Anda di halaman 1dari 10

Gangguan Somatisasi pada Wanita

Imelda Gunawan
102012205
D1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email: meldaa.gunawan@yahoo.com

Pendahuluan
Somatisasi adalah suatu jenis penyakit yang dikelompokkan dalam penyakit gangguan
somatoform. Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani soma yang artinya tubuh.
Gangguan ini merupakan kelompok besar dari berbagai gangguan yang komponen utama dari
tanda dan gejalanya adalah tubuh. Gangguan ini mencakup interaksi tubuh-pikiran (body-
mind). Pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan adanya kaitan dengan keluhan
pasien. Gangguan ini meliputi: (1) gangguan somatisasi, (2) gangguan konversi, (3)
hipokondriasis, (4) body dysmorphic disorder, dan (5) gangguan nyeri. Namun yang akan
dibahas pada kasus kali ini adalah mengenai gangguan somatisasi.1

Skenario
Seorang perempuan usia 51 tahun datang ke dokter dengan keluhan-keluhan fisik,
rasa tidak enak di perut, kembung, terasa naik ke atas sehingga pasien merasa sesak, keluhan
lain rasa sakit di dada kiri yang kadang menyebar ke bagian kanan. Keluhan lain ada rasa
pegal di leherdan kesemutan di tungkai atas sampai ke dua belah kaki. Keluhan ini sudah
berlangsung sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu dan sudah mendapat pengobatan dari
beberapa dokter. Ditambahkan bahwa siklus mestruasi pasien normal.

Anamnesis
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan melalui suatu percakapan antara
seorang dokter dan pasien secara langsung atau melalui perantara orang lain yang mengetahui
kondisi pasien dengan tujuan untuk mendapatkan data pasien berserta permasalahan
medisnya. Anamnesis dibagi menjadi dua yaitu autoanamnesis, bila dokter bisa menanyakan
keluhan-keluhan yang dihadapi langsung dengan si penderita, dan alloanamnesis, bila kondisi
si penderita tidak memungkinkan untuk ditanyai sehingga dokter menanyakan keluhan
kepada orang yang mengetahui kondisi pasien. Apabila anamnesis dilakukan dengan cermat
maka informasi yang didapatkan sangat berharga untuk menegakan suatu diagnosis.2
Pada kasus ini anamnesis berperan cukup penting guna mendapatkan penjelasan
etiologi dari gangguan yang dialaminya, apakah disebabkan oleh faktor organik atau
penyebab lainnya. Untuk dapat memperoleh hasil yang baik dari anamnesis ini maka
diperlukan ikatan antara dokter-pasien yang harmonis.
Identitas pasien seperti nama, alamat, umur, status, dan pekerjaan penting untuk
mengetahui gambaran stresor yang dihadapi dalam kesehariannya. Keluhan utama pasien, hal
utama yang membuat pasien datang menemui dokter, lokasi keluhan, onset terjadinya, serta
sesnsasi terhadap keluhan. Setelah itu tanyakan bagaimana penyakit itu bermula, bagaimana
awal mula gangguan itu terjadi, sejak kapan, dan bagaimana keberlangsungannya. Riwayat
penyakit terdahulu, apakah pasien pernah mengalami penyakit yang serupa atau penyakit
lainnya yang dapat memicu terjadinya gangguan saat ini seperti demam tinggi, riwayat
trauma kepala, mengkonsumsi obat-obatan Parkinson, obat anti-hipertensi dan kotikosteroid
dalam jangka waktu lama. Jika pasien telah menikah, tanyakan mengenai pernikahannya.
Intinya pada segmen ini kita harus menggali mengenai pribadi pasien. Riwayat keluarga,
tanyakan apakah di dalam keluarganya ada suatu konflik atau masalah yang memberatkan
pikirannya atau tidak.
Selain itu, pada kasus ini penting juga kita menilai keadaan status mental dan riwayat
psikiatri pasien. Kita dapat melihat penampilan saat pasien datang, dari penampilan dapat
memberikan ciri khas pada beberapa penyakit psikiatrik, contohnya mereka berpakaian dan
berdandan berlebihan tidak sesuai dengan tempatnya. Cara bicara, perhatikan pasien saat
bicara. Biasanya pada pasien depresi mereka cenderung tertutup dan kurang memberi
informasi, sedangkan pada pasien mania, mereka berbicara terus-menerus tiada henti. Mood
atau suasana hati, serta pikiran seperti bagaimana perhatian pasien, daya memorinya, apakah
dia dapat menentukan sikap, serta cara berbahasa. Persepsi, tanyakan apakah pasien merasa
ada yang berbisik, atau melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh dokter untuk mengetahui
apakah pasien mengalami halusinasi. Sensorium dimana pasien sering merasa kesemutan.3
Teknik terpenting untuk memperoleh riwayat psikiatri adalah dengan membiarkan
pasien menceritakan kisahnya dengan kata-kata mereka sendiri dalam urutan yang mereka
rasa paling penting. Saat pasien menghubung-hubungkan ceritanya, pewawancara yang
terampil dapat mengenali intinya sehingga dapat mengajukan pertanyaan yang relevan
mengenai hal yang digambarkan dalam garis besar riwayat serta pemeriksaan status mental.
Psikodinamik formulasi adalah mekanisme pertahanan yang dilakukan oleh pasien.
Seperti penolakan (deny), pada saat disalahkan dia akan menyalahkan orang lain,
menggunakan orang lain untuk mencapai tujuannya.
Clinical Interview adalah cara yang dilakukan pemeriksa dalam menggali informasi
kepada pasien agar pasien mau bercerita kepada dokter dengan leluasa. Hal ini dapat dicapai
dengan menimbulkan kedekatan (rapport), kepercayaan (trust), penjaminan (reassurance),
dan memberikan respon emosional yang positif.3
Dari scenario ini bisa didapatkan beberapa hal, seperti:
a. Rasa tidak enak di perut, kembung, terasa naik ke atas sehingga pasien merasa
sesak.
b. Rasa sakit di dada kiri yang kadang menyebar ke bagian kanan.
c. Rasa pegal di leher dan kesemutan di tungkai atas sampai ke dua belah kaki.
d. Kurang lebih 1 tahun.
e. Siklus menstruasi normal.
Anamnesis pada pasien somatisasi tentu didapatkan gejala keluhan fisik yang sangat
banyak dan rumit. Setiap gejala tentu diusahakan untuk digali sebagaimana anggapan bahwa
ini merupakan gejala penyakit organik. Pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan keluhan
yang diberikan oleh pasien. Pemeriksaan penunjang juga dilakukan berdasarkan keluhan
yang diberikan oleh pasien. Namun baik pemeriksaan fisik ataupun pemeriksaan penunjang
sama sekali tidak ditemukan adanya kelainan pada pasien.1

Pemeriksaan fisik dan penunjang


Pada kasus dilakukan pemeriksaan fisik sesuai dengan gejala yang dinyatakan oleh
pasien dimana terdapat gejala rasa tidak enak di perut, kembung, terasa naik ke atas, rasa
sakit di dada kiri yang kadang menyebar ke bagian kanan, rasa pegal di leher dan kesemutan
di tungkai atas sampai ke dua belah kaki. Sesuai dengan gejala dilakukan pemeriksaan fisik
pada daerah abdomen serta bila perlu dilakukan pemeriksaan penunjang endoskopi. Rasa
sakit di dada kiri maka dapat dilakukan pemeriksaan fisik jantung dan pemeriksaan
penunjang seperti Elektrocardiografi, foto toraks, dan lainnya. Tungkai yang kesemutan dapat
merupakan gejala dari neuropati sehingga dapat dilakukan pemeriksaan fisik neurologi.
Dikarenakan pada tidak ditemukan adanya kelainan pada fisik pasien, maka
pemeriksaan yang plaing penting pada kasus ini adalah pemeriksaan status mental pasien
karena diperkirakan bahwa pasien merupakan pasien psikiatri.
Diagnosis kerja
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai
oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem organ yang tidak
dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan
somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan
melibatkan sistem organ yang multiple (sebagai contoh, gastrointestinal dan neurologis).
Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai
sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan
fungsi sosial dan pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.
Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR memberi syarat awitan gejala
sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus memenuhi
minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala
pseudoneurologik, serta tak satupun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan
laboratorik. Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR:1
A. Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi
selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan
atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
B. Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapan
pun selama perjalanan gangguan:
1) Empat gejala nyeri: kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada,
rektum, selama menstruasi, selama berhubungan seksual, atau selama buang
air kecil.
2) Dua gejala gastrointestinal: mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan,
diare, atau intoleransi beberapa makanan berbeda.
3) Satu gejala seksual: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, haid tak
teratur, perdarahan haid berlebihan, muntah sepanjang kehamilan.
4) Satu gejala pseudoneurologik: gejala konversi seperti gangguan koordinasi
atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa
ada gumpalan tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, kehilangan sensasi
rasa sakit dan raba, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan; gejala disosiatif
seperti amnesia, hilang kesadaran bukan karena pingsan.
C. Salah satu dari 1) atau 2):
1) Setelah penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada kriteria B tak dapat
sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat dari kondisi medik umum atau
merupakan efek langsung dari zat (mis: penyalahgunaan zat, karena medikasi).
2) Apabila terdapat kondisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau hendaya
sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada yang diharapkan
berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan laboratorium.
D. Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
Selain keluhan-keluhan mengenai kesehatan, pasien yang mengalami gangguan
somatisasi juga melaporkan adanya kesulitan pribadi berupa kecemasan dan depresi. Kelihan-
keluhan tersebut bukan merupakan bagian dari gangguan itu sendiri, tetapi sebagai akibat dari
kepercayaan individu bahwa masalah penyakit atau kesehatannya benar-benar berat.3

Diagnosis banding
Cemas, gangguan panik, dan depresi juga biasa terjadi pada pasien somatisasi, hingga
depresi mayor, sehingga perlu dipertimbangkan dalam diagnosis banding.4
Hipokondriasis
Hipokondriasis merupakan keadaan seseorang yang berpreokupasi dengan ketakutan
atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien ini memiliki interpretasi yang tidak
realistis maupun akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan
penyebab medis. Pasien yakin bahwa mereka menderita penyakit serius yang belum bisa
dideteksi, dan sulit diyakinkan dengan hal yang sebaliknya. Keyakinannya tetap bertahan
meskipun hasil lab menunjukkan negatif. Preokupasi ini menyebabkan penderitaan bagi
dirinya dan mengganggu kemampuannya untuk berfungsi secara baik di bidang sosial,
interpersonal, dan pekerjaan.1,4
Gangguan Depresi
Gejala utama dari depresi adalah mood yang terdepresi, kehilangan minat, dan
berkurangnya energi. Pasien mungkin menyatakan perasaannya sedih, tidak mempunyai
harapan, dicampakkan, atau tidak berharga. Dapat muncul pikiran untuk bunuh diri pada dua
pertiga kasus. Gejala tersering lainnya adalah kecemasan. Pasien juga mengalami perubahan
asupan makanan dan istirahat yang dapat menyebabkan penyakit lain seperti hipertensi, dan
sebagainya.1
Gangguan Cemas Panik
Gangguan panik terutama ditandai dengan serangan panik yang berulang. Serangan
panik terjadi secara spontan dan tidak terduga, disertai gejala otonomik yang kuat, terutama
sistem kardiovaskular dan sistem pernafasan. Serangan sering dimulai selama 10 menit,
gejala meningkat secara cepat. Kondisi cemas pada gangguan panik biasanya terjadi secara
tiba-tiba, dapat meningkat hingga sangat tinggi disertai gejala-gejala yang mirip gangguan
jantung, yaitu rasa nyeri di dada, berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa seperti
tercekik. Hal ini dialami tidak terbatas pada situasi atau rangkaian kejadian tertentu dan
biasanya tidak terduga sebelumnya.1

Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum diperkirakan 0,1
sampai 0,2 persen walaupun beberapa kelompok riset yakin bahwa angka sebenarnya dapat
lebih mendekati 0,5 persen. Perempuan dengan ganggauan somatisasi jumlahnya melebihi
laki-laki 5 hingga 20 kali lebih banyak, tetapi perkiraan tertinggi dapat disebabkan adanya
tendensi dini tidak mendiagnosis gangguan somatisasi pada pasien laki-laki. Meskipun
demikian , gangguan ini adalah gangguan yang lazim ditemukan. Dengan rasio perempuan
banding laki-laki 5 banding 1, prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi pada perempuan
di populasi umum mungkin 1 / 2 persen. Diantara pasien yang ditemui di tempat praktir
dokter umum dan dokter keluarga, sebayak 5 sampai 10 persen dapat memenuhi kriteria
diagnostik gangguan somatisasi. Gangguan ini berbanding terbalik dengan posisi sosial dan
terjadi paling sering pada pasien yang memiliki sedikit edukasi dan tingkat pendapatan yang
rendah. Gangguan somatisasi didefinisikan dimulai sebelum usia 30 tahun dan paling sering
dimulai selama masa remaja seseorang.1

Etiologi
Faktor Psikososial
Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial, gejala-gejala
gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk menghindari
kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan, hingga disebabkan karena
aspek pembelajaran (learning behavior) yang menekankan bahwa pengajaran dari orangtua,
contoh orangtua, dan budaya mengajarkan pada anak untuk menggunakan somatisasi. Faktor
sosial, kultur dan etnik juga ikut terlibat dalam pengembangan gejala-gejala somatisasi.1
Faktor Biologis
Sejumlah studi mengemukakan bahwa pasien memiliki perhatian yang khas dan
hendaya kognitif yang menghailkan persepsi dan penilaian input somatosensorik yang salah.
Hendaya ini mencangkup perhatian mudah teralih, ketidakmampuan menghabituasi stimulus
berulang, pengelompokan konstruksi kognitif dengan dasar impresionistik, hubungan parsial
dan sirkumstansial, serta kurangnya selektivitas seperti yang ditunjukan sejumlah studi
potensial bangkitan. Sejumlah terbatas studi pencitraan otak melaporkan adanya penurunan
metabolism lobus frontalis dan hemisfer nondominan.
Data genetik mengindikasikan adanya transmisus genetik pada gangguan somatisasi.
Terjadi pada 10-20 persen wanita turunan pertama, sedangkan pada saudara laki-lakinya
cenderung menjadi seorang penyalahgunaan zat dan kepribadian yang antisosial. Pada
kembar monozigot terjadi 29 persen dan dizigot 10 persen.1
Penelitian sitokin, suatu era baru studi ilmu neurologi dasar, dapat relevan dengan
gangguan somatisasi dan angguan somatoform lainnya. Sitokin adalah melekul pembawa
pesan yang digunakan system saraf, termasuk otak. Contoh sitokin adalah interleukin , factor
nekrosis tumor dan interferon. Bebrapa percobaan pendahuluan menunjukan bahwa sitokin
dapat berperan menyebabkan sejumlah gejala nonspesifik penyakit, terutama infeksi, seperti
ihipersomnia, anoreksia, lelah dan depresi. Walaupun ada data yang menyokong hipotesis
pengaturan abnormal system sitokin dapat mengakibatkan sejumlah gejala yang ditemukan
pada gangguan somatoform.1
Pedoman diagnostik somatisasi :3
1. Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2
tahun
2. Tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya
3. Terdapat disabilitas dalam fungsi di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan
sifat keluhan keluhannya dan dampak dari perilakunya

Manifestasi Klinis
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat
medik yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan adalah mual,
muntah (bukan karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkau, nafas
pendek (bukan karena olahraga), amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi. Seringkali
pasien beranggapan dirinya menderita sakit sepanjang hidupnya. Gejala pseudoneurologik
sering dianggap gangguan neurologik namun tidak patognomonik. Misalnya gangguan
koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada
gumpalan di tenggrokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba atau sakit,
penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan, atau hilang kesadaran bukan karena pingsan. Gejala
yang rumit ini biasanya juga menetap.1,5
Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol, dengan cemas dan
depresi merupakan gejala psikiatri yang paling sering muncul. Ancaman akan bunuh diri
sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang. Biasanya pasien mengungkapkan
keluhannya secara dramatik, dengan muatan emosi dan berlebihan. Pasien-pasien ini biasanya
tampak mandiri, haus penghargaan dan pujian, dan manipulatif.1
Mereka dapat bingung dengan urutan waktu dan tidak dapat membedakan dengan
jelas gejala saat ini dengan yang lalu. Pasien perempuan dengan gangguan somatisasi dapat
berpakaian dengan cara yang ekshibisionistik.1

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan gangguan somatisasi merupakan sebuah tantangan
tersendiri dimana pasien biasanya menolak untuk berobat kepada psikiater.
Interaksi dokter dengan pasien.
Pasien gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka memiliki seseorang
dokter tunggal sebagai perawat kesehatan utamanya. Hubungan ini harus memiliki
dipertahankan terus dan dokter harus mempunyai empati terhadap pasien. Kunjungan
harus relatif singkat dan dilakukan pemeriksaan fisik lengkap dengan meminimalisasi
pemeriksaan laboratorium dan penunjang diagnostik.1,2
Psikoterapi individu dan kelompok.
Dapat membantu pasien mengatasi gejalanya untuk mengekspresikan emosi yang
mendasari dan mengembangkan strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaan
mereka. Pada umumnya, pasien merasa ditolak, tidak dimengerti dan diasingkan dari
pergaulan. Oleh karena itu, terapi kelompok diharapkan dapat mengatasi hal
tersebut.1,2
Farmakoterapi.
Memberikan medikasi psikotropik bilamana gangguan somatisasi ada bersama-sama
dengan gangguan mood atau kecemasan adalah selalu memiliki resiko, tetapi
pengobatan psikofarmakologis, dan juga pengobatan psikoterapetik, pada gangguan
penyerta adalah diindikasikan. Medikasi harus dimonitor, karena pasien dengan
gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat
dipercaya. Pasien somatisasi juga dapat mengalami depresi mayor, sehingga dapat
diberikan antidepresan seperti duloxetine, sekaligus mengurangi nyeri yang dialami
oleh pasien.6
Dalam mengatasi dan menangani pasien yang mengalami gangguan kejiwaan perlu
cara khusus. kita harus melakukan beberapa tahapan yaitu:
Refleksi, yakni saat pasien menceritakan hal-hal yang membuatnya depresi, kita dapat
memberikannya support bahwa sesungguhnya bukan hanya dirinya yang mengalami
hal itu, masih banyak orang lain yang mengalami hal yang sama bahkan lebih berat.
Dengan cara begini pasien akan merasa tidak sendiri.
Silence, yakni pada saat pasien bercerita, cobalah untuk diam dan mendengarkan
bahkan saat dia menangis cobalah untuk diam hingga pasien selesai bercerita.
Confrontasi, memberikan pernyataan yang lebih mendorong pasien. Contohnya saat
pasien bercerita bahwa dirinya sering berhenti kerja karena merasa bosan, dokter
berkata: mungkin jika ibu lebih bersabar, hasilnya bisa lebih baik.
Klasifikasi, dimana setelah pasien bercerita, menuturkan masalahnya, dokter mencoba
untuk mengelompokkan pokok permasalahannya
Setelah mengelompokkan permasalahn yang dihadapi oleh pasien, pemeriksa
berusaha untuk menginterpretasikan atau menilai permasalahan tersebut.
Summation adalah membuat kesimpulan atas permasalahn yang dihadapi oleh pasien.
Explanation, pemeriksa menjelaskan mulai dari pokok permasalahan hingga cara
mengatasi masalah pasien. Mulai dari rencana pengobatan hingga pemecahan
masalah.

Prognosis
Prognosis biasanya baik jika dokter primer dapat mengintervensi secara cepat dan dini
sebelum situasi menjadi lebih buruk. Jika masalah-masalah atau gejala yang diderita pasien
sudah dirasa menetap cukup lama menjadi kronis, sangat sulit untuk diharapkan adanya
perubahan.4

Kesimpulan
Somatisasi dikelompokkan ke dalam somatoform, di mana somatisasi adalah
gangguan pada pasien yang mengeluh berbagai gejala dalam tubuhnya namun tidak
ditemukan adanya kelainan baik dalam pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang.
Hal ini sesuai dengan skenario di mana pasien mengeluh berbagai macam keluhan dalam
dirinya yang rumit namun pada pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang tidak
ditemukan adanya kelainan.

Daftar Pustaka
1. Elvira SD, Hadisukanto D. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p.45-6; 214;237; 265-8.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock buku ajar psikiatri klinis. Ed ke-2. Jakarta:
EGC;2010.h.1-16,268-70.
3. Maslim Rusdi. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta : Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya ; 2001.h.74-85.
4. McPhee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis & treatment. USA: The
McGrawHill Companies; 2010. p. 944-5.
5. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons
principles of internal medicine. 18thed Vol II. Philadelphia: The McGraw-Hill
Companies; 2012.p.3541-2.
6. Schatzberg AF, Cole JO, DeBattista C. Manual of clinical psychopharmacology. 7th
ed. England: American Psychiatric Publishing; 2010. p. 28-9.

Anda mungkin juga menyukai