Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH UNDANG-UNDANG

KEFARMASIAN
UU NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN

DISUSUN OLEH:
BELLA OCTAVIA M
DEASY NOVIA SARI
DIMAS AQIL FIKRINDA
DWI ELFIRA KURNIATI
IHDINA AULIA
NININ KARTIKA ULFA
NURINA KHAIRANA L
SUMINAR
TIAS PUSPITA S
YUYUN ARLITA

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tenaga kesehatan menurut UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.

Melalui proses yang sangat panjang dan alot, akhirnya pada tanggal
17 Oktober 2014 UU no 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan telah
disahkan dan diundangkan. Pemerintah berdalih pembentukan UU Tenaga
Kesehatan merupakan perpanjangan dari UU no 36 tahun 2009 tentang
kesehatan, dan pemerintah mengklaim bahwa ketentuan mengenai tenaga
kesehatan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan
dan belum menampung kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu
dibentuk undang-undang tersendiri yang mengatur tenaga kesehatan secara
komprehensif. Perjalanan terbentuknya undang-undang ini menuai banyak
kontroversi, terutama dari kalangan dokter dan dokter gigi, karena dinilai
melampaui mandat yang ada dalam UU Kesehatan itu sendiri.

Walau demikian, pemerintah berharap dengan adanya UU Tenaga


Kesehatan ini dapat menjadi wadah perlindungan hukum bagi semua
tenaga kesehatan, bukan hanya dokter dan dokter gigi. Perbedaan dengan
adanya UU Tenaga Kesehatan ini adalah penyetaraan tenaga medis dengan
tenaga kesehatan lain, termasuk tenaga vokasi, semisal tenaga administrasi
kesehatan, teknisi gigi, perekam medis dan informasi kesehatan, bahkan
tenaga kesehatan tradisional ketrampilan (misal: tukang urut atau ahli
patah tulang). Oleh Karena itu akan dibahas lebih lanjut mengenai UU No
36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan oleh penulis.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Tenaga Kesehatan


Tenaga di bidang kesehatan terdiri atas tenaga kesehatan; dan asisten
tenaga kesehatan. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang Diploma Tiga (D3).

B. Tujuan Pengaturan

Undang-Undang ini bertujuan untuk:


1. Memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga kesehatan;
2. Mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat;
3. Memberikan pelindungan kepada masyarakat dalam menerima
penyelenggaraan upaya kesehatan;
4. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan upaya
kesehatan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan; dan
5. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan Tenaga
Kesehatan.

C. Etika Tenaga Kesehatan

Etika kefarmasian juga sangat berhubungan dengan hukum.


Hampir di semua negara ada hukum yang secara khusus mengatur
bagaimana dokter harus bertindak berhubungan dengan masalah etika
dalam perawatan pasien dan penelitian. Badan yang mengatur dan
memberikan ijin praktek apoteker di setiap negara bisa dan memang
menghukum apoteker yang melanggar etika. Namun etika dan hukum
tidaklah sama. Bahkan etika membuat standar perilaku yang lebih tinggi
dibanding hukum, dan kadang etika memungkinkan apoteker perlu untuk
melanggar hukum yang menyuruh melakukan tindakan yang tidak etis.
Hukum juga berbeda untuk tiap-tiap negara sedangkan etika dapat
diterapkan tanpa melihat batas negara. Namun pengobatan ilmiah memiliki
keterbatasan terutama jika berhubungna dengan manusia secara individual,
budaya, agama, kebebasan, hak asasi, dan tanggung jawab. Seni
pengobatan melibatkan aplikasi ilmu dan teknologi pengobatan terhadap
pasien secara individual, keluarga, dan masyarakat sehingga keduanya
tidaklah sama. Lebih jauh lagi bagian terbesar dari perbedaan individu,
keluarga, dan masyarakat bukanlah non-fisiologis namun dalam
mengenali dan berhadapan dengan perbedaan-perbedaan ini di mana seni,
kemanusiaan, dan ilmu-ilmu sosial bersama dengan etika, memiliki
peranan yang penting. Bahkan etika sendiri diperkaya oleh disiplin ilmu
yang lain, sebagai contoh, presentasi dilema klinis secara teatrikal dapat
menjadi stimulus yang lebih baik dalam refleksi dan analisis etis dibanding
deskripsi kasus sederhana.
Secara umum apoteker diharapkan dapat mengaktualisasikan
prinsip etika profesi dengan derajat yang lebih tinggi dibanding orang lain.
Prinsip etika profesi itu meliputi belas kasih, kompeten, dan otonomi.
1. Belas kasih, memahami dan perhatian terhadap masalah orang
lain, merupakan hal yang pokok dalam praktek pengobatan. Agar
dapat mengatasi masalah pasien, apoteker harus memberikan
perhatian terhadapkeluhan/gejala yang dialami pasien dan
memberikan nasehat yang meredakan gejala tersebut dengan
pengobatan dan harus bersedia membantu pasien mendapatkan
pertolongan. Pasien akan merespon dengan lebih baik jika dia
merasa bahwa apotekernya menghargai masalah mereka dan tidak
hanya sebatas melakukan pengobatan terhadap penyakit mereka.
2. Kompetensi yang tinggi diharapkan dan harus dimiliki oleh
apoteker. Kurang kompeten dapat menyebabkan kematian atau
morbiditas pasien yang serius. Apoteker harus menjalani pelatihan
yang lama agar tercapai kompetensinya. Cepatnya perkembangan
pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian dan kedokteran,
merupakan tantangan tersendiri bagi apoteker agar selalu menjaga
kompetensinya. Terlebih lagi tidak hanya pengetahuan ilmiah dan
ketrampilan teknis yang harus dijaga namun juga pengetahuan etis,
ketrampilan, dan tingkah laku. Masalah etis akan muncul sejalan
dengan perubahan dalam praktek kefarmasian, lingkungan sosial
dan politik.
3. Otonomi, atau penentuan sendiri, merupakan nilai inti dari
pengobatan yang berubah dalam tahun-tahun terakhir ini. Apoteker
secara pribadi telah lama menikmati otonomi pengobatan yang
tinggi dalam menetukan bagaimana menangani pasien mereka.
Apoteker secara kolektif (profesi kesehatan) bebas dalam
menentukan standar pendidikan farmasi dan praktek pengobatan.
Masih ada ditemukan (walaupun sedikit), apoteker yang
menghargai otonomi profesional dan klinik mereka, dan mencoba
untuk tetap menjaganya sebanyak mungkin. Pada saat yang sama,
juga terjadi penerimaan oleh apoteker di penjuru dunia untuk
menerima otonomi dari pasien, yang berarti pasien seharusnya
menjadi pembuat keputusan tertinggi dalam masalah yang
menyangkut diri mereka sendiri.
Selain terikat dengan ketiga nilai inti tersebut, etika kefarmasian
berbeda dengan etika secara umum yang dapat diterapkan terhadap setiap
orang. Etika kefarmasian masih terikat dengan Sumpah dan
Kode Etik Apoteker. Sumpah dan kode etik beragam di setiap negara
bahkan dalam satu negara, namun ada persamaan, termasuk janji bahwa
apoteker akan mempertimbangkan kepentingan pasien diatas
kepentingannya sendiri, tidak akan melakukan deskriminasi terhadap
pasien karena ras, agama, atau hak asasi menusia yang lain, akan menjaga
kerahasiaan informasi pasien, dan akan memberikan pertolongan darurat
terhadap siapapun yang membutuhkan.

D. Ruang Lingkup Etika di Apotek


1. Pelayanan resep
2. Skrinning resep
3. Konseling
4. Swamedikasi

E. Perundangan dan Tanggung Jawab Hukum Apotek


1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan
keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis dalam
resep dengan obat paten.

3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep,
apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang
lebih tepat.

4. Apoteker wajib memberikan informasi :

a. Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada konsumen.

b. Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan


masyarakat.

F. Syarat Tenaga Kesehatan


1. Menurut pasal 9 dalam UU No.36 tahun 2014 ttg Tenaga Kesehatan,
syarat kualifikasi minimum yang harus dimiliki oleh tenaga kesehatan,
yaitu Diploma Tiga (D3), kecuali tenaga medis.

2. Menurut pasal 10 dalam UU No.36 tahun 2014 ttg Tenaga Kesehatan,


syarat kualifikasi minimum yang harus dimiliki oleh asisten tenaga
kesehatan, yaitu pendidikan menengah dibagian kesehatan.

3. Menurut pasal 44 dalam UU No. 36 tahun 2014, setiap tenaga kesehatan


yang menjalankan praktik wajib memiliki STR, dimana syarat untuk
mendapatkan STR yaitu : memiliki ijazah di bidang kesehatan, memiliki
sertifikat kompetensi atau sertifikat profesi, memiliki surat keterangan
sehat fisik dan mental, memiliki surat pernyataan telah mengucapkan
janji/sumpah profesi, serta membuat pernyataan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika profesi.

G. Standar Pelayanan
Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan
sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien (Menkes RI, 2014). Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian, pada Pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi:

a. pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis


pakai.
b. Pelayanan Farmasi Klinik.
Pasal 3 ayat (2) sebagai mana dimaksud pada ayat 1, dinyatakan bahwa
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
meliputi:

a. Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan,


dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola
konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat

b. Pengadaan

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan


farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

c. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis


spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

d. Penyimpanan

i. obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam
hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah
lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis
informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya
memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
ii. semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.

iii. sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk


sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.

iv. pengeluaran obat memakai sistem FEFO dan FIFO.

e. Pemusnahan
i. obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis
dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker
dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
ii. pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh
Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki
surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan
dengan berita acara pemusnahan.
iii. resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun
dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker
disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan
cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan
berita acara pemusnahan resep, dan selanjutnya dilaporkan kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan
untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan,
kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan.
Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan
cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama
obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan
sisa persediaan.
g. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengandaan
(surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau
struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan
internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan
manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.
Sedangkan pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan
lainnya.

Pada Pasal 3 ayat (3) disebutkan bahwa pelayanan farmasi


klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuain
farmasetik dan pertimbangan klinis.
1) kajian administratif meliputi:
i. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan.
ii. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik, alamat, nomor telepon dan
paraf.
iii. tanggal penulisan resep.
2) kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
i. bentuk dan kekuatan sediaan
ii. stabilitas
iii. kompatibilitas (ketercampuran obat)
3) pertimbangan klinis meliputi:
i. ketepatan indikasi dan dosis obat
ii. aturan, cara dan lama penggunaan obat
iii. duplikasi dan/atau polifarmasi
iv. reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,
manifestasi klinis lain)
v. kontra indikasi
vi. Interaksi
Apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker
harus menghubungi dokter penulis resep.
a. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai
berikut:
i. menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep
ii. melakukan peracikan obat bila diperlukan
iii. memberikan etiket
iv. memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk
obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari
penggunaan obat yang salah.
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut:
a. sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara
penggunaan serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan
etiket dengan resep).
b. memanggil nama dan nomor tunggu pasien
c. memeriksa ulang identitas dan alamat pasien
d. menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat
e. memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait
dengan obat
f. penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik
g. memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau
keluarganya
h. membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh
Apoteker (apabila diperlukan)
i. menyimpan resep pada tempatnya
j. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.
b. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.
c. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran
dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat
dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
d. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

e. Pemantauan Terapi Obat


Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.

f. Monitoring Efek Samping Obat


Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis.

H. Kasus
UU Tenaga Kesehatan yang baru ini mendefinisikan Tenaga Kesehatan
sebagai setiap orang yang mengabadikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam tenaga medis (dokter,
dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis), tenaga psikologi klinis,
tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, Tenaga
Kesehatan masyarakat, Tenaga Kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga
keterapian fisik, tenaga keteknisan medis, tenaga teknik biomedika, Tenaga
Kesehatan tradisional , dan Tenaga Kesehatan lain.
Untuk setiap orang yang mengabadikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/ atau ketrampilan melalui pendidikan bidang
kesehatan namun pendidikannya di bawah jenjang diploma tiga disebut
Asisten Tenaga Kesehatan. Asisten Tenaga Kesehatan tersebut hanya dapat
bekerja di bawah supervisi Tenaga Kesehatan. Asisten apoteker yang lulus
SMK Farmasi dengan demikian dikelompokkan sebagai Asisten Tenaga
Kesehatan.
Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian
menurut UU Tenaga Kesehatan ini adalah apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian (Diploma D3). Tenaga teknis kefarmasian meliputi sarjana
farmasi, ahli madya farmasi, dan analis farmasi.
Permenkes 889 tahun 2011 pada Bab I (Ketentuan Umum) menyatakan
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker.
Karena termasuk Tenaga Teknis kefarmasian, sejak 2011, setiap asisten
apoteker yang akan dan telah bekerja di apotek/ pelayanan kefarmasian harus
memiliki STRTTK (Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian) dan
SIKTTK (Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian). Izin tersebut diurus
di Dinas Kesehatan kabupaten/ Kota tempat asisten apoteker tersebut bekerja.
Menurut UU No. 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, posisi
Asisten apoteker berubah. Asisten Apoteker tidak lagi disebut Tenaga
Kesehatan tetapi masuk sebagai Asisten Tenaga Kesehatan. Asisten apoteker
tidak dimasukkan tenaga kesehatan karena pendidikannya di bawah D3.
Karena bukan Tenaga Kesehatan konsekuensinya Asisten Apoteker
tidak dapat memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) Tenaga Kesehatan.
Penjelasan pasal 11 ayat 6 Draft UU Tenaga Kesehatan menyebut Tenaga
Teknis Kefarmasian meliputi sarjana farmasi, ahli madya farmasi, dan analis
farmasi. Karena tidak termasuk Tenaga Teknis Kefarmasian, asisten apoteker
tidak perlu lagi mengurus STRTTK dan SIKTTK apabila bekerja di apotek.
Bila dilihat dari fungsi membantu apoteker di apotek, tampaknya tidak
ada yang berubah . Dalam PP 51 dan Permenkes 889 wewenang dan
tanggung jawab pekerjaan kefarmasian tidak berada pada asisten apoteker,
tetapi berada pada apoteker. Wewenang yang tampaknya lenyap adalah
wewenang asisten apoteker pada tempat-tempat tertentu seperti tertera pada
PP 51 pasal 21 ayat 3: Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat apoteker,
Menteri dapat menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki
STRTTK pada sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang
untuk meracik dan menyerahkan obat kepada pasien. Karena bukan lagi
Tenaga Teknis Kefarmasian tentu berdampak hilangnya wewenang
melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada tempat-tempat tertentu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang Ketentuan


dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai