Anda di halaman 1dari 100

MATERI 1

KONSEP DASAR PENGENDALIAN VEKTOR DAN


BINATANG PENGGANGGU

A. Latar Belakang
Penyakit tular vektor dan binatang pembawa penyakit masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara endemis maupun
sebagai penyakit baru yang berpotensi menimbulkan wabah. Oleh
karenya, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan Pasal
51 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Lingkungan, perlu mengatur ketentuan mengenai standar baku
mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan untuk vektor
dan binatang pembawa penyakit serta pengendaliannya.
Penyakit yang ditularkan melalui vektor dan binatang pengganggu
masih menjadi penyakit endemis di Indonesia bahkan dibeberapa bagian
belahan dunia lainnya. Beberapa diantaranya yang saat ini masih endemis
di Indonesia antara lain adalah penyakit malaria, demam berdarah
dengue, filariasis, pes, kolera, dan lain lain. Penyakit-penyakit tersebut
jika tidak dicegah dapat menjadi wabah atau kejadian luar biasa (KLB)
serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat hingga
menyebabkan kematian.
Salah satu tujuan MDG’s (millenium development goal’s) adalah
pengendalian penyakit malaria yaitu tujuan ke-6 dan mempengaruhi tujuan
MDG’s lainnya seperti tujuan ke-4 dan ke-5 yaitu penurunan angka
kematian ibu dan anak. Angka kematian ibu dan anak merupakan salah
satu indikator kualitas derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu
pengendalian vektor dan binatang penggangu untuk mencegah penularan
penyakit-penyakit tertentu sangat penting dilakukan sebagai salah satu
upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat termasuk penyakit
yang diakibatkan karena keberadaan Vektor dan Bintang Pengganggu
yang menjadi perantara dan penyebab penyakit seperti DBD, Malaria,
Kaki Gajah, Demam Kuning, Diare, Pes, Salmomeloasis dan penyakit
lainnya yang kategori penyakit Karantina maupun yang bukan.
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 1
B. Konsep Dasar
1. Pengertian Vektor
Menurut pasal 1, ayat ( 4) Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 50 tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan
Lingkungan & Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor & Binatang
Pembawa Penyakit & Pengendaliannya bahwa “Vektor” merupakan
artropoda yang dapat menularkan, memindahkan, dan/atau menjadi
sumber penular penyakit.
2. Pengertian Binatang Penganggu dan/Atau Pembawa Penyakit
Binatang Pengganggu atau pembawa penyakit adalah
“Binatang selain artropoda yg dapat menularkan, memindahkan,
dan/atau menjadi sumber penular penyakit” (Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 50 tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu
Kesehatan Lingkungan & Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor &
Binatang Pembawa Penyakit & Pengendaliannya).
3. Pengendalian Vektor Dan Binatang Pembawa Penyakit (Pengganggu)
Menurut Pasal 1, ayat (3) bahwa Pengendalian adalah upaya
untuk mengurangi atau melenyapkan faktor risiko penyakit dan/atau
gangguan kesehatan. Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan
bahwa “Pengendalian Vektor & Binatang Pembawa Penyakit” adalah
upaya untuk mengurangi atau melenyapkan Vektor dan Binatang
Pembawa Penyakit (Pengganggu) sebagai faktor risiko penyakit
dan/atau gangguan kesehatan atau gangguan lainnya yang merugikan
manusia karena serangan berupa gigitan/sengatan atau kerusakan
harta benda.
Pengendalian vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
(Pengganggu) pada Peraturan Menteri Kesehatan sebelaumnya (PMK
No. 374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian Vektor) adalah
semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan
populasi vektor serendah mungkin sehingga vektor di suatu wilayah
atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga
penularan penyakit tular vektor dapat dicegah. Jadi pada dasarnya

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 2
pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit (pengganggu)
untuk memutuskan rantai penularan antara sumber penyakit dengan
manusia atau mencegah tertularnya suatu penyakit menular kepada
manusia melalui peranan vektor penyakit.
Upaya pengendalian vektor lebih dititikberatkan pada
kebijakan pengendalian vektor terpadu melalui suatu pendekatan
pengendalian vektor dengan menggunakan satu atau kombinasi
beberapa metode pengendalian vektor; Pengendalian Vektor Terpadu
(PVT) merupakan pendekatan yang menggunakan kombinasi
beberapa metode pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan
azas keamanan, rasionalitas dan efektifitas pelaksanaannya serta
dengan mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya (Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2014 tentang
Kesehatan Lingkungan).
Pengendalian vektor terpadu dilatarbelakangi karena masalah
penggunaan pestisida sintetis yang semakin mahal dan beresiko bagi
manusia dan lingkungan. Pengendalian vektor terpadu
mengintegrasikan semua cara pengendalian hama yang potensial,
ekonomis, efisien dan ekologis untuk mengedalikan serangga (vektor)
pada tingkat yang tidak membahayakan.
Hal-hal yang harus diperhatikan adalah bahwa program
pengendalian vektor terpadu dilaksanakan dalam kurun waktu
tertentu, bukan insidental, populasi vektor (hama) harus dimonitor
secara berkala, tempat perindukan dan perilaku vektor harus dapat
diidentifikasi, strategi, metode serta teknik pengendalian harus
bijaksana dan tepat guna, masyarakat perlu dilibatkan sejauh
mungkin.
Hasil yang diharapkan dalam pengendalian vektor secara
terpadu adalah :

1. Populasi vektor dapat terus ditekan dibawah ambang.


2. Penggunaan pestisida dapat dikurangi sehingga mengurangi
bahaya dan akibat samping.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 3
3. Penggunaan metode non – pestisida dapat ditingkatkan dimana
mungkin diterapkan
4. Keseluruhan program pengendalian itu efektif, efisien, aman, tidak
berbahaya dan diterima masyarakat

Agar dapat memperoleh hasil yang maksimal, maka dalam


pengendalian vektor secara terpadu memperhatikan hal-hal berikut ini :

1. Harus benar-benar mengenal hama sasaran, khususnya : biologi,


ekologi dan perilakunya
2. Strategi pengendalian yg ditempuh harus memperhatikan siapa
sasarannya, bagaimana melaksanakannya, dimana dan kapan
waktu yg paling tepat
3. Penggunaan materi untuk pengendalian harus tepat, apakah
pestisida (toksikologi dan persistensinya), organisme musuh alami
(biologi, ekologi dan perilakunya) ataupun cara-cara non pestisida
lainnya.
4. Kondisi lingkungan, tata ruang dan struktural.
Berdasarkan uraian diatas maka konsep dasar pengendalian
vektor dan binatang pengganggu adalah:

1. Menitikberatkan pada kebijakan pengendalian vektor terpadu


melalui suatu pendekatan pengendalian vektor dengan
menggunakan satu atau kombinasi beberapa metode
pengendalian vektor dan binatang pengganggu.
2. Berdasarkan azas keamanan terhadap semua faktor lingkungan,
rasionalitas dan efektifitas pelaksanaannya serta
mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya.
3. Memutuskan rantai penularan antara sumber penyakit dengan
manusia atau mencegah tertularnya suatu penyakit menular
kepada manusia melalui peranan vektor penyakit dan binatang
pengganggu.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 4
C. Faktor Yang Menentukan Keberhasilan Pengendalian Vektor dan
Binatang Pengganggu.

Faktor penting yang terkait dengan keberhasilan pengendalian


vektor dan binatang pengganggu yaitu (Pranoto, 1993) ada 7 :

1. Pengenalan vektor dan binatang pengganggu.


Agar pengendalian vektor dan binatang pengganggu terarah kepada
sasaran yang tepat, maka terlebih dahulu harus mengenal jenisnya
yang menimbulkan masalah disuatu wilayah. Caranya adalah dengan
mengidentifikasi vektor dan binatang penggangu yang ditemukan di
wilayah yang akan dikendalikan.

2. Pemahaman bionomik vektor dan binatang pengganggu.


Dalam ekologi, bionomik (Yunani: bio = hidup, nomos = hukum)
adalah studi komprehensif organisme dan hubungannya dengan
lingkungannya. Diterjemahkan dari kata Prancis Bionomie dan
penggunaan pertama dalam bahasa Inggris pada 1885 -1890.
Dewasa ini kita menyebutnya, "ekologi". (encyclopedia.
thefreeecyclopedia. com, 04-12-2012).

Jadi bionomik vektor dan binatang pengganggu adalah


menyangkut segala sesuatu interaksi vektor dan binatang pengganggu
dengan lingkungan. Dengan mempelajari bionomik akan diketahui
segala sesuatu yang berhubungan dengan kebiasaan hidup atau tata
kehidupan dari vektor dan binatang pengganggu.

Pengetahuan tentang bionomik sangat penting dalam


keberhasilan pengendalian vektor dan binatang pengganggu. Bila
mengetahui bionomik vektor dan binatang pengganggu, maka
pengendaliannya akan efektif dan efisien.

Vektor dan binatang pengganggu sebagai makhluk hidup


mempunyai bermacam-macam kebiasaan hidup, antara lain yang
penting diketahui sehubungan dengan upaya pengendalian yaitu
kebiasaan yang berhubungan dengan:

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 5
a) Perkawinan atau berkembang biak, mencari makan dan lamanya
hidup.
b) Mencari tempat berlindung dan bersarang.
c) Kegiatan diwaktu malam dan siang hari.
d) Pemilihan mangsa yang menjadi sasaran
e) Didalam rumah dan diluar (iklim, suhu, kelembaban, pencahayaan
alami dan non alami, dll)
f) Daya tahan terhadap pestisida
3. Pemilihan metode pengendalian.
4. Pemilihan jenis pestisida yang akan digunakan jika direncanakan
akan menggunakan pestisida.
5. Pemilihan peralatan aplikasi yang tepat.
6. Teknik aplikasi pestisida yang benar.
7. Keterampilan Tenaga Pelaksana (SDM)

D. Ringkasan.

1. Latar Belakang.

Penyakit yang ditularkan melalui vektor dan binatang


pengganggu masih menjadi penyakit endemis di Indonesia bahkan
dibeberapa bagian belahan dunia lainnya. Penyakit-penyakit tersebut
jika tidak dicegah dapat menjadi wabah atau kejadian luar biasa (KLB)
serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat hingga
menyebabkan kematian.

Oleh karena itu pengendalian vektor dan binatang penggangu


untuk mencegah penularan penyakit-penyakit tertentu sangat penting
dilakukan sebagai salah satu upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.

2. Konsep Dasar Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu.


Konsep dasar pengendalian vektor dan binatang pengganggu adalah :

a. Menitikberatkan pada kebijakan pengendalian vektor terpadu


melalui suatu pendekatan pengendalian vektor dengan
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 6
menggunakan satu atau kombinasi beberapa metode
pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit
(pengganggu).
b. Berdasarkan azas keamanan terhadap semua faktor lingkungan,
rasionalitas dan efektifitas pelaksanaannya serta
mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya.
c. Memutuskan rantai penularan antara sumber penyakit dengan
manusia atau mencegah tertularnya suatu penyakit menular
kepada manusia melalui peranan vektor penyakit dan binatang
pengganggu.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengendalian


Vektor dan Binatang Pengganggu.
a. Pengenalan vektor dan binatang pengganggu yang menjadi
masalah dengan melakukan identifikasi vektor atau binatang
pengganggu.
b. Memahami bionomik vektor dan binatang pengganggu.
c. Pemilihan metode pengendalian.
d. Pemilihan jenis pestisida yang akan digunakan
e. Pemilihan peralatan aplikasi yang tepat.
f. Teknik aplikasi pestisida yang benar.
E. Evaluasi.

1. Apakah latar belakang perlunya pengendlian vektor dan binatang


pengganggu?

2. Bagaimana konsep dasar pengendalian vektor dan binatang pengganggu?

3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan pengendalian vektor


dan binatang pengganggu?

4. Mengapa perlu mengetahui bionomic vektor dan binatang pengganggu

5. Terkait dengan hal-hal apa saja bionomic vektor dan binatang


pengganggu?

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 7
F. Bacaan Lanjutan

1. Bapelkes Lemah Abang (2011). Modul MI-6, Pengendalian Vektor di


daerah Tanggap Darurat, Jakarta.

2. Iskandar, Adang, H,SKM dkk (1985). Pedoman Bidang Studi


Pemberantasan Serangga dan Binatang Pengganggu, Depkes RI,
Jakarta.

3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 tahun 2014 tentan Kesehatan


Lingkungan.

4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 50 tahun 2017 tentang Standar Baku


Mutu Kesehatan Lingkungan & Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor &
Binatang Pembawa Penyakit & Pengendaliannya.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 8
MATERI 2
Pengendalian Vektor Penyakit Malaria

A. Latar Belakang

Upaya pengendalian vektor dengan menggunakan satu atau lebih


metode yang bersinergi sehingga mampu menurunkan potensi penularan
malaria. Pengendalian ini bersifat rasional, ramah lingkungan dan
berkelanjutan. Kegiatan ini dapat dilakukan bersama masyarakat dan dengan
lintas sektor, antara lain : Dinas pertanian, industri pariwisata, KimPraswil, dll.

Pengendalian vektor bertujuan mengendalikan vektor dengan cara :


menurunkan populasi, mencegah gigitan, mencegah nyamuk menjadi infektif
(terbentuk sporozoit dalam kelenjar ludah), atau mengubah lingkungan
sehingga tidak cocok untuk tempat berkembang biak atau tempat istirahat
vektor, sehingga mampu menurunkan tingkat penularan malaria.
Pengendalian vektor malaria dilakukan dengan strategi RESSAA sebagai
berikut :

1. Rational : pelaksanaan pemberantasan vektor pada daerah kasus malaria


tinggi, daerah potensial KLB atau lokasi tertentu yang diprioritaskan.
2. Efektif : Kombinasi dua atau lebih metoda dapat dilakukankan apabila dgn
cara tersebut mampu menurunkan penularan.
3. Efisien : biaya operasionalnya paling murah.
4. Sustainable : dapat dilaksanakan dengan berkesinambungan sampai
mencapai tingkat penularan yang rendah.
5. Acceptable : kegiatan pemberantasan vektor harus diterima masyarakat
hingga masy.setempat mendukung dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan
tersebut.
6. Affordable : mampu melaksanakan kegiatan pemberantasan vektor pada
lokasi yang mudah terjangkau, sarana transportasi relatif baik sehingga
bahan dan alat serta keperluan logistik lainnya dapat dibawa ke lokasi
tersebut.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 9
Pengendalian Vektor Penyakit Malaria diawali dengan pengenalan
wilayah (Geographical Reconnaisance) yang meliputi pemetaan langsung
penduduk dan survei tambahan untuk menentukan situasi tempat tinggal
penduduk dari suatu daerah yang dicakup oleh program pengendalian
malaria, pemetaan tempat perindukan, dan aplikasi /penerapan metoda
intervensi : penyemprotan rumah dengan insektisida, penggunaan kelambu,
larviciding, penyebaran ikan pemakan larva nyamuk, pengelolaan lingkungan,
pelatihan SDM. Keterangan yg perlu dikumpulkan tentang wilayah adalah:
Dimana suatu objek (bangunan) berada dan bagaimana cara mencapainya,
Keadaan jalan (dapat dilalui kendaraan roda 4 atau tidak), Ukuran jarak dari
suatu objek (bangunan) ke objek yang lain, Sifat topografi (Daerah datar,
Daerah bergunung, Sumber air seperti sungai, danau, rawa-rawa, sumur,
Tempat perindukan vektor). Sedangkan keterangan yang perlu diketahui
tentang rumah adalah : Letak rumah dan nomor urutnya, Jumlah rumah, Tipe
rumah, Bahan bangunan untuk dinding, langit-langit dan atapnya, Rumah
permanen, sementara, rumah panggung, Luas permukaan rumah yang harus
disemprot, Jumlah kandang dan ternaknya, Letak dan jumlah masjid, gereja,
pos kamling, dangau dan bangunan-bangunan yang digunakan untuk
kegiatan malam hari.

B. Pemetaan Tempat Perindukan Vektor


Untuk mengetahui tempat perindukan vektor malaria di setiap wilayah
desa / dusun yang meliputi : Letak tempat perindukan yang positif jentik &
yang potensial, Jumlah tempat perindukan, Tipe tempat perindukan, Luas
tempat perindukan.
Ada dua type tempat perindukan yaitu : Tipe permanen (Rawa-rawa,
Sawah non teknis dengan aliran air gunung, Mata air, Kolam) dan Tipe
temporer (Muara sungai tertutup pasir di pantai, Genangan air payau di
pantai, Kobakan air di dasar sungai waktu musim kemarau, Genangan air
hujan, Sawah tadah hujan.
Hasil dari pemetaan Tempat Perindukan berupa peta / sket wilayah
desa/dusun yang mencamtumkan : Letak TP yang ada dilengkapi dengan
gambar-gambar Posisi jalan, sungai dan sawah, Letak kelompok rumah /

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 10
pemukiman penduduk, Batas wilayah desa/dusun, Garis pantai (bila di
kawasan pantai), Keterangan simbol/kode yang dipakai dalam peta, Tanggal
pembuatan peta, Dilampiri dengan Jumlah Tempat Perindukan, Tipe Tempat
Perindukan, dan Luas Tempat Perindukan.
Peta Tempat Perindukan dibuat atau direvisi pada saat Tempat
Perindukan potensial yang diperkirakan dengan : Grafik median data
klinis/kasus positif selama 3-5 tahun terakhir di Puskesmas setempat.
Pemetaan dilakukan 1-2 bulan sebelum puncak grafik tersebut, Grafik median
indeks curah hujan 3 tahun terakhir. Melihat kondisi lingkungan Tempat
Perindukan di pantai antara lain terdapat ganggang / lumut di permukaan air.
Dalam satu wilayah desa/dusun, bila terdapat 2 tipe Tempat Perindukan yang
potensial pada musim berbeda, harus dilakukan 2 kali pemetaan yaitu pada
musim kemarau dan musim hujan.

Berikut ini daerah dengan indikasi sebagai perindukan beberapa vektor


penyakit Malaria di Jawa Timur.

Gambar 1. Perindukan Berbagai Anophekes di Jawa Timur

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 11
Gambar 2. Habitan An. aconitus donitz

KARAKTERISTIK

1. JANGKAUAN LUAS DI SEKITAR KAKI GN. WILIS DAN SEBAGIAN PERSAWAHAN DI JATIM
2. VEKTOR UTAMA PENYAKIT MALARIA DI JATIM.

HABITAT
1. SAWAH TERAS SIRING BERBUKIT & PEMBUANGAN IRIGASI AREA PERSAWAHAN.
2. ALIRAN AIR YANG MENGALIR KE DUSUN KECIL DAN SAWAH
3. PEBIAKAN AIR TERMASUK DENGAN VARIASI ALGAE DAN TANAMAN AIR.

KEBIASAAN
1. MAKAN DI LUAR RUMAH 3 KALI LEBIH TINGGI DARI DLM RUMAH (EXOPHAGIC)
2. WAKTU MAKAN (MENGHISAP DARAH) DI PARUH PERTAMA DIBAWAH PUKUL 22.00.
3. MAYORITAS DITEMUKAN DIKANDANG DI PARUH KEDUA MALAM (ZOOPHILIC)

KEBIASAAN ISTIRAHAT
1. SIANG HARI (BERSIFAT EXOPHILIX), DALAM RUMAH 5 % DAN KANDANG 22 %,
2. DISEPANJANG ALIRAN SUNGAI I DAN PEMBUANGAN IRIGASI

JARAK TERBANG.
JARAK TERBANG 1 – 2 KM DARI PERINDUKAN

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 12
Gambar 3. Habitan An. malculatus

KARAKTERISTIK
1. DITEMUKAN DI TRENGGALEK, SAMBONG PACITAN DAN SEKITAR KAKI GUNUNG WILIS
2. VEKTOR UTAMA MALARIA DI JAWA-BALI DAN SEBAGIAN SUMATRA

HABITAT
1. GENANGAN AIR JERNIH DIDAERAH PENGUNUNGAN DAN LEBIH SUKA BILA ADA TANAMAN AIR
DAN KENA SINAR MATAHARI.
2. BERUPA MATA AIR,KOLAM KECIL,SUNGAI KECIL YANG MENGALIR PERLAHAN, KOBAKAN
KECIL DIDASAR SUNGAI SAAT MUSIM KEMARAU.

KEBIASAAN
1. MENGIGIT DI DALAM ATAU DI LUAR RUMAH
2. LEBIH SUKA DARAH HEWAN TAPI JUGA MANUSIA BILA POPULASI HEWAN SEDIKIT
3. PENGGIGITAN TERJADI DI MALAM HARI MULAI PUKUL 21.00 – 03.00
4. JARANG DITEMUKAN HINGGAP DIDINDING PADA MALAM HARI

KEBIASAAN BERISTIRAHAT
ISTRIRAHAT DI DALAM MAUPUN LUAR RUANGAN

JARAK TERBANG
JARAK TERBANG NYAMUK SEKITAR 2 KM DARI TEMPAT PERINDUKAN

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 13
Gambar 4. Habitan An. sundaicus Rodenwaldt

KARAKTERISTIK
1. TERSEBAR DI SEBAGIAN PANTAI JAWA TIMUR DARI PANTAI TELENG PACITAN SAMPAI
PLENGKUNG BANYUWANGI.
2. DI PANTAI TELENG MENINGKAT PADA BULAN SEPTEMBER – NOPEMBER DAN KEPADATAN
TINGGI DI DAMPAR LUMAJANG
3. VEKTOR UTAMA MALARIA DI DAERAH PESISIR SELATAN JAWA TIMUR ( KOPEM )

HABITAT
1. DI JAWA TIMUR PERINDUKAN DI TAMBAK,DANAU,RAWA,REMBESAN AIR DENGAN ALGAE DAN
GENUS ENTEROMORPHA DAN HETEROMORPHA DAN RERUMPUTAN AIR LAINNYA,
TERUTAMA SPESIES PESISIR,LEBIH MENYUKAI ADANYA SINAR MATAHARI ( PROSES
FOTOSINTESIS )
2. DITAPANULI SELATAN,PEMBIAKAN DI AIR SEGAR KOLAM PEDALAMAN TERDIRI DARI VARIASI
ALGAE DAN TANAMAN AIR.

KEBIASAAN
1. KEBANYAKAN ANHROPOPHILIC, SUKA DARAH MANUSIA DARIPADA HEWAN.
2. MENGIGIT DIDALAM DAN DILUAR RUMAH.
3. MENGIGIT SEPANJANG MALAM DAN PUNCAK GIGITAN SETELAH PUKUL 22.00.
4. HINGGA DIDINDING RUMAH SEBELUM DAN SESUDAH MENGIGIT.

KEBIASAAN BERISTIRAHAT
ISTRIRAHAT DI DALAM DAN LUAR RUANG, TEMPAT PERISTIRAHATAN MUNGKIN MENGALAMI
PERUBAHAN

JARAK TERBANG
JARAK TERBANG NYAMUK LEBIH DARI 2 KM DARI PERINDUKAN

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 14
Gambar 5. Habitan An. subpictus

KARAKTERISTIK
1. TERSEBAR DI SEBAGIAN PANTAI JATIM DARI PANTAI TELENG PACITAN SAMPAI PLENGKUNG
BANYUWANGI.
2. DI PANTAI TULUNGAGUNG KEPADATAN TINGGI DI PANTAI KALIDAWIR,SIDEM DAN POPOH
KEC.BESUKI
3. VEKTOR UTAMA MALARIA DI DAERAH PESISIR SELATAN JAWA TIMUR ( KOPEM )

HABITAT
DI JAWA TIMUR PERINDUKAN DI TAMBAK,RAWA,GENANGAN AIR PAYAU SEPERTI KESUKAAN
An,sundaicus . DAPAT HIDUP DIGENANGAN YANG MENDEKATI TAWAR.

KEBIASAAN
1. KEBANYAKAN SUKA DARAH HEWAN DARIPADA MANUSIA
2. MENGIGIT DIDALAM DAN DILUAR RUMAH.
3. MENGIGIT SEPANJANG MALAM DAN PUNCAK GIGITAN SETELAH PUKUL 22.00.- 23.00
4. HINGGA DIDINDING RUMAH SEBELUM DAN SESUDAH MENGIGIT.

KEBIASAAN BERISTIRAHAT
ISTRIRAHAT DI DALAM MAUPUN LUAR RUANGAN

JARAK TERBANG
JARAK TERBANG NYAMUK LEBIH DARI 2 KM DARI PERINDUKAN

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 15
Gambar 6. Habitan An. barbirostris

KARAKTERISTIK
1. TERSEBAR DI SEPANJANG PANTAI DAN KAKI GUNUNG WILIS JAWA TIMUR
2. VEKTOR SEKUNDER PADA PENULARAN MALARIA ,HASIL PENELTIAN PUSAT JAKARTA.

HABITAT
SAWAH DAN SALURAN IRIGASINYA, KOLAM DAN RAWA-RAWA DENGAN AIR TAWAR.

KEBIASAAN
1. KEBANYAKAN ZOOPHILIC, SUKA DARAH HEWAN DARIPADA MANUSIA.
2. MENGIGIT DIDALAM DAN DILUAR RUMAH.
3. MENGIGIT SEPANJANG MALAM DAN PUNCAK GIGITAN SETELAH PUKUL 23.00 = 05.00
4. HINGGA DIDINDING RUMAH SEBELUM DAN SESUDAH MENGIGIT.

KEBIASAAN BERISTIRAHAT
ISTRIRAHAT DI DALAM MAUPUN LUAR RUANGAN, TEMPAT PERISTIRAHATAN MUNGKIN MENGALAMI
PERUBAHAN

JARAK TERBANG
JARAK TERBANG NYAMUK LEBIH DARI 2 Km DARI PERINDUKAN

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 16
C. Penerapan Metoda Intervensi
Metoda intervensi pada pengendalian vector malaria diantaranya
adalah : penyemprotan rumah dgn insektisida, penggunaan kelambu,
larviciding, penyebaran ikan pemakan larva nyamuk, pengelolaan lingkungan.
1. Penyemprotan Rumah Dengan Insektisida
Penyemprotan rumah dgn effek residual / IRS (indoor residual
spraying) : suatu cara pemberantasan vektor dengan menempelkan racun
serangga tertentu dengan jumlah (dosis) tertentu secara merata pada
permukaan dinding yg disemprot. Cara ini masih dipakai karena paling
cepat & besar manfaatnya untuk memutuskan rantai penularan.
Sasaran penyemprotan meliputi sasaran lokasi dan sasaran
bangunan. Sasaran Lokasi meliputi daerah desa endemis malaria tinggi,
desa dgn angka positif malaria >5 per seribu penduduk, adanya bayi
positif malaria, daerah potensial KLB, Pernah terjadi KLB 2 tahun terakhir,
terjadi perubahan lingkungan hingga memungkinkan adanya tmpat
perindukan, Daerah bencana, Bercampurnya penduduk dari daerah non
endemis dgn daerah endemis, Penanggulangan KLB, Daerah yg terjadi
peningkatan kasus, Adanya kematian karena malaria. Sasaran bangunan
meliputi semua bangunan yg pada malam hari digunakan sbg tempat
menginap atau kegiatan lain (mesjid, gardu ronda), kandang ternak besar
sekitar rumah tinggal.
Penyemprotan rumah efektif bila, penularan terjadi di dalam rumah
(indoor biting, kejadian bayi positif), vektor resting di dinding, penduduk
menerima penyemprotan dan tidak berada di luar rumah malam hari,
penyebaran rumah tidak menyulitkan operasional penyemprotan. Waktu
pelaksanaan penyemprotan harus berdasarkan datas kasus malaria yaitu :
2 bulan sebelum puncak kasus dan data pengamatan vektor yaitu 1 bulan
sebelum puncak kepadatan vektor.
2. Penggunaan Kelambu
Penggunaan kelambu dalam program pengendalian malaria adalah
dalam rangka melindungi pemakai kelambu dari gigitan dan membunuh
nyamuk yang hinggap pada kelambu untuk mencegah terjadinya
penularan (Satu kelambu untuk 2 orang dewasa). Sasaran penggunaan

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 17
kelambu dari aspek lokasi adalah : Daerah atau desa endemis tinggi
malaria, Desa terpencil (remote), Desa / dusun terjadi KLB, Di daerah
yang penyemprotan rumah tidak efektif. Dari aspek penduduk adalah : Ibu
hamil, Bayi dan anak balita, Keluarga miskin.
Agar program ini efektif perlu dipertimbangkan hal berikut:
a. Masyarakat mau menerima pemakaian kelambu.
b. Dari hasil pengamatan entomologi menunjukan adanya kebiasaan
menggigit & istirahat di dalam rumah (endofilik dan endofagik).
c. Daerah tsb memiliki angka malaria tahun terakhir masih tetap tinggi.
d. Pelaksanaan penyemprotan rumah tidak mungkin dilakukan karena
transportasi yg sulit / daerah sulit dijangkau.
e. Konstruksi rumah yg tidak cukup melindungi penghuninya dari gigitan
nyamuk.
f. Kebiasaan tidur masyarakat lebih malam

3. Larvasida
Larvasida adalah aplikasi pestisida untuk larva pada tempat
perindukan potensial vektor guna membunuh / memberantas larva
nyamuk dgn menggunakan bahan kimia seperti Diflubenzuron (Andalin /
Dimilin) atau agen biologis Bacillus thuringiensis H-14 (Bti H-14).
Diflubenzuron adalah suatu zat penghambat pembentukan chitin. Apabila
larva nyamuk terkena dosis yang cukup, maka larva akan mati pada waktu
menjadi pupa atau dapat menetas menjadi nyamuk tidak normal yg tidak
dapat terbang. Sedangkan Bti H-14 adalah sejenis bakteri yang sporanya
bersifat racun / toksin terhadap larva nyamuk. Larva nyamuk akan mati
apabila memakan / menelan toksin ini. Jadi racunnya merupakan racun
perut. Karena itu tidak berpengaruh terhadap larva instar IV akhir dan
pupa yg istirahat makan.
Waktu aplikasi larvaciding ditentukan sebagai berikut:
a. Lagun yang terbentuk dari muara sungai yang tertutup pasir, waktu
aplikasinya adalah : Awal kemarau sampai awal musim hujan atau,
Sejak menutup sampai terbuka kembali karena banjir diwaktu hujan.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 18
b. Genangan air asin di pantai yang terbentuk oleh air laut pasang, waktu
aplikasi adalah : Sejak awal hingga akhir musim hujan atau, sejak air
mulai menjadi payau.

Sesuai dgn jenis larvasida yg dipakai, interval aplikasi dihitung menurut


minggu atau bulan, sedangkan jumlah aplikasi tergantung pada lamanya
genangan air potensial menjadi tempat perindukan.

4. Pemakaian Ikan Pemakan Larva


Penggunaan ikan pemakan larva dalam pengendalian vector yaitu
suatu upaya memanfaatkan ikan sebagai musuh alami larva nyamuk,
yang ditebarkan pada tempat perindukan potensial nyamuk dg tujuan
pengendalian populasi larva nyamuk sehingga dapat mengurangi
penularan. Daerah Sasaran penebaran ikan pemakan larva nyamuk
adalah: Desa dgn tempat perindukan potensial yg memenuhi kriteria
prioritas masalah dan prioritas program. Desa reseptif yg sudah rendah
penularannya karena dilakukan penyemprotan rumah / pemolesan
kelambu / larviciding (untuk maintenance). Tempat/lokasi penebaran ikan
pemakan larva nyamuk adalah: mata air, saluran air di persawahan
bertingkat, anak sungai, bendungan untuk sawah / pengairan, rawa-rawa
daerah pedalaman, rawa daerah pantai dengan air payau. Waktu
penebaran pada akhir musim hujan atau awal musim kemarau atau
selama musim kemarau pada saat luas tempat perindukan minimum.

5. Pengelolaan Lingkungan
Pengelolaan lingkungan dalam pengendalian malaria yang
menyangkut tindakan anti larva meliputi:
a. Modifikasi lingkungan (Penimbunan dan Pengeringan).
b. Manipulasi Lingkungan (Pembuatan saluran penghubung, Pengaturan
pengairan dan penanaman / pencegahan penebangan phon bakau di
tempat perindukan).

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 19
D. Evaluasi.

1. Jelaskan perlunya pengendlian vektor penyakit malaria?

2. Mengapa harus dilakukan pemetaan peindukan vektor penyakit malaria ?

3. Bagaimana metode intervendi vektor penyakit malaria ?

E. Bacaan Lanjutan

1. Bapelkes Lemah Abang (2011). Modul MI-6, Pengendalian Vektor di


daerah Tanggap Darurat, Jakarta.

2. Iskandar, Adang (1985). Pedoman Bidang Studi Pemberantasan


Serangga dan Binatang Pengganggu, Depkes RI, Jakarta.

3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 tahun 2014 tentan Kesehatan


Lingkungan.

4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 50 tahun 2017 tentang Standar Baku


Mutu Kesehatan Lingkungan & Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor &
Binatang Pembawa Penyakit & Pengendaliannya.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 20
MATERI 3

PENGENDALIAN VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH

A. Latar Belakang

Vektor penyakit Demam Berdarah adalah nyamuk Aedes aegypti.


Nyamuk ini merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue
penyebab penyakit demam berdarah. Selain dengue, A. aegypti juga
merupakan pembawa virus demam kuning (yellow fever) dan chikungunya.
Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis di
seluruh dunia. Sebagai pembawa virus dengue, A. aegypti merupakan
pembawa utama (primary vector) dan bersama Aedes albopictus
menciptakan siklus persebaran dengue di desa dan kota. Mengingat
keganasan penyakit demam berdarah, masyarakat harus mampu mengenali
dan mengetahui cara-cara mengendalikan jenis ini untuk membantu
mengurangi persebaran penyakit demam berdarah.

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di


Indonesia, sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta,
jumlah kasus terns meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang teriangkit
dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun, KLB yang terbesar terjadi pada
tahun 1998 dilaporkan dari 16 propinsi dengan IR = 35,19 per 100.000 penduduk
dengan CFR 2,0%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10.17. namun tahun-tahun
berikutnya IR tampak cenderung meningkat yaitu:15.99; 21.66; 19.24 dan 23.87 ( tahun
2000.2001.2002 dan 2003).

Penyebab meningkatnya jumlah kasus dan semakin bertambahnya wilayah


teriangkit antara lain karena semakin baiknya transportasi penduduk dari suatu daerah
ke daerah lain dalam waktu singkat, adanya pennukiman-permukiman bans,
penyimpanan-penyimpanan air tradisional masih dipertahankan, perilaku masyarakat
terhadap pembersihan sarang nyamuk yang masih kurang, vector nyamuk terdapat di
seluruh pelosok tanah air (kecuali di ketinggian > 1000 M dari pemukaan air laut) dan
adanya 4 sero type virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 21
B. Ciri Marfologi

Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh


berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan gari-
garis putih keperakan. Di bagian punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua
garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari
spesies ini. Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau
terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran
dan warna nyamuk jenis ini kerap berbeda antar populasi, tergantung dari
kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan.
Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan dalam hal ukuran
nyamuk jantan yang umumnya lebih kecil dari betina dan terdapatnya rambut-
rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan
mata telanjang.

Ciri-ciri nyamuk penyebab penyakit demam berdarah (Aedes aegypti)


adalah :

1. Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih.


2. Pertumbuhan telur sampai dewasa ± 10 hari.
3. Menggigit/menghisap darah pada siang hari.
4. Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar.
5. Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar
rumah yang agak gelap dan lembab, bukan di got/comberan.
6. Hidup di dalam dan di sekitar rumah.
7. Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bungan, tempat minum
burung, perangkap semut dan lain-lain.
8. Di luar rumah: drum, tangki penampungan air, kaleng bekas, ban bekas,
botol pecah, potongan bambu, tempurung kelapa, dan lain-lain.

C. Penyebaran DBD

Penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa virus Demam Berdarah


Dengue dapat disebarkan melalui telur dari satu generasi ke generasi
berikutnya oleh nyamuk Aedes aegypti. Korban tewas akibat demam
berdarah dengue terus berjatuhan. Jumlah pengidap DBD yang meninggal

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 22
sejak Januari sampai pertengahan Maret 2004 sebanyak 455 orang dan
jumlah kasus 35.166. Korban meninggal dunia sebagian besar dibawah
usia 15 tahun yang masuk kategori anak-anak, kebanyakan mereka
meninggal karena terlambat mendapat perawatan.

Data di Depkes menyebutkan, demam berdarah sudah menyerang


20 provinsi, 12 di antaranya masuk kategori KLB (Kejadian Luar Biasa). Ke-
12 provinsi itu adalah Banten, Jawa Barat (Jabar), DKI Jakarta, Jawa
Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Aceh, dan Jambi.
Kasus terbesar diduduki oleh propinsi DKI Jakarta sebanyak 12.993
dengan jumlah penderita meninggal 72 orang. Kasus ini diperkirakan akan
semakin meningkat pada bulan Maret hingga April seiring dengan musim
hujan yang masih terus berlangsung.

Cara penyemprotan, pengasapan, pengembunan, pemasangan jerat


nyamuk elektronik, dan sebagainya merupakan cara yang masih cukup
popular dalam memberantas nyamuk Aedes Aegypti, namun cara ini belum
efektif. Cara pengendalian yang efektif sebaiknya tidak hanya kepada
nyamuk dewasa saja, tetapi juga kepada penanggulangan larva atau jentik
nyamuk karena nyamuk hanya perlu siklus yang sangat singkat untuk
menjadi dewasa.

Pengendalian jentik nyamuk yang efektif dapat dilakukan dengan


cara abatisasi atau penaburan butiran Abate ke tempat-tempat yang
dicurigai sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk.

D. Penularan DBD

Anak yang sakit demam berdarah di dalam darahnya mengandung


virus DBD. Bila anak ini digigit nyamuk Aedes Aegypti maka bibit penyakit
ikut terhisap masuk ke dalam tubuh nyamuk. Selanjutnya bila nyamuk
tersebut menghisap darah anak lain (anak sehat), maka anak itu akan
terinfeksi virus Dengue dan akan dapat tertulari penyakit ini jika ketahanan
tubuh tidak mampu untuk memerangi virus Dengue. Mekanisme penularan
tersebut pada gambar

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 23
Gambar 7. Mekanisme Penularan Penyakit DBD

E. Gejala-gejala Dan Tindakan Penanganan Penderita DBD


1. Gejalan (Tanda-tanda) Penyakit Demam Berdarah Dengue :
a. Mendadak panas tinggi selama 2 sampai 7 hari.
b. Tampak bintik-bintik merah pada kulit
c. Kadang-kadang terjadi pendarahan di hidung (mimisan)
d. Mungkin terjadi muntah atau berak darah
e. Gusi berdarah
f. Sering terasa nyeri di ulu hati
g. Bila sudah parah, penderita gelisah.
h. Tangan dan kakinya dingin dan berkeringat.
2. Tindakan Penanganan Penderita DBD
Dalam beberapa hari saja keadaan penderita dapat menjadi parah, dan
dapat menyebabkan kematian. Tindakan yang harus dilakukan bila ada
penderita demam berdarah:

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 24
a. Pertolongan pertama yang penting memberi minum sebanyak
mungkin Air masak yang dibubuhi garam oralit atau gula, susu air
kelapa atau air teh.
b. Kompres dengan air es
c. Beri obat turun panas
d. Selanjutnya penderita segera dibawa ke dokter/Puskesmas yang
terdekat untuk diperiksa. Bila diduga terserang Demam Berdarah
akan dikirim ke Rumah Sakit untuk dirawat.
e. Lapor segera ke Puskesmas / Sudin Kesehatan setempat dengan
membawa surat dari Rumah Sakit.

F. Pengendalian Vektor

1. Kegiatan 3 M (Menguras, Menutup dan Mengubur)

Cara yang hingga saat ini masih dianggap paling tepat untuk
mengendalikan penyebaran penyakit demam berdarah adalah dengan
mengendalikan populasi dan penyebaran vektor. Program yang sering
dikampanyekan di Indonesia adalah 3M, yaitu menguras, menutup, dan
mengubur.

a. Menguras bak mandi

Kegitan ini untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk yang


berkembang di dalam air dan tidak ada telur yang melekat pada
dinding bak mandi.

b. Menutup

Menutup tempat penampungan air sehingga tidak ada nyamuk yang


memiliki akses ke tempat itu untuk bertelur.

c. Mengubur

Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan


dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 25
2. Kegiatan dengan memeliharan ikan pemangsa (Secara Biologi)

Beberapa cara alternatif pernah dicoba untuk mengendalikan vektor


dengue ini, antara lain mengintroduksi musuh alamiahnya yaitu larva
nyamuk Toxorhyncites sp. Predator larva Aedes sp. ini ternyata kurang
efektif dalam mengurangi penyebaran virus dengue. Beberapa
menggunakan beberapa jenis ikan pemangsa larva superti : ikan cupang.

3. Penggunaan Insektisida

Penggunaan insektisida yang berlebihan tidak dianjurkan, karena


sifatnya yang tidak spesifik sehingga akan membunuh berbagai jenis
serangga lain yang bermanfaat secara ekologis. Penggunaan insektisida
juga akhirnya memunculkan masalah resistensi serangga sehingga
mempersulit penanganan di kemudian hari.

a. Kontroversi Program Pengasapan dengan Insektisida

Pada musim penghujan selain banjir, penyakit demam berdarah


dengue (DBD) menjadi ancaman terjadinya kepanikan pada
masyarakat. Kantor regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di
Asia Tenggara memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 50-
100 juta kasus demam dengue (DD) dan tidak kurang dari 500.000
kasus DBD memerlukan perawatan di rumah sakit. Dalam kurun waktu
10-25 tahun ini, DBD merupakan penyebab utama kesakitan dan
kematian anak di Asia Tenggara. Waktu penyakit ini menyebar menjadi
kejadian luar biasa (KLB) biasanya akan terjadi kepanikan pada
masyarakat, apalagi bila isu-isu mengenai anak-anak dan orang
dewasa yang sakit atau yang meninggal merebak dengan luas. Sebagai
jawaban atas permasalahan tersebut, pemerintah biasanya bereaksi
pragmatis dengan memilih metodologi yang dianggap pamungkas oleh
rakyatnya dan dapat menunjukkan kinerja dengan kasatmata.

Pilihan yang populer adalah pengasapan insektisida dengan


mesin yang dapat menyemburkan asap tebal insektisida dengan
baunya yang khas dan mesin yang mengeluarkan bunyi yang keras.
Bunyi mesin dan asap tebal yang disertai bau insektisida yang khas

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 26
dapat didengar, dilihat, dan dirasakan oleh masyarakat. Hal itu
sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah telah melaksanakan
tugasnya dan hal ini dapat menimbulkan "rasa aman" pada masyarakat.
Walaupun kasus masih bermunculan, kepanikan masyarakat untuk
sementara dapat "diredakan", kalaupun petaka akhirnya juga menimpa
keluarga mereka, suratan takdir yang dijadikan rujukan.

Sejalan dengan perjalanan waktu kasus pun berangsur turun dan


masyarakat mulai melupakan KLB tersebut sampai bulan yang sama
tahun depannya, atau tahun-tahun depan berikutnya. Siklus ini
berlangsung terus, dan menurut catatan, siklus seperti ini telah terjadi di
Indonesia sejak tahun 1956, hanya intensitas siklus tahunannya yang
berbeda di berbagai daerah.

Alhasil, angka kesakitan penyakit DBD dari tahun ke tahun


bukannya menunjukkan gejala penurunan, melainkan malah
menunjukkan kecenderungan meningkat. Walaupun ada sebagian
masyarakat (dengan ingatan masa lalu) yang memiliki pendapat skeptis
tentang kegunaan pengasapan tersebut, setiap tahun cara-cara
penanggulangan seperti ini berlangsung terus. Dalam kondisi seperti ini
menarik menyimak pendapat Gubler yang menyatakan bahwa
keberhasilan dalam penanggulangan DBD menurut konsep ilmiah tidak
harus selalu sejalan dengan kaidah politik tentang penanganan KLB
penyakit DBD.

b. Kontroversi mesin "fog"

Pengasapan dengan insektisida untuk membasmi nyamuk


dewasa Aedes aegypti, sebagai pembawa virus dengue penyebab
penyakit DBD, dilakukan dengan menggunakan mesin fog (mesin
pembuat kabut asap) yang dapat dipasang pada pesawat terbang,
kapal ataupun kendaraan bermotor lainnya, dan terdapat pula jenis
mesin fog yang dapat dijinjing (thermal fog). Di Indonesia, yang
digunakan adalah mesin fog yang diangkut dengan mobil (dikenal
dengan mesin ULV) dan mesin fog yang dijinjing.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 27
Pengasapan insektisida dengan mesin ULV dilaksanakan
dengan cara menyemprotkan insektisida ke lahan atau bangunan yang
dilewati di sepanjang jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat.
Dengan daya semprotnya yang kuat, diharapkan nyamuk yang berada
di halaman maupun di dalam rumah terpapar dengan insektisida dan
dapat dibasmi ("knock down effect"). Untuk mencapai hasil yang
optimal, maka sepanjang jalan yang dilalui harus dipastikan tidak ada
penghalang antara mesin dan lahan atau bangunan yang akan
dilakukan pengasapan tersebut.

Studi mengenai keberhasilan pembasmian nyamuk dewasa


Aedes aegypti dengan mesin ULV hanya didapat pada awal
pelaksanaannya di era tahun 1970-an. Penelitian yang dilaksanakan di
Thailand oleh Kilpatrick dan kawan-kawan itu menunjukkan, dengan
pengasapan ULV 2 kali dengan tenggang waktu 4 hari dapat
menurunkan tingkat gigitan nyamuk sampai 90 persen dan penurunan
jumlah telur nyamuk yang terperangkap (ovitrap) dari 50 persen
menjadi 0 persen. Walaupun hingga kini uji keampuhan insektisida
terhadap nyamuk yang dimasukkan kurungan masih menunjukkan
angka kematian nyamuk yang sempurna, keberhasilan pembasmian
nyamuk Aedes aegypti seperti penelitian tersebut tidak pernah dicapai
lagi.

Para peneliti menyimpulkan bahwa kegagalan program


pengasapan tersebut karena teknik pelaksanaan dan kondisi lapangan
yang tidak menunjang, seperti arah angin yang menghalangi
penyebaran asap, struktur pintu atau jendela yang menghalangi
masuknya asap insektisida, struktur bangunan yang terdiri dari banyak
sekat sehingga menghalangi menyebarnya aliran asap, mesin ULV
yang tidak prima, operator yang tidak terampil, bahkan sampai adanya
anggapan bahwa nyamuk telah menjadi kebal terhadap insektisida.

Pengasapan dengan mesin fog jinjing dilaksanakan oleh


petugas dari rumah ke rumah dalam radius 100 meter mengelilingi
rumah penderita ("fogging focus") karena diperkirakan selama

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 28
hidupnya nyamuk betina tersebut hanya terbang dalam jarak 50-100
meter. Tidak seperti pengasapan dengan mesin ULV, pada
pengasapan dengan mesin fog jinjing seluruh pintu atau jendela rumah
malah harus ditutup. Pengasapan dilaksanakan oleh petugas dari
dalam rumah untuk membunuh nyamuk dewasa yang berada di dalam
rumah, seperti halnya kita menyemprot menggunakan obat nyamuk.

Metode ini diduga dapat lebih efektif membunuh nyamuk betina


yang memiliki sifat suka berdiam di dalam rumah di daerah yang gelap.
Namun dalam kenyataannya, sifat nyamuk ini yang pandai
bersembunyi di kegelapan disertai dengan kemampuannya terbang
horizontal dan vertikal serta kemungkinan nyamuk tersebut terbawa
oleh alat transportasi ke tempat lain telah membuat metode
pengasapan di dalam rumah tersebut juga kurang dapat berperan
dalam membasmi penyakit DBD.

Hal ini didukung pula oleh adanya tenggang waktu antara


seseorang mulai sakit sampai dilakukan pengasapan sehingga nyamuk
pembawa virus tersebut telah sempat berpindah ke rumah lain dan
menularkan ke orang lain, jauh sebelum dilakukan pengasapan. Selain
itu, dapat juga terjadi bahwa seseorang tertular, tetapi hanya
menunjukkan gejala sakit demam biasa (demam dengue) sehingga
tidak terdeteksi dan tidak dilakukan pengasapan. Hal lain yang dapat
mempengaruhi adalah tingginya mobilitas masyarakat perkotaan
sehingga sulit melacak sumber (tempat) terjadinya penularan. Agaknya
faktor inilah yang berperan dalam kegagalan penanganan epidemi
DBD dengan metode pengasapan insektisida di banyak negara.

4. Pemberantasan sarang nyamuk (PSN)

Pada tahun 1901 Kuba dengan bantuan angkatan bersenjata


Amerika Serikat berhasil membasmi penyakit demam kuning (yang juga
ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti) tanpa menggunakan
insektisida, hanya dengan cara membasmi sarang nyamuk Aedes aegypti.
Keberhasilan tersebut ditunjang dengan program karantina dan

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 29
ketersediaan vaksinnya. Upaya ini tercatat merupakan keberhasilan
pertama di dunia melawan penyakit yang ditularkan melalui nyamuk.

Selain Kuba, Singapura tercatat pula sebagai negara yang berhasil


memerangi nyamuk Aedes aegypti dengan program pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) melalui penyuluhan yang intensif dan informasi
yang benar tentang pernyamukan (entomologi) serta penegakan hukum.

Tidak seperti halnya penyakit demam kuning, penyakit demam


berdarah dengue hingga kini belum ditemukan vaksinnya. Sambil
menunggu perkembangan vaksin dengue, saat ini program
penanggulangannya lebih banyak bertumpu pada pemberantasan nyamuk
(dewasa) Aedes aegypti-nya. Pemberantasan nyamuk dewasanya dengan
cara pengasapan insektisida menimbulkan banyak kontroversi, sedangkan
pemberantasan sarang nyamuk itu, untuk menghilangkan jentik (larva),
kurang mendapat perhatian dari masyarakat karena dianggap merupakan
upaya yang tidak jelas hasilnya dibanding program pengasapan.

Masyarakat tahu bahwa penyakit DBD ditularkan oleh nyamuk dan


setelah pengasapan masyarakat secara nyata merasakan bahwa jumlah
nyamuk berkurang. Dengan demikian, seharusnya penyakit DBD ikut
terbasmi. Logika tersebut tidak sepenuhnya benar karena belum tentu
nyamuk yang membawa virus dengue ikut terbasmi pada saat tersebut.
Yang sering dilupakan adalah bahwa program pemberantasan penyakit
DBD tidak hanya memberantas nyamuk Aedes aegypti saja, tetapi juga
memberantas virus dengue yang dibawa oleh nyamuk tersebut. Mengingat
hal-hal tersebut di atas, seyogianya penekanan juga diberikan kepada
upaya pengurangan jumlah nyamuk yang dapat membawa virus dengan
cara membunuh jentiknya.

Selain dari faktor nyamuk, ulah manusia ikut menambah subur


populasi nyamuk ini. Kebanyakan kota-kota besar di Indonesia, seperti
halnya kota-kota di negara berkembang lainnya, telah berkembang pesat
dengan segala implikasinya, seperti tumbuhnya daerah kumuh karena
urbanisasi, terbatasnya pasokan air bersih, manajemen pengelolaan kota
yang tidak sempurna, manajemen lingkungan yang tidak profesional.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 30
Semua itu menimbulkan bertambahnya tempat-tempat yang dapat dipakai
bersarang dan berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti.

Hal ini didukung pula oleh tumbuhnya gedung-gedung bertingkat


yang tinggi dan tertutup rapat serta tumbuhnya perumahan gedongan
dengan pagar yang tinggi-tinggi. Akibatnya, nyamuk Aedes aegypti
semakin berkembang pesat sejalan dengan pertumbuhan manusia di
perkotaan yang memiliki segudang permasalahan tersebut. Kurangnya
informasi yang benar tentang penanggulangan penyakit DBD kepada
masyarakat dan disertai kehidupan sosial masyarakat kota yang semakin
individualistis menyebabkan semakin sulitnya komunitas yang ada untuk
dapat saling bekerja sama membasmi nyamuk Aedes aegypti.

Disadari oleh para ahli bahwa pemusnahan makhluk hidup seperti


Aedes aegypti memerlukan pengetahuan tentang ilmu evolusi, ekologi
populasi serta dinamika populasinya. Menurut Tilman, pemusnahan suatu
spesies makhluk hidup hanya dapat dilakukan melalui pemusnahan
habitatnya, bukan pemusnahan persatuan jenis spesies tersebut. Dengan
demikian, masih akan dibutuhkan waktu yang lama bagi manusia untuk
hidup bersama dengan nyamuk Aedes aegypti ini.

Untuk itu, diperlukan manipulasi lingkungan yang terstruktur dan


berkesinambungan, yang tidak merusak habitat manusia sendiri untuk
membasmi nyamuk ini. Kondisi lingkungan yang tertata rapi, halaman
yang bersih dan asri, bak mandi yang hanya dilengkapi shower seperti
laiknya tinggal di cottage-cottage hotel berbintang jelas akan dapat
membantu mengurangi berkembangnya spesies ini. Untuk itu, harapan
satu-satunya memang harus ditumpukan pada PSN dengan gerakan 3 M,
yang harus dilaksanakan serentak oleh seluruh masyarakat kota secara
berkesinambungan dan terus menerus sepanjang tahun

Kejadian Luar Biasa (KLB) Nasional Demam Berdarah yang


melanda Indonesia saat ini perlu segera ditindak lanjuti secara langsung
oleh masyarakat melalui PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk). Upaya ini
merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan
oleh masyarakat, dengan cara sebagai berikut :

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 31
1. Kegiatan 3 M

2. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau


adukan semen

3. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk


tidak hinggap disitu

4. Taburkan bubuk ABATE ke tempat penampungan air yang dicurigai


sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Demam Berdarah.

G. Evaluasi
1. Jelaskan perlunya pengendlian vektor penyakit DBD ?

2. Mengapa harus dilakukan pemetaan peindukan vektor penyakit DBD ?

3. Jelaskan metode pengendalian vektor penyakit DBD yang aman ?

F. Bacaan Lanjutan

1. Bapelkes Lemah Abang (2011). Modul MI-6, Pengendalian Vektor di


daerah Tanggap Darurat, Jakarta.

2. Iskandar, Adang (1985). Pedoman Bidang Studi Pemberantasan Serangga


dan Binatang Pengganggu, Depkes RI, Jakarta.

3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 tahun 2014 tentan Kesehatan


Lingkungan.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 32
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 50 tahun 2017 tentang Standar Baku
Mutu Kesehatan Lingkungan & Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor &
Binatang Pembawa Penyakit & Pengendaliannya.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 33
MATERI 4

PENGENDALIAN LALAT

A. Latar Belakang.
Di sebuah peternakan, seperti telah menjadi sebuah tradisi,
suatu saat bahkan setiap saat dapat ditemukan sekawanan lalat,
terlebih lagi saat musim penghujan. Kadang kala keberadaan lalat
diabaikan oleh peternak, namun suatu saat adanya lalat ini membuat
peternak pusing dan kebingungan mengusir maupun mengatasinya.
Bahkan belakangan ini, keberadaan lalat telah berhasil memberikan
“kesan dan pesan” tersendiri.
Lalat sejenis serangga yang selalu dan sering kali kita temukan
berterbangan di dalam kandang. Kita telah tahu bahwa lalat bukan
penyebab penyakit pada ayam karena tidak ada “penyakit lalat”
(seperti penyakit Gumboro yang disebabkan oleh virus Gumboro). Oleh
karenanya kita sering mengabaikan keberadaan lalat ini. Tapi,
benarkan lalat tidak perlu memperoleh “hati’ kita (peternak, red.)?
Sudah benarkah kita mengabaikannya?

B. Mengenal Lalat
1. Karakteristik Lalat
Lalat termasuk dalam kelompok serangga yang berasal dari
subordo Cyclorrapha dan ordo Diptera. Secara morfologi, lalat
mempunyai struktur tubuh berbulu, mempunyai antena yang
berukuran pendek dan mempunyai sepasang sayap asli serta
sepasang sayap kecil (berfungsi menjaga kestabilan saat terbang).
Lalat mampu terbang sejauh 32 km dari tempat
perkembangbiakannya. Meskipun demikian, biasanya lalat hanya
terbang 1,6-3,2 km dari tempat tumbuh dan berkembangnya lalat.
Lalat juga dilengkapi dengan sistem penglihatan yang
sangat canggih, yaitu adanya mata majemuk. Sistem penglihatan
lalat ini terdiri dari ribuan lensa dan sangat peka terhadap gerakan.
Bahkan ada beberapa jenis lalat yang memiliki penglihatan tiga

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 34
dimensi yang akurat. Model penglihatan lalat ini juga menjadi
“ilham” bagi ilmuwan kedokteran untuk menciptakan sebuah alat
pencitraan (scan) baru.
Mata lalat dapat mengindra getaran cahaya 330 kali per
detik. Ditinjau dari sisi ini, mata lalat enam kali lebih peka daripada
mata manusia. Pada saat yang sama, mata lalat juga dapat
mengindra frekuensi-frekuensi ultraviolet pada spektrum cahaya
yang tidak terlihat oleh kita. Perangkat ini memudahkan lalat untuk
menghindar dari musuhnya, terutama di lingkungan gelap.

Visualisasi seekor lalat

Beberapa jenis lalat dapat menyerang suatu peternakan.


Namun 95% jenis lalat yang sering ditemukan dipeternakan
ialah lalat rumah (Musca domestica) dan little house fly (Fanny
canicularis). Jenis lalat lainnya seperti lalat buah (Lucilia sp.),
lalat sampah berwana hitam (Ophyra aenescens) maupun lalat
pejuang (soldier flies) juga sering mengganggu lingkungan
peternakan.

2. Siklus Hidup Lalat


Siklus hidup semua lalat terdiri dari 4 tahapan, yaitu telur,
larva, pupa dan lalat dewasa. Lalat dewasa akan menghasilkan
telur berwarna putih dan berbentuk oval. Telur ini lalu
berkembang menjadi larva (berwarna coklat keputihan) di feses
yang lembab (basah). Setelah larva menjadi dewasa, larva ini
keluar dari feses atau lokasi yang lembab menuju daerah yang
relatif kering untuk berkembang menjadi pupa. Dan akhirnya,

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 35
pupa yang berwarna coklat ini berubah menjadi seekor lalat
dewasa. Pada kondisi yang optimal (cocok untuk
perkembangbiakan lalat), 1 siklus hidup lalat tersebut (telur
menjadi lalat dewasa) hanya memerlukan waktu sekitar 7-10
hari dan biasanya lalat dewasa memiliki usia hidup selama 15-
25 hari.

Gambar 8. Siklus hidup lalat

Dalam waktu 3-4 hari, seekor lalat betina mampu


menghasilkan telur sebanyak 500 butir. Dengan kemampuan
bertelur ini, maka dapat diprediksikan dalam waktu 3-4 bulan,
sepasang lalat dapat beranak-pinak menjadi 191,01 x 1018 ekor
(dengan asumsi semua lalat hidup). Bisa kita bayangkan,
dengan kemampuan berkembang biak lalat tersebut dapat
memberikan ancaman tersendiri.
3. Keberadaan Lalat Sebagai Vektor Penyakit
Pernahkah kita mendengar ada penyakit lalat, seperti
halnya penyakit Newcastle disease (ND) yang menyerang
ayam? Tentu belum pernah. Lalat sebenarnya bukan suatu
agen infeksi melainkan peranannya lebih cenderung sebagai

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 36
vektor atau agen pembawa atau penular penyakit. Peranan lalat
menularkan penyakit ini didukung dari bentuk anatomi tubuhnya
yang banyak terdapat bulu sehingga bibit penyakit (virus,
bakteri, protozoa) melekat dan tersebar ke ternak/hewan lain.
Selain itu, lalat juga mempunyai cara makan yang unik, yaitu
lalat meludahi makanannya terlebih dahulu sampai makanan
tersebut cair baru disedot ke dalam perutnya. Cara makan inilah
yang ikut disinyalir sebagai cara bibit penyakit masuk ke dalam
tubuh lalat kemudian menulari/menginfeksi ayam. Terlebih lagi
kita tahu dan tak jarang menemukan lalat sedang hinggap di
ransum ayam.
Dari beberapa literatur juga disebutkan setiap kali lalat
hinggap disuatu tempat, maka + 125.000 bibit penyakit
dijatuhkan pada lokasi tersebut (wikimedia, 2007). Sungguh
mengerikan! Prof. Drh. Hastari Wuryastuty, M.Sc, PhD (2005)
peneliti di fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta menyatakan jika seekor lalat yang memiliki
berat 20 mg mampu membawa bibit penyakit (virus) sebanyak
10% dari berat badannya, yaitu 2 mg maka lalat tersebut dapat
menulari 2.000 ekor ayam. Hal ini disebabkan setiap 1 gram
virus dapat menginfeksi satu juta ekor ayam.
Prof. Drh. Hastari Wuryastuty, M.Sc, PhD bersama
dengan suaminya, yaitu Prof. Drh. R Wasito, M.Sc, PhD
seorang ahli penyakit hewan di fakultas yang sama telah
melakukan penelitian peranan lalat terhadap penularan
penyakit avian influenza (AI). Dari sampel lalat beku yang telah
dikumpulkannya, diperoleh data bahwa lalat yang berasal dari
Makasar dan Karanganyar telah dinyatakan positif mengandung
virus AI. Penelitian tersebut saat ini masih berlanjut, untuk
mengetahui secara pasti pada posisi manakah peranan lalat
tersebut dalam penularan AI. Apakah lalat berperan sebagai
vektor mekanik atau vektor biologik? Kita tunggu hasil penelitian

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 37
berikutnya.
Larva dan lalat dewasa juga menjadi hospes intermediet
atau inang perantara bagi infeksi cacing pita (Raillietina
tetragona dan R. cesticillus) pada ayam. Larva dan lalat dewasa
sering kali termakan oleh ayam sehingga ayam dapat terserang
cacing pita tersebut. Selain itu, lalat juga berperan sebagai
vektor mekanik bagi cacing gilik (Ascaridia galli) maupun bakteri.
Lalat yang hinggap di feses atau litter yang telah tercemar
bakteri kolera maka lalat tersebut sudah berpotensi
menyebarkan kolera pada ayam lainnya.

Gambar 9. Larva Lalat

Larva lalat yang berkembang pada feses yang lembab


berpotensi menularkan beberapa bibit penyakit.
Selain penyakit, keberadaan lalat juga menjadi penyebab
keretakan keharmonisan hubungan sosial antara peternak
dengan warga di sekitar lokasi peternakan. Bukan suatu
keniscayaan, keberadaan lalat ini menjadi penyebab ditutupnya
suatu peternakan. Lalat yang berkembang di peternakan dapat
bermigrasi ke arah perkampungan warga dan warga atau
masyarakat langsung melayangkan tuduhan bahwa peternakan
ayam lah yang menjadi sumber munculnya lalat tersebut.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 38
C. Pengendalian Lalat
Setelah mengetahui akibat berkembangnya lalat di peternakan
kita, sudah merupakan suatu kebutuhan bahwa kita harus bisa
mengendalikan lalat tersebut. Sudah barang tentu, pengendalian lalat
ini membutuhkan teknik yang tepat. Jika tidak, bukan tidak mungkin
gara-gara lalat ini kita akan mengalami kerugian yang besar bahkan
ditutupnya usaha kita.
Lalat tergolong salah satu insect atau serangga yang “bandel”.
Keberadaannya di kandang sangat mudah ditemui, terlebih lagi saat
musim penghujan.
Beberapa hal yang menjadikan lalat bandel, adalah :
1) Mobilitas lalat sangat tinggi karena dilengkapi dengan sepasang
sayap sejati (asli) dan sepasang sayap kecil (yang menstabilkan
terbang lalat)
2) Lalat mempunyai sistem penglihatan yang sangat baik, yaitu mata
majemuk yang tersusun atas lensa optik yang sangat banyak
sehingga lalat mempunyai sudut pandang yang lebar. Kepekaan
penglihatan lalat ini 6 x lebih besar dibandingkan manusia. Selain
itu, lalat juga dapat mengindra frekuensi-frekuensi ultraviolet pada
spetrum cahaya yang tak terlihat oleh manusia. Dengan dua
kemampuan ini (mobilitas dan penglihatan), lalat dapat dengan
mudah mengubah arah geraknya seketika saat ada bahaya yang
mengancam dirinya.
3) Lalat mempunyai kemampuan berkembang biak yang cepat dan
dalam jumlah yang banyak. Terlebih lagi jika kondisi lingkungan
cocok bagi perkembangbiakan lalat.

Melihat ketiga kemampuan lalat tersebut, maka diperlukan


teknik khusus untuk mengatasi atau membasmi lalat. Langkah
pengendalian lalat pun harus dilakukan secara komprehensif
(menyeluruh) dan terintegrasi.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 39
Langkah pengendalian lalat secara garis besar adalah kontrol
manajemen, biologi, mekanik dan kimia, sebagaimana penjelasan
berikut ini.
1. Kontrol manajemen
Penanganan feses dengan baik sehingga feses tetap kering
merupakan teknik pengendalian lalat yang paling efektif. Kita tahu,
feses yang lembab menjadi tempat perkembangbiakan lalat yang
sangat baik (termasuk tempat perkembangbiakan bibit penyakit).
Dalam 0,45 kg feses yang lembab dapat dijadikan tempat
berkembang biak (melangsungkan siklus hidup) 1.000 ekor lalat.
Feses yang baru dikeluarkan oleh ayam yang memiliki kadar air
sebesar 75-80% merupakan kondisi ideal bagi perkembangbiakan
lalat. Feses ini harus segera diturunkan kadar airnya menjadi 30%
atau kurang untuk mencegah perkembangbiakan lalat.

Gambar 10. Membersihkan Kandang Ayam

Lakukan pembersihan feses minimal 1 x seminggu


sehingga dapat memutus siklus perkembangbiakan lalat. Hal ini
berdasarkan periode waktu lalat bertelur, yaitu setiap minggu (4-
7 hari).
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghambat
perkembangbiakan lalat ialah :
a. Membersihkan feses minimal setiap minggu sekali. Hal ini
berdasarkan lama siklus hidup lalat, dimana lalat bertelur
setiap seminggu sekali
b. Berikan ransum dengan kandungan zat nutrisi yang sesuai,

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 40
terutama kandungan protein kasar dan garam. Ransum
dengan kandungan protein kasar dan garam yang tinggi
dapat memicu ayam minum banyak sehingga feses menjadi
encer (basah)
c. Jika perlu tambahkan batu kapur maupun abu
pada litter sehingga dapat membantu mengembalikan
kemampuan tanah menyerap air
d. Hati-hati saat penggantian atau pengisian tempat minum.
Jangan sampai air minum tumpah. Selain itu perhatikan
kondisi tempat minum atau paralon dan segera perbaiki
kondisi genting yang bocor
e. Jika feses akan disimpan, keringkan feses terlebih dahulu
(kadar air < 30%) dengan cara dijemur diterik matahari (jika
memungkinkan). Feses yang disimpan dalam kondisi lembab
bisa mempercepat perkembangbiakan larva lalat
f. Perhatikan sistem sirkulasi udara (ventilasi). Kondisi ventilasi
kandang yang baik dapat mempercepat proses pengeringan
feses
g. Lakukan perbaikan pada atap yang bocor
h. Pastikan intalasi saluran pembuangan air berfungsi baik,
jangan biarkan air mengendap

Selain menjaga feses tetap kering, melakukan sanitasi


kandang dengan baik juga menjadi langkah tepat untuk
mengendalikan perkembangbiakan lalat. Langkah sanitasi yang
dapat dilakukan yaitu :
a. Segera buang atau singkirkan bangkai ayam mati maupun
telur yang pecah.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 41
Gambar 11. Bangkai Ayam Menjadi Makanan Lalat
b. Segera singkirkan atau jauhkan bangkai (ayam mati) dari
kandang
c. Bersihkan ransum dan feses yang tumpah segera, terlebih lagi
jika kondisinya basah
d. Bersihkan kandang dan peralatan kandang secara rutin
kemudian semprot dengan desinfektan seperti Antisep, Neo
Antisep atau Medisep

2. Kontrol biologi
Terdengar asing ditelinga kita dengan istilah ini. Memang,
karena teknik ini relatif jarang diaplikasikan peternak. Meskipun
demikian, teknik ini terbukti ampuh dalam mengendalikan populasi
lalat. Terbukti, dari sepasang lalat dalam waktu 3-4 hari tidak bisa
menghasilkan lalat sebanyak 191,01 x 1018 ekor karena secara
alami larva lalat telah dibasmi oleh “lawan” lalat. Selain itu,
penggunaan teknik ini akan menjaga keseimbangan ekosistem
kandang.
Parasit lalat biasanya membunuh lalat pada saat fase larva
dan pupa. Spalangia nigroaenea merupakan sejenis tawon (lebah
penyengat) yang menjadi parasit bagi pupa lalat. Mekanismenya
ialah tawon dewasa bertelur pada pupa lalat, yaitu
dibagian puparium (selubung pupa) dan perkembangan dari telur
tawon memangsa pupa lalat (pupa lalat mati). Selain tawon, tungau
(Macrochelis muscaedomesticae danFuscuropoda vegetans) dan
kumbang (Carnicops pumilio, Gnathoncus nanus) juga merupakan
“lawan” lalat.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 42
Aplikasi dari teknik pengendalian lalat ini memerlukan suatu
menajemen yang relatif sulit. Siklus hidup hewan pemangsa lalat
tersebut juga relatif lebih lama. Selain itu, hewan pemangsa lalat ini
dapat juga menjadi agen penularan penyakit. Meskipun demikian,
keseimbangan ekosistem akan tetap terjaga, terlebih lagi
keberadaan lalat di kandang juga membantu dalam proses
dekomposisi (penguraian) feses atau sampah organik lainnya
sehingga baik jika digunakan sebagai pupuk kompos.

3. Kontrol mekanik
Teknik pengendalian lalat ini relatif banyak diaplikasikan oleh
masyarakat pada umumnya. Di pasaran, juga telah banyak dijual
perangkat alat untuk membasmi lalat, biasanya disebut sebagai
perangkap lalat. Perangkap tersebut bekerja secara elektrikal (aliran
arus listrik) dan dilengkapi dengan bahan yang dapat menarik
perhatian lalat untuk mendekat. Perangkap lalat seringkali diletakkan
di tengah kandang. Di tempat penyimpanan telur sebaiknya juga
diletakkan perangkap lalat ini.
Lalat tidak akan bergerak atau terbang melawan arus atau
arah angin. Oleh karenanya tempatkan fan atau kipas angin dengan
arah aliran angin keluar kandang atau ke arah pintu kandang.
Penggunaan plastik yang berisi air (biasanya di warung makan) juga
bisa digunakan untuk mengusir lalat meskipun mekanisme kerjanya
belum diketahui. Teknik pengendalian lalat ini (kontrol mekanik)
relatif kurang efektif untuk diaplikasikan ji-ka populasi lalat banyak.

4. Kontrol kimiawi
Teknik pengendalian lalat ini, seringkali menjadi andalan bagi
peternak. Sedikit terlihat adanya peningkatan populasi lalat,
peternak segera memberikan obat lalat. Namun, saat populasi lalat
tidak menurun meski telah diberikan obat lalat, maka peternak akan
langsung memberikan klaim maupun komplain ke produsen obat

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 43
lalat tersebut. Kasus ini relatif sering terjadi. Lalu bagian manakah
yang kurang tepat?
Point dasar yang perlu kita pahami bersama, bahwa
pemberian obat lalat (kontrol kimiawi) bukan merupakan inti dari
teknik pengendalian lalat, melainkan menjadi penyempurna dari
teknik pengendalian lalat melalui teknik sanitasi dan desinfeksi
kandang (teknik manajemen). Oleh karenanya, kita tidak bisa
menggantungkan pembasmian lalat hanya dari pemberian obat lalat
dan teknik pemberian obat lalat juga harus dilakukan dengan tepat.
Dari data yang kami peroleh, obat pembasmi lalat yang
beredar di lapangan (Indonesia) dapat diklasifikasikan (berdasarkan
kerja obat lalat pada tahapan siklus hidup lalat) menjadi 2 kelompok,
yaitu obat lalat yang bekerja membunuh larva lalat dan membasmi
lalat dewasa. Agar daya kerja obat lalat bisa optimal, maka
pemilihan jenis obat harus disesuaikan dengan tahapan siklus hidup
lalatnya. Jika tidak maka daya kerja obat tidak akan
optimal. Cyromazine merupakan zat aktif yang digunakan untuk
membunuh larva lalat, sedangkan azamethipos dan cypermethrin
merupakan zat aktif yang bekerja membunuh lalat dewasa.
Penggunaan cyromazine untuk membasmi lalat dewasa tidak akan
memberikan hasil yang optimal (lalat dewasa tidak bisa mati) dan
begitu juga sebaliknya (pemberian cypermethrin tidak akan bisa
membunuh larva lalat).

Perlu kita sadari bersama, keberadaan lalat di dalam kandang


seperti fenomena gunung es. Lalat yang berkeliaran dan
berterbangan di dalam kandang hanya 20% sedangkan lalat yang
“tersembunyi” (telur, larva dan pupa) sesungguhnya jauh lebih
banyak, yaitu 80%. Selain itu, pembasmian lalat dewasa akan
menjadi lebih sulit karena mobilitas lalat yang tinggi dan kemampuan
lalat untuk menghindar (mata majemuk). Oleh karena itu,
pengendalian lalat sejak dini, yaitu saat stadium larva menjadi

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 44
sebuah langkah teknik aplikatif yang bagus dalam membasmi
keberadaan lalat.
Larvatox, mematikan lalat saat stadium larva sehingga pupa
dan lalat tidak akan terbentuk. Untuk mendukung hal itu, Medion
telah me-launching sebuah produk dengan kandungan zat aktif
(cyromazine) yang ampuh dan efektif untuk membunuh larva lalat,
yaitu Larvatox. Aplikasi Larvatox juga mudah, yaitu dicampur
dalam ransum. Percobaan potensi dan keamanan Larvatox telah
dilakukan oleh intern Medion maupun bekerja sama dengan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM).

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 45
Gambar 12. Hasil Permberian Larvatox

Grafik 1 - 4 tersebut menunjukkan bahwa


pemberian Larvatox ampuh membasmi larva lalat (sehingga
lalat tidak dapat terbentuk) tanpa menyebabkan gangguan
produksi (tidak menurunkan produksi telur). Selain itu,

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 46
pemberian Larvatox juga dapat membuat feses lebih kering
(bisa membentuk “gunung”).
Campurkan 100 gram Larvatox dengan 5 kg ransum
secara bertahap, kemudian campurkan dengan 1 ton ransum
sampai homogen. Larvatox diberikan selama 4-6 minggu
berturut-turut kemudian dihentikan selama 4-8 minggu dan
gunakan kembali jika lalat terlihat mulai berkembang biak.
Teknik pemberian Larvatoxtersebut dimaksudkan untuk
memutuskan siklus hidup lalat secara tuntas.
Hal yang perlu diperhatikan ialah jangan menghentikan
pemberian Larvatox sebelum 4-6 minggu meskipun populasi
lalat telah berkurang karena kita tahu fenomena gunung es dari
lalat (lalat yang nampak hanya 20% dari populasi lalat
sesungguhnya). Selain itu, jangan mengurangi dosis Larvatox
karena bisa mengakibatkan potensi obat tidak optimal dan dapat
memicu resistensi obat.
Pengendalian lalat telah menjadi suatu keharusan.
Terlebih lagi jika kita sudah mengerti tentang akibat yang
ditimbulkannya, termasuk kemungkinan penutupan usaha kita.
Agar lalat bisa terbasmi dengan baik, maka teknik
pengendaliannya harus dilakukan secara sinergis dan
komprehensif, yaitu menerapkan manajemen dengan baik
(terutama penanganan feses) sekaligus melaksanakan kontrol
kimiawi (dan atau kontrol biologi dan mekanik) secara tepat.
Akhirnya, lalat pun terbasmi. (Info Medion Edisi Maret 2008
Medion Online, http://info.medion.co.id).

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 47
MATERI 5
PENGENDALIAN KECOAK

A. Latar Belakang
Kecoa termasuk dalam kelompok serangga. Kecoa adalah
kelompok serangga purba, banyak hidup pada zaman karbon (350-270
tahun yang lampau). Kecoa umumnya berada di kawasan tropis, termasuk
serangga malam (nokturnal) dan umumnya berperan sebagai hama
domestik.
Kecoa dianggap sebagai vektor karena dapat mengkontaminasi
makanan dengan bakteri, jamur dan virus sehingga dapat menularkan
secara mekanis berbagai penyakit seperti diare, dysentri, kusta, sampar
dan beberapa penyakit cacing. Makanan yang telah terkontaminasi oleh air
liur kecoa, debu tinja yang kering dan kontak langsung dengan kecoa dapat
memicu reaksi alergi pada manusia. Tinja kecoa juga dilaporkan
mengandung asam xanturenat, asam kinurenat dan asam 8-
hidroksikuinaldat yang ke semua asam tersebut bersifat mutagenic dan
karsinogenik (penyebab kanker).
Kecoa adalah serangga pemakan segala (Coprophagous/Omnivora)
mempunyai kebiasaan aktif pada malam hari (nocturnal) dan terkadang
siang hari apabila merasa tergangu atau telah berkembang dalam populasi
yang besar, serta mempunyai sifat Thigmotatic – istirahat dalam celah-
celah dan retakan untuk waktu yang relatif lama, selalu hidup berkelompok
dan juga bersifat kanibal (pemakan bangkai teman). Kecoa sangat
menyukai makanan yang berkanji dan gula. Selain itu kecoa juga dapat
memakan jilid buku dan sampul buku, darah segar dan kering.
Menurut beberapa penelitian ilmiah dan medis, makhluk yang
menjengkelkan dan menakutkan ini adalah salah satu serangga paling
berbahaya bagi kesehatan seseorang karena membawa alergen yang
memiliki efek internal dan eksternal pada manusia. Kecoak dapat dengan
mudah mencemari makanan dan makanan lainnya, yang berdampak
langsung pada sistem pencernaan kita. Satu dari setiap lima anak di AS
sakit atau mengalami alergi tertentu karena sifat kecoak invasif di rumah.
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 48
Berdasarkan kebiasaan kecoa, kesenangan di tempat kotor,
keberadaan mikronba dalam usus kecoak dan peranannya dalam
penularan penyakit, maka pengendalian kecoak penting untuk kesehatan
masyarakat.

B. Deskripsi dan Bionomik Kecoak


Menurut California Departement of Pubich Health Vector Born Desease
Section (2011). Arthropods of Public Health Significance in California.
Version 3,0, bahwa Deskripsi dan Bionomik Kecoak meliputi :
1. Mereka dapat berkembang biak di bawah kondisi yang dipertahankan
dalam bangunan.
2. Istilah domisiliar atau "domestik" mengacu pada kehidupan mereka
dalam struktur.
3. Beberapa spesies telah beradaptasi dengan kondisi perkotaan
sedemikian rupa sehingga mereka hanya hidup di dalam ruangan.
4. Spesies indoor yang wajib biasanya berkembang di tempat-tempat yang
dihuni di mana tersedia banyak makanan dan air. mis., perumahan multi-
unit di bawah standar, dapur komersial, rumah, hotel, rumah sakit, kebun
binatang, dan penjara
5. Kehadiran mereka biasanya mengindikasikan sanitasi yang buruk
6. Beberapa spesies mendapatkan akses ke bangunan dari saluran dan
lubang pembuangan sistem pembuangan, terowongan kereta bawah
tanah, saluran pembuangan badai, atau kotak meteran batu.
7. Kehadiran mereka sering menunjukkan konstruksi yang rusak dan
memburuk
8. Kecoak memiliki fitur adaptasi yang terpercaya
a. Mereka dapat selamat dari kondisi yang keras dengan
menyesuaikan dengan kondisinya.
b. Mereka dapat dengan mudah menanggung situasi stress
c. Mereka dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama tanpa
makanan atau air
d. Mereka dapat beradaptasi dengan berbagai rejimen suhu,
kelembaban dan cahaya.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 49
e. Mereka dapat mentoleransi dosis tinggi zat berbahaya
9. Kecoak menunjukkan pola aktivitas sirkadian berulang di mana mereka
diam dalam cahaya dan menjadi aktif dalam gelap.
10. Mereka tetap tersembunyi selama siang hari.
11. Kecoak lebih suka dan mencari tempat gelap

C. Siklus Hidup Kocoak


Siklus Kecoa hidup mungkin tidak sesuatu yang ingin Anda pikirkan ,
tetapi ketika Anda mempertimbangkan hal itu, mungkin saja membantu
Anda menentukan berapa banyak masalah roach Anda berurusan dengan
di rumah Anda . Ketika Anda menganggap bahwa melihat satu roach di
rumah Anda berarti bahwa ada banyak lagi di mana Anda tidak dapat
melihat mereka , siklus hidup kecoa tiba-tiba menjadi jauh lebih penting .
Juga , ketika Anda berpikir tentang bagaimana kecoa beradaptasi , Anda
tidak dapat membantu menjadi agak tertarik dengan bagaimana bentuk
bug ini.
Siklus hidup kecoa sebenarnya memiliki tiga tahap perkembangan .
Tahap ini dikenal sebagai telur , nimfa , dan tahap dewasa . Siklus hidup
dimulai di telur yang dimasukkan ke dalam kasus dengan enam sampai 40
telur pada satu waktu . Kasus-kasus ini sering tersembunyi untuk menjaga
aman. Beberapa kecoak memilih untuk menjaga telur mereka aman secara
internal sementara yang lainnya masih membawa kasus -main dengan
mereka sampai telur siap menetas . Kecoa siklus hidup mendapat sedikit
lebih menarik ketika telur menetas dan kecoak muda sangat kecil dan
dikenal sebagai peri. Anakan harus melalui beberapa tahapan molting , di
mana tubuh mereka akan sangat lembut dan putih. Setiap kali proses
molting selesai kecoa akan menjadi lebih besar , perubahan warna , dan
terlihat lebih seperti kecoa dewasa . Tahap nimfa dari siklus hidup kecoa
bisa berlangsung dari satu setengah bulan untuk beberapa tahun ,
tergantung pada lingkungan , jenis kecoa , dan prevalensi penyakit kecoa
dan parasit .
Ketika kecoa mencapai ukuran dewasa tidak akan meranggas lagi .
Banyak jenis kecoa akan menyelesaikan transformasi mereka menjadi

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 50
dewasa dengan sepasang sayap . Dewasa muda mungkin terlihat hampir
persis seperti nimfa , dengan sayap menjadi salah satu ciri khas yang
mudah menetapkan dua terpisah. Ketika Anda menganggap bahwa kecoa
betina dapat memiliki sebanyak empat puluh telur dalam satu kasus, tidak
mengherankan bahwa kecoa dapat mengambil alih rumah Anda dalam
waktu yang sangat sedikit .
Mengetahui siklus hidup akan membantu Anda mengidentifikasi
berapa banyak generasi kecoak Anda mungkin berurusan dengan di rumah
atau tempat kerja . Tidak hanya harus Anda tahu kecoa siklus umum, Anda
juga harus menyadari apa jenis kecoa yang Anda hadapi karena mereka
semua sedikit berbeda. Perbedaan antara spesies akan membantu Anda
menargetkan jenis kecoa Anda berurusan dengan pada setiap titik dalam
siklus hidup, untuk membuat pemusnahan jauh lebih mudah.
Sementara siklus hidup kecoa tidak semua yang menghibur, itu
adalah sesuatu yang orang-orang yang percaya bahwa mereka mungkin
penuh benar-benar bisa mendapatkan keuntungan dari . Juga , ketika Anda
melihat ke dalam cara kecoa hidup , Anda bisa mendapatkan ke dasar
masalah lebih awal daripada kemudian. Melindungi rumah Anda dari kecoa
bisa menjadi tugas yang sangat besar , tetapi memahami siklus hidup
kecoa adalah awal yang baik.
Telur lipas terdapat dalam kapsul disebut ootheca. Telur ini selalu
dibawa-bawa oleh induknya. Stadium telur selama 15-32 hari, nymph
selama 74-194 hari, dewasa selama 260-440 hari. Peranan dalam
menimbulkan masalah kesehatan tidak begitu tampak, namun mengingat
kehidupannya menyenangi tempat-tempat yang kotor memungkinkan dapat
menularkan bibit penyakit tertentu Misalnya, bakteri, cacing, protozoa,
virus, dan jamur. Banyaknya kecoa di suatu pemukiman menunjukkan
masih rendahnya kualitas higiene lingkungan pemukiman tersebut.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 51
Gambar 13. Siklus Hidup Kecoak

Perubahan bentuk dan gaya hidup atau biasa dikenal dengan


METAMORFOSA pada kecoak terjadi secara tidak sempurna. “Kalau telur
menetas akan keluar anak-anak kecoak yang bentuknya sama dengan
kecoak dewasa, hanya saja kecoak muda tidak mempunyai sayap dan
belum bisa dibedakan mana yang jantan dan betina. Dia bisa hidup bebas
dan aktif tapi masih takut pada cahaya sehingga tidak keluar ke tempat
terbuka untuk mencari makanan dan itu memang tidak perlu karena
induknya telah meletakkannya di tempat yang banyak makanan.
Sesudah berganti kulit berkali-kali ia menjadi kecoak dewasa,
sayapnya tumbuh pada pergantian kulit yang terakhir. Dan saat itu juga
dapat dibedakan mana yang betina dan mana yang jantan. Yang jantan
mempunyai tonjolan pada ruas terakhir dari bagian perut, sedangkan yang
betina tidak punya.

D. Cara Pengndalian
Sifat pengendalian kecoak ada 2 (dua) bentuk yaitu (Chasan SK,2006) :
1. Pengendalian untuk Pencegahan (preventive measures)
a. Upaya Sanitasi
Yaitu memperhatikan cara penyimpanan makanan serta kebersihan
lingkungan rumah terutama dari sampah organic (makanan).
b. Mencegah masuknya kecoa kedalam rumah dengan selalu
memeriksa barang-barang dan perbekalan makanan.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 52
c. Menghilangkan tempat persembunyian kecoak, misalnya retakan,
tempat gelap, dsb.

2. Pengendalian Sementara (temporary control)


a. Pemberian umpan
Pemberian umpan (bait) makanan yang mengandung Insektisida di
dekat tempat persembunyian atau sarang kecoak. Bahan kimia
berifat racun perut. Penggunaan umpan (bait) cukup efektif tetapi
hanya sebagai pelengkap.
b. Racun Kontak
Menggunakan bahan kimia (insektisida) dalam formula cair atau
padat (dust). Aplikasi insektisida insektisida ditujukan ketempat
persembunyaian kecoa. Aplikasi insektisida hendaknya
menggunakan nozzle yang sesuai sasaran mampu mecapai tempat
persembunyian kecoa, misalnya di retakan dinding, di bawah lemari
pendingin, dibawah tempat cuci piring, dsb.
E. Evaluasi
1. Mengapa kecoak harus dikendalikan ?
2. Jelaskan metamorposis Kecoak !
3. Jelaskan bionomik Kecoak !
4. Bagiamankah upaya pengendalian Kecoak ?

F. Bacaan lanjutan untuk pengkayaan


1. California Departement of Pubich Health Vector Born Desease Section
(2011). Arthropods of Public Health Significance in California.Version 3

2. PP RI No. 66 tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan.


3. Peraturan Menteri KEsehatan RI No.50 Tahun 2017 tentang Standar
Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Untuk
Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit Serta Pengendaliannya.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 53
MATERI 6
PENGENDALIAN TIKUS
A. Latar Belakang
Tikus dan mencit adalah hewan mengerat (rondensia) yang lebih
dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang digudang dan
hewan penggangu yang menjijikan di perumahan. Belum banyak diketahui
dan disadari bahwa kelompok hewan ini juga membawa, menyebarkan dan
menularkan berbagai penyakit kepada manusia, ternak dan hewan
peliharaan. Rodensia komensal yaitu rodensia yang hidup didekat tempat
hidup atau kegiatan manusia ini perlu lebih diperhatikan dalam penularan
penyakit. Penyakit yang ditularkan dapat disebabkan oleh infeksi berbagai agen
penyakit dari kelompok virus, rickettsia, bakteri, protozoa dan cacing. Penyakit
tersebut dapat ditularkan kepada manusia secara langsung oleh ludah, urin
dan fesesnya atau melalui gigitan ektoparasitnya (kutu, pinjal, caplak dan
tungau).
Tikus dan mencit merupakan masalah rutin di mana-mana, karena itu
pengendaliannya harus dilakukan secara rutin. Hewan mengerat ini
menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit, merusak bahan pangan,
instalasi medik, instalasi listrik, peralatan kantor seperti kabel-kabel, mesin-mesin
komputer, perlengkapan laboratorium, dokumen/file dan lain-lain, serta dapat
menimbulkan penyakit. Beberapa penyakit penting yang dapat ditularkan ke
manusia antara lain, pes, salmonelosis, leptospirosis, murin typhus.
Ditinjau dari nilai estetika, keberadaan tikus akan menggambarkan
lingkungan yang tidak terawat, kotor, kumuh, lembab, kurang pencahayaan serta
adanya indikasi penatalaksanaan/ manajemen kebersihan lingkungan Rumah sakit
yang kurang baik.
Mengingat besarnya dampak negatif akibat keberadaan tikus dan
mencit di Rumah Sakit, maka Rumah Sakit harus terbatas dari hewan ini.
Sebagai langkah dalam upaya mencegah kemungkinan timbulnya
penyebaran penyakit serta untuk mencegah timbulnya kerugian sosial dan
ekonomi yang tidak diharapkan, maka perlu disusun pedoman teknis
pengendalian tikus dan mencit di Rumah Sakit.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 54
B. Pengenalan Tikus dan Mencit Serta Ektoparasitnya
Pengenalan terhadap tikus dan mencit serta ektoparasinya sangat
penting dalam menentukan cara pengendaliannya.

1. Biologi dan pencirian tikus dan mencit


a. Klasifikasi
Tikus dan mencit termasuk familia Muridae dari kelompok mamalia
(hewan menyusui). Para ahli zoologi (ilmu hewan) sepakat untuk
menggolongkannya kedalam ordo Rodensia (hewan yang mengerat),
subordo Myomorpha,famili Muridae, dan sub famili Murinae. Untuk lebih
jelasnya, tikus dapat diklasifikasikan sbb :

Dunia : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Subklas : Theria
Ordo : Rodentia
Sub ordo : Myomorpha
Famili : Muridae
Sub famili : Murinae
Genus : Bandicota, Rattus, dan Mus

2. Biologi
Anggota Muridae ini dominan disebagian kawasan didunia.
Potensi reproduksi tikus dan mencit sangat tinggi dan ciri yang menarik
adalah gigi serinya beradaptasi untuk mengerat (mengerat + menggigit
benda-benda yang keras).
Gigi seri ini terdapat pada rahang atas dan bawah, masing-masing
sepasang. Gigi seri ini secara tepat akan tumbuh memanjang sehingga
merupakan alat potong yang sangat efektif. Tidak mempunyai taring dan
graham (premolar).
Karakteristik lainnya adalah cara berjalannya dan perilaku hidupnya.
Semua rodensia komensal berjalan dengan telapak kakinya. Beberapa jenis
Rodensia adalah Rattus norvegicus, Rattus rattus diardi, Mus musculus
yang perbandingan bentuk tubuhnya seperti terlihat pada gambar 1.
Rattus norvegicus (tikus got) berperilaku menggali lubang ditanah dan hidup

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 55
dilibang tersebut. Sebaliknya Rattus rattus diardii (tikus rumah) tidak
tinggal ditanah tetapi disemak-semak dan atau diatap bangunan.
Bantalan telapak kaki jenis tikus ini disesuaikan untuk kekuatan
menarik dan memegang yang sangat baik. Hal ini karena pada
bantalan telapak kaki terdapat guratan-guratan beralur, sedang pada
rodensia penggali bantalan telapak kakinya halus (Gambar 2). Mus
musculus (mencit) selalu berada di dalam bangunan, sarangnya bisa
ditemui di dalam dinding, lapisan atap (eternit), kotak penyimpanan atau
laci.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 56
Gambar 1.
Beberapa jenis rodensia (tikus dan mencit)
berdasarkan ukuran bentuk tubuhnya

3. Morfologi

Gambar 2.

Tipe kaki rodensia


(tikus dan mencit)

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 57
Karakteristik morfologi dari R. norvegicus, R. ratus diardii dan M. musculus
dapat diihat pada tabel 1.

Tabel : 1 Kunci Identifikasi Melalui Ciri Morfologi Tikus Rumah

R.norvegicus R.rattus diardii M.musculus


Berat 150-600 gram 80-300 gram 10-21 gram
Kepala Hidung tumpul, badan Hidung runcing, badan Hidung runcing,
& badan besar,pendek,18-25 cm kecil,16-21 cm badan kecil,6-10
cm
Ekor Lebih pendek dari kepala + Lebih panjang dari Sama atau lebih
badan,bagian atas lebih tua kepala+badan,warna panjang sedikit dari
dan warna muda pada tua merata,tidak kepala+ badan,tak
bagian bawahnya dengan berambut,19- 25 cm
berambut,
rambut pendek kaku 16-21
cm 7-11 cm
Telinga Relatif kecil, separoh Besar,tegak,tipis dan Tegak,besar untuk
tertutup bulu, jarang lebih tak berambut, 25-28 ukuran binatang
dari 20-23 mm mm 15mm/kurang
Bulu Bagian punggung abu-abu Abu-abu kecoklatan
Satu sub spesies : abu-
kecoklatan, keabu-abuan sampai kehitam-hitaman
abu kecoklatan bagian
pada bagian perut dibagian
perut,keabu-abuan,
punggung,bagian
Lainnya : keabu-abuan
perut kemungkinan putih
bagian punggung
atau abu-abu,hitam
dan putih keabu-
keabu-abuan
abuan bagian perut

4. Reproduksi
Tikus dan mencit mencapai umur dewasa sangat cepat, masa
kebuntingannya sangat pendek dan berulang-ulang dengan jumlah
anak yang banyak pada setiap kebuntingan. Keadaan semacam ini
dapat dilihat pada tabel 2 dan Gambar 3.

Tabel : 2 Perkembangbiakan tikus dan mencit

MASA Rattus. Norvegicus Rattus rattus Mus. Musculus

Umur dewasa 75 hari 68 hari 42 hari


Masa bunting 22 – 24 hari 20 – 22 hari 19 – 21 hari
Rata-rata jumlah tikus ( 0,7 – 34,8) ( 12,9 – 48,8 ) ( 19,8 – 50,5 )
Yang
Jumlahbunting
embrio(%)
rata-rata 8,8 6,2 5,8
Per tikus betina ( 7,9 – 9,9 ) ( 3,8 – 7,9 ) ( 3,9 – 7,4 )
Adanya kebuntingan 4,32 5,42 7,67
Produksi/betina/tahun 38,0 33,6 44,5
Jumlah penelitian 15 18 11

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 58
Gambar 3. Siklus hidup tikus

5. Kebiasaan dan habitat.


Tikus dikenal sebagai binatang kosmopolitan yaitu menempati
hampir di semua habitat (Lampiran 1). Habitat dan kebiasaan jenis tikus
yang dekat hubungnnya dengan manusia adalah sebagai berikut :
a. R. norvegicus
Menggali lubang, berenang dan menyelam, menggigit benda-
benda keras seperti kayu bangunan, aluminium dsb. Hidup dalam
rumah, toko makanan dan gudang, diluar rumah, gudang bawah tanah,
dok dan saluran dalam tanah/riol/got.
b. R. ratus diardii
Sangat pandai memanjat, biasanya disebut sebagai pemanjat yang
ulung, menggigit benda-benda yang keras. Hidup dilobang pohon,
tanaman yang menjalar. Hidup dalam rumah tergantung pada cuaca.
c. M. musculus
Termasuk rondensia pemanjat, kadang-kadang menggali lobang,
menggigit hidup didalam dan diluar rumah.
6. Kemampuan alat indera dan fisik
Rodensia termasuk binatang nokturnal, keluar sarangnya dan aktif pada
malam hari untuk mencari makan. Untuk itu diperlukan suatu
kemampuan yang khusus agar bebas mencari makanan dan
menyelamatkan diri dari predator (pemangsa) pada suasana gelap.
a. Kemampuan alat indera
1) Mencium

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 59
Rodensia mempunyai daya cium yang tajam, sebelum aktif/keluar
sarangnya ia akan mencium-cium dengan menggerakkan kepala
kekiri dan kekanan. Mengeluarkan jejak bau selama orientasi
sekitar sarangnya sebelum meninggalkannya. Urin dan sekresi genital
yang memberikan jejak bau yang selanjutnya akan dideteksi dan
diikuti oleh tikus lainnya. Bau penting untuk Rodensia karena dari bau
ini dapat membedakan antara tikus sefamili atau tikus asing. Bau
juga memberikan tanda akan bahaya yang telah dialami.
2) Menyentuh
Rasa menyentuh sangat berkembang dikalangan rodensia
komensal, ini untuk membantu pergerakannya sepanjang jejak
dimalam hari. Sentuhan badan dan kibasan ekor akan tetap
digunakan selama menjelajah, kontak dengan lantai, dinding dan
benda lain yang dekat sangat membantu dalam orientasi dan
kewaspadaan binatang ini terhadap ada atau tidaknya rintangan
didepannya.
3) Mendengar.
Rodensia sangat sensitif terhadap suara yang mendadak.
Disamping itu rondesia dapat mendengar suara ultra. Mengirim suara
ultrapun dapat.
4) Melihat.
Mata tikus khusus untuk melihat pada malam hari, Tikus
dapat mendekteksi gerakan pada jarak lebih dari 10 meter
dan dapat membedakan antara pola benda yang sederhana
dengan obyek yang ukurannya berbeda-beda. Mampu melakukan
persepsi/perkiraan pada jarak lebih 1 meter, perkiraan yang tepat
ini sebagai usaha untuk meloncat bila diperlukan.
5) Mengecap.
Rasa mengecap pada tikus berkembang sangat baik. Tikus dan
mencit dapat mendekteksi dan menolak air minum yang
mengandung phenylthiocarbamide 3 ppm,.

b. Kemampuan fisik.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 60
1) Menggali
R. norvegicus adalah binatang penggali lubang. Lubang digali
untuk tempat perlindungan dan sarangnya. Kemampuan menggali
dapat mencapai 2-3 meter tanpa kesulitan.
2) Memanjat.
R. komensal adalah pemanjat yang ulung. Tikus atap atau tikus
rumah yang bentuk tubuhnya lebih kecil dan langsing lebih
beradaptasi untuk memanjat dibandingkan dengan tikus riol/got.
Namun demikian kedua spesies tersebut dapat memanjat kayu
dan bangunan yang permukaannya kasar. Tikus riol/got dap
memanjat pipa baik di dalam maupun di luar.
3) Meloncat dan melompat.
R.norvegicus dewasa dapat meloncat 77 cm lebih (vertikal). Dari
keadaan berhenti tikus got dapat melompat sejauh 1,2 meter.
M. musculus meloncat arah vertikal setinggi 25 cm.
4) Menggerogoti.
Tikus menggerogoti bahan bangunan/kayu, lembaran almunium
maupun campuran pasir, kapur dan semen yang mutunya rendah.

5) Berenang dan menyelam.

Baik R. norvegicus, R. rattus dan M. musculus adalah perenang


yang baik. Tikus yang dusebut pertama adalah perenang dan
penyelam yang ulung, perilaku yang semi akuatik, hidup disaluran
air bawah tanah, sungai dan areal lain yang basah.

C. Biologi dan pencirian ektoparasit

Ektoparasit yang ditemukan menginfestasi rodensia terdiri dari pinjal, kutu,


caplak dan tungau.

1. Pinjal
Pinjal adalah serangga dari ordo Siphonaptera berukuran kecil
(antara 1,5–4 mm), berbentuk pipih dibagian samping (dorso lateral).
Kepala-dada-perut terpisah secara jelas. Pinjal tidak bersayap, berkaki

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 61
panjang terutama kaki belakang, bergerak aktif di antara rambut inang
dan dapat meloncat. Serangga ini berwarna coklat muda atau tua,
ditemukan hampir di seluruh tubuh inang yang ditumbuhi rambut. Pinjal
dewasa bersifat parasitik sedang predewasnya hidup di sarang, tempat
berlindung atau tempat-tempat yang sering dikunjungi tikus ( Gambar 4 ).
2. Kutu
Kutu adalah serangga dari ordo Anoplura yang selama hidupnya
menempel pada rambut inang Tubuh kutu terbagi 3 bagian yaitu kepala-
dada-perut berukuran 0,5 mm – 1 mm. Kutu pipih dibagian perut
(dorso ventral) dan kepala lebih sempit daripada dada, tidak bersayap
dan di ujung kaki kakinya terdapat kuku besar untuk bergantung pada
rambut inang bergerak lambat, berwarna putih dan umum ditemukan
menempel pada rambut punggung dan perut ( Gambar 5).

3. Caplak
Caplak adalah sejenis kutu hewan yang termasuk ke dalam kelompok
labalaba (Arachnida). Caplak dibedakan dari serangga (insekta)
karena kepala- dada-perut bersatu menjadi suatu bentuk yang terlihat
sebagai badannya (Gambar 6). Caplak dibedakan atas keluarga (familia)
yaitu Argasidae (caplak lunak) dan Ixodidae (caplak keras). Pada
caplak keras dibagian depan (anterior) terlihat ada semacam kepala
yang sebenarnya adalah bagian dari mulutnya/capitulum, sedangkan
pada caplak lunak bagian mulutnya tidak terlihat dari arah punggung
(dorsal).

4. Tungau
Tungau adalah Arthropoda yang telah mengalami modifikasi pada
anatominya. Kepala-dada-perut bersatu. Ukuran badan 0,5mm-2mm,
termasuk ordo Acariformes, familia Trombiculidae. Tungau aktif
bergerak dan berwarna putih kekuningan atau kecoklatan. Banyak
ditemukan di seluruh tubuh tikus terutama di badan bagian atas dan
bawah. Larva tungau berukuran tidak lebih dari 0,5mm, berkaki tiga
pasang, bergerak pasif, menempel berkelompok di bagian dalam daun
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 62
telinga atau pangkal ekor rodensia. Larva tungau trombikulid bersifat
parasitik sedang tungau dewasa hidup bebas ( Gambar 7 ).

Gambar 4. Pinjal Gambar 5. Kutu Gambar 6. CaplakGambar 7. Tungau.

Gambar 8. Kotoran tikus

D. Tanda-tanda keberadaan tikus dan mencit

Infestasi rodensia disuatu tempat dapat diketahui secara awal dengan


mengamati adanya kotoran, jejak, bekas gigitan dan baunya yang khas (
Gambar 8).

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 63
E. Bebarapa penyakit bersumber tikus dan mencit

Penyakit bersumber rodensia yang disebabkan oleh berbagai agen penyakit


seperti virus, rickettsia, bakteri, protozoa dan cacing dapat ditularkan
kepada manusia secara langsung, melalui feses,urin dan ludah atau
gigitan rodensia dan pinjal dan tidak Langsung, melalui gigitan vektor
ektoparasit tiku dan mecit (kutu, pinjal, caplak, tungau). Beberapa
penyakit yang ditularkan melalui tikus, pernah dilaporkan secara klinis
dan serologis pada manusia dan hewan rodensia resevoir di Indonesia
dapat diihat pada tabel 3. Cara penularan penyakit pes dapat diihat
pada lampiran 2, penyakit Scrub typhus pada lampiran 3, siklus tungau
Trombiculidae pada lampiran 4 dan penyakit demam caplak pada
lampiran 5.

Tabel 3. Jenis -jenis penyakit yang telah dilaporkan secara klinis atau
serologis pada manusia dan hewan rodensia reservoir di Indonesia.

Penyakit Penyebab Penyakit Vektor Cara penularan


Pes Bakteri Yersinia pestis Pinjal Melalui gigitan
Murine typhus, Rickettsia mooser Pinjal
Melalui sisa hancuran tubuh
pinjal terinfeksi lewat luka
akibat garukan

Scrub tyohus Rickettsia Tungau trombikulid Melalui gigitan tungau


Rickettsia conorii Caplak Melalui gigitan caplak
Spotted fever
group rickettsiae

Sptted fever Rickettsia conorii Caplak Melalui gigitan caplak


group rickettsiae

Leptospirosis Bakteri Leptospira -


Melalui selaput lendir atau
luka dikulit bila terpapar
oleh air yang tercemar
dengan urin tikus

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 64
Salmonelosis Salamonella -
Melalui gigitan tikus atau
pencemaran makanan
Demam gigitan tikus -
Bakteri Spirillum atau
Melalai luka gigitan tikus
Streptobakcillus
Trichinosis Cacing Trichinella - Tidak langsung dengan cara
spiralis memakan hewan pemakan
tikus
Angiostongiliasis Cacing Angiostrongilus -
Dengan cara memakan
sej en is ke ong ya ng
menjadi inang perantata
penyakit ini
Demam berdarah Virus hantavirus -
Korea (Hantavirus), Melalui udara yang tercemar
feses,urin atau ludah tikus
yang infektif

F. Surveylance dan Pemberantasan Tikus

Didalam pemberantasa tikus terdapat tiga kegiatan utama yang saling


berurutan dan menunjang, yaitu kegiatan surveilen, pemberantasan dan
pencegahan.

1. Surveylance

a. Tujuan :
Mengamati/memantau secara periodik pada tempat-tempat yang
ditemukan yang merupakan tempat didapatkannya tanda-tanda
adanya tikus. Apabila ditemukan tanda-tanda keberadaan tikus, langkah
selanjutnya adalah melakukan upaya pemberantasan tikus.
b. Tempat
Pertama harus ditetapkan tempat dimana akan dilakukan pengamatan
atau tempat yang merupakan titik-titik pengamatan. Untuk itu
tempat/lingkungan rumah sakit harus dikelompokkan dulu menurut
sifat dan habitat tikus. Selanjutnya pada masingmasing kelompok
tempat tersebut ditentukan tempat-tempat yang merupakan titik-titik
surveilansnya.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 65
1) Pembagian tempat
a) Bangunan tertutup (Core)

b) Lingkungan rumah sakit yang terbuka (Inner Bound) - Lingkungan


di luar rumah sakit (Outer Bound)

2) Tempat dilaksanakannya surveilans


Tempat dilaksanakannya surveilans haya pada daerah Core
dan Inner Bound :

a) Core : misalnya Dapur, , Gudang Kantin, Ruang utama


rumah, Ruang Tunggu, Ruang Administrasi, dan tempat
lainnya.

b) Inner Bound : Tempat Pengumpulan Sampah, Taman/Kebun,


Garasi, Drainage/Sewerage, Tempat Parkir, Lapangan lainnya.

3) Cara Menentukan tempat pengamatan/titik-titik pengamatan

a) Core :

Di lantai pada bagian pertemuan didinding dan lantai,kawat


kasa jendela (ventilasi), jeruji/jelusi ventilasi, pintu/jendela kayu,
rak buku.

b) Inner Bouund :

Lubang drainase, Tumpukan barang bekas (Kayu, batu, dan


lain-lain), TPS, Sela-sela dinding antar bangunan, Taman dekat
bangunan, Garasi, Pos Satpam.

c. Titik-titik pengamatan
Dicatat pada formulir titik pengamatan dengan jelas. Tanda-tanda yang
perlu diperhatikan : Lubang tanah, bangkai tikus, kotoran tikus, bekas
keratan.
d. Pelaksanaan pengamatan
1) Core :

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 66
Pemeriksaan secara visual. Yaitu dengan melihat adanya tanda-
tanda keberadaan tikus berupa kotoran tikus (Gambar 8) dan/atau
jejak kaki tikus (Gambar 9). Selain itu harus diperhatikan tanda-tanda
lain seperti : sisa keratan pada pintu/kasa/buku dan kawat kasa
yang berlubang bekas lewat tikus : Pemeriksaan secara nasal
(penciuman), Informasi dari pihak lain.

2) Inner Bound :

Pemeriksaan secara visual, yaitu lubang di tanah, bangkai tikus,


kotoran tikus, serpihan bekas keratan tikus.

Apabila pada titik pengamatan ditemukan tanda-tanda keberadaan


tikus, tanda tersebut dicatat pada form Titik pengamatan pada
kolom yang disediakan dan sesuai.

Tanda-tanda yang perlu diperhatikan : Lubang tanah, bangkai tikus,


kotoran tikus, bekas keratan.

e. Waktu pengamatan

1) Saat pengamatan
Secara fisual dilakukan pada pagi hari yaitu pukul 06.00-08.00 wib.
Pengamatan pada malam hari dilakukan antara pukul 22.00-24.00 wib.
2) Lama pengamatan
Pemeriksaan ruangan 5 sampai 10 menit per ruangan per orang
sehingga petugas dapat malakukan pemeriksaan minimum 12
ruangan per orang.

Keterangan : pemeriksaan minimum dalam dua jam

f. Periode pengamatan.

Pengamatan dilakukan setiap dua bulan pada setiap tahunnya. Dasar


pertimbangannya adalah masa reproduksi tikus.

g. Bahan dan alat

1) Bahan dan alat untuk pengamatan


MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 67
2)

a) Formulir 1,2 dan 3 (Lampiran)

b) Formulir 1. Formulir pencatatan tanda-tanda keberadaan tikus


pada ruangan yang diperiksa (Lampiran 7).

c) Formulir 2. Pencatatan hasil identifikasi tikus dan mencit


(Lampiran 8)

d) Formulir 3. Survei tikus dan mencit (Rodensia) (Lampiran 9).

2) Senter

3) Sepatu boot

4) Alat-alat tulis dan clib board

h. Indikator
Karena lingkungan rumah harus bebas tikus, maka pada setiap titik
pengamatan tidak terdapat tanda-tanda keberadaan tikus. Apabila
pada salah satu titik pengamatan terdapat tanda-tanda keberadaan
tikus, maka harus upaya pemberantasan tikus.

i. Pelaksanaan atau pengorganisasian


Sanitarian yang sudah terlatih

2. Pemberantasan Tikus

Pemberantasan tikus dan mencit di rumah sakit dilakukan secara fisik


yairu dengan cara penangkapan (trapping) dan secara kimia
menggunakan umpan beracun.

a. Penangkapan tikus dengan perangkap (trapping) a. Cara penempatan


perangkap

Apabila terdapat tanda-tanda keberadaan tikus, pada sore hari


dilakukan pemasangan perangkap yang tempatnya masing-masing lokasi
sebagai berikut. Core perangkap diletakan dilantai pada lokasi

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 68
dimana ditemukan tanda-tanda keberadaan tikus, di Inner Bound
perangkap diletakan di pinggir saluran air, taman, kolam, di dalam
semak-semak, sekitar TPS, tumpukan barang bekas. Untuk menentukan
jumlah perangkap dipasang, digunakan rumus sebagai berikut

Untuk setiap ruangan dengan luas sampai dengan 10 m2 dipasang satu


perangkap. Setiap kelipatan 10 m2 ditambah satu perangkap.

Penempatan perangkap untuk masing-masing spesie dapat diihat pada


tabel 4.

Perangkap yang belum berisi tikus dibiarkan sampai tiga malam untuk
memberi kesempatan pada tikus yang ada untuk memasuki perangkap
dan diperiksa setiap pagi harinya untuk mengumpulkan hewan yang
tertangkap. Perangkap bekas terisi tikus dan mencit harus dicuci
dengan air dan sabun dan dikeringkan segera. Pemasangan
perangkap dalam upaya pemberantasan ini dilakukan selama tiga
hari berturut-turut.

b. Bahan dan alat


Bahan dan alat untuk penangkapan tikus terdiri atas :

1) Perangkap tikus bubu.

2) Umpan (selai kacang, keju, umbi-umbian, ikan asin/ikan jambal),


kelapa bakar, dan lain-lain).

c. Prosedur setelah penangkapan


Penangkapan tikus dilakukan untuk mengetahui spesiesnya,
sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan yang sesuai dengan spesies
tikus tersebut.
Peralatan yang diperlukan untuk identifikasi tikus adalah :
1) Sarung tangan
2) Penggaris
3) Formulir identifikasi
4) Masker

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 69
5) Kantong kain warna putih
6) Eter
7) Kapas
8) Sabun/deterjen
9) Nampan
10) Tang
11) Kawat pengikat
Perangkap yang berhasil (berisi) tikus dimasukan kedalam kantong
kain. Kemudian kantong kain yang berisi perangkap tadi dimasukan
kedalam kantong plastik berisi kapas yang dibasahi eter. Setelah
beberapa saat tikus/mecit yang telah terbius dikeluarkan dan dilakukan
dislokasi ( = menarik tulang leher sampai mati).
Tindakan selanjunya untuk mengetahui jenis tikus yang
tertangkap diidentifikasi dengan cara sebagai berikut :
a) Ukur panjang badan
b) Ukur panjang ekor
c) Ukur panjang telapak kaki
d) U k u r p a n j a n g t e l i n g a
e) Lihat rumus susu atau testis
f) Lihat warna bulu punggung dan perut
g) Lihat warna ekor bagian atas dan bawah
h) Lihat bulu badan (kasar atau halus), terutama bagian pangkal ekor
i) Berat badan
j) Lihat kunci identifikasi
Untuk mengidentifikasi tikus dan mencit berdasarkan
ukuran dan warna bulu badan dapat diihat juga pada
tabel 5. Pencatatan dilakukan menurut formulir 2.

Tabel 4 Cara pengendalian tikus dan mencit di rumah secara Mekanik/fisik dengan
perangkap

TEMPAT SPESIES
R. diardi R. novergicus M. musculus
Core, Inner *Pemasangan
* Pemasangan perangkap * Pemasangan perangkp
perangkap

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 70
- Snap trap utk di dinding - Snap utk di dinding Snap trap utk di dinding
- Live trap - Live Trap
a. Perangkap bubu di lantai a. Perangkap bubu di lantai a. Perangkap bubu di
lantai
b. Sherman trap (pemasang b. Sherman trap (pemasang b. Sherman trap
di lantai di lantai (pemasang di lantai

c. Core : 10 m2/perangkap c. Core : 10 m2/perangkap c. Core : 10 m2/perangkap

d. Inner : 10 m2/perangkap d. Inner : 10 m2/perangkap

e. Jarak perangkap 10 e. Jarak perangkap 10


m/perangkap m/perangkap

Tabel : 5 Identifikasi Rodentia Berdasarkan Ukuran dan Warna Bulu

Jenis tikus TL T/Bx100% HF E M Warna bulu badan


( mm ) ( mm ) ( mm )
220-370 95-1 15 33-38 19-23 2+3=10 At as- ba wah
R.rattus diardi
coklat tua-kelabu
R. Norwegicus 350-400 80-100 42-47 18-23 3+3=10
Atas coklat kelabu
bawah kelabu
M. musculus < 75 80-120 12-18 8-12 3+2=10 Atas-coklatkelabu
Ba wa h- c ok lat
kelabu
Ketterangan :
TL = panjang tubuh dari ujung kepala sampai ekor T = panjang ekor
HF = panjang telapak kaki belakang
E = lebar telinga
M = Jumlah pasangan susu (dada + perut)
B = panjang badan Untuk menentukan pengukuran panjang ekor, panjang
tubuh, panjang kaki belakang dan lebar telinga lihat gambar 10.Tikus dan mencit
yang telah selesai diamati/diidentifikasi harus segera dimusnahkan ( dikubur
atau dibakar ).

2. Pemberantasan tikus dan mencit secara kimiawi dengan umpan

Pemberantasan tikus secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan umpan


beracun. Pengendalian tikus dengan menggunakan umpan beracun atau perangkap
berumpan racun mempunyai efek sementara, racun perut (Rrodentisia campuran,
antikoagulan kronik) adalah umpan beracun yang hanya dianjurkan digunakan
didaerah/tempat yang tidak dapat dicapai oleh hewan

Domestik dan anak-anak. Pengendalian tikus dengan umpan beracun sebaiknya


sebagai pilihan terakhir. Bila tidak teliti cara pengendalian ini sering
menimbulkan bau yang tidak sedap akibat bangkai tikus yang tidak segera

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 71
ditemukan. Selain itu racun tikus juga sangat berbahaya bagi manusia
hewan/binatang lainnya. Ada 2 macam racun tikus yang beredar saat ini yaitu
racun akut dan kronis. Racun akut harus diberikan dalam dosis letal, karena kalau
tidak maka tikus tidak mati dan tidak mau lagi memakan umpan yang beracun
sejenis. Sedangkan kalau racun diberikan dalam dosis letal maka tikus akan mati
dalam setengah jam kemudian. Menurut Departemen Pertanian (2001) Pestisida
untuk pengendalian tikus (Rrodentiisida) yang terdaftar dan diizinkan
penggunaannya di Indonesia saat ini dapat dilihat pada tabel 6.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 72
Tabel 6. Jenis Rodentisida yang terdaftar dan diizinkan penggunaannya di Indonesia

NAMA GOLONGAN BAHAN AKTIF Cara Kerja ORGANISME


FORMULASI Racun SASARAN

DEKABIT 0,025 B Indandion R.argentiventer


Difasinon :0,025 % Akut
DIPHACIN 110 Indandion Difasinon : 0,1 % Kronis R. argentiventer
KLERAT RM-B Kumarin - R.argentiventer -
Brodifakum 0,005%: Kronis
R. Tiomannicus
KOVIN 80 P * Anorganik R.argentiveter
Seng fosida: 80 % Akut
PETROKUM Kumarin - R. argentiventer
Brodifakum 0,005% Kronis
dan R. tiomanicus
0,005
PYTHON Kumarin - R. argentiventer
RMB Brodifakum 0,005% Kronis
dan R.exulans
0,005
RAMOLON Kumarin Bromandiolon : R. argentiventer dan
Kronis
RMB 0,005 % R.tiomanicus
0,005
RATIKUS 0,01 RB Indan Klorofasinon : R. argentiventer
Kronis
RB 0.01 %
RATTROPIK Kumarin Bromadiolon : R. argentiventer
Kronis
0,005 %
0,005
STORM 0,005 RB Kumarin; Flokumafen : R. argentiventer dan
Kronis
RB trifluromet 0,005 % R.tiomanicus
TIKUMIN ilKumarin Kumatetralil : R.argentiventer
Kro nis
0, 0,0375 %
0375 58 PS
TIRAN Anorganik Belerang : 0,005 % R. argentiventer
RB Akut
YASODION Indandion Difasion : 0,005 % R. argentiventer
Kronis
0,005
BASHTIC-B Kumarin Bromadiolon : Rattus diardi
Kronis
B 0,005 %
0,005
CONTRAC Kumarin Bromadiolon Kro nis Rattus diardii
B 0,005 B 0,005 %

Sumber :
1) Dep. Pertanian (2001). Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan
2) Dep. Pertanian (2001). Pestisida Higiene Lingkungan

3. Pencegahan

Pencegahan tikus dan mencit di rumah sakit dilakukan dengan


rat proofing dan sanitasi lingkungan. Pencegahan berdasar sanitasi
lingkungan adalah pengendalian melalui upaya penyehatan lingkungan
di dalam dan di luar ruang/bangunan rumah sakit (lingkungan
sekitarnya),terutama yang menyangkut penyimpanan bahan makanan,
sisa makanan dan pembuangan limbah makanan. Penyehatan
lingkungan di dalam ruang/bangunan yaitu dengan melekukan
penempatan yang tertutup rapat, tempatnya tidak mudah dirusak.
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 73
Cara pengendalian tikus dan mencit untuk spesies R.diardi,
R.norvegicus dan M.musculus di dalam bangunan tertutup (core) dan
lingkungan rumah sakit yang terbuka (Inner Bound) dengan tindakan
pencegahan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Cara pengendalian tikus dan mencit di rumah sakit dengan


sanitasi lingkungan/pencegahan
No. TEMPAT SPESIES
R. diardi R.novergicus M.musculus
1 Bangunan Rat proof Rat proof (anti Rat proof
tertutup (Core) (anti tikus) tikus) (anti tikus)
- Pengecatan dinding - Pengecatan dinding - Pengecatan dinding
- Pemasangan kawat - Pasang penghalang/barier - Pemasangan peng-
Ayam lubang saluran pd pipa air hujan/kabel2 halang (barrier
- Penutupan ventilasi - Penutupan lubang diameter pada pipa sal air
- Penutupan ˃ 6 mm dg plat. hujan/kabelkabel
- Penutupan lubang - Penutupan sal. Terbuka dg - Penutupan lubang
Diameter ˃ 6 mm kisi-kisi < 6 mm antar kisi Dia meter ˃ 6 mm
- Penutupan sal. Ter- - Tandon air tertutup & tidak dg plat.
buka dg kisi-kisi bocor kran air yang rusak - Pe nut upa n saluran
< 6 mm antar kisi segera diganti lubang sal. terbuka dengan kisi-
air dipsng di jeruji ˂ 6 mm kisi < 6 mm antar kisi
Pengelolaan sampah Pengelolaan sampah Pengelolaan sampah
- TPS dari bhn anti - TPS tersebut dari bahan - TPS tersebut dari bhn
tikus dan tertutup anti tikus dan tertutup anti tikus dan tertutup
dengan penempatan dengan penenpatan 45 dg penempatan 45
45 cm diatas tanah cm diatas tanah cm diatas tanah
dibuang setiap hari. dibuang setiap hari. dibuang setiap.
Pengelolaan makanan Pengelolaan makanan. Pengelolaan makanan
- Makanan disimpan - Mknan disimpan dlm temp. - Mknan disimpan dlm
dalam tempat yang yg terbuat dari bhn temp. yg terbuat dari
terbuat dari bahan kaca,logam dll & terutama bhn kaca,logam dll &
kaca,logam dll dan pd mlm hari. terutama pd mlm hari.
terutama pada - Membersihkan sisa mknan - Membersihkan sisa
malam hari. setiap hari mknan setiap hari
- Membersihkan sisa - Penyimpanan bhn makanan - Penyimpanan bhn
mknan setiap hari harus Rat proofing Mkn hrs Rat proofing
- Penyimp. bhn mknan - Bhn mknan yang disimpan - Bhn mkn yg disimpan
harus Rat proofing dlm gudang diperiksa secara dlm gudang diperiksa
- Cahaya di gudang hrs berkala min. 2 bulan sekali. min. 2 bln sekali.
terang 200 fc - Cahaya di gudang hrs - Cahaya di gudang hrs
terang 200 fc terang 200 fc

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 74
2 Inner Bound - Rodent proof - Rodent proof (anti - Rodent proof (anti
(Lingk. rumah (anti tikus) tikus) tikus)
sakit yang - Cabang pohon yg me- - Pasang kisi-2 pada sal. air - Menutup sela dinding
terbuka) nempel di dinding/atap yang menghubung antara dg kayu atau semen
bangunan dipotong shg luar dan dalam ruangan - Menutup semua
berjarak lebih dari 1,5 seperti saluran buangan Lubang dinding,daun
meter. dapur pintu dan jendela
- Pasang kisi-2 pada sal. - Susun/rapik. barang bekas dg kayu,semen,seng
atau tumpukan batu shg - Tutup ventilasi udara
tidak terdapat rongga-2 Dengan kawat ayam.
yg dpt mjadi sarang tikus
- Menutup sela dinding
dg kayu atau semen
- air yang menghubungi - Sampah dibuang ke - Sampah dibuang ke
antara luar dan dalam tempet pengumpulan tempet pengumpulan
ruangan sepereti sal sampah sementara/ sampah sementara/
buangan dapur kontainer setiap hari kontainer setiap hari
- Susun atau rapikan - Tdk membuang sampah
barang bekas atau terutama sisa makanan - Tdk membuang
tumpukan batu shg di sembarang tempat sampah terutama
tidak terdpt rongga-2 - Halaman taman,tempat sisa mknan di
yg dpt mjd sarang tikus. parkir dibersihkan sembarang tempat
setiap hari.

4. Evaluasi Pencegahan dan Pemberantasan Tikus


Evaluasi dilakukan untuk melihat apakah upaya
pencegahan dan pemberantasan telah berjalan secara efektif. Evaluasi
dilakukan satu tahun sekali dengan melihat hasil catatan surveilans
selama satu tahun.

Dari catatan hasil pengamatan (surveilans) tersebut dilihat hasinnya


sebagai berikut :

a. Keberadaan tikus selalu tersebar di seluruh ruang pada daerah core,


dan di daerah inner setiap kali selesai upaya pemberantasan tikus,
berarti upaya pencegahan tidak efektif. Upaya pencegahan tikus yang
telah dilakukan harus di kaji ulang (metode,tempat dan waktu).
b. Keberadaan tikus selalu terkonsentrasi di satu atau beberapa ruangan
/ bangunan pada daerah core dan inner setiap kali selesai
pemberantasan tikus. Upaya pencegahan tikus yang telah dilakukan
untuk ruangan/ bangunan tersebut harus di kaji ulang (metode,
tempat dan waktu).

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 75
MATERI 7
PESTISIDA
A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Pestisida
1. Pengertian Pestisida
a. Pengertian Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida
berasal dari kata caedo berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan
secara sederhana sebagai pembunuh hama.
b. Menurut Food Agriculture Organization (FAO) 1986 dan peraturan
pemerintah RI No. 7 tahun 1973, Pestisida adalah campuran bahan kimia
yang digunakan untuk mencegah, membasmi dan mengendalikan
hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat, termasuk
serangga penyebar penyakit, dengan tujuan kesejahteraan manusia.
c. Pestisida juga didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur
tubuh atau perangsang tumbuh, bahan lain, serta mikroorganisme atau
virus yang digunakan untuk perlindungan tanaman (PP RI No.6 tahun
1995).
2. Sejarah Perkembangan Pestisida.
Penggunaan pestisida kimia pertama kali diketahui sekitar 2.500 SM
yaitu pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau, sedangkan
penggunaan bahan kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah
diketahui mulai digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15.
Pada tahun 1874 Othmar Zeidler adalah orang yang pertama kali mensintesis
DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida
baru ditemukan oleh ahli kimia Swiss, Paul Hermann Muller pada tahun 1939
yang dengan penemuannya ini dia dianugrahi hadiah nobel dalam bidang
Physiology atau Medicine pada tahun 1948 (Nobel Prize.org). Pada tahun
1940-an mulai dilakukan produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan
diaplikasikan secara luas (Weir, 1998). Penggunaan pestisida terus
meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun 1950, dan sekarang sekitar
2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya. Dari seluruh pestisida
yang diproduksi di seluruh dunia saat ini, 75% digunakan di negara-negara
berkembang (Sudarmo, 1987).
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 76
Di Indonesia, pestisida yang paling banyak digunakan sejak tahun
1950-an sampai akhir tahun 1960-an adalah pestisida dari golongan
hidrokarbon berklor seperti DDT, endrin, aldrin, dieldrin, heptaklor dan gamma
BHC. Penggunaan pestisida-pestisida fosfat organik seperti paration pada
masa lampau tidak perlu dikhawatirkan, karena walaupun bahan-bahan ini
sangat beracun (racun akut), akan tetapi pestisida-pestisida tersebut sangat
mudah terurai dan tidak mempunyai efek residu yang menahun. Hal penting
yang masih perlu diperhatikan masa kini ialah dampak penggunaan
hidrokarbon berklor pada masa lampau khususnya terhadap aplikasi derivat-
derivat DDT, endrin dan dieldrin.

B. Formulasi Pestisida
1. Kemasan
a. Technical grade/ active inggredient (AI) adalah bahan active pestisida
b. Dust/ Dustable Powder (DP)
c. Granule (GR)
d. Wettable Powder/Water Dispersible Powder (WP) : DP atau GR +
wetting agent
e. Solution : technical grade + solvent
f. Emulsifiable Concentrate (EC) : Solution + emulsifer
g. Emulsion, oil in water (EW) : EC + water
h. Suspension/ Soluble Concentrate (SL) : WP + water

2. Bahan tambahan :
a. Innert carrier/ diluent : pengencer berbentuk debu (talk, gyps,silica)
b. Wetting agent: bahan yang mempunyai daya larut kuat (alkyl naptaline,
sulfonic acid)
c. Solvent : pelarut untuk memperkecil konsentrasi (xylene,acetone)
d. Emulsifer: cairan yang membuat larutan pekat (triton, tween)
e. Atractance : bahan penarik (gula,susu,ikan)
f. Parfum ; pengharum
g. Adhesive/ stricker : bahan pelekat, sehingga tidak cepat larut oleh air
hujan (gelotin)

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 77
h. Spreading : bahan memperluas permukaan kehidupan larva (triton)

C. Aplikasi/penggunaan pestisida
1. Aerosols/ pengasapan
a. Pressure
b. Cold
c. thermal (hot)
2. Misting/ pengkabutan
3. Spraying/ penyemprotan ( Residual dan space )
4. Dusting/ pengabuan
5. Baits/ umpan
6. Fumigation/ fumigasi

PROFIL-KESLING 4

Gambar : Berbagai Peralatan Thermal Foger

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 78
D. Bahan asal pestisida

1. Bahan in organik
contoh : belerang, arsen, mercury, flour dll.

2. Bahan organik
a. Natural
contoh : petroleum, alkaloid, ester dll.

b. Sintetik
contoh : Chlorinated hidrocarbon, organo phaspat, carbamate, organo
pyrethroid dll.

E. Mekanisme kerja pestisida


1. Contact poison / Eradicant
Pestida mengenai/ kontak dengan tubuh hama
2. Stomach poison / Protective
Hama memakan umpan/ daun tanaman yang telah disemprot pestisida
3. Fumigant
Hama menghirup fume pestisida yang disemburkan ke udara.
F. Alat aplikasi pestisida
1. Pressurized caniter dispensers - aerosol
2. Ultra Low Volume (ULV) generators dan small ULV electric - cold aerosol
3. Thermal aerosol generator/ foger - thermal aerosol
4. Mist blower- misting
5. Hand sprayers, knapsack sprayers, power operated compression sprayers -
spraying
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 79
6. Dusters, high pressure dusters - dusting
7. Shallow containers- baits
8. Tungku, special equipment - fumigation

G. Toksisitas Pestisida
Toksisitas pestisida sangat bervariasi, dari toksisitas yang tinggi (dieldrin
dan parathion) sampai toksisitas yang relative tidak berbahaya (Abate).
Pencegahan dan dan pengamanan dalam penggunaan pestisida sebaiknya
harus dipahami terlebih dahulu konsep tentang toksisitas dan hazard dari
pestisida.
Toksisitas (Toxicity) pestisida diartikan sebagai kemampuan membunuh
kehidupan biologis, sedangkan hazard lebih diartikan sebagai halnya yang
mungkin timbul akibat pemaparan (exposure) pestisida di lingkungan. Kedua-
duanya sering digunakan secara bergantian untuk menyatakan tingkat bahaya
suatu pestisida.
Konsep toksisitas ini untuk mengukur kekuatan pestisida. Pengukuran
toksisitas dilakuakan pada binatang percobaan, dan sering dinyakan sebagai
Lethal Dosis 50 (LD 50) dalam satuan mg/Kg berat badan. LD 50 adalah dosis
pestisida yang dapat membunuh 50% binatang percobaan yang dinyatakan
dalam satuan mg/Kg berat badan pemberian pestisida melalui dermal atau oral.
LD 50 dapat dipakai sebagai ukuran memilih keampuhan/ toksisitas pestisida.
Berikut ini merupakan kriteria toksisitas Pestisida dan Ketentuan labelnya.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 80
Tabel 1
KRITERIA TOKSISITAS PESTISIDA DAN KETENTUAN LABELNYA
TOKSISITAS ACUTE ORAL LD50 KATA-KATA TANDA LARANGAN
DAN ANTIDOTANYA
Racun Kuat 0 – 50 mg/Kg - “”Danger” “Poison” dengan tanda
(Highly Toxic) tengkorak dan tulang bersilang
- Pernyataan antidote ada “segera
panggil Dokter” atau “Jauhkan dari
anak-anak”
- “WARNING”

Racun Sedang 50 – 500 mg/Kg - Tidak ada pernyataan antidote


(Moderately - “Jauhkan dari anak-anak”
toxic)
Racun Lemah 500 – 5000 mg/Kg - “Caution” atau “perhatian”
(Low order - Tidak ada pernyataan antidote
toxicity) - “Jauhkan dari anak-anak”

Racun yang > 5000 mg/Kg - Tidak ada kata-kata larangan


tidak - Tidak ada pernyataan antidote
membahayakan - “Jauhkan dari anak-anak”

Tabel 2.
HUBUNGAN ANATARA LD50 ORAL AKUT DENGAN JUMLAH
PESTISIDA YANG MENIMBULKAN KEMATIAN PADA MANUSIA
LD50 ORAL AKUT (mg/Kg) Perkiraan Dosis Oral Yang DApat Mematikan
Manusia Dengan Berat Badan 68 Kg (150
Lbs)
5 Beberapa tetes
5 sd/d 50 1 sendok teh
50 s/d 500 1 s/d 2 sendok the

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 81
500 s/d 5000 28,35 gram (1 ouns) s/d 453,59 gram (1 pound)
5000 s/d 13.000 453,59 gram s/d 907,18 gram ( 2 Pound)

Tabel 3.
LD 50 PESTISIDA YANG PENTING

Pestisida Oral Dermal


A. Insektisida
A.1. Chlorinated hidro carbon
Aldrin 39-60 98
BHC 600-1250 -
Chlordane 283-590 750
Dieldrin 60 70
DDT 250 2500
Heptachlor 40-188 119-320
Lindane 125 1000
A.2. Organo phosphate
Chlorphoxim 2500
Chlorpyrifos 135
Dichlorvos 56
Fenitrothion 503
Fenthion 330
Malathion 2100
Naled 430
Temephos 8600
A.3 Carbamate
Bendiocarb 55
Landrin 178
Propoxur 95
A.4. Synthetic pyrethoid
Bioresmitrin 7000
Deltamethrin 135
Permethrin 4000
Resmethrin 2000

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 82
Pestisida Oral Dermal
B.Rodentisida
Barium carbonate 700
Thallium sulphate 25
Phosphorus 50-100
Zinc phosphide 41

H. Sifat pestisida sintetik


Pestisida sintetik mempunyai sifat sebagai berikut : stabilitas komponen,
efek residu, metabolisme dalam tubuh, gejala keracunan, efek kerja racun dan
konfirmasi diagnosa.
Tabel 4
SIFAT PESTISIDA SINTETIK
Sifat utama Organo Organo Carbamat Sintetik
chlorine Phospat piretroid
Stabilitas Persisten Non persisten Non persisten Non persisten
Komponen
Efek residu 15 hari - 15 hari 15 hari – 3 2 – 3 bulan
berbulan-bulan 3 bulan bulan
Metabolisme Sebag. besar Cepat keluar Cepat keluar Cepat keluar
dalam tubuh tertimbun dlm bersama urine bersama urine bersam urine
jaringan dan faeces dan faeces dan faeces
Gejala Lambat/kronik Cepat/progresif Cepat/proghresif Lambat/kronik
keracunan
yang timbul
Obat antidot Belum ada Atropin atropin Belum ada

Efek kerja Neuro Cholinesterase Cholinesterase Neuro


racun muscular inhibitor inhibitor muscular
poisons poisons
Konfirmasi Sulit Mudah mudah Mudah
diagnose

I. Formulasi
1. Membuat suspension/ suspensi dari Wettable powder (WP) dengan air
X=AxBxD
C
X = berat WP dalam Kg
A = konsentrasi suspensi dalam %
B = volume suspensi dalam liter
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 83
C = konsentrasi WP dalam %
D = konstanta ( 1 bila kg/l ; 8,33 bila lb/US gal dan 10 bila lb/UK gal)

Contoh : konsentrasi suspensi 1 % volume suspensi 10 liter dan WP 50%,


maka

X = 1 x 10 x 1 = 0,2 kgWP
50

2. Membuat emultion/ emulsi dari emultion concentrate (EC) dan air

X= A -1
B
X = sejumlah bagian air dengan 1(satu) bagian insektisida EC atau %
A = konsentrasi EC dalam % (yang tersedia)
B = konsentrasi emulsi dalam % (yang direncanakan)
1 = konstanta
contoh : membuat emulsi 5 % dari insectisida 50 EC (50 %)

X = 50 -1 = 9 bagian air dengan 1 bagian insectisida EC 50


5
3. Membuat Larutan untuk foging (Rumus Karung = SAC )
Q =SXA
C
Q = Banyaknya Pestisida yang akang diencerkan ( ml atau Liter)
S = Banyaknya larutan yang akan dibuat (ml atau liter)
A = konsentrasi insektisida yang dikehendaki dalam %

Contoh : membuat larutan Malathion sebanyak 20 liter dengan konsentrasi 5


% dari malathion 50 %
Q = 20 liter X 5 % = 2 liter (ambil 2 liter malathion 50 % + 18 liter solar )

50 %
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 84
J. Dampak pestisida terhadap kesehatan manusia

Ada 2 macam kunci yang dapat dipergunakan untuk menentukan apakah


seseorang telah keracunan insektisida, yaitu :

1. Perasaan (feeling) :
Pada dasarnya dirasakan oleh sipenderita sendiri, misalnya pusing, perut
mual, mata berkunang-kunang dan perasaan letih.

2. Tanda-tanda (signs) :
Keadaan yang dapat dilihat orang lain, misalnya muntah, gemetar, muka
pucat, sempoyongan, jalan tidak seimbang dll.

Perlu diketahui bahwa semua jenis pestisida dari golongan yang sama pada
umumnya mempunyai dampak pada manusia dengan gejala-gejala keracunan
yang sama pula.

1. Organo phospor dan karbamat


Terjadi proses phosporisasi enzim acetylcholinesterase dari jaringan , dengan
demikian terjadi akumulasi acetylcholine pada sambungan chlinenergic neuro
effector dan pada sambungan skeletal muscle myoneural dan didalam
ganglion. Racun ini juga mengganggu susunan syaraf pusat. Mengetahui
tingkat paparan insektisida ini dengan melakukan tes cholinsterase.

2. Chlorinated hidro carbon


Mengganggu transmisi axonic dari impul- impul syaraf , sehingga mengganggu
fungsi sistem syaraf terutama syaraf otak. Hal ini akan menyababkan
perubahan tingkat laku, gangguan sensoris dan keseimbangan , hiperaktivitas
otot, meningkatkan rangsangan otot jantung dan perubahan degeneratif hati.

3. Rodentisida
Rodentisida sebagai anti koagulan jenis Walfarin/ coumarine menyebabkan
terjadi penurunan konsentrasi prothrombine dalam serum darah/ Hypo
prothrombine yang merusak permeabilitas kapiler , sehingga terjadi perdarahan
(haemorrhage), sedangkan jenis Indandione sebelum terjadi penurunan
konsentrasi prothrombine lebih dulu terjadi gangguan neurologis.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 85
4. Fumigan
Menyebabkan iritasi pada mata, kulit dan saluran pernafasan, mengurangi
lemak, dermatitis dan oedema pulmonum. Kematian disebabkan oedema
pulmonum dan depresi respirasi.

K. Pertolongan Pertama Pada Keracunan Pestisida


1. Kena Kulit
a. Lepas pakaiannya
b. Cuci kulit & rambut yg terkena racun dg air mengalir
c. Basuh kulit yg terkena pest. dg air bersih dan sabun
d. Keringkan kulit dg handuk, & kenakan pakaian yg bersih
e. Jangan oleskan bhn lain ke kulit terpapar, terutama yg mengandung minyak.
f. Bawa/konsultasikan ke petugas kes. terdekat dan jangan lupa bawa label
pestisida
2. Paparan ke Mata
a. Cuci mata yang terkena pestisida dengan air bersih (sedapatnya air
mengalir) selama sedikitnya 15 menit (tahan lipatan mata supaya tetap
terbuka)
b. Jangan menggosok mata
c. Tutup mata dengan kain kassa bersih
d. Jangan gunakan obat tetes mata atau boorwater
e. Bawa si penderita ke petugas kesehatan terdekat, jangan lupa bawa label
pestisida nya.
3. Paparan Melalui Pernafasan
a. Jika pasien berada di ruang sempit/ tertutup, jangan masuk tanpa alat
pernafasan bantuan
b. Bawa pasien keluar segera untuk mendapatkan udara segar.
c. Buka semua pintu dan jendela.
d. Apabila pasien menggunakan pakaian ketat, segera kendurkan.
e. Jika pasien mengalami kejang, monitor pernafasan dan jaga posisi dagu
tetap ke atas shg tetap dpt bernafas.
f. Jaga kondisi badan tetap normal dan tetap tenang. Segera cari bantuan
medis.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 86
4. Paparan Melalui Mulut
a. Secara umum pasien tidak direkomendasi untuk muntah.
b. Pada kemasan pestisida, biasanya terdapat petunjuk cara pertolongan Jika
pestisida tertelan dengan dimuntahkan.
c. Jika pasien muntah terus menerus, posisikan wajah pasien lebih rendah
daripada badan dalam masa pemulihan. Hal ini mencegah muntah masuk
ke dalam paru-paru. Jangan biarkan pasien berbaring terlentang.
Bersihkan muntahan dari tubuh pasien.
d. Cari bantuan medis! Karbon aktif direkomendasikan oleh dokter untuk
menyerap pestisida yang tersisa di dalam tubuh.
e. Segera cari bantuan medis.

Paparan Mulut, namun pasien tidak sadar :


a. Usahakan saluran pernafasan si penderita tdk tersumbat, bersihkan hidung
dari lendir, bersihkan mulut dari air liur, sisa makanan, dsb. Lepaskan gigi
palsu.
b. Baringkan penderita tengkurap dgn posisi kepala menghadap ke samping
c. Bila penderita berhenti bernafas, lakukan pernafasan buatan, bukan
pernafasan dari mulut ke mulut
d. Bawa ke Petugas kesehatan terdekat, dgn menunjukkan label pestisida yg
tertelan
5. Jika Suhu Tubuh Naik
Beberapa pestisida biasanya akan menyebabkan suhu badan tinggi atau
rendah :
a. Jika badan merasa panas di lap menggunakan air
b. Jika badan merasa kedinginan penderita diselimuti

L. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Penggunaan Pestisida.


1. Sebelum membeli pestisida.

Pertama-tama sebelum kita membeli insektisida kita mengerti dahulu jenis


serangga/hama apa yang akan kita berantas. Setelah itu, kita pilih dari jenis
insektisida yang cocok/tepat untuk jenis serangga tadi. Disini tidak mustahil kita
memilih lebih satu macam insektisida sehingga untuk menetapkan insektisida

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 87
yang paling baik kita memerlukan informasi yang lebih lengkap. Hal ini dapat
diperoleh dari sumber-sumber informasi yang dapat dipercaya yaitu: Dinas
Pertanian, Dinas Kesehatan ataupun pihak pabrik dan distributor yang
mempunyai izin pengedar insektisida.

2. Ketika membeli pestisida.

Setelah kita berada di dalam toko/agent penjual/pengecer, insektisida


maka harus kita tanyakan jenis insektisida Yang ingin kita beli. Kemudian kita
periksa labelnya menyangkut tentang:

a. Larangan-larangan yang tertulis.


b. Sesuaikan insektisida tersebut dengan jenis serangga yang akan kita
berantas.
c. Sesuaikan jenis insektisida tadi dengan keadaan ditempat kita agar aman
dalam pemakaiannya.
d. Adakah larangan-larangan khusus untuk pencegahan
pengotoran/pencemaran lingkungan.
e. Apakah bahan aktif insektisida dan jumlah/konsentrasinya tepat untuk
keperluan kita.
f. Apakah terdapat jenis-jenis pakaian pelindung/pengamanan yang perlu kita
pergunakan dan peralatannya.
g. Jumlah konsentrasi yang diinginkan dalam tubuh formulasi akhir (finished).

3. Sebelum menjamah, memindahkan dan meracik pestisida :

a. Pakailah pakaian pelindung dan peralatan yang baik sesuai dengan jenis
insektisida yang akan kita tangani.
b. Bacalah label yang ditempelkan oleh pabrik dan ikutilah petunjuk-petunjuk
pencampurannya sebelum membuka kontainer.
c. Jangan menyobek kertas tak luput kontainer dengan tangan terbuka, tetapi
pergunakanlah alat pembuka/pisau yang tajam dan khusus untuk tujuan
pembuka kaleng insektisida.
d. Jika mengeluarkan insektisida dari dalam kontainer harus diusahakan agar
tidak memercik ke bagian muka kita dengan cara menuangkan di bawah,

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 88
bagian kepala kita. Demikian juga ketika kita membuang sisa-sisa
insektisida. Bila kita terkena percikan insektisida ketika mencampur atau
menuangkan insektisida maka segeralah:
1) berhenti bekerja.
2) lukailah pakaian kerja yang terkena percikan.
3) cuci segera bagian kulit yang terkena percikan dengan air dan
detergent.
4) bersihkan tumpahan insektisida di lantai bila terjadi luapan/tumpahan.
5) Bila mencampur insektisida, maka harus dilakukan dengan perhitungan
yang tepat dan teliti sesuai dengan dosis/konsentrasi yang ditetapkan.
6) Ketika membongkar/menuangkan insektisida harus berdiri tidak
menentang arah angin agar tercegah dari bahaya keracunan melalui
pernafasan.
7) Untuk menjaga agar tidak terjadi tumpahan maka tutuplah segera
kontainer yang baru diambil insektisidanya atau mengganti tutup
kontainer yang rusak.

4. Pada Saat Mencampur Pestisida

Dalam pencampuran dan pemindahan insektisida dari satu botol ke botol


yang lain, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Jauhkan binatang peliharaan, binatang kesayangan dan orang lain


yang tidak berkepentinga dari lempat mencampur Pesstisida.
b. Pada pekerjaan yang dilaksanakan pada malam hari, sebaiknya
bekerja bersama-sama teman (tidak boleh sendirian).
c. Pencampuran insektisida sebaiknya dilakukan di luar ruangan/gudang
atau tempat terbuka yang cukup banyak ventilasi dan cahayanya.
Dilarang mencampur dan memindahkan insektisida di dalam ruangan
yang tidak baik ventilasi dan pencahayaannya, terutama pada malam hari.

5. Sebelum mempergunakan insektisida.

Seperti pada keadaan c), maka sekali lagi kita perlu melihat label
insektisidanya untuk meyakinkan diri kita apakah:
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 89
a. perlu pakaian pelindung/pengaman khusus.
b. ada tanda-tanda/peringatan-peringatan dan cara-cara pengarnanan yang
khusus yang harus kita patuhi.
c. jenis pelarut yang tepat untuk insektisida tadi.
d. ada cara-cara pencampuran/peracikan yang diinginkan.
e. Ada ketentuan tentang jumlah/konsentrasi yang ditetapkan untuk jenis
insektisida yang akan kita garap
f. ada cara-cara/tindakan-tindakan pengamanan (antidota dan petunjuk P3K
nya).
g. bila kita pergunakan akan dapat memenuhi toleransi insektisida yang tepat
bagi serangga sasaran.
h. jumlah pemakaiannya yang tepat.
i. Ada insektisida-insektisida khususnya lainnya.

6. Penyimpanan Pestisida.

Pada botol ataunun kaleng pestisida yang asli dari pabrik pasti dilengkapi
dengan label yang memuat cara-cara penyimpanan insektisida tersebut. Bila
insektisida yang kita beli sampai di gudang maka insektisida tersebut harus
segera :

a. Disimpan dalam gudang yang terkunci rapat dan khusus untuk bahan-
bahan beracun.
b. Ditempatkan jauh deri jangkauan anak-anak ataupun orang lain yang tidak
berkepentingan.
7. Persyaratan gudang insektisida adalah sebagai berikut:

a. Gudang insektisida harus; terletak jauh atau terpisah dengan gedung-


gedung/bangunan rumah/kandang-kandang binatang.
b. Dinding gudang dan lantainya harus terbuat dari bahan yang tidak mudah
terbakar ataupun yang kedap air.
c. Gudang harus dilengkapi dengan exhaust-fan untuk penghawaan yang
baik.
d. Penerangan alam atau buatan harus cukup.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 90
e. Mempunyai cukup insulasi yang dapat mencegah terjadinya pembeku
bahan-bahan kimia ataupun pemuaian bahan-bahan kimia akibat udara
yang terlalu dingin ataupun udara yang terlalu panas. Gudang harus
menjamin keutuhan insektisida agar tetap kering dan tidak terkena
langsung sinar matahari.
f. Pintu gudang harus dilengkapi dengan tanda-tanda bahaya dan kunci
gudang yang kuat.
g. Harus tersedia wastafel atau tempat cuci tangan yang cukup banyak
airnya.
h. Tersedia pemadam kebakaran yang siap dipergunakan bilamana terjadi
bahaya kebakaran.
i. Tersedia alat-alat kebersihan/pemeliharaan gudang.
Dalam hal penyimpanan insektisida yang baik maka kita harus dapat
melakukan hal-hal sebagai berikut :

1) Menyimpanan insektisida tidak boleh dicampuradukan dengan makanan


manusia/ternak, peralatan/perabotan rumah tangga maupun alat-alat
pemeliharaan ternak.
2) Menyimpanan insektisida harus dalam botol, kaleng, peti kemas atau
kontainer asli dari pabrik.
3) Meriksalah selalu tiap botol, kaleng, peti kemas ataupun kontainer
tersebut untuk mengetahui apakah terdapat kerusakan/bocor/pecah.
4) Bila menjumpai kaleng yang rusak/bocor/pecah, isinya dapat dipindah-
pindahkan ketempat lain atau kontainer yang kosong berasal dari jenis
insektisida yang sama.
5) Mersihkan tetesan/percikan/tumpahan insektisida yang ada dengan hati-
hati sesuai dengan petunjuk pembersihannya.
6) Usahakan agar selalu tersedia catatan tentang Janis insektisida, pabrik
pembuatannya, tanggal, pembelian dan lain-lain untuk memperoleh
informasi yang diperlukan bila terjadi kecelakaan yang tidak diharapkan.
7) Gudang harus dikunci bila tidak ada kegiatan.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 91
8. Pengangkutan Pestisida.

Bila kita bertugas mengangkut insektisida dari suatu tempat ke tempat lain
dengan kendaraan/alat pengangkutan tertentu, misalnya Truk, maka kita
jugalah orang yang bertanggung jawab penuh terhadap keamanan di Jalan
Raya, masyarakat dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu kita
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Letakkan dan susunlah peti komes/kontainer/botol-botol insektiside


tersebut dengan baik di dalam Truk/kandaraan khusus.
b. Kalau mungkin pergunakan Truk yang mempunyai bak kedep air.
c. Jangan menyampurkan bahan-bahan/barang-barang lain yang langsung
berhubungan dengan konsumsi manusia seperti bahan-bahan makanan.
d. Jangan mengangkut/mengizinkan orang lain selain petugas/crew atau
mengangkut penumpang.
e. Setiap peti kemas hrus dilengkapi dengan label yang jelas dan mudah
dibaca.
f. Seliharalah agar karton-karton/kereta kemas selalu dalam keadaan kering
atau perlu ditutup dengan terpal untuk mencegah kemungkinan basah
oleh air hujan.
g. Bila terjadi tumpah atau ada peti kemas/kontainer dan botol insektisida
yang pecah maka insektisida tersebut harus segera dibersihkan setibanya
ditempat tujuan. Bila tumpahan insektisida meleleh/mengalir ke jalan raya
dalam jumlah yang- banyak maka harus. kita bersihkan segera dengan
cara-cara pembersihan yang telah ditetapkan.
h. Jangan dibiarkan bila ditemukan adanya botol/peti kemas insektisida yang
terbuka.

M. Pembuangan dan pemusnahan pestisida.

Secara pasti, hingga saat ini belum ditemukan cara-cara pembuangan dan
pemusnahan pestisida yang dapat memenuhi standard kwalitas lingkungan
secara sempurna. Baik di negara-negara yang telah maju maupun negara-negara
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 92
yang sedang berkembang, masalah pembuangan dan pemusnahan pestisida dan
kontainernya cukup rumit dan serius. Namuh demikian, para ahli kesehatan
lingkungan tidak pernah berhenti mencari metode-metode yang lebih baik dan
aman. Aman bagi manusia maupun lingkungan hidupnya. Dari sekian banyak
cara-cara pemusnahan pestisida yang telah dilakukan, terdapat 4 cara yang
paling baik dipergunakan, yaitu:

1. Dekomposisi Termal (Termal Decomposition).


Pembuatan dan pemusnahan pestisida secara dekomposisi termal
biasanya dilakukan dengan cara membakar sisa-sisa dan kontainer pestisida.
Untuk memperoleh hasil pembakaran yang sempurna, diperlukan panas yang
tinggi. Incinerator yang dipergunakan harus mampu menghasilkan suhu
berkisar antara 900o C s/d 1000o C.

Pembakakaran harus berlangsung dalam tempo yang cukup lama (5-8


jam), tergantung jenis dan jumlah pestisidanya. Pembakaran dengan suhu
tinggi dan waktu yang lama, dapat mengurangi pencemaran udara oleh
kontaminan partikel debu pestisida dan juga menghasilkan tingkat
pembakaran lebih dari 99%.

Walaupun demikian, sebaiknya instalasi pembakarannya (incinerator)


perlu diperlengkapi dengan saringan asap bawah (wet scrubber), saringan
karbon, ataupun dengan "porous clay bed"

Pestisida yang mengandung bahan-bahan aktif air raksa, arsen, timah


hitam atau senyawa-sanyawa analoognya, tidak boleh dibakar kalau memang
belum tersedia sarana khusus untuk membuang abunya.

2. Netralisasi dengan bahan kimia (Chemical Neutralization).


Cara ini hanya tepat dipergunakan untuk jenis-jenis pestisida spesifik
saja, terutama yang termasuk Pada golongan Organofosfat dan Karbamat.
Bagi golongan khlorinated hidrokarbon, cara ini tidak dianjurkan.

Beberapa jenis pestisida dari golongan Organofosfat dan Karbamat


dapat dinetralisir dengan asam nitrit atau asam sulfur. Kemudian sebagian
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 93
lagi dapat dinetralisir dengan basa natrium hidroksida maupun amonium
hidroksida. Selain dari itu, ada juga yang dapat dinetralisir dengan
senyawa-senyawa kimia aktif lain.

Dalam hal ini, kalsium hipokhlorit paling banyak dipergunakan untuk


netralisasi racun organofosfat dan karbamat. Sedangkan senyawa-senyawa
yang bersifat asam atau alkaline hidrolisa kuat, biasanya tidak memberikan
hasil yang sempurna

3. Penguburan dalam tanah (Landfilling).


Pemusnahan pestisida dengan cara dikubur dalam tanah (buriral)
sebenarnya merupakan sumber pencemaran badan-badan air yang potensial,
bila penyelenggaraannya tidak terencana baik. Hal ini penting disadari,
karena di dalam tanah partikel-partikel pestisida dapat merembes melalui
pori-pori tanah bersama-sama dengan aliran air hujan. Oleh karena itu, bila
penguburan sisa-sisa pestisida tetap akan dilaksanakan, kita harus
memperhatikan faktor-faktor hidrogeologis, geografis dan ekologis.

Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam rangka


pelaksanan pem bungan atau pemusnahan sisa-sisa pestisida dengan cara
dikubur adalah sebagai berikut (lihat Gambar di bawah) :

a. Lokasi lubang pembuangan/pemusnahan harus ditempatkan pada tanah


yang bila musim hujan tinggi permukaan air tanahnya lebih dari 3,25
meter dibawah permukaan tanah.(perlu memperhatikan keaclaan
hidrologi di daerah tersebut)
b. Jenis tanah yang baik adalah tanah liat. Tanah pasir akan memperbesar
pencemaran badan-badan air, karena resiko perembesan sangat besar.
(Perlu data-data geologi setempat).
c. Jarak lokasi lobang pembuangan/pemusnahan pestisida dalam partai
besar, terhadap sumber air penduduk, aliran sungai dan rawa-rawa
diperhitungkan tidak kurang dari 3 (tiga) mil.
Khususnya golongan khlorinated hidrokarbon, termasuk Pestisida natrium
pentakhlorofenol, mempunyai waktu-paruh (half-life time) berkisar 3
tahun. Perjalanan polutant kimia racun dapat mencapai aliran air tanah

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 94
dalam waktu 3 tahun sejauh 3 s/d 5 mil. (1 mil = 1,61 km).
d. Jarak lokasi pembuangan/pemusnahan pestisida partai besar dengan
lingkungan pemukiman penduduk, tempat-tempat rekreasi anak-anak,
lapangan olah raga maupun tempat penggembalaan ternak terdekat tidak
kurang dari 3000 ft (1 ft = 0,3048 meter).
e. Jangan menempatkan lobang pembuangan/pernusnahan pestisida pada
tanah yang dipersiapkan untuk pertanian rakyat, perluasan kota, dan
pemukiman, tempat-tempat umum dan lain sebagainya. (Perlu data-data
pengembangan dan perluasan kota).
f. Disekeliling tempat pemusnahan harus didirikan pagar dengan radius 3
meter dengan lobang pembuangan/pemusnahan sebagai titik pusat
lingkaran pagar. Pagar terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah
patah.
g. Demi keamanan dan keselamatan, maka perlu dipasang tanda-tanda
peringatan/pelarangan, antara lain :
h. Papan peringatan yang memuat tanggal, jumlah, nama dan bahan aktif
pestisida yang dibuang/dimusnahkan.
i. Tanda larangan dengan gambar tengkorak, bertuliskan "AWAS RACUN"
dan kata-kata "DILARANG MASUK".
j. Papan peringatan tersebut dibuat dengan bahan yang tahan lama dan
kuat, dengan ukuran 40 cm x 60 cm. Tulisan dam gambar pada butir 2)
harus dengan warna merah, diatas warna dasar putih.
Pelaksanaan pembuangan/pemusnahan pestisida harus dilakukan oleh
petugas yang berwenang dan petunjuk oleh badan pemerintah dibidang
kesehatan lingkungan. Teknis pemusnahannya harus sesuai dengan
petunjuk-petunjuk yang ditetapkan.

4. Degradasi Biologis dan Alamiah (Biological & Natural Degradation)

Yang dimaksud dengan pemusnahan pestisida secara degradasi


alamiah dan biologis adalah pemusnahan yang berlangsung dengan proses
detoksifisikasi di dalam tanah oleh adanya reaksi biokimia.

Beberapa jenis pestisida dapat dipecahkan senyawanya dengan baik,


MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 95
terutama pestisida-pestisida yang tidak terlalu persisten di dalam tanah.
Dalam hal ini tingkat persistensinyapun berbeda-beda tergantung dari pada :

a. Reaktifitas pestisidanya.
b. Kelarutan air tanah.
c. Kerentanan (susceptibility) dalam reaksi biokimiawi.

Dari keempat cara pembuangan/pemusnahan pestisida diatas, tidak berarti bahwa


kita tidak mungkin mempergunakan cara-cara pemusnahan kombinasi. Pemilihan
alternative pemusnahan masih diperlukan, sesuai dengan kondisi setempat serta
peraturan – perundangan yang berlaku di Negara kita. Studi kelayakan (fasibility
study) tentang kemungkinan penerapan salah satu atau kombinasi cara-cara
pemusnahan, mutlak diperlukan peranannya. Perencanaan dan penyelenggaraan
yang baik dalam pemusnahan pestisida dapat menjamin resiko pencemaran
lingkungan sekecil mungkin.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 96
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 97
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 98
N. Evaluasi
1. Mengapa harus menggunakan pestisida ?
2. Jelaskan mekanisme masuknya pestisidan ke Tubuh Manusia !
3. Jelaskan bedanyanya LD 50 dengan LC 50 !

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 99
Daftar pustaka :

1. Bapelkes Lemah Abang (2011). Modul MI-6, Pengendalian Vektor di daerah


Tanggap Darurat, Jakarta.

2. California Departement of Pubich Health Vector Born Desease Section


(2011). Arthropods of Public Health Significance in California.Version 3.

3. Departemen Kesehatan RI, Pengenalan dan penatalaksanaan Keracunan


Pestisida, 1983

4. Iskandar, Adang, H,SKM dkk (1985). Pedoman Bidang Studi Pemberantasan


Serangga dan Binatang Pengganggu, Depkes RI, Jakarta.

5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 tahun 2014 tentan Kesehatan


Lingkungan.

6. Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 107/Permentan/SR.140/0/2014


Tentang Pengawasan Pestisida

7. WHO, Chemical Methods for the Control of Vector and Pests of Public Health
Importance, WHO/VBC/82.841

8. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 50 tahun 2017 tentang Standar Baku


Mutu Kesehatan Lingkungan & Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor &
Binatang Pembawa Penyakit & Pengendaliannya.

9. Peraturan Meneteri Kesehatan RO No. 70 tahun 2016 tentang Standar dan


Persyaratan Kesehatan Lingkugan Kerja Industri

10. Peraturan Menetri Kesehata RI No. 7 Tahun 2019 tentang Kesehatan


Lingkunga Rumah Sakit.

MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 100

Anda mungkin juga menyukai