BINATANG PENGGANGGU
A. Latar Belakang
Penyakit tular vektor dan binatang pembawa penyakit masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara endemis maupun
sebagai penyakit baru yang berpotensi menimbulkan wabah. Oleh
karenya, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan Pasal
51 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Lingkungan, perlu mengatur ketentuan mengenai standar baku
mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan untuk vektor
dan binatang pembawa penyakit serta pengendaliannya.
Penyakit yang ditularkan melalui vektor dan binatang pengganggu
masih menjadi penyakit endemis di Indonesia bahkan dibeberapa bagian
belahan dunia lainnya. Beberapa diantaranya yang saat ini masih endemis
di Indonesia antara lain adalah penyakit malaria, demam berdarah
dengue, filariasis, pes, kolera, dan lain lain. Penyakit-penyakit tersebut
jika tidak dicegah dapat menjadi wabah atau kejadian luar biasa (KLB)
serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat hingga
menyebabkan kematian.
Salah satu tujuan MDG’s (millenium development goal’s) adalah
pengendalian penyakit malaria yaitu tujuan ke-6 dan mempengaruhi tujuan
MDG’s lainnya seperti tujuan ke-4 dan ke-5 yaitu penurunan angka
kematian ibu dan anak. Angka kematian ibu dan anak merupakan salah
satu indikator kualitas derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu
pengendalian vektor dan binatang penggangu untuk mencegah penularan
penyakit-penyakit tertentu sangat penting dilakukan sebagai salah satu
upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat termasuk penyakit
yang diakibatkan karena keberadaan Vektor dan Bintang Pengganggu
yang menjadi perantara dan penyebab penyakit seperti DBD, Malaria,
Kaki Gajah, Demam Kuning, Diare, Pes, Salmomeloasis dan penyakit
lainnya yang kategori penyakit Karantina maupun yang bukan.
Page 1
B. Konsep Dasar
1. Pengertian Vektor
Menurut pasal 1, ayat ( 4) Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 50 tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan
Lingkungan & Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor & Binatang
Pembawa Penyakit & Pengendaliannya bahwa “Vektor” merupakan
artropoda yang dapat menularkan, memindahkan, dan/atau menjadi
sumber penular penyakit.
2. Pengertian Binatang Penganggu dan/Atau Pembawa Penyakit
Binatang Pengganggu atau pembawa penyakit adalah
“Binatang selain artropoda yg dapat menularkan, memindahkan,
dan/atau menjadi sumber penular penyakit” (Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 50 tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu
Kesehatan Lingkungan & Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor &
Binatang Pembawa Penyakit & Pengendaliannya).
3. Pengendalian Vektor Dan Binatang Pembawa Penyakit (Pengganggu)
Menurut Pasal 1, ayat (3) bahwa Pengendalian adalah upaya
untuk mengurangi atau melenyapkan faktor risiko penyakit dan/atau
gangguan kesehatan. Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan
bahwa “Pengendalian Vektor & Binatang Pembawa Penyakit” adalah
upaya untuk mengurangi atau melenyapkan Vektor dan Binatang
Pembawa Penyakit (Pengganggu) sebagai faktor risiko penyakit
dan/atau gangguan kesehatan atau gangguan lainnya yang merugikan
manusia karena serangan berupa gigitan/sengatan atau kerusakan
harta benda.
Pengendalian vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
(Pengganggu) pada Peraturan Menteri Kesehatan sebelaumnya (PMK
No. 374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian Vektor) adalah
semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan
populasi vektor serendah mungkin sehingga vektor di suatu wilayah
atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga
penularan penyakit tular vektor dapat dicegah. Jadi pada dasarnya
Page 2
pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit (pengganggu)
untuk memutuskan rantai penularan antara sumber penyakit dengan
manusia atau mencegah tertularnya suatu penyakit menular kepada
manusia melalui peranan vektor penyakit.
Upaya pengendalian vektor lebih dititikberatkan pada
kebijakan pengendalian vektor terpadu melalui suatu pendekatan
pengendalian vektor dengan menggunakan satu atau kombinasi
beberapa metode pengendalian vektor; Pengendalian Vektor Terpadu
(PVT) merupakan pendekatan yang menggunakan kombinasi
beberapa metode pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan
azas keamanan, rasionalitas dan efektifitas pelaksanaannya serta
dengan mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya (Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2014 tentang
Kesehatan Lingkungan).
Pengendalian vektor terpadu dilatarbelakangi karena masalah
penggunaan pestisida sintetis yang semakin mahal dan beresiko bagi
manusia dan lingkungan. Pengendalian vektor terpadu
mengintegrasikan semua cara pengendalian hama yang potensial,
ekonomis, efisien dan ekologis untuk mengedalikan serangga (vektor)
pada tingkat yang tidak membahayakan.
Hal-hal yang harus diperhatikan adalah bahwa program
pengendalian vektor terpadu dilaksanakan dalam kurun waktu
tertentu, bukan insidental, populasi vektor (hama) harus dimonitor
secara berkala, tempat perindukan dan perilaku vektor harus dapat
diidentifikasi, strategi, metode serta teknik pengendalian harus
bijaksana dan tepat guna, masyarakat perlu dilibatkan sejauh
mungkin.
Hasil yang diharapkan dalam pengendalian vektor secara
terpadu adalah :
Page 3
3. Penggunaan metode non – pestisida dapat ditingkatkan dimana
mungkin diterapkan
4. Keseluruhan program pengendalian itu efektif, efisien, aman, tidak
berbahaya dan diterima masyarakat
Page 4
C. Faktor Yang Menentukan Keberhasilan Pengendalian Vektor dan
Binatang Pengganggu.
Page 5
a) Perkawinan atau berkembang biak, mencari makan dan lamanya
hidup.
b) Mencari tempat berlindung dan bersarang.
c) Kegiatan diwaktu malam dan siang hari.
d) Pemilihan mangsa yang menjadi sasaran
e) Didalam rumah dan diluar (iklim, suhu, kelembaban, pencahayaan
alami dan non alami, dll)
f) Daya tahan terhadap pestisida
3. Pemilihan metode pengendalian.
4. Pemilihan jenis pestisida yang akan digunakan jika direncanakan
akan menggunakan pestisida.
5. Pemilihan peralatan aplikasi yang tepat.
6. Teknik aplikasi pestisida yang benar.
7. Keterampilan Tenaga Pelaksana (SDM)
D. Ringkasan.
1. Latar Belakang.
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 7
MATERI 2
Pengendalian Vektor Penyakit Malaria
A. Latar Belakang
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 8
Pengendalian Vektor Penyakit Malaria diawali dengan pengenalan
wilayah (Geographical Reconnaisance) yang meliputi pemetaan langsung
penduduk dan survei tambahan untuk menentukan situasi tempat tinggal
penduduk dari suatu daerah yang dicakup oleh program pengendalian
malaria, pemetaan tempat perindukan, dan aplikasi /penerapan metoda
intervensi : penyemprotan rumah dengan insektisida, penggunaan kelambu,
larviciding, penyebaran ikan pemakan larva nyamuk, pengelolaan lingkungan,
pelatihan SDM. Keterangan yg perlu dikumpulkan tentang wilayah adalah:
Dimana suatu objek (bangunan) berada dan bagaimana cara mencapainya,
Keadaan jalan (dapat dilalui kendaraan roda 4 atau tidak), Ukuran jarak dari
suatu objek (bangunan) ke objek yang lain, Sifat topografi (Daerah datar,
Daerah bergunung, Sumber air seperti sungai, danau, rawa-rawa, sumur,
Tempat perindukan vektor). Sedangkan keterangan yang perlu diketahui
tentang rumah adalah : Letak rumah dan nomor urutnya, Jumlah rumah, Tipe
rumah, Bahan bangunan untuk dinding, langit-langit dan atapnya, Rumah
permanen, sementara, rumah panggung, Luas permukaan rumah yang harus
disemprot, Jumlah kandang dan ternaknya, Letak dan jumlah masjid, gereja,
pos kamling, dangau dan bangunan-bangunan yang digunakan untuk
kegiatan malam hari.
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 9
pemukiman penduduk, Batas wilayah desa/dusun, Garis pantai (bila di
kawasan pantai), Keterangan simbol/kode yang dipakai dalam peta, Tanggal
pembuatan peta, Dilampiri dengan Jumlah Tempat Perindukan, Tipe Tempat
Perindukan, dan Luas Tempat Perindukan.
Peta Tempat Perindukan dibuat atau direvisi pada saat Tempat
Perindukan potensial yang diperkirakan dengan : Grafik median data
klinis/kasus positif selama 3-5 tahun terakhir di Puskesmas setempat.
Pemetaan dilakukan 1-2 bulan sebelum puncak grafik tersebut, Grafik median
indeks curah hujan 3 tahun terakhir. Melihat kondisi lingkungan Tempat
Perindukan di pantai antara lain terdapat ganggang / lumut di permukaan air.
Dalam satu wilayah desa/dusun, bila terdapat 2 tipe Tempat Perindukan yang
potensial pada musim berbeda, harus dilakukan 2 kali pemetaan yaitu pada
musim kemarau dan musim hujan.
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 10
Gambar 2. Habitan An. aconitus donitz
KARAKTERISTIK
1. JANGKAUAN LUAS DI SEKITAR KAKI GN. WILIS DAN SEBAGIAN PERSAWAHAN DI JATIM
2. VEKTOR UTAMA PENYAKIT MALARIA DI JATIM.
HABITAT
1. SAWAH TERAS SIRING BERBUKIT & PEMBUANGAN IRIGASI AREA PERSAWAHAN.
2. ALIRAN AIR YANG MENGALIR KE DUSUN KECIL DAN SAWAH
3. PEBIAKAN AIR TERMASUK DENGAN VARIASI ALGAE DAN TANAMAN AIR.
KEBIASAAN
1. MAKAN DI LUAR RUMAH 3 KALI LEBIH TINGGI DARI DLM RUMAH (EXOPHAGIC)
2. WAKTU MAKAN (MENGHISAP DARAH) DI PARUH PERTAMA DIBAWAH PUKUL 22.00.
3. MAYORITAS DITEMUKAN DIKANDANG DI PARUH KEDUA MALAM (ZOOPHILIC)
KEBIASAAN ISTIRAHAT
1. SIANG HARI (BERSIFAT EXOPHILIX), DALAM RUMAH 5 % DAN KANDANG 22 %,
2. DISEPANJANG ALIRAN SUNGAI I DAN PEMBUANGAN IRIGASI
JARAK TERBANG.
JARAK TERBANG 1 – 2 KM DARI PERINDUKAN
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 11
Gambar 3. Habitan An. malculatus
KARAKTERISTIK
1. DITEMUKAN DI TRENGGALEK, SAMBONG PACITAN DAN SEKITAR KAKI GUNUNG WILIS
2. VEKTOR UTAMA MALARIA DI JAWA-BALI DAN SEBAGIAN SUMATRA
HABITAT
1. GENANGAN AIR JERNIH DIDAERAH PENGUNUNGAN DAN LEBIH SUKA BILA ADA TANAMAN AIR
DAN KENA SINAR MATAHARI.
2. BERUPA MATA AIR,KOLAM KECIL,SUNGAI KECIL YANG MENGALIR PERLAHAN, KOBAKAN
KECIL DIDASAR SUNGAI SAAT MUSIM KEMARAU.
KEBIASAAN
1. MENGIGIT DI DALAM ATAU DI LUAR RUMAH
2. LEBIH SUKA DARAH HEWAN TAPI JUGA MANUSIA BILA POPULASI HEWAN SEDIKIT
3. PENGGIGITAN TERJADI DI MALAM HARI MULAI PUKUL 21.00 – 03.00
4. JARANG DITEMUKAN HINGGAP DIDINDING PADA MALAM HARI
KEBIASAAN BERISTIRAHAT
ISTRIRAHAT DI DALAM MAUPUN LUAR RUANGAN
JARAK TERBANG
JARAK TERBANG NYAMUK SEKITAR 2 KM DARI TEMPAT PERINDUKAN
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 12
Gambar 4. Habitan An. sundaicus Rodenwaldt
KARAKTERISTIK
1. TERSEBAR DI SEBAGIAN PANTAI JAWA TIMUR DARI PANTAI TELENG PACITAN SAMPAI
PLENGKUNG BANYUWANGI.
2. DI PANTAI TELENG MENINGKAT PADA BULAN SEPTEMBER – NOPEMBER DAN KEPADATAN
TINGGI DI DAMPAR LUMAJANG
3. VEKTOR UTAMA MALARIA DI DAERAH PESISIR SELATAN JAWA TIMUR ( KOPEM )
HABITAT
1. DI JAWA TIMUR PERINDUKAN DI TAMBAK,DANAU,RAWA,REMBESAN AIR DENGAN ALGAE DAN
GENUS ENTEROMORPHA DAN HETEROMORPHA DAN RERUMPUTAN AIR LAINNYA,
TERUTAMA SPESIES PESISIR,LEBIH MENYUKAI ADANYA SINAR MATAHARI ( PROSES
FOTOSINTESIS )
2. DITAPANULI SELATAN,PEMBIAKAN DI AIR SEGAR KOLAM PEDALAMAN TERDIRI DARI VARIASI
ALGAE DAN TANAMAN AIR.
KEBIASAAN
1. KEBANYAKAN ANHROPOPHILIC, SUKA DARAH MANUSIA DARIPADA HEWAN.
2. MENGIGIT DIDALAM DAN DILUAR RUMAH.
3. MENGIGIT SEPANJANG MALAM DAN PUNCAK GIGITAN SETELAH PUKUL 22.00.
4. HINGGA DIDINDING RUMAH SEBELUM DAN SESUDAH MENGIGIT.
KEBIASAAN BERISTIRAHAT
ISTRIRAHAT DI DALAM DAN LUAR RUANG, TEMPAT PERISTIRAHATAN MUNGKIN MENGALAMI
PERUBAHAN
JARAK TERBANG
JARAK TERBANG NYAMUK LEBIH DARI 2 KM DARI PERINDUKAN
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 13
Gambar 5. Habitan An. subpictus
KARAKTERISTIK
1. TERSEBAR DI SEBAGIAN PANTAI JATIM DARI PANTAI TELENG PACITAN SAMPAI PLENGKUNG
BANYUWANGI.
2. DI PANTAI TULUNGAGUNG KEPADATAN TINGGI DI PANTAI KALIDAWIR,SIDEM DAN POPOH
KEC.BESUKI
3. VEKTOR UTAMA MALARIA DI DAERAH PESISIR SELATAN JAWA TIMUR ( KOPEM )
HABITAT
DI JAWA TIMUR PERINDUKAN DI TAMBAK,RAWA,GENANGAN AIR PAYAU SEPERTI KESUKAAN
An,sundaicus . DAPAT HIDUP DIGENANGAN YANG MENDEKATI TAWAR.
KEBIASAAN
1. KEBANYAKAN SUKA DARAH HEWAN DARIPADA MANUSIA
2. MENGIGIT DIDALAM DAN DILUAR RUMAH.
3. MENGIGIT SEPANJANG MALAM DAN PUNCAK GIGITAN SETELAH PUKUL 22.00.- 23.00
4. HINGGA DIDINDING RUMAH SEBELUM DAN SESUDAH MENGIGIT.
KEBIASAAN BERISTIRAHAT
ISTRIRAHAT DI DALAM MAUPUN LUAR RUANGAN
JARAK TERBANG
JARAK TERBANG NYAMUK LEBIH DARI 2 KM DARI PERINDUKAN
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 14
Gambar 6. Habitan An. barbirostris
KARAKTERISTIK
1. TERSEBAR DI SEPANJANG PANTAI DAN KAKI GUNUNG WILIS JAWA TIMUR
2. VEKTOR SEKUNDER PADA PENULARAN MALARIA ,HASIL PENELTIAN PUSAT JAKARTA.
HABITAT
SAWAH DAN SALURAN IRIGASINYA, KOLAM DAN RAWA-RAWA DENGAN AIR TAWAR.
KEBIASAAN
1. KEBANYAKAN ZOOPHILIC, SUKA DARAH HEWAN DARIPADA MANUSIA.
2. MENGIGIT DIDALAM DAN DILUAR RUMAH.
3. MENGIGIT SEPANJANG MALAM DAN PUNCAK GIGITAN SETELAH PUKUL 23.00 = 05.00
4. HINGGA DIDINDING RUMAH SEBELUM DAN SESUDAH MENGIGIT.
KEBIASAAN BERISTIRAHAT
ISTRIRAHAT DI DALAM MAUPUN LUAR RUANGAN, TEMPAT PERISTIRAHATAN MUNGKIN
MENGALAMI PERUBAHAN
JARAK TERBANG
JARAK TERBANG NYAMUK LEBIH DARI 2 Km DARI PERINDUKAN
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 15
C. Penerapan Metoda Intervensi
Metoda intervensi pada pengendalian vector malaria diantaranya
adalah : penyemprotan rumah dgn insektisida, penggunaan kelambu,
larviciding, penyebaran ikan pemakan larva nyamuk, pengelolaan lingkungan.
1. Penyemprotan Rumah Dengan Insektisida
Penyemprotan rumah dgn effek residual / IRS (indoor residual
spraying) : suatu cara pemberantasan vektor dengan menempelkan racun
serangga tertentu dengan jumlah (dosis) tertentu secara merata pada
permukaan dinding yg disemprot. Cara ini masih dipakai karena paling
cepat & besar manfaatnya untuk memutuskan rantai penularan.
Sasaran penyemprotan meliputi sasaran lokasi dan sasaran
bangunan. Sasaran Lokasi meliputi daerah desa endemis malaria tinggi,
desa dgn angka positif malaria >5 per seribu penduduk, adanya bayi
positif malaria, daerah potensial KLB, Pernah terjadi KLB 2 tahun terakhir,
terjadi perubahan lingkungan hingga memungkinkan adanya tmpat
perindukan, Daerah bencana, Bercampurnya penduduk dari daerah non
endemis dgn daerah endemis, Penanggulangan KLB, Daerah yg terjadi
peningkatan kasus, Adanya kematian karena malaria. Sasaran bangunan
meliputi semua bangunan yg pada malam hari digunakan sbg tempat
menginap atau kegiatan lain (mesjid, gardu ronda), kandang ternak besar
sekitar rumah tinggal.
Penyemprotan rumah efektif bila, penularan terjadi di dalam rumah
(indoor biting, kejadian bayi positif), vektor resting di dinding, penduduk
menerima penyemprotan dan tidak berada di luar rumah malam hari,
penyebaran rumah tidak menyulitkan operasional penyemprotan. Waktu
pelaksanaan penyemprotan harus berdasarkan datas kasus malaria yaitu :
2 bulan sebelum puncak kasus dan data pengamatan vektor yaitu 1 bulan
sebelum puncak kepadatan vektor.
2. Penggunaan Kelambu
Penggunaan kelambu dalam program pengendalian malaria adalah
dalam rangka melindungi pemakai kelambu dari gigitan dan membunuh
nyamuk yang hinggap pada kelambu untuk mencegah terjadinya
penularan (Satu kelambu untuk 2 orang dewasa). Sasaran penggunaan
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 16
kelambu dari aspek lokasi adalah : Daerah atau desa endemis tinggi
malaria, Desa terpencil (remote), Desa / dusun terjadi KLB, Di daerah
yang penyemprotan rumah tidak efektif. Dari aspek penduduk adalah : Ibu
hamil, Bayi dan anak balita, Keluarga miskin.
Agar program ini efektif perlu dipertimbangkan hal berikut:
a. Masyarakat mau menerima pemakaian kelambu.
b. Dari hasil pengamatan entomologi menunjukan adanya kebiasaan
menggigit & istirahat di dalam rumah (endofilik dan endofagik).
c. Daerah tsb memiliki angka malaria tahun terakhir masih tetap tinggi.
d. Pelaksanaan penyemprotan rumah tidak mungkin dilakukan karena
transportasi yg sulit / daerah sulit dijangkau.
e. Konstruksi rumah yg tidak cukup melindungi penghuninya dari gigitan
nyamuk.
f. Kebiasaan tidur masyarakat lebih malam
3. Larvasida
Larvasida adalah aplikasi pestisida untuk larva pada tempat
perindukan potensial vektor guna membunuh / memberantas larva
nyamuk dgn menggunakan bahan kimia seperti Diflubenzuron (Andalin /
Dimilin) atau agen biologis Bacillus thuringiensis H-14 (Bti H-14).
Diflubenzuron adalah suatu zat penghambat pembentukan chitin. Apabila
larva nyamuk terkena dosis yang cukup, maka larva akan mati pada waktu
menjadi pupa atau dapat menetas menjadi nyamuk tidak normal yg tidak
dapat terbang. Sedangkan Bti H-14 adalah sejenis bakteri yang sporanya
bersifat racun / toksin terhadap larva nyamuk. Larva nyamuk akan mati
apabila memakan / menelan toksin ini. Jadi racunnya merupakan racun
perut. Karena itu tidak berpengaruh terhadap larva instar IV akhir dan
pupa yg istirahat makan.
Waktu aplikasi larvaciding ditentukan sebagai berikut:
a. Lagun yang terbentuk dari muara sungai yang tertutup pasir, waktu
aplikasinya adalah : Awal kemarau sampai awal musim hujan atau,
Sejak menutup sampai terbuka kembali karena banjir diwaktu hujan.
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 17
b. Genangan air asin di pantai yang terbentuk oleh air laut pasang, waktu
aplikasi adalah : Sejak awal hingga akhir musim hujan atau, sejak air
mulai menjadi payau.
5. Pengelolaan Lingkungan
Pengelolaan lingkungan dalam pengendalian malaria yang
menyangkut tindakan anti larva meliputi:
a. Modifikasi lingkungan (Penimbunan dan Pengeringan).
b. Manipulasi Lingkungan (Pembuatan saluran penghubung, Pengaturan
pengairan dan penanaman / pencegahan penebangan phon bakau di
tempat perindukan).
MODUL BAHAN AJAR MK “PENGENDALIAN VEKTOR DAN BIATANG PENGGANGGU –B” Page 18