Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PRAKTIKUM I & II : TEORI DASAR LABORATORIUM FARMAKOLOGI &


EKSPERIMEN-EKSPERIMEN DASAR

Dosen Pengampu Praktikum :

Dr. Azrifitira, M.Si., Apt.

Dr. Nurmelis, M.Si., Apt.

Yardi, M.Si., Ph.D., Apt.

Eka Putri, M.Si., Apt.

Dimas Agus Waskito W, S.Far.

Disusun Oleh :

Saif Ahmad Al-Mutaali 11141020000061

Puspitasari 11141020000067

Laela Wulandari 11141020000070

Nada Nursetiyanti 11141020000076

Sri Sumartini` 11141020000079

Philia Permaiswari Pratiwi 1111102000008

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Tujuan Eksperimen

1. Mengenal teknik teknik pemberian obat melalui berbagai pemberian obat


2. Menyadari berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya
3. Dapat menyatakan beberapa konsekwensi praktis dari pengaruh rute pemberian
obat terhadap efeknya
4. Mengenal manifestasi berbagai obat yang diberikan

I.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengaruh cara pemberian obat terhadap efek obat?


2. Apa pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap aktivitas obat?
3. Apa pengaruh diazepam terhadap mencit?
4. Bagaimana farmakodinamik dan farmakokinetik Diazepam?
BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Hewan Percobaan Yang Digunakan

II.1.1. Mencit
A. Taksonomi mencit
Taksonomi Menurut Arrington (1972), sistematika mencit
(Mus musculus) berdasarkan taksonomi adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus

Nenek moyang mencit berasal dari mencit liar yang mempunyai


warna bulu agouti (abu-abu), sedangkan pada mencit laboratorium lainnya
berwarna putih (Gambar 1). Mencit hidup dalam daerah yang cukup luas
penyebarannya, mulai dari iklim dingin, sedang, maupun panas dan dapat
hidup terus menerus dalam kandang atau secara bebas sebagai hewan liar
(Malole dan Pramono, 1989).

Gambar 1. Mencit Putih (Mus musculus)


Mencit laboratorium digunakan untuk penelitian dalam bidang
obat-obatan, genetik, diabetes mellitus, dan obesitas (Malole dan
Pramono, 1989).Menurut Falconer (1981), mencit sebagai hewan
percobaan sangat praktis untuk penelitian kuantitatif, karena sifatnya yang
mudah berkembangbiak, selain itu mencit juga dapat digunakan sebagai
hewan model untuk mempelajari seleksi terhadap sifat-sifat kuantitatif.

B. Karakterisasi mencit

1) Data biologik normal mencit


- Konsumsi pakan per hari 5 g (umur 8 minggu)
- Konsumsi air minum per hari 6,7 ml (umur 8 minggu)
- Diet protein 20-25%
- Ekskresi urine per hari 0,5-1 ml
- lama hidup 1,5 tahun
- Bobot badan dewasa
- Jantan 25-40 g
- Betina 20-40 g
- Bobot lahir 1-1,5 g
- Dewasa kelamin (jantan=betina) 28-49 hari
- Siklus estrus (menstruasi) 4-5 hari (polyestrus)
- Umur sapih 21 hari
- Mulai makan pakan kering 10 hari
- Rasio kawin 1 jantan 3 betina
- Jumlah kromosom 40
- Suhu rektal 37,5oC
- Laju respirasi 163 x/mn
- Denyut jantung 310 840 x/mn
- Pengambilan darah maksimum 7,7 ml/Kg
- Jumlah sel darah merah (Erytrocyt) 8,7 10,5 X 106 / l
- Kadar haemoglobin(Hb) 13,4 g/dl
- Pack Cell Volume (PCV) 44%
- Jumlah sel darah putih (Leucocyte) 8,4 X 103 /l
(Sumber: www.geocities.ws/kuliah_farm/praktkum.../hewan_coba.doc)
Mencit termasuk kedalam golongan hewan omnivora, sehingga
mencit dapat memakan semua jenis makanan. Mencit juga termasuk
hewan nokturnal, yaitu aktivitas hidupnya (seperti aktivitas makan dan
minum) lebih banyak terjadi pada sore dan malam hari (Inglis, 1980).
Mereka tidak menyukai terang.Usia hidup mencit satu sampai tiga
tahun, dengan masa kebuntingan yang pendek (18-21 hari) dan masa
aktifitas reproduksi yang lama (2-14 bulan) sepanjang hidupnya. Mencit
mecapai dewasa pada umur 35 hari dan dikawinkan pada umur delapan
minggu (jantan dan betina). (Siti Nur Asriani Zakaria . 2015).

II.1.2. Cara Memegang (Handling) Hewan Uji


a) Mencit diangkat dengan memegang ujung ekornya dengan tangan
kanan, dan dibiarkan menjangkau kawat kandang dengan kaki
depannya
b) kemudian dengan tangan kiri, kuli tengkuknya dijepit diantara
telunjuk dan ibu jari
c) Ekornya dipindahkan dari tangan kanan keantara jari manis dan jari
kelingking tangan kiri, hingga mencit cukup erat dipegang
d) Pemberian obat kini daopat dimulai

II.2. Bobot Badan, Luas Permukaan Badan dan Dosis Obat

Dosis uji harus mencangkup dosis yang setara dengan dosis penggunaan
yang lazim pada manusia. Dosis lain meliputi dosis dengan faktor perkalian tetap
yang mengkup dosis yang setara dengan dosis penggunaan lazim pada manusia
sampai mencapai dosis yang dipersyaratkan untuk tujan pengujian atau sampai batas
dosis tertinggi yang masih dapat diberikan pada hewan.
II.2.1. Dosis Berdasarkan Bobot Badan

Dosis lazim obat umumnya dianggap sesuai untuk individu berbobot


70 kg (154 pon). Rasio antara jumlah obat yang diberikan dan ukuran tubuh
mempengaruhi konsentrasi obat di tempat kerjanya. Oleh karena itu, dosis
obat mungkin perlu disesuaikan dari dosis lazim untuk pasien kurus atau
gemuk yang tidak normal (Anonim.2016 http://ffarmasi.unand.ac.id).

Pada perlakuan uji dosis obat terhadap hewan percobaan, maka


hewan yang digunakan harus sehat. Asal, jenis dan galur, jenis kelamin, usia
serta berat badan harus jelas. Biasanya digunakan hewan muda dewasa,
dengan variasi bobot tidak lebih dari 20%. Adapun kriteria hewan yang
digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

II.2.2. Dosis Berdasarkan Luas Permukaan Tubuh


Berdasarkan Luas Permukaan Tubuh disebut juga dengan metode
BSA (body surface area). Paling akurat karena mempertimbangkan tinggi
dan bobot pasien dengan menggunakan rumus Du Bois dan Du Bois,
berdasarkan luas permukaan badan dapat diturunkan dosis anak sebagai
berikut :

luas permukaan badan anak (m2) dosis dewasa


(m2)

(luas permukaan badan orang dewasa rata-rata =1,73 m2)

II.2.3. Konversi Dosis Pada Manusia dan Mencit

Untuk Untuk Konversi dosis


Konversi hewan dalam mg/kg
dosis dalam ke HED
Berat Luas mg/kg ke
Kisaran
Species Badan Permukaan dosis dalam Dosis Dosis
Berat Badan
Refrensi Tubuh mg/m2, Hewan hewan
dikalikan dibagi dikali
dengan km di dengan dengan
bawahnya
Manusia
Dewasa 60 1.62 37

Anak 20 0.8 25

Mencit 0.02 0.011 0.007 3 12.3 0.081


0.034


HED = dosis hewan ( ) [hewan(km) manusia (km)]

atau

HED = dosis hewan ( ) [berat hewan (kg) berat manusia (kg)]0.33

II.2.4. Volume Administrasi Obat

Batas Volume Maksimum (ml) per Ekor Untuk Cara Pemberian


Jenis Hewan Uji
IV IM IP SC Oral
Mencit (20 30 0.5 0.05 1 0.5 1 1
g)
Tikus (100 g) 1 0.1 25 25 5
Marmot (250 g) 2 0.25 25 5 10
Kelinci (2,5 g ) 5 10 0.5 10 20 5 10 20

Keterangan :

I.V = Intra Vena

I.M = Intra Muscular

I.P = Intra Peritoneal

S.C = Sub Kutan

P.O = Per Oral

Persamaan Volume Administrasi Obat dihitung untuk menentukan


volume dosis obat yang akan disuntikkan ke hewan uji berdasarkan konversi
dosis dari manusia ke hewan yang telah dihitung sebelumnya. Adapun
persamaan Volume Administrasi Obat adalah sebagai berikut:


() ( )

VAO =
( )

II.3. Faktor yang dapat Mempengaruhi Hasil Eksperimen

1. Faktor Internal

Faktor internal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara lain


adalah variasi biologik (usia, jenis kelamin), ras dan sifat genetik, status
kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh, dan luas permukaan.

Usia dan jenis kelamin berpengaruh pada hasil percobaan karena pada
usia yang tepat pada fase hidup hewan tersebut, efek farmakologi yang
dihasilkan akan lebih baik. Beda hasilnya jika usia hewan tersebut masih bayi.
Jenis kelamin juga berpengaruh di lihat dari literature bobot badan hewan akan
berbeda. Hal ini berpengaruh pada dosis yang akan di gunakan pada hewan
percobaan tersebut.

Begitu juga dengan ras dan sifat genetik, berpengaruh karena jika
menggunakan hewan percobaan dengan ras dan sifat genetik yang berbeda-
beda, maka hasil percobaannya juga akan berbeda. Hal ini karena gen pada
setiap individu berbeda. Dengan gen yang berbeda-beda dan karakteristik yang
berbeda pula, maka masing-masing memiliki perbedaan dalam perilaku,
kemampuan imunologis, infeksi penyakit, kemampuan dalam memberikan
reaksi terhadap obat, kemampuan reproduksi dan lain sebagainya.

Status kesehatan dan nutrisi berpengaruh terhadap hasil percobaan


karena efek yang dihasilkan dalam dosis akan cepat diserap oleh tubuh dan
berlangsung cepat efek yang di hasilkan. Selain itu, bobot tubuh dan luas
permukaan tubuh juga berpengaruh dalam hasil percobaan. Bobot dan luas
permukaan tubuh hewan yang besar akan lebih membutuhkan lebih banyak
dosis dibandingkan dengan yang memiliki bobot dan luas permukaan tubuh
yang kecil untuk mendapatkan data kuantitatif yang akurat pada efek
farmakologis yang terjadi.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara


lain adalah pemeliharaan lingkungan fisiologik seperti keadaan kandang,
bahan yang diletakkan pada dasar kandang sebagai tempat tidur dapat
menyebabkan perbedaan respon terhadap obat. Selain itu, suasana kandang
asing atau baru juga menambah variabilitas terhadap respon obat terutama
pada uji pirogen dan efek purgative atau dalam pengujian efek obat terhadap
keawasan, denyut jantung, aktivitas lokomotorik, ekskresi urine.

Penempatan hewan dalam kandang secara sendiri atau bersama-sama


juga dapat mengubah respon terhadap obat. Mencit-mencit strain tertentu yang
ditempatkan secara bersama-sama ternyata menunjukkan peningkatan
toksisitas amfetamin sebesar sepuluh kali daripada bila ditempatkan sendiri-
sendiri. Pemeliharaan lingkungan fisiologik lain seperti pengalaman hewan
dalam penerimaan obat, keadaan ruangan tempat hidup seperti suhu,
kelembaban udara, ventilasi, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan pun
dapat menjadi faktor yang mempengaruhi hasil eksperimen.

Ada pula faktor dari suplai oksigen, pemeliharaan keutuhan struktur


ketika menyiapkan jaringan atauorgan untuk percobaan. Meningkatnya
kejadian penyakit infeksi pada hewan percobaan, disebabkan karena kondisi
lingkungan yang jelek di mana hewan itu tinggal. Maka dengan meningkatnya
kejadian penyakit infeksi dan disertai dengan keadaan nutrisi yang jelek pula,
akan berakibat resistensi tubuh menurun, sehingga akan berpengaruh terhadap
hasil suatu percobaan. Jadi, untuk menghasilkan hasil percobaan yang baik,
faktor eksternal tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik hewan
percobaan agar hewan tersebut tidak stress. Karena apabila hewan tersebut
mengalami stress maka akan menghambat percobaan.

II.4. Cara Pemberian Obat


Cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi dimana
hubungannya dengan kecepatan dan kelengkapan absorbsi obat. Kecepatan
absorbsi obat di sini berpengaruh terhadap onsetnya sedangkan kelengkapan
absorbsi obat berpengaruh terhadap durasinya misalnya lengkap atau tidaknya obat
yang berikatan dengan reseptor dan apakah ada faktor penghambatnya. Cara
pemberian obat yang ideal adalah obat dengan onset cepat dan durasi panjang
(Ansel, 1986).

Onset adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk menimbulkan efek mulai
obat itu diberikan. Sedangkan durasi adalah waktu yang diperlukan obat mulai dari
obat berefek sampai efek hilang.

Menurut Ansel (1986), dengan adanya variasi onset dan durasi dari tiap-
tiap cara pemberian dapat disebabkan oleh beberapa hal, meliputi:
1. Kondisi hewan uji dimana masing-masing hewan uji sangat bervariasi yang
meliputi produksi enzim, berat badan dan luas dinding usus, serta proses
absorbsi pada saluran cerna.

2. Faktor teknis yang meliputi ketetapan pada tempat penyuntikan dan


banyaknya volume pemberian obat pada hewan uji.

Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk
kedalam tubuh, menentukan onset dan durasi kerja obat, sehingga merupakan
penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan.
Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008).

1. Jalur Enternal

Yang dimaksud dengan jalur enteral yaitu pemberian obat melalui saluran
gastrointestinal (GI), umumnya obat ditujukan untuk efek secara sistemik. Adapun
contoh yang termasuk pemberian obat secara enteral yaitu:

a) Per oral (p.o)

Pemberian obat yang rutenya melalui saluran pencernaan dan


pemberian melalui mulut. Cara ini merupakan cara pemberian obat yang
paling umum karena mudah digunakan, relative aman, murah dan praktis
(dapat dilakukan sendiri tanpa keahlian dan alat khusus). Kerugian dari
pemberian obat secara peroral adalah efeknya lama, mengiritasi saluran
pencernaansehingga berefek muntah, terurainya obat oleh enzim
pencernaan atau pH lambung yang rendah, obat dapat dimetabolisme oleh
enzim yang dihasilkan flora usus, mukosa, atau hati sebelum mencapai
sirkulasi darah, absorpsi obat tidak teratur, tidak 100% obat diserap.
Absorpsi dari saluran pencernaan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
luas permukaan tempat absorpsi, aliran darah ke tempat absorpsi, keadaan
fisik obsat (larutan, suspense, atau bentuk sediaan padat), kelarutannya
dalam air, dan konsentrasi di tempat absorpsi (Goodman&Gilman, hlm.5,
2007). Tidak diserapnya obat secara 100% dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain:

Jumlah makanan dalam lambung


Kemungkinan obat dirusak oleh reaksi asam lambung atau enzim
gastrointestinal, misalnya insulin yang harus diberikan secara peroral
akan dirusak oleh enzim proteolitik dari saluran gastrointestinal.
Pada keadaan pasien muntah-muntah sehingga obat tidak dapat
diabsorpsi.
Dikehendaki kerja awal yang cepat.
Ketersediaan hayati yaitu persentase obat yang diabsorpsi tubuh dari
suatu dosis yang diberikan dan tersedia untuk memberi efek terapeutik.
Tujuan penggunaan obat melalui oral terutama untuk memperoleh
efek sistemik, yaitu obat masuk melalui pembuluh darah dan beredar ke
seluruh tubuh setelah terjadi absorpsi obat dari bermacam-macam
permukaan sepanjang saluran gastrointestinal. Tetapi ada obat yang
memberi efek lokal dalam usus atau lambung karena obat yang tidak larut,
misalnya obat yang digunakan untuk membunuh cacing dan antasida yang
digunakan untuk menetralkan asam lambung.

b) Sublingual

Merupakan cara pemberian obat melalui mukosa mulut.


Keuntungannya absorpsi lebih cepat daripada peroral, karena pada mukosa
mulut banyak terdapat pembuluh darah; obat akan terhindar dari efek
metabolisme lintas pertama yang cepat di hati karena aliran vena dari mulut
adalah menuju vena cava superior.
Namun kerugiannya yaitu pemberian ini tidak bisa digunakan untuk obat
yang rasanya tidak enak sehingga jenis obat yang dapat diberikan secara
sublingual sangat terbatas, dapat terjadi iritasi di mulut, pasien harus sadar,
dan hanya bermanfaat untuk obat yang sangat larut lemak.

c) Per rektal
Biasanya cara pemberian ini dilakukan pada penderita muntah
muntah, tidak sadar, dan pasien pasca bedah. Umumnya metabolisme lintas
pertamanya sebesar 50%. Namun, cara pemberian melalui rektal dapat
mengiritasi mukosa rektum, absorpsinya tidak sempurna, dan tidak teratur.

2. Jalur Parenteral
Istilah parenteral berasal dari Bahasa Greek yaitu para yang berarti
di samping, dan enteron yang berarti usus, di mana keduanya menunjukkan
sesuatu yang diberikan di luar dari usus dan tidak melalui system saluran
makanan. Obat yang diberikan dengan cara parenteral adalah sesuatu yang
disuntikkan melalui lubang jarum yang runcing ke dalam tubuh pada
berbagai tempat dan dengan bermacam-macam kedalaman. Tiga cara utama
dari pemberian parenteral adalah intravena (IV), subkutan, dan
intramuskular (IM) (Ansel, hlm.102, 2008). Atau dapat dikatakan
pemberian parenteral merupakan pemberian dengan cara merobek jaringan.
Berikut merupakan pemberian parenteral :
a) Intravena
Biasanya tidak mengalami absorpsi, kadar hayati terjadi secara
cepat dan sempurna, tepat, dan dapat disesuaikan respon serta dapat
digunakan untuk larutan iritatif ksarena dinding pembuluh darah relative
tidak sensitif dan obat jika diinjeksikan secara perlahan akan terencerkan
oleh darah; penghantaran obat dikontrol dan dicapai secara akurat dan
cepat.
Namun, cara pemberian intravena biasanya efek toksik mudah
terjadi, dan tidak dapat ditarik jika terjadi kesalahan perhitungan dosis, juga
bagi obat yang larut dalam larutan minyak atau yang dapat mengendapkan
komponen darah atau dapat menyebabkan hemolisis eritrosit tidak boleh
diberikan, serta pengawasian respon dilakukan secara ketat.
b) Subkutan

Pemberian secara subkutan (hipodermis) memerlukan injeksi


melalui kulit ke dalam jaringan subkutan yang longgar (Ansel, hlm.182,
2014). Dapat pula dikatakan injeksi subkutan merupakan pemberian obat
melalui injeksi ke dalam jaringan di bawah kulit. Biasanya diberikan pada
lengan bawah, lengan atas, paha, atau bokong. Bentuk sediaan yang
mungkin diberikan dengan cara ini antara lain larutan dan suspensi dalam
volume lebih kecil dari 2 ml, misalnya insulin. Obat diabsorpsi secara
lambat sehingga intensitas efek sistemik dapat diatur. Pemberian obat
dengan cara ini dilakukan bila obat tidak diabsorpsi pada saluran
pencernaan atau dibutuhkan kerja obat secara tepat, misalnya pada situasi
akut. Pemberian subkutan hanya boleh digunakan untuk obat-obat yang
tidak menyebabkan iritasi pada jaringan.

Adapun keuntungannya dari injeksi subkutan, yaitu :

i. Absorpsinya lambat dan diperpanjang


ii. Efek obat lebih teratur dan cepat dibanding per oral
iii. Fleksibel bagi penderita yang collaps dan disorientasi
iv. Berguna pada kondisi darurat
Sedangkan kerugian dari injeksi subkutan adalah :
i. Tidak boleh untuk obat-obat yang iritatif/dicampur dengan
vasokonstriktor, karena umumnya akan menurunkan laju absorpsi obat
dengan menyebabkan konstriksi pembuluh darah di daerah injeksi
sehingga menurunkan aliran darah dan kapasitas absorpsi (Ansel, hlm.
182, 2014).
ii. Variable absorpsi tergantung aliran darah
c) Intra peritoneal (i.p)
Obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus atau terkena
hati, karena dapat menyebabkan kematian. Di dalam rongga perut ini, obat
diabsorpsi secara cepat karena pada mesentrium banyak mengandung
pembuluh darah. Dengan demikian absorpsinya lebih cepat dibandingkan
peroral dan intramuscular. Obat yang diberikan secara i.p akan diabsorpsi
pada sirkulasi portal sehingga akan dimetabolisme di dalam hati sebelum
mencapai sirkulasi sistemik.

d) Intramuskular (i.m)
Pemberian obat melalui suntikan dalam jaringan otot, umumnya
pada otot pantat dan otot paha (gluteus maximus) di mana tidak terdapat
banyak pembuluh darah dan saraf sehingga relatif aman untuk digunakan.
Obat dengan cara pemberian ini dapat berupa larutan, suspensi, atau emulsi.
Volume injeksi yang digunakan lebih besar, yakni 2-5 mL. Absorpsi obat
cara suntikan i.m pada pria lebih cepat daripada wanita karena pada wanita
lebih banyak terdapat jaringan adipose.

Adapun keuntungan dari injeksi intramuskular, yaitu:

i. Kerugian obat dalam gastrointestinal dapat dihindari


ii. Efek obat cepat
iii. Fleksibel dan accurable jika diberikan pada penderita yang mengalami
collaps, shock, dan bagi yang sukar menelan.
Sedangkan kerugiannya :
i. Lebih mahal
ii. Jika terjadi efek toksik sulit diatasi
iii. Perlu keahlian khusus dalam pemakaian obat
iv. Terdapat juga efek samping pemberian obat melalui i.m, yaitu: Nyeri,
peningkatan kreatinfasfokinase dalam serum akibat dari trauma yang
kadang-kadang menyebabkan nervus sciatica setelah pemberian
intraglutal
Adapun Tabel 1. Akan membandingkan keuntungan dan kekurangan dari cara
pemberian enteral dan parenteral.
Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian dari Masing-masing Jalur Pemberian
Obat (Priyanto, 2008)

Dekskripsi Keuntungan Kerugian


Intramuskular Absorbsi cepat, Perlu prosedur steril, sakit,
Obat dimasukkan dapat di berikan dapat terjadi infeksi di
kedalam vena pada pasien sadar tempat injeksi
atau tidak sadar
Perlu prosedur steriil, sakit,
dapat terjadi iritasi di
Intravena Obat cepat masuk
tempat injeksi, resiko
Obat dimasukkan ke dan bioavailabilitas
terjadi kadar obat yang
dalam vena 100%
tinggi kalau diberikan
terlalu cepat.
Subkutan Pasien dapat dalam Perlu prosedur steril, sakit
Obat diinjeksikan kondisi sadar atau dapat terjadi iritasi lokal di
dibawah kulit tidak sadar tempat injeksi
Rasa yang tidak enak dapat
mengurangi kepatuhan,
kemungkinan dapat
menimbulkan iritasi usus
Oral
dan lambung, menginduksi
Obat ditelan dan
Mudah, ekonomis, mual dan pasien harus
diabsorpsi di
tidak perlu steril dalam keadaan sadar. Obat
lambung atau usus
dapat mengalami
halus
metabolisme lintas pertama
dan absorbsi dapat
tergganggu dengan adanya
makanan

II.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerja Obat

II.5.1. Faktor Fisiologik

a) Perbedaan spesies, akan memperlihatkan perbedaan pada reaksi


biotransformasi oleh karena sistem enzimatik dan jenis reaksi
transformasi yang berbeda tiap individu. Serta perbedaan karakter PH
air kemih yang mempengaruhi jalur ekskresi xenobiotik.
b) Faktor individu
1. Umur
2. Jenis kelamin
Resiko pada wanita lebih tinggi karena pengaruh fisiologis
dari hormon steroid ovarium dalam menghambat efek diazepam.
Termasuk pula perbedaan dalam farmakokinetik, farmakodinamik,
faktor imunologi hormonal serta kepatuhan dalam mengkonsumsi
obat pada wanita cenderung lebih baik dari pria. Namun, tidak ada
teori yang begitu rinci menjelaskan pengaruh jenis kelamin pada
aktivitas obat.
3. Morfotile
4. Kelainan genetik
5. Kehamilan
6. Keadaan gizi
7. Ritme biologik

II.6. Diazepam

II.6.1. Struktur Kimia

(Sumber: common.wikimedia.org)

II.6.2. Sifat fisika kimia

Diazepam memiliki bentuk serbuk kristal, berwarna putih hingga


kekuningan, tidak berbau, memiliki rasa yang pahit. Berat molekul 284,76;
titik lebur 131-135C; titik didih 497,4C pada 760 mmHg; Titik nyala
254,6C; praktis tidak larut dalam air. Tidak larut dalam dietil eter. Sedikit
larut dalam propilen glikol. Larut dalam kloroform, dimetilformamid,
benzen, aseton, alkohol, eter.

II.6.3. Farmakokinetik

A. Absorpsi
Diazepam diabsorpsi sempurna, obat ini cepat mengalami
dekarboksilasi dalam cairan lambung menjadi N-desmetil-diazepam
(nordazepam), yang kemudian diadsorpsi sempurna. Diazepam dan
metabolit aktifnya berikatan dengan protein plasma yang berada dalam
tubuh. Jumlah molekul yang terikat berkaitan langsung dengan
kelarutannya di dalam lipid.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses absorbsi:

a) Kelarutan obat, obat yang sukar larut dalam bentuk molekul utuhnya
akan lebih mudah diabsorbsi oleh saluran gastrointestinal.
b) Luas permukaan kontak obat, semakin luas permukaan obat maka
proses absorbsi akan semakin cepat.
c) Bentuk sediaan obat, semakin kecil bentuk sediaan maka semakin
cepat diabsorbsi di dalam tubuh karena luas permukaannya semakin
kecil.
d) Kadar obat, semakin tinggi kadar obat dalam larutan, maka semakin
cepat obat diabsorbsi.
e) Kemampuan obat berdifusi melalui membran
f) Sirkulasi darah pada tempat absorbsi.
B. Distribusi
Distribusi merupakan transfer obat yang reversible antara letak
jaringan dan plasma. Transpor hipnotik sedative didalam darah adalah
proses dinamika dimana banyaknya molekul obat masuk dan
meninggalkan jaringan tergantung pada aliran darah, tingginya
konsentrasi, dan permeabilitas. Plasma (perbandingan dalam darah)
Diazepam 1,8 dan DMDZ 1,7.Ikatan Protein : Diazepam 98 - 99% dan
DMDZ 97%. Didistribusi secara luas. Menembus sawar darah otak.
Menembus plasenta dan memasuki ASI
C. Metabolisme

Pada proses ini molekul obat diubah menjadi bentuk yang lebih
polar atau lebih mudah larut didalam air dan sukar larut didalam lemak
sehingga mudah diekskresikan melalui ginjal. Obat golongan
benzodiazepin ini dimetabolisme oleh enzim-enzim dalam kelompok
sitokrom p450, terutama CYP3A4 dan CYP2C19.

D. Ekskresi

Data ekskresi diazepam pada urin sangatlah terbatas. 70 %


radioaktivitas dari 10 mg dosis oral H-diazepam ditemukan di dalam
urin. Hanya sedikit persentase dalam bentuk molekul bebasnya.
Sebagian besar diazepam diekskresikan dalam bentuk glukoronida atau
sulfat.

E. Waktu paruh

Waktu paruh diazepam adalah 43 kurang lebih 13 jam.

II.6.4 Farmakodinamik

II.6.4.1. Mekanisme Kerja

Pengikatan GABA (asam gama aminobutirat) dengan reseptornya


pada membran sel akan membuka saluran klorida dan menginduksi aktivitas
dari ion klorida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi
sehingga menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup dan
meniadakan pembentukan kerja potensial. Benzodiazepin terikat pada sisi
spesifik dan berafinitas tinggi dari membran sel yang terletak dekat dari
GABA. Peningkatan benzodiazepine memacu afinitas reseptor GABA untuk
neurotransmitter yang bersangkutan, sehingga saluran klorida yang
berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan tersebut akan memacu
hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron (Mycek, 2001). Diazepam
bekerja pada reseptor di otak yang disebut reseptor GABA. Hal ini
menyebabkan pelepasan neurotransmitter yang disebut GABA di dalam otak.
II.6.4.2. Efek Diazepam yang Ditimbulkan
a) Sedasi, penurunan respons atau aktivitas pada individu.
b) Hipnotik, menyebabkan individu tertidur jika diberika pada dosis
yang cukup tinggi.
c) Anastesi
d) Efek antikonvulsi, menenangkan pasien kejang.
e) Relaksasi otot, merelaksasi otot yang berkontraksi pada penyakit
sendi.
f) Efek pada fungsi respirasi dan kardiovaskular, pada dosis
terapeutik dapat menimbulkan depresi pernapasan pada penderita
paru obstruksi.
BAB III
METODOLOGI

III.1. Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 2016, di Laboratorium


Animal House, di kampus dua gedung Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

III.2. Hewan Penelitian

Hewan yang digunakan adalah 2 ekor mencit putih (Mus Musculus) betina
masing masing memiliki bobot yang sama yaitu 23 gram

III.3. Bahan dan Alat untuk Eksperimen

Hewan Percobaan : Mencit

Obat yang diberikan : Diazepam

Dosis Obat : 0,1 0,2 mg/kg (dosis manusia IV)

Kosentrasi larutan obat : 10 mg/2ml

Alat yang diperlukan : Alat suntik 1 ml, Jarum suntik

III.4. Prosedur Kerja

A. Rute Pemberian Obat Secara Oral

Mencit dipegang pada tengkuknya, jarum oral telah dipasang pada alat
suntik berisi obat, diselipkan dekat ke langit-langit mencit dan diluncurkan
masuk ke esofagus; larutan didesak ke luar dari alat suntik; kepada mencit secara
oral, dapat diberi maksimal 5ml/100g bobot tubuhnya

B. Rute pemberian obat secara Subkutan

Penyutikan biasanya dilakukan dibawah kulit tengkuk atau abdomen.


Seluruh jarum langsung ditusukkan ke bawah kulit dan larutan obat didesak
keluar dari alat suntik.

C. Rute pemberian obat secara intravena


1) Mencit dimasukkan kedalam alat khusus yang memungkinkan ekornya
keluar
2) Sebelum disuntik sebaiknya pembuluh balik pada ekor didilatasi dengan
penghangatan atau pengolesan memakai pelarut organik seperti aseton
atau eter
3) Bila jarum tidak masuk ke vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat sekitar
daerah penyuntikan memutih dan bila piston alat suntik ditarik tidak ada
darah yang mengalir ke dalamnya
4) Dalam keadaan dimana harus dilakukan penyuntikan berulang,
penyuntikan dimulai dari bagian distal ekor
D. Rute pemberian Obat secara intraperitoneal

Mencit dipegang pada tengkuknya, sedemikian sehingga posisi abdomen


lebih tinggi dari kepala. Lalu larutan obat di suntikan ke dalam abdomen bawah
dari tikus

E. Rute pemberian obat secara intramuscular

Larutan obat disuntikkan ke dalam otot paha kiri belakang. Selalu dicek
apakah jarum tidak masuk ke dalam vena dengan menarik kembali piston alat
suntik.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil Pengamatan
A. Tabel Pengamatan Onset, Durasi, dan Perilaku Mencit Berdasarkan
Pemberian rute dan Jenis Kelamin

No. Rute Onset Pengamatan End Time Pengamatan Durasi


1 Oral 1 menit Diam, dirangsang 20 menit Mencit mulai 19 menit
(Jantan) 30 detik pergerakan lambat 23 detik aktif bergerak 07 detik
dibanding kontrol, lagi seperti
dan memojok kontrol
2 Subkutan 2 menit Diam, dan 27 menit Mulai bergerak 25 menit
(jantan) menyendiri sendiri
3 Intravena (jantan) 40 detik Diam, dirangsang 5 menit Mulai aktif 4 menit
pergerakan lambat 14 detik bergerak agresif 34 detik
dibanding kontrol,
dan memojok
4 Intravena 1 menit Diam, lesu, lemas, 28 menit Sudah makan 26 menit
(betina) tidak bersemangat dan hidup 30 detik
5 Intraperitonial 28 detik Diam, dan 7 menit Mulai bergerak 7 menit
(jantan) memojok 21 detik sendiri
6 Intraperitonial 3 menit Mulai diam, 56 menit Mulai bergerak 53 menit
(betina) dirangsang gerak sendiri, sudah
kehilangan mulai makan dan
keseimbangan, dan aktif seperti
tertidur mencit kontrol

B. Perhitungan
Perhitungan Dosis Hewan (Mencit)
Diketahui :

Luas permukaan tubuh manusia : 37

Luas permukaan tubuh mencit :3


Dosis diazepam pada manusia : 0,5 mg/kg bb


()
= ( )
()


0,5 37
=
3

= 6,1667 mg/L

Perhitungan Volume Administrasi Obat

Diketahui :

Dosis hewan (hasil perhitungan) : 6,1667 mg/kg bb

Bobot mencit : 0,023 kg

Konsentrasi diazepam : 5 mg/ml


( ) ()
=
( )


6,1667 0,023
=
5 /

= 0,0284 ml

IV.2. Pembahasan
Pada praktikum ini, dilakukan percobaan umtuk menguji aktivitas
diazepam terhadap hewan coba mencit dengan jenis kelamin yang berbeda dan rute
pemberian yang berbeda-beda. Terdapat dua jenis kelamin, yaitu jantan dan betina.
Rute pemberian yang dilakukan adalah peroral, intravena, intramuscular,
intraperitonial, dan subkutan.
Dalam percobaan ini, hewan uji yang digunakan adalah 12 ekor mencit dengan
masing-masing kelompok uji sebanyak 2 ekor mencit. Alasan dipilihnya mencit
sebagai hewan percobaan uji ini adalah :
1. Memiliki sistem fisiologis yang mirip dengan manusia
2. Memiliki sistem fisiologis yang relatif lebih kecil daripada hewan uji lainnya
(tikus, kelinci, kucing, anjing) sehingga memudahkan pengamatan waktu absorpsi
obat, dimana berdampak pada pengamatan onset dan durasi kerja obat
3. Lebih ekonomis
Langkah pertama yang dilakukan dalam percobaan ini adalah menghitung dan
menetapkan kadar atau dosis diazepam untuk mencit. Hal ini dilakukan dengan cara
menghitung konversi dosis, dan didapatkan dosis untuk mencit sebesar 6,1607 mg.
Kemudian mencit ditimbang untuk menentukan volume administrasi obat,
didapatkan bobot mencit sebesar 0,023, dan dimasukkan ke persamaan VAO lalu
didapatkan dosis sebesar 0,028 mL.
Kemudian dilakukan pemberian diazepam melalui berbagai rute, dan
didapatkan urutan berdasarkan onset dan durasi paling cepat hingga paling lambat,
adalah sebagai berikut :

Ip > iv > oral > sc

Sedangkan menurut literatur, onset kerja yang paling cepat yaitu melalui
injeksi intravena, kemudian berturut-turut diikuti oleh rute pemberian
intraperitoneal, intramuscular, subkutan, oral. Atau dapat diurutkan sebagai berikut :

Iv > ip > sc > oral

Pada rute intravena, injeksi obat dilakukan di pembuluh darah ekor. Pada rute
ini, didapatkan waktu onset pada mencit jantan yaitu 40 detik, sedangkan pada
mencit betina 60 detik. Waktu onset ini diindikasikan dengan perlakuan mencit yang
mulai diam, menyudut di pojok kandang, dan jika dirangsang pergerakan atau
responnya lambat apabila dibandingkan dengan mencit kontrol. Dan durasi yang
didapatkan pada mencit jantan yaitu selama 4 menit 34 detik, sedangkan pada
mencit betina 26 menit 30 detik. Lamanya durasi didapatkan dengan indikasi mencit
sudah mulai aktif bergerak kembali.
Pada rute i.v ini, terjadi waktu onset tercepat dikarenakan faktor
farmakokinetiknya, yaitu obat tidak mengalami absorpsi, namun langsung memasuki
sistem sirkulasi darah karena secara langsung disuntikkan ke dalam pembuluh darah
balik/vena. Kadar hayati/bioavailabilitasnya terjadi secara cepat, sempurna, dan
tepat. Selain itu, obat juga tidak mengalami metabolisme pertama oleh hati (yang
membedakannya dengan intraperitoneal). Oleh karena itu, durasi kerja obat yang
diberikan secaara i.v juga cepat atau hanya bertahan sebentar, karena obat langsung
bersirkulasi sehingga kadarnya dalam darah sedikit dalam waktu yang singkat, serta
segera mengalami ekskresi pula.

Pada rute intraperitoneal, injeksi obat yang dilakukan pada rongga perut
mencit dengan sudut kontak agak miring terhadap permukaan perut dari mencit
dengan menggunakan spuit berujung runcing. Pada rute ini, didapatkan waktu onset
pada mencit jantan yaitu 28 detik, sedangkan pada mencit betina 3 menit. Dan durasi
yang didapatkan pada mencit jantan yaitu selama 7 menit, sedangkan pada mencit
betina 53 menit. Pada rute i.p ini, obat diabsorpsi secara cepat karena pada
mesentrium banyak mengandung pembuluh darah. Rongga peritonium mempunyai
permukaan absorpsi yang sangat luas sehingga obat dapat langsung masuk ke
sirkulasi sistemik secara cepat. Dengan demikian absorpsinya lebih cepat
dibandingkan peroral dan intramuscular serta subkutan. Obat yang diberikan secara
i.p akan diabsorpsi pada sirkulasi portal sehingga akan dimetabolisme di dalam hati
sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Begitu pula dengan durasinya, obat dengan
kadar tinggi akan berikatan dengan reseptor sehingga akan langsung berefek tetapi
efek yang dihasilkan durasinya cepat karena setelah itu tidak ada obat yang berikatan
lagi dengan reseptor.

Pada rute subkutan, Jarum yang digunakan adalah jarum dengan ujung
runcing. Penyuntikan dilakukan di bawah kulit. Pada rute ini, didapatkan waktu
onset pada mencit jantan yaitu 2 menit. Dan durasi yang didapatkan selama 25
menit. Pada rute s.c ini, obat disuntikkan melalui bawah kulit di mana obat harus
melalui lapisan- lapisan kulit baru masuk ke pembuluh kapiler bawah kulit, sehingga
absorspsinya lambat, maka onset yang dihasilkan lebih lama dari intra peritoneal.
Pada subkutan memiliki durasi yang lama, hal ini disebabkan karena obat akan
tertimbun di depot lemak/ jaringan di bawah kulit sehingga secara perlahan- lahan
baru akan dilepaskan sehingga durasinya lama.
Pada rute oral, dilakukan dengan bantuan jarum suntik yang ujungnya
tumpul. Hal ini dikarenakan untuk menghindari atau meminimalisir terjadinya
infeksi akibat luka yang disebabkan oleh jarum suntik. Jarum suntik dimasukkan
melalui mulut mencit secara pelan-pelan melalui langit-langit kearah belakang
esophagus. Apabila jarum sudah masuk melalui esophagus maka jika jarum itu
didiamkan tanpa ditekan akan masuk sendiri sampai hampir seluruh jarum masuk
dalam mulut mencit. Setelah jarum benar-benar masuk esophagus mencit, kemudian
cairan dimasukkan sampai larutan dalam jarum suntik habis.

Pada rute oral didapatkan waktu onset pada mencit jantan yaitu 90 detik. Dan
durasi yang didapatkan selama 19 menit 97 detik. Pada rute oral ini, terjadi onset
yang paling lama, karena senyawa obat memerlukan proses atau rute yang panjang
untuk mencapai reseptor karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak faktor
penghambat seperti protein plasma, dimana obat akan banyak terikat di sana. Obat
juga mengalami proses absorbsi, yang mana dapat terjadi pada berbagai lokasi tubuh
dari mulut hingga dubur. Didalam lambung obat mengalami ionisasi kemudian
diabsorbsi oleh dinding lambung masuk kedalam peredaran darah, sehingga
membutuhkan waktu lebih lama untuk berefek. Durasi yang dihasilkan juga
berlangsung lama karena proses farmakokinetiknya pun berlangsung lama.

Namun, terdapat perbedaan antara hasil percobaan dengan literatur, dimana


onset kerja tercepat terjadi pada i.p, dan terlama pada subkutan. Hal ini bisa terjadi
dikarenakan multifaktor sebagai berikut :
Mekanisme injeksi yang salah, yakni meliputi tempat penyuntikan yang kurang
tepat disebabkan praktikan yang masih kurang berpengalaman dalam melakukan
injeksi terhadap hewan uji. Selain itu terjadi ketidaksempurnaan kadar atau dosis
obat yang tidak disuntikkan, karena pada kelompok i.v pada mencit betina terjadi
kesalahan mekanisme penyuntikkan sehingga ada volume obat yang justru keluar.
Pengamatan waktu onset dan durasi yang keliru, kesalahan pada perhitungan waktu
saat obat mulai berefek, yaitu dengan terlihatnya aktivitas mencit yang menurun
dan dicatat sebagai waktu onset.
Faktor individu dari hewan uji (mencit), contohnya faktor toleransi yaitu reaksi
yang terjadi ketika klien mengalami penurunan respon / tidak berespon terhadap
obat yang diberikan, dan membutuhkan penambahan dosis obat untuk mencapai
efek terapi yang diinginkan. Beberapa zat yang dapat menimbulkan toleransi
terhadap obat adalah nikotin, etil alkohol, opiat dan golongan barbiturat (ntrium
thiopental, fenobarbital, secobarbital, dan lain-lain).
Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan terhadap mencit dengan jenis
kelamin jantan dan betina, didapatkan hasil dari onset paling cepat ke yang paling
lambat diantaranya intraperitoneal pada mencit jantan, intravena pada mencit
jantan, intravena pada mencit betina, oral pada mencit jantan, subkutan pada
mencit jantan, dan intraperitoneal pada mencit betina.
Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat perbedaan efek obat diazepam
terhadap mencit jantan dan betina. Pada mencit jantan efek timbulnya
diazepamlebihcepat terlihat dibandingkan pada mencit betina. Hal ini
sesuai dengan teori pengaruh fisiologis metabolisme obat diazepam yang dapat
diturunkan oleh adanya hormone estrogen dan progesterone sehingga mencit jantan
akan memperlihatkan efek yang lebih cepat. Selain itu pada mencit jantan memiliki
sistem imun yang cenderung lebih tidak dipengaruhi oleh hormone reproduksi. Hal
ini disebabkan karena kadar hormone esterogen pada mencit jantan relatif rendah
dibanding mencit betina dan adanya stress akut yang dapa tmenyebabkan penuruna
kadar esterogen pada mencit betina yang berefek imunostimulasi sehingga dapat
mengaburkan efek stress bising terhadap hormone hormone stress yang
mempunyai imunodepresi, yang dihasilkan oleh aksis HPA (Hipotalamus Ptuitari
Adrenal) dan sistem SMA (Saraf simpatik Medula Adrenalin) seperti kortisol dan
adrenalin.
Efek diazepam yang diamati pada percobaan ini yaitu sedasi, dimana terjadi
penurunan aktivitas atau respon pada mencit. Hal ini dikarenakan pengikatan
GABA (asam gama aminobutirat) dengan reseptornya pada membran sel akan
membuka saluran klorida dan menginduksi aktivitas dari ion klorida. Aliran ion
klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi sehingga menurunkan potensi
postsinaptik dari ambang letup dan meniadakan pembentukan kerja potensial.
Benzodiazepin terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari membran sel
yang terletak dekat dari GABA. Peningkatan benzodiazepine memacu afinitas
reseptor GABA untuk neurotransmitter yang bersangkutan, sehingga saluran
klorida yang berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan tersebut akan memacu
hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron.
Berdasarkan literatur, Diazepam adalah obat yang bertujuan untuk
menimbulkan efek sedasi, hipnotik, anastesi, efek antikonvulsi, relaksasi otot, efek
pada fungsi respirasi dan kardiovaskular. Pada praktikum kali ini, Diazepam yang
digunakan pada mencit bertujuan untuk menimbulkan efek sedasi. Hal ini dapat
dibuktikan pada saat praktikum ketika diazepam diberikan kepada salah satu
mencit pada setiap kelompok mengalami perubahan aktivitas dibandingkan dengan
mencit kontrol. Perubahan aktivitas yang terjadi berupa mencit yang terlihat lebih
lemas, diam dan tidak aktif bergerak , tetapi. Mencit masih memberikan respon
ketika mendapat rangsangan berupa sentuhan. Hal ini menunjukkan bahwa obat
diazepam tadi telah bekerja untuk memberikan efek sedatif dan tidak sampai
kepada efek hipnotik.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :

1. Praktikum kali ini rute pemberian obat dilakukan dengan :


a) Per oral : disuntikkan ke mulut yang diselipkan ke dekat langit-langit mulut dan
diluncurkan masuk ke esofagus.
b) Subkutan : injeksi dimasukkan sampai kebawah kulit pada tengkuk.
c) Intraperitoneal : injeksi melalui kedalam ronnga perut (tidak sampai masuk ke
usus).
d) Intravena : disuntikkan ke pembuluh balik (vena) pada ekor.
2. Waktu onset tercepat pada rute i.p, dengan waktu 28 detik, urutan kecepatan onset
dari yang paling cepat ke lambat adalah Ip > iv > oral > sc. Terdapat kesalahan
urutan onset dikarenakan human error yaitu pada saat proses penyuntikan dilakukan,
terdapat kesalahan berupa dosis obat yang tidak semua masuk kepada mencit, atau
dikarenakan penyuntikan yang dilakukan berkali kali. Akan tetapi berdasarkan
literatur hasil dengan onset tercepat yang seharusnya adalah iv >ip > subkutan >
oral.
3. Efek dari diazepam pada mencit percobaan mengakibatkan efek sedatif akan tetapi
tidak menghasilkan efek hipnotik. Diazepam mempunyai efek hipnotik pula akan
tetapi tidak terjadi dikarenakan dosis yang kurang untuk menghasilkan efek hipnotik

V.2. Saran
1. Saat praktikum harus lebih diperhatikan lagi volume dosis yang diberikan pada hewan
uji karena akan mempengaruhi aktivitas obat tersebut
2. Praktikan harus lebih teliti dalam melihat respon hewan uji terhadap obat karna dpt
mempengaruhi pendataan waktu onset yang menjadi tidak valid
3. Saat praktikum harus lebih diperhatikan lagi bagaimana cara memberi sediaan uji,
karena akan mempengaruhi durasi obat dan efek yang ada
DAFTAR PUSTAKA

Anita kurniawati. Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksperimental I Pengaruh Cara


Pemberian Terhadap Absorbsi Obat. Diakses melalui
https://www.academia.edu/9184359/LAPORAN_RESMI_PRAKTIKUM_FAR
MAKOLOGI_EKSPERIMENTAL_I_PENGARUH_CARA_PEMBERIAN_TE
RHADAP_ABSORBSI_OBAT. Pada Senin, 21 Maret 2015.

Anonim. 2011. Struktur kimia diazepam. common.wikimedia.org (diakses pada 21 Maret


2016 pukul 16.30 wib)

Anonim. 2016. PERHITUNGAN DOSIS.


http://ffarmasi.unand.ac.id/bahanajar,rpkps,jurnal,buku,cv/BA.RPKPS/sofyan
/Matfar%20Perhitungan%20Dosis.pdf . Diakses pada tanggal 23 maret 2016
pukul 9.30

Anonim. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN


REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN
UJI TOKSISITAS NONKLINIK SECARA IN VIVO.
jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=816. Diakses pada tanggal 23 Maret 2016, pukul
12. 02 WIB edia Pustaka Utama.

Anonim.2016. PENGENALAN HEWAN COBA. Diakses di


www.geocities.ws/kuliah_farm/praktkum.../hewan_coba.doc pasa tanggal 21
maret 2016 pukul 15.50

Arrington .1972.PRODUKSI MENCIT PUTIH (Mus musculus) DENGAN


SUBSTITUSiBAWANG PUTIH (Allium sativum) DALAM RANSUM.
DIAKSES Di
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/2442/WEKI%20YULI%
20ANDRI_D2007.pdf PADA TANGGAL 21 , MARET 2016 PUKUL 15.50+

Ansel, Howard.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

Cahyono JB. Suharjo B.2011. meraih kekuatan pertumbuhan diri yang tak terbatas.
Jakarta :PT Gram
Goodman, Alfred. 2007. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi Ed. 10, Vol. 1.
Jakarta : EGC.

Inglis, 1980.PRODUKSI MENCIT PUTIH (Mus musculus) DENGAN SUBSTITUSI


BAWANG PUTIH (Allium sativum) DALAM RANSUM.DIAKSES DI
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/2442/WEKI%20YULI%20
ANDRI_D2007.pdf;jsessionid=D445E211C40716DC00586333E9967F5F?sequen
ce=4 0PADA TANGGAL 21 ,MARET 2016 PUKUL 16.30

Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi UGM. 2010. Laporan Resmi Praktikum


Farmakologi:Pengaruh Cara Pemberian Terhadap Absorbsi Obat
http://dokumen.tips/documents/laporan-resmi-praktikum-farmakologi.html
diakses pada 22 Maret 2016 Pukul 13.20 wib

Malole dan Pramono. 1989.PRODUKSI MENCIT PUTIH (Mus musculus) DENGAN


SUBSTITUSI BAWANG PUTIH (Allium sativum) DALAM RANSUM.
DIAKSES DI
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/2442/WEKI%20YULI%20
ANDRI_D2007.pdfTANGGAL 21 ,MARET 2016 PUKUL 15.50

Mandelli, Marinella. Et al. 1978. Clinical Pharmacokinetics of Diazepam. Milan: Istituto


di Ricerche Farmacologiche Mario Negri
https://www.fcfar.unesp.br/arquivos/link/20140710083154613267.pdf (diakses
pada 21 Maret 2016 pukul 16.00 wib)

Maria C, Fransiska dkk. 2013. Petunjuk Praktikum Toksikologihttp://library.unej.ac.id.


Diakses pada tanggal 23 Maret 2016, Pukul 12.23 WIB

Nurmeilis, dkk. 2009. Penuntun Praktikum Farmakologi. Program Studi Farmasi


FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Siti Nur Asriani Zakaria . 2015. IDENTIFIKASI EFEK ANALGESIK EKSTRAK ALGA
COKLAT Padina sp. PADA MENCIT (Mus musculus). Diakses di
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/15644/SITI%20NUR%2
0ASRIANI%20ZAKARIA-J11112121-%20ORAL%20BIOLOGI.pdf?sequence=1
tanggal 21 maret 2016 pada pukul 17.20

Anda mungkin juga menyukai