1. Eksotoksin
Merupakan toksin yang dikeluarkan dari tubuh sel. Pada infeksi
bakteri yang tergolong ke dalam eksotoksin, eksotoksin yang
dikeluarkannya menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh,
keadaan ini dinamakan taksoemia. Eksotoksin mudah dipisahkan dari
sel bakteri dengan jalan penyaringan. Kebanyakan eksotoksin mudah
terurai dengan perebusan atau penyinaran yang kuat. Eksotoksin
tidak begitu berbahaya jika tertelan, akan tetapi akan berbahaya jika
masuk dalam peredaran darah. Pengalaman menunjukkan bahwa,
penyuntikan binatang dengan sedikit eksotoksin menyebabkan
timbulnya zat antitoksin dalam tubuh binatang tersebut. Antitoksin
ini tidak membunuh bakteri, akan tetapi hanya sekadar menawar
toksinnya saja. Inilah prinsip pengobatan dengan serum (serum
therapy).
Menurut Ehrilich,eksotoksin mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
- Mudah dilarutkan dalam air.
- Termasuk golongan protein, meskipun tidak memberikan semua
putih telur dan dengan larutan sulfas magnesikus yang pekat
membuat endapan.
- Bila disuntikkan kepada jasad hidup yang peka, jasad ini akan
menjadi sakit sesudah masa inkubasi tertentu dan menunjukkan
gejala dan mengenai alat-alat tertentu.
- Kekuatan toksin untuk memberi dampak sakit dapat hilang jika
dipanaskan pada 56 (bersifat termolabil). Akan hilang juga
kekuatannya apabila disimpan dalam waktu yang lama dalam
suhu kamar atau dicampur dengan bahan kimia.
- Bila toksin disuntikkan kepada jasad hidup, maka jasad ini di
dalam badannya akan membuat bahan-bahan penentang
(antitoksin).
2. Eksotoksin
Merupakan toksin yang tidak dikeluarkan dari tubuh sel namun tetap
diproduksi dan tersimpan didalam tubuh sel. Banyak juga bakteri
yang tidak menghasilkan eksotoksin, meskipun sifatnya sangat panas.
Dalam hal ini dianggap bahwa bakteri itu dapat menyebabkan sakit
apabila bahan-bahan toksin keluar setelah bakteri itu mati atau
hancur, toksin tersebut dinamakan endotoksin dengan sifat umumnya
ialah :
- Tahan terhadap panas (termostabil), juga terhadap temperatur
yang tinggi ysng lazim dipergunakkan di dalam otoklaf.
- Menyebabkan sakit dengan gejala-gejala yang sama sehingga
tidak spesifik.
- Ada perioda inkubasi pada jasad yang disuntikan racun.
Endotoksin sukar sekali penyelidikannya dan hingga beberapa tahun
lalu belum ditemukan jalan untuk memisahkannya dari bakteri. Jikadi
lewatkan suatu suspensi bakteri melalui saringan halus, maka cairan
yang lewat itu tidak mengandung toksin, akan tetapi jika kita ambil
bakteri yang sudah mati,nyatalah adanya toksin.
a. Foodborne Botulism
Makanan yang dibuat dan disediakan dari rumahan (sering
sayuran yang tidak dipasterisasi) adalah yang paling sering
banyak menyebabkan keracunan. Berikut maknan yang
termasuk dalam catatan secara geografi dan kultural:
- Bau yang kuat pada dadih kacang yang diawetkan di Cina
(Ying&Shuyan, 1986).
- Sayuran yang dikalengkan di U.S.A (MacDonald et al,
1986)
- Daging dari hewan laut atau ikan; atau telur ikan yang
difermentasi secara tradisional di Kanada (
Hauschild&Gauvreau, 1985).
- Ham yang diawetkan (Lecour et al, 1988; Roblot et al,
1994).
- Saus produksi rumahan; kentang panggang yang dijual
dengan aluminium foil; saus keju; tumis bawang yang
diletakkan dibawah lapisan mentega; bawang putih dalam
minyak; sediaan yang diasinkan atau ikan asin.
b. Wound Botulism
Ulasan dari 40 kasus wound botulism yang telah
diterbitkan dalam literatur (Mechem&Walter, 1994)
menunjukkan bahwa kebanyakan dari kasus tergolong
dalam luka tusukan, fraktur terbuka, laserasi, luka bakar,
luka senapan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan
sayatan bedah. Toksin yang telah diisolasi dari 13 buah
kasus tersebut adalah 11 kasus tipe A dan satunnya tipe B
serta sisanya tidak dijelaskan.
c. Infant Botulism
Pada kebanyakan kasus, sumber konsumsi tidak diketahui
tapi 15% dari kasus, sumber dari madu dicurigai (Shapiro
et al, 1998). Tipe toksin pada infant botulism umumnya A
atau B, dan kelompok organismenya adalah I C.botulinum.
Dua kasus yang telah dilaporkan di USA termasuk
C.baratii yang menghasilkan suatu neurotokin yang sama
dengan tipe F dan dua kasus yang telah dilaporkan di Itali
disebabkan karna C.butyricum yang dihasilkan oleh
neurotoksin tipe E (Hatheway, 1995).
d. Adult Infectious Botulism
Dua pasien dengan tanda dan gejala klinis botulisme
menghasilkan C.botulinum tipe A dalam kultur tinja
mereka selama 119 dan 130 hari setelah onset penyakit
(Hatheway,1995).
Faktor yang terkait dengan bentuk botulisme ini adalah
operasi usus, penyakit crohn, atau paparan makanan yang
terkontaminasi sebelumnya tanpa penyakit.
e. Inadvertent botulism
Ini adalah bentuk botulisme yang lebih baru yang
disebabkan oleh penggunaan toksin untuk mengobati
gangguan gerak sistonik dan gerakan lainnya (Cherington,
1998; Bhatia et al 1999). Pada pasien dengan torticollis
yang diobati dengan botulinum A toksin yang disuntikkan
ke dalam otot leher disfagia dapat berkembang dari racun
yang menembus otot faring di dekatnya. penetrasi toksin
ke disfagia otot jauh dapat berkembang dari racun yang
menembus otot faring di dekatnya. Penetrasi toksin ke otot
jauh atau kelemahan umum karena distribusi toksin
sistemik jarang terjadi (Bakheit et al, 1997; Bhatia et al,
1999).
Rute distribusi saat pemaparan diamana toksin botulinum
disbsorsi dari saluran intestinal atau bagian yang terinfeksi dan
dibawa melalui sistem limfa, dan dari saluran intestinal oleh aliran
darah dibawa ke ujung saraf otot. Tipe toksin berbeda pada
afinitasnya untuk jaringan saraf, dengan tipe A punya afinitas yang
sangat baik (Midura, 1996). Toksin harus masuk pada ujung saraf
agar bisa memberikan pengaruh.
Bakteri Clostridium botulinum umum terdapat pada makanan
kaleng dengan pH lebih dari 4,6. Kerusakan makanan kaleng
dipengaruhi oleh jenis makanan dan jenis mikroba yang terdapat
didalamnya. Toksin botulinum tipe A adalah eksotoksin yang
pertama kali dapat dihablurkan. Toksin ini didapatkan pada
makanan yang basi. Orang akan mati jika meelan 0,0024 mg toksin
ini.
Kerusakan bahan pangan termasuk makanan dalam kaleng
dapat dideteksi dengan beberapa cara, yaitu:
1. Uji organoleptik dengan melihat tanda-tanda kerusakan
seperti perubahan tekstur atau kekenyalan, kekentalan,
warna, bau, pembentukkan lendir, dan lain-lain.
2. Uji fisik untuk melihat perubahan-perubahan fisik yang
terjadi karena kerusakan oleh mikroba maupun oleh reaksi
kimia, misalnya perubahan pH, kekentalan, tekstur, indeks
refraktif, dan lain-lain.
3. Uji kimia untuk menganalisa senyawa-senyawa kimia
sebagai hasil pemecahan komponen pangan oleh mikroba
atau hasil dari reaksi kimia.
4. Uji mikrobiologis, yang dapat dilakukan dengan metode
hitungan cawan, MPN, dan mikroskopis.
3. Bacillus cereus
Bacillus cereus telah dikenali sebagai salah satu penyebab
keracunan pada makanan sejak tahun 1955, sejak saat itu
mikroorganisme ini telah menarik banyak perhatian dan menjadi
salah satu penyebab keracunan pada pangan yang termasuk sering
ditemukan. Sekitar 5% dari semua kasus keracunan pangan di
Eropa tahun 1990 yang telah dilaporkan ke World Health
Organization Survaillance Programme disebabkan oleh Bacillus
cereus (WHO, 1990). Menurut data kasus jumlah minimal
Bacillus cereus yang dapat menimbulkan keracunan pada pangan
adalah sekitar 105 sel/gram pangan (CDCP,1979).
Bacillus cereus merupakan golongan bakteri gram positif
(bakteri yang mempertahankan zat warna kristal violet sewaktu
proses pewarnaan gram), aerob fakultatif (dapat menggunakan
oksigen tetapi dapat juga menghasilkan energi secara anaerobik),
dan dapat membentuk spora (endospora). Spora Bacillus cereus
lebih tahan pada panas kering dari pada pada panas lembab dan
dapat bertahan lama pada produk yang kering. Selnya berbentuk
batang besar (bacillus) dan sporanya tidak membengkakkan
sporangiumnya.
Tipe Keracunan
4. Bacillus anthracis
Antraks adalah penyakit menular akut dan sangat mematikan
yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis dalam bentuknya yang
paling ganas Antraks bermakna "batubara" dalam bahasa yunani ,
dan istilah ini digunakan karena kulit para korban akan berubah
hitam. Antraks paling sering menyerang herbivora-herbivora liar
dan yang telah dijinakkan. Penyakit ini bersifat zoonosis yang
berarti dapat ditularkan dari hewan ke manusia , namun tidak
dapat ditularkan antara sesama manusia.
Beberapa alasan yang mendasari penyakit anthrax menjadi
penting dan strategis karena: kemampuan menular yang tersifat
zoonotik, bakteri mampu membentuk spora yang mempunyai
ketahanan tinggi di lingkungan, sehingga sulit dieradikasi.
Pandangan umum anthrax identik dengan kematian menyebabkan
kepanikan tersendiri. Dewasa ini penyakit anthrax semakin
populer karena dapat digunakan sebagai senjata biologis.
Bacillus anthracis ditemukan tahun 1849 oleh Davaine dan
Bayer, dan pada tahun 1855 diidentifikasi oleh Pollender. Braver
pada tahun 1857, mampu mendemonstrasikan pemindahan
penyakit anthrax dengan melakukan inokulasi darah hewan yang
terinfeksi anthrax. Pada tahun 1877, Robert Koch mampu
membuat biak murni Bacillus anthracis, membuktikan
kemampuan bakteri tersebut membentuk endospora dan
mengenali lebih lanjut sifat-siat bakteri anthrax tersebut.
B.anthracis tersifat sebagai gram positif, non motil, bentuk
batang yang berukuran besar 1-1,3 X 3-10 mikron meter, dengan
keempat sudutnya membentuk siku-siku. Bakteri anthrax mampu
membentuk spora, bentuk oval, yang berukuran 0,75 X 1,0
mikron meter. Adanya spora tersebut tidak menyebabkan
pembengkaan sel. Sel vegetatif bakteri dilengkapi kapsula yang
erat kaitannya dengan virulensi bakteri anthrax.
Koloni Bacillus cereus di sebelah kiri, koloni Bacillus anthracis di sebelah kanan.
Toksin anthrak tersusun atas tiga protein, yaitu: protective antigen (PA)
yang berikatan dengan reseptor sel dan menjadi mediator terhadap komponen
lainnya untuk masuk ke dalam sitoplasma sel, lethal factor (LF) adalah faktor
virulensi dominan yang terkait dengan toksin, secara proteolitik menginaktifasi
mitogen-activated protein kinase kinases (MAP kinase kinases), yang sangat
penting dalam transduksi sinyal intraseluler dan edema factor (EF) yang
dinamakan karena kemampuannya dalam menyebabkan edema, suatu
calcium/calmodulin-dependent adenylate cyclase. Tiga komponen protein terpisah
tersebut, bekerja secara kombinasi biner untuk menghasilkan dua reksi yang
berbeda pada hewan percobaan: edema (PA+EF) dan kematian (PA+LF).
5. Streptococcus mutans
6. Streptococcus equi
Ardic, N., Sareyyupoglu, B., Ozyurt, M., Haznedaroglu, T., Ilga, U., 2006.
Investigation of aminoglycoside modifying enzyme genes in methicillin-
resistant staphylococci. Microbiol. Res. 161, 4954.
Cherington M (1998) Clinical spectrum of botulism. Muscle Nerve, 21: 701-710.
Ezzell, J.W., Jr.; Welkos, S.L. The capsule of Bacillus anthracis, a review. J.
Appl. Microbiol., vol. 87, no. 2, p. 250, Aug 1999.
Hatheway CL (1995) Botulism: The present status of the disease. Curr Top
Microbiol Immunol, 195: 55-75.
Hauschild AHW, Gauvreau L (1985) Food-borne botulism in Canada, 1971-84.
Can Med Assoc J.133:1141-1146.
Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan
L.N.Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa :
Nugroho & R.F.Maulany). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
hal.211,213,215.
Lecour H, Ramos MH, Almeida B, Barbosa R (1988) Food-borne botulism a
review of 13 outbreaks. Arch Intern Med, 148: 578-580.
MacDonald KL, Cohen ML, Blake PA (1986) The changing epidemiology of
adult botulism in the United States. Am J Epidemiol, 124(5): 7949.
Mechem CC & Walter FG (1994) Wound botulism. Vet Human Toxicol, 36(3):
233-237.
Mee-Marquet, N.V., Blanchard, M., Domelier, A.S., Quentin, R., Survey Study
Group of the Relais d Hygie`ne du Centre, 2004. Virulence and
antibiotic susceptibility of Staphylococcus aureus strains isolated from
various origins. Pathol. Biol. 52, 579583.
Monday, S.R., Bohach, G.A., 1999. Use of multiplex PCR to detect classical and
newly described pyrogenic toxin genes in staphylococcal isolates. J. Clin.
Microbiol. 37, 34113414.
Pesavento, G., Ducci, B., Comodo, N., Nostro, A.L., 2007. Antimicrobial
resistance profile of Staphylococcus aureus isolated from raw meat: a
research for methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Food
Control 18, 196200.
Prevot AR (1953) Rapport d'introduction du Prsident du Sous-Comit
Clostridium pour l'unification de la nomenclature des types toxigeniques
de C. Botulinum. Int Bull Bacteriol Nomenclature, 3:120-123
Ryan, K.J., J.J. Champoux, S. Falkow, J.J. Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt,
and C.G. Roy. 1994. Medical Microbiology An Introduction to Infectious
Diseases. 3 rd ed. Connecticut: Appleton&Lange. p.254.
Shapiro RL, Hatheway C, Swerdlow DL (1998) Botulism in the United States: a
clinical and epidemiologic review. Ann Intern Med, 129(3): 221-228.
Slovis CM, Jones ID. Botulism and food poisoning (1998) In Clinical
management of poisoning and drug overdose. Eds Haddon, Shannon and
Winchester. 3 rd ed. p399-406, Saunders and Co, Philadelphia.
Suesbery, N.S.; Wouds, G.F.V. Anthrax toxins. Cell. Mol. Life. Sci., vol. 55, no.
12, pp. 1599-1609, Sep. 1999.
Warsa, U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.
Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara. hal. 103-110.
Yatim, Faisal., 2004, Macam-Macam Penyakit Menular Dan Pencegahannya, 80-
86, Pustaka Populer Obor, Jakarta
Ying S, Shuyan C (1986) Botulism in China. Rev Inf Dis, 8(6):984-990.