Anda di halaman 1dari 5

Jamaah Jumat rahimakumullah

Tiada kata yang paling pantas kita senandungkan pada hari yang berbahagia ini melainkan
kata-kata syukur kepada Allah Subhanahu wa Taala yang telah mencurahkan kenikmatan
kepada kita sehingga kita berkumpul dalam majelis ini. Kita realisasikan rasa syukur kita
dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Kemudian tidak lupa kami wasiatkan kepada diri kami pribadi dan kepada jamaah semuanya,
marilah kita tingkatkan kualitas iman dan taqwa kita, karena keimanan dan ketaqwaan
merupakan sebaik-baik bekal menuju akhirat kelak.

Jamaah Jumat azzakumullah

Momentum Lebaran idhul Adha ini, kita diingatkan dengan kisah keluarga Nabi Ibrahim
alaihissalam. Kisah teladan bagi setiap rumah tangga muslim dalam menjalani kehidupan
rumah tangga. Serentetan ujian bergulir tiada henti dalam kehidupan beliau. Namun semua
itu tidak menjadikan bahtera rumah tangganya goncang, bahkan justru semakin bertambah
kuat dan kokoh perkasa.

Sekian puluh tahun lamanya keluarga Ibrahim menanti kehadiran sang buah hati. Telah
banyak linangan air mata dalam doanya untuk dikaruniai seorang putra sebagai penerus
perjuangannya. Ketika sang buah hati telah hadir dan merekah dalam hatinya, ternyata Allah
berhendak menguji keimanan Nabi-Nya.

Allah berfirman,

Artinya: Tatkala anak itu telah dewasa, Ibrahim berkata padanya, Wahai anakku sungguh
aku telah bermimpi menyembelih dirimu. Apa gerangan pendapatmu mengenai mimpi
tersebut?. Ia menjawab, Wahai ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.
Insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. QS. Ash-Shaffat
(37): 102.

Siapapun pasti akan merasa berduka ketika buah hatinya sakit dan terluka. Apalagi anak
semata wayang yang sekian puluh tahun dinanti kehadirannya diperintahkan untuk
disembelih, sebagai bukti keimanannya. Meski demikian, Nabi Ibrahim yakin bahwa mimpi
yang dialaminya adalah wahyu dari Allah. Bukan sekedar halusinasi atau bisikan setan.
Akhirnya beliaupun bertekad melaksanakan perintah Allah tersebut bersama anaknya.

Para hadirin dan hadirat rahimakumullah..

Sudah begitu banyak tulisan, ceramah dan pengajian yang mengupas berbagai pelajaran
berharga dari kisah keteladanan Nabi Ibrahim. Namun ada satu poin yang perlu kita ulang
kembali. Yakni adanya dialog dan diskusi antara orang tua dan anak dalam menjelaskan
perintah-perintah agama. Sebuah kebiasaan yang sering diabaikan dalam kehidupan keluarga
kita.
Kalau anak-anak dulu dilihat saja sudah takut. Kalau anak sekarang, capek mulut awak
becakap mereka tak peduli. Begitu komentar seorang ayah terhadap perilaku anak-anaknya.
Apa yang dia ucapkan agaknya mewakili pernyataan para orang tua. Memang saat ini
banyak orang tua bingung bagaimana cara berkomunikasi dengan anak-anaknya. Seringkali
apa yang disampaikan orang tua tidak diindahkan anak-anaknya. Masuk telinga kanan keluar
telinga kiri.

Ketika kenakalan remaja meningkat, menjadi sangat penting bagi orang tua untuk
memikirkan gaya berkomunikasi dengan anak-anaknya. Sebetulnya, orang tua bisa meniru
cara komunikasi Nabi Ibrahim dengan putranya alaihimassalam. Karena memang seni
berkomunikasi apik tersebut direkam dengan rapi di dalam al-Quran.

Jamaah shalat Jumat yang kami hormati

Banyak poin yang dapat dipetik dari kisah perjalanan hidup keluarga Nabi Ibrahim
alaihissalam, yang bisa kita terapkan dalam kehidupan keseharian kita. Demi mensukseskan
proses komunikasi antara orang tua dan putra-putrinya.

Di antaranya:

Poin Pertama: Faktor Keteladanan Nabi Ibrahim Sebagai Suami dan Ayah.

Dalam keluarganya, Nabi Ibrahim adalah kepala keluarga. Beliau membina keluarganya
sesuai dengan tuntunan dan bimbingan Allah taala.

Sebagai suami, Ibrahim berlaku adil kepada istrinya. Kedua istrinya, Sarah dan Hajar, taat
kepada Nabi Ibrahim. Kepatuhan istri tersebut tentu tidak terlepas dari kemuliaan pribadi dan
ketaatan Nabi Ibrahim alaihissalam kepada Allah taala.

Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa jika ingin ditaati oleh istri, seorang suami harus
mampu menampilkan dirinya sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab,
berkepribadian luhur, cinta pada keluarga dan berperilaku sesuai dengan tuntunan agama.

Akan sulit bagi seorang suami yang menginginkan istrinya taat dan shalehah, sementara
suami sendiri memiliki akhlak yang buruk. Akan sia-sia jika suami lebih menginginkan
istrinya berubah ke arah yang lebih baik, sementara pribadi sang suami tersebut tidak pula
mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ia lakukan. Sejatinya, ubahlah diri
sendiri, maka Allah akan mempermudah jalannya untuk mengubah orang-orang yang
dipimpinnya, termasuk istri dan anak-anaknya.

Adapun sebagai seorang ayah, Nabi Ibrahim alaihissalam tampil menjadi pendidik yang
penuh kasih sayang dan menjadi teladan.

Ibrahim membawa Ismail untuk membangun Kabah lalu tinggal di sekitarnya [QS. Ibrahim
(14): 37]. Nabi Ibrahim memberi contoh secara langsung bagaimana cara beribadah kepada
Allah, bukan sekedar nasihat.

Upaya ini seharusnya kita teladani, dengan konsisten menjadi contoh yang baik bagi anak
keturunan kita; bukan sekedar menceritakan contoh kebaikan saja. Bagaimana mungkin anak
kita akan rajin membaca Al-Quran, kalau kita sebagai orang tua tidak dekat dengan Al-
Quran

Banyak dari kita sudah berpuluh tahun mengarungi kehidupan berumah tangga. Suka dan
duka sudah kita lalui. Namun, pernahkah kita mendiskusi tentang rencana akhirat bersama
istri dan anak-anak kita? Ataukah hari-hari kita hanya dihabiskan untuk membicarakan
target-target duniawi semata. Bisnis, rumah, kendaraan, sawah, sarjana dan yang semisalnya?

Pernahkah kita meluangkan waktu untuk memperbincangkan rencana masuk surga bersama
keluarga dan jalan untuk mensukseskan rencana prestisius tersebut?

Sejauh mana kita memperhatikan ibadah, terutama shalat wajib lima waktu pasangan dan
putra-putri kita? Ataukah kita acuh tak acuh manakala sampai usia dewasa mereka belum
juga menunaikannya?

Pernahkan kita bertanya sudah berapa surat al-Quran yang anak-anak kita sudah hafal? Di
mana itu semua bisa menjelma menjadi mahkota kebesaran dan jubah kebanggaan kelak di
hari kiamat.

Pernahkah kita menumbuhkan kegemaran berpuasa sunnah pada buah hati kita, setelah
mendidik mereka untuk berpuasa Ramadhan?

Sejauh mana kita mengawasi tutur kata yang keluar dari lisan mereka? Pantaskah? Kotorkah?

Mari masing-masing dari kita menjawab berbagai pertanyaan di atas dan juga pertanyaan-
pertanyaan lain sekarang, saat masih hidup di dunia ini. Mungkin upaya itu bisa membantu
kita untuk mempersiapkan jawaban yang tepat, bila kelak ternyata kita dihadang dengan
pertanyaan-pertanyaan itu di hari kiamat di hadapan Allah taala

Poin Kedua: Adanya Dialog Kasih Sayang

Dalam dialog antara Ibahim dan Ismail, terlihat Nabi Ibrahim sangat menyayangi anaknya
dan memberi kesempatan padanya untuk bertukar pikiran. Sifat kasih sayang itu tergambar
dari pilihan kata yang digunakannya ketika menyeru buah hatinya: Ya bunayya (wahai
anakku). Penggunakan kata Ya bunayya merupakan panggilan penuh kasih sayang kepada
anaknya.

Di antara tujuan yang ingin dicapai Ibrahim dalam proses komunikasi adalah kerelaan Ismail
untuk dikorbankan. Selain itu, Ibrahim berharap Ismail mengetahui bahwa penyembelihan
itu sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Dua target yang ingin dicapai Ibrahim dalam
komunikasi itu ternyata berhasil dicapai. Hal itu disebabkan, antara lain karena adanya
kesamaan pola keimanan antara keduanya dan kepercayaan tinggi Ismail terhadap ayahnya,
yang muncul dari keteladanan Ibrahim.

Ismail percaya betul bahwa ayahnya tidak mempunyai kepentingan pribadi, kecuali semata-
mata untuk beribadah kepada Allah. Dengan pemahaman seperti itu, Ismail juga harus
mengerjakan perintah Allah, karena Ismail juga mengakui dirinya sebagai hamba Allah.
Makanya, jangankan mengajak untuk kebaikan yang menguntungkan secara lahiriah, ketika
diajak untuk mengorbankan nyawa sekali pun, sang anak pun rela tanpa banyak protes.

Namun, tentu kita berhak untuk bertanya, upaya lain apa yang dilakukan oleh Ibrahim
sehingga putranya bisa setaat itu?

Inilah pembahasan poin berikutnya:

Poin Ketiga: Untaian Doa

Seluruh kesuksesan proses pendidikan yang dilakukan Nabi Ibrahim, semua itu tidak terlepas
dari doa, usaha dan keteladanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim.

Al-Quran mengabadikan doa Nabi Ibrahim,

Artinya: Wahai Rabbku, anugerahkan kepadaku keturunan yang shalih. QS. Ash-Shaffat
(37): 100.

Hal ini mengajarkan kepada kita agar senantiasa berdoa untuk memperoleh anak yang shalih
dan shalihah. Anak adalah amanah. Namun ia bisa juga menjadi fitnah [QS. Al-Anfal (8):
28]. Karena itu, berdoa dan berlindunglah kepada Allah agar kita diberi kekuatan dan
kemampuan untuk mendidik anak yang shalih dan shalihah sehingga ia tidak menjadi fitnah
yang merugikan.

Poin Keempat: Memilih Ibu yang Baik

Doa itu juga harus diiringi dengan usaha. Usaha itu bisa berupa upaya yang ditempuh Nabi
Ibrahim dalam memilih jodoh. Hjar adalah sosok wanita yang dihiasi keimanan yang teguh,
akhlak yang mulia, taat beragama dan patuh pada suaminya.

Usaha seperti inilah yang diajarkan dalam al-Quran.

Banyak orang di zaman ini dalam memilih pasangan terlalu silau dengan penampilan luar dan
mengabaikan inner beauty (kecantikan dalam) seseorang.

Padahal Allah menegaskan bahwa seorang budak yang beriman jauh lebih berharga dari pada
seseorang yang musyrik, meskipun menarik hati.

Artinya: Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu QS. Al-Baqarah (2): 221.

Karena itu, jika menginginkan anak yang shaleh, mulailah dari memilih jodoh. Jika istri yang
dipilih biasa mengabaikan perintah Allah, bagaimana mungkin ia akan mampu mendidik
anak yang shaleh. Bukankah ibu merupakan guru pertama bagi seorang anak?







.

Anda mungkin juga menyukai