Anda di halaman 1dari 30

Bab 1.

Pendahuluan
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang cukup
tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya
sebagian besar orang muda, sehat dan produktif.1
Trauma kepala adalah trauma mekanik yang mengenai calvaria dan atau basis
cranii serta organ-organ di dalamnya baik secara langsung ataupun tidak langsung,
dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan
oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun
psikososial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran, baik
permanen ataupun temporer (PERDOSSI, 2006).2
Trauma merupakan penyebab utama pada anak diatas usia 1 tahun di Amerika
Serikat. Menurut Dawodu (2003) insidensi Trauma kepala tertinggi pada kelompok
umur 15-45 tahun dengan insidens sebanyak 32,8/100.000. Perbandingan antara lelaki
dan perempuan ialah 3,4 : 1. Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah
kecelakaan lalu-lintas (bermotor) di mana pada setiap tahun diperkirakan 1 juta
meninggal dan 20 juta cedera.3
Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma capitis adalah yang
tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Insiden trauma kepala karena
kecelakaan lebih 50% meninggal sebelum tiba di RS, 40% meninggal dalam 1 hari dan
35% meninggal dalam 1 minggu perawatan. Trauma kapitis memiliki dampak emosi,
psikososial, dan ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa
perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan rumah sakit
membutuhkan fasilitas pelayanan jangka panjang.1
Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar,
meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien
dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan, sisanya merupakan
trauma dengan kategori sedan dan berat dalam jumlah yang sama.1
Di Indonesia, data tentang trauma kapitis ini belum ada. Yang ada barulah data
dari beberapa rumah sakit (sporadis).1

1|Trauma Capitis
Bab 2. Pembahasan
2.1. Definisi Trauma Kapitis

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.2

2.2. Anatomi3

Berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS-2004), anatomi yang bersangkutan


antara lain :

1. Kulit Kepala (Scalp)


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP, yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau Galea Aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium
dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit Kepala
memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi
kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan
anak-anak.

2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (calvaria) dan basis cranii. Kalvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal.
Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi
atas 3 fossa yaitu : fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior. Fossa anterior
adalah tempat lobus frontalis, fossa media adalah tempat lobus temporalis, dan
fossa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan cerebellum.

2|Trauma Capitis
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu : duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam kranium.
Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menujusinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang
paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosa temporalis (fossa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan
tembus pandang disebut arakhnoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat
erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam
ruang subarakhnoid.

4. Otak
Otak manusia terdiri dari Cerebrum, Cerebellum dan batang otak. Cerebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh Falx Cerebri yaitu lipatan
duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer cerebri kiri
terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering
disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan
fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori.
Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.

3|Trauma Capitis
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medulla oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya.
Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis
yang berat,
Cerebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan,
terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medulla spinalis, batang otak,
dan juga kedua hemisfer serebri.

5. Liquor Cerebrospinal
Liquor cerebrospinal dihasilkan oleh Plexus Choroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20ml/jam. LCS mengalir dari ventrikel lateral menuju foramen
monro menuju ventrikel III kemudian menuju aquadustus sylvii menuju ventrikel IV.
Selanjutnya LCS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang
subarakhnoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medulla spinalis. LCS
akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili arakhnoid.

6. Tentorium
Tentorium Cerebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial
(terdiri atas fossa cranii anterior dan fossa cranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fossa cranii posterior)

2.3. Epidemiologi

Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan
kemajuan teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera kepala
melibatkan kelompok usia produktif yaitu antara 15-44 tahun dengan usia rata-rata 30
tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki. 3

2.4. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai

4|Trauma Capitis
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya
menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi
stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.
Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa.
Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal,
kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral
yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang
berbatas tegas. Cedera otak difus berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta
biasanya tidak tampak secara makroskopis.2-4
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio dibawah are benturan disebut
lesi kontusio coup, diseberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga
tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio
countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang
sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi linear dan rotatorik
terdapat lesi kontusio coup, countercoup, dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio
intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.2-4

Gambar. Mekanisme terjadinya Kontusio

5|Trauma Capitis
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebihi cepat
dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat berlawanan dari benturan
(countercoup).2-4
Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan
cedera kepala sekunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan atau keluaran
penderita. Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak
otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera
awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola
tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan
ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan,
kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding
sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan
otak.2-4
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.2-4

2.5. Klasifikasi Trauma Kapitis


Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan
morfologi.

1. Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi atas, yaitu:


A. Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi
dan deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga
cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak. Cedera

6|Trauma Capitis
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh, atau pukulan benda tumpul.

Gambar. Mekanisme Cedera Tertutup

B. Cedera tembus, disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

7|Trauma Capitis
2. Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:
A. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka
ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan
pemeriksaan CT scan dengan teknik bone window untuk memperjelas
garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan
antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya
selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena
menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai
berikut :
i. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
ii. Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium/ Konveksitas (kubah/ atap tengkorak)
b. Basis Cranii (dasar tengkorak)
iii. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

B. Lesi intrakranial
Dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan
subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi
secara bersamaan. 2,3,4,5

8|Trauma Capitis
Gambar. Lesi Intrakranial

a. Komosio Serebri (geger otak)


Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan
getaran keras atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan
cepat pada fungsi otak, termasuk kemungkinan kehilangan
kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala.
Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu: hilang kesadaran, sakit kepala
berat, hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening,
lemah, pandangan ganda.
b. Kontusio Serebri (memar otak)
Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat
diakibatkan oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak
menimbulkan memar dan pembengkakan pada otak, dengan
pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan,
pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga
berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia
pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada
daerah yang luka dan luasnya lesi:
Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan
tekanan intracranial yang dapat menyebabkan kematian.
Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat
Cheyne-Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin
terjadi rigiditas dekortikal (kedua tungkai kaku dalam sikap
ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi)

9|Trauma Capitis
Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran
menurun hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil
melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat
(tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku
dalam sikap ekstensi).

c. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara
tengkorak dengan duramater (hematom ekstradural). Cirinya
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo-parietal yang disebabkan
oleh robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang
tengkorak.
Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri,
namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena,
karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya
sinus venosus terutama pada regio parieto oksipital dan pada fosa
posterior. Walaupun secara relatif perdarahan epidural jarang
terjadi (0,5% dari seluruh penderita cedera kepala dan 9% dari
penderita yang dalam keadaan koma), namun harus
dipertimbangkan karena memerlukan tindakan diagnostik maupun
operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong segera pada
tahap dini, prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung
akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak terlalu
lama.
Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan
langsung dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan.
Penderita dengan perdarahan epidural dapat menunjukkan
intervallucid yang klasik atau keadaan dimana penderita yang
semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die).
Keputusan perlunya suatu tindakan operatif memang tidak mudah
dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.

10 | T r a u m a C a p i t i s
Gambar. Perdarahan Epidural

d. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural (kira-kira 30% dari cedera kepala berat). Perdarahan ini
sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak
antara korteks serebri dan sinus venosus tempat vena tadi
bermuara. Namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri
pada permukaan otak.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan
hemisfer otak dan kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan
prognosisnya pun jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.
Angka kematian yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat
diturunkan dengan tindakan pembedahan yang cepat dan
penatalaksanaan medikamentosa yang agresif. 2,3,4,5

Gambar. Perdarahan Subdural

11 | T r a u m a C a p i t i s
Subdural hematom dibagi menjadi:
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik
dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat
dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang
otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan
tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol
atas denyut nadi dan tekanan darah. Gejala klinis dari subdural
hematom akut tergantun dari ukuran hematom dan derajat
kerusakan parenkim otak. Subdural hematom biasanya bersifat
unilateral. Gejala neurologis yang sering muncul adalah :
Perubahan tingkat kesadaran, dalam hal ini terjadi
penurunan kesadaran
Dilatasi pupil ipsilateral hematom
Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya
Hemiparesis kontralateral
Papiledema

2. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam
waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah
cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini
juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-
lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan
tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.
Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring
pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk

12 | T r a u m a C a p i t i s
tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan
bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan
peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh akumulasi darah
akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi
tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

3. Hematoma Subdural Kronik


Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa
minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera
pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang
melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat
dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrana fibrosa.
Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik
cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah
dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang
menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek
membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah
ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan
paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh)
dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya
ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.
Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali
diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan
melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah:
sakit kepala yang menetap
rasa mengantuk yang hilang-timbul
linglung

13 | T r a u m a C a p i t i s
perubahan ingatan
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

e. Subarachnoid Hematom
Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid
(yang memisahkan antara membrana arachnoid dan piamater).
Selain karena trauma, perdarahan juga dapat terjadi secara spontan
akibat aneurisma (Saccular Berrys Aneurism) atau malformasi
arteriovenosa. Gejala yang timbul antara lain sakit kepala berat yang
mendadak (thunderclap headache), penurunan kesadaran,
mual/muntah dan terkadang kejang. Kaku kuduk dapat terlihat 6
jam setelah onset perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan hilangnya
refleks cahaya menunjukkan adanya herniasi otak akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular dapat
timbul. Defisiensi neurologis berupa abnormalitas N. okulomotoris
(bola mata yang melihat kebawah, keluar serta tidak mampu
mengangkat kelopak mata di sisi yang sama) menunjukkan
kemungkinan perdarahan berasal dari a.communicating posterior.
Sebagai respons terhadap perdarahan, pelepasan adrenalin akan
meningkatkan tekanan darah dan aritmia. Sebanyak 85%
perdarahan subarachnoid disebabkan oleh aneurisma serebral,
kebanyakan terletak di sirkulus Wilisi dan percabangannya. Sisanya
terjadi akibat malformasi arteriovena, tumor, atau penggunaan
antikoagulan. Selain itu trauma cedera otak juga dapat
menyebabkan perdarahan subarachnoid, melalui fraktur tulang
sekitar atau kontusio intraserebral.

14 | T r a u m a C a p i t i s
Gambar. Perdarahan Subarachnoid pada CT-Scan

f. Kontusio dan Perdarahan Intraserebral


Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis kontusio
serebri meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT
scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri hampir
selalu berkaitan dengan perdarahan subdural akut.
Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak,
termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara
kontusio dan perdarahan intraserebral traumatika memang tidak
jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau
hari mengalami evolusi membentuk perdarahan intraserebral.

g. Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat
cedera akselerasi dan deselerasi yang merupakan bentuk yang
sering terjadi pada cedera kepala. Komosio serebri ringan adalah
cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi
disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai
derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali
tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini

15 | T r a u m a C a p i t i s
adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma
ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.
Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung
disertai amnesia retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia
pada peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah cedera). Komosio
serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia
pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu
lamanya dan reversibel.
Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam
waktu kurang dari 6 jam. Banyak penerita dengan komosio serebri
klasik pulih kembali tanpa cacat neurologis selain amnesia terhadap
peristiwa yang terjadi, namun pada beberapa penderita dapat
timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis
itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan
depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai
sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera aksonal
difusi (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemia. Biasanya
penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktu.
Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebrasi
dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila
bertahan hidup. Penderita-penderita sering menunjukkan gejala
disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia
dan dulu diduga akibat cedera otak karena hipoksia secara klinis
tidak mudah, dan memang kedua keadaan tersebut sering terjadi
bersamaan.

16 | T r a u m a C a p i t i s
h. Hematoma Intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang
besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat,
kontusio berat.Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
Hemiplegi
Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium
yang meningkat.
Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan
dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran
cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.

Gambar. Hematom Intraserebral pada gambaran CT-Scan

i. Fraktura Basis Cranii


Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat
menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya
masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak
jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari.
Dapat tampak amnesia retrogad dan amnesia pascatraumatik. Gejala
tergantung letak frakturnya
a. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau
kedua mata dikelilingi lingkaran biru (Brill Hematoma atau
Racoons Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi
hyposmia sampai anosmia.

17 | T r a u m a C a p i t i s
b. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam
sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri
dan darah vena (A-V shunt).
c. Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur
dapat melintas foramen magnum dan merusak medula
oblongata sehingga penderita dapat mati seketika.3-6

3. Berdasarkan beratnya, cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:


a. Cedera Kepala Ringan (CKR), termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
Skor GCS 13-15
Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10
menit
Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan
pada pemeriksaan neurologis
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
Skor GCS 9-12
Ada pingsan lebih dari 10 menit
Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
Skor GCS < 8
Gejalanya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas

18 | T r a u m a C a p i t i s
2.6. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis

Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002), antara
lain:

A. Glasgow Coma Scale (GCS)


Dinilai dengan respon mata, verbal dan motorik (Eyes, Verbal, Movement).

1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)

Secara spontan 4
Atas perintah 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1

2. Kemampuan komunikasi (V)

Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tidak berarti 3
Mengerang 2
Tidak bersuara 1

3. Kemampuan motorik (M)

Kemampuan menurut perintah 6


Reaksi setempat 5
Menghindar 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak bereaksi 1

Catatan :

1. Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan skor verbalnya
tidak dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen verbal tersebut. Pasien
dengan intubasi, skor GCS maksimal adalah 10 T dan minimal 2 T.

19 | T r a u m a C a p i t i s
2. Pasien dengan cedera local pada mata dan mata tidak bias dibuka, diberi tanda C
(eye closed) untuk komponen mata.
3. Untuk pasien yang diberi obat pelemas otot di ICU diberi tanda M pada komponen
motoriknya.

Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup


pemeriksaan neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya
menurun pemeriksaan yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman
dalam penanganan di unit gawat darurat, yaitu:

1. Tingkat kesadaran
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)

Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan atau cedera sistemik penyerta


(lebih dari 50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis
perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut, yaitu:

1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorhea, rinorre, racoons
eyes (ekhimosis periorbital), atau Battles sign (ekhimosis retroaurikuler).
2. Cedera daerah toraks: fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, temponade
jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi aspirasi
atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).
3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasi hepar, lien atau ginjal. Adanya
perdarahan ditandai dengan gejala akut abdomen yang tegang dan distensif.
4. Cedera derah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya, klinisnya
tidak jelas dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera ini sering berkaitan
dengan kejadian kehilangan darah yang okult.
5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah servikal dapat
terjadi secara bersamaan.
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak (otot,
saraf, pembuluh darah). 1,3-5

20 | T r a u m a C a p i t i s
B. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1mm adalah abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.

C. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.
Tonus, ekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya
harus dicatat.

Tabel. Nervus Cranialis dan Fungsinya.

D. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak


Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan dan memar. Kedalaman
laserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak
dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri,
pembengkakan dan memar.

21 | T r a u m a C a p i t i s
2.7. Diagnosis6-10

1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan
interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd atau anterograd)
2. Pemeriksaan neurologis:
a. Kesadaran berdasarkan GCS
b. Tanda-tanda vital
c. Otorrhea/rhinorrhea
d. Ecchymosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kacamata
e. Gangguan fokal neurologis
f. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
g. Refleks patologis
h. Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, dolls eye
phenomen
i. Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic
hyperventilation, apneusitic breath, ataxic breath
j. Gangguan fungsi otonom
k. Funduskopi
3. Pemeriksaan penunjang:
a. Foto polos kepalaAP/lateral
b. Dari hasil foto perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur linier,
impresi, terbuka/tertutup
c. CT scan kepala untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa
gambaran kontusio, gambaran edema otak, gambaran
perdarahan(hiperdens), hematoma epidural, hematoma subdural,
hematoma subarachnoid, hematoma intraserebral.
d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
e. Lumbal Pungsi: Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus
dilakukan sebelum 6 jamdari saat terjadinya trauma
f. EEG: Dapat digunakan untuk mencari lesi6,10

22 | T r a u m a C a p i t i s
2.8. Penatalaksanaan

Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan membuat luka mudah
dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan
miminimalkan masuknya infeksi sebelum laserasi ditutup.
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang,
berat) berdasarkan urutan:

1. Survei primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien meliputi tindakan


seperti berikut, yaitu:
a. Menilai jalan nafas (airway): membersihkan jalan nafas dari debris dan
muntahan, lepaskan gigi palsu, mempertahankan tulang servikal segaris dengan
badan dengan memasang collar cervikal, memasang guedel atau mayo bila
dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien
harus di intubasi.
b. Menilai pernafasan (breathing), menentukan apakah pasien bernafas
spontan/tidak. Jika tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas
spontan selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif,
hemopneumotoraks. Memasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2
minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau
memperoleh O2 yg adekuat (Pa O2>95% dan Pa CO2<40% mmHg serta saturasi
O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli
anestesi.
c. Menilai sirkulasi (circulation): otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.
Menghentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Memperhatikan
adanya cedera intra abdomen atau dada mengukur dan mencatat frekuensi
denyut jantung dan tekanan darah pasang EKG. Memasang jalur intravena yg
besar dan memberikan larutan koloid sedangkan larutan kristaloid
menimbulkan eksaserbasi edema.
d. Menilai disability untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan
pemeriksaan cepat status umum dan neurologi.

23 | T r a u m a C a p i t i s
2. Survei sekunder, meliputi pemeriksaan, dan tindakan lanjutan setelah kondisi
pasien stabil.
E : Laboratorium
Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, kreatinin, gula darah
sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit
Urin: perdarahan (+/-)
Radiologi
Foto polos kepalaAP/lateral
CT scan kepala
Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
F : Manajemen terapi
Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi
Siapkan untuk masuk ruang rawat
Penanganan luka luka
Pemberian obat obatan sesuai kebutuhan

Consensus di ruang rawat- Trauma kapitis sedang dan berat, yaitu:


a. Lanjutkan penanganan ABC
b. Pantau tanda vital, pupil, SKG, gerakan ekstrimitas, sampai pasien sedar
(pantauan dilakukan tiap 4 jam, lama patauan sampai pasien SKG 15). Dijaga
jangan terjadi kondisi sebagai berikut:
1. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
2. Suhu > 38C
3. Frekuensi nafas > 20x/m
c. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial dengan cara:
1. Elevasi kepala 30
2. Hiperventilasi
3. Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam waktu 1/2 jam-1jam, drip
cept, dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam,
setelah 6 jam dari pemberian pertama dan 0,25 g/kgBB drip cepat, / 2 jam-
1jam, setelah 12 jam dan 24 jam dari pemberian pertama.
4. berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek

24 | T r a u m a C a p i t i s
d. Mengatasi komplikasi
1. kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate dan early
seizure pada kasus risiko tinggi
2. infeksi akibat fratur basis kranii: profilaksis antibiotika sesuai dosis infeksi
intrakranial selama 10-14 hari.
3. Gastrointestinal-pendarahan lambung
4. demam
5. DIC
e. pemberian cairan dan nutrisi adekuat.

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi
klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan
panduan sebagai berikut, yaitu:

1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau


lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala
dan tanda fokal neurologis semakin berat
3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg
6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. Terjadi kompresi atau obliterasi sisterna basalis

ALGORITME 1. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN11


Definisi: penderita sadar dan berorientasi (GCS: 14-15)

1. Riwayat:
a. Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
b. Mekanisme cedera dan waktu cedera
c. Tidak sadar segera setelah cedera
d. Tingkat kewaspadaan
e. Amnesia: Retrograde, Antegrade

25 | T r a u m a C a p i t i s
f. Sakit kepala: ringan, sedang, berat
g. Kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis terbatas
4. Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
5. Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine
6. Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pads setiap penderita cedera kepala
ringan, kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan
neurologis normal

Observasi atau dirawat di RS

1. CT scan tidak ada


2. CT scan abnormal
Semua cedera tembus
3. Riwayat hilang kesadaran
4. Kesadaran menurun
Sakit kepala sedang-berat
Intoksikasi alkohol/obat-obatan
Fraktur tengkorak
5. Rhinorea-otorea
6. Cedera penyerta yang bermakna
7. Tak ada keluarga di rumah
8. Tidak mungkin kembali ke RS segera
9. Amnesia

Dipulangkan dari RS

1. Tidak memenuhi kriteria rawat


2. Diskusikan kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan lembar observasi
3. Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1 minggu

26 | T r a u m a C a p i t i s
ALGORITME 2. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih
mampu menuruti perintah-perintah sederhana (GCS: 9-13).

1. Pemeriksaan awal:
a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan darah
sederhana
b. Pemeriksaan CT scan kepala
c. Dirawat untuk observasi
2. Setelah dirawat
a. Pemeriksaan neurologis periodik
b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila
penderita akandipulangkan

Bila kondisi membaik (90%)

1. Pasien dapat pulang


2. Pasien dapat mengkontrol di poliklinik

Bila kondisi memburuk (10%)


Bila penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah lagi, segera lakukan
pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

ALGORITME 3. PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA BERAT


Definisi: penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena
kesadaran yang menurun (GCS 3-8)
Pemeriksaan dan penatalaksaan ABCDE
Primary Sunny dan resusitasi

Secondary Survey dan riwayat AMPLE 22

Re-evaluasi neurologic

Respon buka mata

Reaksi Cahaya pupil

Respon motorik

Refleksokulosefalik (Doll's eyes)

27 | T r a u m a C a p i t i s
Respon verbal

RefleksOkulovestibuler (Test Kalori)

Obat-obatan

Manitol

Antikonvulsan

Hiperventilasisedang

TesDiagnostik (sesuaiurutan)

CT Scan (semuapenderita)

Ventrikulografiudara

Angiogram

2.9. Prognosis

Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera
kepala ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik.
Sekitar 10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih dapat mengikuti
perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen, mungkin ada defisit
neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% di antaranya menurun dan koma.
Bila gejala neurologis membaik dan atau CT-scan.
Scan ulangan tidak memperlihatkan lesi massa yang memerlukan operasi,
penderita mungkin dapat dipulangkan dalam beberapa hari kemudian.
Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat mengikuti
perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Semua
penderita mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi.12

28 | T r a u m a C a p i t i s
Bab 3. Penutup
Trauma Kapitis adalah cedera kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur
lapisan mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tegkorak,
duramater, vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri, baik berupa luka terbuka
maupun trauma tembus yang dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologik yakni
gangguan fisik, fungsi kognitif dan psikosial baik temporer maupun permanen. Trauma
Kapitis dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada
kepala. Berdasarkan patofisiologinya Trauma Kapitis dibagi menjadi Trauma Capitis
primer dan cedera kepala sekunder.
Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan
dengan kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera kepala
sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik.
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat
cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode
EMV (Eyes, Verbal, Movement)
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera
kepala ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik. 10% penderita dengan
cedera kepala sedang, masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali
bingung dan somnolen, mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis.
Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah
yang sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Semua
penderita mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

29 | T r a u m a C a p i t i s
Daftar Pustaka
1. IT Maria.Konsensus Nasional. Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal.Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia (PERDO).Jakarta,2011.hal 2-3.
2. PERDOSSI, 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
PERDOSSI. Jakarta.
3. Advance Trauma Life Support, hal 196-2352.
4. Greenberg Michael I. 2008. Text-atlas of emergency medicine. Penerbit Erlangga.
Jakarta, hal 44-51.
5. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon LearningSystem LLC,
2003
6. Diunduh dari http://hubpages.com/hub/Cerebral_Hemorrhage_Kerala_shocking_fact,
19 Agustus 2014.
7. Diunduh dari http://www.thecochranelibrary.com/userfiles/ccoch/file/CD001049.pdf,
19 november 2013.
8. Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary Approach. Cambridge
University Press. Cambridge.2009
9. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Yogyakarta.2008. hlm. 261-262.
10. Satyanegara.Ilmu Bedah saraf. Penerbit EGC.Jakarta, hal 153-170
11. Livingstone C. Neurology and Neurosurgery illustrated. Second edition. 199125
12. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :
Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996.

30 | T r a u m a C a p i t i s

Anda mungkin juga menyukai