RETINOPATI
Disusun Oleh:
Imelda Gunawan
11.2015.328
Pembimbing:
dr. Sri Harto, Sp.M
Mata merupakan salah satu indera pada manusia yang berfungsi dalam penglihatan.
Reseptor sensorik yang terdapat dalam tubuh manusia, setengahnya terdapat dalam mata
manusia. Reseptor sensorik pada mata terdapat pada retina. Retina merupakan suatu struktur
yang sangat kompleks dan sangat terorganisasi, dengan kemampuan untuk memulai
pengolahan informasi penglihatan sebelum informasi tersebut ditransmisikan melalui nervus
optikus ke korteks visual.1
Retinopati adalah suatu proses yang bersumber dari degenerasi atau kelainan lain dari
retina, yang secara umum disebabkan oleh gangguan pemberian nutrisi atau vaskularisasi dan
pemberian oksigen dari darah kurang mencukupi untuk kebutuhan jaringan. Retinopati terjadi
antara lain disebabkan oleh hipertensi, arteriosklerosis, anemia, diabetes mellitus, leukemia.
Hipertensi merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas paling sering di seluruh
dunia. Kelainan pembuluh darah ini dapat berdampak langsung atau tidak langsung terhadap
sistem organ tubuh.2,3
BAB II
ISI
I. ANATOMI DAN FISIOLOGI RETINA
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 milimeter. Bola mata
bagian depan depan (kornea) memiliki kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat
bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan
yaitu sklera, uvea, dan retina. Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal yang memberi
bentuk pada mata, merupakan bagian terluar yang membentuk bola mata. Jaringan uvea
merupakan jaringan vaskular. Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada
iris didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar yang masuk
ke dalam bola mata, yaitu otot dilator, sfingter iris, dan otot siliar. Otot siliar yang terletak
di badan siliar mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi. Otot melingkari badan
siliar bila berkontraksi pada akomodasi mengakibatkan mengendornya Zonula Zinn
sehingga terjadi pencembungan lensa.1
Retina dibentuk dari lapisan neuroektoderma sewaktu proses embriologi. Ia berasal
dari divertikulum otak bagian depan (proencphalon). Pertama-tama vesikel optik terbentuk
kemudian berinvaginasi membentuk struktur mangkuk berdinding ganda, yang disebut
optic cup. Dalam perkembangannya, dinding luar akan membentuk epitel pigmen
sementara dinding dalam akan membentuk sembilan lapisan retina lainnya. Retina akan
terus melekat dengan proencefalon sepanjang kehidupan melalui suatu struktur yang
disebut traktus retinohipotalamikus.1
Retina merupakan lapisan bola mata yang paling dalam. Secara kasar, retina terdiri
dari dua lapisan, yaitu lapisan fotoreseptor (pars optica retinae) dan lapisan non-
fotoreseptor atau lapisan epitel pigmen (retinal pigment epithelium/ RPE). Lapisan RPE
merupakan suatu lapisan sel berbentuk heksagonal, berhubungan langsung dengan epitel
pigman pada pars plana dan ora serrata. Lapisan fotoreseptor merupakan satu lapis sel
transparan dengan ketebalan antara 0,4 mm berhampiran nervus optikus sehingga 0,15 mm
berhampiran ora serrata. Di tengah-tengah macula terdapat fovea yang berada 3 mm di
bagian temporal dari margin temporal nervus optikus.4,5
Lapisan dalam retina mendapatkan suplai darah dari arteri retina sentralis. Arteri
ini berasal dari arteri oftalmikus yang masuk ke mata bersama-sama dengan nervus optikus
dan bercabang pada permukaan dalam retina. Arteri sentralis merupakan arteri utuh
dengan diameter kurang lebih 0,1 mm. Ia merupakan suatu arteri terminalis tanpa
anastomose dan membagi menjadi empat cabang utama. Sementara itu, lapisan luar retina
tidak mempunyai vaskularisasi. Bagian ini mendapatkan nutrisinya melalui proses difusi
dari lapisan koroid. Arteri retina biasanya berwarna merah cerah, tanpa disertai pulsasi
manakala vena retina berwarna merah gelap dengan pulsasi spontan pada diskus optikus.4,5
Secara histologis, retina terdiri atas 10 lapisan, yaitu: 4,5
1. Membrana limitans interna (serat saraf glial yang memisahkan retina dari corpus
vitreus)
2. Lapisan serat saraf optikus (akson dari 3rd neuron)
3. Lapisan sel ganglion (nuklei ganglion sel dari 3rd neuron)
4. Lapisan fleksiform dalam (sinapsis antara akson 2nd neuron dengan dendrit dari 3rd
neuron)
5. Lapisan nuklear dalam
6. Lapisan fleksiform luar (sinapsis antara akson 1st neuron dengn dendrit 2nd neuron)
7. Lapisan nuklear luar (1st neuron)
8. Membrana limitans eksterna
9. lapisan fotoreseptor (rods dan cones)
10. Retinal Pigment Epithelium
Gambar 2 . Penampang histologi retina
Alur cahaya melalui lapisan retina akan melewati beberapa tahap. Apabila radiasi
elektromagnetik dalam spektrum cahaya (380-760 nm) menghantam retina, ia akan diserap
oleh fotopigmen yang berada dilapisan luar. Sinyal listrik terbentuk dari serangkaian reaksi
fotokimiawi. Sinyal ini kemudian akan mencapai fotoreseptor sebagai aksi potensial
dimana ia akan diteruskan ke neuron kedua, ketiga keempat sehingga akhirnya mencapai
korteks visual.4,5
Faktor Resiko
Faktor resiko retinopati diabetik antara lain : 6,7
a. Durasi diabetes, adalah hal yang paling penting. Pada pasien yang didiagnosa dengan
DM sebelum umur 30 tahun, insiden retinopati diabetic setelah 50 tahun sekitar 50%
dan setelah 30 tahun mencpai 90%.
b. Kontrol glukosa darah yang buruk, berhubungan dengan perkembangan dan
perburukan retinopati diabetik.
c. Tipe Diabetes, dimana retinopati diabetik mengenai DM tipe 1 maupun tipe 2 dengan
kejadian hampir seluruh tipe 1 dan 75% tipe 2 setelah 15 tahun.
d. Kehamilan, biasanya dihubungkan dengan bertambah progresifnya retinopati
diabetik, meliputi kontrol diabetes prakehamilan yang buruk, kontrol ketat yang
terlalu cepat pada masa awal kehamilan, dan perkembangan dari preeklamsia serta
ketidakseimbangan cairan.
e. Hipertensi yang tidak terkontrol, biasanya dikaitkan dengan bertambah beratnya
retinopati diabetik dan perkembangan retinopati diabetik proliferatif pada DM tipe I
dan II
f. Nefropati, jika berat dapat mempengaruhi retinopati diabetik. Sebaliknya terapi
penyakit ginjal (contoh: transplantasi ginjal) dapat dihubungkan dengan perbaikan
retinopati dan respon terhadap fotokoagulasi yang lebih baik.
g. Faktor resiko yang lain meliputi merokok, obesitas,anemiadan hiperlipidemia.
Etiopatogenesis
Penyebab utama pada penyakit ini belum diketahui, tetapi diyakini bahwa lamanya
seseorang terpapar keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan
biokimia sehingga dapat merusak endotel pembuluh darah. Perubahan anatomis,
hematologi dan biokimiawi telah dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati.
Perubahan anatomi terdiri dari capilaropathy dan sumbatan mikrovaskular. Capilaropathy
terdiri dari (1) degenerasi dan hilangnya sel-sel perisit (2) proliferasi sel endotel dan (3)
penebalan membrana basalis, sedangkan sumbatan mikrovaskular terdiri dari (1)
arteriovenous shunt dan neovaskularisasi. Perubahan hematologi terdiri dari adhesi
trombosit dan eritrosit yang meningkat, abnormalitas serum dan viskositas darah,
abnormalitas lipid serum, fibrinolisis yang tidak sempurna dan abnormalitas sekresi
growth hormone.
Perubahan biokimiawi yang terjadi antara lain : 6
Jalur Poliol
Hiperglikemik yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi berlebihan serta
akumulasi dari poliol, yaitu suatu senyawa gula dan alkohol, dalam jaringan termasuk
di lensa dan saraf optik. Salah satu sifat dari senyawa poliol adalah tidak dapat
melewati membrane basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak
dalam sel. Senyawa poliol menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan
menimbulkan gangguan morfologi maupun fungsional sel.
Glikasi Nonenzimatik
Glikasi non enzimatik terhadap protein dan asam deoksiribonukleat (DNA) yang
terjadi selama hiperglikemia dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA.
Protein yang terglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan menyebabkan
perubahan fungsi sel.
Protein Kinase C
Protein Kinase C diketahui memiliki pengaruh terhadap permeabilitas vaskular,
kontraktilitas, sintesis membrane basalis dan proliferasi sel vaskular.Dalam kondisi
hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan
sintesis de novo dari diasilgliserol, yaitu suatu regulator PKC, dari glukosa.
Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina.
Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat
difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan
dihubungkan dengan iskemia retina.
Penatalaksanaan
1. Pemeriksaan rutin kepada dokter spesialis mata
Pada penderita diabetes melitus tipe I, retinopati jarang timbul hingga lima
tahun setelah diagnosis. Sedangkan pada sebagian besar penderita diabetes melitus
tipe II telah menderita retinopati saat didiagnosis diabetes pertama kali. Pasien-
pasien ini harus melakukan pemeriksaan mata saat diagnosis ditegakkan. Pasien
wanita sangat beresiko perburukan retinopati diabetik selama kehamilan.
Pemeriksaan secara umum direkomendasikan pada pasien hamil pada semester
pertama dan selanjutnya tergantung kebijakan ahli matanya. 9
Tabel 2. Anjuran jadwal pemeriksaan
Umur onset Rekomendasi pemeriksaan pertama Follow up rutin minimal
DM/kehamilan kali
0-30 tahun Dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis Setiap tahun
>31 tahun Saat diagnosis Setiap tahun
Hamil Awal trimester pertama Setiap 3 bulan atau sesuai
kebijakan dokter mata
Berdasarkan beratnya retinopati dan risiko perburukan penglihatan, ahli mata
mungkin lebih memilih untuk megikuti perkembangan pasien-pasien tertentu lebih
sering karena antisipasi kebutuhan untuk terapi.9
Tabel 3. Jadwal pemeriksaan berdasarkan temuan pada retina
Abnormalitas retina Follow-up yang disarankan
Normal atau mikroaneurisma yang sedikit Setiap tahun
Retinopati Diabetik non proliferatif ringan Setiap 9 bulan
Retinopati Diabetik non proliferatif Setiap 6 bulan
Retinopati Diabetik non proliferatif Setiap 4 bulan
Edema makula Setiap 2-4 bulan
Retinopati Diabetik proliferatif Setiap 2-3 bulan
Prognosis
Kontrol optimum glukosa darah (HbA1c < 7%) dapat mempertahankan atau menunda
retinopati. Tanpa pengobatan, Detachment retinal tractional dan edema macula dapat
menyebabkan kegagalan visual yang berat atau kebutaan. Bagaimanapun juga, retinopati
diabetik dapat terjadi walaupun diberi terapi optimum.
Patogenesis
Pada keadaan hipertensi, pembuluh darah retina akan mengalami beberapa seri
perubahan patofisiologis sebagai respon terhadap peningkatan tekanan darah. Terdapat
teori bahwa terjadi spasme arterioles dan kerusakan endothelial pada tahap akut sementara
pada tahap kronis terjadi hialinisasi pembuluh darah yang menyebabkan berkurangnya
elastisitas pembuluh darah.1-3
Pada tahap awal, pembuluh darah retina akan mengalami vasokonstriksi secara
generalisata. Ini merupakan akibat dari peningkatan tonus arteriolus dari mekanisme
autoregulasi yang seharusnya berperan sebagai fungsi proteksi. Pada pemeriksaan
funduskopi akan kelihatan penyempitan arterioles retina secara generalisata.1-4
Peningkatan tekanan darah secara persisten akan menyebabkan terjadinya penebalan
intima pembuluh darah, hiperplasia dinding tunika media dan degenerasi hyalin. Pada
tahap ini akan terjadi penyempitan arteriolar yang lebih berat dan perubahan pada
persilangan arteri-vena yang dikenal sebagai arteriovenous nicking. Terjadi juga
perubahan pada refleks cahaya arteriolar yaitu terjadi pelebaran dan aksentuasi dari refleks
cahaya sentral yang dikenal sebagai copper wiring.1-4
Setelah itu akan terjadi tahap pembentukan eksudat, yang akan menimbulkan kerusakan
pada sawar darah-retina, nekrosis otot polos dan sel-sel endotel, eksudasi darah dan lipid,
dan iskemik retina. Perubahan-perubahan ini bermanifestasi pada retina sebagai gambaran
mikroaneurisma, hemoragik, hard exudate dan infark pada lapisan serat saraf yang dikenal
sebagai cotton-wool spot. Edema diskus optikus dapat terlihat pada tahap ini, dan biasanya
meripakan indikasi telah terjadi peningkatan tekanan darah yang sangat berat.1-4
Akan tetapi, perubahan-perubahan ini tidak bersifat spesifik terhadap hipertensi saja,
karena ia juga dapat terlihat pada pnyakit kelainan pembuluh darah retina yang lain.
Perubahan yang terjadi juga tidak bersifat sequential. Contohnya perubahan tekanan darah
yang terjadi mendadak dapat langsung menimbulkan hard exudate tanpa perlu mengalami
perubahan-perubahan lain terlebih dulu.1-4
Klasifikasi
Klasifikasi Keith-Wagener-Barker (1939):
1. Grade I : Penyempitan ringan, sklerosis dan tortuosity arterioles retina; hipertensi
ringan, asimptomatis.
2. Grade II : Penyempitan definitif, konstriksi fokal, sklerosis, dan nicking
arteriovenous; ekanan darah semakin meninggi, timbul beberapa gejala dari hipertensi
3. Grade III : Retinopati (cotton-wool spot, arteriosclerosis, hemoragik); tekanan darah
terus meningkat dan bertahan, muncul gejala sakit kepala, vertigo, kesemutan,
kerusakan ringan organ jantung, otak dan fungsi ginjal.
4. Grade IV : Edema neuroretinal termasuk papiledema, garis Siegrist, Elschig spot;
peningkatan tekanan darah secara persisten, gejala sakit kepala, asthenia, penurunan
berat badan, dyspnea, gangguan penglihatan, kerusakan organ jantung, otak dan
fungsi ginjal.
WHO membagikan stadium I dan II dari Keith dkk sebagai retinopati hipertensi dan
stadium III dan IV sebagai malignant hipertensi.
Diagnosis
Diagnosis retinopati hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisis. Selain itu pemeriksaan penunjang seperti funduskopi, pemeriksaan visus,
pemeriksaan tonometri terutama pada pasien lanjut usia dan pemeriksaan USG B-Scan
untuk melihat kondisi di belakang lensa diperlukan untuk membantu menegakkan
diagnosis pasti. Pemeriksaan laboratorium juga penting untuk menyingkirkan penyebab
lain retinopati selain dari hipertensi.
Pasien dengan hipertensi biasanya akan mengeluhkan sakit kepala dan nyeri pada mata.
Penurunan penglihatan atau penglihatan kabur hanya terjadi pada stadium III atau stadium
IV peubahan vaskularisasi akibat hipertensi. Arteriosklerosis tidak memberikan simptom
pada mata. 2-5,10
Hipertensi dan perubahan arteriosklerosis pada fundus diketahui melalui pemeriksaan
funduskopi, dengan pupil dalam keadaan dilatasi. Biasa didapatkan perubahan pada
vaskularisasi retina, Pada bentuk yang ringan, hipertensi akan meyebabkan peningkatan
reflek arteriolar yang akan terlihat sebagai gambaran copper wire atau silver wire.
Penebalan lapisan adventisia vaskuler akan menekan venule yang berjalan dibawah
arterioler sehingga terjadi perlengketan atau nicking arteriovenousa. Pada bentuk yang
lebih ekstrem, kompresi ini dapat menimbulkan oklusi cabang vena retina (Branch Retinal
Vein Occlusion/ BRVO). Dengan level tekanan darah yang lebih tinggi dapat terlihat
perdarahan intraretinal dalam bentuk flame shape yang mengindikasikan bahwa
perdarahannya berada dalam lapisan serat saraf, CWS dan/ atau edema retina. Malignant
hipertensi mempunya ciri-ciri papiledema dan dengan perjalanan waktu akan terlihat
gambaran makula berbentuk bintang.2-5,10
Lesi pada ekstravaskuler retina dapat terlihat sebagai gambaran mikroaneurisme yang
diperkirakan akan terjadi pada area dinding kapiler yang paling lemah. Gambaran ini
paling jelas terlihat melalui pemeriksaan dengan angiografi. Keadaan stasis kapiler dapat
menyebabkan anoksia dan berkurangnya suplai nutrisi, sehingga menimbulkan formasi
mikroanuerisma. Selain itu, perdarahan retina dapat terlihat. Ini akibat hilang atau
berkurangnya integritas endotel sehingga terjadi ekstravasasi ke plasma, hingga terjadi
perdarahan. Bercak-bercak perdarahan kelihatan berada di lapisan serat saraf kelihatan
lebih jelas dibandingkan dengan perdarahan yang terletak jauh dilapisan fleksiform luar.
Edema retina dan makula diperkirakan terjadi melalui 2 mekanisme. Hayreh membuat
postulat bahwa edema retina timbul akibat transudasi cairan koroid yang masuk ke retina
setelah runtuhnya struktur RPE. Namun selama ini peneliti lain percaya bahwa cairan
edematosa muncul akibat kegagalan autoregulasi, sehingga meningkatkan tekanan
transmural pada arterioles distal dan kapiler proksimal dengan transudasi cairan ke dalam
jeringan retina. Absorpsi komponen plasma dari cairan edema retina akan menyebabkan
terjadinya akumulasi protein. Secara histologis, yang terlihat adalah residu edema dan
makrofag yang mengandung lipid. Walaupun deposit lipid ini ada dalam pelbagai bentuk
dan terdapat dimana-mana di dalam retina, gambaran macular star merupakan bentuk yang
paling dominan. Gambaran seperti ini muncul akibat orientasi lapisan Henle dari serat
saraf yang berbentuk radier.2-5,10
Pemeriksaan laboratorium harus mencantumkan permintaan untuk pengukuran tekanan
darah, urinalisis, pemeriksaan darah lengkap terutama kadar hematokrit, kadar gula darah,
pemeriksaan elektrolit darah terutama kalium dan kalsium, fungsi ginjal terutama
kreatinin, profil lipid dan kadar asam urat. Selain itu pemeriksaan foto yang dapat
dianjurkan termasuk angiografi fluorescein dan foto toraks. Pemeriksaan lain yang
mungkin bermanfaat dapat berupa pemeriksaan elektrokardiogram.
Penatalaksanaan
Mengobati faktor primer adalah sangat penting jika ditemukan perubahan pada fundus
akibat retinopati arterial. Tekanan darah harus diturunkan dibawah 140/90 mmHg. Jika
telah terjadi perubahan pada fundus akibat arteriosklerosis, maka kondisi ini tidak dapat
diobati lagi. Beberapa studi eksperimental dan percobaan klinik menunjukan bahwa tanda-
tanda retinopati hipertensi dapat berkurang dengan mengontrol kadar tekanan darah. Masih
tidak jelas apakah pengobatan dengan obat anti hipertensi mempunyai efek langsung
terhadap struktur mikrovaskuler. Penggunaan obat ACE Inhibitor terbukti dapat
mengurangi kekeruhan dinding arteri retina sementara penggunaan HCT tidak
memberikan efek apa pun terhadap pembuluh darah retina. Perubahan pola dan gaya hidup
juga harus dilakukan. Pasien dinasehati untuk menurunkan berat badan jika sudah
melewati standar berat badan ideal seharusnya. Konsumsi makanan dengan kadar lemak
jenuh harus dikurangi sementara intake lemak tak jenuh dapat menurunkan tekanan darah.
Konsumsi alkohol dan garam perlu dibatasi dan pasien memerlukan kegiatan olahraga
yang teratur.2-5,10
Prognosis
Prognosis tergantung kepada kontrol tekanan darah. Kerusakan penglihatan yang serius
biasanya tidak terjadi sebagai dampak langsung dari proses hipertensi kecuali terdapat
oklusi vena atau arteri lokal. Pasien dengan perdarahan retina, CWS atau edema retina
tanpa papiledema mempunya jangka hidup kurang lebih 27,6 bulan. Pasien dengan
papiledema, jangka hidupnya diperkirakan sekitar 10,5 bulan. Namun pada sesetengah
kasus, komplikasi tetap tidak terelakkan walaupun dengan kontrol tekanan darah yang
baik.2-5
Patofisiologi
ROP merupakan kelainan vaskular retina imatur. Pembuluh darah retina belum
berkembang penuh sampai sekitar kehamilan 34-36 minggu. Semakin bayi kurang bulan,
semakin besar resiko menglami ROP. Vasokontriksi arteri retina terjadi sebagai respon
terhadap peningkatan tekanan oksigen arteri (PaO2), vasokontriksi ini merupakan respon
protektif dan tidak mebahayakan bagi retina yang sudah berkembang penuh, tetapi
hipoperfusi dan hipoksemia setempat pada retina dengan vaskularisasi tidak lengkap
merangsang proliferasi pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi) sebagai
upaya mensuplai daerah yang kurang mendapat perfusi. Perdarahan selanjutnya ke dalam
badan kaca dan retina menyebabkan proliferasi fibrosa, retraksi parut dan pada kasus
terburuk lepasnya retina dan kebutaan.12
Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan tingginya tekanan
oksigen retina sehingga memperlambat perkembangan pembuluh darah retina
(vaskulogenesis). Hal ini menimbulkan daerah iskemia pada retina. Pada kondisi normal,
retina mempunyai kepekaan terhadap kerusakan oksidatif yang disebahkan tiga hal, yaitu
1. Berlimpahnya substrat untuk reaksi oksidatif dalam bentuk asam lemah tak jenuh ganda
2. retina memproses cahaya sedangkan cahaya merupakan inisiator pembentukan oksigen
radikal hebas, dan
3. adanya aliran oksigen lintas membran yang relatif tinggi.
Pada bayi prematur, kepekaan retina terhadap stres oksidatif disebabkan oleh (1) retina
mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap reaksi kimia yang mampu merambatkan
kerusakan oksidatif sesuai jaringan yang diterkena, (2) bayi prematur mengalami
hiperoksia tidak hanya diakibatkan oleh penambahan konsentrasi oksigen di uterus ke
udara bebas, tetapi juga akibat peningkatan oksigen inspirasi, dan (3) bayi prematur tidak
mempunyai pengganti komponen antioksidan retina. Retinopati prematur merupakan
manifestasi alamiah akibat toksisitas pemberian oksigen pada bayi prematur. 11
Retinopati prematuritas terutama terjadi pada bayi dengan Berat Badan Lahir Amat
Sangat Rendah (BBLASR). Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa berat badan
lahir rendah, usia gestasi yang rendah, dan penyakit penyerta yang berat (misalnya
respiratory distress syndrome, displasia bronkopulmoner, sepsis) merupakan faktor-faktor
yang terkait. Bayi yang lebih kecil, lebih tidak sehat, dan lebih imatur memiliki risiko yang
jauh lebih tinggi untuk menderita penyakit ini.
Prematuritas mengakibatkan terhentinya proses maturasi dari pembuluh retina normal.
Terdapat dua teori yang menjelaskan patogenesis ROP. Sel-sel spindel mesenkimal, yang
terpapar kondisi hiperoksia, akan mengalami gap junction. Gap junction ini mengganggu
pembentukan pembuluh darah yang normal, mencetuskan terjadinya respon neovaskular,
sebagaimana dilaporkan oleh Kretzer dan Hittner. menjelaskan akan adanya dua fase pada
proses terjadinya ROP. Fase pertama, fase hiperoksik, menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi pembuluh retina dan destruksi sel-sel endotel kapiler yang irreversibel.
Keadaan hyperoxia-vasocessation ini dikenal sebagai stadium I dari retinopati
prematuritas.
Seiring area ini mengalami iskemik, faktor angiogenik, seperti vascular endothelial
growth factor (VEGF), dibentuk oleh sel-sel spindel mesenkimal dan retina yang iskemik
untuk membuat vaskularisasi yang baru. Vaskularisasi baru ini bersifat immatur dan tidak
berespon terhadap regulasi yang normal.
Segera setelah itu, nutrisi dan oksigen dapat dikirim ke retina melalui difusi dari kapiler-
kapiler yang berada pada lapisan koroid. Retina terus tumbuh semakin tebal dan akhirnya
melebihi area yang dapat disuplai oleh pembuluhnya. Seiring waktu, terjadilah hipoksia
retinal yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pertumbuhan pembuluh darah yang
berlebihan; keadaan hypoxia-vasoproliferation ini dikenal sebagai ROP stadium II.
Gejala Klinis
Sistem klasifikasi ini membagi lokasi penyakit ini dalam zona-zona pada retina (1, 2,
dan 3), penyebaran penyakit berdasarkan arah jarum jam (1-12), dan tingkat keparahan
penyakit dalam stadium (0-5). Dalam anamnesis dari bayi prematur, harus mencakup
hal-hal berikut ini :
Usia gestasi saat lahir, khususnya bila lebih kurang dari 32 minggu
Berat badan lahir kurang dari 1500 gr, khususnya yang kurang dari 1250 gr
Faktor risiko lainnya yang mungkin ( misalnya terapi oksigen, hipoksemia,
hipercarbia, dan penyakit penyerta lainnya)
Pemeriksaan Fisik. ROP dikategorisasikan dalam zona-zona, dengan stadium yang
menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Semakin kecil dan semakin muda usia bayi
saat lahir, semakin besar kemungkinan penyakit ini mengenai zona sentral dengan stadium
lanjut.
Pembagian zona.
Zona 1
o Zona 1 adalah yang paling labil. Pusat dari zona 1 adalah nervus optikus. Area ini
memanjang dua kali jarak dari saraf optik ke makula dalam bentuk lingkaran. ROP
yang terletak pada zona 1 (bahkan pada stadium 1, imatur) dianggap kondisi yang
kritikal dan harus dimonitor dengan ketat.
o Area ini sangat kecil dan perubahan pada area dapat terjadi dengan sangat cepat,
kadangkala dalam hitungan hari. Tanda utama dari perburukan penyakit ini bukanlah
ditemukannya neovaskularisasi tetapi dengan ditemukan adanya pembuluh darah
yang mengalami peningkatan dilatasi. Vaskularisasi retina tampak meningkat
mungkin akibat meningkatnya shunting ateriovena.
Zona 2
o Zona 2 adalah area melingkar yang mengelilingi zona 1 dengan nasal ora serrata
sebagai batas nasal.
o ROP pada zona 2 dapat berkembang dengan cepat namun biasanya didahului dengan
tanda bahaya (warning sign) yang memperkirakan terjadinya perburukan dalam 1-2
minggu. Tanda bahaya tersebut antara lain : (1) tampak vaskularisasi yang
meningkat pada ridge (percabangan vaskular meningkat); biasanya merupakan tanda
bahwa penyakit ini mulai agresif. (2) Dilatasi vaskular yang meningkat. (3) tampak
tanda hot dog pada ridge; merupakan penebalan vaskular pada ridge; hal ini
biasanya terlihat di zona posterior 2 (batas zona 1) dan merupakan indikator
prognosis yang buruk.
Zona 3
o Zona 3 adalah bentuk bulan sabit yang tidak dicakup zona 2 pada bagian temporal.
o Pada zona ini jarang terjadi penyakit yang agresif. Biasanya, zona ini mengalami
vaskularisasi lambat dan membutuhkan evaluasi dalam setiap beberapa minggu.
o Banyak bayi yang tampak memiliki penyakit pada zona 3 dengan garis demarkasi
dan retina yang nonvaskular. Kondisi ini ditemukan pada balita dan dapat
dipertimbangkan sebagai penyakit sikatrisial. Tidak ditemukan adanya penyakit
sequelae dari zona ini.
Gambar 18. Zona ROP
Stadium ROP 13
1. Stadium 0
Bentuk yang paling ringan dari ROP. Merupakan vaskularisasi retina yang imatur.
Tidak tampak adanya demarkasi retina yang jelas antara retina yang tervaskularisasi
dengan nonvaskularisasi. Hanya dapat ditentukan perkiraan perbatasan pada
pemeriksaan.
Pada zona 1, mungkin ditemukan vitreous yang berkabut, dengan saraf optik sebagai
satu-satunya landmark. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang setiap minggu.
Pada zona 2, sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu.
Pada zona 3, pemeriksaan setiap 3-4 minggu cukup memadai.
2. Stadium 1
Ditemukan garis demarkasi tipis diantara area vaskular dan avaskular pada retina. Garis
ini tidak memiliki ketebalan.
Pada zona 1, tampak sebagai garis tipis dan mendatar (biasanya pertama kali pada
nasal). Tidak ada elevasi pada retina avaskular. Pembuluh retina tampak halus,
tipis, dan supel. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap minggu.
Pada zona 2, sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu
Pada zona 3, pemeriksaan dilakukan setiap 3-4 minggu
3. Stadium 2
Tampak ridge luas dan tebal yang memisahkan area vaskular dan avaskular retina.
Pada zona 1, apabila ada sedikit saja tanda kemerahan pada ridge, ini merupakan
tanda bahaya. Apabila terlihat adanya pembesaran pembuluh, penyakit dapat
dipertimbangkan telah memburuk dan harus ditatalaksana dalam 72 jam.
Pada zona 2, apabila tidak ditemukan perubahan vaskular dan tidak terjadi
pembesaran ridge, pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan tiap 2 minggu.
Pada zona 3, pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali ditemukan
adanya pembentukan arkade vaskular.
4. Stadium 3
Dapat ditemukan adanya proliferasi fibrovaskular ekstraretinal (neovaskularisasi) pada
ridge, pada permukaan posterior ridge atau anterior dari rongga vitreous.
Pada zona 1, apabila ditemukan adanya neovaskularisasi, maka kondisi ini
merupakan kondisi yang serius dan membutuhkan terapi.
Pada zona 2, prethreshold adalah bila terdapat stadium 3 dengan penyakit plus.
Pada zona 3, pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali bila
ditemukan adanya pembentukan arkade vaskular.
5. Stadium 4
Stadium ini adalah ablasio retina subtotal yang berawal pada ridge. Retina tertarik ke
anterior ke dalam vitreous oleh ridge fibrovaskular.
Stadium 4A : tidak mengenai fovea
Stadium 4B : mengenai fovea
6. Stadium 5
Stadium ini adalah ablasio retina total berbentuk seperti corong (funnel).
Stadium 5A : corong terbuka
Stadium 5B : corong tertutup
Penatalaksanaan13
1. Terapi medis untuk retinopati prematuritas (ROP) terdiri dari screening oftalmologis
terhadap bayi-bayi yang memiliki faktor risiko. Terapi terapi lainnya yang pernah
dicoba dapat berupa mempertahankan level insulinlike growth factor (IGF-1) dan
omega-3-polyunsaturated fatty acids (PUFAs) dalam kadar normal pada retina yang
sedang berkembang.
2. Terapi bedah ablatif (Ablative surgery)
3. Krioterapi
4. Terapi Bedah Laser
Pencegahan
Pencegahan yang paling bermakna adalah pencegahan kelahiran bayi prematur.
Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara melakukan perawatan antenatal yang baik.
Semakin matur bayi yang lahir, semakin kecil kemungkinan bayi tersebut menderita ROP.
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid dalam masa antenatal memiliki
efek protektif terhadap tingkat keparahan ROP.
Prognosis
Prognosis ROP ditentukan berdasarkan zona penyakit dan stadiumnya. Pada pasien
yang tidak mengalami perburukan dari stadium I atau II memiliki prognosis yang baik
dibandingkan pasien dengan penyakit pada zona 1 posterior atau stadium III, IV, dan V.
Faktor yang penting adalah deteksi awal dan penangganan yang tepat.
BAB III
PENUTUP
Retinopati diabetik merupakan salah satu kondisi komplikasi dari diabetes melitus.
Penderita diabetes melitus yang lama dapat menyebabkan beberapa perubahan yang dapat
menyebabkan terjadinya retinopati baik perubahan anatomis, hematologi dan biokimiawi.
Deteksi gejala dan penanganan yang tepat serta cepat pada penyakit ini dapat mencegah
terjadinya kebutaan.
Retinopati hipertensi merupakan kelainan retina dan pembuluh darah retina akibat
tekanan darah tinggi. Hipertensi arteri sistemik merupakan tekanan diastolik > 90 mmHg dan
tekanan sistolik > 140 mmHg. Perubahan pembuluh darah retina muncul akibat peningkatan
tekanan darah secara kronik. Bukan hanya retina, namun juga melibatkan koroid dan saraf
optik. Penanganan terbaik pada retinopati hipertensi adalah menjaga tekanan darah agar tetap
dibawah 140/90 mmHg.
Retinopati prematuritas merupakan keadaan retinopati proliferatif dimana terjadi
perkembangan abnormal pada pembuluh darah retina pada bayi prematur. ROP seringkali
mengalami regresi atau membaik tetapi dapat menyebabkan terjadinya gangguan visual berat
atau kebutaan. Pencegahan pada penyakit ini adalah perawatan antenatal yang baik agar
mencegah terjadinya prematuritas.
Daftar Pustaka
1. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asburys General Ophthalmology [ebook]. 17th Ed.
USA: The McGrawHill Company; 2007.
2. Wong TY, Mitchell P, editors. Current concept hypertensive retinopathy. The New
England Journal of Medicine 2004 351:2310-7. 2004 Nov 25 [cited 2017 November
19] Available from: URL:http://www.nejm.org/cgi/reprint/351/22/2310.pdf
3. Hughes BM, Moinfar N, Pakainis VA, Law SK, Charles S, Brown LL et al, editors.
Hypertension. 2007 Jan 4 [cited 2017 November 19] Available from: URL:
http://www.emedicine.com/oph/topic488.htm
4. Lang GK. In: Ophtalmology a short textbook: retina. 1st ed. New York, Thieme
Stuttgart Germany; 2000. p. 299-314, 323-5
5. Pavan PR, Burrows AF, Pavan-Langston D. In: Pavan-Langston D, Azar DT, Azar N,
Beyer J, Baruner SC, Burrows A et at, editors. Manual of ocular diagnosis and therapy:
retina and vitreous. 6th ed. Massachusetts. Lippincotts Williams and Wilkins; 2008. p.
213-22
6. Pandelaki K. Retinopati Diabetik. Sudoyo AW, Setyiohadi B, Alwi I, Simadibrata KM,
Setiati S, editors. Retinopati Diabetik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta: Penerbit Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. p.1857, 1889-1893.
7. Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology. London:Butterworth-
Heinemann;2003. p.439-54,468-70.
8. Vislisel J, Oetting T.A. Diabetic Retinopathy: from one medical student to another.
EyeRounds.org. Sept. 1, 2010 [cited 2017 November 19]; Available from:
http://www.EyeRounds.org/tutorials/diabetic-retinopathy-med-students/
9. Weiss J. Retina and Vitreous : Retinal Vascular Disease. Section 12 Chapter
5.Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2008. p 107-128
10. Ilyas,Sidharta, Ilmu Penyakit Mata, cetakan III, balai penerbitan FKUI,2006,Jakarta
11. Setiawan bambang, 2007. Peroksidase lipid dan penyakit terkait stress oksidatif pada
bayi premature. Dalam: majalah kedokteran Indonesia vol.57 no.1, Jakarta 2007
12. Benson C Ralph. Retinophati prematuritas. Dalam: Obsteri dan Ginekologi. Jakarta:
EGC,2004.
13. Bashour M. Retinopathy of Prematurity. Emedicine. November 3, 2008. [cited 2017
November 19] Available at http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis