Anda di halaman 1dari 20

ETIKA DAN HUKUM YANG BERHUBUNGAN DENGAN FARMASI

KESEHATAN MASYARAKAT

I. Tujuan
1. Identifikasi prinsip etika dalam praktek kefarmasian.
2. Menjelaskan keterkaitan dari prinsip-prinsip etika kefarmasian.
3. Membandingkan kode etik apoteker dan prinsip praktek etika kesehatan
masyarakat.
4. Mendiskusikan aspek hukum dan kewajiban apoteker.
5. Menelaah permasalahan etika dan hukum apoteker dalam kesehatan
masyarakat.

II. Etika dan Hukum Farmasi Kesehatan Masyarakat


A. Pendahuluan
Hukum dan peraturan mengenai pelayanan kesehatan, jaminan
kesehatan, penelitian, perdagangan, dan obat-obatan telah menjadi ruang
lingkup dalam praktik profesi kefarmasian. Apoteker diatur oleh suatu
lembaga, di Indonesia dikenal sebagai IAI (Ikatan Apoteker Indonesia),
apoteker dipercaya untuk bertindak atas kepentingan publik dan dapat
membuat suatu keputusan tertentu. Undang-undang, peraturan, dan
harapan masyarakat menghasilkan peran dalam kesehatan masyarakat
untuk semua apoteker terlepas dari pengaturan spesifik.
Di dalam sistem pelayanan kesehatan, pelayanan kefarmasian
merupakan salah satu komponen inti dan memainkan peranan yang sangat
penting. Dengan perubahan dinamis yang terjadi di pelayanan kesehatan,
penyakit, teknologi informasi komunikasi dan regulasi, maka
meningkatkan peran dan tanggung jawab seorang apoteker. Oleh karena
itu, penting sekali untuk setiap praktisi kesehatan khususnya apoteker
memiliki pemahaman tentang hukum yang mengatur pelaksanaan praktik
dan prinsip-prinsip etika yang terkait.
B. Hukum dan Kesehatan Masyarakat
Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat.
Dimana hukum mengenai kesehatan berhubungan langsung dengan
pemeliharaan, pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hukum tentang
kesehatan masyarakat adalah tatanan hukum yang digunakan pemerintah
untuk menetapkan kebijakan kesehatan masyarakat yang mempengaruhi
kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat.
Undang-undang kesehatan masyarakat dimulai pada akhir 1800-an
dan awal 1900-an, ketika pemerintahan memberantas penyebaran wabah
cacar dan polio dengan mensahkannya vaksinasi.
Kesehatan masyarakat adalah konsep amorf yang dapat mencakup
masalah apapun yang memengaruhi kesehatan masyarakat, dan hukum
kesehatan masyarakat. Misalnya, negara yang telah menetapkan bahwa
merokok adalah risiko, dapat menerapkan beberapa kebijakan mengenai
rokok. Seperti pajak, pengalokasian dana, menetapkan usia minimum
untuk merokok, menjatuhkan denda atau hukuman bagi yang menjual
kepada anak di bawah umur, atau membatasi area publik di mana
individu dapat merokok dan mencegah orang lain terkena dampak asap
rokok.
C. Prinsip Etika dalam Praktek Kefarmasian
1. Prinsip autonomy (self-governance):
a. Menghormati hak pasien dalam menentukan sikap
b. Mencerminkan konsep bahwa professional memberikan layanan
mediknya (pengobatan) berdasarkan kehendak pasiennya.
c. Mengikutsertakan pasien pada penentuan pengobatan dan tindakan
medis.
2. Prinsip beneficence (do good):
a. Meningkatkan kesejahteraan pasiennya.
b. Mencerminkan konsep bahwa profesional dalam pekerjaannya
selalu memberikan keuntungan bagi pasiennya.
3. Prinsip non-maleficence (do no harm):
a. Menjauhi tindakan yang merugikan pasiennya.
b. Kompetensinya harus selalu dijaga tetap tinggi dan selalu
diperbarui (up-date), serta menyadari keterbatasannya.
4. Prinsip justice (fairness):
a. Selalu adil dalam mengobati pasien-pasiennya,
b. Berusaha agar semua orang mudah mendapatkan pelayanannya.
5. Prinsip Veracity (honest)
a. Selalu jujur dalam semua tindakan dan pelayanan kesehatan.
b. Memberikan informasi yang akurat, komprehensif dan objektif
6. Prinsip Fidelity (loyal)
a. Menghargai perjanjian dan komitmennya baik terhadap pasien dan
tenaga kesehatan lain
b. Menjaga kerahasiaan pasien
D. Pendekatan Etika
1. Utilitarianisme
Utilitarianisme adalah pendekatan etis yang dikategorikan
sebagai konsekuensialis, yaitu tindakan yang memberikan hasil yang
terbaik. Pendekatan ini menggunakan “utility” untuk mengukur dan
menentukan mana yang memberikan hasil yang paling baik diantara
semua pilihan yang ada.
2. Deontologi
Deontologi melibatkan aturan-aturan yang terbentuk dengan
baik yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam membuat keputusan
moral, yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan menjadi suatu
kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks
agama.
E. Kode Etik dan Prinsip Praktek Etika
American Pharmacist Associaton Code of Ethics berfokus pada
tanggung jawab apoteker terhadap pasien. Prinsip kesehatan masyarakat
mengenai kode etik apoteker menekankan prinsip-prinsip otonomi
kesetiaan, dan kejujuran terhadap pasien.
1. Kode Etik Apoteker
Apoteker adalah profesional kesehatan yang membantu
individu dalam menggunakan obat dengan sebaik-baiknya. Kode
Etik ini disiapkan dan didukung oleh apoteker. Prinsip-prinsip yang
berdasarkan pada kewajiban moral dan kebajikan, ditetapkan untuk
memandu apoteker dalam hubungan dengan pasien dan profesional
kesehatan dan masyarakat.
a. Apoteker menghormati hubungan perjanjian antara pasien dan
apoteker. Mempertimbangkan hubungan pasien-apoteker sebagai
perjanjian bahwa seorang apoteker memiliki kewajiban moral
dalam menanggapi kepercayaan yang diberikan masyarakat.
b. Apoteker mempromosikan kebaikan kepada setiap pasien dengan
cara yang peduli, penuh kasih, dan rahasia. Seorang apoteker
menaruh perhatian pada kesejahteraan pasien di pusat praktik
profesional selain yang ditentukan oleh ilmu kesehatan.
c. Seorang apoteker menghormati kemandirian dan martabat setiap
pasien. apoteker mempromosikan hak individu dengan
mendorong pasien untuk berpartisipasi dalam keputusan tentang
kesehatan mereka. Seorang apoteker berkomunikasi dengan
pasien dalam hal yang dapat dimengerti.
d. Seorang apoteker bertindak dengan kejujuran dan integritas
dalam hubungan profesional. Apoteker memiliki kewajiban
untuk mengatakan yang sebenarnya dan bertindak dengan
keyakinan hati nurani. Seorang apoteker menghindari praktik
diskriminatif.
e. Seorang apoteker mempertahankan kompetensi professional.
Seorang apoteker memiliki tugas untuk mempertahankan
pengetahuan dan kemampuan pengobatan serta teknologi seiring
kemajuan informasi kesehatan.
f. Seorang apoteker menghormati nilai-nilai dan kemampuan rekan
kerja dan profesional kesehatan lainnya. Bila perlu, seorang
apoteker meminta konsultasi dengan kolega atau profesional
kesehatan lainnya atau merujuk pasien.
g. Seorang apoteker melayani kebutuhan individu, komunitas, dan
masyarakat.
h. Seorang apoteker mencari keadilan dalam distribusi sumber daya
kesehatan serta menyeimbangkan kebutuhan pasien dan
masyarakat.
2. Prinsip Etika dalam Kesehatan Masyarakat
a. Kesehatan masyarakat terutama harus membahas tentang
penyebab awal penyakit dan kesehatan yang bertujuan untuk
mencegah penyakit yang dapat merugikan.
b. Kesehatan masyarakat harus mencapai dalam tahap
menyembuhkan dengan cara menghormati hak hak individu di
masyarakat.
c. Kebijakan, program, dan prioritas kesehatan masyarakat harus
dikembangkan dan dievaluasi melalui proses serta memastikan
peluang untuk masukan dari anggota masyarakat.
d. Kesehatan masyarakat harus mengadvokasi dan bekerja untuk
memberdayakan anggota masyarakat yang dicabut chised,
dengan tujuan untuk memastikan bahwa sumber daya dasar dan
kondisi yang diperlukan untuk kesehatan dapat diakses oleh
semua.
e. Kesehatan masyarakat harus mencari informasi yang diperlukan
untuk mengimplementasikan kebijakan dan program yang efektif
yang melindungi dan mempromosikan kesehatan.
f. Lembaga kesehatan masyarakat harus memberikan informasi
yang mereka miliki kepada masyarakat yang diperlukan untuk
pengambilan keputusan mengenai kebijakan atau program dan
harus mendapatkan persetujuan masyarakat untuk
pelaksanaannya.
g. Lembaga kesehatan masyarakat harus bertindak tepat waktu atas
informasi yang mereka miliki. Dalam sumber daya dan mandat
yang diberikan kepada mereka oleh publik.
h. Program dan kebijakan kesehatan masyarakat harus memasukkan
berbagai pendekatan yang mengantisipasi dan menghormati
beragam nilai, kepercayaan, dan budaya di masyarakat.
i. Program dan kebijakan kesehatan masyarakat harus dilaksanakan
dengan cara yang paling meningkatkan lingkungan fisik dan
sosial.
j. Institusi Kesehatan masyarakat harus melindungi kerahasiaan
informasi yang dapat membahayakan individu atau komunitas
jika dipublikasikan. Pengecualian harus dibenarkan atas dasar
kemungkinan besar kerugian yang signifikan terhadap indvidu
atau orang lain.
k. Institusi kesehatan publik harus memastikan kompetensi
profesional dari karyawan mereka.
l. Institusi kesehatan publik dan karyawannya harus terlibat dalam
kolaborasi dan afiliasi dengan cara yang membangun
kepercayaan publik terhadap efektivitas institusi.
F. Perbandingan Kode Etik Apoteker dan Prinsip Etika Kesehatan
Masyarakat
Prinsip-prinsip Etika
Prinsip Etik Kode Etik Apoteker
Kesehatan Masyarakat
Autonomy  Seorang  Kesehatan
apoteker masyarakat harus
menghormati terwujud dengan cara
otonomi dan menghormati hak-hak
martabat setiap individu dalam
pasien. masyarakat.
 Seorang  Informasi
apoteker diperlukan untuk
mempromosikan keputusan kebijakan
kebaikan setiap Persetujuan masyarakat
pasien dengan cara untuk implementasi
yang peduli, penuh mereka.
kasih, dan rahasia  Program dan
 Seorang kebijakan kesehatan
apoteker masyarakat harus
menghormati nilai- memasukkan berbagai
nilai dan pendekatan yang
kemampuan rekan mengantisipasi dan
kerja dan menghormati beragam
profesional nilai, kepercayaan, dan
kesehatan lainnya. budaya di masyarakat.
 Lembaga
kesehatan publik harus
melindungi kerahasiaan
informasi yang dapat
membahayakan
individu atau komunitas
jika dipublikasikan.
Pengecualian harus
dibenarkan atas dasar
kemungkinan besar
kerugian yang
signifikan bagi individu
atau orang lain.
Veracity  Apoteker Bertindak
dengan jujur dan
integritas dalam
hubungan professional
Fidelity  Seorang apoteker  Kebijakan, program, dan
menghormati hubungan prioritas kesehatan
perjanjian antara pasien masyarakat harus
dan apoteker dikembangkan dan
 Seorang apoteker dievaluasi melalui proses
melayani kebutuhan peluang untuk mendapat
individu, komunitas, dan masukan dari anggota
masyarakat masyarakat.
 Lembaga kesehatan
masyarakat dan
karyawannya harus terlibat
dalam kolaborasi dan
afiliasi dengan cara yang
membangun kepercayaan
publik dan efektivitas
lembaga
Justice  Seorang  Kesehatan
apoteker mencari masyarakat harus
keadilan dalam mengadvokasi ustice
distribusi sumber dan bekerja untuk
daya kesehatan. pemberdayaan anggota
masyarakat yang
kehilangan haknya.

Beneficence  Seorang  Kesehatan masyarakat


and apoteker terutama harus membahas
nonmaleficenc mempromosikan dasar-dasarnya! penyebab
e kebaikan setiap penyakit dan persyaratan
pasien dengan cara kesehatan, yang bertujuan
peduli, penuh kasih, untuk mencegah hasil
dan rahasia. kesehatan yang merugikan.
 Program dan kebijakan
kesehatan masyarakat harus
dilaksanakan dengan cara
yang paling meningkatkan
lingkungan fisik dan sosial.
G. Kode Etik Apoteker Indonesia
Landasan hukum keberadaan profesi apoteker di Indonesia di
masukkan sebagai kelompok tenaga kesehatan adalah UU RI No. 36
Tahun 2014 pasal 11 ayat (1) huruf e tentang tenaga kefarmasian dan ayat
(6). Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas
apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
Apoteker sebagai individu maupun sebagai kelompok dalam
melakukan tindakan juga harus berpegang pada moral yang baik, yang
diwujudkan dalam bentuk Kode Etik Apoteker Indonesia. Dalam
mukadimah kode etik apoteker Indonesia disebutkan :
1. Setiap apoteker dalam melakukan pengabdian dan pengamalan
ilmunya harus didasari oleh sebuah niat luhur untuk kepentingan
makhluk hidup sesuai dengan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Apoteker dalam dalam pengabdiannya serta dalam mengamalkan
keahliannya selalu berpegang teguh pada sumpah dan janji apoteker
sebagai komitmen seorang apoteker yang harus dijadikan landasan
moral dalam pengabdian profesinya.
3. Apoteker dalam pengabdian profesinya berpegang pada ikatan moral
yaitu kode etik sebagai kumpulan nilai-nilai atau prinsip harus diikuti
oleh apoteker sebagai pedoman dan petunjuk serta standar perilaku
dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Kewajiban yang timbul sebagai seorang profesi apoteker yang
ditetapkan oleh organisasi profesinya dalam Kode Etik Apoteker
Indonesia. Kewajiban apoteker yang tercantum dalam kode etik yaitu,
kewajiban umum, kewajiban apoteker kepada pasien, kewajiban apoteker
kepada teman sejawat dan kewajiban apoteker kepada tenaga kesehatan
lainnya yang secara berurutan terdapat dalam pasal (1) sampai pasal (14).
Serta kewajiban lainnya mengenai apoteker diatur dalam :
1. Undang-Undang No.36 tahun 2009 Pasal 23-24.
2. Undang-undang No.36 tahun 2014 pasal 58-60.
3. Peraturan Pemerintah 51 tahun 2009 pasal 30, 31, 37, 39 dan 52.
H. Permasalahan Etika dan Hukum yang Berhubungan dengan Farmasi
Kesehatan Masyarakat
1. Kesiapan dan Tanggung Jawab Darurat
Apoteker yang berpartisipasi dalam upaya pertolongan darurat
dapat melihat tindakan yang biasanya dianggap ilegal atau tidak etis;
mereka harus siap untuk berpartisipasi dalam peran apa pun yang
muncul dan untuk menerima ambiguitas profesional.
Masalah hukum yang berkaitan dengan kesiapsiagaan darurat
terutama terkait dengan pertanggungjawaban atas tugas profesional
yang diberikan dalam keadaan darurat. Namun, masalah
pertanggungjawaban tidak terbatas pada bidang kesiapsiagaan
darurat. Dalam kesehatan masyarakat, masalah pertanggungjawaban
dapat muncul kapan saja apoteker bertindak atas nama entri
pemerintah.
2. Administrasi Vaksinasi
Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara telah
memperluas ruang praktik bagi apoteker untuk memasukkan vaksin
administrasi. Ketika semakin banyak apoteker dilatih dan
disertifikasi dalam praktik ini, mereka perlu menyadari bahwa praktik
mereka berubah dalam fokus dari kesehatan masing-masing pasien
menjadi kesejahteraan masyarakat.
Selain mengetahui persyaratan hukum untuk pemberian vaksin,
apoteker yang terlibat dalam praktik ini juga harus menyadari
masalah hukum yang lebih luas terkait dengan vaksinasi, khususnya
masalah yang terkait dengan program vaksinasi wajib.
3. Hukuman Mati
Selama bertahun-tahun, banyak negara bagian di Amerika
Serikat telah beralih ke suntikan mematikan sebagai cara eksekusi
bagi orang-orang yang dihukum karena kejahatan yang sangat
mengerikan. Suntikan mematikan menggunakan obat-obatan yang
diresepkan untuk pemberian intravena. Oleh karena itu, apoteker
yang bekerja untuk atau kontrak dengan lembaga pemerintah dapat
diminta untuk berpartisipasi dalam memasok obat untuk eksekusi.
Halnya pro dan kontra dari partisipasi apoteker dalam eksekusi masih
diperdebatkan.
4. Bunuh diri dengan bantuan
Negara bagian Oregon dan Washington sekarang memiliki
undang-undang yang mengizinkan pasien yang sakit parah untuk
bunuh diri. Seperti halnya hukuman mati, cara bunuh diri melibatkan
penggunaan obat yang diperoleh melalui resep yang harus diisi oleh
seorang apoteker, tetapi apoteker yang berpraktik di salah satu negara
bagian ini menghadapi tantangan etis.
5. Morning After Pil (MAP)
Salah satu subyek kontroversi besar dalam beberapa tahun
terakhir adalah kewajiban seorang apoteker untuk mengeluarkan
kontrasepsi darurat. Beberapa peserta dalam debat ini percaya bahwa
apoteker berkewajiban untuk memberikan resep apa pun yang ditulis
secara hukum, sementara yang lain percaya bahwa apoteker tersebut
harus diberikan hak untuk menahan diri dari tindakan yang dianggap
tidak bermoral. Perdebatan ini terbukti sangat serius sehingga telah
menyebar ke forum publik.

III. Permasalahan Etika dan Hukum Farmasi Kesehatan Masyarakat di


Indonesia
1. Tanggung Jawab Apoteker dalam Memberikan Obat Resep Pasien
Selaku Konsumen Bila Terjadi Medication Error.
Penulisan hukum ini disusun untuk mengetahui tanggung jawab
Apoteker dalam pemberian obat resep pasien selaku konsumen bila terjadi
medication error. Tanggung jawab apoteker dalam pemberian obat resep
pasien selaku konsumen bila terjadi medication error yaitu apoteker
bertanggung jawab dengan memberikan atau mengganti obat yang benar
sesuai dengan resep yang dimaksud dan member uang ganti rugi kepada
pasien atas obat yang salah diberikan sebelumnya selain itu apoteker juga
menambahkan informasi yang lengkap tentang cara pengunaan obat, efek
samping obat.
Dalam pekerjaannya, apoteker dibina dan diawasi oleh Dinas
Kesehatandan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia). Mereka dapat
mengeluarkan sanksi organisasi dan sanksi administratif yang akan
ditujukan pada pihak apoteker bila terjadi medication error yang
merugikan pasien selaku konsumen.
Dalam hal ini juga perlu adanya pengkajian ulang terhadap PP No
51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian mengenai aturan sanksi
yang jelas bagi tenaga kefarmasian, sehingga diharapkan dimasa yang
akan dating apoteker sudah memiliki paying hukum yang jelas didalam
menjalankan profesinya.
2. Penegakan Hukum Akibat Kelalaian Apoteker dalam Menjalankan
Pekerjaan Kefarmasian
Pelaksanaan pelayanan kefarmasian di puskesmas dimana
pelayanan kefarmasian yang ada di Puskesmas masih belum sesuai
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pekerjaan
kefarmasian di puskesmas masih dikerjakan oleh tenaga non farmasi dan
informasi obat yang diberikan pasien juga belum lengkap diberikan dalam
memberikan pelayanan obat. Hal ini menjadi faktor terjadinya kelalaian.
Penegakan hukum akibat terjadinya kelalaian apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian diselesaikan dengan jalur di luar
pengadilan dengan mengedepankan hak-hak dari pasien atau korban,
dimana pasien yang mengalami kesalahan akibat kelalaian apoteker maka
langsung diselesaikan dengan mengganti obat yang salah dan apabila
terjadi efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan obat maka
dilakukan pengobatan gratis sesuai dengan ketentuan.
Dalam meningkatkan pelayanan pekerjaan kefarmasian di
Puskesmas hendaknya ada penambahan sumber daya manusia kesehatan
terutama apoteker ataupun tenaga teknis kefarmasian sedangkan untuk
meminimalisir adanya peningkatan kunjungan pasien maka diperlukan
peran aktif tenaga kesehatan lain untuk mengoptimalkan upaya kesehatan
preventif dalam menyadarkan tingkat kesadaran kesehatan di masyarakat.
Tenaga kefarmasian di Puskesmas harus selalu meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan perilaku dalam rangka menjaga dan
meningkatkan kompetensinya melalui pendidikan dan pelatihan.
3. Penegakan Hukum Pidana terhadap Malpraktek yang Dilakukan
oleh Apoteker
Penegakan hukum dalam kasus malpraktek perselisihan yang
timbul akibat kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap
penerima pelayanan kesehatan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut berdasarkan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 77, Pasal
78 dan Pasal 79. Dalam kasus malpraktek penyelesaian sengketa medis
secara negosiasi sangat beralasan dikarenakan tidak semua permasalahan
sengketa medis harus di selesaikan secara litigasi di pengadilan.
4. Praktek Kotor Bisnis Industri Farmasi dalam Bingkai Intellectual
Capital dan Teleology Theory
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali praktik kotor bisnis
industri farmasi Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
praktik kotor di sana. Bentuknya terentang mulai dari pemilihan bahan
baku tak sesuai, permainan komposisi obat, penyimpanan produk rusak
dan afkir hingga penyalahgunaan obat herbal yang disisipkan bahan
kimia. Pelanggaran etika juga terjadi pada pemasaran obat yakni dengan
melakukan kerja sama atau kontrak pribadi penjualan obat tertentu dengan
dokter, rumah sakit dan apotek. Praktik-praktik seperti ini dalam tinjauan
Intelectual Capital menunjukkan adanya pengelolaan dan pemberdayaan
IC yang tidak benar. Berdasarkan tinjauan teleology theory, praktik
tersebut termasuk dalam perilaku egoismeetis yang harus diubah menjadi
perilaku utilitarianisme.
Sebagai contoh yang terjadi di bisnis industry farmasi melanggar
dari prinsip etika kefarmasian, dimana etika kefarmasian adalah bertindak
dalam pelayanan berupa membantu orang lain, menghindari tindakan
yang menyakiti orang, menyampaikan yang sebenarnya dan bertindak
dengan integritas, hormati hak, pilihan, dan pendapat orang lain , setia
dalam hubungan dan bersikap adil. Jika praktik. Jika praktik kotor ini
tetap dilakukan maka sangat merugikan konsumen, harus diambil
tindakan tegas oleh hukum agar praktik kotor tersebut tidak terjadi lagi.
5. Budaya Hukum Apoteker dalam Memberikan Informasi, Edukasi,
dan Penyerahan Obat Keras.
Memahami dan mengkaji bagaimanakah budaya hukum apoteker
yang terbentuk berkaitan dengan pemberian informasi, edukasi, dan
penyerahan obat keras dalam meningkatkan kualitas hidup pasien dan
untuk mengkaji serta menelaah upaya-upaya yang dilakukan oleh IAI
(Ikatan Apoteker Indonesia) sebagai organisasi profesi apoteker dalam
menangani kasus tidak adanya pemberian informasi, edukasi, dan
penyerahan obat keras oleh apoteker.
Dilapangan menunjukkan masih adanya pembelian obat keras
tanpa resep dokter dan ketidakhadiran apoteker di tempat praktik saat jam
buka apotek sehingga pelayanan informasi, edukasi, dan penyerahan obat
keras tidak dilakukan oleh apoteker. Hal tersebut disebabkan karena
kesadaran dan kepatuhan apoteker terhadap Peraturan Pemerintah No.51
tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 21 ayat (2) masih rendah sehingga
terbentuklah budaya hukum yang apatis dikarenakan tidak adanya
pembinaan dan pengawasan yang ketat dari Dinas Kesehatan beserta IAI
sebagai organisasi profesi. Adapun upaya yang dilakukan oleh IAI
terhadap apoteker yang tidak hadir di apotek sehingga tidak memberikan
pelayanan informasi, edukasi, dan penyerahan obat keras dengan terus
melakukan sosialisasi kepada apoteker tentang tugas dan kewajibannya,
walaupun tidak adanya sanksi yang dibuat oleh organisasi profesi apabila
apoteker tidak melakukan pemberian informasi, edukasi, dan penyerahan
obat keras kepada pasien. Tidak adanya sanksi yang dibuat oleh
organisasi profesi menandakan bahwa kesadaran dan kepatuhan pengurus
organisasi IAI terhadap hukum masih kurang. Kesimpulan yang
didapatkan dari penelitian ini yaitu bahwa budaya hukum apoteker dalam
pemberian informasi, edukasi, dan penyerahan obat keras adalah budaya
hukum yang apatis.Untuk merubah budaya hukum apoteker yang apatis
tersebut maka perlu dilakukan sosialisasi ulang kepada apoteker dan
pemilik fasilitas pelayanan kefarmasian. IAI sebagai organisasi profesi
harus lebih mengetahui dan memahami peraturan yuridis yang berlaku
serta membuat panduan tertulis (buku saku) kepada anggota profesinya.

IV. Kesimpulan
Apoteker memiliki kesempatan untuk melayani masyarakat serta
dapat mempengaruhi kebijakan dan undang-undang. Apoteker harus
menyeimbangkan perspektif sebagai apoteker dalam bidang pengobatan dan
kewajiban apoteker dalam peran kesehatan masyarakat. Apoteker harus
mampu menerapkan etika-etika dan prinsip-prinsip kesehatan masyarakat
dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian.
DAFTAR PUSTAKA

6A Am jur 2d Constitutional Law $ 316.

Whalen v. Roe, 429 US 589 1977) (drug laws requiring central coilection
of certain information prescriptions were reasonable exercise of police power);
Coshow v. City of Escondide M 19 (2005) (fluoridation of water is reasonable
and proper excellence of police power).

Public Health Law Bench Bock for Indiana Courts. Indiana Attorney
General (2006).

Public of Health Law Bench Beok for Michigan Courts. Michigan Attorney
General Mike Cox Oa 2007).

Model State Emergency Health Powers Act, Centers for Law and the
Public's Henlth (300 Iniform Volunteer Health Practitioners Act, National
Conterence o1 Commissor-of-State Uniform Laws (2007).

Beauchamp TL, Childress JF Principles of Biomedical Ethics 3rd ed New


York Oxford Univrsini Press: 1989. 7 Garret TM, Baillie HW, Garrett RM Heaith
Care Ethics, Principles and Problems Englewood Chffs, NJ: Prentice Hall, Inc .;
1993.

Edge RS, Groves JR: The Ethics of Health Care, A Guide for Clinical
Prictice, Albany NY: Delmnar Publishers, Inc., 1994.

Sosko! Ne CL, Sieswerda LE. Ethics of Public Health In: Encyclopedia of


Public Health, The Gale Group, inc. , 2002. www.answers.com/topic/ethics-of-
public-health Accessed November 27, 2009.

Code of Ethics for Pharmacists Washington, DC: American Pharmacists


Association: 1994. www.pharmacist.cem / AM / Template.cfm? Section =
Search1 & teniplate = / CM / HTMLDisplay.cfm & ContertID = 2903. Accessed
iNovember 27, 2009.

Public Healtin ieadershi p Society. Principles of the Ethical Practice of


Prislic Hialth 'eriaa 2.2 2002 www.apha.org/IR/rdoalyres/ICED3CEA-2:7E-4185-
9CBD PD405FC668 56/0 / etnicsbrnchare.pdf Accessed November 27. 2009.

American Public Health Associated. The role of the pharmacist in public


health (policy 200614). Rezised 2006. www.apha.org'advocacy / poiicy /
policysearch / defaul him? Id = 1338. Accessed July 31, 2009.

Thomas JC. Distinguishing Public Health Ethics from Medical Ethics.


Chapel Hill, NC: Office of Continuing Education, North Carolina Institute for
Public Health, UNC School of Public Health: 2004. http:
//oce..sph.unc.edu/phethics/mcdule1/index.htm. Accessed November 27, 2009.

ASHP Policy Positions; Ethics. Bethesda, Md: American Society of


Health-System Pharmacists; 2006
www.ashp.org/Impori/PRACTICEANDPOLICY/PolicyPositionsGuidelinesBestP
ractices/Browseby Topic / Ethics / PolicyPositions.aspx. Accessed November 27,
2009.

Ruger JP Ethics in American health: ethical approaches to health policy.


Am | Public Health. 2008,98 (10): 1751-6.

Kass NE. An ethics framework for public health. Am J Public Health,


2001; 91 (11): 1776-82.

Smith M. Introduction to Public Health Ethics. Atlanta: Centers for


Disease Control and Prevention; 2005 July (cited 2008 Oct 23].
Www2.cdc.gov/phlp/docs/Public%20Health%20Ethissl.ppt.

Darragh M, McCarrick PM. Public health ethics: health by the numbers,


Kenedy Inst Ethics J. 1995 ; 2 (3) -339-58.

Ennis Crenca, 322 Md 285 (1991)


Connectirur (GSA $ 20-633), Munnesota (MSA $ 151.01, Subrd 27);
Wyoming WS! 977 $ 33 24-157; Kansar. (KSA 6 65-1635a; Pennsyivania (63 PS
5 390-9 2); Virginia (Va Code Ann $ 54.1-34081)

42 USCA 5 300AA-10

16A A 2d jur Luw 5 361.

Jacobsan, 97 US ar 26.

Jacobson, 197 US at 27-28.

Stewart DW Pharmacists and execution Am / Health Syst Pharm, 2008;


65: 2204-5.

ASHP Policy Positions: Use of Drugs in Capitai Punishment, Bethesda,


Md: American Sociely of Health-System Pharmacists; 2006.
www.ashp.org/Import/PRACTICEANDPOLICY/Policy
PositionsGuidelinesBestPractices / BrowsebyTopi / Ethics / PolicyPositions.espx
# 8410. Accessedembezez 27 27. , 2009

ASHP Policy Positions: Assisted Suicide. Bethesda. Md: American


Society of Health-System Pharmacists; 2003.
www.ashp.org/Import/PRACTICEANDPOLICY/PolicyPositionsGuidelines
BestPractices / Browseby Topic / Ethics / PolicyPositions aspx # 9915. Accessed
November 27, 2009.

ASHP statement on pharmacist's decision-making on assisted suicide


Rethesda, Md: American Society of Health System Pharmacists; 2006,
www.ashp.org/DocLibrary/BestPractices/Ethics StSuicide.aspx. Accessed
November 27, 2009.

Steinbrook R. Physician-assisted Death-from Oregon to Washington State.


N Engl J Med. 2008,359.25 13. 30. Carlin FA. Lawrenre RE, Chin MH, et al.
Religion, conscience, and control Social clinic practice N Engl) Med 2007: 356:
591-600.
Weclair MR Pharmacies. pharmaCIsts, and conscientious obiection
Kerney inst Ernies J. 2005, 16 (3): 225-SU.

Greenberger MD. Vogelstein P. Pharmacist refucals: a threat to our


commitment. Science 2005. 32 30815728E1557-8.

Fassett WE Ethics, law, and the emergency of pharmacists' responitility


for patient care. Ann Pharmacother. 2007: 41 (71264-7 54.

Cantor J, Baum K. The limits of conscientious objection-ma pharmacists


tefuse to fill prescriptions for emergency contraception? N Engl / Med 2004; 351
2068.

Warman. Laser R Pearmacists and emergency contraception N Engl | Med


2005,352: 942. 36.

Calis KA, Pucino F. Restrepo ML Pharmacists and emergency


contraception N Engl J Med 2005, 352: 942-3.

Manasse HR Pharniacists and emergency contraception N Engl J Med


2005: 352: 943 38.

45 CFR 5 88.

Charch Amend.ments, 42 'USC's 300a-7; Public Health Servi.e Act, 42


ISC $ 2: 8n: Weidon Ameniment, 122 Stat 354 75.

45 CFR $ 88.5 (e) (3) 41.

Conscience Clause, issue Brief, Washington, DC Imerican Pharmacists


Association: March 2008.

Cal Bus & Prof Code $ 733.

45 CFR S 164,512 (b) (ii).

Kode Etik Apoteker Indonesia dan Implementasi – Jabaran Kode Etik.


Putusan Kongres Nasional XVIII/2009. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
Nastiti Amelia, Bambang Eko, Aminah. 2006. Tanggung Jawab Apoteker
dalam Memberikan Obat Resep Pasien Selaku Konsumen Bila Terjadi Medication
Error. Diponegoro Law Riview. Volume 5 Nomor 2.

Mulyanto Boedi. 2016. Penegakan Hukum Akibat Kelalaian Apoteker


dalam Menjalankan Pekerjaan Kefarmasian Di Puskesmas Kabupaten Banyumas.
Magister Hukum Fakultas Universitas Jendra Soedirman. Volume 2 No 2.

Ulfa Fitria, Sanusi Husin, Damanhuri Warganegara. 2018. Penegakan


Hukum Pidana Terhadap Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Apoteker. Fakultas
Hukum Universitas Bandar Lampung.

Hermawan Sigit. 2013. Praktik Kotor Bisnis Industri Farmasi dalam


Bingkai Intellectual Capital dan Teleology Theory. Universitas Muhammadiyah
Sidoarjo. Vol 4 No 1.

Rahmah Fauzia Rizki. 2019. Budaya Hukum Apoteker dalam Pemberian


Informasi, Edukasi, dan Penyerahan Obat Keras (Daftar G). Sekolah Tinggi
Farmasi (Stf) Cirebon. Vol. 4, No. 10

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 35 Tahum 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai