Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam pemeriksaan forensik terdapat dua tujuan pembuktian keracunan atau


intoksikasi. Yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian dan yang kedua
untuk mengetahui seberapa jauh racun atau keracunan mempengaruhi terjadinya suatu
peristiwa semisal kecelakaan lalu lintas, pembunuhan dan perkosaan. Pendekatan yang
dilakukan pada kedua tujuan ini berbeda. Untuk tujuan yang pertama perlu dibuktikan
adanya racun dalam jumlah yang mematikan tidak demikian halnya dengan tujuan kedua.
Tujuan kedua lebih mementingkan rekontruksi kasus dan pembuktian bahwa racun
memang berperan dalam peristiwa tersebut (Idries, 1997).
Dalam masyarakat dikenal berbagai jenis racun dan akibatnya terhadap tubuh
manusia. Untuk mengenali racun apa yang terlibat dalam suatu peristiwa diperlukan
pengetahuan khusus tentang jenis dan penempakan racun baik di dalam maupun diluar
tubuh. Toksikologi adalah ilmu khusus yang mempelajari sumber, sifat dan khasiat racun,
gejala-gejala dan pengobatan pada keracunan serta kelainan yang didapatkan pada korban
meninggal (Budiyanto, 1997)
Racun adalah suatu zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan secara faali,
yang dalam dosis toksik, selalu menyebabkan gangguan fungsi tubuh yang dapat berakhir
dengan penyakit atau kematian. Racun dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara yang
dihirup pada saat bernafas (inhalasi), ditelan (peroral), melalui penyutikan (parenteral
atau injeksi), penyerapan melalui kulit yang sehat atau sakit, atau dapat pula melalui anus
atau vagina. Setelah masuk ke dalam tubuh racun dapat bereaksi secara lokal, sistemik
atau keduanya. Racun dapat bekerja secara lokal dan akan menimbulkan rasa nyeri yang
hebat, tidak jarang disertai dengan perforasi. Sebagian dari racun dapat masuk ke dalam
darah dan menimbulkan efek sistemik seperti penekanan pusat nafas. Efek sistemik ini
dikarenakan racun mempunyai afinitas terhadap salah satu organ atau sistem. Yang
termasuk dalam golongan ini yaitu narkotika, barbiturat, alkohol, digitalis, asam oksalat,
karbon monoksida, sianida, dan intektisida golongan chlorinated hydrocarbon (Idries,
1997).

1
Sianida adalah zat beracun yang sangat mematikan yang telah digunakan sejak
ribuan tahun yang lalu. Sianida banyak digunakan pada saat perang dunia pertama. Efek
dari sianida ini sangat cepat dan dapat mengakibatkan kematian dalam jangka waktu
beberapa menit. (Harry, 2006) Sianida terdapat dalam berbagai bentuk, salah satu nya
adalah hidrogen sianida yang berbentuk cairan tidak berwarna atau pada suhu kamar
berwarna biru pucat. Bentuk lain sianida ialah sodium sianida dan potassium sianida yang
berbentuk serbuk dan berwarna putih (WHO, 2004).
Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap produk
yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh bakteri, jamur dan
ganggang. Sianida ditemukan pada rokok, asap kendaraan bermotor, dan makanan seperti
bayam, bambu, kacang, tepung tapioka dan singkong. Sianida banyak digunakan pada
industri terutama dalam pembuatan garam seperti natrium, kalium atau kalsium
sianida(Harry, 2006).
Keracunan sianida akut merupakan kasus yang paling sering dilaporkan sendiri
(70% dalam 1 seri) (Ferryal, 2006). Gejala yang ditimbulkan oleh keracunan zat kimia
sianida bermacam-macam; mulai dari rasa nyeri pada kepala, mual muntah, sesak nafas,
dada berdebar, selalu berkeringat sampai korban tidak sadar dan apabila tidak segera
ditangani dengan baik akan mengakibatkan kematian. Penatalaksaan dari korban
keracunan ini harus cepat, karena prognosis dari terapi yang diberikan juga sangat
tergantung dari lamanya kontak dengan zat toksik tersebut (Harry, 2006). Dalam
pemeriksaan forensik, diagnosis keracunan sianida pada orang hidup terutama tergantung
dari riwayat kontak dengan racun sianida atau yang dicurigai sumber racun sianida dan
gejala serta tanda yang diperlihatkan pasien. Sementara pada postmortem pembuktiannya
melalui pemeriksaan dari jaringan-jaringan yang dilalui oleh sianida sesuai dengan rute
masuknya ke dalam tubuh (Idries, 1997).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Sejarah dan Penggunaan Sianida


Sianida adalah bahan kimia yang mengandung gugus cyan (CN) yang terdiri dari
sebuah karbon atom yang terikat ganda tiga dengan sebuah atom nitrogen. Sianida secara
spesifik adalah anion CN-. Sianida dapat berbentuk gas, cair, atau padat dan berbentuk
molekul, ion, atau polimer. Singkatnya semua bahan yang dapat melepaskan ion sianida
(CN-) sangat toksik (Wikipedia, 2007). Substansi dengan kandungan sianida sebenarnya
telah digunakan sebagai racun sejak berabad-abad yang lalu akan tetapi sianida yang
sesungguhnya baru dikenal pada tahun 1782. Sianida pertama kali diidentifikasi oleh ahli
kimia yang berasal dari Swedia, bernama Scheele, yang kemudian meninggal akibat
keracunan sianida di dalam laboratoriumnya (Harry, 2006).
Penggunaan sianida sebagai senjata pada peperangan dimulai berabad-abad tahun
yang lalu oleh tentara kerajaan Romawi. Napolen III menggunakan sianida pada
bayonet tentaranya. Selama perang dunia pertama Francis, dan Austria telah
menggunakan sianida dalam berbagai bentuknya seperti gas asam hidrosianik, Cyanogen
chlorida. Nazi, Jerman bahkan menggunakan sianida dalam bentuk sianogen bromida
yang terkenal dengan nama Zyklon B untuk membunuh ribuan rakyat sipil dan tentara
musuh (Harry, 2006). Dewasa ini, sianida lebih banyak digunakan untuk kepentingan
ekonomi. Ratusan bahkan ribuan ton sianida dibentuk oleh dunia tiap harinya. Sianida
banyak digunakan untuk bidang kimia, pembuatan plastik, penyaringan emas dan perak,
metalurgi, anti jamur dan racun tikus. Beberapa bentuk-bentuk sianida yaitu
1. Hidrogen Sianida (HCN) adalah cairan atau gas yang tidak berwarna atau
biru pucat dengan bau seperti almond. Nama lainnya adalah asam
hidrosianik dan asam prussik. HCN dipakai sebagai stabilizer untuk
mencegah pembusukan (Wikipedia, 2007).
2. Sodium Sianida adalah bubuk kristal putih dengan bau seperti almond.
Nama lainnya adalah asam hidrosianik,sodium. Bentuk cair dari bahan ini
sangat alkalis dan cepat berubah menjadi hidrogen sianida jika kontak
dengan asam atau garam dari asam.

3
3. Potasium Sianida (KCN) adalah bahan padat berwarna putih dengan bau
sianida yang khas. Nama lainnya adalah asam hidrosianik, garam
potasium. Bentuk cair dari bahan ini sangat alkalis dan cepat berubah
menjadi hidrogen sianida jika kontak dengan asam atau garam dari asam.
4. Kalsium Sianida (Ca(CN)2) dikenal juga dengan nama calsid atau calsyan
adalah bahan padat kristal berwarna putih. Dalam bentuk cairnya secara
bertahap membentuk hidrogen sianida. Keempat bahan diatas membentuk
ikatan yang kuat dengan metal.
5. Sianogen adalah gas beracun yang tidak berwarna dengan bau seperti
almond. Nama lainnya adalah karbon nitril, disianogen, etane dinitril, dan
asam oksalat dinitril. Bahan ini secara perlahan terhidrolisis pada bentuk
cair menjadi asam oksalat dan amonia.
6. Sianogen Klorida adalah gas tidak berwarna. Nama lainya adalah klorin
sianida (nama dagang Caswell no. 267). Bahan ini melepaskan hidrogen
sianida saat terhidrolisis.
7. Glikosida Sianogenik diproduksi secara natural oleh berbagai jenis
tumbuhan. Saat terhidrolisis membentuk hidrogen sianida (WHO, 2004).
II.2 Sumber- Sumber Natural Sianida
Sianida selalu ada dalam konsentrasi kecil (trace) pada banyak macam tumbuh-
tumbuhan. Pada rumput, kacang-kacangan, umbi-umbian dan biji tertentu ditemukan
sianida dalam kadar yang relatif tinggi seperti singkong (pada daun dan akar), ubi
jalar,"yam" (dyoscoreaceae) pada umbinya, butir jagung, butir cantel, rempah rempah,
tebu, kacang-kacangan (peas & beans), terutama koro krupuk, & almonds. Pada buah
sianida ditemukan pada jeruk, apel, pear, cherry, apricot, prune, plum (Oey, 1989). Dari
berbagai tanaman yang mengandung sianida ini, keracunan sianida paling banyak
dilaporkan setelah memakan singkong dan kacang. Hal ini mungkin disebabkan karena
singkong pada beberapa negara yang baru berkembang masih menjadi makanan utama
(Harry, 2006).

4
II.3 Farmakokinetik dan Farmakodinamik Sianida
Terdapat beberapa cara masuknya sianida ke dalam tubuh yaitu,
1. Inhalasi. Pada pembakaran yang tidak sempurna dari produk sintetis yang
mengandung carbn dan nitrogen seperti plastik, hidrogen sianida dilepas ke
udara (WHO, 2004). Zat ini sangat mudah terdispersi dalam udara dan
mengakibatkan munculnya gejala dalam hitungan detik hingga menit.
2. Kontak langsung hidrogen sianida dalam bentuk cair pada kulit dapat
menimbulkan iritasi. Efek yang muncul tergantung dari kemampuan penetrasi
epidermal sianida, kelarutannya dalam lemak, kelembapan kulit, luas dan lama
area kontak, serta konsentrasi cairan yang mengenai korban Gejala muncul segera
setelah paparan atau paling lambat 30 sampai 60 menit (Harry, 2006).
3. Tertelan bentuk garam sianida sangat fatal. Karena sianida sangat mudah terserap
masuk ke dalam saluran pencernaan. Tidak perlu melakukan atau merangsang
korban untuk muntah, karena sianida sangat cepat berdifusi ke jaringan. Gejala
muncul paling lambat pada rute ini. Berat ringanya gejala sangat tergantung dari
jumlah zat yang masuk dan kemampuan detoksifikasi tubuh (Harry, 2006)
Setelah terabsorpsi, inhalasi dan percutaneus sianida secara cepat akan
terdistribusi di sirkulasi. Sementara peroral sodium dan potasium sianida akan melewati
detoksifikasi hati terlebih dahulu. Distribusi sianida sangat cepat dan merata di seluruh
jaringan akan tetapi pada beberapa tempat konsentrasinya tinggi seperti pada hati, paru,
darah, otak. Pada orang yang meninggal karena inhalasi sianida, kadar sianida dalam
jaringan paru, darah, otak masing-masing 0,75; 0,41; 0,32mg/100g. Dalam darah sianida
akan terkonsentrasi pada sel darah merah dan sedikit di plasma maka dari itu konsentrasi
sianida plasma menggambarkan konsentrasi sianida jaringan (WHO, 2004).

5
Gambar 1. Skema Metabolisme Sianida Dalam Tubuh (diambil dari Hydrogen
Cyanide and Cyanides:Human Health Aspects, WHO, Geneva,
2004)

Dalam tubuh sianida akan cepat bereaksi membentuk hidrogen sianida yang
mempunyai afinitas kuat terhadap gugus Fe heme dari sitokrom a3 atau yang lebih
dikenal dengan sitokrom c oksidase, oksidase terminal pada rantai transfer electron.
Pembentukan ikatan sitokrom c oksidase CN yang stabil pada mitokondria akan
menghambat transfer oksigen dan menghentikan respirasi selular yang menyebabkan

6
hipoksia sitotoksik, walaupun terdapat HbO2 dalam jumlah yang cukup. Anoksia jaringan
yang diinduksi oleh inaktivasi dari sitokrom oksidase mengakibatkan perubahan pada
metabolisme sel, dari aerobik menjadi anareobik. Hal ini nantinya akan menyebabkan
berkurangnya glikogen, fosfoceratin , dan ADP seiring dengan akumulasi dari laktat dan
penurunan pH darah. Kombinasi dari hipoksia sitotoksik dengan asidosis laktat akan
menekan CNS, area paling sensitif terhadap anoksia, yang menyebabkan henti nafas dan
kematian (WHO, 2004).
Pada kasus keracunan sianida peroral, efek racun menjadi lebih kronis dan ringan
karena pada jalur ini, sianida terlebih dahulu melewati detoksifikasi hati. Akan tetapi
paparan sianida yang terus menerus dapat mengakibatkan berkurangnya dopamine yang
diasosiasikan dengan timbulnya parkinson yang progresif. Intoksikasi sub letal dari
sianida juga dapat menimbulkan distonia. Detoksifikasi sianida oleh hati melibatkan
enzim mitokondria rhodanese yang mengkatalisasi transfer gugus sulfur dari thiosulfate
menjadi thiosianat yang merupakan rate limiting step. Sebanyak 80% metabolisme
sianida melaui jalur ini. Jalur lain, sianida didetoksifikasi melalui penggabungan gugus
sian (CN) dengan hidroksikobalamin menjadi cyanocobalamin (vitamin B12).
Thiosianat nantinya akan dibuang melalui urine sementara cyanocobalamin akan dipakai
sebagai kofaktor berbagai reaksi lain di tubuh. Walaupun sebagian besar HCN telah
dibuang dalam bentuk tiosianat ke urine, bentuk bebasnya masi terdapat di paru, air liur
dan keringat (WHO, 2004).
II.4 Diagnosa Kasus Keracunan Sianida
Untuk menentukan diagnosa kasus keracunan diperlukan
1. Anamnesa kontak antara korban dengan sianida atau yang dicurigai sebagai
sumber sianida
2. Ada gejala dan tanda keracunan sianida
3. Dari benda bukti, harus dapat dibuktikan bahwa benda bukti tersebut memang
mengandung racun sianida
4. Dari bedah mayat, dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang sesuai
dengan keracunan sianida dan tidak ditemukan adanya penyebab kematian lain

7
5. Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologi harus dapat dibuktikan adanya racun
sianida dan atau metabolitnya, dalam tubuh atau cairan tubuh korban secara
sistemik (Idries, 1997).

II.5 Manifestasi Klinik Intoksikasi Sianida


Efek utama dari racun sianida adalah timbulnya hipoksia jaringan yang timbul
secara progresif. Akan tetapi, gejala dan tanda fisik yang ditemukan sangat tergantung
dari dosis sianida, banyaknya paparan, jenis paparan, dan bentuk dari sianida. Sianida
berefek pada banyak sistem organ, seperti pada tekanan darah, penglihatan, paru, saraf
pusat, jantung, sistem endokrin, sistem otonom dan sistem metabolisme. Penderita akan
mengeluh timbul rasa pedih dimata karena iritasi dan kesulitan bernafas karena
mengiritasi mukosa saluran pernafasan. Hal yang khusus yang dapat diperhatikan pada
penderita dengan keracunan sianida adalah adanya warna merah terang pada arteri dan
vena retinal pada pemeriksaaan dengan funduskopi (Harry, 2006).
Dalam konsentrasi rendah, efek dari sianida baru muncul sekitar 15-30 menit
kemudian, sehingga masih bisa diselamatkan dengan pemberian antidote. Tanda awal dari
keracunan sianida adalah hiperpnea sementara, nyeri kepala, dispnea, kecemasan,
perubahan perilaku seperti agitasi dan gelisah, berkeringat banyak, warna kulit
kemerahan atau cherry red karena darah vena banyak mengandung oksigen, tubuh terasa
lemah dan vertigo juga dapat muncul (Harry, 2006).
Pada paparan sianida dengan konsentrasi tinggi, hanya dalam jangka waktu 15
detik tubuh akan merespon dengan hiperpnea, 15 detik setelah itu seseorang akan
kehilangan kesadarannya. 3 menit kemudian akan mengalami apnea yang dalam jangka
waktu 5-8 menit akan mengakibatkan aktifitas otot jantung terhambat karena hipoksia
dan berakhir dengan kematian. Tanda akhir sebagai ciri adanya penekanan terhadap CNS
adalah koma dan dilatasi pupil, tremor, aritmia, kejang-kejang, koma penekanan pada
pusat pernafasan, gagal nafas sampai henti jantung, tetapi gejala ini tidak spesifik bagi
mereka yang keracunan sianida sehingga menyulitkan penyelidikan apabila penderita
tidak mempunyai riwayat terpapar sianida (Harry, 2006).
II.6 Dosis Letal

8
Tingkat toksisitas dari sianida bermacam-macam tergantung dari bentuk dan cara
masuknya ke dalam tubuh. Takaran toksik peroral untuk HCN adalah 60-90 mg
sementara untuk KCN atau NaCN adalah 200 mg. Pada inhalasi sianida dari udara, gas
sianida dalam menimbulkan efek tergantung dari konsentrasi dan lamanya paparan. Pada
kadar 20 ppm gejala keracunan sianida sangat ringan dan muncul setelah beberapa jam.
Kadar sianida 100 ppm sangat berbahaya karena akan menimbulkan gejala dalam 1 jam.
Bahkan kadar sianida antara 200 hingga 400 ppm dikatakan mampu membuat seseorang
meninggal dalam waktu 30 menit (Budiyanto, 1997).
Dosis letal dari beberapa bentuk sianida adalah sebagai berikut:
Asam hidrosianik sekitar 2,5005,000 mgmin/m3
Sianogen klorida sekitar 11,000 mgmin/m3.
Perkiraan dosis intravena 1.0 mg/kg,
Perkiraan dalam bentuk cairan yang mengiritasi kulit 100 mg/kg (Harry,
2006).
Pada beberapa orang terdapat suatu mekanisme unik yang menyebabkan paparan
dosis lethal tidak menimbulkan kematian. Kondisi ini dikenal dengan nama imunitas
rasputin. Daya toleransi yang tinggi pada orang ini disebabkan oleh karena daya
detoksifikasinya yang berlebihan. Hal ini di dapat dicapai dengan mengubah CN menjadi
sianat dan sulfosianat atau tidak terurainya garam CN yang tertelan menjadi HCN karena
pH lambung yang basa. Teori lain yang dikemukakan adalah berubahnya bentuk sianida
menjadi garam karbonat dalam penyimpanan sehingga menjadi tidak toksik (Budiyanto,
1997).
II.7 Penanganan Keracunan Sianida
Prinsip pertama dari terapi ini adalah mengeliminasi sumber-sumber yang terus-
menerus mengeluarkan racun sianida. Pertolongan terhadap korban keracunan sianida
sangat tergantung dari tingkat dan jumlah paparan dengan lamanya waktu paparan.
Segera menjauh dari tempat atau sumber paparan. Jika korban berada di dalam
ruangan maka segera keluar dari ruangan.
Jika tempat yang menjadi sumber berada diluar ruangan, maka sebaiknya tetap
berada di dalam ruangan.Tutup pintu dan jendela, matikan pendingin ruangan,
kipas maupun pemanas ruangan sampai bantuan datang.

9
Cepat buka dan jauhkan semua pakaian yang mungkin telah terkontaminasi oleh
sianida. Letakkan pakaian itu di dalam kantong plastik, ikat dengan kuat dan
rapat. Jauhkan ke tempat aman yang jauh dari manusia, terutama anak-anak.
Segera cuci sisa sianida yang masih melekat pada kulit dengan sabun dan air yang
banyak.
Tindakan kedua adalah segera cari udara segar. Jika berada di dekat balai
pengobatan tertentu maka dapat diberikan oksigen murni. Berikan antidotum untuk
mencegah keracunan yang lebih serius. Penambahan tingkat ventilasi oksigen ini akan
meningkatkan efek dari antidotum. Asidosis laktat yang berasal dari metabolisme
anaerobik dapat diterapi dengan memberikan sodium bikarbonat secara intravena dan bila
penderita gelisah dapat diberikan obat-obat antikonvulsan seperti diazepam. Perbaikan
perfusi jaringan dan oksigenisasi adalah tujuan utama dari terapi ini. Selain itu juga,
perfusi jaringan dan tingkat oksigenisasi sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan
pemberian antidotum. Bila korban dalam keadaan tidak sadar maka harus segera
ditatalaksana di rumah sakit karena bila terlambat dapat berakibat kematian (Harry,
2006).
Terdapat beberapa antidote yang dapat dipergunakan pada kasus keracunan
sianida.Masing-masing antidote bekerja pada bagian tertentu pada proses reaksi sianida
dan menghambat reaksi tersebut. Beberapa agent tersebut adalah
1. Agent yang menginduksi pembentukan MetHb. Contoh ini adalah nitril
yang dapat merubah ion ferous (fe2+) dari hemoglobin menjadi ion ferric
(Fe3+). MetHb yang dihasilkan berikatan kuat dengan sianida menjadi
cyanmetHb. Preparat yang tersedia adalah sodium nitrit (i.v), amil nitrit
(inhale) dan dimetil aminofenol (i.v atau i.m)
2. Agent yang berikatan secara langsung seperti cobalt yang langsung
memotong dan berikatan dengan ion sianida. Dicobalt edetate
(Kelocyanor) dan hydroxocobalamin (Cyanokit) keduanya dalam sediaan
i.v.
3. Agent yang bekerja sebagai pendonor sulfur. Jalur detoksifikasi sianida
normalnya melalui konversi sianida menjadi tiosianat, dengan gugus
sulfur yang diberikan oleh glutatione. Maka dari itu sodium tiosulfat akan

10
berkontribusi terhadap reaksi ini dengan memberikan gugus sulfur. Agent
ini diberikan dalam bentuk i.v.
Pada beberapa negara terjadi prosedur penenganan terhadap keracunan sianida
mempergunakan antidote yang berbeda-beda karena perbedaan pendapat tentang
keefektifan dari masing-masing antidote.
1. Di USA. Sodium nitrit adalah obat pilihan karena mempunyai range dosis
terapeutik yang lebar. Akan tetapi diperlukan monitoring metHb jika
diberikan dalam jumlah yang besar.
2. UK lebih memilih dicobalt edetate karena efeknya yang cepat, walaupun
bahan ini mempunyai toksisitas yang cukup signifikant. Maka dari itu
penegakan diagnosis pasti keracunan sianida sangat diperlukan.
3. Dimetil aminofenol direkomendasikan di Jerman. Obat ini menginduksi
pembentukan metHb dengan cepat. Monitoring metHb sangat diperlukan
dan perlu dipertimbangkan reversal dengan metilen blue. Preparat ini
diberikan i.m maka dari itu dapat diberikan oleh paramedis akan tetapi
pada tempat injeksi akan terjadi nekrosis. Kelemahan lain adalah obat ini
adalah penyerapannya yang buruk terutama dalam keadaan toksikasi
akut/kolaps.
4. Prancis telah merekomendasikan antidote terbaru sianida yaitu
hydroxicobalamin. Preparat ini adalah prekursor dari vitamin B12 yang
mempunyai toksisitas minimal. Hydroxicobalamin merupakan molekul
yang besar dan hanya akan berikatan dengan sianida pada molar yang
sama. Preparate yang tersedia harus diencerkan terlebih dahulu sebelum
diberikan. Satu-satunya kelemahan dari obat ini hanyalah kesulitan dalam
pemberiannya dan harganya yang masih mahal (Cummings, 2004).
II.8 Pemeriksaan Jenazah
II.8.1 Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar dapat ditemukan bau sianida pada tubuh yang dapat
dikenali seperti bau almond akan tetapi banyak orang tidak bisa mendeteksi bau ini
sebagian karena kemampuan adaptasi indera penciuman dengan cepat akan
menghilangkan bau tersebut. Selain itu, secara genetik 40% populasi tidak dapat

11
mencium bau tersebut. Penampakan lebam mayat pada kondisi ini cukup bervariasi. Yang
klasik dikatakan menjadi berwarna merah bata, sesuai dengan kelebihan oksi hemoglobin
atau sianmethemoglobin (karena jaringan tidak dapat menggunakan oksigen). Banyak
deskripsi lebam mayat yang mengarah pada kulit yang berwarna merah muda gelap atau
bahkan merah terang, terutama bergantung pada daerahnya, yang dapat dibingungkan
dengan karboksi hemoglobin (HbCO). Terdapat pula kemungkinan muntahan hitam
disekitar bibir (Ferryal, 2006). Hal lain dapat dilihat adanya tanda-tanda sianosis seperti
kebiruan pada bibir dan ujung jari-jari. Akan tetapi jika lebih dari 24 jam maka tanda ini
akan dikacaukan oleh perubahan postmortal. Tanda lain adalah adanya perdarahan
berbintik pada selaput biji mata dan kelopak mata. (Idries, 1997)
II.8.2 Pemeriksaan Dalam
Sebelum pemeriksaan dalam dilakukan sangat penting diketahui bahwa
pemeriksaan dalam (autopsi) korban dengan keracunan sianida cukup beresiko karena
pemeriksa akan terpapar sianida dalam waktu yang cukup lama (Ferryal, 2006).
Kematian oleh karena sianida disebabkan oleh karena histotoksik hipoksia maka
tanda-tanda asfiksia dapat dilihat pada pemeriksaan dalam seperti adanya kongesti organ-
organ dalam akibat perbendungan sistemik. Organ dalam terlihat membesar dan jaringan
di dalam mungkin juga menjadi berwarna merah muda terang disebabkan karena oksi-
hemoglobin yang tidak dapat digunakan oleh jaringan - yang mungkin lebih umum terjadi
dari pada karena sianmethemoglobin. Selain itu terjadi kongesti pada paru-paru dan
dilatasi jantung kanan (Idries, 1997)
Striae pada lambung dapat mengalami kerusakan hebat dan terlihat menutupi
permukaan, selain itu terdapat resapan darah pada lekukan mukosa. Ini terutama
disebabkan kekuatan alkali yang kuat dari hidrolisa garam-garam natrium dan kalium
sianida. Pada kasus keracunan berat, lambung akan ditandai dengan striae berwarna
merah gelap. Lambung dapat berisi darah maupun rembesan darah akibat erosi maupun
pendarahan di dindingnya. Jika sianida berada dalam larutan encer, kerusakan yang
terjadi lebih minimal. Apabila racun masuk secara oral maka kekuatan alkali dari sianida
akan mengiritasi saluran cerna. Esofagus dapat mengalami kerusakan, terutama pada
bagian mukosa pada sepertiga distal, terutama saat post mortem dimana terjadi
regurgitasi isi perut karena relaksasi dari sphincter. Organ lain tidak menunjukkan

12
perubahan yang spesifik dan diagnosis dibuat berdasarkan bau dan warna kemerahan
pada jaringan dalam tubuh (Ferryal, 2006).
Verslag dalam bukunya mengatakan terdapat beberapa perubahan histologis yang
mengindikasikan adanya kematian akibat defisiensi oksigen melalui asfiksia yaitu:
1. Hilangnya lemak terutama pada vakuola sitoplasma dari epitel pada
jaringan hati, sel otot jantung, dan sel pada tubulus renal
2. Pembengkakan sel endotel pada otak dan otot jantung
3. Mobilisasi dan proliferasi dari makrofag alveolar dengan pembentukan sel
raksasa polinuklear (hanya terjadi pada paru-paru yang sehat)
4. Presipitasi droplet hialin pada epitel hati
5. Perdarahan pada paru-paru dan otak
6. Degenarasi sel ganglion dan hilangnya substansi Nissl terutama pada girus
hippocampus
7. Emfisema akut pada jaringan interstistial dan alveolar paru (Verslag, 1984)
II.9 Pemeriksaan Toksikologi Kasus Keracunan Sianida
Jumlah sianida yang ditemukan dalam pemeriksaan tergantung jumlah sianida
yang masuk dalam tubuh dan waktu antara masuknya sianida dengan kematiannya. Yang
mana akhir-akhir ini biasanya diukur dalam menit, atau pada kasus dengan dosis rendah
dan sempat diterapi, korban dapat bertahan hidup dalam jam bahkan hari. Sianida yang
ditemukan dalam jumlah cukup adalah bukti bahwa sianida telah masuk dalam tubuh
yang mana hal itu sendiri tidak normal dan dikonfermasi sebagai barang bukti dari
terjadinya keracunan. Akan tetapi, Karhunen et al telah melaporkan kasus dimana
seorang tersangka pembunuhan terbakar dan pada post mortemnya menunjukkan tingkat
sianida dalam darah 10 mg/l, yang diperkirakan sesuai dengan difusi pasif dari sianida
melalui seluruh cavitas tubuh yang terbuka saat terjadinya kebakaran. Maka dari itu
sangat penting untuk mengidentifikasi sumber pasti sianida pada kasus- kasus keracunan
dan rute masuknya zat ke dalam tubuh sehingga dapat diketahui penyebab kematiannya
(Ferryal,2006).
Beberapa spesimen yang dapat diambil untuk pemeriksaan laboratorium adalah
1. Lambung (isi dan jaringannya). Material ini berguna untuk mengetahui
keracunan sianida peroral atau pada kasus mati mendadak dimana terdapat

13
sejumlah besar obat-obat yang tidak terabsorpsi pada lambung. Pada kasus-kasus
overdosis obat maka lambung harus diambil seluruhnya. Jika terdapat tablet atau
capsul pada lambung maka harus ditempatkan di kontainer terpisah dan dikirim
bersama specimen lambung.
2. Hati. Specimen ini berguna untuk kasus keracunan yang kompleks. Biasanya
diambil 100 gram pada dari lobus kanan karena tidak terkontaminasi dengan
empedu.
3. Darah. Dianjurkan untuk mengambil spesimen darah dari berbagai pembuluh
darah perifer. Khasnya, tingkat sianida darah dalam 1 serial kasus yang fatal
antara 1-53 mg/l, dengan rata-rata 12 mg/l (Specimens, 2007). Kadar sianida
normal dalam darah sebesar 0,016-0,014mg/L (Dominick, 1989). Selain
pemeriksaan kadar sianida dapat juga dilakukan pemeriksaan pH darah yang akan
menjadi lebih asam karena peningkatan asam laktat.
4. Otak. Pada kasus-kasus dimana sumber sianida tidak diketahui, dianjurkan untuk
mengambil sampel otak kurang lebih 20 gram dari bagian dalam untuk
mengkorfirmasi keberadaan sianida.
5. Paru-paru. Jika kematian mungkin disebabkan oleh inhalasi gas hidrogen
sianida, paru-parunya harus dikirim utuh, dibungkus dalam kantong yang terbuat
dari nilon (bukan polivinil klorida).
6. Limpa merupakan jaringan dengan konsentrasi sianida yang paling tinggi,
diperkirakan karena limpa banyak mengandung sel darah merah, dalam 1 serial
seperti diatas, tingkat sianida limpa berkisar antara 0,5-398 mg/l, dengan rata-rata
44 mg/l. Dalam serial lain, tingkat sianida darah rata-rata 37 mg/l.
7. Urine. Ekskresi sianida pada urine dalam beberapa bentuk salah satunya adalah
tiosianat (Specimens, 2007). Pada orang yang tidak merokok konsentrasi tiosianat
berkisar antara 1-4mg/L sementara pada perokok konsentrasinya hingga 3-
12mg/L (Dominick, 1989)
Penting untuk membawa sampel ke laboratorium sesegera mungkin (dalam
beberapa hari) untuk menghindari struktur sianida yang tidak seperti aslinya lagi dalam
sampel darah yang telah disimpan. Hal ini biasanya dapat terjadi akibat suhu ruangannya,
sehingga jika ada penundaan, sampel darah dan jaringan sebaiknya disimpan pada suhu 4

14
derajat celcius dan harus dianalisa sesegera mungkin. Akan tetapi kualitas sampel telah
menurun walaupun dengan adanya pendingin. Lebih dari 70% isi sianida dapat hilang
setelah beberapa minggu, akibat reaksi dengan komponen jaringan dan konversi menjadi
thiosianad. Sebaliknya, sampel postmortem yang terlalu lama disimpan dapat
menghasilkan sianida akibat reaksi dari bakteri. Pencegahan terhadap hal ini dengan
mempergunakan kontainer yang berisi 2% sodium flourida (Specimens, 2007).
II.10 Metode Analisa Kimia
1. Uji Kertas Saring. Kertas saring dicelupkan ke dalam asam pikrat jenuh dan
dibiarkan hingga lembap. Teteskan 1 tetes isi lambung, diamkan hingga agak
kering lalu ditetesi NA2CO3 10%. Uji positif bila terbentuk warna ungu. Metode
lain adalah dengan mempergunakan larutan KCl. Kertas saring dicelupkan dalam
larutan ini lalu dikeringkan dan dipotong kecil. Kertas lalu dicelupkan ke dalam
darah korban. Hasil positif jika warna berubah merah terang. Apabila terjadi
keracunan masal dapat dipakai cara pemeriksaaan menggunakan kertas saring
dengan metode berbeda yaitu kertas saring dicelupkan ke dalam larutan HJO3 1%
kemudian larutan kanji 1% dan keringkan. Setelah kertas kering dapat dipotong
kecil-kecil seperti kertas lakmus. Letakkan dibawah lidah hingga terbasahi oleh
air liur. Uji positif bila warna berubah biru, dan negatif bila tidak berubah
(Budiyanto, 1997).
2. Reaksi Schonbein-Pagentecher (Reaksi Guacajol) dapat dipakai untuk skrining.
Metode ini akan memberikan hasil positif jika jaringan atau isi lambung
mengandung sianida, klorin,nitrogen oksida, atau ozon. Masukkan 50mg isi atau
jaringan lambung ke dalam botol elenmeyer. Kertas saring dicelupkan ke dalam
larutan guacajol 10% dalam alkohol lalu dikeringkan. Celupkan lagi kertas saring
ke dalam larutan 0,1%CuSO4 dalam air dan gantungkan diatas jaringan dalam
botol elenmeyer. Bila isi lambung alkalis dapat ditambahkan asam tartrat untuk
mengasamkan sehingga KCN mudah terurai. Botol lalu dihangatkan. Jika
terbentuk warna biru-hijau pada kertas saring maka hasil reaksi positif
(Budiyanto, 1997).
3. Metode mempergunakan isi atau jaringan lambung dapat pula memakai reaksi
Prussian Blue. Isi atau jaringan lambung didestilasi dengan destilator yaitu 5ml

15
destilat, 1ml NaOH 50%, 3 tetes FeSO4 10% dan 3 tetes FeCl 5%. Panaskan
hingga hampir mendidih lau dinginkan dan tambahkan HCl pekat hingga
terbentuk endapan Fe(OH)3. teruskan hingga endapan larut kembali dan terbentuk
warna biru berlin (Budiyanto, 1997).
4. Gettler-Goldbaum mempergunakan 2 flange atau piringan yang diantaranya
diselipkan kertas saring wathon no 50 yang digunting sebesar flange. Kertas
saring lalu dicelupkan kedalam larutan FeSO4 10% selama 5 menit keringkan lalu
dicelupkan ke dalam larutan NaOH 20% selama beberapa detik. Letakkan dan
jepit kertas saring diantara kedua flange. Panskan bahan dan salurkan uap yang
terbentuk hingga melewati kertas saring jika berubah menjadi biru maka hasil
dinyatakan positif (Budiyanto, 1997)
Analisa Sianida pada darah dapat mempergunakan metode calorimetrik. Metode
ini yang mempergunakan reagent pyrazolone merupakan teknik konvensional untuk
kuantifikasi sianida pada darah dan jaringan. Kelemahan utama dari teknik ini adalah
pengerjaannya yang rumit dan memakan waktu. Cara yang lebih simpel, cepat dan tetap
dapat dipercaya untuk kuantifikasi dari sianida dalam darah adalah dengan
mempergunakan Gas Cromatography Nitrogen Phosporus Detection (GC-NPD). Metode
ini jika dibandingkan dengan metode standar calorimetric mempunyai hasil yang serupa
sehingga dapat dipergunakan untuk mendeteksi dan kuantifikasi sianida pada sampel
darah postmortem (Bisett, 1998).
Cara lain penentuan kasus keracunan sianida dikemukakan oleh Varnell pada
penelitiannya yang memperlihatkan bahwa gambaran CT Scan kranial setelah 3 hari
kematian terlihat berbeda dengan kasus dengan hipoksia dan iskemia serebral. Terlihat
pembengkakan cerebral dengan hilangnya batas antara substantia alba dan subtansia nigra
dengan onset yang cepat menjadi petunjuk dari diagnosis keracunan sianida akut.
Kebanyakan kasus dengan gangguan serebral seperti hipoksia dan iskemia tidak
memperlihatkan perubahan ini pada waktu yang sama cepatnya (Varnell, 1987).
II.11 Aspek Medikolegal
Kata Racun pada hukum mempunyai definisi yang tidak jelas akan tetapi
dewasa ini definisi yang sering digunakan adalah racun merupakan suatu zat yang
bekerja pada tubuh secara kimiawi maupun faali yang dalam dosis toksik selalu

16
menyebabkan gangguan fungsi tubuh, hal mana dapat berakhir dengan penyakit bahkan
kematian. Keterlibatan racun dalam suatu peristiwa secara spesifik harus dibuktikan
keberadaan racun tersebut dalam tubuh dan efeknya pada tubuh Untuk itu diperlukan
seorang ahli yang dapat mengidentifikasi jenis racun dan perkiraan cara masuknya ke
dalam tubuh. Pada KUHAP pasal 131 diatur bahwa dalam hal penyidikan untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka keracunan ataupun mati yang
diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli
lainnya (Idries, 1997).
a. Keracunan
Keracunan sianida dapat terjadi karena kecelakaan misalnya pada
kasus orang tidak sengaja makan makanan yang mengandung sianida tinggi
(cyanide glicoside) atau terpapar sianida kerena pekerjaannya. Yang kedua ini
lebih sering terjadi pada pusat-pusat industri yang mempergunakan sianida
sebagai salah satu bahannya. Sianida dapat pula dipakai sebagai sarana bunuh
diri (meracuni diri sendiri). Dalam hal peristiwa bunuh diri ini melibatkan
orang lain maka orang tersebut dapat dikenai sanksi hukum sesuai dengan
pasal 345 yang menyatakan bahwa barang siapa sengaja mendorong orang
lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana
kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
kalau orang itu jadi bunuh diri. (Sampurna, 2003)
b. Peracunan
Racun juga dapat dipakai sebagai alat untuk membunuh (meracuni
orang lain). Pada kondisi-kondisi dimana terdapat unsur pidana, unsur
kesengajaan haruslah dibuktikan terlebih dahulu. Hal ini berkaitan dengan
pasal 340 yang menegaskan bahwa barangsiapa dengan sengaja dan dengan
rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Dalam hal
peristiwa keracunan ini melibatkan orang banyak dan sumber racun terdapat
pada sarana umum maka haruslah dibuktikan unsur kesengajaannya sehingga

17
pasal 202 bisa diterapkan (barang siapa memasukkan barang sesuatu ke
dalam sumur pompa, sumber atau ke dalam perlengkapan (inrichting) air
minum untuk umum atau untuk dipakai oleh, atau bersama-sama dengan
orang lain, padahal diketahui bahwa karenanya air lalu berbahaya bagi nyawa
atau kesehatan orang, diancam dengan pidana paling lama 15 tahun)
(Sampurna, 2003)

18
BAB III
KESIMPULAN

Pemeriksaan forensik pada kasus keracunan bertujuan untuk mencari penyebab


kematian dan untuk mengetahui seberapa jauh racun mempengaruhi terjadinya suatu
kejadian. Terdapat berbagai jenis racun yang masuk ketubuh melalui berbgai macam cara
dan memberikan efek yang bervariasi pada masing-masing orang. Toksikologi adalah
salah satu cabang ilmu forensik yang mempelajari sumber, sifat dan khasiat racun, gejala-
gejala dan pengobatan pada keracunan serta kelainan yang didapatkan pada korban
meninggal.
Sianida adalah bahan kimia yang mengandung gugus cyan (CN). Sianida yang
dipergunakan dalam berbagai industri, adalah salah satu zat racun yang memberikan efek
baik sistemik maupun lokal dan bersifat sangat toksik bahkan lethal. Terdapat berbagai
bentuk sianida di alam baik yang bersal dari sumber natural maupun sintetis. Beberapa
Bentuk-bentuk sianida yaitu Hidrogen Sianida (HCN), Sodium Sianida, Potasium Sianida
(KCN), Kalsium Sianida (Ca(CN)2), Sianogen, Sianogen Klorida, Glikosida Sianogenik.
Akan tetapi dalam tubuh bentuk-bentuk ini akan berubah menjadi hidrogen sianida yang
melepaskan ion sianida bebas yang akan berekasi dan memberikan efek. Terdapat
beberapa cara masuknya sianida ke dalam tubuh yaitu inhalasi, kontak langsung dan
peroral. Setelah terabsorpsi, sianida secara cepat akan terdistribusi di sirkulasi.
Konsentrasi sianida tertinggi terdapat pada hati, paru, darah, otak.
Sianida akan meninaktifkan sitokrom c oksidase pada mitokondria yang akan
menghambat transfer oksigen dan menghentikan respirasi selular. Anoksia jaringan yang
diinduksi oleh reaksi ini perubahan pada metabolisme sel. Kombinasi dari hipoksia
sitotoksik dengan asidosis laktat akibat perubahan metabolisme akan menekan CNS yang
mengakibatkan henti nafas dan kematian. Gejala dan tanda fisik yang ditemukan sangat
tergantung dari dosis sianida, banyaknya paparan, jenis paparan, dan bentuk dari sianida.
Tanda awal dari keracunan sianida adalah hiperpnea, nyeri kepala, dispnea, kecemasan,
gelisah, berkeringat banyak, warna kulit kemerahan atau cherry red, tubuh terasa lemah
dan vertigo. Tanda akhir sebagai ciri adanya penekanan terhadap CNS adalah koma dan

19
dilatasi pupil, tremor, aritmia, kejang-kejang, koma penekanan pada pusat pernafasan,
gagal nafas sampai henti jantung, tetapi gejala ini tidak spesifik bagi mereka yang
keracunan sianida sehingga menyulitkan penyelidikan apabila penderita tidak mempunyai
riwayat terpapar sianida. Takaran toksik peroral untuk HCN adalah 60-90 mg sementara
untuk KCN atau NaCN adalah 200 mg. Pada inhalasi sianida dalam menimbulkan efek
dalam 1jam pada konsentrasi 100 ppm. Prinsip pertama dari terapi keracunan sianida
adalah mengeliminasi sumber-sumber yang terus-menerus mengeluarkan racun sianida.
Tindakan kedua adalah segera cari udara segar. Segera berikan antidote seperti sodium
nitrit, dicobalt edetate, dimetil aminofenol, hydroxicobalamin.
Pemeriksaan dalam (autopsi) korban dengan keracunan sianida cukup beresiko
karena pemeriksa akan menghirup sianida dalam waktu yang cukup lama. Tanda-tanda
asfiksia dapat dilihat pada korban ini seperti sianosis pada bibir dan ujung jari-jari,
kongesti organ dalam dan dilatasi jantung kanan. Beberapa tanda yang dapat dilihat
adalah lebam mayat berwarna merah bata, muntahan hitam disekitar bibir, bau sianida
seperti bau almond, jaringan pada organ dalam mungkin juga menjadi berwarna merah
muda terang, striae lambung berwarna merah gelap, oesuphagus sepertiga distal
mengalami kerusakan. Adanya sianida dapat secara objektif dipastikan melalui
pemeriksaan laboratorium. Sampel dapat diambil dari lambung baik isi maupun
jaringannya, jaringan hati, darah, otak, paru-paru, limpa, urine.
Beberapa metode yang dipergunakan untuk pemeriksaan ini adalah uji kertas
saring, reaksi Schonbein-Pagentecher (reaksi guacajol), reaksi prussian blue, gettler-
goldbaum. Analisa sianida pada darah dapat juga mempergunakan metode calorimetrik
dan Gas Cromatography dengan Nitrogen Phosporus Detection (GC-NPD). Cara lain
penentuan kasus keracunan sianida adalah dengan CT Scan kranial setelah 3 hari
kematian. Terlihat pembengkakan cerebral dengan hilangnya batas antara substantia alba
dan subtansia nigra yang menjadi petunjuk adanya keracunan sianida akut.
Pada kasus keracunan pembuktian adanya racun dan peranan racun dalam
kejadian tersebut sangat diperlukan. Untuk itu pasal 131 KUHP mengatur tentang
kesaksian ahli dari ahli racun dalam hal ini adalah dokter forensik. Selain itu jika terdapat
unsur kesengajaan maka pelaku dapat dijerat dengan pasal 340 KUHP dan pasal 202

20
KUHP jika peeristiwa keracuan terjadi pada sarana-sarana umum dan melibatkan orang
banyak.

21

Anda mungkin juga menyukai