waste generation), penanganan yang terdiri dari pemisahan,
penyimpanan dan prosesing di tempat (waste handling, separation, storage and
processing at the source), pengumpulan (collection), pemindahan dan pengangkutan
(transfer and transport), pemisahan, prosesing dan transformasi (separation and
processing and transformation), dan pemrosesan akhir (disposal). Pada Gambar 3
dapat dilihat hubungan antara aspek-aspek dalam penanganan sampah.

5
Penimbulan

Penanganan:
pemisahan,
penyimpanan dan
prosesing di tempat

Pengumpulan

Transfer dan Pemisahan, prosesing dan


transport transformasi

Pemrosesan Akhir

Gambar 3. Faktor-Faktor dalam pengelolaan sampah


(Sumber: Tchobanoglous et al., 1993)

Penanggung jawab pengelolaan persampahan dilaksanakan oleh dinas-dinas


terkait seperti Dinas Kebersihan. Pengelolaan oleh dinas-dinas terkait ini dimulai dari
pengangkutan sampah sampai pemrosesan akhir sampah. Untuk sumber sampah dan
pengumpulan di sumber sampah adalah menjadi tanggung jawab pengelola yaitu:
1) Swasta/developer dan atau;
2) Organisasi kemasyarakatan.
3) Sampah B3-rumah tangga ditangani khusus oleh lembaga tertentu

Pola operasional dalam pengelolaan sampah ini secara konvensional dapat


dilihat pada Gambar 4 berikut.

6
Gambar 4. Pola Operasional Penanganan Sampah

Pola operasional pengelolaan sampah ini kemudian berkembang karena adanya


konsep 3R (reduce, reuse dan recycle) yang diterapkan mulai dari sumber sampah.
Pola pengelolaan ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Adanya program 3R diharapkan dapat mengurangi jumlah sampah yang


ditangani di TPS 3R maupun di TPST atau TPA, sehingga menurunkan beban
pengolahan sampah pada skala kota maupun skala regional.

Dalam menentukan strategi pengelolaan sampah diperlukan informasi


mengenai komposisi, karakteristik dan laju penimbulan sampah. Misalnya, sampah
yang didominasi oleh jenis sampah organik mudah membusuk memerlukan kegiatan
pengumpulan dan pembuangan dengan frekuensi yang lebih tinggi dari sampah yang
terdiri atas sampah yang tidak mudah membusuk, seperti kertas, plastik, daun dan
sebagainya.

7
Gambar 5. Teknis Operasional Pengelolaan Sampah

Gambar 5. Teknis Operasional Pengelolaan Sampah

3.2.1.1. Penimbulan

A. Sumber Sampah

Sumber sampah seperti telah dijelaskan dalam UU no 18 Tahun 2008


didefinisikan sebagai asal timbulan sampah. Sampah yang akan dikelola dibedakan
atas :

8
a. Sampah rumah tangga didefinisikan sebagai berasal dari kegiatan sehari-
hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.
b. Sampah sejenis sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud berasal dari
kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial,
fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya.
c. Sampah spesifik sebagaimana dimaksud meliputi:
sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun;
sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun;
sampah yang timbul akibat bencana;
bongkaran bangunan;
sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau
sampah yang timbul secara tidak periodik.

Sampah rumah tangga bersumber dari aktifitas rumah/dapur serta aktifitas


rumah tangga lainnya. Jenis atau tipe sampah yang dihasilkan terutama berupa
sampah basah dan sampah kering dan debu. Sampah sejenis sampah rumah tangga
bersumber dari pasar, pertokoan, restoran, perusahaan dan sebagainya. Sebagian
besar kategori sampah ini berasal dari pasar dan kebanyakan berupa sampah organik.
Ketegori sampah spesifik dikelola secara terpisah dengan jenis sampah yang lain
karena mempunyai sifat spesifik yang harus ditangani secara khusus. Berdasarkan
klasifikasi sumber-sumber sampah tersebut, dapat dikembangkan lagi jenis sumber-
sumber sampah yang lainnya sesuai dengan sumber sampah. Sebagai contoh
misalnya, dari sampah pertanian, kandang hewan/pemotongan hewan, instalasi
pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah dan lain-lain.

A.1. Klasifikasi Sumber Sampah


Prosentase timbulan sampah adalah 75% timbulan sampah berasal dari
permukiman dan 25% dari non permukiman.
Ada beberapa kategori sumber sampah yang dapat digunakan sebagai acuan,
yaitu:
- Sumber sampah yang berasal dari daerah perumahan
- Sumber sampah yang berasal dari daerah komersial
- Sumber sampah yang berasal dari fasilitas umum
- Sumber sampah yang berasal dari fasilitas sosial

Klasifikasi kategori sumber sampah tersebut pada dasarnya juga dapat


menggambarkan klasifikasi tingkat perekonomian yang dapat digunakan untuk menilai
tingkat kemampuan masyarakat dalam membayar retribusi sampah dan menentukan
pola subsidi silang.

9
Daerah Perumahan (rumah tangga)
Sumber sampah didaerah perumahan dibagi atas :
- Perumahan masyarakat berpenghasilan tinggi (High income)
- Perumahan masyarakat berpenghasilan menengah (Middle income)
- Perumahan masyarakat berpenghasilan rendah/daerah kumuh (Low income/slum
area)

Daerah Komersial
Daerah komersial umumnya didominasi oleh kawasan perniagaan, hiburan dan lain-
lain. Yang termasuk kategori komersial adalah pasar pertokoan hotel restauran bioskop
salon kecantikan industri dan lain-lain.

Fasilitas Umum
Fasilitas umum merupakan sarana/prasarana perkotaan yang dipergunakan untuk
kepentingan umum. Yang termasuk dalam kategori fasilitas umum ini adalah
perkantoran, sekolah, rumah sakit, apotik, gedung olah raga, museum, taman, jalan,
saluran/sungai dan lain-lain.

Fasilitas Sosial
Fasilitas sosial merupakan sarana prasarana perkotaan yang digunakan untuk
kepentingan sosial atau bersifat sosial. Fasilitas sosial ini meliputi panti-panti sosial
(rumah jompo, panti asuhan) dan tempat-tempat ibadah (mesjid, gereja pura, dan
lain-lain).

Sumber Lain
Dari klasifikasi sumber-sumber sampah tersebut, dapat dikembangkan lagi jenis
sumber-sumber sampah yang lain sesuai dengan kondisi kotanya atau peruntukan tata
guna lahannya. Sebagai contoh sampah yang berasal dari tempat pemotongan hewan
atau limbah pertanian ataupun buangan dari instalasi pengolahan air limbah (sludge),
dengan catatan bahwa sampah atau limbah tersebut adalah bersifat padat dan bukan
kategori sampah B3.

B. Timbulan Sampah
Ukuran timbulan sampah dapat didasarkan kepada berat dan volume.
- Berdasarkan berat, satuan berat ton, kg
- Berdasarkan volume, satuan volume liter, m3

Satuan atau Unit Timbulan Limbah Padat


Perumahan l/capita.day; kg/orang/hari
Komersil l/capita.day; kg/orang.hari

10
Industri l waste/product.day
Pertanian l waste/ton of raw product
Jalan l/panjang jalan

Metoda Pengukuran
1. Load-Count Analysis
Didasarkan atas jumlah kendaraan pengangkutan yang masuk dilokasi Transfer
Station atau Recycling Center atau TPA, bisa berdasarkan jumlah, volume dan
berat.
2. WeightVolume Analysis, pengukuran langsung pada kendaraan pengangkut, bisa
berdasarkan berat, atau volume.

Faktor penting dalam menghitung laju timbulan sampah adalah jumlah


penduduk. Oleh karena itu sebelum jumlah timbulan sampah dapat dihitung, terlebih
dahulu dilakukan perhitungan terhadap proyeksi penduduk sampai pada tahun
perencanaan.

1. Perkembangan Jumlah Penduduk


Ada beberapa metoda proyeksi penduduk yang dapat digunakan, antara lain
metoda least square, geometric dan eksponensial, di mana pemilihan metoda
yang digunakan sangat tergantung kecenderungan pertumbuhan penduduk
dan karakteristik kota perencanaan. Metoda tersebut adalah :
1. Metoda Aritmatik
Metoda yang terutama digunakan untuk memproyeksikan penduduk pada
suatu daerah dimana pertambahan penduduknya terjadi secara linier.
Persamaan matematis yang digunakan adalah :
Pn = Po + r ( dn )
dimana :
Pn = Jumlah penduduk pada akhir tahun periode
Po = Jumlah penduduk pada awal proyeksi
r = Rata-rata pertambahan penduduk tiap tahun
dn = Kurun waktu proyeksi

2. Metoda Geometric
Metoda yang digunakan untuk memproyeksikan penduduk pada suatu
daerah dimana pertambahan penduduknya terjadi secara eksponensial.
Persamaan matematis yang digunakan adalah :
Pn = Po ( 1+ r )dn
dimana :
Pn = Jumlah penduduk pada akhir tahun periode

11
Po = Jumlah penduduk pada awal proyeksi
r = Rata-rata pertambahan penduduk tiap tahun
dn = Kurun waktu proyeksi

3. Metoda Least Square


Rumus yang digunakan adalah :
Pn = a + ( b . t )
dimana :
t = Tambahan tahun terhitung dari tahun dasar
n px x p
b
n x 2 x
2

Penentukan metoda yang dipakai untuk proyeksi penduduk, terlebih dahulu kita
mencari nilai korelasi (r) untuk tiap-tiap metoda. Pada metoda yang mempunyai
nilai korelasi paling mendekati nilai 1, itulah yang akan dipakai. Rumus nilai
korelasi (r) adalah sebagai berikut :
n(XY) (Y)(X)
r
2 2 2 2
{n(Y ) (Y) }{n(X ) (X)

2. Survey Pengambilan Contoh Sampah di Sumber Sampah


Guna menentukan timbulan sampah yang dihasilkan dari suatu permukiman
perlu dilakukan suvey pengambilan contoh sampah langsung di sumber
sampah. Pengambilan ini untuk mengetahui rata-rata berapa timbulan
sampah yang dihasilkan L/orang/hari atau kg/orang/hari. Pelaksanaan survey
dan pengambilan contoh berdasarkan SNI M-36-1991-03 Tentang Metode
Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah
Perkotaan.
Penentuan jumlah sampel kepala keluarga (KK) yang representatif mewakili
suatu wilayah pemukiman di tentukan berdasarkan persamaan berikut :

Jumlah contoh jiwa atau sampel:


S = Cd Ps (1)
dimana:
S = Jumlah contoh (jiwa)
Cd = Koefisien perumahan
Cd = 1 (Kota besar / metropolitan)
Cd = 0,5( Kota sedang / kecil )
Ps = Populasi (jiwa)
Jumlah KK yang diamati

12
K =S/N (2)
dimana:
K = Jumlah contoh (KK)
N = Jumlah jiwa per keluarga = 5

Laju timbulan sampah juga ditentukan oleh klasifikasi pemukiman. Berdasarkan


SNI M-36-1991-03 Tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh
Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan pemukiman di klasifikasikan atas
permukiman permanen, non-permanen dan semipermanen. Jumlah contoh
timbulan sampah dari perumahan adalah sebagai berikut :
Contoh dari perumahan permanen = (S1 x K) keluarga.
Contoh dari perumahan semi permanen = (S2 x K) keluarga.
Contoh dari perumahan non permanen = (S3 x K) keluarga.
dimana :
S1 = Proporsi jumlah KK perumahan permanen dalam (25%)
S2 = Proporsi jumlah KK perumahan semi permanen dalam (30%)
S3 = Proporsi jumlah KK perumahan non permanen dalam (45%)
S = Jumlah contoh jiwa
N = Jumlah jiwa per keluarga
K = S / N = jumlah KK
Klasifikasi pemukiman dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder,
misalnya kelas jalan, kondisi sosial ekonomi maupun dari keteraturan tata letak
bangunannya. Klasifikasi jalan disesuaikan dengan kelas jalan yang berlaku,
misalnya jalan arteri, sekunder ataupun lokal. Klasifikasi kondisi sosial ekonomi
dapat dibagi sesuai dengan sensus ekonomi yang menunjukkan daerah atas,
menengah dan bawah. Klasifikasi tata letak bangunan dibagi menjadi
pemukiman teratur dan pemukiman tidak teratur. Klasifikasi pemukiman ini
sangat erat kaitannya dengan pengelolaan sampah, karena menyangkut aspek
teknis, misalnya jumlah timbulan sampah, sistem pewadahan, pengumpulan
dan pengangkutan sampah dan aspek pembiayaan/retribusi.
Setelah diketahui jumlah sampel KK yang harus diambil, selama 7 hari berturut-
turut dilaksanakan pengambilan contoh sampah. Setiap KK diberikan kantong
plastic dan diminta untuk memasukkan sampah yang dihasilkan setiap hari ke
kantong plastik tersebut dan dilakukan penimbangan sampah setiap harinya
sehingga diketahui rata-rata jumlah sampah yang dihasilkan L/orang/hari atau
Kg/orang/hari.

3. Penentuan Densitas Sampah


Densitas sampah adalah berat sampah yang diukur dalam satuan kilogram
dibandingkan dengan volume sampah yang diukur tersebut (kg/m3). Densitas
sampah sangat penting dalam menentukan jumlah timbulan sampah. Di
samping itu juga penting untuk menentukan luas lahan TPA yang diperlukan.

13
Penentuan densitas sampah ini berdasarkan SNI M-36-1991-03 dilakukan
dengan cara menimbang sampah yang disampling dalam 1/5 - 1 m3 volume
sampah. Sebuah kotak disiapkan dengan ukuran 20 x 20 cm dan kedalaman
100 cm. Sampah dimasukkan dalam wadah dan dilakukan penimbangan berat
serta dilakukan pengetrokkan sebanyak 3 kali kemudian dihitung volume
sampah. Berdasarkan hasil ini diketahui berapa besar densitas sampah kg/m3.
Densitas ini sangat tergantung sampel sampah yang diukur, apakah sampah
lepas dari sumber sampah, sampah di gerobak yang mungkin telah mengalami
sedikit pemadatan ataupun sampah di truck compactor yang memang telah
dilakukan pemadatan terhadap sampah.

B.1. Faktor Penting Menentukan Jumlah Timbulan Sampah

Jumlah timbulan sampah perlu diketahui, agar pengelolaan persampahan dapat


dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Jumlah timbulan sampah ini akan
berhubungan dengan elemen-elemen pengelolaan sampah antara lain:
- pemilihan peralatan, misalnya wadah, alat pengumpulan dan pengangkutan
- perencanaan rute pengangkutan
- fasilitas untuk daur ulang
- luas dan jenis TPA
Banyaknya timbulan sampah di dalam suatu kota dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain:
a. reduksi di sumber sampah, sangat mempengaruhi jumlah timbulan sampah
di suatu kota. Adanya peningkatan reduksi timbulan sampah pada sumber
sampah akan menurunkan laju timbulan sampah secara signifikan.
Beberapa aktivitas yang ternasuk dalam reduksi sampah seperti :
- mengurangi bungkus/packaging
- produk lebih tahan lama (dpt digunakan lagi)
- mengganti bahan sekali pakai (popok, tempat makanan, piring dll)
- sesedikit mungkin menggunakan bahan-bahan/sumber daya alam
- tingkatkan bahan yang dapat direcycle atau reused
b. recycling, bagian dari upaya mereduksi jumlah sampah. Merupakan metoda
yang dapat merubah sampah mempunyai nilai ekonomis.
c. kebiasaan masyarakat mempengaruhi penanganan sampah mulai dari
sumber sampah. Jika masyarakat mempunyai kebiasaan mengelola sampah
dengan baik maka laju timbulan sampah di suatu kota dapat ditekan atau
diturunkan.
d. Peraturan, terkait dengan kebijakan pemerintah misalkan peraturan untuk
mengurangi penggunaan kemasan yang tidak ramah lingkungan.
e. Kondisi fisik dan geografi (musim, iklim, dataran tinggi)

14
B.2. Metoda Pengukuran Jumlah Timbulan Sampah

Pengukuran jumlah timbulan sampah dapat dilakukan dengan pengukuran


berat atau volume sampah atau kedua-duanya.
- Pengukuran berat sangat tergantung pada densitas sampah
- Volume sampah juga sangat dipengaruhi oleh densitas sampah
- Pengukuran berat dan volume sampah.

Beberapa metoda yang dapat digunakan untuk mengukur jumlah timbulan


sampah, diuraikan sebagai berikut ini.
1) Load-count analysis/Analisis penghitungan beban
Jumlah masing-masing volume sampah yang masuk ke TPA dihitung
dengan mencatat : volume, berat, jenis angkutan dan sumber sampah,
kemudian dihitung jumlah timbulan sampah kota selama perioda tertentu.
2) Weight-volume analysis/Analisis berat-volume
Jumlah masing-masing volume sampah yang masuk ke TPA dihitung
dengan mencatat : volume dan berat sampah, kemudian dihitung jumlah
timbulan sampah kota selama perioda tertentu.
3) Material-balance analysis/Analisis kesetimbangan bahan
Material balance lebih baik menghasilkan data untuk sampah rumah tangga,
institusi, industri dan material balance juga diperlukan untuk program daur
ulang. Berikut ini adalah diagram yang dibuat untuk menghitung jumlah
timbulan sampah dari suatu sistem yang telah ditentukan.

outflow
gas pembakaran dan debu

Penyimpanan bahan-bahan
inflow (bahan baku, produk dan outflow
(bahan) sampah) outflow
(produk)

outflow
(sampah dan air limbah)

Gambar 6. Aliran Kesetimbangan Bahan

Cara Menganalisis:
Pertama : tentukan batas system (system boundary)
kedua : identifikasi seluruh kegiatan di dalam system yang akan menghasilkan
sampah

15
ketiga : identifikasi jumlah timbulan sampah dari masing-masing aktifitas
tersebut
keempat : dengan hubungan matematik, tentukan timbulan sampah,
pengumpulan dan tersimpan

Formula :

jumlah laju masuk laju masuk timbulan /


timbulan = bahan ke - bahan ke + tertahan di
sampah dlm dalam sistem luar sistem dalam sistem
sistem

Akumulasi = inflow outflow + timbulan/penimbunan

dM/dt = Min Mout + rw

Di mana: dM/dt = laju perubahan berat bahan dalam system (lb/d)


Min = jumlah bahan yang masuk ke dalam system (lb/d)
Mout = jumlah bahan yang keluar dari system (lb/d)
rw = laju timbulan sampah (lb/d)
t = waktu (d)

Catatan : Pada proses Komposting rw menjadi negatif

Metoda lain yang dapat sering digunakan untuk menentukan laju timbulan sampah
adalah berdasarkan proyeksi penduduk dan penetapan kriteria besar timbulan sampah.
Sebagai pedoman, dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, Departemen PU
menetapkan kriteria besar timbulan sampah berdasarkan sumber sampah dan
karakteristik kota, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen-komponen Sumber


Sampah
Komponen Sumber Volume Berat
No Satuan
Sampah (Liter) (Kg)
1 Rumah Permanen per orang/hari 2,25 2,50 0,350 0,400
2 Rumah Semi Permanen per orang/hari 2,00 2,25 0,300 0,350
3 Rumah non permanen per orang/hari 1,75 2,00 0,250 0,300
4 Kantor Per pegawai/hari 0,50 0,75 0,025 0,100
5 Toko/Ruko. Per petugas/hari 2,50 3,00 0,150 0,350
6 Sekolah per murid/hari 0,10 0,15 0,010 0,020
7 Jalan arteri sekunder per meter/hari 0,10 0,15 0,020 0,100

16
8 Jalan kolektor per meter/hari 0,10 0,15 0,010 0,050
sekunder
9 Jalan lokal per meter/hari 0,05 0,1 0,005 0,025
10 Pasar per meter2/hari 0,20 0,60 0,1 0,3
Sumber : Standar Spesifikasi Timbulan sampah untuk kota kecil & sedang di
Indonesia, Dept. PU, LPMB, Bandung, 1993.

Tabel 2. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota


Volume Berat
No. Klasifikasi Kota
(L/Orang/Hari) (Kg/Orang/Hari)
Kota Besar 2,75 3,25 0,70 0,80
1
(500.000-1.000.000 jiwa)
Kota Sedang
2 2,75 3,25 0,70 0,80
(100.000 500.000 jiwa)
Kota Kecil
3 2,50 2,75 0,625 0,70
(20.000 100.000 jiwa)

B.3. Contoh-Contoh Perhitungan Laju Timbulan Sampah

1. Loud Count Analysis


Tentukan berat sampah yang dihasilkan per minggu dari 1200 rumah.
Dengan sistem pengumpulan sebagai berikut :
- Truk compactor ada 9 buah.
- Volume truk compactor : 20 m3
- Jumlah dump truk adalah : 7 buah.
- Volume truk : 8 m3
- Jumlah pick-up adalah : 10
- Ukuran pick-up : 2 m3

Jawab :
tentukan jumlah sampah yang dihasilkan tiap rumah/minggu
- Truk kompaktor : 9 x 20 m3 = 180 m3
- Dump truk : 7 x 8 m3 = 56 m3
- Pick up : 10 x 2 m3 = 20 m3
- Total sampah : 256 m3/minggu
- Volume sampah yang dihasilkan setiap rumah : 256 m3/1200 rumah
- = 0,2133 m3/rumah/minggu

2. Mass Balance
Tentukan berat sampah yang dibuang ke TPA dan berat sampah yang
dapat dimanfaatkan dari sampah kota dengan berat 1000 ton/hari, dengan

17
karakteristik 60% sampah organik, 10% sampah kertas, 10% plastik, 5%
kaleng, 5% tekstil, logam 5% dan lain-lain 5%. Pemanfaatan sampah
organik hanya 50% sebagai kompos sedangkan sisanya adalah residu yang
akan dibuang ke TPA. Kertas dan plastik hanya dapat dimanfaatkan masing-
masing 8%, sedangkan kaleng dan logam dapat dimanfaatkan semuanya.
Tekstil hanya dapat dimanfaatkan 5%. Selain sampah domestik, ada
sampah industri yang juga dibuang ke TPA sebesar 0,8 ton/hari dan 70%
dari sampah tersebut dapat dimanfaatkan.

Jawab :

Sampah Dimanfaatkan Dibuang ke TPA


1000 ton (ton/hari) (ton/hari)

600 Organik 300 300

100 kertas 80 20
100 plastik 80 20
50 kaleng 50
50 tekstil 50
50 logam 50
50 lain-lain 50
Sub total 610 390
0,8 ton (industri) 0,56 0,24
1000,8 610,56 390,24

Dengan demikian berat sampah yang dimanfaatkan adalah 610,56 ton/hari


dan berat sampah yang dibuang ke TPA adalah 390,24 ton/hari.

3. Perhitungan Jumlah Timbulan Sampah per Kapita


Pengamatan dilakukan selama seminggu di salah satu lokasi TPS yang
diketahui dengan jelas sumber sampah yang membuang sampahnya ke
sana. Data yang diperoleh, jumlah kk yang membuang sampah 1200
rumah. Jumlah jiwa/kk = 5 orang. Jumlah sampah yang masuk ke TPS
35.000 kg. Maka laju timbulan sampahnya adalah:

Jawab :

18
Laju = (35.000 kg/minggu)/(1200 x 5)(7 hari/minggu) = 0,83
kg/orang/hari

C. Komposisi Sampah

Komposisi sampah sangat menentukan sistem penanganan yang dapat dilakuan


terhadap sampah. Komposisi menentukan jenis dan kapasitas peralatan, sistem, dan
program penanganannya. Komposisi sampah adalah setiap komponen sampah yang
membentuk suatu kesatuan, dalam prosentase (%).
Komposisi sampah berbeda-beda berdasarkan sumber sampah, karakteristik
perilaku masyarakat serta kondisi ekonomi yang berbeda dan proses penanganan
sampah di sumber sampah. Pada tabel 3 dapat dilihat komposisi sampah berdasarkan
sumber sampah dan komposisi sampah dari masing-masing sumbernya.

Tabel 3. Beberapa contoh sumber dan komposisi sampah


No. Sumber sampah Komposisi sampah

Kertas cartridge printer bekas


1. Kantor Karton sampah makanan
Plastik
kertas logam (jarum spuit)
kapas bekas perban bekas
plastik (pembungkus potongan jaringan
2. Rumah sakit
spuit, spuit bekas) tubuh
kaca (botol obat, sisa-sisa obat
pecahan kaca) sampah makanan
sampah organik mudah kayu pengemas
2. Pasar membusuk plastik karet
kertas / karton kain
sampah makanan plastik pembungkus
3. Rumah makan
kertas pembungkus
kertas sampah makanan
4. Lapangan olah-raga
plastik potongan rumput
5. Lapangan terbuka ranting/daun kering potongan rumput
kertas daun kering
Jalan & lapangan
6. plastik
parkir

sampah makanan logam


7. Rumah tangga kertas / karton kain
plastik daun, ranting

19
pecahan bata kayu
Pembangunan
8. pecahan beton kertas
gedung
pecahan genting plastik
Selain itu, komposisi sampah akan berbeda untuk setiap kota atau negara,
tergantung kondisi ekonomi suatu kota atau negara yang bersangkutan. Pada
umumnya makin tinggi tingkat perekonomian suatu kota atau Negara, komposisi
organik akan makin menurun dan komposisi non organik (kertas, plastik) akan
meningkat. Tabel 4 memperlihatkan perbandingan komposisi sampah beberapa negara
tersebut, sedangkan Tabel 5 merupakan komposisi sampah yang dihasilkan di
Kecamatan Sukmajaya Depok.

Tabel 4. Perbandingan Komposisi Sampah Beberapa Negara

N Negara Timbulan Organik Kertas Plastik


No (kg/cap) (%) (%) (%)
1 Thailand 0.65 46 20 21
1
2 Vietnam 0.7 55 - -
2
3 Malaysia 0.76 48 30 9.8
3
4 Indonesia 0.6 60 2 2
4
5 Asia (rata-rata) 0.42 75 2 1
5
6 Eropa 0.72 25.4 28.7 4.6
6
7 Japan 1.12 11.7 38.5 11.9
7
8 USA 1.97 12 43 5
8
Sumber : B.G. Yeoh, Municipal Solid Waste Generation and Composition, Asean
Committee On Science & Technology, Sub Committee On Non Conventional Energy
Research, 2006

20
Tabel 5. Contoh Komposisi Sampah di Kecamatan Sukmajaya Depok
Solid Waste Mekarjaya Sub- Abadijaya Sub- Kalibaru Sub-
Content district district district
(% Weight) (% Weight) (% Weight)
Organic 75.98% 51.23% 68.11%
>50mm 31.79% 24.82%
10-50mm 37.87% 33.80%
<10mm 6.32% 9.49%
Inorganic 24.02% 48.77% 31.89%
Plastic 13.43% 15.32% 17.06%
Paper 6.66% 17.22% 8.64%
Textile 1.41% 6.66% 1.50%
Glass 1.58% 3.69% 2.51%
Metal 0.77% 5.89% 1.86%
Rubber 0.16% 0.00% 0.20%
Dirt/silt 0.00% 0.00% 0.00%
Hazardous Waste 0.00% 0.00% 0.13%
Total 100.00% 100.00% 100.00%
Sumber : Peneliti PSTL-DTS-FTUI, 2007

Komposisi juga akan mempengaruhi pola penanganan sampah terutama


penanganan pada sumber sampah. Sebagai contoh jika sampah mengandung banyak
bahan organik pada pengelolaan pada sumber sampah akan lebih mudah jika
dilakukan pemisahan sampah organik dan anorganik serta adanya proses
pengomposan yang sederhana.
Metoda atau cara pengambilan contoh sampah untuk mengetahui komposisi
sampah tercantum pada SNI M-36-1991-03 Tentang Metode Pengambilan dan
Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan. Pengambilan contoh
sampah sangat mempengaruhi penentuan komposisi fisik sampah. Pengamatan
dilakukan paling tidak selama satu minggu berturut turut di lokasi sumber sampah.

21
1. Pengambilan contoh sampah langsung di rumah tangga
Sampah langsung diambil dari beberapa lokasi sampling di rumah tangga.
Sebanyak 100 kg sampah kemudian dipisahkan berdasarkan jenis sampah
seperti plastik, sampah organik , karet dll. Masing - masing komponen
ditimbang beratnya dan komposisi sampah ditentukan berdasarkan rumus
berikut :

Beratkompo nensampah
x100 % (%) Persentase komposisi sampah
100 kg

2. Pengambilan contoh sampah di tempat pembuangan sampah sementara


Pengambilan contoh sampah ditentukan berdasarkan area pelayanan dari TPS
dan pengetahuan mengenai kondisi di lingkungan sekitar area pelayanan.
Sebanyak 100 kg sampah diambil dari alat pengumpul sampah kemudian dibagi
sedimikian rupa sehingga homogen. Kemudian dengan cara yang sama
ditentukan berdasarkan penentuan komposisi sampah langsung dari rumah
tangga.

D. Karakteristik Sampah

Karakteristik sampah secara umum dibedakan atas :


1. Karakteristik fisik
2. Karakteristik kimiawi
3. Karakteristik biologi

Karakteristik sampah sangat menentukan metoda pengolahan yang akan


digunakan. Terutama komposisi berdasarkan karakteristik kimiawi sangat menentukan
reaksi komponen unsur pembentuk sampah seperti kandungan unsur Carbon (C),
Nitrogen (N), Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Kandungan unsur ini sangat menentukan
kelayakan metoda pengolahan sampah yang akan dibahas pada Bab lain di dalam
modul pelatihan ini.

Karakteristik Fisik , terdiri atas :


1. Kandungan kadar air, penentuan berapa kandungan kadar air dalam
sampah dengan menggunakan metoda gravimetri. Persamaan matematik
yang digunakan adalah :
M = {(w-d)/w}x100%
dimana:
w= jumlah berat sampel, kg
d = berat sampel setelah dikeringkan 1050 C, kg
2. Spesific Weight / Berat Jenis (berat/volume; kg/liter, lb/ft3)

22
3. Ukuran partikel dan distribusi partikel
4. Field Capacity, didefinisikan sebagai jumlah total air yang dapat ditahan
oleh sampah secara gravitasi
5. Permeabilitas sampah, sangat penting untuk mengetahui pergerakan cairan
dan gas dalam landfill.

Karakteristik Kimiawi, terdiri atas :


1. Proximate Analysis
Analisis terhadap kelembaban sampah, kandungan volatile di dalam
sampah, fixed carbon, dan ash di dalam sampah.
2. Fusing point of ash
Temperatur dimana bisa terbakar sbg abu (clinker) suhu diatas 1000oC
3. Ultimate Analysis
Analisis terhadap unsur-unsur kimia penyusun sampah. Sampah
mengandung komponen Carbon, Hidrogen, Oksigen, Nitrogen, Sulfur, dan
Ash. Analisis ini sangat menentukan sistem pengolahan sampah yang
efektif digunakan untuk memusnahkan sampah.
4. Energy content (Btu/lb)
Analisis kandungan energi dalam sampah. Sampah mengandung unsur
karbon yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Beberapa jenis
sampah yang mempunyai nilai kalor tinggi seperti kayu, serbuk gergaji dan
lainnya dapat digunakan sebagai sumber energi. Bomb calorimeter dapat
digunakan untuk menentukan nilai kalor dari masing-masing komponen
sampah.

Karakteristik Biologi, terdiri atas :


1. Biodegradability adalah kemampuan sampah untuk diuraikan dengan
memanfaatkan aktivitas mikroorganisme. Ditentukan dengan persamaan :

BF = 0.83 0.028 LC
dimana : BF = Biodegradable Fraction (fraksi bahan organik yang
mudah terurai)
LC = Lignin Content (kandungan lignin)

Semakin tinggi dari nilai BF, maka kemampuan diuraikan oleh


mikroorganisme meningkat (Tabel 6).

23
Tabel 6. Bio degradability
Komponen % VS LC (%VS) BF
Sampah makanan 7-15 0.4 0.82
Kertas
Koran 94.0 21.9 0.22
Kertas tulis 96.0 0.4 0.82
Karton 94.0 12.9 0.72
Sampah kebun 50-90 4.1 0.72
Ket : VS = Volatile Solid; LC = Lignin Content; BF = Biodegradable Fraction

Produksi bau pada proses penguraian sampah oleh mikoorganisme. Bau timbul
akibat pembentukan asam-asam organik rantai pendek, merkaptan, dan H2S.

E. Sampah Rumah Tangga B3

Aktivitas di rumah tangga juga menghasilkan sampah yang berkategori sebagai


B3 (bahan beracun dan berbahaya). Di berbagai kota besar dan metropolitan, sampah
B3 yang dihasilkan dari pemukiman rata-rata berkisar antara 2% sampai dengan 5%
dari total komposisi sampah. Sampah B3 ini tidak mempunyai penanganan secara
khusus dan sering dicampurkan dengan sampah yang berkategori non-B3. Kondisi ini
menimbulkan dampak negatif terutama menyebabkan sampah yang semula
berkategori non-B3 akan menjadi B3 dan menyebabkan pengelolaan di TPA semakin
sulit. Tingkat pencemaran akan semakin meningkat.
Sampah domestik B3 menurut SNI 3242-2008 tentang Pengelolaan Sampah
Pemukiman mendefinisikan sebagai sampah yang berasal dari aktivitas rumah tangga,
mengandung bahan dan atau bekas kemasan suatu jenis bahan berbahaya dan atau
beracun, karena sifat atau konsentarsinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup dan
atau membahayakan kesehatan manusia. Sampah ini berbahaya karena mempunyai
karakteristik :
Mudah meledak, limbah yang pada tekanan dan suhu standar dapat meledak.
Contoh sampah di rumah tangga misalkan sisa bensin, pelarut, thinner dan aerosol.
Mudah terbakar, material padat, cair, uap, atau gas yang menyala dengan mudah
dan terbakar secara cepat bila dipaparkan atau terpapar pada sumber nyala.
Contoh sampah di rumah tangga adalah pelarut, etanol, lighter liquid.
Bersifat reaktif, merupakan limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan
dapat menyebabkan perubahan tanpa peledakan dan limbah yang dapat bereaksi
hebat dengan air.

24
Beracun, yaitu Limbah yang mengandung pencemar yang bersifat racun bagi
manusia atau lingkungan yang dapat menyebabkan kematian atau sakit yang
serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.
Beberapa contoh sampah B3 di rumah tangga yaitu pengelantang (produk
pembersih); shampo (anti ketombe); penghilang cat kuku; kosmetika; obat-obatan;
cairan anti beku (produk otomotif); bensin, minyak tanah; cat; baterei; lampu
neon, khlorin kolam renang; biosida anti insek; herbisida, pupuk dan lain-lain;
Bersifat korosif, yaitu limbah yang menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit dan
limbah yang mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk limbah bersifat asam
atau lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa. Contoh sampah jenis ini di
rumah tangga adalah yang mengandung asam sulfat, asam klorida dan lain-lain.
Menyebabkan infeksius, yaitu limbah yang mengandung mikroorganisme patogen
yang dilihat dari konsentrasi dan kuantitasnya bila terpapar dengan manusia akan
dapat menimbulkan penyakit. Contohnya obat-obatan kedaluarsa, pembungkus
atau kemasan produk farmasi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh US EPA pada tahun 2001,
komposisi sampah B3 di rumah tangga adalah sebagai berikut (Gambar 7). Sampah
terbesar adalah dari aktivitas pemeliharaan dan pembersihan di rumah tangga seperti
pelarut, thinner dan lem. Sampah lain adalah baterai, sampah ini dihasilkan dalam
jumlah cukup besar di rumah tangga karena penggunaanya juga cukup banyak dalam
aktivitas sehari-hari.

4%
Household maintenance
3% (paint, thiner, etc)
3% Batteries

11% personal care product


36% (nail polish etc)
Cleaner

12% Automotive maintenance

Pool chemical

12% Pharmaceuticals
19%
Other

Gambar 7. Komposisi Sampah B3 rumah tangga (US EPA, 2001)

25
Sampai saat ini belum ada pengelolaan sampah khusus B3 dari rumah tangga
ini. Upaya sosialisasi ke masyarakat harus dilakukan agar masyarakat mau
memisahkan sampah B3 di rumah tangga dan meletakkan pada tempat wadah sampah
yang berbeda. Begitupula dengan sarana pengumpul dan pengangkut sampah harus
memisahkan sampah B3 ini dari sampah non-B3. Pengolahan dilakukan secara khusus
dibawah lembaga tertentu.
Peraturan Pemerintah No. 85/1999 jo PP No.18 1999 mengenai Pengelolaan
Limbah B3 mewajibkan pengelolaan limbah B3 mulai dari penghasil sampai dengan
pengolah limbah B3. Penghasil dalam hal ini sumber sampah mempunyai kewajiban
sebagai berikut :
1. Wajib mengolah limbah B3.
2. Wajib menyimpan limbah B3 sebelum dikirim ke Pengolah dengan waktu
penyimpanan paling lama 90 hari.
3. Menyediakan tempat penyimpanan limbah B3 sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan Bapedal.
4. Melakukan analisa limbah B3 dan mempunyai catatan jenis dan jumlah limbah B3
yang dihasilkan.
5. Melakukan pelaporan mengenai pengelolaan limbah B3 sekurang-kurangnya setiap
6 bulan sekali kepada Bapedal.
6. Memberikan label pada kemasan limbah B3.
7. Mengisi dokumen limbah B3 sebelum diangkut ke Pengumpul/Pengolah.
8. Membantu pengawas/Bapedal dalam melaksanakan pengawasan.
9. Harus mempunyai sistem tanggap darurat dan melaksanakannya bila terjadi
keadaan darurat.

Namun kewajiban ini lebih banyak diarahkan pada pengolahan sampah B3 dari
industri. Melihat fenomena sampah B3 juga dihasilkan di rumah tangga, maka perlu
dilakukan upaya pengelolaan sampah B3 ini. Cara sederhana yang dapat dilakukan
adalah pemisahan sampah B3 ini mulai dari sumber sampah sampai ditangani oleh
lembaga tertentu. Sebelum ada penanganan sampah B3 rumah tangga secara khusus,
maka perlu dilakukan penampungan sementara (temporary storage) sampah b3 rumah
tangga di lokasi khusus (TPA) secara aman sesuai dengan ketentuan perundangan
yang berlaku.

3.2.1.2. Penanganan: Pemisahan, Penyimpanan dan Prosesing di Tempat

- Wadah sampah individual (disumber) disediakan oleh setiap penghasil sampah


sendiri sedangkan wadah komunal dan pejalan kaki disediakan oleh pengelola dan
atau swasta. spesifikasi wadah sedemikian rupa sehingga memudahkan
operasionalnya, tidak permanen dan higienis. Akan lebih baik apabila ada
pemisahan wadah untuk sampah basah dan sampah kering.

26
- Pengosongan sampah dari wadah individual dilakukan paling lama 2 hari sekali
sedangkan untuk wadah komunal harus dilakukan setiap hari.

3.2.1.3. Pengumpulan
- Pengumpulan sampah dari sumber dapat dilakukan secara langsung dengan
alat angkut (untuk sumber sampah besar atau daerah yang memiliki
kemiringan lahan cukup tinggi) atau tidak langsung dengan menggunakan
gerobak (untuk daerah teratur) dan secara komunal oleh mayarakat sendiri
(untuk daerah tidak teratur).
- Penyapuan jalan diperlukan pada daerah pusat kota seperti ruas jalan protokol,
pusat perdagangan, taman kota dan lain-lain.

3.2.1.4. Transfer dan Transport


Pemindahan
- Pemindahan sampah dari alat pengumpul (gerobak) ke alat angkut (truk)
dilakukan di trasnfer depo atau container untuk meningkatkan efisiensi
pengangkutan.
- Lokasi pemindahan harus dekat dengan daerah pelayanan atau radius 500
m.
- Pemindahan skala kota ke stasiun transfer diperlukan bila jarak ke lokasi TPA
lebih besar dari 25 km.

Pengangkutan
- Pengangkutan secara langsung dari setiap sumber harus dibatasi pada daerah
pelayanan yang tidak memungkinkan cara operasi lainnya atau pada daerah
pelayanan tertentu berdasarkan pertimbangan keamanan maupun estetika
dengan memperhitungkan besarnya biaya operasi yang harus dibayar oleh
pengguna jasa.
- Penetapan rute pengangkutan sampah harus didasarkan pada hasil survey time
motion study untuk mendapatkan jalur yang paling efisien.
- Jenis truk yang digunakan minimal dump truck yang memiliki kemampuan
membongkar muatan secara hidrolis, efisien dan cepat.
- Penggunaan arm roll truck dan compactor truck harus mempertimbangkan
kemampuan pemeliharaan.

27
3.2.1.5. Pemisahan, Prosesing dan Transformasi
- Pengolahan sampah dimaksudkan untuk mengurangi volume sampah yang
harus dibuang ke TPA serta meningkatkan efisiensi penyelenggaraan prasarana
dan sarana persampahan.
- Teknologi pengolahan sampah dapat dilakukan melalui pembuatan kompos,
pembakaran sampah secara aman (bebas COx, SOx, NOx dan dioxin),
pemanfaatan gas metan dan daur ulang sampah. Khusus pemanfaatana gas
metan TPA (landfill gas), dapat masuk dalam CDM (clean developmant
mechanism) karena secara significan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca
yang berpengaruh pada iklim global.
- Skala pengolahan sampah mulai dari individual, komunal (kawasan), skala kota
dan skala regional.
- Penerapan teknologi pengolahan harus memperhatikan aspek lingkungan,
dana, SDM dan kemudahan operasional.

3.2.1.6. Pemrosesan Akhir


- Pemilihan lokasi TPA harus mengacu pada SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara
Pemilihan Lokasi TPA. Agar keberadaan TPA tidak mencemari lingkungan, maka
jarak TPA ke badan air penerima > 100m, ke perumahan terdekat > 500 m, ke
airport 1500 m (untuk pesawat propeler) dan 3000 m (untuk pesawat jet).
Selain itu muka air tanah harus > 4 m, jenis tanah lempung dengan nilai K <
10-6 cm/det.
- Metode pembuangan akhir minimal harus dilakukan dengan controlled landfill
(untuk kota sedang dan kecil) dan sanitary landfill (untuk kota besar dan
metropolitan) dengan sistem sel.
- Prasarana dasar minimal yang harus disediakan adalah jalan masuk, drainase
keliling dan pagar pengaman (dapat berfungsi sebagai buffer zone).
- Fasilitas perlindungan lingkungan yang harus disediakan meliputi lapisan dasar
kedap air, jaringan pengumpul leachate, pengolahan leachate dan ventilasi gas
/ flaring atau landfill gas extraction untuk mngurangi emisi gas.
- Fasilitas operasional yang harus disediakan berupa alat berat (buldozer,
excavator, loader dan atau landfill compactor) dan stok tanah penutup.
- Penutupan tanah harus dilakukan secara harian atau minimal secara berkala
dengan ketebalan 20 - 30 cm.
- Penyemprotan insektisida harus dilakukan apabila penutupan sampah tidak
dapat dilakukan secara harian.

28
- Penutupan tanah akhir harus dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan bekas
TPA.
- Kegiatan pemantauan lingkungan harus tetap dilakukan meskipun TPA telah
ditutup terutama untuk gas dan efluen leachate, karena proses dekomposisi
sampah menjadi gas dan leahate masih terus terjadi sampai 25 tahun setelah
penutupan TPA.
- Manajemen pengelolaan TPA perlu dikendalikan secara cermat dan
membutuhkan tenaga terdidik yang memadai.
- Lahan bekas TPA direkomendasikan untuk digunakan sebagai lahan untuk
berbagai keperluan seperti taman, lapangan olahraga, dan lain-lain.

3.2.2. Aspek Kelembagaan


Beberapa kondisi yang ada yang berkaitan dengan aspek kelembagan/institusi adalah :
- Sebagian besar institusi pengelola adalah berbentuk Dinas, Suku Dinas, Seksi, Sub
Seksi dimana belum ada pemisahan antara operator dan regulator;
- Struktur organisasi yang ada belum ditunjang dengan kapasitas (jumlah dan
kualitas SDM) yang memadai sesuai dengan kewenangannya;
- Tata laksana kerja belum jelas antara bagian administrasi dan pelaksana teknis
lapangan, termasuk kewenangan penarikan retribusi serta pengalokasian anggaran
untuk pendanaan investasi;
- Kurangnya koordinasi dan kerjasama antara instansi terkait yang ada di lapangan.

Kelembagaan yang diharapkan dalam pengelolaan sampah adalah kelembagaan yang


sesuai dengan amanat PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, PP
41/2007 tentang Pemerintahan Daerah, PP 23/2004 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum, serta Permendagri 61/2009 tentang Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Perangkat peraturan tersebut di atas
digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan kelembagaan pengelolaan sampah,
antara lain :
- Memisahkan regulator dan operator pengelola sampah, misalnya membentuk UPTD
atau kerjasama dengan swasta sebagai operator;
- Peningkatan kualitas SDM melalui training dan rekruitmen SDM untuk jangka
panjang sesuai dengan kualifikasi bidang keahlian persampahan/manajemen
karena struktur organisasi mencerminkan tugas dan tanggung jawab yang jelas
dalam kegiatan-kegiatan penanganan sampah yang harus senantiasa ditunjang
dengan kapasitas serta kualitas SDM yang memadai;

29
- Untuk pengelolaan sampah lintas kabupaten/kota, dapat dibentuk lembaga
pengelola di tingkat provinsi, sedangkan untuk pengelolaan sampah lintas provinsi,
dapat dibentuk lembaga pengelola di tingkat nasional.

3.2.3. Aspek Pembiayaan


Beberapa kondisi yang ada yang berkaitan dengan aspek pembiayaan adalah :
- Keterbatasan biaya, termasuk sumber pendanaan, untuk investasi dan
operasi/pemeliharaan mengakibatkan pelayanan pengelolaan sampah yang tidak
optimal;
- Belum terciptanya iklim yang kondusif untuk kerjasama dengan swasta
(Berdasarkan Perpres No. 13 Tahun 2010 tentang Kerjasama antara Pemerintah
dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur);
- Tarif/retribusi sampah belum didasarkan pada perhitungan dan pendataan
(klasifikasi wajib retribusi) yang memadai dan realisasi penarikan retribusi masih
rendah (rata-rata nasional : 20%).

Pembiayaan yang diharapkan dalam pengelolaan sampah adalah :


- Investasi yang lebih memadai yang didasarkan pada kebutuhan dan peningkatan
sarana prasarana, kapasitas SDM, serta kampanye dan edukasi bidang
persampahan;
- Biaya operasi dan pemeliharaan yang mencukupi untuk kebutuhan pengoperasian
sarana prasarana persampahan yang perhitungannya didasarkan pada kebutuhan
alternatif pengoperasian seluruh kegiatan penanganan sampah dari sumber sampai
TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) sampah untuk jangka panjang;
- Tarif atau retribusi yang disusun berdasarkan struktur/klasifikasi wajib retribusi
(cross subsidi), kemampuan daerah, kemampuan masyarakat yang dapat
mencukupi kebutuhan operasional pengelolaan sampah (mengarah pada pola cost
recovery);
- Penerapan pola insentif dan disinsentif bagi para pelaku yang terlibat dalam
pengelolaan persampahan;
- Pendapatan dari penarikan tarif atau retribusi harus terkoordinasi dan tercatat
secara baik dan transparan serta diinvestasikan kembali untuk kepentingan
pengelolaan sampah.

30
3.2.4. Aspek Peraturan
Berbagai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah sampai dengan
Standar Nasional Indonesia sudah dikeluarkan termasuk Undang-Undang No. 18 Tahun
2008 Tentang Pengelolaan Sampah, dengan demikian diharapkan pengelolaan sampah
dapat dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan
manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta
dapat mengubah perilaku masyarakat; secara efektif dan efisien.
Beberapa kondisi yang ada yang berkaitan dengan aspek hukum dan peraturan
adalah:
- Beberapa daerah belum memiliki Perda terkait Institusi, Retribusi dan Ketentuan
Penanganan Persampahan;
- Kurangnya sosialisasi dan penyuluhan mengenai Perda bidang persampahan;
- Belum adanya penerapan sanksi atas pelanggaran dalam bidang persampahan.

Hukum dan peraturan yang diharapkan dalam pengelolaan sampah adalah :


- Pemerintah daerah memiliki Perda yang terdiri dari Perda Pembentukan Institusi,
Perda Ketentuan Penanganan Persampahan dan Perda Retribusi, dimana substansi
materi Perda harus cukup menyeluruh, tegas dan dapat diimplementasikan untuk
jangka panjang (20 tahun);
- Penerapan Perda tersebut perlu didahului dengan sosialisasi, uji coba dikawasan
tertentu dan penerapan secara menyeluruh. Selain itu juga diperlukan kesiapan
aparat dari mulai kepolisian, kejaksaan dan kehakiman untuk penerapan sanksi
atas pelanggaran yang terjadi;
- Evaluasi Perda perlu dilakukan setiap 5 tahun untuk menguji tingkat kelayakannya.

3.2.5. Aspek Peran Serta Masyarakat


Beberapa kondisi yang ada yang berkaitan dengan aspek peran serta masyarakat
adalah :
- Kesadaran masyarakat terhadap penanganan sampah masih rendah;
- Masyarakat belum terinformasikan tentang berbagai peraturan, pedoman, SOP
yang ada dalam pengelolaan sampah;
- Kurang mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengelolaan sampah.
Komunikasi yang perlu dibangun secara terus menerus antara pemerintah daerah
dengan masyarakat dan diantara masyarakat itu sendiri yang menyangkut baik
masalah kebijakan maupun masalah bimbingan teknis.

31
Peran serta masyarakat yang diharapkan dalam pengelolaan sampah adalah :
- Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah melalui antara
lain kampanye, sosialisasi dan edukasi bidang persampahan;
- Mensosialisasikan dan menyebarluaskan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, Kriteria)
persampahan yang ada;
- Perlu dibentuk forum komunikasi sebagai media antara masyarakat dan pemerintah
daerah.

3.3. Dampak Pencemaran Akibat Sampah

3.3.1. Potensi Dampak


Dalam kenyataannya banyak pengelola kebersihan menghadapi berbagai masalah
antara lain tidak tersediaanya prasarana dan sarana, SDM, peraturan, dan dana
yang memadai, sehingga tidak dapat menyediakan pelayanan yang baik sesuai
dengan ketentuan teknis dan harapan masyarakat, akibatnya sering terjadi
pencemaran lingkungan seperti pencemaran udara (bau), pencemaran air, dan
pencemaran tanah.

Berbagai potensi yang menimbulkan berbagai dampak dapat meliputi :


a. Perkembangan Vektor Penyakit
Wadah sampah merupakan tempat yang sangat ideal bagi pertumbuhan vektor
penyakit terutama lalat dan tikus. Hal ini disebabkan dalam wadah sampah
terdapat sisa makanan.
Tempat Penampungan Sementara/Container juga merupakan tempat
berkembangnya vektor tersebut karena alasan yang sama. Sudah barang tentu
akan menurunkan kualitas kesehatan lingkungan sekitarnya. Vektor penyakit
terutama lalat sangat potensial berkembangbiak di lokasi TPA. Hal ini terutama
disebabkan oleh frekwensi penutupan sampah yang tidak dilakukan sesuai
ketentuan sehingga siklus hidup lalat dari telur menjadi larva telah berlangsung
sebelum penutupan dilaksanakan. Gangguan akibat lalat umumnya dapat ditemui
sampai radius 1-2 km dari lokasi TPA.

b. Pencemaran Udara
Sampah yang menumpuk dan tidak segera terangkut merupakan sumber bau tidak
sedap yang memberikan efek buruk bagi kawasan disekitarnya terutama
permukiman, perbelanjaan, rekreasi, dan lain-lain. Pembakaran sampah seringkali
terjadi sehingga menyebabkan gangguan bagi lingkungan sekitarnya.
Sarana pengangkutan yang tidak tertutup berpotensi menimbulkan masalah bau di
sepanjang jalur yang dilalui, terutama akibat bercecerannya air leachate dari bak
kendaraan.

32
Pada TPA terjadi pelepasan zat (partikel dan gas) ke udara dari hasil pengolahan
atau pemrosesan sampah yang tidak sempurna, diantaranya berupa : partikulat,
SOx, NOx, hidrokarbon, HCI, dioksin, dan lain-lain. Proses dekomposisi sampah di
TPA secara kontinu akan berlangsung dan dalam hal ini akan dihasilkan berbagai
gas seperti CO, C02, CH4, H2S, dan lain-lain yang secara langsung akan
mencemari udara serta mendorong terjadinya emisi gas rumah kaca (Green House
Gases) yang mengakibatkan pemanasan global (global warming), disamping efek
yang merugikan terhadap kesehatan manusia di sekitarnya seperti ISPA (Infeksi
Saluran Pernapasan Akut).
Pembongkaran sampah dengan volume yang besar dalam lokasi pengolahan
berpotensi menimbulkan gangguan bau. Disamping itu juga sangat mungkin terjadi
pencemaran berupa asap bila sampah dibakar pada instalasi yang tidak memenuhi
syarat teknis.
Seperti halnya perkembangan populasi lalat, bau tak sedap di TPA juga timbul
akibat penutupan sampah yang tidak dilaksanakan dengan baik.
Asap juga seringkali timbul di TPA akibat terbakarnya tumpukan sampah baik
secara sengaja maupun tidak. Produksi gas metan yang cukup besar dalam
tumpukan sampah menyebabkan api sulit dipadamkan sehingga asap yang
dihasilkan akan sangat mengganggu daerah sekitarnya.

c. Pencemaran Air
Prasarana dan sarana pengumpulan yang terbuka sangat potensial menghasilkan
leachate terutama pada saat turun hujan. Aliran leachate ke saluran atau tanah
sekitarnya akan menyebabkan terjadinya pencemaran.
Instalasi pengolahan berskala besar menampung sampah dalam jumlah yang
cukup besar pula sehingga potensi leachate yang dihasilkan di instalasi juga cukup
potensial untuk menimbulkan pencemaran air dan tanah di sekitarnya. Leachate
yang timbul di TPA sangat mungkin mencemari lingkungan sekitarnya baik berupa
rembesan dari dasar TPA yang mencemari air tanah di bawahnya. Pada lahan yang
terletak di kemiringan, kecepatan aliran air tanah akan cukup tinggi sehingga
dimungkinkan terjadi cemaran terhadap sumur penduduk yang trerletak pada
elevasi yang lebih rendah.
Pencemaran leachate juga dapat terjadi akibat efluen pengolahan yang belum
memenuhi syarat untuk dibuang ke badan air penerima. Karakteristik pencemar
leachate yang sangat besar akan sangat mempengaruhi kondisi badan air penerima
terutama air permukaan yang dengan mudah mengalami kekurangan oksigen
terlarut sehingga mematikan biota yang ada.

d. Pencemaran Tanah
Pembuangan sampah yang tidak dilakukan dengan baik misalnya di lahan kosong
atau TPA yang dioperasikan secara sembarangan akan menyebabkan lahan
setempat mengalami pencemaran akibat tertumpuknya sampah organik dan

33
mungkin juga mengandung Bahan Buangan Berbahaya (B3). Bila hal ini terjadi
maka akan diperlukan waktu yang sangat lama sampai sampah terdegradasi atau
larut dari lokasi tersebut. Selama waktu itu lahan setempat berpotensi
menimbulkan pengaruh buruk terhadap manusia dan lingkungan sekitarnya.

e. Gangguan Estetika
Lahan yang terisi sampah secara terbuka akan menimbulkan kesan pandangan
yang sangat buruk sehingga mempengaruhi estetika lingkungan sekitarnya. Hal ini
dapat terjadi baik di lingkungan permukiman atau juga lahan pembuangan sampah
lainnya.
Proses pembongkaran dan pemuatan sampah di sekitar lokasi pengumpulan sangat
mungkin menimbulkan tumpahan sampah yang bila tidak segera diatasi akan
menyebabkan gangguan lingkungan. Demikian pula dengan ceceran sampah dari
kendaraan pengangkut sering terjadi bila kendaraan tidak dilengkapi dengan
penutup yang memadai.
Di TPA ceceran sampah terutama berasal dari kegiatan pembongkaran yang tertiup
angin atau ceceran dari kendaraan pengangkut. Pembongkaran sampah di dalam
area pengolahan maupun ceceran sampah dari truk pengangkut akan mengurangi
estetika lingkungan sekitarnya.
Sarana pengumpulan dan pengangkutan yang tidak terawat dengan baik
merupakan sumber pandangan yang tidak baik bagi daerah yang dilalui. Lokasi TPA
umumnya didominasi oleh ceceran sampah baik akibat pengangkutan yang kurang
baik, aktivitas pemulung maupun tiupan angin pada lokasi yang sedang
dioperasikan. Hal ini menimbulkan pandangan yang tidak menyenangkan bagi
masyarakat yang melintasi/tinggal berdekatan dengan lokasi tersebut.

f. Kemacetan Lalu lintas


Lokasi penempatan sarana prasarana pengumpulan sampah yang biasanya
berdekatan dengan sumber potensial seperti pasar, pertokoan, dan lain-lain serta
kegiatan bongkar muat sampah berpotensi menimbulkan gangguan terhadap arus
lalu lintas.
Arus lalu lintas angkutan sampah terutama pada lokasi tertentu seperti transfer
station atau TPA berpotensi menjadi gerakan kendaraan berat yang dapat
mengganggu lalu lintas lain; terutama bila tidak dilakukan upaya-upaya khusus
untuk mengantisipasinya.
Arus kendaraan pengangkut sampah masuk dan keluar dari lokasi pengolahan akan
berpotensi menimbulkan gangguan terhadap lalu lintas di sekitarnya terutama
berupa kemacetan pada jam-jam kedatangan.
Pada TPA besar dengan frekuensi kedatangan truck yang tinggi sering
menimbulkan kemacetan pada jam puncak terutama bila TPA terletak berdekatan
dengan jalan umum.

34
g. Gangguan Kebisingan
Kebisingan akibat lalu lintas kendaraan berat/truck timbul dari mesin-mesin, bunyi
rem, gerakan bongkar muat hidrolik, dan lain-lain yang dapat mengganggu daerah-
daerah sensitif di sekitarnya. Di instalasi pengolahan kebisingan timbul akibat lalu
lintas kendaraan truk sampah disamping akibat bunyi mesin pengolahan (tertutama
bila digunakan mesin pencacah sampah atau shredder).
Kebisingan di sekitar lokasi TPA timbul akibat lalu lintas kendaraan pengangkut
sampah menuju dan meninggalkan TPA; disamping operasi alat berat yang ada.

h. Dampak Sosial
Hampir tidak ada orang yang akan merasa senang dengan adanya pembangunan
tempat pembuangan sampah di dekat permukimannya, karenanya tidak jarang
menimbulkan sikap menentang/oposisi dari masyarakat dan munculnya keresahan.
Sikap oposisi ini secara rasional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan
pendidikan dan taraf hidup mereka, sehingga sangat penting untuk
mempertimbangkan dampak ini dan mengambil langkah-langkah aktif untuk
menghindarinya.

3.3.2. Resiko Lingkungan


Komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak akibat adanya
kegiatan pembangunan sistem penyediaan air bersih akan mencakup :
a. Geo-Fisik-Kimia yang meliputi : kuantitas dan kualitas air tanah/permukaan,
kualitas udara, kondisi tanah, dan kebisingan;
b. Biologis : baik keanekaragaman maupun kondisi flora/fauna;
c. Sosio ekonomi budaya : meliputi kependudukan, kesehatan masyarakat, pola
kehidupan masyarakat, mata pencaharian, estetika, kecemburuan masyarakat,
persepsi masyarakat terhadap proyek, nilai jual tanah, situs sejarah, adat, dan
lain-lain;
d. Prasarana umum : jalan, saluran drainase, jaringan PLN/Telkom, perpipaan air
bersih/air limbah, dll.

35

Anda mungkin juga menyukai