Anda di halaman 1dari 17

Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc.

MAKALAH

Model Pengembangan Sapi Potong Di Lahan Pasca Tambang

KELOMPOK IV

KETUA: HARIANTO / NIM. I 111 14 070

ANGGOTA :

YULIATI R. I 111 14 056


NIRWANA I 111 14 036
MEYGI C.P. ILAHUDE I 111 14 506
FAISAL ASBAR I 111 14 002
ABD. QAYYUM I 111 14 314
MUJTAHIDAH I 111 14 536
MUQARRAHMAH I 111 14 530
SRI WAHYU NINGSIH I 111 12 026
AHMAD IDAM NUR I 111 14 324
MUH. ZULKARNAIN I 111 14 348

MATA KULIAH ILMU HIJAUAN PAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
PENDAHULUAN

Latar belakang

Tempat pasca penambangan banyak faedahnya. Meskipun telah

ditinggalkan lantaran sudah diesktrak mineral di dalamnya, susunan tanah di

atasnya dapat digunakan untuk beragam manfaat, bahkan juga untuk padang

penggembalaan sapi serta pastura (kebun hijauan pakan ternak). Misalnya, tempat

pasca penambangan batu bara di Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur,

Kalimantan Timur yang digunakan juga sebagai tempat pengembalaan sapi

potong type bali.

Tempat pasca penambangan batu bara masih tetap dapat digunakan untuk

pengembangan sebagian spesies rumput juga sebagai pakan hijauan ternak.

Penelitiannya untuk meningkatkan jenis peternakan berbasis penggembalaan

(ranch) di tempat pasca penambangan. Tantangan pertamanya type rumput apa

yang dapat tahan dengan keadaan pH asam serta curah hujan hujan tinggi. Serta,

nyatanya spesies Brachiaria humidicola serta B. decumbens dapat bertahan

dengan baik.

Pengembangan penggembalaan sapi potong di padang penggembalaan tak

nampak demikian saja idenya. Inspirasi ini telah nampak dari riset mahasiswa

yang lihat besarnya potensi tempat pasca tambang yang sayang bila tidak terurus

demikian saja.

Permasalahan

1. Kurangnya lahan untuk peternakan sapi


2. Rusaknya ekosistem daratan akibat penambangan batubara

Tujuan dan kegunaan


Penerapan sistem peternakan terbuka di lahan bekas tambang

bertujuan untuk memperbaiki lahan tersebut serta untuk usaha peternakan.

Kegunaan dari pembuatan makalah ini agar dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan memanfaatkan lahan bekas tambang.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran umum lahan pasca tambang

Peran industri pertambangan semakin penting, tahun 2010 nilai nominal

produksi mineral dunia senilai US$ 474 M (naik 4 kali dibanding tahun 2002)

yang didorong pertumbuhan ekonomi China, India dan kekuatan ekonomi

berkembang lain (ICMM, 2010). Pada tahun 2010 menurut Mulyono (2013),

terdapat 20 negara dengan nilai produksi pertambangan terbesar di dunia yang

menguasai 88% produksi mineral dan Indonesia berada pada urutan ke-11 dengan

nilai produksi mineral US$ 12,22 M (10,6% total ekspor barang) dibawah posisi 5

teratas yaitu Australia (US$ 71,95 M), China (US$ 69,28 M), Brasil (US$ 47,02

M), Chile (US$ 31,27 M), dan Rusia (US$ 28,68 M) (Karti, 2014).

Industri pertambangan dan jasa pertambangan di Indonesia merupakan

salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional dan beberapa tahun terakhir

menjadi sektor industri strategis dengan peran signifikan. Peran minyak bumi

sejak mid 1980-an yang menurun, diimbangi dengan peningkatan peran gas bumi

(volume ekspor meningkat signifikan sejak tahun 1977/78). Perkembangan

pertambangan umum lainnya adalah produksi batu bara secara besar-besaran

sebagai upaya penganekaragaman sumber energi nasional. Perkembangan sektor

pertambangan diikuti perkembangan sektor jasa sebagai lini rangkaian aktivitas

industri penambangan seperti eksplorasi, survey, alat berat, transportasi,

konsultasi, dan infrastruktur pendukung pertambangan (Novra, et al, 2013).

Gautama (2007) menyebutkan bahwa tambang di Indonesia 95%

menerapkan sistem terbuka, sehingga sangat diperlukan pemahaman karakteristik

hujan, batuan induk, potensi pengasaman biologis masing-masing wilayah

tambang. Perusahaan pertambangan yang melakukan kegiatan usaha


pertambangan, kecuali kegiatan penyelidikan umum dan eksplorasi, berkewajiban

melakukan reklamasi atas lahan areal bekas kegiatan pertambangan yang

dilakukannya tersebut (BPK RI, 2011). Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan

untuk memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat

kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai

peruntukannya. Sampai saat ini masih sedikit perusahaan tambang yang

melakukan kegiatan reklamasi, dan dari areal yang telah dibuka baru sekitar

38,9% areal yang sudah direklamasi (Redaksi Tropis, 2013).

Lahan bekas tambang dikategorikan sebagai ekosistem dengan intensitas

gangguan berat, berukuran besar, dan lama gangguan jangka panjang sehingga

upaya restorasi diperlukan untuk mencegah kerusakan lingkungan. Restorasi lahan

bekas tambang butuh penanganan fisik, kimia, dan biologi seperti rekonstruksi

lahan dan manajemen top-soil, revegetasi lahan kritis, penggunaan mikoriza,

pemilihan jenis yang tepat, dan penerapan kaidah suksesi. Aspek teknis yang perlu

dicermati adalah struktur dan stabilitas timbunan, dimensi timbunan sesuai

peruntukannya, penataan kontur serta perataan timbunan, pengaturan drainase air

permukaan, pengelolaan material pembangkit asam (potentially acid

forming/PAF), pengendalian erosi dan sedimentasi, serta rekondisi tanah sebagai

media tanam. Variasi jenis kegiatan menyebabkan proses reklamasi lahan

membutuhkan waktu, teknologi dan biaya tidak sedikit, pelaksanaannya harus

selaras dengan kegiatan pertambangan yang dilaksanakan sampai pada bentuk

rehabilitasi yang dikehendaki (Novra, 2015).

Reklamasi lahan eks tambang sebenarnya merupakan kewajiban

perusahaan penambang, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun


pelaksanaanya berjalan sangat lambat. Menurut Ditjen Mineral, Batubara dan

Panas Bumi (2006) baru sekitar sepertiga dari luas lahan yang dibuka untuk

tambang yang telah direklamasi, sehingga percepatan reklamasi sangat

diperlukan. Kelambatan reklamasi lahan eks tambang disebabkan oleh berbagai

kendala teknis dan non teknis. Kendala-kendala tersebut perlu dikenali terlebih

dahulu, kemudian dicarikan solusi yang terbaik dan mudah dilaksanakan

(practicable), agar lahan-lahan tersebut selanjutnya dapat dimanfaatkan bagi

kesejahteraan masyarakat, dan bila memungkinkan dapat digunakan untuk

peningkatan produksi bahan pangan nasional. (Dariah, et al, 2010).

Dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan pertambangan adalah fokus

dari kepentingan yang lebih besar hari ini daripada sebelumnya . Banyak negara

berkembang sedang dalam proses pengembangan kebijakan lingkungan untuk

pertama kalinya . Kebijakan baru ini pasti akan mempengaruhi bagaimana operasi

pertambangan diharapkan untuk melakukan : memproduksi bahan baku yang

dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian dengan biaya serendah mungkin

menjadi sama pentingnya dengan menerapkan , rencana pengelolaan yang efisien

bertanggung jawab untuk membantu mengembangkan masyarakat sekitar dan

penggunaan lahan berkelanjutan (Koruyan, et al, 2012).

B. Gambaran umum sapi potong

Salah satu sektor pertanian yang memiliki potensi besar untuk dapat

dikembangkan adalah peternakan sapi potong yang merupakan bagian dari sub

sektor peternakan. Kebutuhan akan daging sapi di Indonesia menunjukkan trend

yang meningkat setiap tahunnya, demikian pula importasi terus bertambah dengan

laju yang semakin tinggi, baik impor daging maupun impor sapi bakalan. Kondisi
yang demikian menuntut para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk segera

menerapkan suatu strategi pengembangan peternakan sapi potong nasional untuk

mengurangi ketergantungan pada impor, dan secara bertahap serta berkelanjutan

mampu berswasembada dalam menyediakan kebutuhan daging sapi secara

nasional (Adinata, dkk, 2012).

Pembangunan sub-sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

pertanian yang bertujuan untuk mencapai suatu kondisi peternakan yang tangguh,

yang dicirikan dengan kemampuan mensejahterakan para petani peternak dan

kemampuannya dalam mendorong pertumbuhan sektor terkait secara

keseluruhannya (Arbi, P., 2009).

Pembangunan peternakan diarahkan untuk meningkatkan mutu hasil

produksi, meningkatkan pendapatan, memperluas lapangan kerja serta

memberikan kesempatan berusaha bagi masyarakat di pedesaan. Peternakan yang

tangguh memerlukan kerja keras, keuletan dan kemauan yang kuat dari peternak

itu sendiri agar mencapai tujuan yang diinginkan. Keberhasilan yang ingin dicapai

akan memacu motivasi peternak untuk terus berusaha memelihara ternak sapi

secara terus menerus dan bahkan bisa menjadi mata pencaharian utama (Dikman,

et al, 2010).

Usaha ternak sapi potong dapat dikatakan berhasil bila telah memberikan

kontribusi pendapatan dan dapat memenuhi kebutuhan hidup peternak sehari-hari,

hal ini dapat dilihat dari berkembangnya jumlah kepemilikan ternak, pertumbuhan

berat badan ternak dan tambahan pendapatan keluarga (Djaafar, 2007).

Perkembangan usaha peternakan ini merupakan sebuah hal yang positif

dan harapan baru bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat peternak tentunya


dengan meningkatnya pendapatan. Hal tersebut tentunya harus disertai dengan

adanya sebuah manajemen pengelolaan usaha peternakan yang tepat, baik disisi

teknis maupun dalam manajemen pemasarannya (Kurniawan, 2012).

Potensi ternak sapi itu sendiri dapat dilihat bahwa sapi tersebut umumnya

bersifat prolifik, mudah beradaptasi dengan lingkungan yang tidak terlalu ekstrim

sehingga dalam pemeliharaannya baik skala kecil maupun besar relatif tidak sulit.

Potensi sumber daya alam dapat mendukung usaha sapi jika dapat dimanfaatkan

secara optimal. Bagaimana kita dapat memanfaatkan lahan yang kosong atau

lahan kritis bekas penambangan untuk ditanami hijauan pakan ternak berupa

rumput lapangan, rumput unggul, pohon-pohonan legume, dedaunan, limbah

pertanian seperti jerami padi, daun tebu, dedak padi maupun limbah industri

unggulan daerah setempat seperti limbah kelapa sawit. Pemberian pakan harus

sesuai dengan kebutuhan nutrisi sapi potong dengan melihat status fisiologis

ternak sapi. Disamping itu perlu untuk mengetahui kandungan nutrisi dari hijauan

tersebut. Selain potensi diatas, potensi pasar juga perlu dimanfaatkan seoptimal

mungkin karena pasar ternak sapi selalu tersedia setiap saat, sehingga dapat

dikatakan bahwa pemasaran ternak sapi tidak merupakan masalah. Indonesia

dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa adalah pasar yang besar bagi

peternakan sapi potong yang akan diusahakan di Kalimantan Timur. Selain itu

kebutuhan konsumsi protein hewani per kapita per hari yang masih berada

dibawah standar semakin membuka peluang usaha ternak sapi potong (Ardhani,

2006).

Masalah yang biasa dihadapi peternak ruminansia, khususnya sapi potong,

pada saat ini adalah tidak tersedianya hijauan pakan yang memadai, terutama pada
musim kemarau di samping rendahnya kualitas hijauan pakan. Hal ini disebabkan

di wilayah tersebut produktivitas hijauan pakan sangat rendah, termasuk rumput

gajah (Pennisetum purpureum) yang di wilayah beriklim basah produktivitasnya

mampu menghasilkan hijauan sampai 300 t/ha bobot segar pada lahan yang subur,

namun di lahan kering beriklim kering atau di wilayah dengan musim kemarau

yang relatif panjang rumput ini memberikan hasil jauh lebih rendah, yaitu sekitar

48 t/ha/tahun sampai 70 t/ha/tahun. Selain masalah lahan kering Indonesia juga

menghadapi masalah di lahan suboptimal lainnya seperti lahan rawa (gambut,

pasang surut dan lebak), lahan salin dan lahan bekas pertambangan, namun di

wilayah-wilayah itu populasi ternak sapi dan kerbau tidak sampai satu juta ekor

(Prawiradiputra, 2014).

C. Model Pengembangan Sapi potong lahan pasca tambang

Ditinjau dari aspek teknis, areal bekas tambang dapat digunakan untuk

budidaya pertanian jika telah dilakukan perbaikan kondisi lahan, dan selanjutnya

dapat digunakan untuk tujuan-tujuan produktif seperti untuk pertanian. Dari aspek

kualitas tanah, kendala utama rehabilitasi lahan adalah rendahnya kandungan

unsur hara dan bahan organik, toksisitas unsur tertentu, kemampuan tanah dalam

menjerap hara dan air, pH tanah, dan sifat fisik tanah yang sangat buruk. Untuk

mempercepat pemulihan kualitas tanah (fisik, kimia dan biologi), juga dapat

digunakan bahan pembenah tanah atau amelioran, seperti bahan organik; kapur,

tanah liat, dan abu terbang. Senyawa humat dapat digunakan sebagai pengganti

bahan organik. Zeolit merupakan bahan pembenah mineral yang dapat

meningkatkan KTK (kapasitas tukar kation) tanah. Pupuk hayati dapat digunakan
untuk memperbaiki sifat biologi tanah, misalnya pemanfaatan fungi mikoriza

sebagai pemicu pertumbuhan tanaman (Dariah et al, 2010).

Penentuan jenis pemanfaatan lahan, apakah untuk tanaman pangan,

perkebunan, perikanan, agrowisata, atau lainnya, antara lain perlu didasarkan atas

status kepemilikan dan kondisi bio-fisik lahan, serta kebutuhan masyarakat atau

Pemda setempat. Bagi Provinsi Bangka-Belitung misalnya, yang produksi beras

tahunannya hanya cukup untuk konsumsi penduduk dalam waktu satu bulan saja,

maka pemilihan reklamasi lahan untuk pertanian tanaman pangan merupakan satu

alternatif yang tepat. Namun demikian, untuk mereklamasi lahan bekas tambang

timah menjadi sawah subur memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit, serta

perlu didukung oleh teknologi pengelolaan lahan dan air yang lebih maju, lebih

rumit dari teknologi tradisional) ( Dariah et al 2010).

D. Manfaat model pengembangan sapi potong pasca tambang

Pada lokasi bekas tambang yang sesuai ditanami dengan jenis-jenis pohon

savana dan vegetasi penutup (cover crop) yang berpotensi menjadi makanan dan

tempat merumput bagi ternak. Pada tahap selanjutnya jika reklamasi tersebut

berhasil lahan eks tambang dapat dijadikan lahan penggembalaan, tentunya

disesuaikan dengan peruntukan dan fungsi kawasan eks tambang.

Hamparan luas lahan bekas tambang batubara yang umumnya berbentuk

cekungan dengan sentra adalah kolam bekas galian yang potensial menjadi

sumber air bagi pemenuhan kebutuhan ternak sapi. Fasilitas infrastruktur yang

telah ada seperti jalan utama (main road ) dan jalan produksi memberikan

aksesibilitas kawasan yang lebih baik, sementara fasilitas bangunan seperti

basecamp dan lainnya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi sarana dan prasarana
produksi dan pendukung usaha peternakan. Bentukan cekungan yang dikelilingi

tebing melalui penataan lahan dapat ditransformasi sebagai pagar alami guna

menghemat investasi. Kebutuhan dana investasi telah tersedia dan dana investasi

baru yang dikeluarkan akan tergantikan melalui penarikan dana jaminan

reklamasi yang telah disetorkan oleh pemilik IUP/IUPK pertambangan. Hal ini

menjadi dasar pemikiran bahwa pengembangan kawasan peternakan pada lahan

bekas tambang tidak boleh menganggu kewajiban reklamasi lahan dan diharapkan

adanya hubungan saling melengkapi (simbiosis mutualism) (Novra, 2015).

E. Kerugian pengembangan sapi potong pasca tambang

Revegetasi lahan tambang yang ditanami dengan hijauan (rumput dan

legum) memberikan peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkannya menjadi

sumber hijauan pakan ternak. Namun, dilain pihak kekhawatiran yang muncul

atas upaya pengalihfungsian lahan revegetasi pasca tambang menjadi lahan

pasture (ladang pengembalaan) adalah kemungkinan terjadinya akumulasi logam-

logam berat pada tanah, rumput, sumber air yang dapat berdampak akumulasi

logam berat pada daging dan organ hewan yang diternakkan. Taggart et al (2011)

menemukan kadar Pb yang berlebihan pada daging domba dan babi hutan yang

hidup diareal pertambangan (Hasan, dkk, 2014).

Pembudidayaan ternak khususnya ternak sapi potong di wilayah

pertambangan dengan memberikan hijauan pakan yang berasal dari rumput di

lahan revegertasi pasca tambang berpotensi untuk mencemari daging dan organ

tubuh sapi lainnya yang apabila hasil ternak tersebut dikonsumsi oleh manusia

maka akan menimbulkan penimbunan logam berat pada tubuh manusia. Oleh

karena perlu dilakukan evaluasi tingkat kontaminasi logam berat pada ternak sapi
yang dipelihara di areal pertambangan serta mengkonsumsi hijauan pakan dari

lahan pasca tambang (Hasan, dkk, 2014).

Pada areal bekas pertambangan batu bara, sifat fisik merupakan faktor

pembatas jika overburden batu bara digunakan sebagai media tanam. Hasil

analisis bahan galian yang diambil di beberapa lokasi tambang batubara di

Tanjung Enim (Sumatera Selatan) menunjukkan tanah menjadi padat karena rata-

rata BD tanah bahan galian batu bara tergolong tinggi, yang berarti tanah menjadi

padat. Kendala sifat kimia tanah ditentukan oleh asal bahan galian. Bahan galian

yang berasal dari tanah sulfat masam, pH nya <3 atau sangat masam.

Permasalahan lain adalah kandungan garam-garam sulfat yang tinggi seperti

MgSO4, CaSO4, AlSO4, yang dapat meracuni tanaman. Pada musim kemarau

garam- garam tersebut muncul ke permukaan tanah berbentuk kerak putih

(Dariah, et al 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kawasan pengembangan ternak sapi pada model rekomendasi membagi

areal bekas lahan tambang menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu areal budidaya HPT,

areal pengembalaan, dan areal perkandangan.

1. Areal Budidaya HPT yaitu bagian areal bekas tambang yang diperuntukkan bagi

budidaya hijauan pakan ternak seperti kebun rumput, campuran tanaman

pohonandan legume sumber pakan ternak sapi. Pada bagian areal ini ternak sapi
tidak bolehdigembalakan atau dicegah untuk memasuki areal sehingga

pemenuhan HPT untuk ternak sapi dilakukan melalui sistem cut and curry.

Jenis tanaman yang dapat dikembangkan di lahan pasca tambang bisa

berupa : cover crops (tanaman penutup lahan) dan perdu seperti signal

grass, Pueraria javanica, Centrosema pubescens, Crotalaria juncea, Tephrosea

vogeltii atau; jenis rumput Paspalum notatum (rumput bahia) dan vetiver

zizonoides (rumput vetiver), karena kedua jenis rumput ini mempunyai

kemampuan redemisi tanah yang tercemar oleh bahan beracun; tanaman keras

seperti Acacia mangium, sengon, trembesi, lamtoro, kaliandra dan johar atau

tanaman agro-industri seperti kelapa sawit dan jarak pagar.

2. Areal Pengembalaan yaitu bagian areal bekas tambang yang diperuntukkan

gunapengembalaan ternak sapi dengan sumber hijauan utama adalah rumput

lapanganyang tahan injakan. Karakteristik permukaan lahan yang sesuai adalah

dengankemiringan rendah (datar) serta dekat dengan areal kolam bekas galian

sebagaisumber kebutuhan air minum ternak sapi, serta dilengkapi dengan

tanamanpohonan sebagai pelindung ternak dari cahaya matahari (panas).

Pendekatan sistemroasi dapat dikembangkan guna meminimalisir kerusakan

akibat adanya overgrazing.

3. Areal Perkandangan yaitu bagian areal bekas tambang yang diperuntukkan untuk

infrastruktur kandang dan bangunan lainnya termasuk gudang,

perkantoran,rumah jaga, jasa layanan kesehatan ternak (karantina, IB dan timbang

an) serta infrastruktur pengolahan limbah terpadu.

Ternak sapi yang dilepas pada areal pengembalaan adalah ternak sapi

muda (jantan dan betina calon induk) lepas sapih, dan ternak sapi (induk) bunting
atau menunggu melahirkan, sedangkan penempatan di kandang adalah ternak sapi

yang memerlukan perhatian khusus yaitu induk yang akan dan baru melahirkan,

menyusui anak serta anaksapi baru dilahirkan sampai lepas sapih. Ternak sapi

jantan muda adalah sumber bakalan untuk program penggemukan (fattening) yang

dipelihara secara intensif (kandang) baik oleh pelaku peternakan yang sama

maupun digaduhkan pada peternak lain dalam program tanggung jawab sosial

perusahaan (CSR). Sumber HPT pada ternak sapi yang dipeliharan secara intensif

dapat berasal dari budidaya rumput dan pepohonan maupun dari limbah tanaman

budidaya lain baik pangan (jagung, kedele dan sorghum) maupun perkebunan

(sawit, karet dan lainnya).

Pemanfaatan lahan pasca tambang sebagai lahan sumber hijauan untuk

pakan ternak apabila dikembangkan serta dikelola dengan sebaik mungkin,

hasilnya mampu menyediakan pakan secara optimal sepanjang waktu dan mampu

meningkatkan produksi ternak, pada akhirnya cita-cita swasembada daging yang

berkelanjutan sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan protein asal hewani

dapat tercapai.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat diambil beberapa simpulan

tentang pemanfaatan lahan bekas tambang untuk pengembangkan kawasan

peternakan sapi, yaitu;

1. Prospek dan potensi pengembangan kawasan peternakan pada areal bekas

tambang pada masa akan datang cukup besar (luasan dan sebaran).
2. Pengembangan kawasan peternakan potensial untuk diintegrasikan dengan

program reklamasi dan revegetasi lahan serta tanggung jawab sosial

perusahaan.

3. Keunggulan komparatif (comparative advantage) dengan tersedia berbagai

fasilitas pada areal lahan bekas tambang yang berimplikasi pada efisiensi

pembiayaan akan mampu mendorong daya saing produk peternakan sapi

(competitive advantage).

Saran

Dalam pengembangan sapi potong pasca tambang di butuhkan ketelitian

karena akan berefek pada kesehatan ternaknya. Karena lahan revegertasi pasca

tambang berpotensi untuk mencemari daging dan organ tubuh sapi lainnya yang

apabila hasil ternak tersebut dikonsumsi oleh manusia maka akan menimbulkan

penimbunan logam berat pada tubuh manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Adinata, dkk. 2012. Strategi pengembangan usaha sapi potong di kecamatan
mojolaban kabupaten sukoharjo. Jurnal Tropical Animal Husbandry.
Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Vol. 1 No. 1.

Arbi, P. 2009. Analisis Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi
Potong (Studi Kasus Desa Kesuma Kecamatan Namo Rambe Kabupaten
Deli Serdang). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara,
Medan.

Ardhani. 2006. Prospek dan analisa usaha penggemukan sapi potong di


kalimantan timur ditinjau dari sosial ekonomi. Jurnal EPP. Fakultas
Pertanian. Universitas Mulawarman. Samarinda. Vol.3.No.1

Dariah, et al. 2010. Reklamasi lahan eks-penambangan untuk perluasan areal


pertanian. Jurnal Sumber Daya lahan. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian . Bogor. Vol. 4 No. 1.

Dikman, M., P. W. Prihandini., dan Y. N. Anggraeny. 2010. Profil Pembibitan Sapi


PO di Kelompok Ternak Bango Jaya Kota Probolinggo. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm 181-185.

Djaafar, S. W. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dan Strategi


Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Rakyat di Kabupaten Banggai
Provinsi Sulawesi Tengah. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Hasan, Natsir, Ako, dan Zakaria. 2014. Pengujian dan evaluasi kontaminasi logam
berat pada daging dan organ tubuh sapi yang dipelihara pada lahan pasca
tambang PT. Inco Sorowako. Fakultas Peternakan. Universitas
Hasanuddin. Makassar.

Karti, P, D, M, H, 2014. Reklamasi Lahan Bekas Tambang Untuk Menunjang


Kegiatan Peternakan: Permasalahan dan Solusi, Fakultas Peternakan, IPB
Bogor.
Koruyan, et al. 2012. Remote sensing in management of mining land and
proximate habitat. The Journal Of The Southern African Institute Of
Mining And Metallurgy. The Southern African Institute Of Mining And
Metallurgy V. VOLUME 112.

Kurniawan, E. 2012. Analisis Pengembangan Potensi Peternakan Sapi Potong di


Kecamatan Bungkal Kabupaten Ponorogo. Skripsi. Fakultas Pertanian

Novra. 2015. Prospek dan potensi pemanfaatan lahan bekas tambang untuk
pengembangan kawasan peternakan. Universitas Jambi. Jambi.

Novra, A., Adriani dan Suparjo, 2013. Kegiatan IPTEKDA LIPI 2013 2015,
Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Jambi.
Prawiradiputra. 2014. Kemungkinan pengembangan tanaman pakan ternak
produk rekayasa genetik untuk lahan suboptimal. Balai Penelitian Ternak.
Bogor.

Anda mungkin juga menyukai