Anda di halaman 1dari 36

PERTEMUAN 1-6

MATERI 1
Kegiatan Belajar 1
Konsep Dasar Sosiolinguistik

1. Sosiolinguistik berasal dari kata “sosio” yang berhubungan dengan masyarakat dan
“linguistik” yakni ilmu yang mempelajari dan membicarakan bahasa khususnya unsur-
unsur bahasa dan antara unsur-unsur itu. Sosiolinguistik dapat dimaknai sebagai kajian
yang menyusun teori-teori tentang hubungan masyarakat dengan bahasa. Di samping itu,
sosiolinguistik juga mempelajari dan membahas aspek - aspek kemasyarakatan bahasa
khususnya perbedaan- perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan
faktor- faktor kemasyarakatan (Nababan 1993:2).

2. Sosiolinguistik merupakan ilmu antar-disiplin yang terdiri atas sosiologi dengan linguistik,
dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan erat. Sosiologi merupakan kajian yang
objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, lembaga- lembaga, dan
proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana
masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-
lembaga, proses sosial dan segala masalah sosial di dalam masyarakat, akan diketahui
cara- cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka
bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing- masing di dalam
masyarakat. Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari tentang bahasa, atau ilmu
yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Chaer
dan Agustina (2010:2) yang menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu
interdisipliner yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa
dalam masyarakat.

3. Sumarsono (2004:1), sosiolinguistik ditinjau dari namanya menunjukkan kaitan yang


sangat erat dari kajian Sosiologi dan Linguistik. Sosio adalah masyarakat dan linguistik
adalah kajian bahasa. Sehingga kajian sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang
dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan.

4. Fishman dalam Chaer dan Agustina (2010: 5) mengungkapkan kajian sosiolinguistik lebih
bersifat kualitatif dalam hubungannya dengan perincianperincian penggunaan bahasa yang
sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa atau dialek tertentu yang
dilakukan penutur, topik, latar pembicaraan. Sosiolinguistik memandang bahasa pertama-
tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta bagian dari masyarakat dan
kebudayaan tertentu, sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian bahasa adalah bentuk
interaksi sosial yang terjadi dalam situasi konkrit.

5. Ibrahim (1995:4), sosiolinguistik cenderung memfokuskan diri pada kelompok sosial serta
variabel linguistik yang digunakan dalam kelompok itu sambil berusaha mengkorelasikan
variabel tersebut dengan unit-unit demografik tradisional pada ilmu-ilmu sosial, yaitu
umur, jenis kelamin, kelas sosio-ekonomi, pengelompokan regional, status dan lain-lain.
Bahkan pada akhir-akhir ini juga diusahakan korelasi antara bentuk-bentuk linguistik dan
fungsi-fungsi sosial dalam interaksi intra-kelompok untuk tingkat mikronya, serta korelasi
antara pemilihan bahasa dan fungsi sosialnya dalam skala besar untuk tingkat makronya.

6. Alwasilah (1993:3-5) menjelaskan bahwa secara garis besar yang diselidiki oleh
sosiolingustik ada lima yaitu macam-macam kebiasaan (convention) dalam
mengorganisasi ujaran dengan berorientasi pada tujuan - tujuan sosial studi bagaimana
norma- norma dan nilai- nilai sosial memengaruhi perilaku linguistik. Variasi dan aneka
ragam dihubungkan dengan kerangka sosial dari para penuturnya, pemanfaatan sumber-
sumber linguistik secara politis dan aspek- aspek sosial secara bilingualisme.
Sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan organisasi
sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup perilaku bahasa saja, melainkan juga sikap-
sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan pemakaian bahasa. Dalam sosiolingustik ada
kemungkinan orang memulai dari masalah kemasyarakatan kemudian mengaitkan dengan
bahasa, tetapi bisa juga berlaku sebaliknya mulai dari bahasa kemudian mengaitkan
dengan gejala-gejala kemasyarakatan.

8. Sosiolinguistik dapat mengacu pada pemakaian data kebahasaan dan menganalisis ke


dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut kehidupan sosial, dan sebaiknya mengacu kepada
data kemasyarakatan dan menganalisis ke dalam linguistik.

MATERI 2

Kegiatan belajar 2
Petunjuk:
1) Buat Kelompok Diskusi setiap kelompok 3-4 orang.
2) Materi diskusi sebagai berikut ini.
I. BAHASA DAN MASYARAKAT
A. BAHASA DAN TUTUR
B. VERBAL REPERTOIRE
C. MASYARAKAT TUTUR
D. BAHASA DAN TINGKATAN SOSIAL MASYARAKAT
II. PELBAGAI VARIASI DAN JENIS BAHASA
A. VARIASI BAHASA
1) VARIASI DARI SEGI PENUTUR
2) VARIASI DARI SEGI PEMAKAIAN
3) VARIASI DARI SEGI KEFORMALAN
4) VARIASI DARI SEGI SARANA
B. JENIS BAHASA
1) JENIS BAHASA BERDASARKAN SOSIOLOGIS
2) JENIS BAHASA BERDASARKAN SIKAP POLITIK
3) JENIS BAHASA BERDASARKAN SIKAP POLITIK
4) LINGUA FRANCA

MATERI 3
Kegiatan Belajar 3
Bahasa Dan Komunikasi
1. Komunikasi dalam Kehidupan Manuasia
Berbagai jenis perbuatan Manusia selalu melakukan sesuatu sepanjang hidupnya. Dari
seluruh perbuatannya itu dapat dikatakan, pada manusia dapat diamati perubahan yang terus-
menerus. Namun apa yang dikatakan tentang perbuatan manusia, hanyalah apa yang nampak
dari luar. Hal-hal yang ada di belakang perbuatannya itu merupakan persoalan tersendiri dan
tidak selalu sejalan dengan perbuatan lahirnya. Dengan memperhatikan hubungan antara
sumber perbuatan dan perbuatannya serta akibat perbuatan itu dalam konteks sosialnya, maka
dapat dikenal adanya berbagai jenis perbuatan manusia.
Tidak semua yang dapat diamati dari perbuatan seseorang selalu sesuai dengan
interpretasi pengamatnya. Perbuatan yang tidak mungkin diinterpretasi lain dari apa yang
terlihat dalam prbuatannya disebut perbuatan yang noninterpretatif. Perbuatan yang diperoleh
dari hasil interpretasi pengamatannya disebut perbuatan yang interpretatif. Di samping itu
dikenal pula jenis perbuatan yang sebenarnya tidak menurut kehendak orang yang
melakukannya. Misalnya apabila seseorang jatuh, maka perbuatan itu pasti di luar
kehendaknya. Demikianjuga halnya orang yang harus membayar pajak. Namun antara
keduanya ada perbedaan. Jatuh adalah suatu perbuatan di luar kehendak seseorang dan tidak
disengaja. Sedangkan membayar pajak meskipun sebenarnya tidak dikehendakinya, tetapi
perbuatan itu dilakukan dengan sengaja.
Kesengajaan itu timbul karena rasa tanggung jawab sehubungan dengan adanya sangsi
bagi pelanggar pajak.Dengan demikian maka dapat pula dibedakan antara perbutan yang
tidak disengaja dan tidak dituntut tanggung jawab dan perbuatan yang disengaja dan
menuntut tanggung jawab. Mengigil, tertawa, menangis misalnya, ini kita berhadapa dengan
suatu gejala. Suatu gejala tidak dapat dituntut pertanggungjawaban. Tertawa yang
mengadung arti untuk mengejek; demikian pula menangis untuk minta dikasihani, dalam
peristiwa demikian tidak lagi berhadapan dengan gejala tetapi dengan lambing Lambang
adalah suatu tanda lahir yang di belakangnya terkandung maksud atau arti tertentu.Karena
sifatnya yang demikian maka lambing manuntut tanggung jawab. Demikian juga menguap,
bersin, perbuatan itu tidak disengaja dan tidak dikehendaki, tetapi karena menyangkut
kepentingan orang lain, maka kita harus mengucapkan maaf.
2. Bentuk Komunikasi dan non-Komunikasi
Pebuatan nonkomunikatif dan perbuatan komunikatif Suatu rangsangan hanya akan dapat
ditanggapi secara baik apabila antara yang memberikan rangsangan (komunikator) dan yang
menanggapi rangsangan (komunikan) mempunyai tapsiran yang sama terhadap lambang yang
dipergunakannya. Namun dalam kenyataannya perbedaan tafsir terhadap suatu lambang
masih banyak terjadi. Bahwa nengangguk itu berarti”ya” dan menggeleng berarti “ tidak “
mungkin memang sudah dapat diterima (hampir) secara umum. Akan tetapi, bunyi peluit
panjang rupa-rupanya masih menjadi persoalan, sebab bagi polisi lalu lintas bunyi seperti itu
berarti “berjalan” atau mungkin “berhenti”. Lain halnya bagi seorang wasit bunyi peluit
panjang berarti “pertandingan berakhir”, dan seorang ketua rombongan atau pembimbing
pramuka berarti “berkumpul”. Belum adanya persamaan tafsir antara komunikator dan
komunikan menunjukkan bahwa perbuatan komunikatif itu mempunyai sistem proses
terjadinya komunikasi antara komunikator dan komunikan.
2. Komunikasi Verbal dan non-verbal
Komunikasi nonverbal dan komunikasi verbal Komunikasi nonverbal dapt dilakukan
dengan brbagai cara. Gerak-gerik anggota badan, perubahan mimik, tepuk tangan, dan
sejenisnya dapat di pakai sebagai sarana komunikasi nonverbal. Demikian pula alat-alat
seperti sirine, peluit, kentongan dan sebagainya (yang bersifat auditif), dan sinar lampu,
cermin, bendera, dan sebagainya (yang bersifat visual) dapat dipergunakan sebagai sarana
komunikasi nonverbal.
Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi nonverbal mempunyai peranan yang cukup
penting, sebab adakalanya orang hampir tidak mungkin menggunakan komunikasi verbal.
Dalam suasana yang hiruk pikuk di mana segala suara saling bersaing, maka alat verbal
manusia biasanya tidak cukup kuat untuk mengatasi suara-suara lainnya. Dalam suasana
seperti itu lebih efektif apabila dipergunakan komunikasi nonverbal. Demikian pula halnya
apabila jarak antara komunikator dan komunikan cukup jauh, maka komunikasi nonverbal
akan lebih efektif dari pada komunikasi verbal. Secara grafis besar tahap-tahap proses
komunikasi itu dapat dilukiskan dengan bagan sebagai berikut: Nonverbal verbal Fati
Proposisional Ilokutif Tanda-tanda pengungkapan Nonverbal/isyarat (ekspresi)

MATERI 4
Kegiatan Belajar 4

VARIASI BAHASA
I. Style (Gaya Bicara)
Gaya bicara merupakan salah satu cara penutur dalam cara berbicara dengan tuturnya.
Dalam suatu komunitas penutur yang luas. Sering terdapat variasi gaya bicara yang
berpotensi menimbulkan kesalah pahaman dan banyak gayanya. Oleh karena itu, ada dua
jenis gaya bicara menurut (Yule 2006 : 131) menyatakan
Gaya pelibatan tinggi merupakan gaya berbicara seseorang yang mengharapkan
bahwa keikutsertaan dalam percakapan akan sangat aktif apabila pembicaraan atau tuturnya
relatif cepat, hampir tanpa jeda diantara giliranbicaranya, dan disertai adanya sedikit
penyempurnaan giliran orang lain.Gaya solidaritas tinggi merupakan gaya berbicara
penutur yang menggunakan tuturannya dalam rata-rata kecepatan yang lebih lambat,
mengharapkan jeda lebih lama di antara giliran bicara, tidak tumpang tindih dan
menghindari penyempurnaan orang lain.
Gaya bicara seseorang banyak ragamnya. Tetapi, jenis gaya bicara yang dikemukakan
Yule mengenai gaya bicara ada dua jenis yaitu gaya pelibatan tinggi dan gaya solidaritas
tinggi. Gaya bicara pelibatan tinggi merupakan gaya seseorang dalam menuturkan
tuturannya dengan cara pembicaraannya relatif cepat, hampir tanpa jeda di antara tuturan
kata-katanya dan menimbulkan penyempurnaan dari orang lain. Sedangkan, gaya bicara
solidaritas tinggi merupakan gaya bicara seseorang dalam berbicara yang menggunakan
tuturannya lebih lambat, mengharapkan jeda lebih lama., dan sangat, menghindari
penyempurnaan dari orang lain.
Apabila seorang penutur yang menggunakan gaya bicara yang pertama berbicara
dengan gaya bicara yang kedua, maka percakapannya akan sangat bertolak belakang. Dan
orang-orang banyak yang beranggapan bahwa penutur yang bertutur lambat tidak menilai
sesuatu yang dikatakan menganggapnya bodoh. Sebaliknya, penutur pertama oleh orang-
orang banyak yang beranggapan sebagai sumber kegaduhan dalam berbicaranya, lancang,
mendominasi, mementingkan dirinya sendiri bahkan menjemukan. Jenis-jenis gaya bicara
seseorang bisa mencerminkan sifat-sifat perseorangannya, oleh karena itu kita bisa menilai
kepribadian seseorang dari gaya bicaranya.
II. Masyarakat Tutur
Speech Community(Chaer dan Agustina, 2004 : 36) menerangkan masyarakat tutur,
Kalau suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif
sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian
bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok
orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur.
Hal ini sejalan dengan pendapat Fishman (Chaer dan Agustina, 2004 : 36) menyebutkan
masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya
mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya. Dari
kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur itu merupakan suatu
masyarakat atau sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama sesuai dengan
norma-norma yang berlaku dalam penggunaannya pada suatu masyarakat tersebut.
Adanya suatu masyarakat tutur dapat disebabkan oleh hadirnya para penutur yang
memakai bahasa yang sama di suatu daerah atau wilayah dengan mematuhi norma-norma
pada bahasa tersebut sehingga terjalin suatu komunikasi antar penutur yang berjalan dengan
lancar. Misalnya pada masyarakat tutur bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi atau
nasional suatu negara yaitu negara Indonesia. Meskipun bahasa Indonesia itu digunakan di
wilayah negara yang berbeda bahasa oleh sekelompok masyarakat penutur bahasa Indonesia,
maka mereka tetap disebut masyarakat tutur bahasa Indonesia karena mereka masih
menggunakan bahasa yang sama.
Keberadaan bahasa daerah dan bahasa nasional dapat dijadikan sebagai perwakilan
masyarakat tutur tertentu yang ada kaitannya dengan variasi bahasa. Contohnya pada suatu
universitas di Indonesia terdapat mahasiswa yang kuliah di sana dengan membawa bahasa
daerah atau bahasa ibu yang berbeda-beda, seperti bahasa Jawa, Sunda, Riau dan sebagainya.
Ketika mahasiswa yang berbahasa ibu Jawa berkomuniaksi dengan sesama mahasiswa yang
berbeda bahasa itu, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga pada saat berinteraksi
mengunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Fisherman (Chaer dan Agustinus, 2004 : 36) mengemukakan bahwa masyarakat tutur
adalah “suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi
bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunannya”.
Dari pernyataan tersebut jelaslah jika suatu masyarakat di daerah atau tempat tertentu
disebut masyarakat tutur apabila di daerah tersebut sama-sama memakai bahasa yang sama
sesuai dengan norma-norma yang digunakan pada penuturan bahasa itu sendiri.
A. Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat
Chaer dan Agustina (2004 : 39) menyatakan : hubungan antara bahasa dan tingkatan
sosial masyarakat adalah adanya hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu yang
disebut variasi, ragam bahasa atau dialek dengan penggunannya untuk fungsi-fungsi tertentu
dalam masyarakat adanya tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi ;
pertama dari segi kebangsawanan, kedua dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan
tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki.
Mengenai tingkatan kebangsaan ini Kuntjoroningrat (Chaer 2004 : 39) membagi
masyarakat Jawa atas empat tingkat, (1) wong cilik, (2) wong saudagar, (3) priyayi, dan (4)
ndoro; sedangkan Clifford Gertz (Chaer dan Leonie 2004 : 39) membagi masyarakat
Jawa menjadi 3 tingkat yaitu (1) priyayi, (2) bukan priyayi tapi berpendidikan, dan
bertempat tinggal di kota, dan ( 3) petani dan orang kota yang tidak berpendidikan.
Dari kedua penggolongan tersebut menunjukkan adanya perbedaan tingkat dalam
masyarakat tutur bahasa jawa. Berdasarkan tingkatan itu, maka dalam masyarakat jawa
terdapat berbagai variasi sesuai dengan tingkatan sosialnya. Variasi bahasa yang
penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dengan istilah undak usuk
Adanya tingkat-tingkat bahasa yang disebut undak usuk ini menyebabkan penutur dari
suatu masyarakat tutur harus mengetahui lebih dahulu kedudukan tingkat sosialnya terhadap
lawan bicaranya. Sehubungan dengan undak usuk ini bahasa jawa terbagi dua yaitu krama
untuk tingkat tinggi dan ngoko untuk tingkat rendah. Sedangkan Uhlen Beck (Chaer dan
Agustina, 2004 : 49) seorang pakar bahasa jawa membagi tingkat variasi bahasa jawa
menjadi tiga, yaitu karma, madya dan ngoko.
Hubungan bahasa dengan lingkungan sosial masyarakat yaitu sesuai dengan landasan
teoritis bahwa hubungannya adalah hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu yang
disebut variasi, ragam bahasa atau dialek dengan penggunannya untuk fungsi-fungsi
tertentu dalam masyarakat. Jadi dalam masyarakat yang mempunyai tingkatan sosial secara
tidak langsung akan mempunyai ragam bahasa yang berbeda sesuai dengan lingkungan
untuk memenuhi fungsi bahasa tersebut.
Dalam tingkatan sosial masyarakat ini bisa dibagi atas dua bagian pertama dari segi
kebangsawaanan menurut bahasa dapat dibagi empat variasi, pendapat Koentjaraningrat
yang telah dijesakan di landasan teoritis yaitu (1) priyayi , (2) bukan priyayi tapi
berpendidikan, dan bertempat tinggal di kota, (3) petani dan orang kota yang telah
berpendidikan. Jika diartikan di masa sekarang maka Clifford membagi menjadi kalangan
atas, kalangan menengah dan kalangan bawah.
Dari uraian di atas jelas adanya perbedaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa jawa.
Dalam berinteraksi sesama jawa terlebih dahulu mereka harus mengalami kedudukan
tingkat sosial terhadap lawan bicaranya, berkaitan dengan undak usuk ini Uhlenbeck
membagi variasi bahasa jawa menjadi tiga bagian yaitu karma, madya, dan ngoko. Dari
uraian di atas, jelas adanya tingkatan sosial dalam masyarakat.
B. Variasi Bahasa Masyarakat (sosiolek)
Variasi bahasa adalah keragamaan bahasa yang disebutkan oleh para penuturnya yang
tidak homogen dan juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat
beragam (Chaer dan Agustin, 1995 : 81) berdasar kutipan ini variasi dari segi penutur yang
tidak sejenis dan akibat adanya interaksi masyarakat.
Chaer dan Agustina (1995 : 82) menyatakan pengelompokan variasi bahasa ke dalam
empat variasi bahasa (a) variasi dari segi penutur (b) variasi dari segi pemakaian (c) variasi
dari segi keformalan (d) variasi dari segi sarana. Berdasar kutipan tersebut variasi bahasa
digolongkan ke dalam empat kelompok :
1. Variasi bahasa dari segi penutur yang pertama adalah idiolek. Idiolek adalah variasi
bahasa yang bersifat perseorangan
2. Dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif yang
berada dalam suatu tempat wilayah atau area tertentu.
3. Kronolek, atau dialek temporal yakni variasi bahasa yang digunakan sekelompok
orang pada masa tertentu.
4. Sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan status golongan
dan kelas sosial. Variasi bahasa sosiolek juga dapat digolongkan kembali
diantaranya.
(a) akrolek (variasi yang l;ebih tinggi/bergengsi).
(b) basilek (variasi sosial yang kurang bergengsi/rendah).
(c) vulgar (variasi sosial yang cirinya tampak pemakaian bahasa oleh orang yang kurang
terpelajar/tidak berpendidikan.
(d) slang (variasi sosial yang bersifat khusus/rahasia)
(e) kolokial (variasi sosial yang digunakan pada kehidupan sehari-hari.
(f) jargon (variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu).
(g) argot (variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu
yang bersifat rahasia.
(h) ken (variasi sosial tertentu yang bernada memelas)
(Chaer dan Agustina, 1995 : 82)
Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa variasi bahasa menurut penuturnya terbagi
kedalam empat variasi bahasa.
1. Variasi bahasa dari segi penutur
Variasi bahasa yang pertama ini dilihat dari pengguna bahasanya sesuai dengan yang
dikemukakan para ahli bahwa pariasi bahasa ini digolongkan ke dalam 3 golongan :
a. Idiolek yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan, pengertian ini bersifat
individual. Maka, dapat dikatakan bahwa idiolek ini berkaitan dengan warna suara
penutur. Pilihan kata-kata si penutur dan juga gaya bahasanya.
b. Dialek yaitu variasi bahasa dari sekleompok penutur yang jumlahnya relative yang
berada dalam wilayah tertentu dengan kata lain dialek ini bersifat kelompok bukan
individu lagi, dengan jumlah penukar yang relatif, maksudnya bisa dalam jumlah
besar, sangat besar, sedikit atau sangat sedikit.
c. Krondek/dialek temporal yakni variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok
orang pada masa tertentu, variasi bahasa ini ada sesuai zamannya, adanya variasi
terlihat dari segi lafal, ejaan, morfologi maupun sintaksisnya, sebagai contoh dari
segi ejaan yaitu adanya ejaan van ophuysen, ejaan Suwardi atau ejaan yang
disempurnakan (EYD).
d. Sosiolek/dialek sosial yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan
dan kelas sosial para penuturnya. Variasi bahasa ini cakupannya sangat luas, seperti
yang diketahui berbeda status berbeda pula pilihan kata yang digunakannya.
Pelafalannya atau juga dilihat dari segi morfologi atau pun segi sintaksisnya.
Sebagai contoh bila diperhatikan apa yang dibicarakan ayah dan ibu dirumah lalu
dibandingkan kita yang digunakan di kampus, tentu berbeda. Maka dengan
demikian adanya perbedaan status, golongan atau kelas sosial menimbulkan ragam
bahasa.
Sehubungan dengan variasi bahasa sosialek yang berkenaan dengan status, golongan
dengan kelas sosial dalam Chaer dan Agustin juga mengemukakan variasi bahasa lain, di
antaranya
a. Akrolek, yakni variasi bahasa ini dianggap paling tinggi atau bergengsi daripada
variasi bahasa lainnya. Dalam contoh nyata dialek bahasa Jakarta dianggap paling
tinggi atau bergengsi , keadaan ini dikarenakan, karena Jakarta sebagai kota
metropolitan yang dianggap paling modern, sehingga orang-orang merasa bangga
menggunakannya. Contoh, tidak apa-apa menjadi gak ape-ape, siapa nih menjadi
sape nih.
b. Basilek yakni variasi bahasa yang dianggap kurang bergengsi atau dipandang
rendah. Basilek dapat dikatakan bahasa yang paling rendah. Dalam bahasa Sunda
kita mengenal bahasa anjen, maneh, sia. Kata sia itu kata yang paling rendah.
c. Vulgar, yakni variasi sosial yang ciri - cirinya tampak dari pemakaian
bahasa oleh mereka yang kurang terpelopor atau tidak berpendidikan. Bahasa ini
digunakan oleh mereka yang tidak mempunyai pendidikan yang layak, sehingga
dari segi tutur katanya kurang santun, cenderung kasar, contoh seperti yang
digunakan para tukang becak, para preman, atau calo dsb.
d. Slang, yakni variasi bahasa yang bersifat khusus atau rahasia, bahasa ini
digunakan oleh kelompok tertentu, biasanya oleh kaula muda. Misalnya bahasa
“Ga”, “La” , “Ta” dsb.
Contoh : Ga = saya = sogayaga
Ta = saya = satayata
La = sayalaya
Jadi setiap suku kata diselingi oleh suku kata yang diikutinya. Variasi bahasa ini
juga tidak hanya digunakan oleh kaula muda, para orang tua pun ada yang
menggunakannya. Slang ini juga mendapat kesan bahasa penjahat atau pencoleng
karena sifat ketatabahasaannya yang dikenal dengan prokam. Prokam ini termasuk
slang.
e. Kolokial, yakni variasi bahasa yang digunakan dalam perckapan sehari-hari, bahasa
ini merupakan bahasa bercakapan bukan bahasa tulis. Variasi bahasa ini adalah
bahasa yang digunakan setiap hari misalnya, dok (dokter), prof (professor), tet
(tetran).
f. Argot, yakni variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada peofesi tertentu
dan bersifat rahasia. Misalnya oleh para pelaku kejahatan, kacamata artinya polisi,
tape artinya mangga yang empuk, daun berarti lana.
g. Ken, yakni variasi bahasa yang bernada memelas, dibuat dengan kepura-puraan,
biasanya digunakan oleh pengemis.
1. Variasi dari segi pemakaian
Variasi berkenaan dengan pengunaannya, pemakaian, fungsinya atau register sesuai
dengan keperluan bahasa itu digunakan untuk apa dan digunakan apa . Dalam hal ini
biasanya digunakan dalam bidang.
a. Bidang bahasa sastra yakni dari bidang sastra efek keindahan seringkali
diutamakan, sehingga enak di dengar atau susunan kalimat bisa enak dipandang,
dan struktrur morfologi dan sintaksis sering diabaikan. Bahasa sastra sangat variatif
sehingga dipilih kosa kata yang estetis dengan ciri eufonit serta daya ungkap yang
tepat.
Contohnya puisi karya Ali Hajmi “Saya sudah tua” makna asli
Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi
Dengan demikian bahasa sastra itu sangat mengutamakan aspek estetisnya, tidak seperti
bahasa secara umumnya.
b. Ragam bahasa militer yakni ragam bahasa yang mempunyai ciri yang ringkas dan
bersifat tegas sesuai dengan kehidupan kemiliteran yang penuh disiplin dan
intruksi. Bahasa militer yang tegas ringkas. Bahasa militer Indonesia dikerap dengan
cirinya yang memerlukan keringkasan dan ketegasan yang dipenuhi dengan berbagai
singakatan dan akronim.
c. Ragam bahasa ilmiah, yakni dengan ciri lugas, jelas bebas dari keambiguan serta
dari segala metafora dan idiom. Bahasa ilmiah itu harus objektif, tidak menimbulkan
berbagai penafsiran tapi jelas, bebas dari keambiguan karena bahasa ilmiah harus
memberi informasi keilmuan secara jelas tanpa keraguan akan makna. Maka, bahasa
ilmiah tidak menggunakan segala macam metafora dan idiom.
d. Ragam bahasa jurnalis yakni dengan ciri sederhana komunikatif dan singkat.
Sederhana karena harus dipahami dengan mudah, komunikatif karena harus
menyampaikan berita dengan tepat dan ringkas karena keterbatasan waktu (dalam
media cetak) dan keterbatasan waktu (media elektronik, contohnya Gubernur
meninjau daerah banjir, dengan contoh tersebut dan dilihat adanya peranggalan
awalan me- sebagai kalimat ringkas dan sederhana tapi masih dapat dimengerti.
Variasi batasan yang kedua yaitu akibat dari segi karakter bahasanya. Variasi bahasa ini
terbagi ke dalam sifat ragam bahasa.
1. Variasi bahasa dilihat dari keformalan
Variasi bahasa dilihat dari segi keformalan itu terbagi menjadi lima macam gaya.
a. Ragam baku yakni variasi bahasa yang paling formal yang digunakan dalam
situasi/khidmat dan upacara resmi. Disebut ragam baku ini disebabkan oleh pola dan
kaidah yang sudah ditetapkan secara mantaf dan tidak boleh diubah, ragam beku ini
sering kita dapati dalam undang-undang tertulis, akte notaris, naskah pertanyaan jual-
beli, sewa menyewa, undang-undang dasar, pancasila. Dalam situasi khidmat
contoh: pengambilan sumpah, khutbah dan sesungguhnya. Al-Qura’an termasuk
ragam baku sebab isi, dan pola kaidahnya sudah ditetapkan dan tidak boleh
mengubahnya. Ragam baku (variasi bahasa yang paling formal yang digunakan dalam
situasi khidmat dan upacara resmi. Ragam ini mempunyai pola dan kaidahnya sudah
ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah) (frozen style)
b. Ragam resmi atau formal yakni variasi bahasa yang digunakan dalam pidato
kenegaraan, rapat, dinas, surat menyurat dinas, ceramah buku pelajaran dan sebagainya.
Ragam baku digunakan pada situasi resmi. Ragam resmi pada dasarnya sama dengan
ragam baku atau standar yang digunakan pada situasi resmi. Ragam resmi formal pola
dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar,
(formale style).
c. Ragam usaha/konsultatif adalah variasi yang lazim digunakan dalam pembicaraan
biasa di sekolah dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil
atau produksi. Dengan kata lain dapat di katakan ragam ini adalah ragam yang paling
operasional. Wujud ragam usaha ini berada di antara ragam formal dan ragam informal
atau ragam sentral. Ragam bahasa seperti ini seperti pada tanya jawab antara dokter
dengan pasien, guru dengan siswa, atau pada bentuk-bentuk tanya jawab konsultasi,
(consultative style).
d. Ragam santai /kasual adalah variasi bhasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi
untuk berbicang dengan keluarga, teman, karib pada waktu istirahat, berolahraga dan
sebagainya dan sebagainya. Ragam ini banyak menggunakan bentuk allegro yakni
bentuk kata atau ujaran yang yang pendek. Ragam santai/kasual, (casual style).
e. Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para
penutur yang hubungannya sudah akrab ditandai dengan penggunaan bahasa yang
tidak lengkap atau pendek-pendek dengan artikulasi yang tidak jelas. (Chaer dan
Agustina, 1995 : 94)
4. Variasi bahasa dari segi sarana
Dalam variasi bahasa dari segi sarana atau jalur yang digunakan meliputi :
a. Ragam lisan yakni dalam berbahasa kita menggunakan bahasa lisan dalam
menyampaikan informasi, dibantu dengan unsur non segmental atau non linguistik
berupa nada suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala dan sepontan gerakan fisik
lainnya. Ragam bahasa bertelepon juga termasuk ragam lisan.
b. Ragam tertulis yakni berbahasa tulis yang telah menaruh perhatian kepada kalimat
yang disusun dapat dimengerti oleh pembaca dengan baik. Kesehatan atau kesalah
pengertian dalam berbahasa lisan dapat segera diperbaiki, tetapi dalam bahasa tulis
kesalahan atau kesalah pengertian baru kemudian bisa diperbaiki. Ragam bahasa
bertelegraf termasuk ragam tulis.
III. Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Setelah mengkaji tentang hubungan bahasa dan kebudayaan ternyata banyak
pertentangan diantara ahli bahasa tersebut. Hipotesis Safir-Worf (Choer dan Agustina, 2004 :
167) yang menyatakan bahwa bahasa akan menyebabkan perbedaan berfikir antara
masyarakat yang berbeda budaya. Pendapat ini jelas tidak diterima bahkan para ahli pun
banyak yang menolak. Tidak mungkin seseorang yang berbeda bahasanya dan budayanya
akan berbeda pemikirannya. Justru dengan bahasa kebudayaan yang berbeda akan
dipersatukan dan akan melahirkan pemikiran yang baru dan pemikiran yang sama.
Perbedaan berfikir seseorang yang berbeda bahasa dan budaya bisa disebabkan oleh
kemampuan atau daya nalarnya serta pendidikannya. Sehingga antara kemampuan dan
pendidikan akan membedakan.
Ahli antropologi Indonesia yaitu Koentjaraningrat (Chaer dan Agustina, 2004 : 169)
yang menyatakan bahwa kemampuan masyarakat dalam berbahasa dipengaruhi oleh sifat-
sifat negatif yang telah membudaya. Bahkan budaya yang bersifat negatif tersebut telah
turun-temurun. Misalnya., pencopet. Seseorang yang memiliki sifat yang kurang terpuji di
mata masyarakat, dia juga pasti memiliki bahasa yang tak enak didengar. Karena dia selalu
berada dilingkungan yang tidak memungkinkan dirinya untuk memiliki bahasa yang baik.
Jadi menurut pendapat di atas, budaya seseorang baik yang negatif maupun yang positif akan
menentukan kemampuan berbahasanya. Bisa dikatakan bahasanya merupakan cerminan
dirinya dan cerminan budaya lingkungannya yang dia tinggali cara berpikir seseorang.
Selain hipotesis tersebut pendapat Masinambouw (Chaer dan Agustina, 2004 : 167) juga
mengemukakan pandapatnya tentang hubunagn bahasa dan kebudayaan. Menurutnya bahasa
hanyalah sebagai alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan pemikiran seseorang.
Seseorang yang berbeda bahasa akan tetap mempunyai pemikiran yang sama. Berbeda bahasa
dan kebudayaan tidak akan mempengaruhi pemikiran seseorang. Seseorang yang berbeda
bahasa akan tetap mempunyai pemikiran yang sama.
Berbeda bahasa dan kebudayaan tidak akan mempengaruhi pemikiran seseorang.
Pendapat ini dapat diterima karena banyak contoh konkret yang dapat kita ambil. Misalnya
banyak orang yang datang ke pulau Jawa untuk kerja dan meneruskan pendidikannya.
Mereka tentu memiliki bahasa dan kebudayaan yang berbeda tetapi pemikiran mereka akan
sama dengan orang-orang yang ada di pulau Jawa. Apabila mereka, memiliki pemikiran yang
berbeda tentu mereka tidak akan ke pulau Jawa. Antara bahasa dan kebudayaan memiliki
hubungan yang terikat karena bahasa merupakan alat penyampai kebudayaan tetapi bahasa
yang berbeda belum tentu pemikiran seseorang pun berbeda.
Banyak ahli yang mengamati antara hubungan bahasa dan kebudayaan. Hipotesis Safir-
Whorf (Chaer dan Agustina, 2004 : 1967) menyatakan “perbedaan berfikir disebabkan oleh
adanya perbedaan bahasa”.
Pendapat di atas bertolak belakang dengan pendapat Masinambouw (Chaer dan
Agustina, 2004: 1967) “Bahasa itu hanyalah alat untuk menyatakan atau menyampaikan
pikiran. Suatu pikiran bila dinyatakan dengan bahasa yang berbeda-beda tidak akan menjadi
berbeda-beda”.
Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Koenjtaraningrat (Choer dan Agustina, 2004 :
169) menyatakan “Buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagaian orang Indonesia
termasuk kaum inteleknya adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental
sebagian besar orang Indonesia (?)
Melihat pendapat para ahli di atas, ternyata mereka memiliki pandangan berbeda tentang
hubungan bahasa dan kebudayaan. Di antara pendapat di atas yang paling bertentangan
adalah pendapat Safir-Worf. Dalam hipotesisnya sangat bertentangan dengan pendapat para
ahli bahasa lainnya. Jadi antara bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang terikat
karena bahasa merupakan alat penyampai kebudayaan tetapi bahasa yang berbeda belum
tentu pemikiran seseorang pun berbeda.
PENGAYAAN MATERI PERTEMUAN
BAHASA DALAM KONTEKS SOSIAL
1. Verbal repertoire dan masyarakat tutur
Istilah verbal repertoire diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi yang dimiliki
oleh penutur. Artinya semua bahasa dan ragam bahasa yang diketahui dan dipakai oleh
seseorang dalam pergaulan, pekerjaan, dan unsure-unsurnya. Ternyata bahwa setiap orang
menguasai dan mempergunakan banyak ragam bahasa ibu atau bahasa pertamanya. Begitu
juga beberapa ram dari bahasa keduanya, yaitu bahasa yang bukan bahasa pertamanya tetapi
dipergunakan secara meluas oleh masyarakat tempat orang itu hidup dan bekerja. Sering juga
ia menguasai satu ragam (kadang-kadang dua ragam) bahasa asing atau bahasa lain yang
diketahuinya. Kita mengenal dua jenis verbal repertoire yaitu: (1) Verbal repertoire yang
dimiliki oleh setiap penutur secara individual, menunjukkan keseluruhan alat-alat verbal yang
dikuasai oleh setiap penutur, pemilihan bentuk-bentuk dan norma-norma bahasa sesuai
dengan fungsi dan situasinya; dan (2) verbal repertoire yang merupakan milik masyarakat
tutur secara keseluruhan. Keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam suatu masyarakat
tutur serta norma-norma untuk menentukan pilihan variasi sesuia dengan konteks sosialnya.
Masyarakat tutur ialah suatu masyarakat yang anggota anggotanya setidaktidaknya
mengenal satu variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya
(Fishman, 1975: 28). Masyarakat tutur ialah sekelompok orang yang satu sama lain bisa
saling mengerti sewaktu mereka berbicara (Alwasilah, Ahaedar, 1985:41) Kata masyarakat
dalam istilah masyarakat tutur bersifa relative dan menyangkut masyarakat yang sangat luas,
dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang. Kata masyarakat itu kiranya
digunakan sama dalam penggunaan “masyarakat desa” , masyarakat kota, masyarakat Jawa
Barat, masyarakat Inggris, masyarakat Eropa, dan yang hanya menyangkut sejumlah kecil
orang seperti “masyarakat pendidikan”, atau masyarakat linguistic Indonesia (MLI).

1. Faktor-faktor sosio-situasional dan variasi bahasa


Pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh factor-faktor linguistik tetapi juga
oleh factor-faktor nonlinguistik, sedangkan factor-faktor nonlinguistik yang berpengaruh
terhadap pemakaian bahasa antara lain ialah factor-faktor sosial dan faktor-faktor situasional.
Adanya kedua faktor itu dalam pemakaian bahasa menimbulkan variasi bahasa yaitu “bentuk-
bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiki pola-pola yang
menyerupai pola umum bahasa induknya (Peodjoesoedarmo,1976: 2). Adapun wujud variasi
itu dapat berupa idiolek, dialek, ragam bahasa, register maupun undak-usuk. Seperti halnya
masyarakat tutur, istilah variasi bersifai netral, dalam pengertian peristiwanya mungkin
terdapat dam masyarakat yang luas dan besar dan mungkin pula terdapat dalam masyarakat
yang kecil, bahkan terdapat di dalam pemakaian bahasa perorangan. Bahasa orang-orang
yang tidak berpendidikan lain dengan bahasa orangorang yang berpendidikan dan lain pula
dari bahasa santri. Variasi bahasa yang demikian termasuk dialek social. Hubungan antara
faktor-faktor sosio-situasional dalam pemakaian bahasa, serta terjadinya pengaruh antara
kaidah-kaidah gramatikal dan norma-norma pemakaian sesuai dengan fungsi dan situasinya.
1. Peristiwa tutur dan tindak tutur
Di dalam setiap peristiwa interaksi verbal selalu terdapat beberapa faktor (unsur)
yang mengambil peranan dalam peristiwa itu. Faktor-faktor seperti antara lain ialah : penutur
(speaker), lawan bicara (hearer, receiver), pokok pembicaraan (topic), tempat bicara (setting),
suasana bicara (situation scene) dan sebagainya. Dalam pemakaian bahasanya, setiap penutur
akan selalu memperhitungkan kepada siapa ia berbicara, di mana,mengenai masalah apa dan
dalam suasana bagaimana. Dengan demikian maka tempat bicara akan menentukan cara
pemakaian bahasa penutur; demikian pula pokok pembicaraan dan situasi bicara akan
memberikan warna pula terhadap pembicaraan yang sedang berlangsung. Keseluruhan
peristiwa pembicaraan dengan segala factor serta peranan factor –faktor itu didalam peristiwa
tersebut dikenal dengan sebutan peristiwa tutur (speech event) peristiwa semacam itu
misalnya Nampak dalam suatu diskusi.
Di dalam diskusi kita jumpai faktor-faktor yang mengambil peranan antara lain
ialah: (1) Tempat diskusi; (2) Suasana diskusi; (3) Peserta diskusi atau patisipan; (4) Tujuan
diskusi; (5) Kesempatan berbicara; (6) Aturan permainan; (7) Nada suara atau bunyi; (8)
Ragam bahasa; (9) Jenis kegiatan atau genre. Peristiwa tutur semacam ini dapat pula kita
jumpai dalam peristiwa siding pengadilan, rapat kerja, loka karya, dengar pendapat dan
sebagainya.
Sehubungan dengan konsep peristiwa tutur, Dell Hymes mengemukakan adanya
factor-faktor yang menandai terjadinya peristiwa tutur itu dengan singkatan SPEAKING,
yang masing-masing bunyi merupakan fonem awal dari faktor-faktor yang dimaksudkan
ialah:
S : Setting dan sense yaitu : Tempat bicara dan suasana bicara (misalnya ruang diskusi dan
suasana diskusi). P : Prtisipan: pembicara, lawan bicara dan pendengar.Dalam diskusi adalah
seluruh peserta diskusi.
E : End atau tujuan : Tujuan akhir diskusi.
A : Act: suatu peristiwa dimana seorang pembicara sedang mempergunakan kesempatan
bicara.
K : Key: nada suara dan ragam bahasa yang dipergunakan dalam menyampaikan
pendapatnya, dan cara mengemukakan pendapatnya.
I : Instrument : alat untuk menyampaikan pendapat. Misalnya secara lisan, tertulis, lewat
telepon dsb.
N : Norma: yaitu aturan permainan yang mesti ditaati oleh setiap peserta diskusi.
G : Genre: Jenis kegiata diskusi yang mempunyai sifat-sifat lain dari kegiatan lain

KONTAK BAHASA
1. Dampak dari Kontak Bahasa
2. Bilingualisme Jenis-jenis
3. Alih Kade, Campur Kode, dan lnterferensi
4. Pemertahanan dan Pergeseran Bahasa
5. Pemertahanan Bahasa
6. Pergeseran Bahasa
7. Kepunahan Bahasa
8. Fijin dan Kreol
B. DIGLOSIA
1.Ferguson
2.Fishman
3.Fasold
C. PERENCANAAN BAHASA
1.Mengapa Perlu Perencanaan Bahasa?
2.Tahap-tahap Perencanaan Bahasa
3.Perencanaan Bahasa dan Bahasa Daerah di Indonesia

KONTAK BAHASA
Beberapa pendapat mengenai pengertian kontak bahasa, menurut Jendra (2010: 67)
kontak bahasa adalah sebuah situasi sosiolinguistik dimana dua atau banyak bahasa, elemen-
elemen bahasa yang berbeda, atau variasi dalam sebuah bahasa, digunakan secara bersamaan
atau bercampur antara satu dengan yang lainnya. Atau dengan kata lain kontak bahasa adalah
sebuah situasi ketika kosakata, suara, atau struktur dari dua atau banyak bahasa yang berbeda
digunakan oleh bilinguals atau mulitilinguals. Achmad dan Abdullah (2012: 179)
menyatakan bahwa kontak bahasa cenderung pada gejala bahasa, sedangkan kedwibahasaan
cenderung pada gejala tutur. Kedwibahasaan terjadi akibat adanya kontak bahasa. Kontak
bahasa adalah pemakaian lebih dari satu bahasa di tempat dan pada waktu yang sama
(Thomason via Suhardi, 2009: 39). Sedangkan menurut Thomason (2001: 1) kontak bahasa
adalah peristiwa penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan waktu yang sama.
Kontak bahasa tidak menuntut penutur untuk berbicara dengan lancar sebagai dwibahasawan
atau multibahasawan, namun terjadinya komunikasi antara penutur dua bahasa yang berbeda
pun sudah dikategorikan sebagai peristiwa kontak bahasa.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kontak bahasa adalah suatu keadaan
interaksi antara dua atau banyak bahasa yang berbeda latar belakang digunakan dalam satu
situasi yang mengakibatkan suatu bahasa berpengaruh pada bahasa yang lain, dan
memungkinkan terjadinya pergantian pemakaian bahasa oleh penutur sesuai konteks
sosialnya.
Thomason (2001: 17-21) menjelasakan ada beberapa faktor penyebab kontak bahasa:
1. Dua kelompok yang berpindah ke daerah yang tidak berpenghuni, kemudian mereka
bertemu di sana
Dalam faktor ini kedua kelompok yang bertemu di suatu daerah yang tidak
berpenghuni adalah warga non-pribumi. Tidak ada indikasi untuk menguasai atau
menjajah daerah lain. Contoh kasus yang seperti ini sangat jarang terjadi pada era
sekarang ini. Antartika, adalah sebuah contoh yang tepat untuk kasus ini. Di mana para
ilmuan dari berbagi negara bertemu dan berinteraksi. Pertemuan dan interaksi tersebut
mengakibatkan kontak bahasa.
1. Perpindahan satu kelompok ke daerah kelompok lain.
Perpindahan ini bisa dengan cara damai atau sebaliknya, namun kebanyakan
tujuan dari adanya perpindahan ini adalah untuk menaklukan dan menguasai wilayah
dari penghuni aslinya. Sebagai contoh, pada awalnya masyarakat Indian menerima
kedatangan bangsa Eropa dengan ramah, begitu pun sebaliknya.Namun, bangsa Eropa
kemudian berkeinginan untuk memiliki tanah Amerika, sehingga ketika jumlah mereka
yang datang sudah cukup banyak, mereka mengadakan penaklukan terhadap warga
pribumi.Peristiwa terjadinya kontak bahasa dalam hal ini, yaitu melalui adanya
peperangan.
1. Hubungan budaya yang dekat antara sesama tetangga dalam waktu yang lama
Kontak bahasa dapat juga terjadi melalui proses hubungan budaya yang panjang.
Dua kelompok yang berbeda bahasanya hidup berdampingan dan berinteraksi secara
teratur tanpa kesulitan yang berarti.Misalnya, kelompok penutur bahasa Madura di
sepanjang pantai utara Jawa Timur, sejak tiga abad yang lalu hidup bersama-sama
dengan kelompok penutur bahasa Jawa.Begitu pula kelompok penutur bahasa Jawa dan
kelompok penutur bahasa Sunda hidup bersama-sama di sepanjang atau di sekitar
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
1. Pendidikan “kontak belajar”
Di zaman modern ini, bahasa Inggris menjadi lingua franca dimana semua orang
di seluruh dunia harus mempelajari bahasa Inggris jika mereka ingin belajar Fisika,
mengerti percakapan dalam film-film Amerika, menerbangkan pesawat dengan
penerbangan internasional, serta melakukan bisnis dengan orang Amerika maupun
orang-orang asing lainnya. Bahasa Inggris juga menjadi lingua franca dalam komunikasi
internasional melalui internet.Banyak orang yang menggunakan bahasa Inggris dengan
tujuan ini, tidak berkesempatan (dan kadang bahkan tidak berkeinginan) untuk praktek
berbicara dengan penutur asli bahasa Inggris.
Dampak dari Kontak Bahasa
Thomason (2001:157) mengatakan bahwa adanya lingua franca menyebabkan
terjadinya kontak bahasa. Adanya kontak bahasa, sedikit banyak akan berakibat pada
pemakaian bahasa di kalangan anggota kelompok yang mengalami kontak bahasa itu.
Ada masyarakat bahasa yang dapat dengan mudah memakai dua bahasa secara
bergantian. Ia adalah seorang bilingual atau dwibahasawan. Ada yang hanya sebatas
memahami apa yang didengarnya tetapi tidak dapat mengutarakan pikirannya dalam
bahasa yang bersangkutan. Ia adalah bilingual yang pasif.
Di samping itu, ada juga yang hanya dapat berkomunikasi dalam bahasa pertamanya
sendiri dan sama sekali tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa kedua. Ia adalah
seorang monolingual atau ekabahasawan. Kemungkinan lain adalah terjadinya suatu
keadaan di mana, karena sutu dan lain hal, warga sebuah kelompok lama-lama
cenderung meninggalkan bahasa mereka sendiri dan berpindah memakai bahasa
kelompok lain. Terjadilah apa yang dikenal dengan nama pergeseran bahasa (language
shift).
Masih ada kemungkinan lain yang dapat timbul dari adanya kontak bahasa itu.
Kalau dua kelompok yang berkontak itu memerlukan bahasa lain sebagai alat
komunikasi antara mereka. Keperluan akan bahasa perantara ini karena para warga dari
kedua kelompok sama-sama tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa masing-masing.
Yang terjadi adalah pemakaian suatu bahasa-antara yang memungkinkan mereka saling
berkomunikasi. Bahasa antara ini tercipta melalui pengubahan kosakata, tata bunyi, dan
tata bahasa dari salah satu bahasa kelompok yang lebih dominan. Lama-kelamaan
terciptalah bahasa baru yang lazim disebut pijin (pidgin).
Chaer dan Agustina (2010:84) berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa kebahasaan yang
mungkin terjadi akibat adanya kontak bahasa adalah peristiwa bilingualisme, diglosia,
alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konvergensi dan pergeseran bahasa.
1. Bilingualisme
Bilingualisme berasal dari bahasa Inggris yaitu bilingualism, dalam bahasa
Indonesia sering disebut kedwibahasaan, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua
bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, bilingualisme merupakan
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73). Untuk dapat menggunakan dua
bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa ibu atau
bahasa pertamanya (Disingkat B1) dan bahasa keduanya (Disingkat B2). Orang yang
dapat menggunanakn kedua bahasa tersebut disebut orang yang bilingual, sedangkan
kemampuan menggunakan kedua bahasa tersebut disebut bilingualitas.
Sejumlah masalah yang biasa dibahas dalam bilingualisme menurut Dittmar dalam
Chaer dan Agustin (2010: 85) diantaranya sebagai berikut:
a. Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai
dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut para ahli mencoba untuk menjawab,
diantaranya menurut Bloomfield (1933) menyebutkan, seseorang disebut bilingual
apabila dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya. Namun
pendapat Bloomfield ini mempunyai beberapa kekeurangan diantaranya dalam hal
bagaimana cara mengukur kemampuan yang sama dalam penggunaan kedua bahasa
tersebut serta kenyaatnta saat ini jarang ditemukan orang yang dapat menggunakan
B1 dan B2 dengan sama baiknya. Maka dari itu Robert Lado (1964) mengungkapkan,
“Bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama
baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua
bahasa bagaimana pun tingkatnya”. Jadi menurutnya, penguasaan terhadap kedua
bahasa itu tidak perlu sama baiknya; kurang pun boleh.
Berkenaan dengan pernyataan di atas, Diebold dalam Chaer dan Agustin
(2010:86) menyebutkan adanya bilingualisme pada tingkat awal (incipient
bilingualism), yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang terutama anak-anak
yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan serta tahap ini
merupakan tahap paling sederhana, juga terletak dasar bilingualisme selanjutnya. Jadi
dapat disimpulkan permasalahan pertama dapat dijawab bahwa bilingualisme
akhirnya merupakan satu rentang berjenjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan
baik karena bahasa ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan
penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya
dengan penguasaan B1.
b. Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini?
Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk
sebuah dialek atau sosiolek.
Untuk menjawab permasalahan kedua dapat ditelusuri dari pendapat para pakar.
Bloomfield (1933) mengatakan bahwa menguasai dua buah bahasa, berarti
menguasai dua buah sistem kode. Dari pernyataan bahwa bahasa bahasa adalah
sistem kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole, yang berupa
berbagai dialek dan ragam. Sedangkan Mackey (1962:12) mengatakan bahwa
bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa
yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Jadi jelas yang dimaksud
dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakar lain,
Weinrich (1968:1) memberikan pengertian bahasa dalam artian luas, yakni tanpa
membedakan tingkatan-tingkatan yang ada didalamnya. Bagi Weinrich menguasai
dua bahasa dapat berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari
bahasa yang sama.
Berdasarkan penyataan di atas dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud bahasa
dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue seperti
bahasa Sunda dan Madura, sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa
seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Surabaya.
c. Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan
dia harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula harus menggunakan B2-nya?
Kapan pula dia dapat menggunakan secara bebas B1 dan B2-nya?
Pertanyaan mengenai kapan seorang penutur bilingual menggunakan satu bahasa
tertentu, B1 atau B2-nya adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi
ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tuturnya sehubung dengan adanya
ranah-ranah penggunaan bahasa tersebut. Singkatnya, pertanyaan ini menyangkut
masalah pokok sosiolinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa,
kapan dan dengan tujuan apa”. Dari pembicaraan tersebut dapat dilihat bahwa kapan
harus digunakan Bi1 dan kapan pula harus menggunakan B2 tergantung pada lawan
bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicara.
d. Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat
mempengaruhi B1-nya?
Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan
kesempatan untuk menggunakannya. Seberapa jauh pengaruh B1 terhadap B2
adalah tergantung pada tingkat penguasaanya terhadap B2. Misalnya penutur
bilingual Sunda (B1) – Indonesia (B2) yang kurang menguasai sistem fonologi
bahasa Indonesia akan mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia /kemana/ menjadi
/kemanah?/ atau /berapa/ menjadi /berapah/. Lalu apakah B2 dapat mempengaruhi
B1? Kemungkinan hal ini akan terjadi jika penuutur bilingual tersebut dalam jangka
waktu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus menerus
menggunakan B2-nya.
e. Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan atau juga berlaku pada satu
kelompok masyarakat tutur?
Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan penggunaanya
di dalam masyarakat tutur bilingual. Mackey dalam Chaer dan Agustin (2010:91)
mengatakan kalau bahasa itu milik kelompok atau milik bersama suatu masyarakat
tutur, maka bilingualisme adalah milik individu-individu para penutur, sebab
penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan
adanya dua masyarakat tutur yang berbeda, misalnya masyarakat tutur B1 dan
masyarakt tutur B2. Sedangkan Oksaar (1972:478) berpendapat bahwa
bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Sebab
bahasa itu penggunaanya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan
juga digunakan sebagai alat komunikasi antarkelompok. Malah bahasa bukan hanya
alat komunikasi saja, melainkan juga sebagai alat untuk menunjukkan identitas
kelompok (Chaer,1994). Konsep bahwa bahasa merupakan indentitas kelompok
memberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual
yang menggunakan dua bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang
demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas
meliputi wilayah yang sangat luas mungkin juga meliputi satu negara.

Jenis-jenis Bilingualisme

Menurut Chaer dan Agustina (2004:170) ada beberapa jenis pembagian kedwibahasaan
berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu sebagai berikut.
1. Kedwibahasaan Majemuk (Compound Bilingualism)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa
lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini
didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan.
Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri.
1. Kedwibahasaan Koordinatif/Sejajar
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik
oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan
B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
1. Kedwibahasaan Subordinatif (Kompleks)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1
sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan
situasi yang dihadapi B1, adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi
oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan
dapat kehilangan B1-nya.
1. Diglosia
Ferguson (melalui Chaer dan Agustina, 2010: 92) menggunakan istilah diglosia untuk
menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa
yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu ada ragam
tinggi dan ragam rendah. Contoh dari bahasa Jawa terdapat bahasa Jawa Ngoko,
Madya, dan Kromo.
1. Alih kode
Apple (1976:79 melalui Chaer dan Agustina 107-108) mendefinisikan alih kode itu
sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubah situasi.
1. Campur Kode
Thelender (1976:103 melalui Chaer dan Agustina 2010:105) menjelaskan mengenai
alih kode dan campur kode. Bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu
klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih
kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase
yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid
phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi
sendiri-sendiri, maka persitiwa yang terjadi adalah campur kode bukan alih kode.
1. Interferensi
Interferensi adalah penyimpangan norma bahasa masing-masing yang terjadi di
dalam tuturan dwibahasawan (bilingualisme) sebagai akibat dari pengenalan lebih
dari satu bahasa dan kontak bahasa itu sendiri. Interferensi meliputi interferensi
fonologi, morfologi, leksikal dan sintaksis.
1. Integrasi
Integrasi merupakan bahasa dengan unsur-unsur pinjaman dari bahasa asing dipakai
dan dianggap bukan sebagai unsur pinjaman, biasanya unsur pinjaman diterima dan
dipakai masyarakat setelah terjadi penyesuaian tata bunyi atau tata kata dan melalui
proses yang cukup lama.
1. Konvergensi
Secara singkat Chaer dan Agustina (2010:130) menyatakan bahwa ketika sebuah
kata sudah ada pada tingkat integrasi, maka artinya kata serapan itu sudah disetujui
dan converged into the new language.
Penjelasan mengenai diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, dan
konvergensi akan dibahas lebih lanjut oleh kelompok berikutnya.

Sumber Pustaka:
Chaer, Abdul. Leonie, Agustina. 2010. SOSIOLINGUISTIK Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.
Mayasari, Diana. 2013. Kontak Bahasa. [Online]
http://dianamayasarikanaso.blogspot.com/p/blog-page.html. diakses pada 25 November 2020.

Rera, Diana. 2011. Kedwibahasaan. [Online]


https://arerariena.wordpress.com/2011/02/02/kedwibahasaan/. Diakses pada 25 November
2020.

A. Diglosia

Kata “diglosia” berasal dari bahasa Prancis yaitu diglossie yang pernah digunakan
oleh Marcais yang merupakan seorang linguis Prancis. Diglosia merupakan suatu situasi
kebahasaan yang bersifat relative stabil selain sejulamlah dialek-dialek utama terdapat pula
ragam lain. Menurut Ferguson (dalam Alwasilah, 1985) diglosia adalah hadirnya dua bahasa
baku dalam satu bahasa, bahasa tinggi dipakai dalam suasana-suasana resmi dan dalam
wacana-wacana tertulis dan bahasa rendah yang dipakai untuk percakapan-percakapan sehari-
hari. Berdasarkan pendapat Ferguson tersebut, Alwasilah (1985) menekankan bahwa
persoalan diglosia adalah persoalan antara dua dialek dari satu bahasa, bukan antara dua
bahasa. Penutur pada masyarakat ujaran tertentu menggunakan dua ragam bahasa atau lebih
dalam kondisi-kondisi tertentu (Alwasilah, 1985).

1. Diglosia ala Ferguson


Fenomena diglosia pada umumnya hanya bisa ditemukan dalam komunitas masyarakat
bahasa yang bilingual dan multilingual. Dalam masyarakat bahasa tersebut kadangkala
terdapat ragam bahasa yang ditinggikan ‘ragam H’ (High Variation) dan ragam lain yang
dianggap lebih rendah (Low Variation) ‘ragam L’. Fenomena inilah yang disebut dengan
diglosia. Istilah diglosia diperkenalkan pertama kalinya oleh Ferguson (1959) dalam
karyanya yang berjudul “Diglossia”. Istilah diglosia untuk kali pertama digunakan Ferguson
untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara-negara Arab, Swiss,
dan Haiti. Fitur-fitur yang menandai fenomena diglosia antara lain (Holmes, 2001 : 27) :

a. Dua ragam yang berbeda dari bahasa yang sama digunakan dalam komunitas, dimana
salah satu dianggap sebagai ragam yang lebih tinggi dan yang lainnya dianggap sebagai
ragam yang lebih rendah.

b. Masing-masing ragam digunakan untuk keperluan yang berbeda ; ragam H dan ragam
L saling melengkapi satu sama lain. Tidak ada seorangpun yang menggunakan ragam H
dalam komunikasi sehari-harinya.

Menurut Ferguson dalam (Chaer, 2010) , diglosia mempunyai ciri-ciri menonjol yang
dapat ditunjukkan melalui sembilan sudut pandang, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra,
pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.

a. Fungsi

Fungsi adalah kriteria yang penting bagi situasi digloasia. Pada kebanyakan situasi
diglosia bentuk ragam H lebih difungsikan dalam situasi formal. Ragam ini akan terasa
janggal apabila digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Begitupun sebaliknya dengan
ragam L akan terasa tidak pas dan aneh apabila digunakan dalam bentuk tulisan.

b. Prestise

Para penutur bahasa pada umumnya mengagumi ragam H, meskipun mereka kadang tidak
sepenuhnya mampu memahaminya. Ragam tersebut disikapi dengan penuh penghargaan
sebagai ragam bahasa yang elit yang mencerminkan status yang tinggi akan penuturnya.
Sementara ragam L dianggap lebih inferior.

c. Tradisi sastra
Ragam H digunakan pada karya sastra masa lalu. banyaknya kepustakaan yang ditulis
dalam H dan dikagumi oleh masyarakat bahasa tersebut. Kebiasaan tulis-menulis masa kini
dianggap merupakan kelanjutan dari tradisi besar masa lalu.

d. Pemerolehan bahasa

Sumarsono (2007: 192) menegaskan bahwa aspek penting yang terlihat dalam fenomena
diglosia adalah perbedaan proses pemerolehan ragam H dan L oleh penutur. Ragam L adalah
ragam yang lebih dulu diperoleh dan dikuasai oleh penutur, sedangkan ragam H mereka
peroleh melalui pendidikan formal. Ragam L dipelajari secara unconsious oleh penutur dalam
artian dipelajari secara normal tanpa kaidah yang mengikat.

e. Standarisasi

Ragam H mengalami proses pembakuan dan harus dipelajari di sekolah, sedangkan tidak
setiap orang mempunyai kesempatan untuk mempelajarinya. Sebaliknya, ragam L yang
dipakai di dalam situasi tidak resmi adalah ragam bahasa yang dipakai sehari-hari di rumah.
Ragam ini tidak mengenal ragam tulis dan tidak menjadi sasaran pembakuan bahasa.

f. Stabilitas

Diglosia dilihat sebagai situasi yang bersifat stabil. Kestabilan tersebut terjadi karena pada
umumnya situasi diglosia muncul karena dikehendaki oleh penuturnya. Adanya ragam H dan
L dalam masyarakat bahasa komunitas diglosia dipertahankan.

g. Tata bahasa

Sebenarnya ragam H dan ragam L dalam fenomena diglosia merupakan bentuk-bentuk dari
bahasa yang sama, namun dalam hal tata bahasa ternyata terdapat perbedaan. Ditinjau dari
tata bahasanya, ragam H cenderung memiliki kaidah tata bahasa yang lebih kompleks
dibandingkan ragam L.

h. Leksikon

Kosakata pada ragam H sebagian besar sama dengan kosakata yang ada pada ragam L.
Namun ada kosakata dalam raham H yang tidak terdapat padanannya pada ragam L
begitupun juga sebaliknya terdapat kosakata pada raga L yang tidak terdapat padanannya
pada ragam H. Pada fenomena diglosia pada umumnya terdapat dua padanan kosakata yang
terdapat pada ragam H dan L, misalnya pada Bahasa Jawa untuk verba ‘makan’ ragam H
adalah dhahar sedangkan ragam L adalah mangan.

i. Fonologi

Struktur fonologi antara ragam H dan L adalah berbeda. Fonologi ragam H mrupakan
sistem dasar sedangkan fonologi raham L merupakan subsistem yang memiliki keberagaman.
Fonologi ragam H merupakan bentuk umum yang ada dalam suatu bahasa. Di sisi lain
fonologi ragam L bukan bentuk dasar dan cenderung memiliki variasi yang beragam.

Di Indonesia, situasi diglosia dijumpai dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia,


seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai ragam H dan L
pada bahasanya. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat
aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi
seperti basa cohag (ragam kasar), basa loma (ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam
sedang atau tengah), basa lemes (ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat
paling rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat tinggi).

1. Diglosia ala Fasold dan Fishman

Konsep diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman dan Fasold dalam Kartika
(2012), dengan terminologi baru broad diglosia (diglosia luas). Menurut Fishman diglosia
tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan R pada bahasa yang sama,
melainkan juga berlaku pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun, atau pada dua bahasa
yang berlainan. Fishman menekankan pada adanya pembedaan fungsi kedua bahasa atau
variasi bahasa yang bersangkutan.

Fasold (1984) dalam Kartika (2012) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa
yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Dalam konsep broad diglosia perbedaan itu
tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam atau dua dialek secara biner, melainkan bisa
lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan
masyarakat yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga
munculah apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double
overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.
Double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa
secara berganda. Contoh keadaan semacam ini bisa kita temukan di negara Tanzania, dimana
di negara tersebut digunakan Bahasa Inggris, Swahili dan beberapa bahasa daerah. Pada satu
saat tertentu Bahasa Swahili merupakan ragam H dimana ragam Lnya adalah bahasa-bahasa
daerah. Di situasi yang berbeda, Bahasa swahili menjadi ragam L dan Bahasa Inggris
berperan sebagai ragam H. Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat
multilingual, terdapat dua bahasa yang diperbedakan satu sebagai ragam H, dan yang lain
sebagai ragam L. Fenomena semacam ini ditemukan di desa Khalapur, salah satu desa di
India. Di desa tersebut terdapat dua macam bahasa yang digunakan, yakni Bahasa Khalapur
dan Bahasa Hindi. Bahasa Khalapur sebagai bahasa daerah memiliki ragam H dan L. Begitu
pula dengan Bahasa Hindi yang digunakan juga memiliki ragam H dan L.

Linear polyglosia bisa tergambarkan dengan jelas pada masyarakat Cina Malaysia. Pada
masyarakat Cina Malaysia yang terpelajar dan mampu berbahasa Inggris, Bahasa Melayu
ragam H, yaitu bahasa Malaysia merupakan variasi linguistik tertinggi kedua yang digunakan
dalam masyarakat itu. Bahasa Melayu informal yang disebut bahasa Melayu Bazar
mempunyai kedudukan yang sangat rendah, berada di bawah bahasa manapun. Bahasa
Inggris dan variasi bahasa Cina kedudukannya lebih tinggi dari bahasa Melayu Bazar ini. Di
samping itu terdapat bahasa Cina Mandarin yang mempunyai kedudukan khusus, dan harus
dimasukkan dalam deretan khasanahbahasa tersebut.

Hubungan antara Bilingualisme dan Diglosia

Pada masyarakat bahasa di dunia terdapat 4 macam pola hubungan antara bilingualisme dan
diglosia. Chaer (2004) menjabarkan pola tersebut sebagai berikut :

1.Masyarakat bilingual sekaligus diglosis

Karakter masyarakat yang seperti ini banya sekali ditemukan di beberapa negara di dunia,
misalnya di Paraguay yang menggunakan dua bahasa, yakni Bahasa Guarani sebagai ragam L
dan Bahasa Spanyol sebagai ragam H.

2.Masyarakat bilingual yang tidak diglosis

Tidak ada pembeda ragam bahasa dalam masyarakat bahasa seperti ini. Bahasa yang
digunakan bisa dipergunakan dalam fungsi apapun tanpa ada pengklasifikasian. Situasi
semacam ini ditemukan di Montreal, Kanada.
3.Masyarakat diglosis yang tidak bilingual

Situasi kebahasaan seperti ini menempatkan 2 kelompok penutur yang berbeda dalam
masyarakat. Kelompok pertama jumlahnya lebih kecil dan hanya mengguanakan ragam H
dalam berkomunikasi. Di sisi lain kelompok kedua yang jumlahnya lebih besar, tidak
mempunyai kekuasaan dalam masyarakat dan hanya menggunakan ragam L dalam
berkomunikasi. Menurut Ferguson masyarakat dengan karakter seperti ini belum bisa
dikatakan sebagai masyarakat tutur karena kedua kelompok tersebut hanya berinteraksi
secara minim atau bahkan nyaris tidak berinteraksi satu sama lain. Keadaan diglosik tanpa
bilingual banyak terjadi pada era sebelum Perang Dunia I.

4.Masyarakat yang tidak diglosis dan juga tidak bilingual

Pada keadaan seperti ini hanya terdapat satu bahasa tanpa adanya variasi H dan L. Bahasa
tersebut dapat digunakan dengan tujuan apapun. Keadaan seperti ini hanya mungkin terjadi
pada daerah terpencil atau primitif. Lambat laun komunitas masyarakat yang tidak diglosik
dan tidak bilingual semacam ini akan mengalami pencairan apabila mereka bersentuhan
dengan masyarakat lain dalam artian melakukan komunikasi dengan komunitas masyarakat
yang berbeda (Fishman dalam Kartika, 2012).

Daftar Pustaka

Alwasilah, Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung : Angkasa

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta

Kartika, Ajeng Dianing. 2012. Poliglosia dan Diglosia.


https://www.kompasiana.com/pandanesia/55199462a33311aa19b6591f/poliglosia-dan-
diglosia (diakses pada 19 Desember 2020)
DIGLOSIA
Bahasa adalah suatu alat komunikasi yang digunakan masyarakat khususnya penutur
untuk berinteraksi, berkomunikasi dengan masyarakat lainnya. Bahasa Indonesia
menjadi salah satu bahasa yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk
berkomunikasi dengan masyarakat yang beragam latar belakangnya. Latar belakang
msyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai budaya, suku, ras, dan daerah
menyebabkan suatu fenomena diglosia Kata digloasia berasal dari bahasa prancis
digloassie, yang pernah digunakan oleh Marcais seorang ilmuan prancis: tetapi istilah itu
menjadi terkenal di keilmuan linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari
Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium tentang
“Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselengarakan oleh American
anthropologicial Association di washington DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih
terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Digloasia” yang
dimuat dalam majalah Word tahun 1959. Artikel ini kemudian dimuat juga dalam
Hymes (ed.) Language in Culture and society (1964:429-439): dan dalam Giglioli (ed.)
Language and Social Contact (1972). Hingga kini artikel Ferguson itu dipandang
sebagai referensi klasik mengenai diglosia, meskipun Fishman (1967) dan Fasold (1984)
ada membicarakannya juga.
1. Diglosia menurut Ferguson
Ferguson (Chaer dan agustina, 2004:92) menyebutkan bahwa istilah diglosia merupakan
keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup
berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu,
Ferguson membicarakan diglosia dengan mengambil empat buat masyarakat tutur
dengan bahasa mereka. Keempat masyarakat tutur itu adalah masyarakat tutur bahasa
Arab, Yunani modern, Jerman Swiss, dan Kreol Haiti. Diglosia ini dijelaskan oleh
Ferguson dengan mentengahkan sembilan topik, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra,
pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi. Berikut kita
bicarakan secara singkat.
1. Fungsi
Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam
masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek
tinggi (di singkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (
disingkat menjadi dialek R tau Ragam R). Distribusi fungsional dialek T dan dialek R
mempunyai arti bahwa terdapat situasi di mana hanya dialek T yang sesuai untuk
digunakan, dan dalam situasi lainnya dialek R yang biasa digunakan. Fungsi T hanya
pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi R hanya pada situasi informal dan
santai.
1. Prestise
Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi,
lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R
dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadannya.
1. Warisan kesusastraan
Pada warisan kesusastraan ragam T digunakan dan dihormati. Terdapat karya sastra
kontemporer dengan menggunakan ragam T maka dirasakan sebagai kelanjutan dari
tradisi itu merupakan ragam T. Kesusastraan ini tetap berakar baik di negara seperti
bahasa Arab Yunani, Prancis dan Jerman.
1. Pemerolehan
Pada pemerolehan ini ragam T diperoleh dengan mempelajari pendidikan formal
sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman.
Alasannya karena ragam T tidak selalu digunakan dan dalam mempelajarinya selalu
terkendali dengan berbagai kaidah atau aturan bahasa sedangkan ragam R digunakan
secara reguler dan terus menerus.
1. Standardisasi
Pada standarisasi ini ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi melalui
kodifikasi formal. Untuk menulis ragam teks menggunakan kamus, tata bahasa, petunjuk
lafal dan buku-buku kaidah, sebaliknya ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan,
biasanya dilakukan oleh peneliti dari masyarakat bahasa lain dan ditulis dengan bahasa
lain. Maka sebagai ragam yang dipilih yang distandarisasikan ragam T akan menjadi
ragam yang lebih bergengsi dan dihormati.
1. Stabilitas
Kestabilan dalam masyarakat diagnosis biasanya berlangsung lama dimana ada sebuah
variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya di dalam masyarakat itu. Pertentangan
atau perbedaan antara ragam R dan ragam T selalu di ditonjolkan karena adanya
perkembangan dalam bentuk bentuk campuran yang dimiliki ciri ragam R dan T.
Peminjaman unsur reaksi ragam T ke dalam ragam R bersifat biasa, sebab baru
digunakan kalau sangat terpaksa.
1. Gramatikal
Ferguson berpandangan bahwa ragam dan ragam dalam diglosia merupakan bentuk-
bentuk dari bahasa yang sama namun di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan.
umpamanya dalam bahasa Jerman standar kita dapat 4 kasus nomina dan 2 tenses
indikatif sederhana sedangkan dalam bahasa Jerman Swiss hanya terdapat 3 kasus
nomina dan 1 tenses sederhana. Nomina bahasa Perancis menunjukkan agrement dalam
jumlah dan jenis sedangkan nomina kreol Haiti tidak memiliki hal itu. Dalam ragam T
adanya kalimat kalimat kompleks dengan sejumlah kontruksi sub ordinasi adalah hal
biasa. Tetapi dalam ragam R dianggap artifisial.
1. Leksikon
Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun ada kosakata
pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R atau sebaliknya.
1. Fonologi
Terdapat perbedaan struktur di dalam fonologi antara ragam R dan T. Perbedaan tersebut
bisa dekat dan bisa jauh.
Dapat disimpulkan bahwa:
a. Diglosia merupakan suatu situasi bahasa yang relatif stabil di mana selain dari dialek-
dialek utama suatu bahasa (mencakup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku regional),
ada ragam lain.
b. Ragam lain (bukan dialek utama ) memiliki ciri: sudah terkodifikasi, gramatikalnya
lebih kompleks, sebagai wahana dalam keseluruhan kesusasteraan tertulis yang luas dan
dihormati, banyak dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam
tujuan-tujuan tertulis dan ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apa pun
dalam pembicaraan-pembicaraan biasa.
1. Diglosia menurut Fisman
Fishman (Chaer dan agustina, 2004:98) Diglosia tidak hanya berlaku pada adanya
pembedaan ragam T dan ragam R pada bahasa yang sama, melainkan juga berlaku pada
bahasa yang sama sekali tidak serumpun, atau pada dua bahasa yang berlainan. Jadi,
yang menjadi tekanan bagi Fishman adalah adanya pembedaan fungsi kedua bahasa atau
variasi bahasa yang bersangkutan. menurut Fishman dalam Sumarsono (2007:39)
mengartikan diglosia sebagai: obyek sosiolinguistik yang mengacu kepada
pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau bahasa yang mempunyai tugas-tugas
komunikasi berbeda dalam suatu masyarakat. Fishman mengacu kepada perbedaan
linguistik, bagaimanapun bentuk dan wujudnya, mulai dari perbedaan gaya dalam satu
bahasa sampai kepada penggunaan dua bahasa yang sangat berbeda. Menurut Fishman,
yang penting dalam hal ini adalah masing-masing ragam itu mempunyai fungsi yang
berbeda dan dalam ranah yang berbeda pula.
Sumarsono (2007:40), menambahkan pendapat Fisman dengan perumpamaan di sebuah
kota besar di Indonesia terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-
masing di samping bahasa Indonesia. Menurut Sumarsono, fungsi bahasa daerah berbeda
dengan bahasa Indonesia dan masing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula.
Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai
dalam ranah kerumahtanggaan, ketetanggaan, dan kekariban, sedangkan bahasa
Indonesia membangun suasana formal, resmi, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam
ranah persekolahan (sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (bahasa resmi dalam rapat),
dan dalam ranah keagamaan (khotbah).
Ciri-ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing
ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi (T) khusus digunakan dalam situasi-situasi formal
seperti kegiatan keagamaan, pidato-pidato, kuliah, siaran berita, atau pada tajuk rencana
dalam surat kabar. Sebaliknya, ragam bahasa rendah (R) biasa digunakan dalam situasi-
situasi santai seperti percakapan sehari-hari dalam keluarga, antara teman, cerita
bersambung dalam radio, atau dalam sastra rakyat.
Kalau Ferguson melihat diglosia hanya sebagai adanya pembedaan fungsi ragam T dan
ragam R dalam sebuah bahasa, maka Fishman melihat diglosia sebagai adanya
perbedaan fungsi, mulai dari perbedaan stilistik dari sebuah bahasa sampai adanya
perbedaan fungsi dari dua buah bahasa yang berbeda. Jadi, di dalamnya termasuk
perbedaan yang terdapat antara dialek, register, atau variasi bahasa secara fungsional
(Fishman 1972). Dalam situasi diglosia yang dikemukakan Fishman akan kita jumpai
adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa
Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai nama. Dalam masyarakat
Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur
tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag (ragam
kasar), basa loma (ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam sedang atau tengah), basa
lemes (ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat paling rendah), krama
(tengah), krama inggil (tingkat tinggi). Keduanya mempunyai ukuran baku masing-
masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya.
1. Diglosia menurut Fasold
Fasold (1984) dalam mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan
broad diglasia (diglosia luas). Di dalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya
antara dua bahasa atau dua ragam atau dua dialek secara biner, melainkan bisa lebih dari
dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat
yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga muncullah
apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping
diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia (Chaer dan agustina, 2004:98)
a. Double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi
bahasa secara berganda. Misalnya dalam masyarakat Indonesia, pada suatu situasi bahasa
Indonesia adalah bahasa T, dan yang menjadi bahasa R-nya adalah bahasa daerah. Pada
situasi lain bahasa Indonesia menjadi bahasa R, dan bahasa T-nya adalah bahasa Inggris. Jadi,
bahasa Indonesia mempunyai status ganda.
b. Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual, di mana
terdapat dua bahasa yang diperbedakan, satu sebagai bahasa T, dan yang lain sebagai bahasa
R. Tetapi baik bahasa R maupun T masing-masing mempunyai ragam atau dialek yang juga
diberi status R atau T. Contohnya, bahasa Jawa dianggap sebagai bahasa R dan bahasa T-nya
adalah bahasa Indonesia. Bahasa Jawa sebagai bahasa T mempunyai ragam bahasa seperti
basa krama yang diberi status ragam T dan basa ngoko yang berstatus R. Dalam bahasa
Indonesia juga seperti itu, ragam baku dianggap T, dan ragam non-baku dianggap ragam R.
c. Linear polyglosia adalah situasi kebahasaan yang pembedaan kederajatannya tidak
menggunakan model biner, tetapi berdasarkan sikap penutur. Misalnya saja, masyarakat Cina
di Indonesia. Berdasarkan sikap orang Cina yang terdidik, bahasa Indonesia dianggap bahasa
T, bahasa Mandarin dianggap bahasa DH (dummy high) yang berarti walaupun termasuk
ragam T, tetapi penggunaanya terbatas, dan bahasa Daerah termasuk ragam R.

Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2010. SOSIOLINGUISTIK: PERKENALAN
AWAL. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Halim, M, Z, A., Yusoff, M, F, Md. (2016). Diglosia dalam Salina: Satu Kajian
Sosiolinguistik. Proceeding of ICECRS, 1, 571-578, dapat diakses pada
https://doi.org/10.21070/picecrs.v1i1.527

Anda mungkin juga menyukai