Anda di halaman 1dari 2

Faktor regulasi emosi :

a) Usia
Perkembangan struktur otak seorang individu seiring bertambahnya usia berkaitan dengan
kemampuan individu untuk dapat meregulasi emosinya (Gratz & Roemer,2004).
Perkembangan struktur otak yang dimaksud ialah meningkatnya fungsi konteks lobus
prefrontal dimana pikiran abstrak diproses (Papalia&Feldmen, 2012). Oleh sebab itu,
semakin meningkat usia seorang maka semakin meningkat pula kemampuan regulasi
emosinya.
b) Jenis kelamin
Jika diukur dari usaha untuk meregulasi emosi, regulasi emosi perempuan lebih baik
dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan dapat menggunakan bagian prefrontal untuk
meregulasi emosi lebih baik dari pada laki-laki; Amigdala pada perempuanpun lebih
sensitive untuk merespon emosi dibangdingkan laki-laki; perempuan lebih dapat
mempertahankan bagian ventral striatal, yang berkaitan dengan proses reward untuk
memperkuat regulasi emosi dibandingkan dengan laki-laki ( McRac et. al, 2008)
c) Budaya
Menurut temuan Kitayama, Karasawa dan Mesquita (2004) budaya dapat mempengaruhi
regulasi emosi diri. Lebih lanjut, budaya yang dimaksud oleh peneliti tersebut ialah
bagaimana seseorang individu melihat dirinya di masyarakat. Kitayama, Karasawa dan
Mesquita (2004) pun membedakan regulasi emosi yang dilakukan seorang individu pada
budaya kolektif dan pada budaya individual. Pada budaya kolektif regulasi emosi
cenderung memiliki tujuan interdependen, yang mana bertujuan untuk mendekatkan diri
dengan lingkungan sekitar, saat individu mencapainya maka emosi positif akan meningkat.
Sementara pada budaya individual, regulasi emosi cenderung memiliki tujuan independen,
yang mana bertujuan untuk memaksimalkan potensi diri dan menyadari nilai yang
dianutnya, saat individu mencapai tujuan tersebut maka emosi positif cenderung
meningkat. Dapat disimpulkan bahwa cara pandang suatu budaya terhadap cara meregulasi
emosi berbeda-beda.
d) Agresi
Rendahnya tingkatan regulasi emosi terkait dengan tingkah laku tidak terkendali,
rendahnya tingkah laku prososial dan sensitif terhadap emosi negatif dan penolakan sosial,
artinya mudah tersingsung ( Thompson, 1990). Selain Thompson (1990), keterkaitan
antara regulasi emosi dengan tingkah laku agresif diperkuat oleh pernyataan Baumeister
(1994) yang menyatakan bahwa regulasi emosi sebagai bentuk dari regulasi diri terkait
dengan tingkah laku agresif verbal, seperti tingkah laku menghina dan mengejek.
Eisenberg (2000) menambahkan bahwa jika kapasitas regulasi emosi rendah maka akan
timbul hasrat dan tingkah laku tidak terbendung. Dengan kata lain disregulasi emosi
berkaitan

Anda mungkin juga menyukai