Anda di halaman 1dari 8

Toksin Clostridium botulinum

Clostridium botulinum menghasilkan toksin yang disebut neurotoksin atau BoNT


(botulinum neurotoxin). Neurotoksin ini merupakan eksotoksin karena toksin dikeluarkan
oleh bakteri ke lingkunganserta neurotoxinpaling kuat yang pernah ditemukan. Toksin
botulinum ini memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan toksin tetanus. Namun, toksin
botulinum mempengaruhi syaraf periferi karena memiliki afinitas untuk neuron pada
persimpangan otot syaraf.
Terdapat tujuh macam toksin yang berbeda beda yang dihasilkan oleh C. botulinum,
yaitu tipe A, B, C, D, E, F, dan G. Tipe A, B, E, dan F dapat menyebabkan botulisme pada
manusia. Tipe C dan D menyebabkan sebagian besar botulisme pada hewan. Hewan yang
paling sering terinfeksi adalah unggas liar dan unggas ternak, sapi, kuda, dan beberapa jenis
ikan. Walaupun tipe G telah diisolasi dari tanah di Argentina, belum ada kasus yang
diketahui disebabkan oleh strain ini. (Arnon, S. 2001)

Mekanisme Botulinum
Mekanisme masuknya C. botulinum toksigenik ke dalam tubuh dapat melalui

kontaminasi luka, mulut/makanan dan inhalasi. C. botulinum yang sudah masuk dalam tubuh

dapat memproduksi toksin dalam saluran pencernaan atau jaringan tubuh yang luka karena

lingkungannya mendukung untuk pertumbuhannya. Toksin tidak diabsorbsi melalui kulit yang

utuh.

Sesudah toksin diabsorbsi, maka toksin masuk dalam aliran darah dan ditransportasikan

menuju synaps cholinergik perifer terutama neuromuscular junction. Pada tempat ini, heavy

chain toksin berikatan dengan membran neuronal pada bagian presynaptic synaps perifer. Toksin

kemudian memasuki sel neuronal melalui receptor-mediated endocytosis. Light chain dari toksin

menyeberangi membran vesikel endocytic dan memasuki sitoplasma. Di dalam sitoplasma, light

chain toksin (yaitu senyawa zinc-yang mengandung endopeptidase) memecah beberapa protein

yang membentuk synaptic fusion complex. Protein synaptic ini disebut sebagai protein soluble

1
N-ethylmaleimide-sensitive factor attachment protein receptors (SNARE), termasuk

synaptobrevin (terpecah oleh toksin tipe B, D, F dan G), syntaxin (terpecah oleh toksin tipe C),

dan synaptosomal- associatedprotein (SNAP-25; terpecah oleh toksin tipe A, C, E).

Neurotoksin clostridial mula-mula tampak terikat pada kompleks SNARE sebelum

terjadi pemecahan. Kompleks synaptic fussion akan menyatukan vesikel synaptic (yang berisi

acetyl choline) dengan membran terminal neuron. Pecahnya kompleks synaptic fussion

mencegah vesikel mengalami fusi dengan membran, yang akan mencegah pelepasan

acetylcholine ke dalam celah synaptic. Tanpa pelepasan acetylcholine neuronal, otot yang

berhubungan tidak dapat berkontraksi dan menjadi lumpuh. Blokade pelepasan acetylcholine

dapat berlangsung beberapa bulan. Fungsi normal akan kembali dengan lambat melalui

kembalinya protein SNARE ke dalam sitoplasma atau melalui produksi synaps yang baru.

Kematian akibat botulismus secara akut terjadi karena obstruksi udara pernafasan atau

kelumpuhan otot-otot pernafasan. Pengaruh langsung botulinum neurotoxin (BoNT) pada sistem

syaraf pusat belum dapat diperlihatkan secara jelas. BoNT tidak dapat melakukan penetrasi ke

blood-brain barrier karena ukurannya yaitu 150kDa. Pengaruh BoNT pada neuromuscular

junction dan organ otot dapat mempengaruhi sistem syaraf pusat secara tidak langsung.

(DRESSLER, D. 2005)

Neurotoksin
Neurotoksin merupakan jenis racun yang menyerang system saraf. Aktivitas neurotosin

dapat dicirikan oleh kemampuan untuk menghambat neuron kontrol atas ion konsentrasi di

seluruh sel membran, atau komunikasi antara neuron di seluruh sinaps. Dengan menghambat

kemampuan untuk neuron untuk menjalankan fungsi yang diharapkan mereka intraseluler,

atau lulus sinyal ke sel tetangga, neurotoksin dapat menyebabkan penangkapan sistem saraf

2
sistemik seperti dalam kasus dari toksin botulinum, atau bahkan kematian jaringan saraf. Para

waktu yang dibutuhkan untuk timbulnya gejala setelah terpapar racun saraf dapat bervariasi

antara racun yang berbeda, berada di urutan jam untuk toksin botulinum. (BREIDENBACH,

M.A. 2004)

Botulisme

Botulisme merupakan intoksikasi, seperti halnya dengan tetanus. Toksin botulisme

diproduksi oleh Closytrodium botulinum. Botulisme adalah penyakit langka tapi sangat serius.

Merupakan penyakit paralisis gawat yang disebabkan oleh racun (toksin) yang menyerang saraf

yang diproduksi bakteri Clostridium Botulinum. Clostridium botulinum berkembang biak

melalui pembentukan spora dan produksi toksin. Toksin tersebut dapat dihancurkan oleh suhu

yang tinggi, karena itu botulisme sangat jarang sekali dijumpai di lingkungan atau masyarakat

yang mempunyai kebiasaan memasak atau merebus sampai matang.

Ada 3 jenis utama botulisme

1. Foodborne Botulisme

Disebabkan karena makanan yang mengandung toksin botulisme.

2. Wound Botulisme

Disebabkan toksin dari luka yang terinfeksi oleh Clostridum Botulinum.

3. Infant Botulisme

Disebabkan karena spora dari bakteri botulinum, yang kemudian berkembang dalam usus dan

melepaskan toksin. (Sidharta P, 2003)

Gejala Botulisme

Botulismus dapat terjadi pada manusia dan hewan dengan cara yang sama, yaitu melalui

makanan, intestinal toxico infection, dan infeksi luka. Botulismus yang tidak mendapatkan

3
pertolongan medis biasanya berakibat fatal. Kecepatan timbulnya gejala, keparahan dan lamanya

penyakit tergantung pada jumlah toksin dan tipe toksin yang masuk ke dalam tubuh. Pada

botulismus yang disebabkan oleh makanan, gejala mulai tampak beberapa jam sampai beberapa

hari (2 8 hari) setelah tertelannya makanan yang terkontaminasi. Umumnya terjadi dalam 12

72 jam setelah makan. Gejala dari foodborne botulism yang disebabkan toksin C. botulinum

serotipe A biasanya lebih parah dibandingkan dengan serotipe B dan E.

Sebagai penyakit yang berakibat neuroparalysis, botulismus merupakan penyakit akut,

simetrik, descending, flaccid paralysis pada manusia atau hewan. Yang terserang foodborne

botulismus, mula-mula memperlihatkan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, kram perut,

mulut kering dan diare. Gejala syaraf awal biasanya, menyerang syaraf bagian kepala seperti

pandangan kabur, kelopak mata jatuh, fotofobia, dan disfungsi syaraf seperti kekakuan sendi,

gangguan bicara dan tidak dapat menelan makanan. Kelemahan otot dimulai dari otot yang

menggerakkan kepala, otot lengan atas, otot pernafasan dan yang terakhir otot tungkai bagian

bawah. Kelemahan ini biasanya berlangsung secara simetrik. Kematian biasanya akibat dari

kegagalan sistem pernafasan. Gejala klinis yang timbul akibat terhirupnya toksin melalui saluran

nafas (biasanya terjadi di laboratorium) menimbulkan gejala klinis yang serupa dengan

foodborne botulism.

Kelumpuhan akibat botulismus dapat berlangsung lama. Ventilasi mekanis mungkin

diperlukan selama 2 sampai 8 minggu dan kelumpuhan dapat berlangsung selama 7 bulan. Suhu

tubuh biasanya normal. Pada penderita yang terserang senjata biologis neurotoksin botulinum

melalui aerosol atau makanan, akan terlihat gejala akut, simetrik, decending flaccid paralysis dan

kelumpuhan bola mata, jatuhnya kelopak mata, kekakuan sendi, gangguan bicara dan tidak dapat

menelan makanan. Gejala tersebut tampak setelah 12 sampai 72 jam setelah terpapar. Kecepatan

4
diagnosis, tindakan pengobatan dengan pemberian antitoksin yang sesuai akan menentukan

kesembuhan penderita.

Gejala klinis botulismus hanya berbeda sedikit antara yang terjadi pada manusia dan

hewan . Pada sapi dan kuda terlihat depresi, malas bergerak dan tidak ada nafsu makan, tidak

dapat menelan dan pakan jatuh dari mulut, kemudian terlihat adanya kembung, dan muntah.

Penyakit tidak menunjukkan gejala demam, tetapi ada flaccid paralysis, dimulai dengan

kelemahan, tremor otot dan sulit berdiri. Cara hewan berbaring juga tidak normal. Kelemahan

dari kaki belakang menjalar ke kaki depan, kepala dan leher. Mata dapat terlihat menutup, pupil

dilatasi. Diagnosis dapat mudah dilakukan dengan cara menarik lidah keluar dari rongga mulut,

dan terlihat ada kelumpuhan otot lidah. Ketidak mampuan menelan diikuti dengan kelumpuhan

otot dada dan sulit bernafas.

Clostridium botulinum berperan pada stadium awal terjadinya dekomposisi bangkai

hewan, atau bahan sayuran. Dalam kondisi anaerob dan peningkatan kondisi alkali dan suhu,

spora akan bergerminasi dan menghasilkan toksin. Ketika itik, burung air liar bermain di danau,

spora C. botulinum yang terdapat pada dasar sedimen danau tertelan. Spora ini dapat tinggal

dalam tubuh unggas tersebut untuk beberapa lama sampai saatnya unggas tersebut mati karena

berbagai sebab. Sesudah unggas mati, terciptalah suatu kondisi anaerob yang menyebabkan

aktifnya spora yang ada dalam bangkai unggas mati tersebut dan memproduksi toksin yang

mematikan. Serangga/lalat biasanya tertarik pada bangkai dan bertelur pada bangkai tersebut,

yang kemudian menjadi larva. Larva tidak terpengaruh oleh toksin, tetapi toksin terakumulasi di

dalamnya. Unggas yang kemudian memakan larva tersebut akan mati akibat toksin yang

terkandung di dalamnya. Kematian pada ayam dapat menunjukkan adanya inkoordinasi, flaccid

paralysis dari otot kaki, sayap dan leher, leher memanjang dan diare. Tidak ada lesi mikroskopik

5
atau makroskopik yang dapat diamati. Toksin C. botulinum ditemukan dari darah jantung dan

ceca. (KRUGER et al. 2012)

Pengobatan

Penderita botulisme (keracunan akibat toksin botulinin) harus segera dibawa ke


rumah sakit. Pengobatannya harus segera dilakukan meskipun belum diperoleh hasil
laboratorium untuk memperkuat diagnosis.
Langkah-langkah untuk mengeluarkan toksin agar tidak diserap ialah:
- Perangsangan muntah.
- Pengosongan lambung melalui lavase lambung.
- Pemberian obat pencahar untuk mempercepat pengeluaran isi usus.
Bahaya terbesar akibat keracunan ini ialah masalah pernafasan. Tanda-tanda vital
seperti tekanan darah denyut nadi, frekuensi nafas dan suhu harus diukur secara cara rutin.
Jika gangguan pernafasan muali terjadi, penderita harus dibawa ke ruang intesif dan
mendapatkan alat bantu pernafasan. Perawatan intensif telah mengurangi angka kematian
akibat keracunan toksin botulinin, dari 90% pada awal tahun 1900 sekarang menjadi 10%.
Mungkin pemberian makanan harus dilakukan melalui infus.
Pemberian Antitoksin tidak dapat menghentikan kerusakan secara langsung, tetapi
dapat memperlambat atau menghentikan fisik dan mental yang lebih lanjut, sehingga tubuh
dapat mengadakan perbaikan selama beberapa bulan. Anti toksin diberikan sesegera mungkin
setelah didiagnosis, pemberian ini umumnya efektif bila dilakukan dalam waktu 72 jam
setelah terjadinya gejala. Antitoksin tidak dianjurkan untuk diberikan kepada bayi, karena
efektivitasnya pada infant botulism masih belum terbukti. ( Sidharta, 2003)

Pencegahan

Dalam dunia industri dilakukan strategi penghambat pada bakteri yang bersifat
merugikan (patogen) salah satunya adalah Clostridium botulinum, dengan melakukan
pengemasan (packaging). Persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengemasan tersebut harus
memiliki sifat-sifat meliputi permeabel terhadap udara (oksigen dan gas lainnya),
bersifat non-toksik dan inert (tidak bereaksi dan menyebabkan reaksi kimia) sehingga dapat
mempertahankan warna, aroma, dan cita rasa produk yang dikemas, kedap air (mampu

6
menahan air atau kelembaban udara sekitarnya), kuat dan tidak mudah bocor, relatif tahan
terhadap panas dan mudah dikerjakan secara massal dan harganya relatif murah. Makanan
adalah produk yang membutuhkan perawatan dan pengemasan khusus. Dalam mengemas
makanan, kita tak boleh salah pilih, karena jika makanan dikemas dengan asal-asalan,
hasilnya akan berantakan. Makanan jadi cepat membusuk dan masa simpannya lebih pendek.
Untuk mengemas makanan, anda memerlukan mesin pengemas kedap udara. Dengan
pengemas kedap udara (vacuum), bakteri-bakteri yang menyukai tempat seperti makanan
akan dapat dihindari.
Beberapa pencegahan yang bisa dilakukan oleh konsumen diantaranya adalah selalu
memperhatikan batas kadaluarsa makanan kaleng serta memasak pangan kaleng dengan
seksama (rebus dan aduk selama 15 menit), simpan pangan dalam lemari pendingin terutama
untuk pangan yang dikemas hampa udara dan pangan segar atau yang diasap. Hindari pula
mengkonsumsi pangan kaleng yang kemasannya telah menggembung. Uji bau dapat
dilakukan dengan cara mencium bau makanan tersebut, jika baunya sudah menglami
perubahan lebih baik tidak mengkonsumsi makanan kaleng tersebut.

7
Daftar Pustaka

Arnon, S.S., R. Schetcher and K. Tonat. 2001. Botulinum toxin as biological weapon. JAMA.

BREIDENBACH, M.A. and A.T. BRUNGER. 2004. Substrate recognition strategy for
botulinum neurotoxin serotype A. Nature.

DRESSLER, D., F.A. SABERI and E.R. BARBOSA. 2005. Botulinum toxin:mechanisms of
action. Arq. Neuropsiquiatr.

KRUGER, M., A.G. HERRENTHEY, W. SCHRODL, A. GERLACH and A. RODLOFF. 2012.


Visceral botulism at dairy farms in Schleswig Holstein, Germany- Prevalence of Clostridium
botulinum in feces of cows, in animal feeds, in feces of the farmers and in house dust.

Sidharta P, Mardjono M, 2003, Neurologi klinis dasar, Dian Rakyat Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai