Anda di halaman 1dari 15

Penyehatan Tanah dan Pengelolaan Sampah B

SISTEM PENGELOLAHAN SAMPAH ORGANIK DENGAN


CARA KOMPOSTING DAN VERMIKOMPOSTING

Disusun Oleh

KELOMPOK 8 :

DILA MUTIARA JUNIA (P23133115012)

IRFAN DWIANGGA PUTRA (P23133115022)

MIDA DWI NURLINA (P23133115027)

NUKE FERNANDA (P23133115032)

Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Jakarta II

Jurusan Kesehatan Lingkungan Program Studi D-IV Tingkat II

Jl. Hang Jebat III/F3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

2017
A. PENGERTIAN, METODE DAN MANFAAT SISTEM KOMPOSTING
Komposting adalah proses pengendalian penguraian secara biologi dari bahan
organik, menjadi produk seperti humus yang dikenal sebagai kompos. Komposting
merupakan upaya mengolah sampah organik melalui proses pembusukan yang terkontrol
atau terkendali . Produk utama komposting adalah kebersihan lingkungan, karena jumlah
sampah organik yang dibuang ke TPA menjadi berkurang. Adapun kompos sebagai
produk komposting adalah hasil tambahan atau bonus yang dapat kita gunakan untuk
tanaman sendiri ataupun untuk dijual. Penguraian bahan organik itu (disebut juga
dekomposisi) dilakukan oleh mikro-organisme menghasilkan senyawa yang lebih
sederhana. Pada saat komposting terjadi proses-proses perubahan secara kimia, fisika dan
biologi. Untuk wilayah perkotaan, metoda komposting aerobik adalah yang banyak
disarankan karena beberapa keunggulan.
Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan
organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan
kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan
meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk
menyerap unsur hara dari tanah. Aktivitas mikroba tanah juga d iketahui dapat membantu
tanaman menghadapi serangan penyakit.
Tanaman yang dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya
daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, seperti menjadikan hasil panen lebih
tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak.
Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek, antara lain:
1. Aspek Ekonomi :
a. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah
b. Mengurangi volume/ukuran limbah
c. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada bahan asalnya
2. Aspek Lingkungan :
a. Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah dan pelepasan gas metana
dari sampah organik yang membusuk akibat bakteri metanogen di tempat
pembuangan sampah
b. Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan
3. Aspek bagi tanah/tanaman:
a. Meningkatkan kesuburan tanah
b. Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah
c. Meningkatkan kapasitas penyerapan air oleh tanah
d. Meningkatkan aktivitas mikroba tanah
e. Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen)
f. Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman
g. Menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman
h. Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah
4. Aspek bagi kesehatan :
a. Pengurangan tumpukan sampah akan menciptakan lingkungan yang bersih dan
sehat.
b. Proses pengkomposan berjalan pada suhu yang tinggi sehingga dapat mematikan
berbagai macam sumber bibit penyakit yang ada pada sampah.
c. Secara teoritis apabila program daur ulang sampah dengan sistem terpadu dapat
dilakukan, maka sampah yang tersisa hanya tinggal 15 – 20% saja, sehingga akan
mengurangi ritasi transportasi sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan
umur TPA akan semakin panjang. Pada akhirnya aspek peran serta masyarakat
merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan persampahan. Dalam
strategi jangka panjang peran aktif masyarakat menjadi tumpuan bagi suksesnya
pengelolaan sampah kota, dan dalam program jangka panjang setiap rumah tangga
disarankan mengelola sendiri sampahnya melalui program 3 R (Reduce, reuse dan
recycle).
Metode pembuatan kompos, antara lain:
1. Secaraalami
Proses pembuatan kompos secara alami dapat dilakukan baik secara tradisional
(anaerobic) maupun secara sederhana (aerobic). Metode tradisional banyak digunakan
oleh petani. Pada metode ini, bahan organic dihancurkan tanpa bantuan udara, yaitu
dengan melakukan tumpukan sampah di dalam lubang tanpa udara di tanah dan
dibiarkan beberapa saat. Pembuatan kompos dengan metode ini memerlukan waktu
lama untuk mendapatkan kompos selain dapat menimbulkan bau akibat pembentukan
gas H2S dan NH3. Pembuatan kompos dengan metode sederhana dilakukan dengan
cara mengaduk atau menbola-balokan sampah atau dengan menambahkan nutrient
yang berupa lumpur atau kotoran binatang kedalam sampah.
2. Mekanis
Pembuatan kompos secara mekanis dilakukan di pabrik untuk menghasilkan kompos
dalam waktu singkat. Sampah organic yang telah dipisahkan dari sampahan organik
(karet, plasyik, logam) dipotong kecil-kecil dengan alat pemotong. Potongan sampah
tersebut kemudian dimasukan kedalam digester stabilizator agar terjadi dekomposisi.
Dalam digester ini perlu dilakukan pengaturan suhu, udara dan pengadukan sampah.
Setelah 3-5 hari, kompos udah dapat dihasilkan dan kedalamnya dapat pula dialiri
zat kimia tertentu untuk keperluan tanaman (missal Karbon, nitrogen, fosfor, sulfur
dan sebagainya).

B. PROSEDUR PEMBUATAN KOMPOS


a. PENGIRIMAN SAMPAH
Pengiriman sampah dari sumbernya ke fasilitas pengomposan dapat dilakukan
dengan gerobak atau truk sampah. Pelaksanaan pengiriman sampah ke fasilitas
pengomposan dikoordinasikan dengan pihak terkait. Pengiriman sampah ke
fasilitas harus dilakukan secara continue dan terbatas. Kontinuitas dan jadwal
pengiriman sampah yang teratur ke fasilitas merupakan faktor penting yang akan
menjamin kelancaran produksi kompos. Dan sampah yang dikirim ke fasilitas
pengomposan sebaiknya sampah yang segar dan kaya akan bahan organik.
Sampah yang baru datang langsung ditumpahkan ke pelataran pilah untuk dipilah-
pilah sesuai dengan peruntukannya.
b. PEMILAHAN
Pemilahan merupakan langkah pertama yang penting dalam proses
pengomposan dalam rangka untuk memperoleh bahan organik terpilih, yang akan
dikomposkan dan memisahkan bahan-bahan berbahaya yang dapat mengganggu
proses pengomposan dan mutu kompos.
c. PENYUSUNAN TUMPUKAN
Sampah organik yang telah dipilah kemudian ditumpuk di fasilitas
pengomposan. Secara spesifik dalam system windrow bergulir, sampah ditumpuk
dengan dimensi lebar, tinggi dan panjang tertentu yang menurut pengalaman
masih memungkinkan proses pengomposan berlangsung optimal.
a. Ukuran Tumpukan
Ukuran tumpukan sampah sistem windrow sistem bergulir yang ideal
adalah sebagai berikut :
Lebar : 2.5 meter
Tinggi : 1.5 meter
Panjang : minimal 3 meter
Ukuran tumpukan seperti ini merupakan dimensi yang ideal dimana
proses aerasi masih berjalan cukup baik, dan terjaminnya pencapaian
temperatur tinggi. Jika tumpukan terlalu kecil, proses aerasi berjalan baik
tetapi temperatur tinggi tidak akan tercapai karena efek isolasi tidak berfungsi.
Tumpukan yang kecil tidak dapat menahan panas dengan baik. Sedangkan
kalau tumpukan terlalu besar dikhawatirkan proses aerasi menjadi terhambat
sehingga yang dominan terjadi adalah proses pembusukan anaerobik yang
mengakibatkan bau. Tumpukan yang ukurannya terlalu besar juga
menyulitkan pembalikan atau perguliran secara manual.
b. Jarak Antar Tumpukan
Jarak antar tumpukan yang ideal adalah antara 0.3 sampai 0.5 meter.
Dengan jarak tersebut, masih memungkinkan tersedia ruang yang dapat
digunakan dengan leluasa untuk melakukan pemantauan proses pengomposan,
seperti pengecekan temperatur, kelembapan, dsb.
c. Cara Penumpukan
Pembentukan tumpukan pertama-tama dapat dilakukan dengan cangkul
garpu. Ketika tumpukan makin meninggi pembentukan tumpukan dengan
cangkul garpu biasanya semakin sulit dilakukan. Untuk mengatasinya,
pembentukan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan tandu yang
terbuat dari anyaman bambu atau bahan-bahan sejenisnya.Tumpukan tersebut
dibuat tahap demi tahap sampai akhirnya tumpukan yang dibuat akan
berbentuk trapesium dengan lebar bagian atas berkisar antara 0.5 sampai 1
meter.
4. PENGKONDISIAN BAHAN BAKU PADA SAAT PENUMPUKAN
Pengkondisian bahan baku kompos tersebut dalam prakteknya di lapangan
meliputi pencampuran bahan dan kelembapan. Pencampuran bahan diperlukan
untuk membuat heterogenitas sampah menjadi bahan yang homogen atau
tercampur merata. Dengan meratanya campuran bahan maka rasio C/N yang ideal
akan tercapai. Kelembapan dan tingkat porositas tumpukan akan menjadi
seragam.
5. PEMANTAUAN
Proses pengomposan perlu selalu dipantau untuk memastikan bahwa kondisi ideal
yang diperlukan untuk berlangsungnya proses tersebut terjaga mulai dari awal
sampai akhir proses. Pemantauan dapat dilakukan setiap saat agar kegagalan
proses pengomposan dapat dicegah sedini mungkin. Secara praktis dan sederhana,
yang dipantau dalam proses pengomposan sistem windrow bergulir adalah tingkat
kelembapan dan temperatur tumpukan.
6. PERGULIRAN ATAU PEMBALIKAN
Perguliran merupakan aktivitas memindahkan tumpukan dari tempatnya ke
tempat berikutnya. Maksud utama dari perguliran adalah untuk membalik bahan
yang ditumpuk, memindahkan bahan sampai ke area kompos matang, dan
memudahkan pengawasan proses pengomposan.
Proses pembalikan tumpukan pada proses pengomposan umumnya dilakukan
adalah pembalikan di tempat itu juga, tetapi pada sistem bergulir ini pembalikan
dilakukan sambil sambil memindahkan tumpukan secara bertahap sehingga
terdapat area khusus untuk tumpukan sampah yang segar, area tumpukan yang
sedang aktif proses pengomposannya, dan area kompos jadi
a. Cara Perguliran
Cara perguliran sama dengan cara membuat tumpukan yang baru. Hanya saja
pembuatan tumpukan berikutnya hendaknya memperhitungkan segi
penyusutan volume sampah. Pada saat perguliran, volume sampah akan lebih
sedikit dari volume sebelumnya.
b. Waktu Perguliran
Berdasarkan pengalaman, perguliran tumpukan secara rutin cukup dilakukan
seminggu sekali. Frekuensi pembalikan tersebut sudah cukup baik untuk
menjamin proses pengomposan berjalan secara optimal.
c. Manfaat Perguliran
Manfaat dari perguliran adalah untuk menjaga agar proses aerasi tumpukan
berlangsung dengan baik. Dengan aerasi yang baik, proses
pengomposan akan berlangsung cepat.
Memberi kesempatan pada setiap bahan untuk terekspos temperatur tinggi di
pusat tumpukan. Ekpos bahan pada temperatur tinggi selama beberapa minggu
akan memberikan efek sterilisasi bahan pada bakteri patogen, larva lalat dan
bibit gulma sehingga produk komposnya akan terbebas dari bakteri patogen
dan bibit gulma. Pencampuran bahan-bahan yang dikomposkan menjadi
homogen dan memperkecil bahan yang ukurannya besar. Dengan campuran
yang merata, proses pengomposan akan lebih baik. Membantu penghancuran
bahan yang dikomposkan. Apabila tumpukan terlalu basah, perguliran
bermanfaat untuk menguapkan air sehingga tumpukan menjadi lebih kering.
Memisahkan area kotor (area sampah masuk) dengan area bersih (area kompos
matang). Mengarahkan tumpukan ke tempat pengayakan kompos (area
bersih). Memudahkan pekerja dalam pemantauan pengomposan terutama
dalam menentukan umur tumpukan.
7. PENYIRAMAN
Penyiraman dilakukan apabila sampah yang dikomposkan terlalu kering atau
kurang lembab.
a. Waktu Penyiraman
Penyiraman tumpukan dapat dilakukan kapan saja ketika tumpukan kurang
lembab. Penyiraman secara intensif biasanya dilakukan pada minggu
pertama sampai minggu ketiga karena proses penguapan berlangsung cepat
sebagai akibat dari temperatur yang tinggi. Penyiraman dilakukan agar
kelembapan tumpukan tetap terjaga antara 40 - 60 persen.
b. Cara Penyiraman
Penyiraman dapat dilakukan dengan gembor atau sprayer secara merata ke
dalam tumpukan. Terdapat dua cara penyiraman yaitu:
 Cara penyiraman tanpa membalik tumpukan (dilakukan sewaktu-
waktu)
 Penyiraman dengan membalik tumpukan (dilakukan pada saat
perguliran tumpukan).
8. KEMATANGAN KOMPOS
Setelah 6 atau 7 minggu masa pengomposan, biasanya sampah telah
matang menjadi kompos matang. Lamanya proses pengomposan sangat
tergantung pada karakter sampah yang dijadikan sebagai bahan baku.
9. PEMANENAN
Kompos dipanen apabila telah memenuhi kriteria-kriteria kematangan.
Pemanenan dilakukan dengan mengayaknya kemudian mengemasnya atau
menumpuknya di gudang. Jika tidak tersedia gudang sebaiknya kompos
yang sudah jadi ditutup dengan penutup yang kedap air untuk
melindunginya dari hujan dan bibit gulma yang terbawa angin. Ciri-ciri
kompos matang adalah: berbau seperti tanah, bentuknya sudah hancur
(tidak menyerupai bentuk awalnya lagi), berwarna coklat kehitaman dan
suhunya sudah rendah/normal.
10. PENGAYAKAN
a. Tujuan Pengayakan
Maksud utama dari pengayakan adalah
 untuk memperoleh ukuran partikel kompos yang diinginkan sesuai
dengan kebutuhan konsumen.
 terkomposkan secara sempurna. Bahan yang belum terkomposkan
secara sempurna dapat dikembalikan lagi ke dalam tumpukan yang
baru, atau dibuang sebagai residu.
 Memisahkan bahan-bahan yang tidak dapat dikomposkan yang
lolos selama proses pemilahan awal dan pemilahan pada saat
pembalikan/proses pengomposan.
b. Jenis-jenis Ayakan Manual
Kompos dapat disaring dengan berbagai jenis ayakan manual seperti
ayakan pasir, ayakan goyang, dan ayakan drum berputar. Besarnya
lubang ayakan dapat diubah-ubah sesuai dengan ukuran kompos yang
diinginkan.
c. Hindari Penggilingan Kompos
Untuk mendapatkan partikel kompos yang halus bisa dilakukan dengan
mesin penggiling kompos sehingga tidak diperlukan pengayakan lagi.
Mesin penggiling kompos dapat menghancurkan bongkahan-
bongkahan kompos dan materi besar yang terdapat dalam kompos.
Oleh karena itu, materi kompos yang keluar dari mesin tersebut
fraksinya sudah halus. Dalam kasus kompos sampah kota, sebaiknya
dihindari penggunaan mesin penggiling terutama apabila kompos
mengandung banyak kontaminan baik itu berupa pecahan lapak
maupun serpihan residu.
11. PENGEMASAN
Kompos yang telah diayak dapat dikemas ke dalam kantung plastik (kedap
air) atau karung. Apabila kompos tersebut akan dijual maka kantung
kemasan sebaiknya diberi label yang baik yang menginformasikan nama
produk kompos, cara penggunaan kompos, kandungan unsur hara, nama
dan alamat perusahaan, kegunaan kompos.
12. PENYIMPANAN
Baik kompos yang telah dikemas maupun yang belum dikemas
sebaiknya disimpan di dalam gudang yang tidak lembab dan terisolasi dari
bibit rumput/gulma serta aman dari gangguan binatang. Ruangan yang
lembab dapat memicu pertumbuhan jamur pada kompos yang dikemas
sehingga merusak daya tarik kemasan.

C. PENGERTIAN, METODE DAN MANFAAT SISTEM


VERMIKOMPOSTING
Vermicomposting adalah proses pengomposan yang selain mikroorganisme
juga menggunakan cacing tanah dalam menguraikan bahan organik. Menurut Gaddie
dan Douglas(1975), metode ini tidak hanya berperan sebagai pengolah limbah
otomatis dan menolongmengurangi permasalahan lingkungan dari proses pembakaran
ataupun bentuk pengolahanlainnya, akan tetapi juga menghasilkan pupuk yang baik
yaitu kascing (vermicompost).
Padaprinsipnya metode vermicomposting hanyalah salah satu alternatif
pengelolaan limbah padatberupa sampah organik yang dapat dilakukan. Akan tetapi,
metode ini dipilih karena tidakjauh berbeda dengan mekanisme alamiah, yang
merupakan tantangan bagi suatu teknologipengelolaan limbah padat (Tchobanoglous
et al., 1993).
Keuntungan dari sistem vermikomposting adalah:
1. Mendaur ulang limbah organik
2. Mengurangi pencemaran lingkungan
3. Perbaikan struktur tanah, dan pH serta meningkatkan kemampuan tanah dalam
mengikat air
4. Merangsang pertumbuhan sistem perakaran
5. Sumber protein bagi ternak
6. Mempercepat pertumbuhan
7. Meningkatkan tinggi dan berat tumbuhan
8. Mengurangi kebutuhan pupuk kimia
9.Menyediakan lapangan kerja baru

D. PROSEDUR PEMBUATAN VERMIKOMPOSTING


Terdapat tiga fase dalam tata laksana vermicomposting, yaitu fase persiapan,
pelaksanaan, dan perawatan. Fase persiapan meliputi penentuan lokasi, pemilihan
sistem, pembuatan bangunan, dan pengadaan alat. Fase pelaksanaan meliputi
pembuatan media, pengadaan bibit, dan penanaman. Sedangkan fase perawatan
meliputi pemberian pakan, pembalikan, penggantian media, pemanenan media,
pengontrolan media, dan pengontrolan hama.
1. Fase Persiapan
a. Penentuan Lokasi
Lokasi vermicomposting sebaiknya sedekat mungkin dengan sumber
sampah yang akan ditangani sehingga akan menghemat ongkos angkut
sampah. Di sana diperlukan pula sumber air untuk keperluan penyiraman
pada saat pembuatan media cacing. Untuk itu dibutuhkan pula penerangan.
b. Pemilihan Sistem
Sistem vermicomposting meliputi sistem rak bertingkat, sistem larikan
dan sistem bak atau lubang. Pada sistem rak, cacing tanah dipelihara dalam
wadah yang diletakan pada rak. Wadah dapat berupa bak plastik, kayu,
bambu, dsb. Sistem larikan dilakukan dengan menempatkan media
pemeliharaan cacing dalam suatu larikan memanjang di atas lahan tanpa
pembatas pada bagian pinggirnya. Sedangkan pada sistem bak atau lubang
cacing ditempatkan di dalam bak atau lubang. Ketiga sistem tersebut
disesuaikan dengan kemudahan para pekerja dalam penanganan, perawatan,
pengontrolan dan pendugaan produksi cacing dan casting.
c. Pembuatan Bangunan
Pada prinsipnya vermicomposting itu sebaiknya tidak terkena sinar
matahari dan air hujan secara langsung. Untuk usaha skala kecil,
vermicomposting dapat dilakukan di emperan rumah atau di bawah naungan
pohon. Sedangkan untuk usaha skala lebih besar diperlukan bangunan los
terbuka beratap. Bangunan sebaiknya dipagar untuk menghindari hewan
pengganggu. Lantai sebaiknya bersemen dan ada sistem drainase agar
terlihat rapi dan bersih.
d. Pengadaan alat
Beberapa alat bantu yang diperlukan dalam vermicomposting antara
lain cangkul biasa, cangkul garpu, golok, timbangan, plastik terpal, sarung
tangan, ember, karung dan gerobak dorong. Sedang alat analisa yang
diperlukan antara lain termometer, soil tester dan pH meter.
2. Fase Pelaksanaan
a. Pembuatan media
Media dapat dibuat dari “sampah basah” seperti sampah pasar, sampah
kebun, sampah rumah tangga, dll. Bahan baku media tersebut akan lebih baik
apabila dicampur dengan kotoran ternak. Bahan tersebut kemudian dibuat
sebagai media melalui cara pengkomposan selama 15 – 21 hari. Sebelumnya
bahan-bahan tersebut dicacah 2 – 3 cm. Setelah dikomposkan setengah
matang, media tersebut diangin-anginkan selama 2 hari. Media yang baik
warnanya tidak terlalu gelap, baunya tidak menyengat, kandungan airnya 60
persen, pH 6,8 – 7,2, temperatur 26 – 32oC, berongga dan mengandung zat
pakan yang cukup (Maskana, 1990).
b. Pembuatan pakan
Pakan dapat berasal dari sampah organik, kotoran ternak atau gabungan
keduanya. Untuk sampah organik perlu diblender terlebih dahulu kemudian
diperam selama sehari-semalam. Untuk kotoran ternak, kotoran tersebut
didiamkan dahulu selama 3 hari, kemudian di tambahkan air menjadi bubur.
c. Pengadaan bibit
Bibit cacing yang baik berumur sekitar 3 bulan. Biasanya klitelumnya
sudah terlihat, warnanya cerah, gerakannya aktif dan gesit, peka terhadap
sentuhan, bentuk tubuh berisi dan tidak cacat.
d. Penanaman
Cacing tanah ditabur sedikit demi sedikit secara merata di atas media. 20
liter media membutuhkan cacing sekitar 1 kg (Maskana, 1990). Setelah
dilakukan penanaman media harus ditutup agar suasananya gelap bagi cacing.
Jika medianya cocok cacing akan betah di dalamnya. Sedangkan kalau tidak
cocok, cacing akan muncul ke permukaan dan mengumpul. Hal itu dapat
disebabkan antara lain karena media masih terlalu panas, kandungan airnya
terlalu tinggi atau media tersebut mengandung minyak, pestisida atau sabun.
3. Fase Perawatan
a. Pemberian pakan
Banyaknya pakan yang diperlukan cacing secara teoritis adalah seberat
badannya. Pakan ditaruh di atas media secara merata. Pemberian pakan dapat
dilakukan sehari sekali atau dua hari sekali.
b. Pembalikan
Di dalam perawatan cacing tanah media harus dibalik agar tetap porous.
Pembalikan sebaiknya dilakukan dengan tangan secara langsung seminggu
sekali apabila sudah terlihat memadat.
c. Pengontrolan Media
Media perlu dikontrol apabila terjadi hal-hal yang tidak wajar terhadap
cacing, misalnya cacing tidak betah di media itu. Biasanya faktor yang harus
dikontrol adalah kadar keasaman (pH), kelembaban dan suhu. pH yang cocok
untuk cacing tanah yaitu sekitar 6,8 – 7,2, kelembaban 28 – 42% atau
kandungan kadar air 60% dan suhu 26o – 32oC. Pemeriksaan kelembaban dan
suhu dilakukan setiap hari, sedangkan ph cukup 7 – 15 hari sekali (Maskana,
1990).
d. Pengontrolan hama
Hama cacing bermacam-macam. Ada yang memakannya ada pula
yang memanfaatkan media menjadi sarangnya. Di antara mereka adalah
unggas ( ayam, burung, bebek, dll.), tikus, katak, kadal, tupai, semut, kecoa,
dan lipan. Untuk mengontrol hama pemangsa, alternatif terbaiknya adalah
dengan membuat pagar atau penghalang yang dapat mencegah masuknya
hama tersebut. Sedangkan untuk hama pengganggu dilakukan dengan cara
mengontrol media agar tidak terlalu kering dan teknik perawatan lainnya serta
menjaga kebersihan kandang (Soenanto, 2000 dan Listyawan et.al. 1998).
e. Pemanenan
Penggantian media atau pemanenan biasanya dilakukan setelah 30 hari
penanaman di mana kondisi media sudah seperti tanah. Pemanenan kascing
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Untuk vermicomposting yang
dilakukan di dalam wadah cara yang mudah adalah dengan sistem piramid.
Sedangkan untuk skala besar dilakukan dengan sistem blok (horisontal),
sistem tangga (vertikal) dan sistem pancingan (Maskana, 1990; Listyawan
et.al. 1998).
Sistem piramid dilakukan dengan cara menggembur-gemburkan media
dan membentuknya menjadi seperti piramid dan secara alamiah cacing akan
berkumpul di bagian bawah piramid sehingga bagian atas piramid tersebut
dapat dipanen.
Sistem horisontal dilaksanakan dengan cara menggeser media lama
sehingga terdapat ruangan kosong. Kemudian ruangan kosong tersebut diisi
dengan media baru. Cacing sedikit demi sedikit akan berpindah ke media baru,
meninggalkan media lama sehingga media lama yang sudah menjadi casting
dapat dengan mudah dipanen.
Sistem vertikal prinsipnya seperti sistem horisontal, hanya saja media
baru diletakan di bawah media lama. Cacing akan berpindah ke media baru,
sehingga media lama yang berada di atas akan ditinggalkan cacing. Sistem
pancing dilakukan dengan meletakan pakan di atas media. Cacing akan
berkumpul menyantap pakan yang berada di permukaan media. Pada saat ini
cacing dapat dipisahkan dengan media.
f. Pembibitan Cacing
Setelah berumur dua tahun produktivitas cacing tanah sudah menurun
sehingga perlu diganti dengan cacing yang masih produktif. Untuk itu aspek
pembibitan cacing menjadi penting untuk dilaksanakan. Untuk pembibitan,
cacing dewasa ditanam di media baru untuk menghasilkan kokon (telur)
selama 3 sampai 4 minggu. Setelah terdapat banyak kokon, cacing induk
dikeluarkan dan kokon tersebut dibiarkan menetas selama sekitar 6 minggu.
Setelah itu setiap 2 minggu sekali media diganti dengan media baru sampai
anakan cacing berumur 1 – 3 bulan.
PERTANYAAN
1. Berikut ini merupakan hal yang bukan keuntungan dari vermicomposting adalah…
a. Merangsang pertumbuhan sistem perakaran
b. Sumber protein bagi ternak
c. Tempat berkembangbiak cacing
d. Meningkatkan tinggi dan berat tumbuhan
e. Mengurangi kebutuhan pupuk kimia
2. Terdapat tiga fase dalam tata laksana vermicomposting, yaitu…
a. Fase pelaksanaan, perawatan dan penyajian
b. Fase persiapan, pelaksanaan dan penyajian
c. Fase perawatan, pelaksanaan dan penyajian
d. Fase persiapan, tindak lanjut dan pelaksanaan
e. Fase persiapan, pelaksanaan dan perawatan
3. Metode pembuatan kompos terbagi menjadi dua, yaitu…
a. Alami dan mekanis
b. Alami dan fisik
c. Mekanis dan kimia
d. Alami dan kimia
e. Biologi dan kimia
DAFTAR PUSTAKA

Soma, Soeknamana. 2010. PengantarIlmuTeknikLingkungan, Seri:


PengelolaanSampahPerkotaan.Bogor: Penerbit IPB Press.

Sumantri, Arif. 2010. KesehatanLingkungandanPrespektif Islam.Jakarta: Prenada Media


Grup.

http://oryza-sativa135rsh.blogspot.co.id/2011/07/kegiatan-vermikomposting.html

http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-dan-manfaat-pupuk-kompos.html

http://sriwahyono.blogspot.co.id/2010/07/tata-cara-vermicomposting.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Kompos#Jenis-jenis_kompos

http://olahsampahsederhana.blogspot.co.id/2016/06/metode-pembuatan-kompos.html

http://dpmenv.blogspot.co.id/2008/11/prosedur-pembuatan-kompos-dari-sampah.html

Anda mungkin juga menyukai