Anda di halaman 1dari 3

Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam setiap

melakukan hubungan dengan sesamanya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap manusia dalam
setiap prsoes sosialnya selalu melakukan kegiatan secara bersama. Peribahasa tidak selalmanya
kita bisa melakukan sesuatu dengan tangan kita sendiri, kita membutuhkan tangan orang lain
untuk menyelesaikan sesuatu itu, peribahasa ini merupakan suatu fakta sosial yang selalu
mewarnai sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Dari pengertian ini, kemudian menciptakan suatu relitas yang muncul dengan sendirinya,
yaitu suatu realitas di mana masyarakat bisa terbentuk, atau sebagai suatu realitas yang terbentuk
dari interaksi-interaksi dan komunikasi yang terjalin antarmanusia (Plummer, 2011:24). Selama
manusia (individu-individu) selalu bergantung pada individu lain, selama itu juga individu-
individu tersebut hidup dalam suatu kelompok (masyarakat) dengan segala kompleksitasnya.
Tentunya, setiap individu dalam melakukan interaksinya dan/atau komunikasi dengan
individu lain juga menggunakan objek-objek tertentu sebagai tanda dari makna-makna yang
ingin ia sampaikan kepada lawan interaksinya. Tanpa itu, seseorang atau orang lain tidak akan
bisa mengerti apa yang dimaksud dari individu tersebut. Objek-objek ini dapat berupa bahasa
verbal yang mereka gunakan atau benda-benda yang memakili mereka dalam berkomunikasi.
Sebelumnya, dalam melihat suatu realitas (hubungan sosial) yang terjadi dalam
kehidupan manusia ini. Penulis tertarik dengan penjelasan Plummer (2011) dengan apa yang
disebutnya Sosiologi 3T Sosiologi Tomat, Sosiologi Toilet, dan Sosiologi Telepon.1 Di mana
dalam penjelasan Plummer tersebut, ketiga benda (tomat, toilet, dan telepon) mampu
menciptakan suatu realitas sosial yang seringkali tidak kita sadari. Menurut Plummer, ketiga
jenis barang (stuff) tidak hanya sekedar barang yang sering kita jumpai dalam setiap keseharian
kita. Melainkan barang-barang tersebut terdapat suatu makna sosial yang dikonstruksi dan
direkayasa serta memiliki nilai sosial di dalamnya.
Dengan penjelasan tersebut, kemudian penulis tertarik untuk melihat hubungan sosial
remaja dikonstruksi oleh suatu barang stuff yang bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu parfum (minyak wangi). Sering kali kita memandang parfum hanya sebagai suatu
barang kebutuhan sehari-hari setiap manusia dan digunakan untuk memenuhi hasratnya akan
suatu penampilan (fashion). Akan tetapi, jika ditelaah lebih dalam lagi, sesungguhnya parfum
ini menyimpan suatu realitas sosial yang lebih dari sekedar minyak wangi. Parfum dalam

1
Baca Plummer dalam Sosiologi The Basic, hlm 14.
makna sosialnya, merupakan suatu barang sosial yang diproduksi untuk menarik perhatian lawan
jenis dalam melakukan hubungan sosialnya.
Sering kali parfum juga bisa membentuk suatu status sosial seseorang. Ia rela
mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk memperoleh produk ini hanya untuk menandai staus
sosialnya dalam kehidupan masyarakat. Dengan harga tersebut, tentunya orang lain bisa
membayangkan berapa jumlah kekayaan yang ia miliki, serta berapa jumlah kekayaan yang bisa
habiskan sehari-hari dalam setiap memenuhi hasratnya untuk berpenampilan.
Contoh kasus lain yang lebih ekstrim yang susah untuk kita telaah dengan pikiran logis,
adalah tentang seseorang yang rela mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk mendapatkan jenis
parfum berasal dari Turki. Sesungguhnya parfum ini ia gunakan hanya untuk bekerja
(semacam pekerjaan yang berkaitan dengan dunia spiritual kaitannya dengan fanitisme
kehidupan beragama).2 Pertnyaannya adalah mengapa ia menggunakan parfum jenis ini
dengan harga ratusan juta rupiah hanya pada saat tertentu (bekerja)? Untuk menjawabnya tentu
kita harus melakukan sebuah research untuk menjawab permasalahan ini.
Sebagai pengecualian, penulis tidak akan membahas masalah tersebut di atas tadi.
Melainkan penulis ingin melihat bagaimana parfum mampu merekayasa perilaku sosial remaja
dalam hubngan sosialnya, serta makna apa yang terkandung dalam parfum sebagai suatu
barang (stuff) memiliki nilai sosial. Dengan memfokuskan pada remaja Kota Gorontalo, penulis
mencoba untuk menelaah realitas sosial yang timbul akibat penggunaan berbagai jenis parfum
oleh remaja Kota Gorontalo dalam menarik perhatian lawan jenis (lawan interaksinya).
Permasalahan ini kemudian penulis ramu kedalam suatu perspektif sosiologis tentang fenomena
sosial yang terjadi pada masyarakat kota.
Bisa kita bayangkan, kita akan merasa nyaman untuk berlama-lama di samping seseorang
karena ia wangi. Dalam benak mungkin kita tdak sadari sedang bertanya-tanya jenis parfum apa
yang ia gunakan. Sekalipun seseorang memiliki bentuk fisik yang ideal, tetapi bau badannya
cukup untuk membuat orang lain tidak ingin berada di dekatnya dalam waktu yang lama.
Sehingga stigma yang muncul dalam kehidupan masyarakat adalah mandi saja tidak cukup

2
Informasi ini penulis dapatkan dari hasil diskusi dengan salah seorang teman dalam membahas tentang
masalah parfum sebagai suatu barang yang cukup untuk mengacaukan dunia sosial sekarang ini. Diskusi ini
terjadi pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul 10:00 Wita di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Gorontalo.
untuk membuat penampilan kita menarik, melainkan jenis parfum yang kita gunakan mampu
menutupi kekurangan penampilan kita.
Pada konteks remaja Kota Gorontalo yang cenderung modern, sering kali tidak
menyadari bahwa pola hubungan sosial didasarkan pada penampilan (style) layaknya anak jaman
sekarang. Istilah keren bagi remaja Kota Gorontalo diadaptasi pada perkembangan kota-kota
besar lainnnya yang selalu digambarkan melalui informasi yang mereka dapatkan dari media
sosial. Untuk mendukung penampilan yang katanya agar terlihat keren tersebut, remaja Kota
Gorontalo memiliki suatu perilaku yang menggambarkan kebiasaan mereka dalam memilih
(mengkonsumsi) jenis atau merk suatu barang.

Anda mungkin juga menyukai