Anda di halaman 1dari 50

1

KOMPLIKASI AKUT INTRADIALISIS

Alwi Thamrin Nasution, Radar Radius Tarigan, Joshua Patrick

Divisi Nefrologi-Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Hemodialisis merupakan terapi paling sukses dan paling sering digunakan sebagai bentuk
terapi pengganti ginjal. Keberhasilan dan penggunaan di seluruh dunia secara luas
membuktikan manfaat dan keamanannya. Tanpa adanya terapi ini, lebih dari satu juta pasien
di seluruh dunia akan mati dalam waktu beberapa minggu. Hemodialisis berhasil dilakukan
untuk pertama kalinya pada tahun 1944 oleh Willem Kollf pada pasien dengan gagal ginjal.
Hemodialisis juga dapat menyebabkan beberapa komplikasi. Selama tahun-tahun pertama
setelah pengenalan hemodialisis, komplikasi yang umum disebabkan oleh permasalahan
teknis yang terkait dengan dialysis mesin dan sistem air. Namun saat ini, seiring dengan
kemajuan teknologi terutama pada 20 tahun terakhir, komplikasi-komplikasi diatas sudah
menurun. Adanya komplikasi lainnya selain mesin dialisis dan sistem air tetap sebagai

penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas pada pasien hemodialisis saat ini.1
Komplikasi akut hemodialisis didefinisikan sebagai adanya manifestasi klinis terkait
dengan hemodialisa yang terjadi selama sesi dialisis atau dalam 24 jam pertama setelah
2
dialisis. Komplikasi kardiovaskular merupakan komplikasi akut yang paling umum dari
hemodialisis saat ini. Di antara komplikasi kardiovaskular, gejala hipotensi intradialisis terjadi
3
antara 20% sampai 50%, dan itu tetap merupakan masalah penting. Komplikasi lain yang
menjadi perhatian adalah aritmia terkait hemodialisis, dengan data dilaporkan +5%-75%.
Jenis paling umum dan mematikan dari aritmia adalah aritmia ventrikel dan ektopik. Tingkat
hemodialisis terkait aritmia ventrikel kompleks adalah sekitar 35% dan tipe kedua yang paling
4,5
umum dari aritmia adalah atrium fibrilasi sekitar 27%. Sekitar 62% dari kematian jantung
mendadak dikaitkan dengan gangguan aritmia. 6 Tahun pertama hemodialisis sangat berkaitan
penting dengan kejadian kematian jantung mendadak, yang ditemukan pada 93 dari 1.000
pasien pada tahun pertama hemodialisis.7
Universitas Sumatera Utara
2

Komplikasi kram diamati pada 24% -86% dari kasus selama tahun-tahun pertama terapi
dialisis, namun data menunjukkan bahwa hanya 2% pasien menderita kram setelah memiliki
2 sesi hemodialisis dalam seminggu.8 Komplikasi umum lainnya termasuk mual, muntah
dengan kejadian 5% -15%, sakit kepala dengan kejadian 5% -10% dan gatal-gatal dengan
kejadian 5% -10%.9 Meskipun kram, mual-muntah, sakit kepala dan gatal-gatal tidak
menyebabkan kematian, namun dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Disequilibrium
sindrom dan komplikasi yang terkait dengan dialiser, sistem air dan mesin dialisis saat ini
jarang terjadi tetapi mungkin memiliki konsekuensi fatal.
Hemodialisis masih menyebabkan banyak komplikasi meskipun sudah diikuti oleh
kemajuan teknologi. Sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi terutama di masa
awal hemodialisis dan komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Beberapa komplikasi
mungkin tidak mengancam kehidupan pasien tetapi memperburuk kualitas hidup pasien.
Manajemen yang tepat terhadap komplikasi ini akan memberikan kehidupan yang lebih

panjang dan kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien.1

KLASIFIKASI KOMPLIKASI AKUT INTRADIALISIS


Komplikasi akut hemodialisis dapat dikalsifikasikan sebagai berikut1
a. Komplikasi kardiovaskular
- Hipotensi
- Aritmia
- Perikarditis
- Sudden cardiac death
- Nyeri dada
b. Komplikasi terkait peralatan hemodialisis
- terkait dengan alat hemodialisis
- terkait dengan membran
- terkait sistem air
- terkait dengan akses vaskuler
c. Komplikasi neurologi
- Sindrom disequilibrium
Universitas Sumatera Utara
3

- Cerebrovaskulasr event
- perubahan kesadaran
- nyeri kepala
- kejang
- tremor
d. Komplikasi terkait terapi antikoagulan
- Heparin induced trombositopenia
- diathesis perdarahan
e. Komplikasi hematologi
f. Lainnya seperti mual, muntah, gatal, kram.

KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR
Hipotensi
Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari
hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. Pengertian intradialytic
hypotension (IDH) tidak memiliki standardisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang
berbeda. Kebanyakan mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai
munculnya gejala spesifik mulai dari asimptomatik sampai dengan syok. The EBPG working
group menekankan bahwa menurunnya tekanan darah, disertai dengan munculnya gejala
klinis yang membutuhkan intervensi medis harus dipikirkan kemungkinan munculnya IDH.
Beberapa literatur mengemukakan bahwa IDH ditandai dengan penurunan tekanan darah
sistolik 30 atau tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Hipotensi pada dialisis
bisa muncul dengan beberapa gambaran klinis: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan
sebagai penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak
20 mmHg diikuti dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama seperti
yang sebelumnya, namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii) kronik, yaitu
hipotensi persisten yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis tetap dalam kisaran
90-100 mmHg. Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensi intradialisis
(Intradialytic hypotension) sebagai suatu penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau
penurunan Mean arterial pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan munculnya gejala-
Universitas Sumatera Utara
4

gejala seperti: perasaan tidak nyaman pada perut (abdominal discomfort); menguap
(yawning); mual; muntah; otot terasa kram (muscle cramps), gelisah, pusing, dan

kecemasan.10,11,12,13
Penyebab dari IDH adalah multifaktorial. Pada satu sisi, kondisi pasien dapat
mencetuskan penurunan tekanan darah selama hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes
dan kardiomiopati, anemia, large interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat
antihipertensi. Pada sisi lain, faktor-faktor yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat
berkontribusi terhadap instabilitas hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju
ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat yang

rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari membran dan lain-lain.10,11

14
Tabel 1. Faktor penyebab hipotensi Intadialisis

IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskular
dalam merespon penurunan volume darah secara adekuat. Respon adekuat dari sistem
kardiovaskular termasuk refleks aktivasi sitem saraf simpatetik, termasuk takikardia dan
vasokonstriksi arteri dan vena yang merupakan respon dari cardiac underfilling dan
hipovolemia. Adanya gangguan dalam mekanisme kompoensasi ini akan menyebabkan
terjadinya IDH.
Universitas Sumatera Utara
5

Dalam konsep Plasma Refilling, Volume darah tergantung dari dua faktor utama, yaitu
kapasitas plasma refilling dan laju ultrafiltrasi. Selama sesi HD, cairan dipindahkan langsung
dari kompartemen intravaskular. Jumlah total cairan tubuh (TBW), sekitar 60% dari berat
badan, didistribusikan di intraseluler (40% BW) dan sebagian lagi di kompartemen
ekstraselular (20% BW). Ekstraselular dapat dibagi lagi menjadi interstisial (15% BW) dan
intravaskular (5% BW). Sehingga hanya sekitar 5-8% dari TBW yang dapat diultrafiltrasi.
Sehingga untuk memindahkan sejumlah cairan substansial dalam jangka waktu tertentu,
kompartemen vaskular harus melakukan refilling secara terus menerus dari ruangan
interstisial. Dalam lingkaran fisiologis, penurunan volume darah akan menginisiasi
peningkatan resistensi vaskular perifer, dikarenakan vasokonstriksi, dan mempertahankan
cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate dan kontraktilitas miokard dan konstriksi
dari capacitance vessels. Orang sehat dapat mentoleransi penurunan volume sirkulasi darah
sampai 20% sebelum munculnya hipotensi. Namun, pada pasien dengan HD, hipotensi dapat
muncul hanya dengan penurunan volume darah dalam jumlah yang lebih sedikit.
Terganggunya respon kardiak berupa peningkatan heart rate dan kontraktilitas miokardium
dapat mencetuskan terjadinya IDH. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa adanya penyakit
jantung, yang menyebabkan disfungsi sistolik atau diastolik meningkatkan resiko terjadinya
IDH. Penurunan tekanan darah lebih besar pada pasien dengan disfungsi sistolik dibandingkan
denga fungsi sistolik normal. Hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dan diastolic filling
10,11
yang terganggu juga dijumpai pada pasien IDH.
Plasma refill sebagian besar diperankan oleh tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik.
Selama sesi HD awal, tekanan onkotik vaskular meningkat dan tekanan hidrostatik menurun
sebagai hasil dari ultrafiltrasi yang progresif. Perubahan gradien tekanan menyebabkan cairan
bergerak ke dalam vaskular sampai keseimbangan tercapai. Begitu seterusnya sampai sesi HD
berakhir. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi laju plasma refilling adalah: status
hidrasi kompartemen interstisial, osmolalitas plasma, dan konsentrasi plasma protein,
konsentrasi sodium dialisat, permeabilitas vaskular, dan venous compliance. Sehingga, IDH
dapat muncul ketika terjadinya ketidakseimbangan diantara laju ultrafiltrasidan kapasitas

plasma refilling yang tidak bisa diatur oleh refleks kompensasi kardiovaskular.10-11
Universitas Sumatera Utara
6

Cardiac underfilling terutama ventricular underfilling merupakan salah satu mekanisme


akibat terganggunya mekanisme kompensasi kardiovaskular yang dapat memicu sympatico-
inhibitory cardiodepressor Bezold-Jarish reflex. Refleks ini berupa suatu keadaan bradikardia
akibat gangguan respon simpatik yang terganggu. Beberapa penelitian telah menunujukkan
bahwa gangguan fungsi simpatik, dapat ditunjukkan dengan beberapa manifestasi, seperti
berkurangnya frekuensi heart rate. Berkurangnya resistensi dan kapasitansi pembuluh darah
selama penurunan volume darah dapat memicu IDH. Berkurangnya konstriksi dari arteriolar
dapat mengganggu respon fisiologis terhadap keadaan hipovolemia. Berkurangnya konstriksi
aktif dan pasif dari venula dan vena, yang menyebabkan berkurangnya venous return selama

hipovolemia.10,11,15

Gambar 1. Patogenesis Intradialisis Hipotensi


Universitas Sumatera Utara
7

Gambar 2. Skema Mekanisme Intradialisis Hipotensi

Dalam tindakan prevensi dan manajemen hipotensi intradialisis, hal yang pertama
dilakukan adalah edukasi kepada pasien untuk mencegah terjadinya hipotensi. Dalam proses
pencegahan hipotensi, terdapat faktor utama yaitu faktor pasien dan faktor prosedur dialisis.
11
Dalam penatalaksanaan terdapat 3 pendekatan dalam hipotensi intradialisis yaitu
Pendekatan Lini Pertama
- Konseling asupan makanan (restriksi garam)
- Menghindari asupan makanan selama dialisis
- Pengukuran berat badan kering
- Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialisis
- Penggunaan temperatur dialisat 36.5oC
- Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi
Pendekatan Lini kedua
- Evaluasi performa jantung
- Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari 36.5oC sampai 35oC
- Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialisis
- Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l
Pendekatan Lini Ketiga
Universitas Sumatera Utara
8

- Pertimbangan pemberian midodrine


- Pertimbangkan suplementasi L-carnitine

Tabel 2. Prevensi dan Manajemen Hipotensi Intradialisis

Aritmia
Aritmia adalah komplikasi yang sering diamati pada pasien hemodialisis yang umumnya
16
terjadi selama dan setelah dialisis. Prevalensi aritmia bervariasi antara 17-76% dan 5- 75%
17
dalam penelitian lain. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Severi S et al,
18
peningkatan denyut jantung terlihat pada 30% pasien di akhir hemodialisis. Perbedaan
angka dari studi terkait dengan karakteristik pasien dan jenis aritmia.
Universitas Sumatera Utara
9

Etiologi dari aritmia terkait hemodialisis adalah multi-faktorial. Terapi dialisis itu sendiri
dapat menyebabkan perubahan yang menimbulkan rangsangan pada miokardium. Hal ini
terjadi karena perubahan komposisi cairan dalam tubuh, PH dan konsentrasi panas dan
elektrolit. Pasien dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani terapi dialisis rentan terhadap
aritmia karena mereka biasanya memiliki pemberat iskemik penyakit jantung, hipertrofi
ventrikel kiri atau neuropati otonom. Obat-obat anti aritmia yang digunakan oleh pasien
mungkin juga terdialisis sehingga rentan terhadap aritmia selama atau setelah hemodialisis.

Prevalensi fibrilasi atrium sebagai salah satu jenis aritmia dilaporkan sekitar 27%. 17 Dua jenis
aritmia yaitu kompleks aritmia ventrikel dan kompleks ventrikel prematur, meningkatkan
angka mortalitas dan morbiditas.
NKF-DOQI merekomendasikan bahwa karena kerentanan pasien hemodialisis untuk
terjadi aritmia, maka setiap pasien dialisis harus menjalani 12-lead EKG terlepas dari usianya.
Dalam hal atrial fibrilasi, penggunaan B blockers, calcium channel blockers dan amiodaron
10
dapat bermanfaat untuk mengontrol rate. Sedangkan indikasi menggunakan antikoagulan
dalam mencegah stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium masalah dalam kontroversial
karena kelompok pasien HD rentan terhadap perdarahan.19 Saat ini, terapi antikoagulan dapat
diterapkan dengan cara yang sama seperti pada normal populasi, tetapi kerentanan pasien
terhadap perdarahan dan reaksi dengan obat lain yang mereka gunakan harus diingat dan
dimonitor.20 Dosis harus disesuaikan tergantung apakah obat yang digunakan dalam

pengobatan adalah dialyzable dan memiliki potensi efek samping yang harus dihindari.10

Perikarditis
Terdapat 2 cara penyebab terjadinya pericarditis pada pasien hemodialisis, yaitu dalam
bentuk uremik pericarditis dan perikarditis terkait dialisis. Jenis uremik pericarditis terjadi
sebelum memulai dialisis atau pada 8 minggu pertama dialisis. Hal ini biasanya berhubungan
dengan uremia. Sedangkan jenis perikarditis terkait dialisis dapat terjadi setiap saat setelah
pasien mulai dialisis. Meskipun penyebab pasti yang tidak diketahui, insufisiensi dialisis dan
kelebihan volume adalah faktor yang paling berperan. Prevalensi pericarditis pada pasien

dialisis dilaporkan antara 2%.21 Secara klinis hadir sebagai keluhan seperti nyeri dada
spesifik, kelemahan otot dan batuk, tetapi mereka juga bisa datang dalam sebagai hipotensi
Universitas Sumatera Utara
10

dan gagal jantung. Ditemukannya suara jantung yang menjauh dan perikarial rubbing, dan
dalam kasus-kasus serius, hipotensi dapat diamati tergantung pada intensitas efusi selama
pemeriksaan fisik. Perubahan EKG mungkin tidak muncul pada jenis uremik perikarditis.
22
Diagnosis akhir dibuat menggunakan echocardiografi.
Pengobatan tergantung pada gejala dan diameter efusi. Pada efusi minimal tanpa gejala
biasanya tidak memerlukan mengambil langkah-langkah mendesak. Pada efusi perikard masif
mungkin perlu menjalani drainase mendesak dengan cara pericardiotomy jika hemodinamik
tidak stabil atau terapi hemodialisis intensif selama 7-14 hari dan menghindari heparinisasi
selama hemodialisis jika hemodinamik stabil. Glukokortikoid dan non-steroid anti-
21,22
inflammatory drugs biasanya tidak efektif. Pada perikarditis uremik, respon terapi dapat
diperoleh dari terapi hemodialisis intensif > 85% (76-100%) dari pasien dan dalam terkait
dialisis perikarditis, respon <60% (12,5-66%) dari pasien.

Sudden Cardiac Death


Kematian jantung mendadak bertanggung jawab atas 62% dari kematian terkait jantung.
Pada tahun pertama hemodialisis kejadian kematian jantung mendadak dilaporkan 93 dari
1000 pasien. Penyakit jantung iskemik, kardiomiopati, perubahan ion cepat dan elektrolit
selama hemodialisis, perubahan PH, penyakit mikrovaskuler atau disfungsi endotel menjadi
22
faktor resiko dalam patogenesis. Dalam terapi, hal ini sama seperti pada populasi normal.
Dianjurkan bahwa defibrillator eksternal tersedia dalam unit hemodialisis dan staf terlatih
10
dalam menggunakannya.

Nyeri dada
Peningkatan prevalensi nyeri dada terjadi pada pasien koroner dengan stadium akhir

gagal ginjal dan diikuti dengan terjadinya infark miokard (MI).23 Sebuah kematian terkait
jantung terjadi 10 sampai 20 kali lebih banyak dalam kelompok pasien HD dibandingkan
dengan populasi normal. Akut Miokard Infark didiagnosis dengan peningkatan enzim jantung
yang tinggi, nyeri dada klasik dan perubahan EKG pada populasi normal. Namun, ada
beberapa perbedaan manifestasi klinis dan laboratorium pada kelompok hemodialisis pasien.
Hal ini menyebabkan penundaan dalam mendiagnosis MI dan penggunaan trombolitik serta
Universitas Sumatera Utara
11

angiografi koroner / aplikasi stent koroner untuk pengobatan MI dibandingkan dengan


populasi normal.
Nyeri dada klasik jarang terlihat pada pasien dengan gagal ginjal. Penyebabnya adalah
penurunan fungsi saraf sensorik dan otonom pada pasien dengan gagal ginjal. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Komukai et al menyatakan bahwa meningkatnya gangguan
24
fungsi ginjal, diikuti dengan peningkatan prevalensi painless MI. Enzim Jantung Troponin
T (cTnT) dan creatine kinase-MB, yang merupakan dua dari enzim yang digunakan dalam
verifikasi diagnosis infark miokard, terlihat pada kadar tinggi dalam kelompok pasien
hemodialisis tanpa disertai kehadiran iskemia koroner. cTnT khususnya telah terbukti
25
meningkat pada 17-23,8% dalam kelompok ini. Situasi ini menyebabkan kontroversi dalam
mendiagnosis MI pada kelompok hemodialisis pasien. Penelitian masih berlangsung untuk
menemukan penanda ideal yang mendukung diagnosis MI. Untuk saat ini, disarankan untuk
memonitor kadar enzim jantung pada pasien secara klinis diduga memiliki MI. Hal lain untuk
dipertimbangkan adalah bahwa 15 sampai 40% dari pasien terlihat memiliki ST depresi
selama hemodialisis. Terapi dialisis sendiri dapat menyebabkan iskemia miokard subklinis
26
pada kelompok pasien ini yang rentan terhadap aterosklerosis dan hipertrofi ventrikel kiri.
Tidak ada data yang cukup tentang reabilitas melakukan dialisis dalam waktu 48 jam
setelah infark miokard (MI). Pengobatan MI akut direkomendasikan sama seperti pada
10
populasi normal.

KOMPLIKASI TERKAIT PERALATAN HEMODIALISIS


Kompliasi Terkait Alat Hemodialisis
Salah satu komplikasi yang fatal yang sangat ditakuti dari terapi hemodialisis adalah
emboli udara. Ada detektor udara ultrasonografi dalam mesin hemodialisis yang menangkap
gelembung udara untuk mencegah emboli udara. Penyebab paling umum emboli udara adalah
udara yang masuk dari bagian pra-pompa di mana ada sistem tekanan negatif dan jalur akses
27
jarum ke arteri. Gejala-gejala dari emboli udara tergantung pada posisi pasien pada saat itu.
Jika dalam posisi duduk, komplikasi neurologis terjadi karena embolus akan masuk ke sistem
otak sedangkan gejala seperti sesak napas dan nyeri dada terjadi ketika emboli masuk ke paru-
paru diposisi terlentang. Langkah pertama dalam pengobatan adalah untuk menjepit tabung
Universitas Sumatera Utara
12

vena dan menghentikan pompa. Pasien kemudian berbaring ke arah kiri dengan kepalanya dan
dada menghadap ke bawah dan 100% oksigen harus diberikan. Jika emboli ada di dalam hati,
dapat dihilangkan dengan jarum perkutan dan terapi oksigen hiperbarik juga dapat digunakan.
Tanda-tanda klinis dan terapi di atas adalah untuk emboli udara besar. Selain itu, terbentuknya
gelembung mikro juga mungkin selama terapi hemodialisis. Mesin-mesin hemodialisis
kontemporer tidak dapat mendeteksi infus udara kurang dari 0,1 ml / kg / menit pada infus
bolus dan 0,03 ml / kg / menit pada infus kontinuous dan dengan demikian gagal untuk

mengaktifkan sistem alarm.28 Oleh karena itu, mesin hemodialisis saat ini tetap tidak efektif
untuk mencegah microbubbles memasuki sistem vena. Microbubbles biasanya tidak
mengakibatkan gejala akut, tetapi diduga menyebabkan hipertensi pulmonal di paru-paru dan
perubahan kronis pada otak dalam jangka panjang. Berbagai filter telah dikembangkan untuk
mencegah mikrobubbles menembus sistem vena selama hemodialisis. Namun, penggunaan
rutin filter tersebut belum disetujui karena menyebabkan tambahan resistensi aliran darah dan
27
darah pasien menjadi terpapar berbagai bahan kimia yang terkandung dalam filter. Ada
upaya dalam beberapa tahun terakhir untuk mengembangkan teknologi baru untuk mendeteksi

dan menghilangkan mikro-gelembung melalui metode ultrasonografi.29

Komplikasi Terkait Membran


Dalam proses hemodialisis, darah pasien akan melalui kompartemen extracorporeal
berupa dialiser, blood tubing set, bahan kimia untuk sterilisasi dialyser dan dialisat. Dialyzer
berisi membran dialisis dan produk sterilisasi. Dialyzers terdiri dari 2 geometri sebagai serat
berongga dan dialyzers plat sejajar untuk struktur membran. serat berongga dialyzers terdiri
dari ribuan serat berongga kecil, darah mengalir ke dalam kompartemen dan melewati ribuan
kecil kapiler. Cairan dialisis mengalir dalam arah yang berlawanan dari aliran darah di sekitar
kapiler. Darah melewati kapiler dikumpulkan di kompartemen lain diakhir dialyzer dan
kembali ke pasien. Membran juga datang dalam berbagai jenis sehubungan dengan bahan
yang digunakan di dalamnya; dalam bentuk selulosa, selulosa / sintetis (semi-sintetis), sintetis
dan bioaktif (di dialyzers ditutupi oleh vitamin E). Yang paling umum digunakan adalah
30
membran sintetik.
Universitas Sumatera Utara
13

Reaksi dialiser terkait reaksi anafilaktoid pertama kali dilaporkan pada tahun 1975.
Menurut data dari Food and Drug Administration, reaksi hipersensitivitas parah dilaporkan di
3,5 dari 100.000 sesi dialisis pada tahun 1982.31 Reaksi seperti terdiri dari serangkaian insiden
yang melibatkan kedua reaksi anafilaksis dan reaksi dengan penyebab yang tidak diketahui.
Klasifikasi yang dibuat oleh Daugirdas JT adalah yang paling umum digunakan. Klasifikasi
melibatkan Type-A (hipersensitivitas) reaksi dan Type-B (nonspesifik) reaksi.1
Reaksi Type-A diikuto dengan gejala dyspnea, takut akan kematian, dan sensasi panas di
seluruh tubuh dan akhirnya dengan episode anafilaksis. Dalam kasus yang lebih ringan,
dengan gejala seperti gatal-gatal, batuk, bersin, nasal discharge, mual dan muntah. Ini
umumnya terjadi pada awal dialisis, tetapi juga dapat muncul antara 15 dan 20 menit. Reaksi
1
tersebut dapat terjadi lebih sering pada pasien dengan atopi dan atau eosinofilia. Kriteria
yang dikembangkan oleh Daugirdas dan Ing. sebagian besar digunakan dalam diagnosis.
Kriteria Mayor meliputi reaksi yang terjadi dalam 20 menit pertama setelah awal dialisis
berupa dyspnea, sensasi terbakar atau panas di situs akses dan disebarkan ke seluruh tubuh
dan angioedema sedangkan Kriteria Minor termasuk reaksi rekuren selama sesi dialisis
berikutnya ketika jenis dialiser yang sama digunakan, urtikaria, rhinorrhea atau lakrimasi,
kram perut dan gatal-gatal. Diagnosa tegak ketika tiga mayor atau dua kriteria mayor dan 1
minor terpenuhi. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh sterilisasi menggunakan etilen
oksida, penyebab lainnya adalah penggunaan AN69 membran, reuse dialyser, faktor pelepasan
complement dan eosinofilia. Dalam pengobatan, dialisis harus segera dihentikan dan darah di
tabung darah set tidak dapat diberikan kembali kepada pasien. Antihistaminic, adrenalin atau
steroid dapat diberikan tergantung pada beratnya reaksi. Pencegahan dengan mencuci
dialyzers sebelum digunakan, dialyzer disterilkan dengan sinar atau uap jika reaksi terjadi
karena penggunaan etilen oksida, menggunakan membran yang mengaktifkan faktor
1
komplemen lebih ringan.
Reaksi tipe-B dengan gejala utama adalah nyeri dada dan nyeri punggung bawah. Muncul
setelah 20 sampai 40 menit setelah awal dialisis. Gejala membaik atau hilang mengikuti
bertambahnya waktu dialisis. Aktivasi komplemen diangga menjadi etiologinya, namun
patogenesis tidak sepenuhnya diketahui. Pengobatan sama dengan yang reaksi tipe A dan

disesuaikan tergantung pada intensitas gejala.1


Universitas Sumatera Utara
14

Hipoksemia terkair hemodialisis dapat terjadi. Selama hemodialisis, Pa O2 turun sekitar


10-20 mmHg. Penurunan tersebut tidak akan menyebabkan masalah klinis yang signifikan
pada pasien dengan oksigenasi normal, namun dapat menjadi masalah pada pasien dengan
oksigenasi kurang. Salah satu faktor etiologi hipoksemia yang muncul selama hemodialisis
adalah dialisat mengandung asetat. Dialisat dengan asetat dapat menyebabkan hipoksia dalam
dua cara, pertama dengan peningkatan konsumsi oksigen selama proses konversi bikarbonat
asetat dan kedua akibat hilangnya CO2 intradialisis. Biokompatibilitas membran yang
digunakan adalah salah satu yang faktor penyebab hipoksemia. Penggunaan dialisat asetat
bersama-sama dengan membran Cuprophan meningkatkan hipoksemia. Hipokapnia terkait
dengan hilangnya CO2 intradialisis dan adaptasi kronis metabolik asidosis menyebabkan
sesak periodik napas dan kecenderungan untuk sindrom sleep apnea Pengobatan dan
pencegahan dengan meningkatkan tingkat CO2 di dialisat secara langsung atau dengan
1
menggunakan dialisat mengandung bikarbonat menurunkan terjadinya hipoksemia.

Komplikasi Terkait Sistem Air


Pasien dengan terapi hemodialisis akan terpapar 18.000-36.000 liter air/tahun selama
hemodialisis. Proses dialisat melibatkan pemurnian air, distribusi air murni untuk mesin
hemodialisis, konsentrasi konsentrat asam dan basa dan akhirnya mencampur konsentrat
dengan air yang dimurnikan. Banyak air digunakan dalam mempersiapkan dialisat dalam
proses pemurnian air. Jika sistem air hemodialisis gagal untuk menghasilkan air yang tepat,
pasien dapat terkena berbagai bahan kimia, bakteri dan kontaminasi beracun. Teknologi
sistem air yang digunakan dalam proses hemodialysis meningkat dari hari ke hari untuk
mengurangi efek yang tidak diinginkan tersebut. Dua jenis pemurnian sistem air yang
digunakan adalah Pure Water dan Ultra Pure Water system. The Pure Water Sistem
digunakan dalam proses hemodialisis konvensional. Ultra Pure Water system digunakan
dalam banyak modalitas dialisis termasuk hemodiafiltration, hemofiltration dan high flux

dialysis.32
Sistem air hemodialisis konvensional mengalirkan air yang diambil dari pasokan air ke
dalam unit hemodialisis setelah melewati melalui filter mekanis, water softener, karbon filter,
reverse osmosis dan UV. Filter endotoksin juga tersedia dalam beberapa sistem. Setiap bagian
Universitas Sumatera Utara
15

dari sistem ini mungkin merupakan reservoir untuk bakteri. Selain itu, kontaminasi bahan
kimia juga bisa terjadi. Untuk alasan ini, European Pharmacopeia telah mengembangkan
standart air hemodialisis. Menurut standar ini, tingkat kontaminasi mikroba dan bakteri
endotoksin yang direkomendasikan untuk menjadi <100 CFU / ml dan <0,25 IU / ml masing-
masing dikonvensional sistem air hemodialisis reguler dan <0,1 CFU / ml dan <0,003 IU / ml

dalam ultra murni sistem air.1

Tabel 3. Maksimum kadar kontaminasi rekomendasi European Pharmacopeia

Permasalahan terkait sistem air dapat menyebabkan komplikasi akut dan jangka panjang.
Pada komplikasi akut, dapat terjadi sepsis yang disertai dengan gejala demam, gemetaran,
mual, nyeri otot, nyeri kepala, hipotensi sampai syok jika terpapar bakteri atau endotoksin
dalam jumlah banyak. Perlu dilakukan pengecekan secara berkala untuk kadar bahan kimia
atau kontaminan. Pengambilan sampel dari sistem air untuk mikrobiologi dan kimia analisis
dapat dilakukan setiap minggu sekali saat awal HD dan dapat diturunkan frekuensinya
Universitas Sumatera Utara
16

maksimal tidak melebihi sekali sebulan. Untuk kualitas tangki hars diperiksa minimal dua kali
1
setahun.

KOMPLIKASI NEUROLOGI
Komplikasi neurologis terjadi pada pasien gagal ginjal stadium akhir akibat gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh penyakit ginjal kronis dan karena prosedur dialisis.
Komplikasi ini dapat muncul dalam bentuk penurunan kesadaran, sakit kepala, mual, muntah,
mioklonus, tremor, fokus dan kejang umum, serebrovaskular event (infark dan perdarahan)
dan sindrom disequilibrium.

Sindrom Disequilibrium
Dialisis Disequilibrium syndrome (DDS) pertama kali didefinisikan oleh Kennedy AC
tahun 1970. Meskipun patogenesis DDS masih kontroversial, teori pertama penyebabnya
adalah teori pembersihan urea cepat. Menurut teori ini, pembersihan cepat kadar urea dari
plasma pada pasien yang baru memulai terapi hemodialisis akan menciptakan osmotic gradien
antara sel-sel otak dan plasma dan cairan memasuki sel-sel otak karena gradien osmotic

tersebut.33 Teori lainnya adalah efek osmole idiogenic. Menurut teori ini, difusi bikarbonat
dari dialisat ke plasma meningkatkan PH. Bikarbonat transform menjadi karbon dioksida
(CO2) di luar sel. Darah dengan CO2 menembus sawar otak dan memasuki sel-sel otak,
menyebabkan asidosis intraselular. Kejadian ini kemudian menyebabkan sel protein pecah
untuk membentuk osmol idiogenic. Peningkatan osmol idiogenic pada sel akan menimbulkan
gradien osmotik dan akhirnya menyebabkan cairan masuk ke dalam sel. DDS biasanya terjadi
sebagai akibat dari pengurangan cepat dari urea pada pasien dengan uremia berat. Faktor
risiko meliputi usia muda, riwayat trauma kepala atau serebrovaskular event, dan
34
ketidakseimbangan elektrolit seperti hipertensi maligna dan hiponatremia.
DDS adalah diagnosis eksklusi, karena tanda-tanda klinis menyerupai kelainan
neurologis. DDS adalah komplikasi neurologis akut dialisis. Hal ini biasanya dimulai
menjelang akhir dialisis atau setelah berakhir. Gejala dan tanda berupa kelelahan, sedikit sakit
kepala, HT, mual, muntah, penglihatan kabur, dan kram otot, dan dapat menyebabkan aritmia,
Universitas Sumatera Utara
17

kebingungan, tremor, kejang, dan koma. DDS jarang mengakibatkan kematian karena edema
34
otak.
Untuk mencegah sindrom Dialisis Disequilibrium, sesi dialisis awal mungkin dilakukan
dengan aliran lambat dan dalam waktu yang lebih singkat, kadar natrium dapat dinaikkan
pada dialisat. Dalam aliran lambat dan singkat dialisis, mungkin berguna untuk membatasi
waktu sampai 2 jam dan laju aliran darah ke 200 ml / menit serta menggunakan dialyzer
dengan luas permukaan kecil. Tujuan dalam meningkatkan tingkat Na di dialisat adalah untuk
mengurangi perbedaan osmolaritas yang dihasilkan dari penghapusan urea cepat dengan
meningkatkan Na plasma. Penggunaan profil Na dan fixed high-Na dialisat dapat digunakan
dalam hal ini, tetapi tetap tidak terbukti efektif secara evidence. Oleh karena itu, penggunaan

dialisat mengandung 143-146 mmmol / L dianjurkan pada pasien dengan risiko DDS.34
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perubahan osmolaritas dan DDS dapat dikurangi
dengan pemberian dialisat dengan kadar glukosa yang tinggi dan pemberian 1 gr / kg
1
manitol.

Nyeri Kepala
The International Headache Society ICHD tahun 2004 memasukkan nyeri kepala
hemodialisis dalam klasifikasi sakit kepala. Untuk dapat disebut sebagai sakit kepala hemodialisis,
sakit kepala harus muncul setidaknya setengah dari sesi hemodialisis, terdapat 3 serangan sakit
kepala akut saat sesi hemodialisa dan sakit kepala harus lega dalam waktu 72 jam setelah
35 35
hemodialisis. Meskipun data prevalensi tidak pasti, namun ditemukan 30% oleh Goksel dan
9
Jesus AC et al , menemukan prevalensi lebih rendah dari 6,7% pada tahun 2009. Patofisiologi
sepenuhnya tidak jelas dan faktor pemicu sakit kepala mungkin disebabkan hipertensi, hipotensi,
tingkat rendah natrium, penurunan osmolaritas serum, tingkat rendah rennin plasma, sebelum dan
sesudah dialisis kadar Bun dan rendahnya tingkat magnesium
Setelah memastikan bahwa tidak ada migrain, serebrovaskular event atau massa
intrakranial, langkah pertama dalam pengobatan adalah menyelidiki apakah ada sakit kepala
hemodialisis atau tidak. Jika diduga hemodialisis sakit kepala, faktor-faktor yang diduga

memicu sakit kepala harus dicari dan penggantian elektrolit diperlukan.35


Universitas Sumatera Utara
18

Cerebrovaskular Event
Cerebrovaskular event merupakan penyebab kematian ketiga pada populasi normal.
Pasien dengan gagal ginjal kronis memiliki peningkatan resiko serebrovaskular dibandingkan
10
dengan populasi normal. Meskipun tidak ada informasi yang jelas mengenai prevalensi,
sebuah penelitian Jepang mengungkapkan bahwa kejadian serebrovaskular terjadi pada 8%
dengan pendarahan otak sebagai penyebab terbanyak. Menurut data Amerika, kejadian stroke
hemoragik dan stroke iskemik yang ditemukan sama, yaitu 5 sampai 10 kali dibandingkan
36
pada populasi normal. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Selinger SL et al,
faktor risiko terjadinya serebrovaskular event adalah hipertensi, hemoglobin rendah dan
indikator malnutrisi (berat badan rendah, rendahnya tingkat albumin. Frekuensi aterosklerosis
arteri karotis meningkat pada pasien dengan stadium akhir gagal ginjal dan dapat
meningkatkan resiko stroke iskemik. Hipertensi, pemakaian rutin heparin selama terapi
dialysis memiliki resiko terjadinya perdarahan diatesis pada kelompok dan meningkatkan
36
kejadian stroke hemoragik.
Perbedaan manajemen antara stroke hemoragik dan stroke iskemik harus dilakukan
sebelum memulai terapi hemodialisis, hal ini dikarenakan heparinisasi tidak digunakan dalam

kasus stroke hemoragik.10

KOMPLIKASI TERKAIT TERAPI ANTIKOAGULAN


Heparin Induced Trombositopenia
Heparin sering digunakan sebagai antikoagulan dalam terapi hemodialisis dikarenakan
biaya rendah dengan waktu paruh yang singkat. Namun heparin-induced trombositopenia
(HIT) adalah situasi yang membatasi penggunaan heparin dan menyebabkan kematian. HIT
diklasifikasikan sebagai Tipe-I dan Tipe-II.
HIT Tipe-I adalah yang terbanyak. Hal ini terjadi akibat dari reaksi langsung antara
heparin dan trombosit. Hal ini ditandai dengan sedikit penurunan jumlah trombosit pada tahap
awal administrasi heparin dan jumlah trombosit akan kembali normal meskipun penggunaan
37
heparin yang berulang.HIT Tipe-II memiliki kejadian jarang antara 0,5 sampai 5%. Hal ini
38
terjadi akibat respon imun antibodi terhadap faktor trombosit 4 dan kompleks heparin. HIT
umumnya muncul dengan reaksi akut sistemik, trombositopenia, trombosis, kulit nekrosis dan
Universitas Sumatera Utara
19

39
gangren vena di ekstremitas setelah bolus unfractioned heparin. Dalam mendiagnosis
heparin-induced trombositopenia, kriteria yang digunakan (4T) adalah trombositopenia
muncul 5-10 hari setelah inisiasi terapi heparin, adanya kejadian thrombotic, memiliki jumlah
normal trombosit sebelum terapi heparin dan 50% penurunan jumlah trombosit dari baseline,
tidak adanya alasan lain yang menyebabkan trombositopenia, trombosit kembali normal
ketika heparin tidak digunakan dan adanya serokonversi HIT antibodi yang positif. Diagnosis
kemungkinan HIT dibuat sesuai scoring kriteria ini dimana nilai 6-8 menunjukkan
1
kemungkinan besar HIT, nilai 0-3 menunjukkan kemungkinan kecil HIT.
Faktor risiko terjadinya HIT sangat bervariasi sesuai dengan jenis heparin digunakan.
Sebagai contoh, ketika LMWH yang digunakan, kejadian HIT jarang terjadi dibandingkan
dengan penggunaan heparin unfractioned (UFH). Pada manajemen HIT, pertama semua terapi
heparin harus dihentikan dan kemudian alternatif non heparin terapi antikoagulan harus
dimulai. LMWH dapat dilanjutkan pada pasien berisiko rendah sampai hasil HIT antibodi
diperoleh.
Pasien dengan HIT sebaiknya menggunakan dialisis non-heparin atau antikoagulan sitrat
atau menggunakan inhibitor direct trombin lepirudin dan argatroban atau Faktor Xa inhibitor
39
danaparoid.

Bleeding Diasthesis
Pendarahan adalah faktor yang paling penting yang membatasi penggunaan heparin pada
hemodialisis, dengan angka kejadian perdarahan adalah 10% -15%. Perdarahan
Gastrointestinal terjadi pada sepertiga pasien uremik. Perdarahan gastrointestinal bagian atas
lebih sering pada pasien uremik yang menjalani hemodialisis. Komplikasi hemoragik yang
dilaporkan lainnya termasuk stroke hemoragik, hematoma subdural, perdarahan
retroperitoneal spontan, hematoma spontan subkapsular hati, perdarahan intraokular, dan

hemorrhagic pericarditis dengan tamponade jantung. 1 Stroke hemoragik dan hematoma


subdural lebih banyak terjadi pada hemodialisis dengan angka kejadian stroke hemoragik

adalah 5-10 kali lebih besar dibanding populasi normal36, sedangkan kejadian hematoma
subdural adalah 20 kali lebih besar dan angka kematian dalam kelompok hemodialisis adalah
40% lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Kesimpulannya, penggunaan terapi
Universitas Sumatera Utara
20

antikoagulan pada pasien yang menjalani hemodialisis meningkatkan kecenderungan


perdarahan. Pendekatan yang tepat untuk mencegah komplikasi hemoragik selama
hemodialisis adalah dengan pembatasan atau menghindari antikoagulan selama hemodialisis.

KOMPLIKASI HEMATOLOGI
Hemolisis
Hemolisis terjadi sekitar 2% pada tahun-tahun awal program dialisis dan semakin
menurun jauh kejadiaannya saat ini. Berbagai faktor menyebabkan terjadinya hemolisis
berupa peningkatan agent oksidator dan agent reduktor, gangguan termal dan mekanik atau
kadar uremia berlebihan pada inisiasi dialisis. Agent Oksidator berasal dari kontaminasi
dialisat dengan tembaga, seng, chloramine atau nitrat. Agen ini memicu hemolisis melalui
proses oksidan damage dalam eritrosit. Gangguan termal berupa panas terjadi ketika suhu
dialisat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari suhu tubuh. Cedera mekanik berhubungan
dengan maloklusi pompa darah, kolaps arteri, tertekuk atau tubing yang obstruksi saat
hemodialisa akibat kateter subklavia hemodialisis. Gejala reaksi hemolitik akut berupa
malaise, mual, nyeri dada, sesak napas, sakit perut, nyeri punggung, emesis, sianosis dan sakit
kepala. Tes merah muda positif (pink appearing serum) terlihat pada hemolisis masif. Tes
Merah muda positif ini disebabkan oleh kehilangan haptoglobin, peningkatan kadar serum

laktat dehidrogenase dan kehadiran hemoglobin bebas. 40 hemolisis akut adalah mengancam
jiwa yang dapat menyebabkan komplikasi seperti anemia, hiperkalemia, vasokonstriksi
plasma dan pankreatitis.
Dalam pengobatan, dialisis harus segera diakhiri dan pasien tidak boleh diberikan
transfusi darah. Resusitasi darurat harus dilakukan tergantung pada kondisi klinis. Faktor

etiologi yang menyebabkan hemolisis harus diselidiki dan dieliminasi.1

Neutropenia
Neutropenia berkorelasi dengan biokompatibilitas membran selama hemodialisis. Hal ini
biasanya dimulai dalam waktu 2-3 menit dari awal dialisis dan maksimum 10-15 menit,
kemudian akan kembali ke kadar normal setelah dialisis. Neutropenia terjadi dikarenakan
neutrofil terakumulasi pada permukaan membran hemodialisis. Ikatan C5 dan C5a des-arg
Universitas Sumatera Utara
21

terhadap reseptor spesifik akan merubah berbagai reseptor di permukaan neutrofil sehingga
menginduksi neutropenia dialisis. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan korelasi
antara aktivasi komplemen dan leukopenia.41
Keadaan neutropenia yang sementara umumnya tidak menyebabkan masalah klinis yang
signifikan. Namun, dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kecenderungan
infeksi pada pasien hemodialisis

LAINNYA
Mual dan Muntah
Mual dan muntah ditemui pada pasien hemodialisis sekitar 10%. Mual dan muntah dapat
menjadi komplikasi terkait dengan dialisis seperti sindrom disequilibrium, hipotensi, reaksi
alergi dan ketidakseimbangan elektrolit, mereka juga dapat menyertai sindrom koroner akut,
cerebrovascular event dan infeksi. Pasien dengan mual dan muntah harus dicari penyebabnya.
Salah satu hal yang perlu diingat adalah bahwa selain faktor disebutkan di atas, prevalensi
keluhan dispepsia dan gastritis, duodenitis, ulkus peptikum dan colelithiasis juga meningkat

pada kelompok pasien dialisis.42 Oleh karena itu, komplikasi mual muntah terkait
hemodialisis harus disisihkan pada pasien hemodialisis. Jika penyebab ini tidak hadir, gejala
gastrointestinal harus dinilai dan gastroskopi harus dilakukan. Mual dan muntah tidak terkait
dengan hemodinamik dapat membaik dengan pemberian 5 sampai 10 mg metoclopramide
1
sebelum dialisis.

Gatal
Gatal adalah salah satu gejala yang sering dijumpai pada penyakit ginjal kronis. Keluhan
gatal ditemukan di 50 sampai 60% dari pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang sedang
42
menjalani terapi dialisis. Meskipun etiologi uremik gatal tidak sepenuhnya diklarifikasi,
faktor bertanggung jawab adalah xerosis, neuropati perifer, peningkatan ion divalen seperti
kalsium,magnesium dan fosfor, peningkatan kadar hormon paratiroid, dan histamin. 1 Dalam
mendiagnosis uremik gatal, pertama penyebab lain gatal harus dikesampingkan. Berbagai
terapi topikal dan sistemik telah dicoba dalam mengobati itu selama bertahun-tahun, tapi ada
pasien yang tidak mendapatkan keuntungan dari setiap terapi tersebut. Untuk alasan ini, baik
Universitas Sumatera Utara
22

patogenesis dan pengobatan gatal terus diteliti hari ini. Direkomendasikan terapi topical saat
ini berupa krim pelembab dan krim yang mengandung capsaicin. Metode pengobatan lainnya
termasuk fototerapi, akupunktur, diet low protein, lidocaine, arang aktif, cholestramine,
efisien dialisis, heparin, antagonis opioid, erythropoietin, paratiroidektomi, serotonin

antagonis, thalidomide, anthistamin dan nicergoline.1

Kram
Kejadian kram otot dijumpai sekitar 24-86 % terutama pada tahun pertama dilakukan
hemodialisis. Saat ini angka kejadian kram otot menurun sampai 2% karena perbaikan dalam
teknologi dialisis. Meskipun kram sebagian besar terlihat di ekstremitas bawah, juga dapat
terjadi di bagian perut, lengan dan tangan. Patogenesis kram otot tidak sepenuhnya
dimengerti, tetapi penelitian elektromiografi menunjukkan bahwa penyebab berasal dari
neuron pada otot itu sendiri. Metabolisme otot subnormal dianggap sebagai faktor yang paling
penting dalam etiologi keram. Untuk alasan ini, hipotensi, perubahan plasma osmolaritas,
hiponatremia, defisiensi karnitin, hipomagnesemia dan hipoksia jaringan juga diduga
menyebabkan pengembangan kram. Dalam situasi di atas, metabolisme otot akan terganggu
dan menimbulkan kram. Kram otot dapat terjadi saat mendekati akhir sesi dialisis. Glukosa
hipertonik, garam dan manitol dapat diberikan dalam pengobatan akut kram. Tindakan-
tindakan non-medis yang dapat diambil untuk mencegah kram termasuk menghindari
intradialytic hipotensi dan perubahan osmolaritas, dan olahraga teratur. Ada penelitian
menunjukkan bahwa kram otot dapat dikurangi dengan pemberian 320mg kina sulfat 1-2 jam
sebelum memulai hemodialisis. Namun pemberian kina sulfat memiliki banyak efek samping
seperti atrofi oprikus, trombositopenia, aritmia, interaksi obat dengan warfarin dan digoxin.

Pemberian 400 mg / hari vitamin E, 250 mg / hari vitamin C 43, 12 mg dari monohydrate
kreatinin sebelum dialisis, prozosin (0,25-1 mg) dan L-carnitine dapat membantu menurunkan
resiko kram. Namun, tingkat keamanan menggunakan vitamin C di atas 200 mg untuk waktu
44
yang lama belum terbukti

KESIMPULAN
Komplikasi akut hemodialis merupakan adanya manifestasi klinis terkait dengan
hemodialisa yang terjadi selama sesi dialisis atau dalam 24 jam pertama setelah dialisis.
Universitas Sumatera Utara
23

Dalam klasifikasi, komplikasi akut hemosialisis terbagi dalam komplikasi kardiovaskuler,


komplikasi terkait peralatan hemodialisis, komplikasi neurologis, komplikasi terkait
penggunaan heparin, komplikasi hematologi dan lainnya. Selama tahun-tahun pertama setelah
pengenalan hemodialisis, komplikasi yang umum disebabkan oleh permasalahan teknis yang
terkait dengan dialysis mesin dan sistem air, namun diikuti dengan kemajuan teknologi
permasalahan tersebut sudah menurun. Hemodialisis masih menyebabkan banyak komplikasi
meskipun sudah diikuti oleh kemajuan teknologi. Sangat penting untuk mencegah terjadinya
komplikasi terutama di masa awal hemodialisis dan komplikasi yang dapat mengancam jiwa.
Beberapa komplikasi mungkin tidak mengancam kehidupan pasien tetapi memperburuk
kualitas hidup pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ozkan G, Ulusoy S. Acute Complication of Hemodialysis. In: Technical Problems in


Patients on Hemodialysis. Editor: Penido MG. In Tech, Croatia 2011: 251-94
2. Kaze FF, Ashuntantang G, Kengne AP, et al. Acute Hemodialysis Complication in end-
stage renal disease patients: The burden and implication for the under-resourced Sub-
Saharan African Health system. Hemosialysis International 2012
3. Cruz, D.N., Mahnensmith, R.L. & Perazella, M.A. Intradialytic hypotension: is
midodrine beneficial in symptomatic hemodialysis patients? Am J Kidney Dis 1997 ;
30:6:772-9.
4. Burton, J.O., Korsheed, S., Grundy, B.J. & McIntyre, C.W.Hemodialysis-induced left
ventricular dysfunction is associated with an increase in ventricular arrhythmias. Ren
Fail 2008; 30: 7: 701-9
5. Genovesi, S., Vincenti, A., Rossi, E., Pogliani, D., Acquistapace, I., Stella, A. &
Valsecchi, M.G. Atrial fibrillation and morbidity and mortality in a cohort of long-term
hemodialysis patients. Am J Kidney Dis 2008; 51: 2: 255-62.
6. Herzog, C.A., Mangrum, J.M., & Passman, R. Sudden cardiac death and dialysis patients.
Semin Dial 2008 ; 21: 300-7
7. Shastri, S. & Sarnak, M.J. Cardiovascular disease and CKD: core curriculum 2010. Am J
Kidney Dis 2010; 56:2:399-417
8. Kobrin, S.M. & Berns, J.S. Quinine--a tonic too bitter for hemodialysis-associated
muscle cramps? Semin Dial 2007: 20: 396-401
Universitas Sumatera Utara
24

9. Jesus, A.C., Oliveira, H.A., Paixo, M.O., Fraga, T.P., Barreto, F.J. &Valena, M.M.
Clinical description of hemodialysis headache in end-stage renal disease patients. Arq
Neuropsiquiatr 2009 ;7: 4: 978-81
10. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Cardiovascular Disease in Dialysis patients
:NKF KDOQI Guidelines, National Kidney Foundation Inc 2005
11. Kooman Jeroen et al, European Best Practice Guidelines (EBPG) Guideline on
haemodynamic instability: Nephrology Dialysis Transpant 2007; Oxford University
Press, pg ii22-ii44
12. Sulowicz W et al, Pathogenesis and treatment of dialysis hypotension: International
Society of Nephrology 2006, pg s36-s39
13. Biff F. Palmer et al, Recent Advances in the Prevention and Management of Intradialytic
Hypotension: J Am Soc Nephrol 2008;19: 811.
14. Perazella, M.A.Pharmacologic options available to treat symptomatic intradialytic
hypotension. Am J Kidney Dis 2001; 38:S26-36
15. Guy Rostoker et al, Left Ventricular Diastolic Dysfunction as a risk factor for Dialytic
Hypotension, Division of Nephrology and Dialysis Centre Hospitalier Priv Claude
Galien, Quincy-sous-Snart , France: Cardiology 2009;114:142149
16. Buemi, M., Coppolino. G., Bolignano. D., Sturiale. A., Campo. S., Buemi, A., Crasc, E.
& Romeo, A. Arrhythmias and hemodialysis: role of potassium and new diagnostic tools.
Ren Fail 2009; 31:1:75-80.
17. Genovesi, S., Vincenti, A., Rossi, E., Pogliani, D., Acquistapace, I., Stella, A. &
Valsecchi, M.G. Atrial fibrillation and morbidity and mortality in a cohort of long-term
hemodialysis patients. Am J Kidney Dis 2008; 51: 2: 255-62.
18. Severi, S., Cavalcanti, S., Mancini, E. & Santoro, A. Heart rate response to hemodialysis-
induced changes in potassium and calcium levels. J Nephrol.2001;14:488-96
19. Sood, M.M., Komenda, P., Sood, A.R., Rigatto, C. & Bueti, J. The intersection of risk and
benefit: is warfarin anticoagulation suitable for atrial fibrillation in patients on
hemodialysis? Chest 2009;136:4:1128-33
20. Abbott, K.C., Neff, R.T., Bohen, E.M. & Narayan, R. Anticoagulation for chronic atrial
fibrillation in hemodialysis patients: which fruit from the decision tree? Am J KidneyDis
2007, 50:3: 345-8.
21. Banerjee, A. & Davenport, A. Changing patterns of pericardial disease in patients with
end-stage renal disease. Hemodial Int 2006; 10: 249-55.
22. Shastri, S. & Sarnak, M.J.Cardiovascular disease and CKD: core curriculum 2010. Am J
Kidney Dis 2010; 56:2:399-417
23. Winkelmayer, W.C., Charytan, D.M., Levin, R. & Avorn, J. Poor short-term survival and
low use of cardiovascular medications in elderly dialysis patients after acute myocardial
infarction.Am J Kidney Dis 2006; 47:2:301-8
24. Komukai, K., Ogawa, T., Yagi, H., Date, T., Suzuki, K., Sakamoto, H., Miyazaki, H.,
Takatsuka, H., Shibayama, K., Ogawa, K., Kanzaki, Y., Kosuga, T., Kawai, M., Hongo,
K., Yoshida, S., Taniguchi, I. & Mochizuki, S. Renal insufficiency is related to painless
myocardial infarction. Circ J 2007; 71: 9: 1366-9
25. Chew, H.C. Cardiac troponin T in acute coronary syndrome with renal insufficiency.
Asian Cardiovasc Thorac Ann 2008; 16: 4: 284-7.
Universitas Sumatera Utara
25

26. Selby, N.M. & McIntyre, C.W. The acute cardiac effects of dialysis. Semin Dial 2007;
20:3:220-8
27. Barak, M., Nakhoul, F. & Katz, Y. Pathophysiology and clinical implications of
microbubbles during hemodialysis. Semin Dial 2008; 21:3:232-8
28. Polaschegg , H.D.(2007) Hemodialysis machine air detectors need not detect
microbubbles. Artif Organs, 31,12,911-2
29. Versluis, M., Goertz, D.E., Palanchon, P., Heitman, I.L., van der Meer, S.M., Dollet, B.,
de Jong, N. & Lohse,.(2010) Microbubble shape oscillations excited through ultrasonic
parametric driving. Phys Rev E Stat Nonlin Soft Matter Phys, 82,2 Pt 2,026321.
30. Twardowski, Z.J.(2008) History of hemodialyzers' designs. Hemodial Int,12,173-210
31. Ebo, D.G., Bosmans, J.L., Couttenye, M.M. & Stevens, W.J. (2006). Haemodialysis-
associated anaphylactic and anaphylactoid reactions. Allergy, 61, 211-20.
32. Montanari, L.B., Sartori, F.G., Cardoso, M.J., Varo, S.D., Pires, R.H., Leite, C.Q., Prince,
K. & Martins, C.H.(2009) Microbiological contamination of a hemodialysis center water
distribution system. Rev Inst Med Trop Sao Paulo, 51,1,37-43
33. Attur, R.P., Kandavar, R., Kadavigere, R. & Baig, W.W. (2008). Dialysis disequilibrium
syndrome presenting as a focal neurological deficit. Hemodial Int, 12,3,313-5
34. Patel, N., Dalal, P. & Panesar, M.(2008) Dialysis disequilibrium syndrome: a narrative
review. Semin Dial, 21,5,493-8
35. Goksel, B.K., Torun, D., Karaca, S., Karatas, M., Tan, M., Sezgin, N., Benli, S., Sezer, S.
& Ozdemir, N. (2006). Is low blood magnesium level associated with hemodialysis
headache? Headache, 46,1, 40-5.
36. Seliger, S.L., Gillen, D.L., Tirschwell, D., Wasse, H., Kestenbaum, B.R. & Stehman-
Breen, C.O.(2003) Risk factors for incident stroke among patients with end-stage renal
disease. J Am Soc Nephrol, 14,10,2623-31
37. Kapa, S. & Qian, Q. (2009). 84-year-old woman with hemodialysis-associated shortness
of breath. Mayo Clin Proc, 84, 2, 187-90
38. Suranyi , M. & Chow, J.S.(2010). Review: anticoagulation for haemodialysis.
Nephrology (Carlton), 15,4,386-92
39. Syed, S. & Reilly, R.F.(2009) Heparin-induced thrombocytopenia: a renal perspective.
Nat Rev Nephrol, 5,9,501-11
40. Malinauskas, R.A. (2008). Decreased hemodialysis circuit pressures indicating postpump
tubing kinks: a retrospective investigation of hemolysis in five patients. Hemodial Int, 12,
3, 383-93
41. Takemoto, Y., Naganuma, T. & Yoshimura, R.(2011) Biocompatibility of the dialysis
membrane. Contrib Nephrol, 68,139-45
42. Narita, I., Iguchi, S., Omori, K. &Gejyo, F. (2008)Uremic pruritus in chronic
hemodialysis patients. J Nephrol. 21,161-5
43. Khajehdehi, P., Mojerlou, M., Behzadi, S. & Rais-Jalali, G.A. (2001). A randomized,
doubleblind, placebo-controlled trial of supplementary vitamins E, C and their
combination for treatment of haemodialysis cramps. Nephrol Dial Transplant, 16,7,
1448-51
44. Kobrin, S.M. & Berns, J.S. (2007). Quinine--a tonic too bitter for hemodialysis-
associated muscle cramps? Semin Dial, 20, 396-401
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai