KEFARMASIAN
UU NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN
DISUSUN OLEH:
BELLA OCTAVIA M
DEASY NOVIA SARI
DIMAS AQIL FIKRINDA
DWI ELFIRA KURNIATI
IHDINA AULIA
NININ KARTIKA ULFA
NURINA KHAIRANA L
SUMINAR
TIAS PUSPITA S
YUYUN ARLITA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tenaga kesehatan menurut UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
Melalui proses yang sangat panjang dan alot, akhirnya pada tanggal
17 Oktober 2014 UU no 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan telah
disahkan dan diundangkan. Pemerintah berdalih pembentukan UU Tenaga
Kesehatan merupakan perpanjangan dari UU no 36 tahun 2009 tentang
kesehatan, dan pemerintah mengklaim bahwa ketentuan mengenai tenaga
kesehatan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan
dan belum menampung kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu
dibentuk undang-undang tersendiri yang mengatur tenaga kesehatan secara
komprehensif. Perjalanan terbentuknya undang-undang ini menuai banyak
kontroversi, terutama dari kalangan dokter dan dokter gigi, karena dinilai
melampaui mandat yang ada dalam UU Kesehatan itu sendiri.
B. Tujuan Pengaturan
2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis dalam
resep dengan obat paten.
3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep,
apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang
lebih tepat.
G. Standar Pelayanan
Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan
sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien (Menkes RI, 2014). Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian, pada Pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi:
a. Perencanaan
b. Pengadaan
c. Penerimaan
d. Penyimpanan
i. obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam
hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah
lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis
informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya
memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
ii. semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
e. Pemusnahan
i. obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis
dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker
dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
ii. pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh
Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki
surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan
dengan berita acara pemusnahan.
iii. resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun
dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker
disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan
cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan
berita acara pemusnahan resep, dan selanjutnya dilaporkan kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan
untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan,
kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan.
Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan
cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama
obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan
sisa persediaan.
g. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengandaan
(surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau
struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan
internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan
manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.
Sedangkan pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan
lainnya.
H. Kasus
UU Tenaga Kesehatan yang baru ini mendefinisikan Tenaga Kesehatan
sebagai setiap orang yang mengabadikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam tenaga medis (dokter,
dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis), tenaga psikologi klinis,
tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, Tenaga
Kesehatan masyarakat, Tenaga Kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga
keterapian fisik, tenaga keteknisan medis, tenaga teknik biomedika, Tenaga
Kesehatan tradisional , dan Tenaga Kesehatan lain.
Untuk setiap orang yang mengabadikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/ atau ketrampilan melalui pendidikan bidang
kesehatan namun pendidikannya di bawah jenjang diploma tiga disebut
Asisten Tenaga Kesehatan. Asisten Tenaga Kesehatan tersebut hanya dapat
bekerja di bawah supervisi Tenaga Kesehatan. Asisten apoteker yang lulus
SMK Farmasi dengan demikian dikelompokkan sebagai Asisten Tenaga
Kesehatan.
Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian
menurut UU Tenaga Kesehatan ini adalah apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian (Diploma D3). Tenaga teknis kefarmasian meliputi sarjana
farmasi, ahli madya farmasi, dan analis farmasi.
Permenkes 889 tahun 2011 pada Bab I (Ketentuan Umum) menyatakan
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker.
Karena termasuk Tenaga Teknis kefarmasian, sejak 2011, setiap asisten
apoteker yang akan dan telah bekerja di apotek/ pelayanan kefarmasian harus
memiliki STRTTK (Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian) dan
SIKTTK (Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian). Izin tersebut diurus
di Dinas Kesehatan kabupaten/ Kota tempat asisten apoteker tersebut bekerja.
Menurut UU No. 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, posisi
Asisten apoteker berubah. Asisten Apoteker tidak lagi disebut Tenaga
Kesehatan tetapi masuk sebagai Asisten Tenaga Kesehatan. Asisten apoteker
tidak dimasukkan tenaga kesehatan karena pendidikannya di bawah D3.
Karena bukan Tenaga Kesehatan konsekuensinya Asisten Apoteker
tidak dapat memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) Tenaga Kesehatan.
Penjelasan pasal 11 ayat 6 Draft UU Tenaga Kesehatan menyebut Tenaga
Teknis Kefarmasian meliputi sarjana farmasi, ahli madya farmasi, dan analis
farmasi. Karena tidak termasuk Tenaga Teknis Kefarmasian, asisten apoteker
tidak perlu lagi mengurus STRTTK dan SIKTTK apabila bekerja di apotek.
Bila dilihat dari fungsi membantu apoteker di apotek, tampaknya tidak
ada yang berubah . Dalam PP 51 dan Permenkes 889 wewenang dan
tanggung jawab pekerjaan kefarmasian tidak berada pada asisten apoteker,
tetapi berada pada apoteker. Wewenang yang tampaknya lenyap adalah
wewenang asisten apoteker pada tempat-tempat tertentu seperti tertera pada
PP 51 pasal 21 ayat 3: Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat apoteker,
Menteri dapat menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki
STRTTK pada sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang
untuk meracik dan menyerahkan obat kepada pasien. Karena bukan lagi
Tenaga Teknis Kefarmasian tentu berdampak hilangnya wewenang
melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada tempat-tempat tertentu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA