Anda di halaman 1dari 11

MAESTRO TARI TOPENG

Rasinah yang akrab dipanggil Mimi Rasinah (lahir di Indramayu, 3 Februari 1930 meninggal
di Indramayu, 7 Agustus 2010 pada umur 80 tahun) adalah seorang empu tari topeng Cirebon,
satu-satunya yang tersisa sejak wafatnya Sawitri, penari topeng Cirebon asal Losari pada 1999.
Perjalanan hidup Mimi Rasinah yang tetap berpegang teguh pada kebudayaan kuno tari topeng
sampai akhir hayat menjadi inspirasi bagi banyak pihak. Rhoda Grauer, menjadi sutradara atas
film dokumenter yang berdurasi 54 menit yang berjudul Rasinah The Enchanted Mask
Dari kecil Mimi sudah menggeluti tari topeng yang diajarkan ayahnya. Pada umur 5 tahun ia
sudah diajarkan menari oleh ayahnya yang berprofesi sebagai dalang dan ibunya yang
berprofesi sebagai dalang ronggeng. Menginjak Mimi Rasinah berusia 7 tahun, ia mulai
berkeliling untuk bebarangan atau mengamen tari topeng. Ketika bangsa Jepang sampai ke
Indramayu, rombongan topeng ayahnya dituduh oleh Jepang sebagai mata-mata, sehingga
semua aksesori tari topeng dimusnahkan oleh bangsa Jepang hingga hanya satu topeng saja.
Pada agresi yang kedua dengan tuduhan yang sama, ayahnya tewas ditembak oleh Belanda.
Sepeninggal ayahnya, rombongan tari topeng Rasinah dipimpin suaminya, seorang dalang
wayang. Sampai tragedi G 30 S, mereka dilarang untuk manggung, karena tariannya yang
membangkitkan membangkitkan syahwat dan abangan. Tak cukup badai Gestapu, pada tahun
1970-an kelompok tari topeng Rasinah semakin sepi tanggapan, pentas tarling, dangdut,dan
sandiwara yang menggantikannya. Suami Rasinah akhirnya menjual seluruh topeng dan
aksesoris tari sebagai modal mendirikan grup sandiwara. Rasinah berhenti menari topeng
selama 20 tahun lebih, hanya menabuh gamelan saja untuk sandiwara.
Baru pada 1994, Endo Suanda dan seorang rekannya sesama dosen di STSI Bandung, Toto
Amsar Suanda, "menemukan kembali" Rasinah. tarian topeng Kelana yang dipertunjukkan
Rasinah membuat keduanya terpesona. Aura magis yang ada, serta karakter yang berubah-ubah
sesuai dengan karakter 8 topeng yang ada, dari mulai topeng panji sampai kelana, membuatnya
terpesona. Seketika itu juga semangat Rasinah untuk menari kembali bangkit, dan Rasinah
mulai kembali berpentas baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Keseriusan Mimi Rasinah dalam menggeluti kesenian ini dibuktikan dengan mempertahankan
tradisi tari ini, sehingga banyak yang menyebutnya klasik. Mimi Rasinah juga aktif
mengajarkan tari topeng ke sekolah-sekolah yang ada di Indramayu.
Pada tahun 2006, Rasinah jatuh pada saat mengambil air wudhu setelah mengajar tari di sebuah
sekolah di Indramayu. Dua pekan setelah dirawat di RSHS, Mimi mengakhiri jalan tarinya. Ia
mewariskan seluruh topeng dan aksesorinya kepada Aerli Rasinah, sang cucu penerus, dalam
sebuah upacara yang mengharukan sekali. Pada 15 Maret Aerli harus bebarangan di tujuh
tempat dalam sehari sebagai syarat untuk meneruskan Mimi Rasinah. Sejak hari itu,
keberadaan sanggar pun berada di pundah mahasiswa STSI Bandung berusia 22 tahun ini.
Meski sebagian tubuhnya lumpuh akibat stroke,[6] namun semangat Rasinah untuk menari
tetap ada, Rasinah berkata "Saya akan berhenti menari kalau sudah mati". Hal ini dibuktikan
pada tarian terakhirnya, ia menari di Bentara Budaya Jakarta dalam acara pentas seni dan
pameran "Indramayu dari Dekat", setelah tarian itu dia dia jatuh sakit dan dirawat di RSUD
Indramayu. Pada tanggal 7 Agustus 2010 Mimi Rasinah akhirnya meninggal dunia, namun
aktivitas menari di sanggar tarinya masih tetap berjalan.[7]
Mimi Rasinah dikebumikan di desa Pekandangan, Indramayu, Indramayu pada hari Minggu,
08/08/2010 sekitar pukul 9:00 WIB. Ratusan iring-iringan pelayat mengantarkan kepergian
sang maestro yang namanya telah mendunia karena tari topengnya. Prosesi pemakaman
maestro tari topeng Indramayu berlangsung secara sederhana. Warga yang turut mengantar
jasad sang maestro topeng gaya Indramayu sampai diperistirahatannya yang terakhir. Namun
hanya sejumlah seniman dan pejabat setempat yang hadir untuk mengikuti prosesi pemakaman.
https://id.wikipedia.org/wiki/Mimi_Rasinah

Dari film dokumenter Selamanya Mutiara (A film by: Syaiful H. Yusuf):


Mungkin inilah yang disebut kecintaan yang luar biasa, profesionalitas dan
totalitas dalam mengabdi untuk terus melestarikan kebudayaan nusantara.
Kecintaan dan keinginan Mimi Rsianah, seorang maestro tari dari Indramayu
yang namanya telah tersohor di dalam maupun luar negeri itulah
yang membuatnya gigih dan terus bertahan untuk tetap berkarya sampai akhir
khayatnya.

Mimi Rasinah adalah seorang wanita yang usianya sudah tidak bisa disebut muda lagi,
ya, paruh baya tepatnya. Namun, hal itu tak menghalanginya untuk terus berada diatas
panggung, menari mengikuti alunan musik gemelan. Dengan gerakan-gerakannya yang
memukau penontonnya. Tidak heran. Mimi Rasinah telah mulai menari sejak masih berumur
5 tahun. Ayahnya, Lastra yang juga adalah penari menjadi guru yang mengajarkannya hingga
menjadi seorang penari handal. Diusianya yang menginjak 7 tahun Mimi Rasinah mulai diajak
untuk mengamen di berbagai tempat seputaran Jawa Barat.
Ayahnya pula lah yang menunjuknya untuk menjadi seorang penerus Tari Topeng,
khususnya Tari Panji. Ketika usianya menginjak 9 tahun, ia harus melakukan ritual untuk bisa
menjadi seorang Penari Panji dan berbagai tari topeng lainnya, Tirakat namanya. Saat itu
Mimi Rasinah masih sangat muda untuk mengerti apa arti ritualnya. Disiplin tinggi selalu
Lastra terapkan pada setiap latihan Mimi Rasinah. Akan ada hukuman ketika kesalahan
dilakukan. Setelah dirasa menguasai semua jenis tari topeng, Mimi Rasinah diberikan warisan
topeng Panji yang telah turun temurun diberikan.
Meskipun namanya telah mendunia, namun ia beserta murid-murid di sanggar tarinya
tetap menerima tawaran manggung di acara-acara kecil, misalnya hajatan. Mimi Rasinah
tidak pernah memilih-milih ketika ada tawaran manggung. Seorang seniman ga boleh milih-
milih pernyataan Aerly, cucu Mimi Rasinah mempertegas. Cucu-cucu Mimi Rasinah dan anak
muridnya di sanggarnya sangat terharu, terkesan dan kagum akan kegigihan Mimi Rasinah,
sehingga mereka bertekad untuk juga meneruskan perjuangan Mimi Rasinah untuk
melestarikan dan meneruskan sanggar tari topengnya yang tidak hanya mengajarkan tari,
namun juga mengajarkan bagaimana memainkan gamelannya.

Pembacaan Film:

Dari film dokumenter tersebut terlihat ada beberapa hal yang ingin disampaikan kepada
pemirsa, antara lain:
Tradisi dan Kesenian
Dalam film ini diperlihatkan sebuah tradisi dan kesenian di Indonesia yang masih dijalani
seorang Mimi Rasinah sebagai penari bahkan maestro tari. Mimi rasinah beserta sanggar
tarinya. Dan bahkan ia menjalankan tradisi tirakat sebelum ia menjadi penari topeng yang
sesungguhnya, seperti sekarang.
Perjuangan
Film ini menggambarkan bagaimana Mimi Rasinah berjuang dan memperjuangkan apa yang
harus Mimi Rasinah perjuangkan. Tari Topeng. Yah itu dia! Mimi Rasinah berusaha untuk
mengenalkan Tari Topeng dimanapun dan kepada siapapun. Tidak memandang tampat dan
kelas. Dengan segala keterbatasan yang ia miliki, ia tetap memiliki tekad untuk tetap menari.
Apapun konsisinya dia akan tetap menari, usia ataupun keterbatasan fisik tidak akan
mengahalangi, kecuali jika Tuhan memanggilnya.
Setiap angle pengambilan gambar memperlihatkan setiap detil perjuangan yang dilakukan
dan keindahan lekuk tariannya yang memukau yang dapat mencerminkan sebagaimana
kegigihannya dalam mengabdi dan demi melaksanakan apa yang telah diturun-temurunkan
padanya.
Harapan
Sekalipun tidak terungkap dan diungkapkan, namun tersirat harapan bahwa Mimi Rasinah
ingin Tari Panji dan tarian tradisional beserta permainan gamelannya tetap ada dan tetap
lestari. Hal ini terbukti dengan segala perjuangannya yang tidak pernah lelah dan tidak pernah
berhenti hingga Mimi Rasinah meninggal. Salah satu harapan yang diungkapkannya adalah
keinginan untuk naik haji. Digambarkan dengan scene Mimi Rasinah yang sedang solat,
hingga terlihat sisi religiusnya.
Inspirasi
Sangat terlihat bahwa film Selamanya Mutiara ini ingin menyampaikan, memberikan dan
mendatangkan inspirasi kepada pemirsanya. Film ini dikemas secara apik namun tetap
sederhana, sehingga pemirsa dapat maksud yang disampaikan.

Inspirasi yang Didapat dari Film:

Mimi Rasinah memberikan inspirasi kepada kita semua, terutama para generasi muda
penerus bangsa agar memiliki hasrat atau keinginan untuk mempelajari dan selanjutnya
melestarikan kebudayaan dan atau kesenian yang kita miliki sebagai warisan leluhur.
Setidaknya hal ini dapat meminimalisir pengakuan oleh negara lain terhadap kebudayaan dan
kesenian yang kita miliki. Dapat kita lihat betapa gigih dan cintanya Mimi Rasinah hingga ia
memutuskan untuk menjadi penari sampai akhir khayatnya. Mimi Rasinah juga menaruh
sebuah harapan melalui tariannya, ia berharap dapat melaksanakan rukun Islam yang
terakhir, pergi Haji, sungguh harapan yang sangat mulia.
Kini, Aerly, cucu perempuannya yang meneruskan sanggar tarinya beserta berbagai
tariannya. Aerly dapat menjadi contoh bagi para generasi muda. Ia mau mengabdi untuk
meneruskan apa yang telah diperjuangkan neneknya.
http://denarosiana.blogspot.co.id/2013/03/mimi-rasinah-sang-maestro-tari.html

Mimi Rasinah, Empu Tari Topeng Cirebon

Kecintaan perempuan yang lahir di Indramayu, 3 Februari 1920 ini pada tari topeng tak goyah sampai
akhir hayatnya. Sejak kecil, Rasinah sudah menggeluti tari topeng yang diajarkan Ayahnya. Bersama
orangtuanya, Ayah sebagai dalang dan Ibunya menjadi dalang ronggeng, mereka berkeliling
mengamen tari topeng. Usia Rasinah kala itu baru menginjak 7 tahun.

Ketika Jepang masuk ke Indramayu, rombongan topeng Ayahnya dituduh Jepang sebagai mata-mata
dan Jepang memusnahkan semua perlengkapan tari topeng milik keluarga mereka. Dengan tuduhan
yang sama, Ayahnya ditembak mati Belanda pada agresi yang kedua. Rasinah sempat berhenti menari
topeng selama lebih dari 20 tahun ketika tarling, dangdut dan sandiwara "menggusur" seni tari topeng.
Suaminya lalu menjual seluruh topeng dan aksesoris tari sebagai modal mendirikan grup sandiwara
dengan Rasinah sebagai penabuh gamelannya. Dengan masygul, perempuan itu terpaksa memendam
hasrat menarinya.

Barulah pada 1994, kemampuan Rasinah menari topeng memukai Endo Suanda dan Toto Ansar Suanda,
dosen STSI Bandung yang "menemukan kembali" Rasinah dan topengnya. Kemampuannya menarikan
berbagai lakon dan berganti karakter sesuai topeng yang dikenakannya membuat nama Rasinah
dikenal hingga mancanegara.

Keseriusan Rasinah menggeluti tari topeng dibuktikannya dengan mempertahankan tradisi tari ini
hingga dia menutup usia pada 7 Agustus 2010. Meski Rasinah telah tiada, kegiatan menari di sanggar
tari miliknya masih tetap berjalan. Dia mewariskan seluruh topeng dan aksesorisnya kepada Aerli
Rasinah, cucunya.

http://www.adenursaadah.com/2015/03/sang-maestro.html
Istilah topeng Priangan dimaksudkan untuk menyebut jenis tari topeng di luar Cirebon. Istilah ini
muncul belakangan setelah kehidupan tari di daerah ini banyak dipengaruhi oleh tari-tarian topeng
Cirebon. Istilahnya diperkirakan muncul setelah kemerdekaan Indonesia, yakni setelah para
koreografer tari Sunda, terutama Tjetje Somantri, membuat beberapa tari topeng yang bersumber
dari tari topeng Cirebon. Keterangan lama dari Pigeaud bisa dirujuk sebagai dasar dimulainya denyut
kehidupan topeng di daerah Priangan yang dimulai dari Sumedang. Sepanjang yang dapat saya
telusuri, pertunjukan wayang-wong dengan topeng adanya belum lama, dibandingkan dengan
topeng. Perkembangan wayang wong erat hubungannya dengan perkembangan wayang golek.
Karena hendak meniru wayang bendo, maka Pangeran Aria Surdjakoesoemahadinata, mantan
Bupati Sumedang, mempunyai ide untuk membuatkan boneka-boneka semacam itu, akan tetapi
tokoh-tokohnya dari wayang kulit, jadi dari lakon-lakon cerita Ramayana dan Mahabarata. Tidak lama
kemudian datang penari-penari terkenal dari Cirebon, yang mempertunjukkan lakon Panji dan lakon
Menak, di mana mereka menggunakan topeng. Pangeran tersebut, yang gemar sekali akan wayang
dan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan wayang, kemudian menyuruh para penarinya
(wanita) belajar mempertunjukkan lakon-lakon dari kedua epos tersebut. Untuk menutupi wajah
wanita-wanita itu; mereka disuruh memakai topeng. Sebagai tutup kepala para pemain itu memakai
makuta dari tembaga atau kaleng.

Gambar tari topeng priangan


Wallpaper tari topeng priangan

Sumedang memang dari dulu menjadi tempat persinggahan para pengamen (wong bebarang) topeng
dari Cirebon. Dalam salah satu tulisannya R.Tjetje Somantri menerangkan sebagai berikut:

Ti taun 1900-na Sumedang, Bandung, Garut sareng Tasikmalaya sok kadongkapan rombongan
Topeng ti Tjirebon. Nu Djadi dalangna (nu nopengna) duaan, nja eta Bapa Kontjer sareng Bapa
Wentar. Ieu topeng teu kinten padjengna ku tina saena, malah sok sering ditanggap di kabupaten.
Lami2 seueur para nonoman nu kabaritaeun harojong ngiring ariasa ngibing; nja ladjeng galuguru ka
Bapa Kontjer sareng Bapa Wentar tadi. (Dari tahun 1900-an Sumedang, Bandung, Garut dan
Tasikmalaya seringkali kedatangan rombongan topeng dari Cirebon. Dua orang yang menjadi dalang
(penari), yaitu Bapak Koncer dan Bapak Wentar. Karena bagusnya, topeng ini sangat laris dan
seringkali ditanggap di kabupaten. Lama-lama banyak kaum muda yang ingin belajar menari, mereka
berguru kepada Bapak Koncer dan Bapak Wentar tadi).
Tradisi topeng pada umumnya memang hidup di belahan utara Jawa Barat. Cirebon adalah pusatnya
dan tersebar ke berbagai pelosok Jawa Barat melalui kegiatan wong bebarang. Adapun sebutan
topeng Priangan pada dasarnya dimaksudkan untuk menegaskan perpedaan penyajian dengan
topeng lainnya, karena pertunjukan topeng di masing-masing daerah mempunyai sebutannya sendiri.
Misalnya topeng banjet, topeng Betawi, topeng Cisalak, dan sebagainya. Topeng Priangan hanyalah
beberapa tarian lepas hasil rekomposisi para koreografer tari Sunda dari topeng Cirebon.
Pertunjukannya tidak mengenal susunan karakterisasi seperti halnya topeng Cirebon. Tari topeng
Koncaran, tari topeng Menak Jingga, karya Tjetje Somantri misalnya, adalah tari topeng yang tidak
terkait dengan sebuah tahapan karakterisasi. Demikian pula tari-tari topeng karya Nugraha Sudiredja
yang muncul pada sekitar pertengahan tahun 70-an, adalah tari-tarian lepas, sama halnya dengan
tari-tari topeng yang diciptakan Tjetje Somantri. Tari topeng Kencana Wungu, misalnya, adalah tari
Topeng Pamindo gaya Palimanan yang direkomposisi oleh Nugraha Sudiredja. Demikian pula tari
topeng Tumenggung, tari topeng Tilu Watak, pada dasarnya adalah rekomposisi dari tari-tarian
topeng Cirebon yang semangat dan estetikanya dipriangankan.

http://suog.co/sejarah-kesenian-tari-tradisional-topeng-priangan.html
Biografi dan riwayat hidup tjetje somantri

Foto tjetje somantri

Tjetje Somantri adalah seorang tokoh tari Sunda yang sangat penting dalam khasanah tari Sunda.
Nama lengkapnya adalah R. Rusdi Somantri, yang kemudian dipanggil dengan nama Tjetje. Lahir di
Wanayasa, Purwakarta 1892 dari pasangan R. Somantri Kusumah dan Ny. R. Siti Munigar. Ayahnya
meninggal sejak ia masih dalam kandungan ibunya yang baru berusia delapan bulan. Tjetje,
kemudian dibesarkan pamannya, R. Karta Kusumah hingga dewasa. Ia mempunyai saudara seibu
yakni R. Basari, R. Mujenan, dan R. Jumanah.

Pada tahun 1907, ia menyelesaikan sekolah di DIS dan meneruskan sekolahnya di Voor Work OSVIA
(Opleidingschool Voor Inlandsche Ambternaren), yakni sekolah Pamong Praja atau sekolah menak di
Bandung. Ketika masih sekolah di OSVIA, ia sudah gemar menari tayub. Kegemaran menari dalam
tayuban, menyebabkan ia sering bolos sekolah, dan oleh sebab itulah ia tidak menamatkan
sekolahnya. Oleh pamannya, Patih Mayadipura, ia dimasukkan sebagai pegawai di suatu kecamatan
di Purwakarta. Akan tetapi, karena sering mangkir, ia kemudian diberhentikan.

Pada tahun 1916, Tjetje bekerja di kantor Kehutanan Purwakarta dan mendapat jabatan sebagai
Mantri Polisi Kehutanan. Di kantor ini pun ia sering tak masuk kerja hanya karena ia sangat mencintai
seni tari. Pada tahun 1918, pamannya menganjurkan agar melamar pekerjaan lain di Bandung. Ia
kemudian diterima bekerja di sebuah bank milik pemerintah kolonial Belanda di Jl. Braga No. 14,
yakni bank Denis (De Earste Nederlandsche Indische Spaarkas en Hipotheek bank). Nampaknya ia
tak betah bekerja. Di bank ini pun ia seringkali mangkir, bahkan oleh teman-temannya yang bangsa
Belanda itu, ia acapkali ditegur yang akhirnya berujung dengan pertengkaran. Tjetje akhirnya ke luar
dari bank tersebut.

Belajar menari sejak usia muda. Tari Tayub dipelajarinya dari Aom Doyot, (Wedana Leuwiliang,
Bogor) di Pendopo Kabupaten Purwakarta sekitar tahun 1911. Tari topeng Cirebon yang dipelajari
dari Wentar dan Koncer (dalang topeng Cirebon) pada tahun 1918 bersama teman-teman
sebayanya, antara lain Asep Berlian, Endang Thamrin, dan lain-lain. Tarian yang dipelajarinya, antara
lain topeng Pamindo, topeng Klana, dan lain-lain. Ia juga belajar tari kepada dua orang guru asal
Susukan-Cirebon, Kamsi dan Karta. Pada tahun 1925, Tjetje kemudian memperdalam tari topeng
kepada salah seorang Pangeran Kesultanan Cirebon, Elang Oto Denda Kusumah. Tari-tarian yang
dipelajarinya antara lain: Menak Jingga, Anjasmara, Jingga Anom Nyamba, Anjasmara, Menak
Koncar, Panji, dan Kendit Birayung. Pada tahun ini pula ia belajar wayang wong kepada Aom Menim,
Camat Buah Batu. Dalam pertunjukan wayang wong pada tahun 1926 yang diselenggarakan atas
prakarsa Bupati Bandung, Kanjeng Adipati Arya Wiranata Kusumah V, dan dikoordinir oleh R.A.
Adiputra, Tjetje diberi peran tokoh Baladewa. Pada tahun ini pula ia menjadi guru tari di OSVIA
dengan mengajarkan tari keurseus dan tari wayang.

Pada tahun 1930, Tjetje bertemu dengan R.M. Sutignja dan banyak mendapat petunjuk tentang
kepenarian Jawa. Ia juga belajar tari Jawa kepada Sudiani dan Sujono pelatih tari yang bertempat di
Gedung Mardi Harjo. Sudiani dan Sujono adalah dua pelatih tari di Perkumpulan Tirtayasa dan Sekar
Pakuan pimpinan Tb. Oemay Martakusumah. Sedangkan pada tahun 1935, Tjetje bertemu dengan
Tb. Oemay Martakusumah, seorang pegawai Jawatan Kebudayaan Jawa Barat dan pimpinan Badan
Kesenian Indonesia (BKI). Rupanya, pertemuan dengan Tb. Oemay Martakusumah menjadi berkat
bagi Tjetje, ia bak peribahasa ikan masuk ke dalam air. Jiwa seninya kemudian tersalurkan, bakat
dan kreativitasnya terbina. Ia kemudian dijadikan sebagai salah satu pengajar tari di BKI. Di dalam
wadah kesenian itulah ia berkreativitas, menciptakan berbagai macam tarian. Tari yang diciptakannya
kebanyakan tari putri, seperti tari Anjasmara, Sekarputri, Sulintang, Ratu Graeni, Kandagan, Merak,
Srigati, Dewi, Topeng Koncaran, dan sebagainya. Tari-tarian putra antara lain: Kendit Birayung,
Menak Jingga, Yuyu Kangkang, Panji, dan sebagainya. Sedangkan kostum tari-tariannya
kebanyakan didesain oleh Tb. Oemay Martakusumah.

Suatu catatan penting bahwa, karya tari Tjetje Somantri telah memperkaya khasanah seni tari Jawa
Barat. Bagaimanapun ia adalah seorang koreografer pembaharu tari Sunda, yang kemudian banyak
menginspirasi banyak seniman tari lainnya. Ia pulalah yang mendobrak imij penari wanita (ronggeng)
dari jelek menjadi terhormat. Selain itu, ia pun berhasil membuat tradisi baru dalam menyajikan tari,
yakni dengan membuat tari rampak.

Bersama para penari wanita, karya-karya tarinya seringkali dipentaskan di berbagai event, di dalam
maupun di luar negeri, serta diajarkan di berbagai sekolah. Kini, sebagian karya tarinya menjadi salah
satu mata kuliah/pelajaran di sekolah seni dan di perguruan tinggi seni seperti KOKAR Bandung (kini
SMKI/SMK 10) Bandung, ASTI (kini STSI) Bandung, dan IKIP (kini UPI) Bandung. Atas jasa-jasanya
di bidang seni tari, pada tahun 1961 ia mendapat anugerah seni berupa Piagam Wijaya Kusumah dari
pemerintah Republik Indonesia.

http://suog.co/biografi-dan-riwayat-hidup-tjetje-somantri.html

Arti Topeng dalam Kesenian Indonesia


http://ewintribengkulu.blogspot.com/2012/10/arti-topeng-dalam-kesenian-indonesia.html

Arti dan asal-usul penggunaan istilah topeng di Indonesia dapat ditelusuri dari beberapa
sumber pustaka dan catatan-catatan tempo dulu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
tertulis topeng atau kedok adalah penutup muka yang terbuat dari kayu (kertas dan
sebagainya) berupa orang, binatang dan sebagainya (Poerwadarminta, 1997: 1087).
Sedangkan dalam Ensiklopedia Indoensia dijelaskan dalam Bahasa Jawa, topeng bearti kedok
yaitu hasil seni ukir, berupa kedok atau penutup wajah, lazimnya dari kayu berwujud tokoh
legendaris, wayang dan sebagainya. Pada umum raut muka pada topeng dibentuk
karakteristik (dilebih-lebihkan untuk memperoleh citra yang berkesan (Shaddly, 1984:
2359). Menurut kata sifat topeng ialah sikap kepura-puraan untuk menutupi maksud yang
sebenarnya (Prayitno, 1999: 111).

Kata Topeng dalam Ensiklopedia Tari Indonesia berasal dari kata tup yang bearti tutup.
Kemudian karena gejala bahasa yang disebut pembentukan kata (formative form) kata tup ini
ditambah dengan kata eng yang kemudian menjadi tupeng. Tupeng kemudian mengalami
beberapa perubahan sehingga menjadi topeng kata lain dari topeng di Indonesia dalam
bahasa Sunda adalah kedok yang berdekatan dengan wedak sebagai sesuatu yang diletakkan
pada muka seseorang (Ensiklopedia Tari Indonesia, 1986: 1996-1997).

Buku pertama yang digunakan penulis dalam


mengkaji arti dan fungsi topeng adalah buku karya Maman Suryaatmadja berjudul Topeng
Cirebon (1980). Menurutnya secara etimologis kata topeng terbentuk dari asal kata: ping,
peng, pung dan sebagainy yang artinya bergabung ketat kepada sesuatu (1980: 27).
Istilah lain yang berkaitan dengan kata topeng diantaranya terdapat dalam bahasa Sunda
tepung (bertemu atau bersambung), napel (melekat, menempel). Dalam bahasa Bali tapel atau
topeng artinya terbentuk dari asal kata pel yang bearti melekat pada sesuatu; menempel pada
sesuatu. Di daerah Lampung Selatan dikenal istilah tuping yang merupakan gabungan dari
kata tup (artinya tutup) dan kata pung (artinya merapatkan pada sesuatu atau menekan
kepadanya).

Dalam kepustakaan Jawa dan Jawa Tengahan seperti kitab Negara Kertagama (1365 M) dikenal
istilah raket yang menjelaskan sesuatu permainan tari topeng. Dalam kidung sunda disebut
istilah patapelan menunjukan kepada pegelaran drama tari topeng, dalam pararaton terdapat
istilah tapuk dan anapuk artinya menari topang (Suryaatmadja, 1980: 27).

Menurut Soedarsono istilah topeng berakar dari kata tapuk yang berarti topeng. Tapuk secara
harfiah berarti menampar dan biasanya yang dikenai adalah muka. Oleh karena itu,
Soedarsono berkeyakinan bahwa matapukan berarti menyajikan tari topeng dan hatapukan
berarti penyaji tari topeng.

Untuk sumber kedua yang digunakan penulis adalah tesis karya Usep Kustiawan yang berjudul
Topeng Sebagai Bentuk Seni Rupa dalam Kesenian Tradisional Cirebon, dalam tesis tersebut
dikatakan bahwa istilah topeng dalam kaitannya dengan asal kata tapuk dan tapel yang
berhubungan dengan drama tari topeng terdapat dalam beberapa prasasti dari abad ke-9
seperti pada prasasti Wahara Kuti (840 M) terdapat istilah atapukan artinya topeng atau
petugas yang berkuasa tentang pertunjukan topeng. Pada prasasti Candi Perot (850 M) tertulis
kata manapel berasal dari kata tapuk atau tapel yang berarti topeng. Pada prasasti Bebetin
(896 M) terdapat kata patapukan yang berarti perkumpulan topeng. Pada prasasti Mantiasih
(904 M) terdapat istilah matapukan dan manapukan yang artinya berhubungan dengan
penyajian drama dari topeng (Kustiawan, 1996: 32).

Memperhatikan asal-usul istilah topeng dan pemakaian asal kata tapuk dan tapel mengarah
pada pengertian penutup muka. Maka dapat disimpulkan bahwa pengetian topeng adalah
penutup muka hasil seni ukir berbentuk wajah manusia atau binatang yang terbuat dari kayu,
logam, kertas dan sebagainya.

Refrensi:

1. Kustiawan, U. (1966). Topeng Sebagai Bentuk Seni Rupa Dalam Kesenian Tradisional Cirebon.
Tesis FSRD ITB. Tidak Diterbitkan
2. Poerwadarminta, WJS. (1997). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
3. Prayitno, S. (1999). Membuat Aneka Barang Kerajinan Cinderamata. Bandung: Humaniora
Utama Press (HUP)
4. Shaddly, H. (1980). Ensiklopedia Indonesia 6. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
5. Surjaatmadja, Maman. (1995). Tari Topeng Cirebon dan Peranannya di Masyarakat.Bandung :
STSI Press

http://ewintribengkulu.blogspot.com/2012/10/arti-topeng-dalam-kesenian-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai