Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang setiap
tahunnya terus bertambah. Selain itu, pertumbuhan ekonomi dan aspek
lainnya juga terus meningkat. Namun kenyataannya masalah gizi buruk di
Indonesia akibat kurangnya asupan makanan bergizi masih menjadi momok
yang menghantui jutaan anak terutama pada masyarakat miskin yang berada
di pelosok wilayah di seluruh Indonesia. Makanan bergizi adalah makanan
yang berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan tubuh akan zat-zat seperti
karbohidrat dan protein terutama, lemak, mineral, vitamin, dan zat lainnya
yang dibutuhkan oleh tubuh sebagai sumber energi (Sopiandi, 2016).
Pada masalah gizi dapat menimbulkan suatu tidak seimbangnya
tubuh manusia dan dapat menimbulkan penyakit lainnya. Masalah gizi
adalah masalah kesehatan masyarakat. Namun penanggulannya tidak dapat
dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja.
Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multi faktor, karena itu pendekatan
penanggulangan harus melibatkan berbagai sektor yang terkait. Beberapa
contoh masalah gizi yang dapat menjangkit masyarakat diantaranya
masalah kekurangan vitamin, anemia, penyakit cacingan, serta kekurangan
karbohidrat protein atau yang lebih dikenal dengan sebutan KKP.
Vitamin merupakan zat yang diperlukan oleh tubuh sesuai
kebutuhannya, yang berfungsi dalam menjaga keseimbangan metabolisme
tubuh. Kekurangan konsumsi vitamin tentunya akan mengganggu
keseimbangan dari metabolisme itu sendiri. Sedangkan gangguan gizi
anemia merupakan kondisi sakit seseorang yang disebabkan oleh berbagai
faktor, diantaranya yaitu: perdarahan, kekurangan makanan yang
mengandung besi, dan lain-lain. Anemia gizi defisiensi besi dapat dilihat
dari kadar Hb dalam darah.

1
Penyakit cacingan juga menjadi salah satu masalah gizi yang terjadi
di pedalaman dengan kondisi lingkungan buruk. Ada beberapa factor yang
mempengaruhi tingginya angka kecacingan pada masyarakat Indonesia
selain karena kondisi lingkungan geografis, juga karena faktor kersadaran
untuk melakukan pola hidup bersih dan sehat, rendahnya pengetahuan
kesehatan, dan kurangnya penyuluhan kepada masyarakat terutama di
daerah terpencil memberi kontribusi tingginya angka kecacingan di
Indonesia. Sedangkan masalah gizi KKP cukup sering menjangkit anak-
anak dengan ekonomi keluarga kurang. Untuk mengenal lebih mendalam
mengenai masalah gizi kekurangan vitamin, anemia, cacingan serta
kekurangan karbohidrat protein (KKP), dalam makalah ini akan dibahas
lebih lanjut mengenai keempat masalah gizi tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pencegahan dan penanganan kekurangan vitamin?
2. Bagaimana pencegahan dan penanganan anemia?
3. Bagaimana pencegahan dan penanganan penyakit cacingan?
4. Bagaimana pencegahan dan penanganan KKP?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pencegahan dan penanganan kekurangan vitamin.
2. Untuk mengetahui pencegahan dan penanganan anemia.
3. Untuk mengetahui pencegahan dan penanganan penyakit cacingan.
4. Untuk mengetahui pencegahan dan penanganan KKP.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Bagi Mahasiswa
Dapat memberi informasi bagi mahasiswa lainnya mengenai
pencegahan dan penanganan kekurangan vitamin, anemia, cacingan,
serta KKP.
2. Bagi Penulis
Dapat menambah pengetahuan penulis mengenai pencegahan dan
penanganan kekurangan vitamin, anemia, cacingan, serta KKP.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pencegahan dan Penanganan Kekurangan Vitamin


2.1.1 Sejarah Vitamin
Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI
(2014), istilah vitamin pertama kali digunakan Cashimir Funk
(Polandia) tahun 1912. Penemuan zat dalam dedak beras dapat
menyembuhkan beri-beri. Zat tersebut dibutuhkan oleh tubuh untuk
hidup vita dan mengandung unsur N (amine), sehingga diberi istilah
vitamin. Pemberin nama dilakukan menurut abjad, yaitu: A,B,C,D,E
dan K.
Vitamin merupakan zat organik yang umumnya tidal dapat
dibentuk dalam tubuh. Vitamin berperan sebagai katalisator organik,
mengatur proses metabolisme dan fungsi normal tubuh. Ditubuh
vitamin memiliki peran utama sebagai zat pengatur dan pembangun
bersama zat gizi lain melalui pembentukan enzim, antibodi, dan
hormon. Masing-masing vitamin mempunyai peranan khusus yang tidak
dapat digantikan oleh vitamin atau zat gizi lain. Oleh karena itu,
meskipun dibutuhkan dalam jumlah sedikit dalam satuan miligram atau
mikrogram, jumlah kecil itu sangat penting.
Sampai saat ini terdapat kurang lebih 13 macam vitamin yang
dibutuhkan tubuh agar hidup sehat. Secara umum berdasar sifat
kelarutan vitamin dikelompokkan menjadi dua. Pertama, vitamin larut
dalam lemak atau minyak, yaitu: vitamin A (retinol), vitamoin D
(kalsiferol), vitmin E (tokoferol), dan vitamin K (anti dikumrol atau
menadion). Kedua , vitamin yang larut dalam air yaitu: vitamin C,
vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin), vitamin B6 (piridoksin),
vitamin B12 (sianokobalamin), niasin, asam folat, asam pantotenat, dan
vitamin H (biotin).

3
2.1.2 Provitamin dan Antivitamin
Terdapat beberapa vitamin yang dapat dibuat dalam tubuh
dengan cara mengubahnya dari ikatan senyawa organik lain. Senyawa
organik yang tidak bersifat vitamin, namun dapat diubah menjadi
vitamin setelah dikonsumsi disebut provitamin atau prekursor vitamin.
Vitamin yang mempunyai prekusor antara lain vitamin A dengan
prekusor karotin dan vitamin D dengan prekusor 7-dehidro kolesterol.
Niasin mempunyai prekusor triptophan. Hewan tikus dapat membuat
vitamin C dari glukosa, tetapi marmut, primata, dan manusia tidak dapat
mengubahnya menjadi vitamin C.
Ada senyawa organik yang meniadakan kerja suatu vitamin. Zat
tersebut dikenal sebagai antivitamin atau antimetabolit dari vitamin.
Sebagian besar vitamin telah diketahui mempunyai antivitamin seperti
dijelaskan pada Tabel 1 mekanisme cara kerja beragam:
1. Antivitamin merebut titik aktif didalam enzim, disebut hambatan
kompetitif.
2. Merusak vitamin didalam saluran pencernaan, dan
3. Antivitamin bereaksi mengikat vitamin tersebut di dalam rongga
usus sehingga senyawa mengendap dan tidak dapat diserap melalui
mukosa dinding usus.
Tabel 1. Daftar Vitamin Dan Antivitamin
No. Jenis vitamin Jenis antivitamin
1. Vitamin A (retinol) Citral
2. Vitamin D (kalsiferol) -
3. Vitamin E (tokoferol) -
4. Vitamin K (menadion) Dikumarol, Warfarin, Chloro K,
2-phenil 1 , 3-indandion
5. Vitamin B1 (Thiamin) Phythiamin, neo-pirithiamin,
oksithiamin, thiaminasi.

4
6. Vitamin B2 (Riboflavin) Isoriboflavin, phenazin riboflavin
7. Vitamin B3 (Niasin) Indol asetic acid
8. Vitamin B6 (piridoksin) 4-deoksipiridoksin,
toksopirimidin,4metoksipiridoksin,
penisilamin, isoniasid (INH)
9. Biotin Avidin, lysolesitin
10. Asam folat (folasin) x-metil PGA, aminoptrein,
Aamethopterin,
11. PABA Sulfonoid
12. Vitamin C (asam Glucoascorbic acid
askorbat)

2.1.3 Fungsi Vitamin


Secara umum fungsi vitamin berhubungan erat dengan fungsi
enzim, khususnya kelompok vitamin B. Enzim merupakan katalisator
organik yang berperan mengatur dan menjalankan reaksi biokimia
dalam tubuh. Enzim terdiri atas komponen protein disebut apoenzim
yang dihasilkan oleh sel. Apoenzim baru aktif ketika berkonjugasi
dengan senyawa nonprotein (koenzim). Koenzim dibuat didalam tubuh
dan mengandung vitamin. Susunan lengkap apoenzim dan koenzim
yang disebut haloenzim inilah yang mempunyai aktivitas sebagai
katalisator. Dalam sel apoenzim terdapat butir yang mengisi vakoula
dan dikenal sebagai proenzim (zymogen) dan senyawa tersebut belum
mempunyai aktivitas. Selain itu, vitamin berfungsi dalam pertumbuhan
dan pemeliharaan tubuh.
Hampir seluruh vitamin kelompok B telah diketahui sebagai ko-
enzim, tidak demikian dengan vitamin yang larut dalam lemak. Gejala
sebagai akibat kekurangan vitamin telah diketahui, namun peranan yang
jelas dalam reaksi biokimia dalam proses metabolisme belum diketahui
sepenuhnya. Vitamin D diketahui akan diubah menjadi hormon yang
berpengaruh atas pengangkutan kalsium. Angka kecukupan berbagai

5
vitamin untuk berbagai kelompok umur dapat dilihat pada hasil Widya
Karya Pangan dan Gizi (2004).
2.1.4 Vitamin Dalam Bahan Makanan
Kadar vitamin dalam makanan atau bahan makanan tergantung
pada jenis bahan makanan atau makanan tersebut yang besarnya
bervariasi. Selain jenis bahan, kadar vitamin juga tergantung pada
kerusakan pada pemanenan bahan pangan atau pemotongan hewan
maupun cara penyimpanan dan proses pengolahan yanh digunakan.
Kehilangan vitamin dalam bahan makanan dapat dikurangi dan dicegah
dengan berbagai cara, antara lain:
1. Cara pengolahan menggunakan suhu tidak terlalu tinggi.
2. Waktu masak diusahakan tidak terlalu lama
3. Pengunaan air seminimal mungkin
4. Menggunakan pisau tajam dalam memotong dan potongan bahan
tidak terlalu kecil.
5. Menggunakan panci tertutup selama proses pengolahan.
6. Tidak menggunakan bahn alkali dalam pemasakan
7. Tidak menggunakan pisau tajam dalam memotong dan potongan
bahan tidak terlalu kecil
8. Menggunakan panci tertutup selama pengolahan
9. Tidak menggunakan bahan alkali dalam pemasakan
10. Sisa air perebus digunakan untuk memasak
11. Kerusakan vitamin larut lemak karena oksidasi dan ketengikan
bahan, bahan diberi antioksidan
2.1.5 Vitamin Larut Lemak
1. Vitamin A
Vitamin A pertama kali ditemukan sebagai vitamin larut lemak
dan digunakan sebagai nama generik untuk retinol dan semua
provitamin. Tahun 1932 susunan kimia vitamin A ditemukan dan pada
1937 dapat diisolasi dari minyak hati halibut. Vitamin A banyak
digunakan sebagai fortifikan dan suplemen. Berbagai penelitian

6
dilakukan untuk melihat adanya kemungkinan vitamin A dan beta
karoten digunakan dalam pencegahan penyakit jantung koroner dan
kanker karena sebagai antioksidan (Schimdt, 1991 dalam Departemen
Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI, 2014).
Sifat kimia vitamin A antara lain berbentuk kristal alkohol
bewarna kuning, larut pelarut lemak. Dalam makanan biasa terikat
dengan lemak rantai panjang. Vitamin A tahan terhadap panas cahaya
dan larutan alkali, tetapi tidak tahan asam dan dan oksidasi. Bentuk aktif
vitamin A hanya pada makanan hewan hewani. Bentuk alpha, beta,
gama, dan kriptoxantin berperan sebagai provitamin A dan digunakan
sebagai pewarna makanan. Satuan yang digunakan untuk vitamin A1 ug
(mikro gram) retinol ekuivalen (RE) = 1 ug retinol= 6 ug beta karote =
12 ug karoten lain = 3,3 SI retinol = 9,9 SI (satuan internasional) beta
karoten.
Absorbsi karoten dan retinol membutuhkan empedu dan cairan
pankreas. Dalam mukos usus halus ester retinil dihidrolisa enzim
pankreas menjadi retinol dan karoten dipecah menjadi retinol. Hati
sebagai tempat penyimpanan vitamin A dapat bertahan sampai 6 bulan.
Sebesar 15-30 persen karotenoid dalam darah merupakan bentuk beta
dan sisanya nonprotein disimpan dalam kelenjar lemak dan jaringan
adrenal. Beberapa fungsi vitamin A antara lain:
a. Penglihatan
b. Pertumbuhan dan perkembangan
c. Diferensiasi sel
d. Reproduksi
e. Kekebalan.
Sumber vitamin A dapat berasal dari bahan pangan hewani
seperti: hati, kuning telur, susu dan mentega. Karoten dapat ditemui
pada bahan pangan nabati seperti: sayuran daunn bewarna hijau, buah
bewarna kuning seperti pepaya, tomat, labu, ubi jalar kuning, nanas, dan
mangga.

7
Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan: a) Buta senja, b)
Perubahan pada kulit, c) Perubahan pada mata, d) Gangguan
pertumbuhan, e) Infeksi, f) Keratinisasi sel rasa pada lidah. Kelebihan
vitamin A dapat terjadi pada orang yang mengonsumsi suplemen 16.000
RE jangka lama atau 40.000 sampai 55.000 RE per hari. Beberapa tanda
keracunan vitamin A antara lain: sakit kepala, pusing, rasa nek, rambut
rontok, kulit kering, anoreksia dan sakit pada tulang. Pada wanita
dewasa menstruasi dapat berhenti dan bayi dapat mengalami
pembesaran kepala.
2. Vitamin D
Berbagai penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa
vitamin D dapat menyembuhkan dan mencegah riketsia (tulang tidak
mampu melakukan klasifikasi). Tubuh seseorang yang cukup
mendapatkan sinar matahari tidak memerlukan vitamin D. Mac collun
pada tahun 1992 menemuikan bahwa minyak ikan selain mengandung
vitamin A juga mengandung vitamin D yang dapat menyebuhkan
riketsia. Vitamin D merupakan nama generik dari ergosterol (D2) dan
kolekalsiferol (D3). Pengukuran vitamin D yang dianjurkan adalah
dengan mikrogram (g), namun ada yang menggunakan satuan
internasional (SI).
Sumber vitamin D diperoleh tubuh melalui sinar matahari dan
makanan. Kekurangan vitamin D kemungkinan banyak terjadi di daerah
yang tidak selalu mendapatkan sinar matahari. Sumber vitamin D dapat
diperoleh melalui makanan, terutama makanan hewani seperti kuning
telur, krim, mentega, minyak ikan, dan hati. Fortifikasi vitamin D
banyak digunakan pada susu, makanan bayi, dan mentega dalam bentuk
vitamin D2.
Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan riketsia pada anak-
anak dan osteomalacia pada orang dewasa. Selain itu, kekurangan
vitamin D juga dapat menyebabkan osteoporosis. Pada riketsia terjadi
perlembekan tulang, pertumbuhan gigi terlambat, bentuk gigi tidak

8
teratur dan mudah rusak. Sementara itu, osteomalacia terjadi pada orang
dewasa (wanita) karena konsumsi kalsium rendah, kurang sinar
matahari dan banyak melahirkan, orang yang sakit pencernaan, hati,
kantung empedu, dan ginjal. Kelebihan konsumsi vitamin D dapat
menyebabkan keracunan. Seseorang dapat mengalami keracunan bila
konsumsi 1000 SI atau 25g/hari dalam jangka lama. Adapun tanda-
tanda keracunan vitamin D antara lain lemah, sakit kepala, kurang nafsu
makan, gangguan pengeluaran urine, gangguan mental, dan muntah-
muntah.
3. Vitamin E (Tokoferol)
Tahun 1922 ditemukan zat larut lemak yang dapat mencegah
keguguran dan sterilitas pada tikus. Zat tersebut akhirnya dikenal
sebagai vitamin E. Tokoferol berasal dari kata tokos berarti kelainan dan
pherein berarti menyebabkan. Pada tahun 1936 vitamin D dapat
diisolasi dari kecambah gandum. Sifat kimia vitamin D antara lain: tidak
berbau dan bewarna, namun yang sintetik bewarna kuning muda hingga
kecokelatan, larut lemak, namun tidak larut air, bertindak sebagai
antioksidan dan terdapat beberapa jenis seperti jenis alfa, beta, gama,
dan delta tokoferol, serta tokotrienol.
Satuan yang digunakan untuk vitamin D adalah 1 mg d-alfa
tokoferol = 1,49 SI = = 1 mg TE (tokoferol ekivalen). Karena terdapat
beberapa bentuk vitamin E, maka aktivitasnya berbeda dan perlu
tokoferol x 0,1 , alfa tokotrienol x 0,3. Berbagai fungsi vitamin E telah
diketahui, antara lain : a) sebagai antioksidan b) peranan biologik
memutuskan rantai proses peroksidasi lipida dengan menyumbang 1
ataom H dari gugus OH ke radikal bebas sehingga terbentuk radikal
vitamin E yang stabil dan tidak mudah rusak, c) sintesis DNA (diribo
nucleic acid), d) merangsang reaksi kekebalan, e) mencegah penyakit
jantung koroner, f) mencegah keguguran dan sterilsitas, g) mencegah
gangguan menstruasi.

9
Vitamin E diabsorbsi usus halus bagian atas sebesar 20-80% dan
dibantu oleh asam lemak rantai sedang. Transportasi vitamin E dari
mukosa usus halus kedalam sistem limfe dilakukan oleh kilomokron
untuk dibawa ke hati. Minyak tumbuhan, kacang-kacangan dapat
digunakan sebagai sumber vitamin E yang berasal dari bahan nabati.
Sementara itu, pangan hewani yang berupa daging, ikan, dan unggas
juga dapat digunakan sebagai sumber vitamin E. Vitamin itu, E mudah
rusak oleh pemanasan oksidasi. Gangguan kekurangan vitamin E dapat
terjadi pada orang yang mengalami gangguan absorbsi lemak seperti
cystic fibrisos dan gangguan pada transpor lipida. Selain itu, kekurangan
vitamin E dapat menyebabkan hemolisis eritrosit dan sindroma
neurologik yang berakibat tidak normalnya fungsi sumsum tulang
belakang dan retina. Kelebihan vitamin E menyebabkan keracunan,
misalnya mengonsumsi lebih dari 600 mg/hari.
4. Vitamin K
Pada tahun 1939 ahli kimia swiss karrer berhasil mengisolasi
vitamin menakion (K2) disintesis oleh bakteri dalam usus cerna,
sedangkan menadion merupakan bentuk sintetik vitamin. Sifatnya
antara lain tidak tahap terhadap alkali dan cahaya, namun tahan terhadap
panas. Sebesar 15-80% vitamin K diabsorbsi di usus halus dengan
bantuan empedu dan cairan pankreas. Kemudian, dikatkan dengan
kilomikron dan diangkut melalui sistem limfe ke hati. Simpanan di hati
10% dalam bentuk filokinon dan sebesar 90% sebagai menakinon.
Beberapa fungsi vitamin K antara lain membanty proses
pembekuan darah dan sebagai kofaktor enzim karboksilase. Bahan
makanan sebagai sumber vitamin K dapat berasal dari bahan nabati
maupun hewani seperti hati, sayuran warna hijau, kacang buncis,
polong, brokoli, dan kol. Susu, daging, telur, dan serelia lebih rendah
kandungannya daripada sayuran serta buah. Flora bakteri dalam usus
bagian jejenum dan ileum dapat mensintesis vitamin K.

10
Kekurangan vitamin K menyebabkan darah tidak menggumpal
sehingga bila luka dapat menyebabkan pendarahan. Kekurangan
vitamin tersebut dapat terjadi pada seseorang yang mengalami gangguan
absorbsi lemak dan antibiotika. Konsumsi aspirin berlebihan dapat
mencegah pembekuan darah. Kelebuhan vitamin K dapat terjadi bila
diberikan dalam bentuk sintetik menadion. Gejala kelebihan vitamin K
antrara lain hemolisis darah merah, sakit kuning, dan kerusakan pada
otak.
2.1.6 Vitamin Larut Dalam Air
1. Vitamin B Kompleks
a. Vitamin B1 (Thiamin)
Pada tahun 1906 penyakit beri-beri para pelaut jepang dapat
disembuhkan dengan mengganti nasi putih dengan roti. Sifat thiamin ini
adalah:
Larut dalam air, stabil dalam keadaan kering.
Tahan panas pada keadaan asam.
Mudah rusak karena panas atau oksidasi.
Mudah rusak oleh pemasakan yang lama (pH, jumlah air yang
digunakan).
Tahan suhu beku.
Absorbsi dihambat oleh alkohol.
Tubuh mengandung thiamin 30-70 mg, 80% dalam bentuk TPP
(1/2 dalam otot selebihnya dalam otak, hati, jantung, dan ginjal).
Thiamin dapat disintesis oleh mikroorganisme saluran cerna,
tetapi kontribusinya sangat kecil.
Kelebihan diekskresi dan tidak menimbulkan racun.
Fungsi thiamin dalam tubuh adalah:
Thiamin pirofosfat (TPP) adalah bentuk aktif vitamin yang
berfungsi sebagai koenzim dalam karbosilasi asam piruvat dan
asam ketoglutarat. Peningkatan kadar asam piruvat dalam darah
merupakan salah satu tanda defisiensi thiamin.

11
Thiamin terlibat dalam metabolisme lemak,protein,dan sintesis
asam nukleat.
Kebutuhan thiamin sehari
Karena thiamin penting untuk metabolisme energi, terutama
karbohidrat, maka kebutuhan akan thiamin umumnya sebanding dengan
asupan kalori. Kebutuhan minimum adalah 0,3/1000 kkal, sedangkan
AKG di Indonesia ialah 0,3-0,4 mg/hari untuk bayi, 1,0 mg/hari untuk
orang dewasa, dan 1,2 mg/hari untuk wanita hamil.
Sumber-sumber thiamin adalah jeroan/organ hewan, daging,
unggas, ikan, kuning telur, gandum, kacang-kacangan, serelia tumbuk
atau setengah giling, roti, dan sereal yang difortifikasi. Defisiensi thiamin
terjadinya karena kurangnya konsumsi, gangguan absorpsi, anoreksia,
pecandu alkohol. Gejala berhubungan dengan sistem saraf dan jantung,
dalam keadaan berat dinamakan beri-beri. Beri-beri ada dua jenis yaitu:
Beri-beri kering dengan tanda-tanda: kelemahan otot, terjadi pada
orang dewasa karena konsumsi alkohol, badan menjadi kurus,
gangguan saraf, kelumpuhan kaki.
Beri-beri basah, tanda-tandanya adalah: sesak nafas, ederma yang
disebabkan gagal jantung, cepat lelah, gejala awal (anoreksia,
gangguan pencernaan, lelah, semutan, berdebar-debar).
b. Vitamin B2 (Riboflavin)
Vitamin ini memiliki sifat larut dalam air, tahan panas, asam dan
oksidasi dan dapat dirusak oleh sinar UV atau sinar matahari. Fungsi
vitamin ini adalah sebagai koenzim FAD (Flavin Adenin Dinukleotida)
& FMN (Flavin Adenin Mononukleotida) yang terlibat metabolisme
energi (metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak). FAD mengubah
triptopan menjadi niasin, FMN membantu fungsi B6 dan sebagai
pertumbuhan dan perawatan jaringan. Sumber-sumber riboflavin antara
lain: susu, keju,daging, hati, roti, organ hewan, sayuran berwarna hijau,
ikan, telur, roti yang diforsifikasi bakteri, dan sereal. Defisiensi terjadi
karena beberapa faktor berikut:

12
Terjadi bersamaan dengan kekurangan vitamin larit air lain
Kurang konsumsi protein hewani dan sayuran hijau
Tanda defisiensi muncul setelah beberapa bulan kekurangan
Peradangan pada bibir (cheilosis)
Stomatitis angular (sudut mulut pecah)
Glossitis (lidah licin dan bewarna keunguan)
Seborrheic dermatitis (kulit kasar dan berminyak)
Gangguan pertumbuhan
Biasanya defisiensi tiamin dapat menyebabkan defisiensi
riboflavin karena kedua zat gizi ini ada dalam makanan yang sama.
Kebutuhan sehari riboflavin tergtantung setiap individunya
berbanding lurus dengan energi yang digunakan, minimum 0,3
mg/1000 kkal. Penyerapan riboflavin pemberiannya secara oral atau
parental akan diserap baik dan didistribusikan merata keseluruh
jaringan. Asupan yang berlebihan akan dikeluarkan melalui urine
dalam bentuk utuh. Dalam tinja ditemukan riboflavin yang disintesis
oleh kuman disaluran cerna, tetapi tidak ada bukti nyata yang
menjelaskan bahwa zat tersebut dapat diabsorbsi melalui mukosa
usus.
Penggunaan riboflavin yang utama adalah untuk pencegahan
dan terapi defisiensi vitamin B2 yang sering menyertai pelagra atau
defisiensi vitamin B kompleks lainnya sehingga riboflavin sering
diberikan bersama vitamin lain. Dosis untuk pengobatan adalah 5-10
mg/hari.
c. Asam Nikotinat
Bentuk amida dari asam nikotinat, yaitu niasinamid, juga
berefek antipelgra. Didalam tubuh asam nikotinat dan niasinamid
diubah menjadi bentuk aktif NAD (Nikotinamid adenin
dinukleotida) dan NADF (nikotindinamid adenin dinukleotida
fosfat). Keduanya berperan dalam metabolisme sebagai koenzim
untuk berbagai protein yang penting dalam respirasi cairan.

13
Kebutuhan seharinya minimal mencegah pelagra rata-rata 4,4
mg/1000 kkal, pada orang dewasa asupan minimal 13 mg.
Penyerapan niasin dan niasinnamid mudah diabsorbsi melalui
semua bagian saluran cerna dan didistribusikan ke seluruh tubuh.
Ekskresinya melalui urin sebagai kecil dalam bentuk utuh dan
sebagaian lainnya dalam bentuk berbagai metaboliknya, antara lain
asam nikotinurat dan bentuk glisin peptida dari asam nikotinat.
Manfaat riboflavin bermanfaat untuk pengobatan pelagra.
Pada keadaan akut dianjurkan dosis oral 50 mg diberikan sampai 10
kali sehari atau 25 mg niasin 2-3 kali sehari secara intravena. Hasil
terapi umumnya sangat dramatis. Dalam 24 jam gejala pada kulit
dan mulut dapat hilang, rasa mual dan diare juga segera teratasi.
Sebagai vasodilator obat ini tidak terbukti efektif.
d. Vitamin B6 (Piridoksin)
Pada tahun 1934 Gyorgy dalam Departemen Gizi dan Kesehatan
Masyarakat UI (2014) menggunakan vitamin B6 untuk menyembuhkan
dermatitis bersisik pada tikus. Sifat-sifat piridoksi yaitu: tahan panas
dalam keadaan asam, tidak tahan cahaya dan larut alkali, kehilangan
aktivitasnya sampai 36-55% pada suhu beku. Fungsi dari piridoksin
yaitu:
Koenzim PLP (piridoksal fosfat) dan PMP (Piridoksamin fospat) yang
terlibat dalam sintesis protein.
Produksi niasin (diperlukan dalam konversi trytophan ke niasin).
Sintesis hemoglobin
Pelepasan glikogen dari hati dan otot menjadi energi disimpan 50% di
otot
Sintesis asam arakhidonat dari asam linoleat
Pembentukan sfingolipida, yaitu mielin yang menyarungi sel saraf
Sintesis penghantar saraf gama amino butiric acid/ GABA
Sumber piridoksin dapat ditemukan dari bahan-bahan makanan
sebagai berikut: ikan, ayam, hati, telur, gandum, tempe, kacang-

14
kacangan, ragi. Pada makanan hewani dalam usus absorbsinya lebih
tinggi. Kebutuhan piridoksin antara pria dan wanita berbeda yaitu: pria
2mg/hari dan wanita 1,6 mg/hari.
Defisiensi vitamin B6 yaitu: jarang terjadi, terjadi karena
gangguan absorbsi, kecanduan alkohol, obat-obatan seperti INH (asam
ion nikotenat hidroksida, INH sebagai obat TB paru, obat kontrasepsi
menyebabkan gangguan-gangguan berat), penurunan pembentukan
antibodi, dementia, lemah. Kelebihan piridoksin dengan mengonsumsi
> 25 mg/hari selama bulan/tahun dapat menyebabkan kerusakan saraf,
semutan, dan hilangnya rasa pada tangan serta kaki.
Fungsi fisiologis vitamin ini adalah pemberian piridoksi secara
oral maupun parental tidak menunjukkan efek farmakodinamik yang
nyata. Dosis sangat besar yaitu 3-4 g/kg BB menyebabkan kejang dan
kematian pada hewan coba, tetapi dosis kurang dari ini umumnya tidak
menimbulkan efek yang lebih jelas. Piridoksal fosfat dalam tubuh
merupakan koenzim yang berperan penting dalam metabolisme sebagai
asam amino, diantaranya dekarbonsilasi, transminasi, dan raseminasi
triptofan, asam amino yang bersulfur, dan asam amino hidroksida.
Kebutuhan piridoksin berhubungan dengan konsumsi protein,
yaitu kira-kira 2 mg/100 mg protein. Penyerapan piridoksin, piridoksal,
dan piridoksamin mudah diabsorbsi melalui saluran cerna. Metabolit
terpenting dari ketiga bentuk tersebut adalah 4-asam piridoksat.
Ekskresi melalui urine terutama berbentuk 4-asam piridoksat dari
piridoksal. Keracunan piridoksin dapat menyebabkan neuropatik
sensorik atau sindrom neuropati dalam dosis antara 50 mg perhari untuk
jangka waktu panjang. Gejala awal dapat berupa sikap yang tidak stabil
dan rasa bebas di kaki, diikuti pada tangan dan sekitar mulut. Gejala
berangsur-angsur hilang setelah bebrapa bulan bila asupan piridoksin
dihentikan.
e. Asam Pantotenat

15
Keracunan pada hewan coba asam pantotenat tidak
menyebabkan efek farmakodinamik yang penting bersifat nontoksik.
Defisiensinya pada manusia belum dikenali, tetapi dapat ditimbulkan
dengan memberikan diet yang mengandung antagonis asam pantotenat.
Sindroma yang terjadi berupa kelelahan, rasa lemah, gangguan saluran
cerna, gangguan otot berupa kejang pada ekstremitas dan paretesia.
Kebutuhan sehari asam pantotenat adalah kebutuhan manusi
akan asam pantotenat sehari sebanyak 5-10 mg. Penyerapan dan fungsi
fisiologis asam pantotenat pada pemberian oral, pantotenat akan
diabsorbsi dengan baik dan didistribusikan ke seluruh tubuh dengan
kadar 2-45 mcg/g. Didalam tubuh asam pantotenat tidak dimetabolisme
dan diekskresikan dalam betuk utuh, 70% melalaui urine dan 30%
melalui tinja.
f. Biotin
Biotin dahulunya adalah vitamin H (haut) karena percobaan
tikus dan ayam bila diberikan putih telur mentah banyak menunjukkan
ekzema kulit dan bulu sekitar mata rontok, tetapi sembuh jika diberikan
kuning telur. Biotin berfungsi untuk metabolisme karbohidrat, protein,
lemak. Sumber biotin banyak ditemukan pada makanan seperti hati,
kuning telur, tempe, serealia, ragi, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-
buahan (pisang, jeruk, semangka, strawberry). Biotin sifatnya tahan
panas, larut air dan alkohol mudah dioksidasi
Pada manusia belum ditemukan adanya defiseinsi spontan.
Keadaan defisiensi ibru timbul bila diet hanya terdiri dri putih telur
menth sebagai sumber protein yang diberikan antimetabolit biotin,
misalnya: biotin, sulfat, destobiotin atau avidin. Gejala yang timbul pada
manusia antara lain dermatitis, sakit otot, rasa lemah, anoreksia, anemia
ringan, dan perubahan EKG.
g. Kolin
Fungsi kolin hampir mirip dengan asetilkolin, terapi dengan
potensi lebih kecil. Kebutuhan kolin sehari-hari belum dapat ditemukan,

16
terapi dalam makanan sehari-hari rata-rata terdapat 500-900 mg.
Penggunaan peroral cukup aman dengan LD50 200-400 g.
h. Inositol
Sudah sejak lama diketahui bahwa penderita diabetes
mengekskresikan inositol dalam urine dengan kadar tinggi. Inositol
merupakan isomer glukosa dan dalam badan mudah berubah menjadi
glukosa, sebaliknya glukosapun mudah berubah menjadi inositol. Zak
aktif inositol adalah mio-inositol. Menurut Eagle dkk mioinosito
essensial utuk pertumbuahan dan kelangsungan hidup 18 jebis sel,
mungkin karena perananya dan pembentukan membran sel. Gejala
defisiensi inositol yang terlibat hal yang terlihat pada hewan coba adalah
gangguan pertumbuhan, alopesia, dan gangguan laktasi.
i. Asam Askorbat (Vitamin C)
Vitamin C adalah gejala awal hipovitaminosis C adalah malaise,
mudah tersinggung gangguan emosi, artralgia, hiperkeratosis folikel
rambut, pendarahan hidung dan petekie. Skorbut terlihat bila kadar
vitamin C pada leukosit dan trombosit <2 mg/dl dan ini terjadi setelah
mendapatkab diet yang tidak mengandung vitamin C selama 3-5 bulan.
Pemberian vitamin C keadaann normal tidak menunjjukan efek dalam
tubuh yang jelas jelas, tetapi pada keadaan defisiensi, pemberian
vitamin C akan menghilangkan gejal penyakit dengan cepat.
Setelah vitamin C diserap dan diabsorbsi tekana darah
meningkat dan distribusinya luas mencapai seluruh tubuh, terendah
dalam otot dan lemak, sedangkan tertinggi dalam kelenjar. Kebutuhan
harian vitamin C menurut AKG adalah 35 mg untuk bayi dan meningkat
sampai kira-kira 60 mg pada dewasa. Efisiensi absorbsi akan berkurang
dan kecepatan ekskresinya meningkat bila digunakan dalam jumlah
yang lebih besar. Kebutuhan akan vitamin C meningkat 300% sampai
500% pada penyakit infeksi, tuberkolosis, tukak peptik, penyakit
neoplasma, pasca bedah atau trauma, pada hipertiroid, kehamilan, dan

17
laktasi. Bebrapa obat diduga dapat mempercepat ekskresi vitamin C,
misalnya tetrasiklin, fenobarbital, dan salisilat.
2.2 Pencegahan dan Penanganan Anemia
2.1.1 Anemia
Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI
(2014), anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar di
dunia terutama bagi kelompok wanita usia reproduktif (WUS). Anemia
pada WUS dapat menimbulkan kelelahan, badan lemah, penurunan
kapasitas/kemampuan atau produktivitas kerja. Bagi ibu hamil, anemia
berperan pada peningkatan prevelansi kematian dan kesakitan ibu, dan
bagi bayi dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi, serta
BBLR.
Anemia pada umunya terjadi diseluruh dunia, terutama di negara
berkembang (developing countries) dan pada kelompok sosio-ekonomi
rendah. Pada kelompok dewasa, anemia terjadi pada wanita usia
reproduksi, terutama wanita hamil dan wanita menyusui karena mereka
banyak yang mengalami defisiensi Fe. Secara keseluruhan, anemia
terjadi pada 45 persen wanita di negara berkembang dan 13 persen di
negara maju (developed countries). Di Amerika, terdapat 12 persen
wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun, 11 persen wanita hamil usia
subur mengalami anemia. Sementara persentase wanita hamil dari
keluarga miskin terus meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan
(8 persen anemia di trimester I, 12 persen anemia di trimester II, dan 29
persen anemia pada trimester III). Anemia pada wanita masa nifas
(pascapersalinan) juga umum terjadi, sekitar 10 persen dan 22 persen
terjadi pada wanita post partum dari keluarga miskin.
Untuk mencegah dan mengobati anemia, maka penentuan
faktor-faktor penyebab sangat diperlukan. Jika penyebabnya adalah
masalah nutrisi, penilaian status gizi dibutuhkan untuk mengidentifikasi
nutrien yang berperan dalam kasus anemia. Anemia gizi dapat

18
disebabkan oleh berbagai macam nutrien penting pada pembentukan
Hb.
Anemia ditandai dengan rendahnya konsentrasi hemoglobin
(Hb) atau hematokrit nilai ambang batas (referensi) yang disebabkan
oleh rendahnya produksi sel darah meran (eritrosit) dan Hb,
meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau kehilangan darah
yang berlebihan. Defisiensi Fe berperan besar dalam kejadian anemia,
namun defisiensi zat gizi lainnya, kondisi nongizi, dan kelainan genetik
(herediter) juga memainkan peran terhadap anemia.
Defisiensi Fe yang umum terjadi di dunia merupakan penyebab
utama terjadinya anemia gizi. Di negara-negara dimana prevalensi
anemia lebih besar dari 20 persen, penyebab anemia adalah defisiensi
Fe atau kombinasi defisiensi Fe dengan kondisi lainnya seperti status
sosio-ekonomi. Sebuah penelitian yang dilakukan di Manado pada
Oktober 2002 terhadap 30 ribu hamil menunjukkan adanya hubungan
positif antara status sosial ekonomi ibu hamil dengn kadar serum ferritin
darahnya.
Defisiensi Fe terjadi saat jumlah Fe yang diabsorpsi tidak
memadai untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya intake Fe, penurunan bioavailabilitas Fe dalam tubuh,
peningkatan kebutuhan Fe karena perubahan fisiologi seperti
kehamilan, dan proses pertumbuhan.
Defisiensi Fe menunjukkan terjadinya kondisi penipisan
cadangan Fe dalam tubuh yang dibuktikan adanya penurunan level
serum ferritin. Pengurangan cadangan Fe tidak selalu dihubungkan
dengan kejadian anemia. Namun, kondisi ini tetap rentan terhadap
resiko anemia. Defisiensi Fe tanpa anemia teradi saat deplesi Fe cukup
tinggi sehingga memengaruhi kemampuan produksi Hb. Penyebab
anemia antara lain penyakit cacingan, malaria, penyakit hemolitik
kongenital, seperti thalassemia dan defisiensi mikronutriensi lain yaitu
KVA.

19
Sebuah studi telah dilakukan tahun 2002 di Manado, Provinsi
Sulawesi Utara untuk menilai hubungan antara status ferritin (Fe) ibu
hamil trimester III dengan level serum ferritin pada bayi yang dilahirkan
dengan berat badan rendah/BBLR. Hasil penelitian menunjukkan
adanya kolerasi signifikan yaitu ibu hamil trimester III yang tidak
mengalami defisiensi Fe (konsentrasi serum ferritin <12 mg/ml)
cenderung melahirkan bayi BBLR dengan kandungan serum ferritin
dalam darah yang normal (Nan Warouw N. dan Sugiarto W., 2005).
Iron adalah komponen penting bagi tubuh. Hemoglobin (Hb)
yaitu suatu oksigen yang mengantarkan eritrosit berfungsi penting bagi
tubuh. Hb terdiri dari Fe, protoporfirin, dan globin (1/3 berat Hb terdiri
dari Fe). Pada keadaan IDA, suplai Fe tidak mencukupi bagi sintesis Hb
secara normal sehingga produksi eritrosit berkurang dengan ukuran
kecil (mikrositik) dan berwarna pucat (hipokromik). Akibatnya, Fe
berfungsi hanya untuk mioglobin, yaitu Hb berisi protein otot, heme,
dan enzim non-heme.
Kurang dari 1 persen Fe berada dalam bentuk transport iron yaitu
transferrin, sisanya ditemukan sebafai cadangan dalam tubuh yaitu
ferritin dan hemosiderin. Fe terutama disimpan dalam liver/hati, limpa,
dan sumsum tulang. Cadangan Fe digunakan untuk memelihara
keseimbangan Fe dengan mengatur absorpsi Fe dari diet makanan.
Tahapan defisiensi Fe yang mengarah pada anemia terjadi
sebagai berikut: deplesi/penipisan Fe ditandai dengan penurunan
cadangan Fe yang tercermin dari berkurangnya konsentrasi serum
ferritin. Selanjutnya terjadi peningkatan absorpsi Fe akibat menurunnya
level Fe tubuh. Manifestasi keadaan ini menimbulkan eritropoiesis
defisiensi Fe (defisiensi Fe tanpa anemia), cadangan Fe menipis dan
produksi Hb terganggu. Meskipun konsentrasi Hb di atas cut off point
kategori anemia, namun terjadi pengurangan transferrin saturasi yaitu
jumlah suplai Fe ke sumsum tulang tidak cukup, meningkatnya
konsentrasi eritrosit protoporfirin karena kekurangan Fe untuk

20
membentuk Hb. Di akhir tahapan defisiensi Fe, anemia ditandai dengan
konsentrasi Hb atau hematokrit di bawah range normal.
Tabel 2. Nilai Cur off Points Kategori Anemia
Kelompok Umur Nilai (g/dL)
Anak usia 6 bulan 5 tahun 11,0
Anak usia 5 11 tahun 11,5
Anak usia 12 13 tahun 12,0
Wanita dewasa 12,0
Wanita hamil 11,0
Laki-laki 13,0
(Sumber: Indicators for Asessing Iron Deficency and Strategies for
Its Prevention, WHO / UNICEF, UNU dalam Departemen Gizi dan
Kesehatan Masyarakat UI, 2014)
2.2.2 Batasan Anemia, Defisiensi Fe, dan Anemia Defisiensi Fe
Anemia didefisiensikan sebagai keadaan dimana level Hb rendah
karena kondisi patologis. Defisiensi Fe merupakan salah satu penyebab
anemia, tetapi bukanlah satu-satunya penyebab anemia. Penyebab lainnya
adalah infeksi kronik, khususnya malaria dan defisiensi asam folat.
Sementara defisiensi Fe diartikan sebagai keadaan biokimia Fe yang
abnormal disertai atau tanpa keberadaan anemia. Biasanya defisiensi Fe
merupakan akibat dari rendahnya bioavailabilitas intake Fe, peningkatan
kebutuhan Fe selama periode kehamilan dan menyusui, dan peningkatan
kehilangan darah karena penyakit cacingan atau schistosomiasis.
Anemia defisiensi Fe terjadi pada tahap anemia tingkat berat
(servere) yang berakibat pada rendahnya kemampuan tubuh memelihara
suhu, bahkan dapat mengancam kematian.
2.2.3 Akibat Anemia (IDA)
Akibat IDA pada wanita dihubungkan dengan defisiensi Fe dan
anemia yang dapat menimbulkan efek kematian, hasil kelahiran,
kemampuan, dan kapasitas kerja. Severe anemia (Hb < 4 g/dl) dikaitkan
dengan peningkatan kematian, umumnya terjadi pada kondisi stress

21
pascapersalinan karena fungsi oksigen dn jantung tergantung oleh
menurunnya kadar Hb. Konsentrasi Hb ibu hamil dapat memengaruhi berat
lahir hayi atau kelahiran prematur.
Akibat lain yang ditimbulkan oleh IDA adalah penuruanan performa
kerja pada kelompok usia dewasa. Wanita penderita anemia kurang
produktif bekerja dibanding wanita tanpa anemia karena pada kelompok
pertama mengalami penurunan kapasitas transportasi oksigen dan
terganggunya fungsi otot dikaitkan dengan defisit Fe. Peningkatan
produktivitas kerja ini dapat dicapai melalui intervensi suplementasi Fe bagi
wanita pekerja penderita anemia. Pada kelompok bayi dan anak-anak,
anemia dihubungkan dengan gangguan perilaku dan pengembangan
kecerdasan. Kurang jelas diketahui efek anemia terhadap perilaku dan
kecerdasan pada orang dewasa.
2.2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Anemia
Penyebab utama anemia pada wanita adalah kurang memadainya
asupan makanan sumber Fe, meningkatnya kebutuhan Fe saat hamil dan
menyusui (perubahan fisiologi), dan kehilangan banyak darah. Anemia
yang disebabkan oleh ketiga faktor itu terjadi secara sepat saat cadangan Fe
tidak mencukupi peningkatan kebutuhan Fe. Wanita usia subur (WUS)
adalah salah satu kelompok risiko tinggi terpapar anemia karena mereka
tidak memiliki asupan atau cadangan Fe yang cukup terhadap kebutuhan
dan kehilangan Fe. Dari kelompok WUS tersebut paling tinggi berisiko
menderita anemia adalah wanita hamil, wanita nifas, dan wanita yang
banyak kehilangan darah saat menstruasi. Pada wanita yang mengalami
menopause dengan defisiensi Fe, yang menjadi penyebabnya adalah
perdarahan gastrointestinal.
1. Asupan Fe yang Tidak Memadai
Hanya sekitar 25 persen WUS memenuhi kebutuhan Fe sesuai
AKG (26 mikrogram/hari). Secara rata-rata, wanita mengonsumsi 6,5g
perhari melalui diet makanan. Kecukupan intake Fe tidak hanya dipenuhi
dari konsumsi makanan sumber Fe (daging sapi, ayam, ikan, telur, dan lain-

22
lain), tetapi dipengaruhi oleh variasi penyerapan Fe. Variasi ini disebabkan
oleh perubahan fisiologi tubuh seperti hamil dan menyusui sehingga
meningkatkan kebutuhan Fe bagi tubuh, tipe Fe yang dikonsumsi, dan
faktor diet yang mempercepat (enhancer) dan menghambat (inhibitor)
penyerapan Fe. Jenis Fe yang dikonsumsi jauh lebih penting daripada
jumlah Fe yang dimakan. Heme iron dari Hb dan mioglobin hewan lebih
mudah dicerna dan tidak dipengaruhi oleh inhibitor Fe. Non heme iron
yang membentuk 90 persen Fe dari makanan nondaging (termasuk biji-
bijian, sayuran, buah, telur) tidak mudah diserap oleh tubuh.
Bioavailabilitas non heme iron dipengaruhi oleh beberapa faktor inhibitor
dan enhancer. Inhibitor utama penyerapan Fe adalah fitat dan polifenol.
Fitat terutama ditemukan pada biji-bijian sereal, kacang, dan beberapa
sayuran seperti bayam. Polifenol dijumpai dalam minuman kopi, teh,
sayuran dan kacang-kacangan. Enhancer penyerapan Fe antara lain asam
askorbat atau vitamin C dan protein hewani dalam daging sapi, ayam, ikan
karena mengandung asam amino pengikat Fe untuk meningkatkan absorpsi
Fe. Alkohol dan asam laktat kurang mampu meningkatkan penyerapan Fe.
2. Peningkatan Kebutuhan Fisiologi
Kebutuhan Fe meningkat selama hamil untuk memenuhi kebutuhan
Fe akibat peningkatan volume darah, untuk menyediakan Fe bagi janin dan
plasenta, dan untuk menggantikan kehilangan darah saat persalinan.
Peningkatan absorpsi Fe selama trimester II kehamilan membantu
peningkatan kebutuhan. Beberapa studi menggambarkan hubungan antara
suplementasi Fe selama kehamilan dan peningkatan konsentrasi Hb pada
trimester III kehamilan dapat meningkatkan berat lahir bayi dan usia
kehamilan.
3. Kehilangan Banyak Darah
Kehilangan darah terjadi melalui operasi, penyakit, dan donor
darah. Pada wanita, kehilangan darah terjadi melalui menstruasi. Wanita
hamil juga mengalami perdarahan saat dan setelah melahirkan. Efek

23
samping atau akibat kehilangan darah ini tergantung pada jumlah darah
yang keluarga dan cadangan Fe dalam tubuh.
Rata-rata seorang wanita mengeluarkan darah 27 ml setiap siklus
menstruasi 28 hari. Diduga 10 persen wanita kehilangan darah lebih dari
80 ml perbulan. Banyaknya darah yang keluar berperan pada kejadian
anemia kerena wanita tidak mempunyai persediaan Fe yang cukup dan
absorpsi Fe kedalam tubuh tidak dapat menggantikan hilangnya Fe saat
menstruasi. Jumlah Fe yang hilang/keluar saat menstruasi juga bervariasi
dengan tipe alat KB yang dipakai. IUD atau spiral dapat meningkatkan
pengeluaran darah 2 kali saat menstruasi dan pil mengurangi kehilangan
darah sebesar 1,5 kali ketika menstruasi berlangsung.
Komplikasi kehamilan yang mengarah pada perdarahan saat dan
pascapersalinan dihubungkan juga dengan peningkatan risiko anemia.
Plasenta previa dan plasenta abrupsi berisiko terhadap timbulnya anemia
setelah melahirkan. Dalam persalinan normal, seorang wanita hamil akan
mengeluarkan darah rata-rata 500 ml atau setara dengan 200 mg Fe.
Perdarahan juga meningkat saat proses melahirkan secara caesar/operasi.
Perdarahan masa nifas diperkirakan berlangsung selama 27-33 hari,
namun terkadang lebih lama. Peradarhan ini diragukan memiliki peran
terhadap kejadian anemia.
Pemberian ASI secara eksklusif memperpanjang masa amenorrhea
setelah melahirkan sehingga mengurangi kehilangan Fe dan melindungi
wanita dari anemia. Praktik ASI tidak eksklusif diperkirakan menjadi salah
satu prediktor kejadian anemia setelah melahirkan. Namun, hal itu tidak
diketahui apakah karena efek perlindungan ASI eksklusif terhadap
amenorrhea atau akibat perilaku sehat mengonsumsi TTD atau makanan
sumber Fe.
Perdarahan patologis akibat penyakit/infeksi parasit seperti
cacingan dan saluran pencernaan berhubungan positif terhadap anemia.
Meskipun anemia jarang terjadi pada wanita menopause, tetapi setelah
dideteksi hal itu disebabkan oleh perdarahan gastrointestinal oleh adanya

24
luka di saluran gastrointestinal (gastritis, tukak lambung/ulcer, kanker
kolon, dan polip pada kolon). Perdarahan juga disebabkan oleh konsumsi
obat-obatan andrenokortikosteroid yaitu perdarahan gastrointestinal dan
konsumsi aspirin dengan alkohol.
Transfusi darah adalah faktor nonpatologis timbulnya perdarahan
karena orang yang menyumbangkan darahnya (umunya wanita) memiliki
konsentrasi Fe yang rendah.
Untuk menilai apakah anemia disebabkan oleh difisiensi Fe, maka
dilakukan serangkaian tes lanjut di laboratorium. Pengukuran
meningkatnya nilai Hb minimal 1,0 g/dl setelah menerima suplementasi Fe
selama satu bulan merupakan salah satu tes lanjutan tersebut. Distribusi
konsentrasi Hb dibandingkan sebelum (pre) dan setelah (post) intervensi.
Tes serus ferritin adalah indikator paling sensitif terhadap penilaian status
Fe. Nilai serum ferritin dibawah 12 mg/ml menunjukkan cadangan Fe
tubub menipis sehingga diindikasikansebagai fesisiensi Fe (Guthrie, 1999).
Penilaian status Fe yang banyak digunakan antara lain : konsentrasi
serum ferritin, transferin saturasi, konsentrasi eritrosit protoporfirin, dan
konsentrasi transferrin reseptor. Diagnosa anemia ditegakkan jika minimal
dua hasil tes tersebut menunjukkan nilai abnormal (dibawah nilai batas).
Konsentrasi serum ferritin adalah indikator paling spesifik menilai
defisiensi Fe saat level Fe rendah. Namun, karena level serum ferritin akan
meningkat jika tubuh mengalami infeksi dan pembengkakan kronik, maka
rendahnya nilai serum ferritin tidak selalu menunjukkan defisiensi Fe.
Konsentrasi transferrin reseptor tidak dipengaruhi oleh kondisi infeksi,
namun kurang sensitif terhadap penilaian status Fe dibandingkan serum
ferritin. Transferrin reseptor merupakan indikator eritropoiesis defisiensi
Fe dan bukan deplesi Fe.
2.2.5 Pencegahan dan Pengobatan IDA/Anemia
1. Pencegahan
Anemia defisiensi Fe dicegah dengan memelihara keseimbangan
antara asupan Fe dengan kebutuhan dan kehilangan Fe. Jumlah Fe yang

25
dibutuhkan untuk memelihara keseimbangan ini bervariasi antara satu
wanita dengan lainnya, tergantung pada riwayat reproduksi dan jumlah
kehilangan darah selama menstruasi. Peningkatan konsumsi Fe untuk
memenuhi kebutuhan Fe dilakukan melalui peningkatan konsumsi makanan
yang mengandung heme iron, berisifat mempercepat (enhancer) non-heme
iron, dan meminimalkan konsumsi makanan yang mengandung faktor
penghambat absorpsi Fe (inhibitor). Jika kebutuhan Fe tidak cukup
terpenuhi dari diet makanan, dapat ditambah dengan suplemen Fe terutama
bagi wanita hamil dan masa nifas.
Suplemen Fe adalah salah satu strategi untuk meningkatkan intake
Fe berhasil hanya jika individu mematuhi aturan konsumsinya. Banyak
faktor yang mendukung rendahnya tingkat kepatuhan (compliance)
tersebut, seperti individu sulit mengingat aturan minum tiap hari, minimnya
dana untuk membeli suplemen secara teratur, dan efek samping yang tidak
nyaman dari Fe contohnya gangguan lambung. Bentuk strategi lain yang
digunakan untuk meningkatkan kepatuhan mengkonsumsi Fe adalah
melalui pendidikan tentang pentingnya suplementasi Fe dan efek samping
akibat nimun Fe.
Fortifikasi produk-produk sereal juga merupakan salah satu strategi
peningkatan konsumsi Fe di masyarakat yang bernilai rendah biaya. Di
USA, fortifikasi tepung terigu dengan Fe berkontribusi cukup tinggi
terhadap asupan 19 persen dan 14 persen Fe.
2. Screening dan Pengobatan
Screening diperlukan untuk mengidentifikasi kelompok wanita yang
harus diobati dalam mengurangi morbiditas anemia. CDC menyarankan
agar remaja putri dan wanita dewasa yang tidak hamil harus di-screening
tiap 5-10 tahun melalui uji kesehatan, meskipun tidak ada faktor risiko
anemia seperti perdarahan, rendahnya intake Fe, dan sebagainya. Namun,
jika disertai adanya faktor risiko anemia, makan screening harus dilakukan
secara tahunan. Penderita anemia harus mengonsumsi 60-120 mg Fe per
hari dan meningkatkan asupan makanan sumber Fe. Satu bulan kemudian

26
harus dilakukan screening ulang. Bila hasilnya menunjukkan peningkatan
konsentrasi Hb minimal 1g/dl atau hematokrit minila 3 persen, pengobatan
harus diteruskan sampai tiga bulan.
Bagi wanita hamil harus dilakukan screening pada kunjungan ANC
Idan rutin pada setiap trimester. Wanita penderita anemia tingkat ringan
harus diberikan Fe dosis 60-120 mg/hari, dosis berikutnya dikurangi
menjadi 30 mg/hari saat konsentrasi Hb atau hematokrit menjadi normal
untuk usia kehamilan. Wanita hamil dengan konsentrasi di bawah atau sama
dengan 9g/dl atau hematokrit kurang dari 27 persen saat screening harus
dirujuk untuk pengobatan medis lebih lanjut.
CDC menyarankan screening anemia dilakukan pada wanita nifas
dalam waktu 4-6 minggu pascapersalinan jika wanita itu menderita anemia
saat hamil trimester III, atau melahirkan bayi kembar, atau mengalami
banyak perdarahan saat melahirkan.
2.3 Pencegahan dan Penanganan Cacingan
Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang
sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa
jenis cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda
ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara
Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah
(Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris
lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris
trichiura (Gandahusada, 2000).
2.3.1 Ascaris lumbricoides
1. Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes definitif cacing ini. Cacing jantan
berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa
hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai
100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur
yang tidak dibuahi. Di tanah, dalam lingkungan yang sesuai telur yang
dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3

27
minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan menetas menjadi
larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju
pembuluh darah atau saluran limfa kemudian di alirkan ke jantung lalu
mengikuti aliran darah ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding
alveolus masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea melalui
bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam
esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa.
Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan
sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 2000).
2. Patofisiologi
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan.
Dapat berupa gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan
berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-
anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbtion).
Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga
terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive).
Selain itu menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan
Menteri Kesehatan (2006) gangguan juga dapat disebabkan oleh larva
yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada
dinding alveolus yang disebut Sindroma Loeffler.
3. Gejala Klinis dan Diagnosis
Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit
lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak
yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah dan kurang
konsentrasi belajar. Pada anak-anak yang menderita Ascariasis
lumbricoides perutnya tampak buncit, perut sering sakit, diare, dan
nafsu makan kurang. Biasanya anak masih dapat beraktivitas walau
sudah mengalami penuruanan kemampuan belajar dan produktivitas.
Pemeriksaan tinja sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis yaitu
dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah

28
telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya
infeksi (Menteri Kesehatan, 2006).
4. Epidemiologi
Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang
lembab dan tidak terkena sinar matahari langsung telur tersebut
berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi A. lumbricoides terjadi
bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau
minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (Menteri Kesehatan,
2006).
5. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada
masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam
obat misalnya preparat piperasin, pyrantel pamoate, albendazole atau
mebendazole. Pemilihan obat anticacing untuk pengobatan massal harus
memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: mudah diterima di masyarakat,
mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga
dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing, harganya murah
(terjangkau) (Menteri Kesehatan, 2006).
2.3.2 Ancylostoma (cacing tambang)
1. Morfologi dan Daur Hidup
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua
spesies cacing tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di
rongga usus halus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur
sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan
kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di
dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah
sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari
dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam
waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat
menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur
cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur

29
dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva
rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva
filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit,
larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru larvanya
menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan
laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus
dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform
menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri
Kesehatan, 2006).
2. Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain
mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada
luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang
menyebabkan kehilangan darah secara perlahanlahan sehingga
penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat
menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Kekurangan
darah akibat cacingan sering terlupakan karena adanya penyebab lain
yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006).
3. Gejala Klinik dan Diagnosis
Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan
terhadap penyakit,, prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan
manifestasi klinis yang sering terjadi. Di samping itu juga terdapat
eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006)
4. Epidemiologi
Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada
penduduk yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan.
Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang
berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat
menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di
tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam
penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 2000). Tanah yang baik

30
untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan
suhu optimum 32C-38C. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah
dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.
2.3.3 Trichuris trichiura
1. Morfologi dan Daur Hidup
Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan
yang jantan sekitar 4 cm. Hidup di kolon asendens dengan bagian
anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur
berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan
dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur
bagian luar berwarna kekuningkuningan dan bagian di dalamnya jernih.
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi
matang dalam waktu 36 minggu di dalam tanah yang lembab dan
teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk
infektif.
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh
manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan
masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke
usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa
pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan
siap bertelur sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2000).
2. Patofisiologi
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat
juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama
pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-
kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat
mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan
kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat
pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini

31
juga mengisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia
(Menteri Kesehatan, 2006)
3. Gejala Klinik dan Diagnosis
Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak
memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala.
Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan
gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-
kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi Trichuris trichiura yang berat
juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa.
Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja (Gandahusada,
2000).
4. Epidemiologi
Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi
tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh
dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri
pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi.
Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah
pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah
yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan
penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan
tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci
tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan
mentah adalah penting apalagi di negera-negera yang memakai tinja
sebagai pupuk (Gandahusada, 2000). Dahulu infeksi Trichuris trichiura
sulit sekali diobati. Antihelminthik seperti tiabendazol dan ditiazanin
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan
untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura adalah
Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Gandahusada,
2000).

32
2.3.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penularan Infeksi STH
Menurut Hotes (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor risiko
yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang
penyebarannya melalui tanah antara lain:
1. Lingkungan
Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh
terutama di daerah kota atau daerah pinggiran (Hotes, 2003 dalam
Menteri Kesehatan, 2006). Sedangkan menurut Phiri (2000) dalam
Menteri Kesehatan (2006) bahwa jumlah prevalensi Ascaris
lumbricoides banyak ditemukan di daerah perkotaan. Sedangkan
menurut Albonico dalam Menteri Kesehatan (2006) bahwa jumlah
prevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan yang
masyarakat sebagian besar masih hidup dalam kekurangan.
2. Tanah
Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya
tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura, telur
tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu optimal
30C (Depkes R.I, 2004). Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan suhu
yang berkisar antara25C-30C sangat baik untuk berkembangnya telur
Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif (Srisasi
Gandahusada, 2000).Sedangkan untuk pertumbuhan larva Necator
americanus yaitu memerlukan suhu optimum 28C-32C dan tanah
gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale
lebih rendah yaitu 23C-25C tetapi umumnya lebih kuat (Gandahusada,
2000).
3. Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di
daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan
untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale penyebaran ini
paling banyak di daerah panas dan lembab. Lingkungan yang paling
cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembapan yang tinggi

33
terutama di daerah perkebunan dan pertambangan (Onggowaluyo, 2002
dalam Menteri Kesehatan, 2006).
4. Perilaku
Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang
ditularkan lewat tanah (Peter J. Hotes, 2003 dalam Menteri Kesehatan,
2006). Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena
biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau
makan nasi tanpa cuci tangan (Oswari, 1991 dalam Menteri Kesehatan,
2006).
5. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut
Tshikuka (1995) dikutip Hotes (2003) dalam Menteri Kesehatan (2006)
yaitu faktor sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi
yang rendah.
2.3.5 Status Gizi
Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan
(digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara
keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat menimbulkan kekurangan
zat gizi berupa kalori dan dapat menyebabkan kekurangan protein serta
kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik,anemia,
kecerdasan dan produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat
menurunkan ketahanan tubuh sehinggamudah terkena penyakit lainnya
(Depkes R.I, 2006).
2.4 Pencegahan dan Penanganan KKP
Kurang Karbohidrat Protein (KKP) akan terjadi manakala
kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya, tidak tercukupi oleh
diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun
salah satu lebih dominan ketimbang yang lain. Sindrom kwashiorkor
terjelma manakala defisiensi lebih menampakkan dominasi protein, dan
marasmus termanifestasi jika terjadi kekurangan energi yang parah.

34
Kombinasi kedua bentuk ini, marasmik-kwashiorkor, juga tidak sedikit,
meskipun sulit menentukan kekurangan apa yang lebih dominan.

Kurang energi protein dikelompokkan menjadi KKP primer dan


sekunder. Ketiadaan pangan melatarbelakangi KKP primer yang
mengakibatkan berkurangnya asupan. Penyakit yang menyebabkan
pengurangan asupan, gangguan serapan dan utilisasi pangan serta
peningkatan kebutuhan (dan/atau kehilangan) akan zat gizi, dikategorikan
sebagai KKP sekunder.

Keparahan KKP berkisar dari hanya penyusutan berat badan, atau


terlambat tumbuh, sampai ke sindrom klinis yang nyata, dan tidak jarang
berkaitan dengan defisiensi vitamin serta mineral.

Setidaknya, ada 4 faktor yang melatarbelakangi KKP, yaitu:


masalah sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Kemiskinan, salah satu
determinan sosial-ekonomi, merupakan akar dari ketiadaan pangan, tempat
mukim yang berjejalan, kumuh, dan tidak sehat serta ketidakmampuan
mengakses fasilitas kesehatan. Ketidaktahuan, baik yang berdiri sendiri
maupun yang berkaitan dengan kemiskinan, menimbulkan salah pahan
tentang cara merawat bayi dan anak yang benar, juga salah mengerti
mengenai penggunaan bahan pangan tertentu dan cara memberi makan
anggota keluarga yang sedang sakit. Hal lain yang juga berpotensi
menumbuh suburkan KKP di kalangan bayi dan anak adalah penurunan
minat dalam memberi ASI yang kemudian diperparah pula dengan salah
persepsi tentang cara menyapih. Selain itu, distribusi pangan dalam keluarga
terkesan masih timpang.

Tempat tinggal yang berjejalan dan tidak bersih menyebabkan


infeksi sering terjadi. Prosedur penyimpanan hasil produksi pascapanen
yang buruk mengakibatkan bahan pangan cepat rusak. Bencana alam,
perang, atau migrasi paksa telah terbukti mengganggu distribusi pangan.

35
Penyalahgunaan anak, ketidakberdayaan kaum ibu, penelantaran
lansia, kecanduan alkohol dan obat, pada akhirnya berujung pula sebagai
KKP. Selain itu, budaya yang menabukan makanan tertentu (terutama
terhadap balita serta ibu hamil dan menyusui) dan mengonsumsi bahan
bukan pangan akan memicu sekaligus melestarikan KKP.

Komponen biologi yang menjadi latar belakang KKP, antara lain,


malnutrisi ibu, baik sebelum maupun selama hamil, penyakit infeksi, serta
diet rendah energi dan protein. Seorang ibu yang mengalami KKP selama
kurun waktu tersebut pada gilirannya akan melahirkan bayi berberat badan
rendah. Tanpa ketersediaan pangan yang cuup, bayi KKP tersebut tidak
akan mampu mengejar ketertinggalannya, baik kekurangan berat semasa
dalam kandungan maupun setelah lahir.

Penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit


KKP. Penyakit diare, campak, dan infeksi saluran nafas kerap
menghilangkan nafsu makan. Penyakit saluran pencernaan yangs sebagian
muncul dalam bentuk muntah dan gangguan penyerapan, menyebabkan
kehilangan zat-zat gizi dalam jumlah besar. Percepatan proses katabolisme
meningkatkan kebutuhan sekaligus menambah kehilangan zat-zat gizi.

Kekurangan kalori protein sesungguhnya berpetualang menyerang


siapa saja, terutama bayi dan anak yang tengah tumbuh kemabng. Marasmus
seroing menjangkit bayi yang baru berusia kurang dari 1 tahun, sementara
kwashiorkor cenderung menyerang setelah mereka berusia 18 bulan. Jika
dialami oleh anak yang berumur lebih tua, kondisi tersebut biasanya ringan
karena mereka pada umumnya telah pandai mencari makan sendiri.
Remaja, dewasa muda (umumnya lelaki), wanita tidak hamil dan tidak
menyusui , memiliki angka prevalensi paling rendah.

2.4.1 Pengaruh KKP Terhadap Beberapa Organ


1. Saluran Pencernaan

36
Malnutrisi berat menurunkan sekresi asam dan melambatkan gerak
lambung. Lapisan mukosa terlihat di sepanjang edema. Mukosa usus halus
mengalami atrofi. Vili pada mukosa usus lenyap, permukaannya berubah
menjadi datar dan diinfiltrasi oleh sel-sel limfosit. Pembaruan sel-sel epitel,
indeks mitosis, kegiatan disakarida berkurang. Pada hewan percobaan,
kemampuan untuk mempertahankan kandungan normal mucin dalam
mukosa terganggu dan laju penyerapan asam amino serta lemak berkurang.

2. Pankreas

Malnutrisi menyebabkan atrofi dan fibrosis sel-sel asinar yang akan


mengganggu fungsi pankreas sebagai kelenjar eksokrin. Gangguan fungsi
pancreas bersama-sama dengan intoleransi disakarida akan menimbulkan
sindrom malabsorpsi, yang selanjutnya berlanjut sebagai diare.

3. Hati

Pengaruh malnutrisi pada hati bergantung pada lama serta jenis zat
gizi yang berkurang. Glikogen pada penderita marasmus cepat sekali
terkuras sehingga zat lemak kemudian tertumpuk dalam sel-sel hati.
Manakah kelaparan terus berlanjut, hati mengerut sementara kandungan
lemak menyusut dan protein habis meskipun jumlah hepatosit relative tidak
berubah.

Ukuran hati penderita kwashiorkor membesar serta banyak


mengandung glikogen. Infiltrasi lemak merupakan gambaran menonjol
yang terutama disebabkan oleh penumpukan trigliserida. Dengan
mikroskop electron akan terlihat proliferasi reticulum endoplasma halus,
sementara jumlah reticulum endoplasma kasar menurun. Mekanisme
bagaimana kedua hal ini terjadi belum diketahui.

4. Ginjal

Meskipun fungsi (agak) normal ginjal masih dapat dipertahankan,


GFR (glomerular filtration rate) dan RPF (renal plasma flow) telah terbukti

37
menurun. Penelitian di Minnesota membuktikan bahwa keadaan
semikelaparan dapat mengakibatkan poliuri (tampak jelas setelah 6 minggu
kelaparan) dan nokturia. Gangguan kemampuan untuk pemekatan urine
diperkirakan sebagai akibat dari penurunan jumlah urea dalam medula yang
disertai penyusutan medullary osmolar gradient. Pemeriksaan laboratorium
urine berupa: berat jenis (BJ) rendah, ada sedikit sedimen, RBC, WBC, dan
toraks sementara protein tidak ada. Secara histologis, tidak ada perubahan
yang bermakna.

5. Sistem Hematologik

Perubahan pada sistem hematologik meliputi anemia, leukopenia,


trombositopenia, pembentukan akantosit, serta hypoplasia sel-sel sumsum
yang berkaitan dengan transformasi substansi dasar, tempat nekrosis sering
terlihat. Derajat kelainan ini bergantung pada berat serta lamanya
kekurangan kalori berlangsung.

Anemia pada kasus demikian biasanya bersifat normokromik dan


tidak disertai dengan retikulositosis meskipun cadangan zat besi cukup
adekuat. Penyebab anemia pasien yang asupan proteinnya tidak adekuat
ialah menurunnya sintesis eritropoietin, sementara anemia pada mereka
yang sama sekali tidak makan protein timbul karena stem sel dalam sumsum
tulang tidak berkembang, di samping sintesis eritropoietin juga menurun.

Malnutrisi berat berkaitan dengan leukopenia dan hitung jenis yang


normal. Morfologi neutrofil biasanya (namun tidak selalu) meningkat.
Simpanan neutrofil yang dinyatakan sebagai hitung neutrofil tertinggi
setelah 3-5 jam pemberian hidrokortison pada malnutrisi juga berkurang,
dan fungsinya tidak normal. Sebagai tambahan, jumlah trombosit turut pula
menurun.

6. Sistem Kardiovaskular

Kondisi semikelaparan akan menyusutkan berat badan sebanyak


24%, mengerutkan volume jantung hingga 17% di samping menyebabkan

38
bradikardia, hipotensi arterial ringan, penurunan tekanan vena, konsumsi
oksigen, stroke volume, dan penurunan curah jantung. Dampaknya adalah
kerja jantung menurun, penjenuhan (saturasi) oksigen vena dan kandungan
oksigen arterial berkurang.

7. Sistem Pernapasan

Hasil otopsi penderita malnutrisi menunjukkan tanda-tanda yang


menyiratkan bahwa selama hidup mereka pernah terserang bronkitis,
tuberkulosis, serta pneumonia. Kematian akibat malnutrisi biasanya terjadi
berkaitan dengan pneumonia. Penyulit ini terutama disebabkan oleh
lenyapnya kekuatan otot perut, sela iga, bahu, dan diafragma. Akibatnya,
fungsi ventilasi terganggu, kemampuan untuk mengeluarkan dahak menjadi
rusak sehingga eksudat menumpuk dalam bronkus. Keberadaan
hipoproteinemia secara bersamaan mengakibatkan edema interstitial dan
sekresi bronkus. Kondisi demikian memperberat fungsi ventilasi yang telah
terganggu.

8. Penyembuhan Luka

Irvin (1975) dikutip dalam Arisman (2004), telah meneliti proses


penyembuhan luka pada tikus yang menjalani operasi kolon dan diberi
makanan yang tidak mengandung protein. Gangguan pemyembuhan luka
baru akan timbul manakala berat badan menyusut lebih dari sepertiga berat
badan normal karena kekuatan mekanis otot serta kulit perut telah
berkurang. Pada kolon, pengurangan kekuatan seperti ini tidak terjadi.
Kesimpulan Irvin ialah bahwa penyusutan jaringan kolagen visceral jauh
lebih sedikit ketimbang jaringan parietal. Namun demikian, pengaruh buruk
ini masih dapat diatasi jika nutrisi pascaoperasi terselenggara dengan baik.

2.4.2 Diagnosis

Gambaran klinis, biokimiawi, dan fisiologi KKP bervariasi dari


orang ke orang dan bergantung pada:

39
a. Keparahan KKP
b. Usia penderita
c. Ada atau tidaknya kekurangan zat gizi lain
d. Keberadaan penyakit penyerta
e. Kekurangan yang dominan energi atau protein

Keparahan KKP diukur dengan menggunakan parameter


antropometrik, karena tanda dan gejala klinis serta hasil pemeriksaan
laboratorium biasanya tidak menunjukkan perubahan, terkecuali jika
penyakit ini telah sedemikian parah.

Klasifikasi serta lamanya penyakit yang telah berlangsung juga


ditentukan secara antropometris. Riwayat pangan bermanfaat terutama
dalam mengukur status gizi orang dewasa. Defisit energi dan protein derajat
ringan sampai sedang dinilai terutama dengan riwayat dan kebiasaan pangan
perorangan atau masyarakat, serta ketersediaan pangan itu sendiri.
Karakteristik klinis danbiokimiawi berguna untuk pemastian diagnosis
KKP berat. Parameter yang wajib diperiksa pada penderita KKP tercantum
dalam Anamnesis dan pemeriksaan fisik KKP pada anak.

2.4.3 Penilaian Antropometris

Ukuran antropometris bergantung pada kesederhanaan, ketepatan,


kepekaan, serta ketersediaan alat ukur, di samping keberadaan nilai baku
acuan yang akan digunakan sebagai pembanding. Jika nilai baku satu negara
(Indonesia) belum tersedia, boleh digunakan baku Internasional.
Pembolehan ini didasarkan pada asumsi bahwa potensi tumbuh-kembang
anak pada umumnya serupa. Hubungan berbagai ukuran antropometris
(terutama berat dan tinggi badan) pada anak normal yang sehat secara relatif
mantap. Baku acuan ditujukan sebagai perbandingan semata, bukan
menggambarkan keidealan.

Interpretasi perbandingan ini digunakan sebagai bahan


pertimbangan dikala seseorang dipaksa untuk memutuskan apakah nilai

40
yang diharapkan itu harus 100% atau 90%, atau dengan proporsi lain lagi.
Sekedar pembakuan, WHO menganjurkan penggunaan data dari NCHS
sebagai acuan.

Penilaian antropometris satus gizi dan KKP didasarkan pada


pengukuran berat dan tinggi badan, serta usia. Data ini dipakai dalam
menghitung dua macam indeks, yaitu indeks (1) berat terhadap tinggi badan
yang diperuntukkan sebagai petunjuk dalam penentuan status gizi sekarang,
dan (2) tinggi terhadap usia yang digunakan sebagai petunjuk tentang
keadaan gizi di masa lampau. Kekurangan tinggi terhadap usia
meriwayatkan satu masa ketika pertumbuhan tidak terjadi (gagal) pada usia
dini selama periode yang agak lama.

2.4.4 Klasifikasi Kurang Karbohidrat Protein (KKP)

Gomez (1956) dalam Arisman (2004) merupakan orang pertama


yang mempublikasikan cara pengelompokkan kasus kurang karbohidrat
protein. Klasifikasi KKP menurut Gomez didasarkan pada berat badan
terhadap usia (BB/U). Berat anak yang diperiksa dinyatakan sebagai
persentase dari berat anak seusia yang diharapkan pada baku acuan dengan
menggunakan persentil ke 50 baku acuan Harvard. Berdasarkan sistem ini,
KKP diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan, yaitu derajat I, II, dan III.

Derajat KKP Berat Badan/Usia (%)


I (ringan) 90-76
II (sedang) 75-61
III (berat) < 60
Sayang sekali dengan cara ini marasmus tidak dapat dibedakan
dengan kwashiorkor. Akibatnya, anak yang rasio berat badan terhadap usia
sangat rendah termasuk sebagai penderita KKP karena anak yang kurus ini
memiliki ukuran tinggi badan yang rendah pula.

Penggunaan nilai defisit berdasarkan berat terhadap usia tidak


membedakan anak yang memang mempunyai berat badan kurang (KKP

41
kini) dengan mereka yang berat dan tingginya seimbang (KKP lampau), di
samping data tentang kronologis usia tidak selalu tersedia dan kalaupun ada,
data tersebut biasanya tidak valid (terandal). Namun demikian,
pengelompokkan KKP sebagai derajat I (75-90% dari acuan berat terhadap
usia), II (60-75%), dan III (<60%) sangat berfaedah dalam penelitian
epidemiologis dan kesehatan masyarakat karena proporsi anak di
masyarakat yang pada suatu ketika dalam hidupnya pernah mengalami KKP
dapat ditentukan.

Sama seperti Gomez, Jellife (1966) dalam Arisman (2004) juga


menyusun klasifikasi berdasarkan berat terhadap usia, termasuk
penggunaan baku acuan Harvard dengan persentil ke-50. Bedanya, Jellife
membagi KKP menjadi 4 tingkatan: I sampai IV.

Kategori Berat Badan/Usia (%)


KKP I 90-80
KKP II 80-70
KKP III 70-60
KKP IV <60

Dengan klasifikasi Jellife, kwashiorkor dan marasmus masih belum


dibedakan. Karena itu, Bengoa (1970) mencoba menengahi kedua
pengelompokkan ini dengan memasukkan tanda edema, tanpa memandang
defisit berat badan. Menurut Bengoa, KKP cukup dikelompokkan menjadi
3 kategori dan seluruh penderita yang menampakkan tanda edema dinilai
sebagai KKP derajat III. Klasifikasi Bengoa masih menggunakan baku
Harvard sebagai acuan.

Kategori Berat Badan/Usia (%)


KKP I 90-76
KKP II 74-61
KKP III Semua penderita dengan edema

42
Hampir sama seperti Gomez, Jellife, dan Bengoa, klasifikasi
Wellcome (1970) dalam Arisman (2004) juga mengacu pada baku Harvard.
Bedanya, Wellcome memasukkan parameter edema ke penilaian. Jika
defisit berat badan pada klasifikasi Bengoa tidak diperhatiakan, Wellcome
memasukkan indikator ini ke dalam komponen yang harus dinilai. Dengan
demikian, perbedaan berbagai tahapan kelainan status gizi tergambar jelas.

% Berat Defisit
Tanda Yang Ada Edema
Baku BB/TB
Kurus 80-60 0 Minimal
Pendek <60 0 Minimal
Marasmus <60 0 ++
Kwashiorkor 80-60 + ++
Marasmik Kwashiorkor <60 + ++

Klasifikasi Waterlow (1973) dalam Arisman (2004) telah lebih baik,


menggunakan indikator berat badan terhadap usia dan berat terhadap tinggi
badan meskipun masih mengacu pada baku Harvard. Waterlow
mengelompokkan KKP menjadi 4 kelas, yaitu: normal, kurus, kurus dan
pendek, serta pendek. Data seperti ini penting karena pendekatan serta
antisipasi lamanya terapi keduanya tidak sama. Sebagai contoh, untuk
menormalkan mereka yang kurus tidak memakan waktu lama, sementara
sebaliknya: mengejar ketertinggalan pertumbuhan linier (kalau masih
dapat) memerlukan waktu cukup panjang.

Derajat kependekan Derajat kekurusan (BB/TB)


Persen (derajat) >90% (0) 80-90% 70-80% <70% (3)
BB/U (1) (2)

43
>90% (derajat 0)
95-90% (derajat 1) Normal Kurus
85-90% (derajat 2)
<85% (derajat 3) Pendek Kurus-pendek

Terakhir, Departemen Kesehatan RI (2000), berdasarkan Temu


Pakar Gizi di Bogor tanggal 19-21 Januari dan di Semarang tanggal 24-26
Mei tahun 2000, merekomendasikan baku WHO-NCHS untuk digunakan
sebagai baku antropometris di Indonesia. Dari sini klasifikasi KKP
kemudian disusun. Indikator yang dipakai ialah tinggi dan berat, sementara
penyajian indeks digunakan simpangan baku.

Indeks Simpangan Baku Status Gizi


Berat Badan terhadap 2 SD Gizi lebih
Usia (BB/U) -2 SD sampai +2 SD Gizi baik
<-2 SD sampai -3 SD Gizi kurang
<-3 SD Gizi buruk
Tinggi Badan terhadap Normal -2 SD sampai +2 SD
Usia (TB/U) Pendek <-2 SD
Berat Badan terhadap 2 SD Gemuk
Tinggi Badan (BB/TB) -2 SD sampai +2 SD Normal
<-2 SD sampai -3 SD Kurus
<-3 SD Sangat kurus

Berlainan dengan metode yang digunakan untuk menilai keadaan


gizi anak, status gizi remaja dan dewasa ditentukan dengan menggunakan
indikator indeks masa tubuh (body mass index/BMI).

BMI2 Derajat KKP


>18,5 Normal
17,0-18,4 Ringan

44
16,0-16,9 Sedang
<16,0 Berat

Indeks masa tubuh, yaitu pembagian berat dalam kilogram dengan


kuadrat tinggi badan dalam meter, dianjurkan untuk mengukur status gizi
remaja dan dewasa. Kriteria yang dianjurkan oleh International Working
Party terpapar dalam table di atas. Berdasarkan data pengukuran orang
kulit putih dan berwarna di Amerika Serikat, diagnosis KKP bagi kaum
remaja dibatasi <15, dan <16,5 untuk usia masing-masing 11-13 dan 14-17
tahun.

2.4.5 KKP Derajat Ringan dan Sedang

Gambaran klinis utama KKP ringan sampai sedang ialah penyusutan


berat badan yang disertai dengan penipisan jaringan lemak bawah kulit. Jika
KKP berlangsung menahun, pertumbuhan memanjang akan terhenti
sehingga anak akan bertumbuh pendek. Kegiatan fisik dan keluaran energy
anak berkurang, di samping berlangsung pula perubahan pada fungsi
kekebalan, saluran pencernaan, dan kebiasaan. Indikator terakhir ini tidak
praktis digunakan sebagai butir diagnosis. Perubahan komposisi tubuh.
Yang mencolok pada orang dewasa ialah penyusutan jaingan adipose
sebesar 12% (lelaki) sampai 20% (wanita). Kemampuan untuk melakukan
pekerjaan fisik yang berat dan berlangsung lama juga berkurang. Selain itu,
kemungkinan wanita KKP melahirkan bayi dengan berat lahir rendah lebih
tinggi ketimbang wanita normal.

2.4.6 KKP Berat

Pada prinsipnya, diagnosis KKP berat ditegakkan berdasarkan


riwayat pangan serta gambaran klinis. Marasmus biasanya berkaitan dengan
ketiadaan bahan pangan yang sangat parah, semikelaparan berkepanjangan,
dan penyapihan terlalu dini, sementara kwashiorkor berkaitan dengan

45
keterlambatan menyapih serta kekurangan protein. Diare kronis dan infeksi
merupakan gambaran yang lazim terjadi.

1. Marasmus

Gambaran penderita marasmus dapat terwakili dalam istilah tulang


terbalut kulit: jaringan lemak bawah kulit (nyaris) lenyap, otot mengecil.
Berat badan penderita marasmus biasanya hanya sekitar 60% dari berat
yang seharusnya sementara pasien anak mengalami kemunduran
pertumbuhan longitudinal.

Kulit kering, tipis, tidak lentur, serta mudah berkerut. Rambut tipis,
jarang, kering, tanpa kilap normal, dan mudah dicabut tanpa menyisakana
rasa sakit. Penderita kelihatan apatis, meskipun biasanya masih tetap sadar,
dan menampakkan gurat kecemasan. Tanda-tanda itu, disokong dengan
lekukan wajah seperti orang tua atau bahkan kera.

Nafsu makan sebagian penderita hilang sama sekali. Sebagian lagi


masih dapat mengutarakan rasa lapar, namun jika diberikan sejumlah
makanan yang diperkirakan dapat melenyapkan rasa lapar itu, penderita
tidak jarang muntah. Memang, jumlah yang diperkirakan ini terlalu banyak
bagi mereka, dan tidak dapat ditoleransi. Diare menahun dan kelemahan

46
yang menyeluruh sering mendampingi KKP sehingga anak tidak dapat
berdiri sendiri tanpa dibantu.

Detak jantung, tekanan darah, dan suhu tubuh rendah, namun


takikardia sering terjadi. Hipoglikemia juga sering terjadi, dan tidak jarang
pula ditemani oleh hipotermia (suhu tubuh 35,5oC). Organ dalam (visera)
biasanya kecil. Dinding perut menegang, sementara kelenjar limfe mudah
sekali diraba. Namun demikian, diagnosis banding harus ditegakkan untuk
membedakan KKP yang parah dengan KKP sekunder yang diakibatkan oleh
penyakit, misalkan saja, AIDS atau penyakit berat lainnya.

Penyulit yang paling lazim terjadi ialah gastroenteritis akut,


dehidrasi, infeksi saluran nafas, dan kerusakan mata akibat kekurangan
vitamin A. Infeksi yang bersifat sistemik bahkan dapat menimbulkan
renjatan septik atau intravascular slotting.

2. Kwashiorkor

Edema yang jika ditekan melekuk, tidak sakit, dan lunak, biasanya
terjadi di kaki, merupakan gambaran utama kwashiorkor. Edema bahkan
dapat meluas sampai ke daerah perineum, ekstremitas atas, dan muka. Pada
daerah edema tidak jarang pula timbul lesi kulit. Eritema yang muncul di
daerah edema biasanya berkilap, ada bagian yang kering, hipekeratosis dan
hiperpigmentasi yang cenderung menyatu. Epidermis mengelupas sehingga
jaringan di bawah kulit mudah terinfeksi.

Jaringan lemak bawah kulit masih cukup baik, namun jaringan otot
tampak mengecil. Kekurangan berat, setelah dikurangi dengan berat cairan
edema, biasanya tidak separah marasmus. Tinngi badan dapat normal, dapat
juga tidak bergantung pada kemenahunan penyakit yang tengah
berlangsung, di samping riwayat gizi di masa lalu.

47
Rambut kering, rapuh, tidak berkilap, dan mudah dicabut tanpa
menimbulkan rasa sakit. Rambut yang sebelumnya berombak berubah
menjadi lurus, sementara pigmen rambut berganti warna menjadi coklat,
merah, atau bahkan putih kekuningan. Keberselangan antara asupan protein
yang buruk dan (agak) baik membentuk porsi depigmentasi dan gambaran
normsl pada satu helai rambut sehingga memberi gambaran seperti
bendera. Penderita tampak pucat, tungkai bewarna kebiruan dan teraba
dingin. Ekspresi wajah tampak seperti susah dan sedih, di samping apatis
dan iritatif (cengeng).

Ketiadaan nafsu makan, muntah segera setelah makan, serta diare,


kerap terjadi. Kondisi ini akan membaik manakala keadaan gizi terkoreksi,
dan dilakukan pengobatan saluran gastrointestinal secara spesifik.

Perut tampak menonjol karena penegangan lambung dan usus yang


terpuntir. Hati membesar dengan sudut tumpul dan teraba lunak, disebabkan
oleh infiltrasi lemak. Peristaltik tidak teratur dan frekuensinya rendah.
Tonus dan kekuatan otot sangat berkurang. Selain itu, takikardia tak jarang
terjadi, sementara hipotermia dan hipoglikemia dapat terjadi tidak lama
sesudah puasa.

48
Diagnosis banding harus dibuat untuk menyingkirkan kondisi lain
yang dapat menimbulkan edema dan hipoproteinemia, serta KKP sekunder
disebabkan oleh gangguan penyerapan protein dan metabolisme.

Penyulit yang biasanya terjadi sama dengan marasmus, kecuali


diare, infeksi, saluran nafas dan kulit yang berlangsung lebih parah. Infeksi
yang serius dan fatal dapat terjadi tanpa disertai demam, takikardia, distress
pernapasan, atau lekositosis yang memadai. Penyebab kematian yang utama
adalah edema paru yang disertai oleh bronkopneumoni septikemia,
gastroenteritis, serta ketidakimbangan air dan elektrolit.

3. Marasmik-Kwashiorkor

Bentuk kelainan ini merupakan gabungan antara KKP yang disertai


oleh edema, dengan tanda dan gejala khas kwashiorkor dan marasmus.
Gambaran yang utama ialah kwashiorkor edema dengan atau tanpa lesi
kulit, pengecilan otot, dan pengurangan lemak bawah kulit seperti pada
marasmus. Jika edema dapat hilang pada awal pengobatan, penampakan
penderita akan menyerupai marasmus. Gambaran marasmus dan
kwashiorkor muncul secara bersamaan didominasi oleh kekurangan protein
yang parah.

2.4.7 Penanganan KKP Berat

Pasien yang menderita KKP tanpa penyulit sangat dianjurkan untuk


dirawat di rumah saja. Menginap di rumah sakit justru meningkatkan resiko
infeksi silang, sementara suasana yang berlainan dengan keadaan rumah
menyebabkan anak merasa diasingkan, kondisi tersebut menyuburkan
suasana apatis sekaligus memperburuk anoreksia yang telah ada.
Penjerumusan ke rumah sakit tak dapat dihindarkan lagi jika keadaan
penderita dapat mengancam jiwanya. Kondisi demikian hanya berlangsung
pada KKP yang parah.

Secara garis besar, penanganan KKP dikelompokkan menjadi


pengobatan awal, dan rehabilitasi. Pengobatan awal ditunjukkan untuk

49
mengatasi keadaan mengancam jiwa, sementara fase rehabilitasi diarahkan
untuk memulihkan keadaan gizi. Yangpertama dimulai sejak pasien tiba di
rumah sakit hingga kondisi anak stabil dan nafsu makan pulih. Fase ini
biasanya berlangsung selama 2-7 hari. Jika lebih dari 10 hari keadaan pasien
tidak juga pulih, berarti diperlukan upaya tambahan.

Upaya pengobatan awal meliputi (1) pengobatan atau pencegahan


terhadap hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi, dan pemulihan
ketidakseimbangan elektrolit, (2) pencegahan jika ada- ancaman atau
perkembangan renjatan septik, (3) pengobatan infeksi, (4) pemberian
makanan, (5) pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain seperti
kekurangan vitamin, anemia berat, dan payah jantung.

Penilaian dehidrasi sulit dilaksanakan karena tanda klasik dehidrasi


(bola mata cekung, dan turgor kulit berkurang) kerap ada pada pasien yang
keadaan hidrasinya tidak terganggu, sementara hypovolemia tidak jarang
terjadi bersamaan dengan edema bawah kulit.

1. Hipoglikemia

Penderita KKP berat kemungkinan besar untuk jatuh ke dalam


keadaan hipoglikemia (kadar glukosa darah <54 mg/dl atau <3 mmol/L),
terutama selama 2 hari pengobatan awal. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
infeksi sistemis yang serius, atau jika anak dibiarkan tidak makan selama 4-
6 jam, terutama sepanjang perjalanan dari rumah ke rumah sakit. Agar
hipoglikemia tidak terjadi, anak harus diberi makan sekurang-kurangnya 2-
3 jam, baik siang ataupun malam.

Tanda hipoglikemia mencakup: (1) temperature tubuh kurang dari


36,5oC, (2) letargi, (3) lemas, dan (4) kesadaran berkurang. Banyak keringat
dan pucat tidak biasanya berbarengan hadir bersama hipoglikemia. Jika
tanda-tanda ini telah tampak, upaya pengobatan harus cepat dilaksanakan
tanpa harus menanti hasil pemeriksaan laboratorium. Selama tindakan
berlangsung, anak harus didampingi hingga kesadarannya pulih.

50
Semua penderita hipoglikemia harus diberi antibiotika spektrum
luas untuk mengobati infeksi sistemis yang luas.

2. Hipotermia

Hipotermia kerap terjadi pada bayi yang berusia kurang dari 12


bulan dan mereka yang menderita marasmus dengan kerusakan kulit yang
parah serta infeksi berat. Anak mesti dihangatkan manakah suhu rektal
terukur kurang dari 35,5C atau suhu ketiak di bawah 35C. Pemanasan
boleh diterapkan dengan cara apa saja, namun sebaiknya tidak
menggunakan botol panas atau lampu floresens. Suhu rektal harus diukur
setiap 30 menit jika anak dipanaskan dengan lampu. Semua anak yang
mengalami hotermia juga harus diobati untuk hipoglikemia dan infeksi
sistemik,

3. Dehidrasi dan Renjatan Septik

Penegakan diagnosa dehidrasi pada pasien yang menderita KKP


beratsungguh sulit. Tanda yang digunakan dalam penentuan diagnosis
dikelompokkan mejadi 3, yaitu (1) tanda yang bermakna, (2) tidak
bermakna, dan (3) tanda-tandan renjakan septik.

Tanda yang bermakna terungkap pada (a) riwayat diare, (b) rasa
haus, (c) hipotermia, (d) mata cekung, (e) tangan dan kaki terasa dingin, dan
(f) aliran urine. Tanda yang tidak bermakna dinilai berdasarkan (a) keadaan
mental, (b) mulut, lidah dan air mata, dan (c) kelenturan kulit.

Anak dengan dehidrasi harus mempunyai latar belakang diare berair


(watery diarhoea). Tinja penderita KKP berat kerap berlendir, namun bukan
ini yang menyebabkan diare. Seorang anak yang menunjukkan tanda
dehidrasi, namun tidak ada riwayat diare berair, mesti diobati sebagai
renjatan septik (septic shock). Minum berlebihan merupakan tanda
dehidrasi yang signifikan, namun tidak termasuk tanda renjakan septik. Jika

51
terlihat tanda hipotermia yang merupakan tanda infeksi serius, kondisi
tersebut bukan dehidrasi.

Bola mata yang cekung dapat membantu pemeriksa mendiagnosis


dehidrasi, hanya jika ibu (atau pengasuh) menyatakan kecekungan itu baru
terjadi.

Kelemahan atau hilangnya denyut nadi pada arteri radialis


menandakan terjadinya renjatan, baik akibat dehidrasi berat maupun septis.
Jika terjadi pula hipovolemia, frekuensi nadi akan meningkat sementara
denyutnya lemah. Jika denyut arteri karotis, femoris, dan brakial lemah
berarti anak tengah menungg maut dan harus diobati dengan sangat segera.

Dinginnya tangan dan kaki (harus diperiksa dengan punggung


tangan), menandakan dehidrasi berat serta renjatan septik. Selain itu,
berkurangnya aliran urine menandakan dehidrasi dan renjatan terus
memburuk. Urine justru tidak terbentuk sama seklai manakala kedua
kondisi ini semakin parah.

Keadaan mental anak KKP biasanya apatis jika dibiarkan sendiri,


dan rewel jika didekati. Kesadaran penderita akan lenyap secara progresif
jika dehidrasi memburuk. Hipoglikemia, hipotermia, dan renjatan septik
berperan pula dalam pemburukan ini.

Tanda renjatan septik dibagi menjadi (a) ancaman mengarah ke


keadaan renjatan septik, dan (b) renjatan septik yang tengah berlangsung.

4. Pengobatan Dehidrasi

Proses rehidrasi sebaiknya dilakukan secara oral karena pemberian


per infus dapat menyebabkan kelebihan cairan dan gagal jantung.
Pemberian secara parenteral boleh diberlakukan hanya dalam keadaan
renjatan (syok).

Cairan rehidrasi oral harus mengandung lebih banyak kalium


ketimbang natrium karena penderita KKP berat selalu mengalami defisiensi

52
kalium serta kelebihan natrium. Contoh komposisi cairan rehidrasi oral
disajikan dalam tabel. Pemberian CRO (komposisi cairan rehidrasi oral)
sebanyak 70-100cc/kg BB biasanya cukup untuk mengoreksi dehidrasi.
Cara pemberian dimulai sebanyak 5 cc/kg BB setiap 30 menit selama 2jam
pertama per oral atau dengan selang nasogastrik kemudian tingkatkan
menjadi 5-10 cc/kg BB/jam. Cairan sebanyak itu harus habis selama 12 jam.

Rehidrasi berhasil jika nak tidak lagi kehausan, sudah dapat


berkemih, dan tanda dehidrasi lain hilang. Agar anak tidak mengalami
dehidrasi lagi, anak harus tetap diberi minum. Sebagai patokan, jika anak
berusia kurang dari 2 tahun, berikan 50-100 cc cairan setiap kali diare
sementara anak yang lebih besar jumlahnya dua kali lipat.

5. Rehidrasi Intravena

Pemberian cairan rehidrasi per infus hanya diperbolehkan jika telah


terjadi dehidrasi berat atau ranjatan septik. Cairan yang dianjurkan ialah (1)
cairan Darrow - half strength dengan dektrose 5%, (2) larutan Ringer
Laktat dengan dektroa 5%, jika mungkin ditambahkan KCL sebanyak 20
mmol/L, (3) larutan garam fisiologis 0,45% dengan dekstrosa 5%, jika
mungkin ditambahkan KCL 20 mmol/L.

Selama satu jam cairan diberikan sebanyak 15 cc/kg BB.


Kemungkinan munculnya tanda-tanda kelebihan cairan (overhydration)
harus dicermati selama pemberian. Sembari melakukan rehidrasi intravena,
dipasang pula slang nasogastrik. Lewat slang ini anak diberi CRO sebanyak
100 cc/kg BB/jam.

Satu jam kemudian pasien harus diperiksa ulang. Jika semula pasien
datang dengan dehidrasi berat, setelah satu jam akan terjadi perbaikan
(frekuensi nadi dan pernapasan akan berkurang). Jika demikian adanya,
perpanjang perlakuan rehidrasi intravena selama satu jam lagi, dan
sesudahnya ganti dengan CRO per oral atau slang sebanyak 10cc/kg BB/jam

53
sehingga 10 jam. Jika perbaikan tidak terjadi selama pemberian cairan satu
jam pertama, berarti pasien telah mengalami renjatan septik.

Pemberian ASI sebaiknya tidak dihentikan ketika CRO/intravena


diberikan dalam kegiatan rehidrasi. Berikan makanan cair yang
mengandung 75-100 kkal/100 cc, masing-masing disebut sebagai F-75 dan
F-100 (selanjutnya, lihat tabel) sesegera mungkin, baik melalui mulut atau
dengan bantuan slang nasogastrik. Pemberian demikian biasanya dilakukan
sekitar 2-3 jam setelah rehidrasi dimulai. Jika anak tetap sadar dan mampu
minum, F-75 harus segera diberikan meskipun proses rehidras belum
selesai.

Tabel Cara Membuat Formula F-75 dan F-100 dan Kandungan Zat Gizi per
100 cc larutan

Dikutip dari Management of the child with a serious infection or


severe malnutrition: guide-lines for care at the first referral level in
developing country, WHO 2000

F-75 F-100
Susu bubuk (g) 25 100
Gula (g) 100 50
Tepung serealia (g) - -
Minyak (g) 27 60
Larutan elektrolit/mineral 20 20
(cc) 1000 1000
Tambahan air hingga... cc

Kandungan/100 cc
Energi (kkal) 75 100
Protein (g) 0,9 2,9
Laktose (g) 1,3 4,2
Kalium (mmol) 4,0 6,3

54
Natrium (mmol) 0,6 1,9
Magnesium (mmol) 0,43 0,73
Seng (mg) 2,0 2,3
Tembaga (mg) 0,25 0,25
% energi dari protein 5 12
% energi dari lemak 32 53
Osmolalitas (mOsm/i) 413 419

6. Pengobatan Rentajan Septik

Semua anak yang menderita KKP berat, yang menampakkan tandan


renjatan septik, atau baru tahap ancaman ke arah sana, harus diobati
sebagai renjatan septik. Disamping itu, mereka mesti diberi antibiotik
spektrum luas dan dihangatkan untuk mencegah atau mengobati
hipotermia. Anak-anak ini tidak perlu dimandikan. Seusai buang air,
misalnya, mereka cukup dilap saja. Suplementasi besi jangan diberikan pada
saat ini.

Rehidrasi melalui pembuluh darah vena harus segera djalankan jika


pasien telah menampakkan gambaran renjatan septik yang nyata. Selama
jarus infus tertanam pada pembuluh vena, anak mesti dievaluasi setiap 5-10
menit, untuk mencegah terjadinya dehidrasi berlebihan (overhidrasi) atau
gagal jantung. Segera setelah denyut nadi menguat dan anak siuman, jarum
infus dicabut dan proses rehidrasi dilanjutkan lewat mulut atau pipa
nasogastrik. Jika terjadi gagal jantung kongestif, atau jika anak tidak
membaik setelah 1 jam pemberian infus, segera berikan transfusi darah
sebanyak 10 cc/ kg BB secara perlahan selama setidaknya 3 jam.
Seandainya darah tidak tersedia, berikan plasma. Jika terlihat tanda gagal
hati, suntikkan ke dalam otot vitamin K dosis tunggal sebanyak 1 mg.

Selama transfusi berlangsung, kepada penderita tidak boleh


diberikan apa-apa lagi agar gagal jantung kongestif tidak terjadi.

55
Seandainya gejala dan tanda gagal jantung kongestif tetap saja timbul,
berikan diuretik sembari memperlambat kecepatan transfusi.

Makanan F-75 baru boleh diberikan melalui pipa nasogastrik, jika


transfusi telah selesai. Seandainya perut anak kembung, atau muntah
berulang kali, pemberian makanan selayaknya diperlambat. Jika dengan
cara ini perut tetap kembung dan muntah tidak mereda, hentikan makanan
itu dan ganti dengan larutan garam rehidrasi oral untuk penderita KKP
(tabel) dengan kecepatan infus 2-4 cc/kg/jam. Disamping itu, diberikan pula
2 cc larutan magnesium sulfat 50%.

7. Pengobatan Dietetis

Makanan formula sebaiknya segera diberikan pada anak manakala


tidak terdeteksi tanda-tanda gawat darurat, disamping melanjutkan
pemberian air susu ibu, Kebanyakan penderita KKP berat yang baru tiba di
rumah sakit terbukti mengidap infeksi, gangguan fungsi hati dan usus, serta
masalah lain yang terkait dengan ketidakseimbangan elektrolit. Mereka
biasanya tidak mampu menoleransi protein, lemak dan natrium dalam takan
normal. Oleh karena itu, makanan (formula) untuk mereka sebaiknya
berkadar rendah protein dan lemak, tetapi mengandung karbohidrat dalam
jumlah lebih besar.

Pemberian makanan ketika penderita baru dirawat, segera setelah


dianosis ditegakkan, harus dalam jumlah kecil namun sesering mungkin
karena kemungkinan overloading pada saat ini sangat tinggi. Penderita
yang tidak mau makan sebaiknya disuap melalui pipa nasogastrik, tetapi
jangan menggunakan IV feeding. Panderita yang masih mau makan harus
diberi santapan setiap 2,3, atau 4 jam seklai siang dan malam. Jika muntah,
jumlah pangan digandakan, sementara interval antara waktu makan
diperpendek, Jika keadaan fisik penderita membaik, volume makanan
diperbesar dan frekuensi pemberian diperkecil. Pengobatan dikatakan
berhasil jika nafsu makan penderita membaik yang terlihat pada cepatnya

56
anak merasa laparr. Inilah akhir dari fase awal pengobatan. Dan ini
menandakan infeksi mulai teratasi, hati telah mampu memetabolisme
makanan, dan ketidaknormalan metabolik lain berkurang. Sekarang,
pnderita siap memasuki fase rehabilitasi.

Fase rehabilitasi biasanya baru dapat dimasuki setelah 207 hari.


Rentang waktu ini lebih lebar jika penderita juga mengalami banyak
penyulit. Penyulit yang lazim mendampingi KKP ialah gangguan pada
mata, anemia berat, dermatosis , diare yang membandel, dan tuberkulosis.

2.4.8 Rehabilitasi

Fase ini semestinya telah dimulai dari rumah sakit dan dilanjutkan
secara rawat jalan. Penderita harus terus mengonsumsi energi, protein, dan
zat-zat gizi lain dalam jumlah yang tepat, terutama jika makanan tradisional
telah dimasukkan ke dalam menu harian. Sementara itu, dukungan fisik dan
emosi juga harus diberikan, di samping pengobatan untuk diare yang
membandel, parasit usus, penyulit, serta vaksinasi.

Tugas utama dalam fase ini ialah mendorong anak untuk makan
sebanyak mungkin, memulai dan atau mendorong pemberian air susu ibu
secukupnya, merangsang perkembangan fisik dan emosi, serta menyiapkan
ibu dan atau pengasuh dalam pengawasan anak setelah keluar rumah sakit.

Pemberian makan tradisional, yaitu makanan yang biasa disantap


di rumah, baru dapat terlaksana manakala edema telah lenyap, lesi kulit
hampir sembuh, penderita telah aktif serta dapat berinteraksi dengan
lingkungannya, nafsu makan telah pulih, dan kecepatan tumbuh untuk
mengejar ketertinggalan selama sakit telah tercapai.

Dalam fase ini, makanan tradsional yang tersedia di rumah sakit


(dicampur dengan makanan formula yang mengandung kalori dan protein
tingg) perlahan-lahan dimasukkan dalam diet. Untuk anak-anak, jumlah
asupan protein sehari minimal 3-4 gram, dan energi 120-150 kkal/kg BB.
Untuk memperoleh nilai ini, makanan padat yang kaya akan energi harus

57
diperkaya lagi dengan menambahkan minyak; sementara mutu kepadatan
protein didapat melalui penggunaan bahan pangan yang berasal dari hewan,
protein kacang, dan campuran protein sayuran.

Perangsangan fisik dan emosi tidak kalah penting dalam pengobatan


KKP berat. Sejak awal pengobatan, penderita memerlukan perhatian dan
kasih sayang baik dari keluarga maupun staf rumah sakit. Kamar perawatan
sebaiknya dicat dengan warna lembut dan meriah , serta disemarakkan
dengan alunan musikuntuk merangsang akustik. Segera setelah mampu
bergerak tanpa bantuan dan mau berinterasi dengan staf rumah sakit dan
anak-anak lain, anak harus didorong agar mau bermaik serta berpartisipasi
pada seluruh kegiatan fisik. Peningkatan secara relatif kegiatan fisik dan
keluaran energi selama proses rehabilitasi gizi mengakibatkan pertumbuhan
longutudinal lebih cepat. Para orang tua harus pula didorong agar mau dan
mampu merangsang dan mengajar anak-anak mereka dengan mengajak
bermain dan bercakap-cakap. Mainan anak dapat dibuat dari bahan
setempat, tidak harus membeli mainan. Jadi, pasien dewasa harus
melakukan olahraga secara teratur agar terjadi peningkatan ketahanan
kardiorespiratorik secara bertahap.

Diare yang membandel tetapi ringa, tidak akan mengganggu


rehabilitasi gizi sejauh asupan cairan dan elektrolit untuk hidrasi normal
tercukupi. Jika status gizi membaik, keadaan ini dengan sendirinya akan
membaik pula. Namun, diare yang berulang dan membandel harus diobati.
Penyebab diare yang lazim pada kelompok ini ialah infeksi usus,
perkembangan flora normal secara berlebihan di usus bagian atas sehingga
terjadi fermentasi zat makanan dan pemecahan garam empedu, parasit usus
(terutama giardia, cryptosporidiosis, dan trichiuriasis), serta intoleransi
terhadap komponen makanan (terutama laktosa, protein susu, dan gluten).

Jika dicurigai telah terjadi intoleransi makanan, diet harus


dimodifikasi dengan mempertimbangkan mutu serta kepadatan zat gizi
makanan pengganti. Sebelum diagnosis intoleransi terhadap maknan

58
tertentu dipastikan, makanan tersebut harus ddicobakan sekali lagi ke
penderita dan bersamaan dengan itu, dilakukan pula uji diagnostik secara
tepat.

2.4.9 Kriteria Sembuh

Perawatan di rumah sakit tidak harus berlangsung hingga


penderita sembuh sempurna. setelah keadaan yang mengancam jiwa
teratasi, nafsu makan membaik, edema dan lesi kulit hilabg, penderita
telah dapat tersenyum dan berinteraksi dengan lingkungannya (staf
rumah sakit dan teman sebayanya), dan pertambahan berat badan telah
mencapai kecepatan maksimal; idealnya mereka boleh dirujuk ke klinik
gizi atau pusat rehabilitas untuk kelanjutan pengobatan. Para ibu atau
pengasuh harus mengerti pentingnya diet tinggi kalori dan protein
hingga tercapai penyembuhan sempurna. Jika proses ini dapat
diselenggarakan di rumah, penderita diperbolehkan pulang; sementara
perawatan di klinik gizi atau pusat rehabilitasi gizi dilanjutkan secara
teratur , atau kunjungan petugas gizi dari rumah ke rumah.

Peningkatan kadar protein atau albumin merupakan tanda bahwa


pengobatan terespons dengan baik, namun tidak berarti kesembuhan
yang sempurna. Kriteria sembuh yang paling praktis adalah
pertambahan berat badan. Hampir semua penderita yang telah sembuh
total memiliki risiko berat terhadap tinggi seperti yang diharapkan.
Namun demikian, penormalan berat terhadap tinggi bukan berarti
defisiensi telah teratasi, indikator ini harus digabung dengan parameter
status gizi yang lain.

Salah satu indikator yang baik dan mudah iukur adalah indeks
tinggi kreatinin, jika urine penderita 24-72 jam dapat dikumpulkan.
Penghentian pengobatan terlalu dini akan meningkatkan risiko
kekambuhan. Sebagai patokan umum, jika komposisi tubuh belum dapat
dinilai, pengobatan dietitis harus dilanjutkan sampai 1 bulan (untuk

59
penderita marasmik diberi alokasi waktu 15 hari) setelah edema yang
diderita mereda dan rasio berat terhadap tinggi badan telah adekuat.
Batas normal minimal nilai ini ialah 92%(atau 1 SD) dibawah median
acuan dari berat terhadap tinggi badan yang diharapkan dan terutama
anak-anak CHI (creatinine height index/indeks tinggi terhadap
kreatinin) sebesar 0,9. Sebagian penderita tidak berhasil menggapai nilai
sedemikian, karena nilai indikator mereka terletak pada kurva distribusi
normal terbawah. Seandainya mereka tetap tumbuh dengan kecepatan
normal serta tidak mengalami gangguan fungsional, pengobatan dapat
diakhiri setelah 1 bulan asupan diet adekuat, dan rasio berat terhadap
tinggi serta nilai CHI stabil. Pngobatan khusus terhadap masalah gizi
lain, misalnya defisiensi zat besi, harus diteruskan meskipun penderita
telah dinyatakan sembuh dari KKP.

Sebelum pulang, penderita dan atau orang tua mereka harus


diberi pengajaran tentang penyebab KKP, dengan penekanan pada
penggunaan bahan pangan bergizi secara rasional, kebersihan
perorangan dan lingkungan, kecukupan imunisasi, serta pengobatan
diare dan penyakit lain sedini mungkin (termasuk pula penanganan
dietetis).

2.4.10 Kegagalan Terapi

Kegagalan terapi pengobatan KKP berat mungkin saja terjadi,


meskipun baku pengobatan telah dipatuhi. Penyebab ketidakberhasilan
ini boleh jadi berakar pada fasilitas pengoabatan dan masalah yang ada
pada diri penderita.

Masalah yang terkait dengan fasilitas perawatan ialah (1)


lingkungan yang buruk bagi penderita KKP; (2) staf tidak terlatih
dengan baik; (3) alat penimbang tidak akurat; dan (4) penyiapan atau
pemberian makanan tidak tepat.

60
Masalah yang berhubungan dengan si penderita antara lain (1)
ketidakcukupan makanan yang diberikan, (2) defisiensi vitamin dan
mineral, (3) malabsorpsi, (4) ruminasi, (5) infeksi : terutama diare,
disentri, otitis media, pneumonia, TBC, infeksi saluran kemih, malaria,
cacing usus, dan HIV/AIDS; dan (6) penyakit pelatarbelakangan yang
serius.

Tabel Tanda Khas Prognosis Buruk Pasien KKP (Arisman, 2004)

Tanda khas prognosis buruk pasien KKP


1. Usia kurang dari 6 bulan
2. Defisit berat terhadap tinggi >30% atau berat terhadap usia >40
%
3. Perubahan mental dan gangguan kesadaran : stupor, koma
4. Infeksi, terutama bronkopneumoni dan campak
5. Petekie, atau kecenderungan pendarahan (purpura
biasanyaberkitan dengan septikemi atau infeksi virus)
6. Dehidrasi dan gangguan elektrolit, terutama hipokalemia dan
asidosis berat
7. Takikardia menetap, tanda gagal jantun, atau susah bernafas
8. Serum protein total <30 g/L
9. Anemia berat dengan tanda klinis hipoksia
10. Jaundice klinis, atau peningkatan bilirubin serum
11. Lsi kulit eksfoliatif atau eksudatif yang luas, atau ulkus
dekubitus yang dalam
12. Hipoglikemia atau hipotermia

61
Tabel Tanda Pasti (dan dugaan) Malnutrisi

(Sumber: Arisman, 2004)

Tampilan Normal Tanda malnutrisi Mungkin Bukan


Masalah Gizi Masalah Gizi
Rambut Berkilap, kuat, Tidak berkilap. kusam & Kwasiorkor dan Terlalu sering
tidak mudah kering. marasmus (agak keramas.
dicabut. Tipis dan kasar. jarang).
Warna seperti perak dan
lurus.
Gangguan pigmentasi.
Gambaran seperti bendera.
Mudah dicabut.
Wajah Warna kulit sama, Keropeng di sekitar hidung. Riboflavin, zat Jerawat
mulus, warna Muka seperti bulan dan besi dan
seperti sawo pucat. kwasiorkor.
matan, tidak ada
pembengkakan.
Mata Cerah, jernih, Konjungtiva pucat. Anemia. Pengaruh
berkilat, tidak ada Mukosa merah, bintik bitol, Vitamin A. cuaca, kurang
retakan pada serosis. tidur, asap
sudut kelopak Konjungtiva & kornea, rokok, minum
mata, membran keratomalasea. alkohol.
berwarna merah Sudut mata merah & ada Riboflavin &
jambu dan basah, retakan. piridoksin.
pembuluh darah Arkus kornea & Hiperlipidemia.
tidak melebar. santelesma.
Bibir Licin, tidak ada Riboflavin. Sekresi air liur
pembengkakan. Stomatis angular, parutan berlebihan
angular, dan cheilosis. karena letak ii

62
palsu tidak
Lidah Merah tua, tidak Asam nikotinat. tepat.
licin, dan tak ada Tampak kasar. Riboflavin. Leuklopakia.
pembengkakan. Warna magenta. Niasin.
Ada pembengkakan. Asam folat, vit,
Papil atrofi atau hipertrofi. B12.
Gigi Tidak berlubang, Fluorosis.
tidak sakit, dan Enamel menebal. Kebanyakan Maloklusi,
tampak cerah. Berlubang, ompong. gula. penyakit
periodontal,
kebiasaan
Gusi Sehat, berwarna Vitamin C. buruk.
merah, tidak Lunak, berdarah. Penyakit
berdarah,dan periodontal
tidak bengkak.
Kelenjar Wajah tidak Yodium.
membengkak. Pembesaran tiroid. Kelaparan.
Pembesaran kelenjar
Kulit Tidak ada bercak, parotis. Vitamin A
penonjolan, bintik Serosis, hperkeratosis Terpapar
berwarna folikularis. Vitamin C lingkungan.
gelap/terang. Petekie. Asam nikotinat
Dermatosis pelagra. Vitamin K
Ecessive bruising. Kwasiorkor Penyalahgunaa
Dermatosis flakypaint. Riboflavin n fisik.
Dermatosis pada zakar &
vulva. Hiperlipidemia
Santoma. Zat besi
Kuku Koilonikia (berentuk
sendok).
Berkerut & bergerigi.

63
Jaringan Jumlah lemak Edema. Kwasiorkor.
bawah normal. Lemak dibawah nilai baku. Kelaparan,
kulit marasmus.
Lemak di atas nilai baku. Obesitas
Tonus otot baik, Otot mengecil
Otot dan dapat berjalan Kraniotabes, bagian frontal Kelaparan,
rangka atau berlari tanpa & parietal kepala marasmus,
menimbulkan menggelumbung, kwasiorkor.
rasa nyeri. pembengkakan ujung Vitamin D.
tulang, frontanella anterior Viamin C
tetap membuka, tulang kaki Tiamin ,
dan lutut terkunci. Vitamin D&C.
Pendarahan Osteoporosis.
muskuloskleletas. Otot
betis mudah terasa sakit.
Gambaran biji tasbih di
tulang dada. Mudah fraktur
(lansia).
Detak dan irama Jantung membesar.
Jantung jantung normal, Takikardia. Tiamin
dan bising atau Tekanan darah meningkat.
pembuluh gangguan irama Hati dan limpa membesar. Natrium
darah tidak ada, tekanan Kwasiorkor
darah normal. Kwasiorkor
Tidak teraba Asam nikotinat,
organ massa. Perubahan psikomotor. tiamin,
Saluran Refleks dan Mental berkabut. piridoksin, Vit
cerna keadaan mental Depresi. B12
saraf normal. Sensoris hilang, motoris
melemah, sensasi posisi Tiamin
lenyap, vibrasi hilang,

64
refleks siku dan lutut
hilang, perestesi tangan dan
kaki.

65
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Vitamin merupakan zat organik yang umumnya tidal dapat dibentuk
dalam tubuh. Vitamin berperan sebagai katalisator organik, mengatur proses
metabolisme dan fungsi normal tubuh. Masing-masing vitamin mempunyai
peranan khusus yang tidak dapat digantikan oleh vitamin atau zat gizi lain.
Oleh karena itu, meskipun dibutuhkan dalam jumlah sedikit dalam satuan
miligram atau mikrogram, jumlah kecil itu sangat penting.
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar di dunia
terutama bagi kelompok wanita usia reproduktif (WUS). Anemia pada
WUS dapat menimbulkan kelelahan, badan lemah, penurunan
kapasitas/kemampuan atau produktivitas kerja.
Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang
sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa
jenis cacing yang termasuk Nematoda usus, diantaranya yang tersering
adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale
dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000).
Kurang Karbohidrat Protein (KKP) akan terjadi manakala
kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya, tidak tercukupi oleh
diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun
salah satu lebih dominan ketimbang yang lain.
3.2 Saran

Dengan ditulisnya makalah ini nantinya dapat dimanfaatkan secara optimal


terkait dengan pengembangan mata kuliah Gizi dan Diet. Dan penulis
menyarankan materi-materi yang ada dalam tulisan ini dikembangkan lebih
lanjut agar dapat nantinya menghasilkan tulisan-tulisan sejarah yang
bermutu. Demikianlah makalah ini penulis persembahkan, semoga dapat
bermanfaat.

66
DAFTAR PUSTAKA
Arisman, MB. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI. 2014. Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Depkes RI. 2004. Sistem Kesehatan Nasional 2004. Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI. 2006. Pedoman Pengendalian Cacingan. Jakarta: Depkes RI.
Gandahusada. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FK UI.
Menteri Kesehatan. 2006. Pedoman Pengendalian Kecacingan. Jakarta: Depkes
RI.
Sediaoetam, Achmad. 2004. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian
Rakyat.
Sopiandi, Yopi. 2016. Anemia. [online] Available at: www.academia.edu (Diakses
pada: 1 Maret 2016).

67

Anda mungkin juga menyukai